It looks like you're new here. If you want to get involved, click one of these buttons!
Copyright 2021 Queer Indonesia Archive. See our Privacy Policy. Contact us at [email protected]
Dengan menggunakan situs ini berarti Anda setuju dengan Aturan Pakai.
BoyzForum.com adalah situs anti pedofilia!
Comments
Kangen km dongs @SamPtz999
#cipokbasah#
-6-
-flashback-
Kuncinya sudah ada di tangan gue sekarang. Sudah saatnya gue beraksi. Sekarang atau tidak sama sekali, gak perlu buang-buang waktu lagi. Sebuah bangunan tiga lantai menjulang tinggi di hadapan gue. Gue hanya harus mengendap masuk dan berpura-pura menjadi teman target kalau tiba-tiba gue ketahuan. Siip. Gue udah siap, hati gue udah mantap, rencana sudah tersusun rapi, tinggal gue realisasikan. Oh, ada yang lupa. Gue berdo’a dulu ah. Semoga gue berhasil malak bukunya. Aamiin..
Dari dalam tas target gue ada beberapa buah kunci yang terikat dalam satu gantungan. Kunci kamarnya yang mana ya. Bingung gue jadinya. Yang penting sekarang gue masuk dulu, masalah kunci itu bisa diatur. Gue tinggalin Erick beserta motornya di lapangan kecil seberang kosan ini. Gue janjiin dia kalau dia boleh minjem motor gue selama seminggu. Tapi dia malah nolak. Minta dianter jemput aja sebulan katanya. Berani ngelunjak juga dia. Tapi gak apa-apalah.
Sekarang gue udah berdiri di depan pagar. Untungnya gak ada orang yang jaga, pagarnya juga gak digembok. Jalan gue sudah direstui ternyata, tak ada halangan. Ritangan pertama berhasil gue lewatin. Rintangan selanjutnya pintu depan. Kira-kira kuncinya yang mana yah. Gue cobain aja deh satu-satu. Semoga kuncinya ada diantara kunci-kunci ini.
Rintangan kedua juga berhasil gue lewatin. Kunci yang pertama gue masukin ke lobang langsung berhasil membuka jalan gue. Gampang ternyata, gak susah kayak bayangan gue. hehehe.. Lampu di ruang tengah ini masih nyala. Kalau gue liat dari sini, kemungkinan tiap lantai ada sekitar 3-4 kamar. Nah, rintangan selanjutnya ini yang bikin gue bingung. Kamar orang itu yang mana ya. Masa gue harus cek kamar satu-satu. Ada tiga lantai lagi kosannya. Kuncinya juga banyak. Sekarang udah jam hampir jam 12 malam, orang-orang harusnya udah pada tidur.
Gue punya hmm.. 5 kunci lagi di luar kunci depan tadi. Disini kalau misalnya ada 4 kamar tiap lantai berati total 12 kamar. Jadi gue harus nyocokin 5 kunci ke tiap kamar yang totalnya ada 12. Dan kemungkinan gue berhasil nyocokin kamar dan kuncinya cuma 1/60 alias 1.67%. Kampreeeet.. Kalau semua dilihat pakai logika dan angka semuanya emang bakal sulit. Udah ah ribet. Dari dulu juga gue kalau mikir gak pernah pake logika, pakainya feeling dan insting. Termasuk ngerjain soal UN juga lebih dari 50% gue cuma mengandalkan insting..
Sekarang gue harus-
PRAAAAAAAAAAAAANK..
Anjriiiiiiiiit… Sakiiiiiiiiit… teriak gue tapi cuma dalam hati.
“Kenapa sih?”
“BERISIK !!”
“Heh. Jam tidur kampreeet!”
“Gue mau quiz besok wooii.. Seriuslaaah !!!”
Karena terlalu konsentrasi pada misi, pot bunga keramik di depan kaki gue sampe-sampe gak keliatan. Akhirnya gue jatuh dan pot bunganya pecah. Bikin anak-anak kosan bangun dan teriak-teriak dari dalam kamar mereka.
“Lo siapa?” tanya seseorang cowok yang mengintip dari balik pintu dengan sikat gigi di tangannya.
“Eh.. Gue-”
“Kaki lo berdarah? Kakinya sakit? Bisa jalan gak? Sini dibersihin dulu lukanya.” Ajaknya cemas. Dia mengajakku ke kamarnya. Terpaksa aku mengikutinya. Untung dia gak nanya yang aneh-aneh.
