It looks like you're new here. If you want to get involved, click one of these buttons!
Copyright 2021 Queer Indonesia Archive. See our Privacy Policy. Contact us at [email protected]
Dengan menggunakan situs ini berarti Anda setuju dengan Aturan Pakai.
BoyzForum.com adalah situs anti pedofilia!
Comments
Notif ketutup soalnya dudududu
Ska ma bgian bgalny,,,kocak abesss...
Mention lok up ya!!
-7-
Malam minggu ini akhirnya aku memutuskan untuk pergi memenuhi ajakan Erick. Sebenarnya aku ragu tapi aku benar-benar ingin menemui Joy. Entah kenapa rasanya aku rindu suaranya, cara bicara yang apa adanya, perintahnya, larangannya… Dia memang banyak mengatur ini itu. Tapi aku suka. Caranya itu seakan-akan membuat orang-orang di sekitarnya merasa aman berada di dekatnya. Pantas saja dia punya banyak teman. Aku ingin mengatakan sesuatu kepadanya dan juga ada satu hal yang ingin kuberikan.
“Damar ! Lo udah nunggu lama?” sapa Erick dari kejauhan.
“Udah pegel.” Balasku sambil memegang kakiku yang memang terasa pegal karena terlalu lama berdiri.
“Sorry yah. Gue lupa kalau ini masih jadwalnya Joddy buat antar jemput gue. Jadinya tadi ambil motor gue dulu sembunyi-sembunyi biar gak ketahuan dia.”
“Antar jemput?”
“Yoi. Dia janji sebulan ini bakal antar jemput gue. Hahahaha.” serunya sembari tertawa lebar dengan tangan yang berkacak pinggang.
“Sekarang mau kemana?”
“Kita ke dalem.”
“Gak keluar? Tempat nongkrongnya di dalem kampus?”
“Ya bukanlah. Ini bukan cuma nongkrong biasa. Lo, gue dan anak basket lain punya misi yang harus diselesaikan malam ini.” Ujarnya. Entah kenapa aku merasa Erick sudah menipuku untuk sesuatu hal. Mungkin karena udah dua minggu ini aku gak datang latihan basket lagi.
Tak ada lampu yang menyorot di lapangan basket malam itu. Namun sorotan lampu dari gedung di depan lapangan masih mampu untuk berbagi sedikit sinar. Beberapa orang terlihat sedang duduk di tangga di pinggir lapangan. Agak sulit bagiku untuk bisa menebak-nebak siapa saja disana karena kondisinya yang gelap dari kejauhan. Semaki dekat kesana, aku bisa melihat Joy duduk diantara beberapa anak. Dia terlihat terkejut melihat kedatanganku kesini. Mungkin seharusnya aku tidak usah datang malam itu.
“Malam Brothers!!!” Sapa Erick kepada mereka dengan gaya hip hop. Aku cuma mengikutinya duduk di antara mereka.
“Kita mau ngapain sih?” tanya salah seorang anak, sepertinya anak kelas satu.
Erick berdiri menghadap kami semua dan mulai berbicara dengan lantang. “Ehm Ehhhhmmmm.. Karena sebentar lagi kita mau ngadain acara olimpiade basket, kita butuh dana yang cukup besar. Maka dari itu..”
“Lo cuma mau minta sumbangan ke kita?” Potong Joy yang dijawab dengan pukulan di kepalanya.
“Diem lu! Gue belum selesai ngomong.” Sambar Erick. “Untuk mengakrabkan anak-anak basket semua, gue mau kita danus (dana usaha = cari duit) bareng-bareng.”
“Kok lo yang ngatur?” pukulan kembali melayang ke kepala Joy.
“Gue ketua danusnya. Gue yang ngatur. Elu cuma anak buah gua, ngerti?” Sambar Erick lagi. “Sebenarnya kalau masalah duit sih udah ada dari hasil jual kaos basket dan dari duit sisa kepengurusan kemarin tapi seperti yang gue bilang diawal. Untuk menambah rasa kekeluargaan, sebaiknya kita usaha bareng juga buat cari duit. Salah satunya kita nyanyi di-”
“Ngamen maksud lo? Gak ada pilihan lain apa? Ngamen kan bukan contoh yang baik buat masyarakat. Tidak mendidik anak bangsa dengan meminta-minta.”
“Joddy !” Tegur Erick. “Apa lo mau gue cium dulu biar mingkem (nutup) tuh mulut?”
“Ogah.” Balasnya ketus.