Dia mengambil kotak P3K dari dalam lemari. Kapas yang ada di dalam kotak ia teteskan dengan alkohol untuk membersihkan luka di kakiku.
“Tahan bentar sakitnya ya!”
Gue cuma gigit-gigit bibir sambil nahan perih.
“Nah udah.” Ujarnya. “Lo anak baru? Kok datengnya malem-malem gini?”
“Hah? Oh. Bukan anak baru kok. Gue temennya Axel. Ya, Axel yang rambutnya dicat merah. Lo tau kan?”
“Oh. Dikirain.” Balasnya. Ia memiliki senyum yang manis rupanya.
“Ngomong-ngomong, lo tau kamarnya Axel?”
“Taulah. Dia temen sebelah kamar gue. Terus lo kesini mau ngapain? Setahu gue axel belum pulang.”
“Ah iya. Gue diminta dia buat ngembaliin tasnya. Terus gue mau ngambil barang juga dari kamarnya. Nih, gue bawa tas sama kunci kosan dia.”
“Lo punya kunci kamar Axel?” tanyanya sedikit terkejut. “Ya udah, gue bantu cari barangnya ya. Kamarnya Axel berantakan soalnya. Gue juga gak betah kalo lama-lama disana.”
Siaaal.. Kenapa dia malah ikut. Padahal gue udah tahu kamarnya dimana. Rupanya masih ada rintangan satu lagi, cowok ini. Akhirnya dengan bantuan cowok itu, gue berhasil masuk ke kamarnya axel. Sekarang gue harus cari bukunya, tapi jangan sampai buat cowok ini curiga sama gue.
“Emangnya lo mau cari apa?”
“Gue mau ngembaliin tasnya dia. Sama mau cari..”
“Cari apa? Charger? Jaket? Biasanya suka ketinggalan tuh barangnya. Gue tahu kok dimana dia nyimpennya. Ntar lo tinggalin aja kamarnya, biar gue yang urus.” Jawabnya. Sedari tadi matanya bergerak-gerak ke seluruh penjuru kamar, seakan-akan sedang mencari sesuatu yang lain.
“Gue.. gue lagi cari buku.” Balas gue sembari mencari buku itu di rak meja.
“Buku? Buku apa?”
“Hmm.. Bukunya warna biru. Dulu Axel gak sengaja ambil buku itu.”
“Lo yakin?” tanyanya. “Lo yakin buku itu ada?” tanyanya sembari membantu gue mencari buku itu di lemari.
“Maksud lo?”
“Lo pernah liat bukunya kayak gimana?”
“Gue belum pernah lihat sih. Tapi bukunya warna biru. Ukurannya sedikit lebih kecil dari buku tulis biasa.”
“Ada fotonya? Pernah lihat fotonya?”
“Hmm.. fotonya? Gak tau tuh. Gue gak pernah lihat.”
“Lo lucu juga ya.” Timpalnya sedikit tertawa. “Lo nyari barang yang belom pernah lo liat. Lo tau bentuk dan warnanya. Dan lo yakin banget kalau barang itu ada. Kok bisa yakin banget?”
“Soalnya barangnya.... ya memang ada.”
“Lo sampai susah payah datang dan nyari tengah malem kayak gini. Sampai jatuh pula. Kok lo mau-mau aja sih?”
“Soalnya bukunya penting.”
“Penting buat lo atau buat orang lain?”
“Buat yang punyalah.”
“Emangnya, selain lo ada yang pernah liat buku itu?”
“Ya pemiliknyalah. Pertanyaan lo aneh-aneh aja sih.” balas gue. Orang ini lucu juga.
“Kalau gitu kenapa lo yang ngambil bukunya? Kenapa gak pemiliknya aja?”
“Hmm.. Soalnya.. Soalnya dia..”
“Lo tau. Di dunia ini ada dua hal. Fakta dan Fiksi. Buku itu menurut lo fakta atau fiksi?”
“Hmm.. Maksudnya fiksi, buku novel gitu?” celetukku membuatnya tertawa lagi.
“Hahahaha.. Lo kocak banget sih. Maksud gue, bukunya itu apa mungkin cuma fiksi?”
“Maksud lo bukunya gak ada?”
“Ya mungkin aja kan? Pemiliknya-”
“Pemiliknya bohong sama gue?” tanya gue menekankan apa yang akan dikatakannya.
“Bukan gue yang ngomong ya. Itu kan cuma pendapat gue aja.” Dia berbalik dan kembali sibuk mencari-cari di bawah tempat tidur.
“Gak mungkin pemiliknya bohong sama gue.”
“Kalau gitu taruhan ya! Kalau bukunya ketemu berarti pemiliknya gak bohong. Tapi kalau bukunya gak ketemu berati pemiliknya bohong sama lo.” Ujarnya menyunggingkan senyum seakan-akan itu hanya lelucon baginya. “Ya udah, kita cari lagi.”
Sudah semua barang di kamar ini gue obrak-abrik tapi buku itu tidak juga ditemukan. Padahal setelah seminggu mencari informasi, gue yakin banget kalau dia bawa buku Diary Damar ke kosannya gak mungkin ke tempat lain. Gue udah minta bantuan salah satu kenalan Erick yang sekelas sama si rambut merah buat mikirin dimana kira-kira si rambut merah nyimpen buku itu. Dia juga udah gue minta tolong buat cari buku itu di sekitaran kampus. Tapi bukunya gak ada. Satu-satunya tempat yang belum gue cari cuma di kosannya dia.
Entah kenapa ucapan cowok ini mulai menyeruak masuk ke pikiran gue kalau mungkin aja buku itu emang gak ada. Yang artinya selama ini Damar bohong sama gue tentang buku itu. Semua hal yang dia ceritain ke gue, alasan dia nangis, penyakit yang dia derita, semuanya. Apa mungkin dia bohong sama gue. Tapi buat apa dia bohong? Gue gak percaya kalau dia bohong sama gue. Gue percaya. Gue percaya sepenuhnya sama dia. Tapi kalau gue gak bisa dapet bukunya kali ini, berarti gue gak bisa penuhin satu janji gue. Gue merasa bersalah karena semua orang bakal ngejauhin dia sekarang. Tapi gue punya dua janji lagi yang masih bisa gue tepatin ke dia.
“Berhenti aja. Bukunya gak ada.” Kata gue.
“Beneran gak mau cari lagi?”
“Udah gue obrak-abrik semua barang. Bukunya emang gak ada disini.”
“Taruhan gue? Hehe. Gue menang kan?” tanyanya cengengesan. Gue cuma mengangguk pelan.
“Makasih ya. Gue udah banyak ngerepotin lo.”
“Sama-sama.” Balasnya. “Oh iya. Gue Marcel.”
-end of flashback-
“Gue.. Gue kira lo marah sama gue dan gak mau buka pintu rumah lo.” Bisiknya lirih. Aku hanya diam membatu tak bergerak. Perasaan nyaman itu muncul dan lambat laun menjalar ke seluruh tubuhku layaknya sengatan listrik yang tanpa kau ketahui sudah merambat hingga mematikan tiap inchi sel-sel hidupmu.
“Maaf.” Lanjutnya lagi. Aku tidak mengerti apa maksudnya. Yang kutahu, kata-kata itu tulus keluar dari mulutnya.
“Damar?” ujar seseorang di belakang yang membuatku tersadar dan langsung melepaskan dekapan dari ia yang ada di depanku.
“Jo-Joy. Lepas. Lepasin.” Otot-otot di tangannya mulai melemas, melepaskan tubuhku perlahan.
Aku menghampiri bang Dirga dan menarik tangannya. “Nngh.. Bang dirga, ini Joy.”
“Joy? Kenalan lo?” tanyanya sambil melihat sekilas ke arahku kemudian berbalik kembali ke arah lelaki di hadapannya. “Gue Dirga. Salam kenal.”
“Joy. Gue balik dulu.” terangnya dengan muka tertunduk. Aku tak dapat melihat bagaimana ekspresinya saat itu. Namun ada nada marah dalam kata-katanya tadi. Dia lantas pergi ke arah motornya dan meninggalkan kami berdua disana.
“Kenapa?” potongku setengah berteriak. “Joy!!!”
“Cuma mau bilang itu. Itupun kalau tadi lo denger.”
“Kenapa? Kenapa sekarang jadi kamu yang marah?” aku berlari mengejarnya dan kuinjak sebelah kakinya membuatnya merintih kesakitan.
“Aauuu.. Lo kenapa sih?”