“Terserah apa kata Joddy barusan. Pokoknya kita bakal nyanyi rame-rame, ngamen di jalan. Nanti gue bagi-bagi orang-orang sama tempat ngamennya dimana aja. Ente ngamen jangan sambil malak ya. Sedikasihnya aja karena kita bukan mau minta-minta.” Terangnya. “Nah, lo Joddy. Karena lo gak bisa nyanyi, lo jualan bunga aja noh di jalan. Sebagian ada yang jual bunga juga ya mumpung malem minggu pasti banyak yang beli.”
“Mata duitan banget sih lo.” Ledek Joy.
“Heh. Tolong elu bedakan mata duitan dengan otak bisnis kayak gua.” Protes Erick. “Ya udah, udah gue tulis ya nama-namanya. Kalau buat yang jualan bunga hmm.. Joddy sama Damar aja.”
“Kok cuma berdua?” cecar Joy.
“Karena Damar gak mungkin sendiri jual bunga. Lo mau dia diculik jual bunga malem-malem kaya gini?”
“Terus kenapa dia gak ngamen aja bareng lo? Gua juga bisa jual bunga sendiri.”
“Kenapa gak lo tanya sendiri sama Damar. Lagipula gue gak mungkin ngebiarin lo sendiri jual bunga ke cewek-cewek. Yang ada ntar lo balik sambil bawa-bawa anak.” Balas Erick. Joy cuma diam, tidak menjawab. “Ya udah kita cabut sekarang. Nih bunganya. Awas kalau gak abis!” ancamnya.
Aku tahu maksudnya Erick baik supaya kita berdua gak berantem lagi. Tapi sekarang malah tambah aneh. Dia diam dan aku diam. Tidak ada yang bicara sepatah kata pun. Dia bahkan gak mau liat ke arahku. Sepertinya ada yang membuatnya marah besar kepadaku. Maksudku, aku tidak mengerti kenapa ia bisa semarah itu. Aku tidak menyangka dia bisa mengatakan kata-kata kasar dan menyakitkan yang dilontarkannya malam itu. Seakan-akan dia bukan Joy yang aku kenal. Walaupun aku baru sebentar mengenalnya tapi dia, rasanya aku kenal betul.
Kami berdua berjalan dalam diam meninggalkan lapangan basket sambil membawa beberapa tangkai bunga mawar. Lumayan banyak juga. Aku membawa setengahnya sekitar 6 tangkai. Berarti ada 12 yang harus berhasil dijual. Erick menyuruh kami berdua pergi ke jalan-jalan yang ramai batasnya sampai Jonas Banda katanya. Aku mengikuti Joy dari belakang. Dia berjalan menuju ke taman Dago, taman dengan huruf D, A, G, O yang besar menjulang, tempat biasanya anak muda berkumpul kalau malam minggu.
Tempatnya cukup gelap. Hanya ada lampu jalan berwarna oranye yang redup di pinggir-pinggirnya. Di pelataran luarnya banyak lelaki yang membawa papan skateboard dan bermain disana, cukup mengganggu pejalan kaki. Sekarang aku bingung karena aku belum pernah berjualan bunga seperti ini.
“A, jualan bunga ya?” tanya dua orang perempuan yang duduk manis disana.
“Iya. Mau beli mba?” tanya Joy.
“Tapi aa nya nyanyi dulu buat kita.” Godanya.
“Gak bisa nyanyi mba. Suaranya jelek.” tolak Joy halus.
“Yaah. Masa gak bisa nyanyi? Padahal ganteng si aa teh. Udah punya pacar belum a?”
“Gak ada yang mau sama gue mba. Kegantengan katanya.” Katanya sombong. “Emang mba mau sama gue?”
Yang kudengar selanjutnya adalah rayuan-rayuannya kepada dua perempuan itu yang membuat mereka tertawa dan tersipu malu. Joy tampak lihai dan tahu bagaimana caranya berbicara kepada mereka agar perempuan-perempuan itu senang. Aku pergi meningaalkan Joy disana sambil menatap bunga-bunga di tanganku yang tak tahu mau kujual pada siapa. Sepertinya aku menatap bunga itu terlalu lama karena sekarang aku sudah berada di bagian taman yang semakin dalam.
Kondisinya sangat berbeda dengan di luar sana. Bagian dalamnya sangat gelap karena tak ada lampu dan tempat itu ditutupi dengan tanaman yang cukup tinggi. Disana tampak beberapa orang yang duduk di pinggir tanaman di bagian yang paling gelap. Laki-laki yang ada disini entah kenapa terlihat menyeramkan. Mereka memakai pakaian seperti jaket yang memiliki jarum-jarum di bagian bahunya, aksesoris seperti kalung bergambar tengkorak, rantai dan juga anting-anting. Celananya pun tampak robek disana-sini. Rupanya perempuan yang kulihat disana pun memiliki gaya berpakaian yang tak jauh berbeda dengan lelaki-lelaki itu hanya saja lebih minim.
Aku terkejut ketika aku melihat dua orang yang sedang berciuman. Mereka tampak nyaman walau melakukannya di tempat umum. Tiba-tiba seseorang menarik tanganku keluar dari dalam sana. Rupanya itu Joy.
“Kita pergi.” Katanya.
*****
Sekarang kami hampir sampai ke kampus. Kami tinggal berbelok dan melewati sebuah taman yang besar yang ada di seberang kampus. Namun sampai saat ini dia masih sama saja. Dia tak berbicara lagi sejak kami pergi meninggalkan taman Dago. Padahal aku sudah berusaha memancingnya lagi dengan beragam cara di sepanjang perjalanan. Jika sampai kampus dia belum juga mau bicara, aku takut kalau aku tak punya kesempatan lain.
BRUUUUUUUG
“Nnnngghh…” Aku terjatuh. Kukira kakiku terkilir karena rasanya sakit sekali untuk digerakkan. Saat itu jalanan sangat sepi. Tidak ada seorang pun di luar. Bahkan saat itu tidak ada satupun kendaraan yang lewat. Joy sudah berjalan lebih dulu di depan. Sepertinya ia tidak melihatku terjatuh tadi.
“Joy, tunggu!” pekikku.
“Joooy!!!” Aku berteriak lebih keras, membuatnya menoleh ke belakang dan menghampiriku dari jauh.
“Kenapa sih?” Ia mendelik dan menghela nafas panjang.
“Kakinya. Kakinya gak bisa digerakin.” Aku tertunduk malu.
"Ceroboh banget sih. Makanya kalau jalan, liat-liat!" Dia berbalik memunggungiku kemudian jongkok di depanku. “Ya udah. Sini naik.”
Dia menawarkan punggungnya untuk menggendongku dari belakang. Aku berusaha naik ke punggungnya sambil menahan rasa sakit. Punggungnya terasa hangat ketika aku mendekapnya dari belakang. Dia memegang kedua kakiku kemudian berdiri dan berjalan kembali sambil menggendongku. Rasanya aku ingin seperti ini terus. Aku tak ingin ia marah dan menjauhiku lagi.
“Aku minta maaf.” Gumamku tiba-tiba. “Tapi kamu juga harus minta maaf.”
“Buat apa? Emang gue salah!” balasnya.
“Gak adil kalau cuma aku yang minta maaf.”
“Ya udah gak usah minta maaf.”
“Kenapa sih gak mau denger. Nyebelin!” aku mendengus kesal.
“Gue emang nyebelin.”
“Kamu mau aku ngapain? Aku gak suka kalau kamu kayak gini.”
“Gue mau lo diem.” Pungkasnya.
Dia masih marah padaku padahal aku sudah meminta maaf. Aku tak tahu apalagi yang harus kulakukan agar dia memaafkanku dan kembali seperti dulu. Kulingkarkan tanganku dilehernya lebih erat. Kubenamkan wajahku di bahunya. Tanpa sadar, air mataku terjatuh. Entah untuk yang keberapa kalinya aku menangis ketika bersamanya.
“Jangan nangis! Gue paling gak suka liat orang nangis.” Tegurnya.
“Gak peduli.”
“Udah gak usah nangis. Baju gue basah tau.”
“Jangan benci sama aku. Aku mohon.” tuturku lirih.
“Lo gak perlu se-desperate itu. Lo gak butuh gue.” Sunyi kembali menyelinap diantara kami berdua sebelum aku memulai berbicara lagi.
“Kalau aku jatuh, cuma kamu yang mau tolong. Semua ceritaku, cuma kamu yang mau denger. Cuma kamu yang mau ngejar aku, bawa aku pulang dan bikin aku gak nangis lagi.”
“Tapi lo udah bohong sama gue. Gue kecewa.” ujarnya.
Ketika aku ingin menyembunyikan buku itu dari semua orang, kali ini aku ingin memberikan buku itu padanya. Hari-hari yang kujalani kemarin dan hari-hari sebelumnya, aku ingin ia membaca dan mengetahui semuanya. Aku ingin ia percaya padaku lagi.
“Turun! Turunin!” seruku sambil menggoyang-goyangkan tubuhnya. Ia mencoba menahanku tapi tak bisa. Akhirnya perlahan ia menurunkanku dari punggungnya di taman itu.
“Ada yang mau aku kasih buat kamu.” Terangku sambil mengeluarkan buku itu.
“Itu apaan?”
“Buku Diarynya. Sekarang punya kamu. Kamu boleh baca semuanya. Aku gak peduli.”
Dia diam sesaat sembari melihat ke arah buku di tanganku. “Gak butuh.” Jawabnya sambil mengibaskan tangannya, membuat buku itu terlempar.
“Bukunya!” pekikku kaget.
Di taman seberang kampus ini terdapat sebuah kolam air mancur yang tidak terawat. Dan kini buku itu terlempar masuk ke dalam kolam di sebelahku itu. “Penyakitnya. Kamu bilang kamu mau taupenyakitnya. Sebenarnya mau kamu apa Joy?” tanyaku kesal sambil menatapnya tajam.
Aku pergi ke pinggir kolam tersebut sambil menyeret kakiku yang masih sakit. Tanganku berusaha menggapai buku itu yang mengapung di tengah kolam namun gagal karena bukunya terlalu jauh, Aku terpaksa masuk ke dalam air sebelum isi buku itu lenyap selamanya.
“Damar. Damaaar! Lo mau ngapain?”
Malam itu, air di dalam kolam terasa sangat dingin. Tinggi air itu hanya sebatas pinggangku. Namun lantai kolam yang terasa licin karena tidak pernah pernah dibersihkan membuatku terpeleset berkali-kali hingga tubuhku basah kuyup. Akhirnya buku itu berhasil kuraih. Angin malam rupanya membuatku tubuhku menggigil kedinginan ketika aku keluar dari kolam itu.
“Sekarang bukunya basah.” Gumamku hampir tak terdengar. Bukunya benar-benar basah. Tiap lembarnya ternodai dengan tinta-tinta pena yang luntur membuat isinya tak terbaca.
“Damar, lo gak apa-apa?”
“Kamu gak bisa baca isinya. Sekarang.. selamanya aku jadi pembohong.” Ucapku. Aku kemudian berlalu meninggalkannya sambil membawa buku itu bersamaku.
“Hey!! Mau kemana lo?” teriakan Joy tak kuindahkan.
Entah kenapa kepalaku terasa semakin berat, membuatku berjalan sempoyongan. Tiba-tiba dari belakang Joy merebut buku itu secara paksa dariku, Aku terkejut dibuatnya. Kejutan itu rupanya belum selesai sampai disitu. Karena sekarang ia melemparkan buku itu ke dalam api yang sedang membakar tumpukan sampah dan dedaunan. Sepertinya seseorang menyalakan api untuk membakar sampah sebelum kami datang ke taman ini. Sekarang buku Diarynya benar-benar lenyap termakan api.
Dia berbalik menghampiriku. Kemudian berbisik lembut di telingaku. “Maafin gue.” Aku tak dapat melihat bagaimana ekspresinya kala itu. Tapi nada suaranya terdengar sedih. ”Buku itu udah gak ada. Sekarang gue gak butuh buku itu. Gue lebih percaya sama kata-kata lo.”
“Benar-benar percaya?” tanyaku kepadanya yang dijawab dengan sebuah anggukan.
“Kalau gitu kamu harus percaya satu hal lagi kalau aku.. Aku gak normal.”
“Aku suka sama cowok.”
@ularuskasurius Dirga kali bang, bukan gilang. Cieee.. siapa tuh gilang. jadi baper ya? hehe
@sully_on kalau kepanjangan ntar keenakan. makin panjang makin ketagihan. lol
@akina_kenji makasih dah diingetin. Biasalah tangan gw typo nya kumat. maksudnya “Gue udah janji bakal jadi satu-satunya orang yang gak bakal ngejauhin lo." ntar gw edit kalau lg pengen
@hendra_bastian btw, apanya yang gede?
@JimaeVian_Fujo emangnya ngeship siapa?
@Agova pusing nih gw harus ada di pihak siapa. wkwkwk
@Lovelyozan siap! makasih dah baca
@Clorofil hmm.. kalau negara api lagi menyerang aja bang. hehe ^^
Jawabannya monggo di lanjut..:)
Thank's ya ts da mention.
aku ngeship joy-damar hahaha dirga sama erick hehehe