“Jangan bergerak!” perintahku. Kini aku kembali menghampiri bang Dirga dan memberi isyarat kepadanya bahwa sebaiknya ia segera pulang ke rumahnya. Untunglah ia mengerti maksudku untuk segera pergi meninggalkan kami berdua.
“Kok bisa tahu rumahku?” kualihkan perhatianku sekarang padanya yang sedari tadi cuma diam.
“Nanya ke temen-temen lo.”
“Oh.” Komentarku datar sambil membuka pagar. Joy mengikutiku dari belakang. Belum sempat ia membawa motornya masuk, pagarnya sudah kututup duluan.
“Wooiiii !!!! Gak nyuruh gue masuk?”
“Tadi katanya mau pulang?”
“Lo.. Lo gak bohong kan sama gue? Please, jangan bilang lo bohong sama gue.” gumamnya dengan suaranya sedikit bergetar.
“Maksudnya?”
“Penyakit lo. Semua yang lo kasih tau ke gue. Lo gak bohong kan?” dari nada bicaranya, kurasa ia benar-benar marah sekarang.
“……..”
“Lo bilang kalau mereka semua tahu penyakit lo, semuanya bakal ngejauhin lo. Dari sore gue sms dan telepon tapi gak pernah ada jawaban dari lo. Lo tahu, dari jam 7 sampai tengah malem kayak gini gue nungguin lo disini. Udah hampir 6 jam gue diem disini. Gue kira lo ada di rumah. Gue udah teriak-teriak kayak orang gila di depan rumah lo supaya lo mau keluar dan maafin gue!”
“……..”
“Gue udah janji bakal jadi satu-satunya orang yang gak bakal ngejauhin lo. Dan disini gue nungguin lo supaya lo tahu kalau masih ada gue di deket lo.”
“Aku- aku kira kamu percaya..” balasku tak percaya akan kata-kata yang sudah dilontarkannya tadi.
“Udah lo gak usah pura-pura tampang muka melas di depan gue. Busuk tau gak!”
“Joy, ka-kamu kenapa? Aku gak ngerti sama sekali.”
“Udah lo ngaku aja kalau lo bohong sama gue. Buktinya tadi siapa? Bang Dirga? Kakak tingkat yang lo ceritain kan? Toh dia masih mau deketin lo. Lo gak tau kan kalau gue ada disini sekarang? Untungnya gue kesini jadi semuanya kebongkar sama gue.”
“Ka- kamu gak ngerti.”
“Lo gak tau seminggu ini gue udah cari cara buat ngedapetin buku itu karena janji gue. Lo gak tahu kan kalau tiap hari gue nyari tahu informasi tentang cowok itu, gue bolos kuliah cuma buat ngikutin dia, gue rela ngorbanin sahabat gue sendiri, gue cari mati tau gak cuma buat nolongin lo. Semua janji itu ngeberatin gue kalau lo mau tahu.”
“Maaf. Aku gak tahu Joy. Maafin aku.”
“Percuma minta maaf sekarang. Dari awal harusnya gue gak mudah percaya sama anak kayak lo.”
“Aku gak pernah bohong sedikitpun sama kamu Joy. Aku.. aku gak perlu semua janji kamu Joy. Aku cuma perlu kamu percaya sama aku.”
“Heh.. Bisa kan sekarang lo berhenti pura-pura? Lo masih mau manfaatin gue?”
“Please.. stop Joy.. Jangan bicara lagi.” Aku takut. Aku takut dengan apa yang akan terjadi setelah ia katakan semuanya.
“Kalau gitu kasih tahu gue apa penyakit lo! Kalau bisa lo teriak disini biar sekalian lo bangunin tuh orang-orang biar semuanya tahu.” Tak mungkin. Aku tidak mungkin melakukan apa permintaannya. Aku..
“Kenapa hah? Lo gak bisa? Lo gak bisa bilang apa penyakit lo?”
“Aku udah bilang berkali-kali Joy. Aku bakal bilang sama kamu. Tapi bukan kayak gini.”
“Bullshit !!! Penyakit itu emang gak ada kan? Gue gak percaya sama lo.” Dia kemudian berbalik dan melangkah menuju ke arah motornya.
“STOP JOY !!! Aku.. Selama ini aku percaya sama kamu. Sejak pertama kali ketemu, aku tahu kamu orang yang baik. Ayahku bilang mata seseorang menyiratkan isi hatinya. Dan itu yang aku liat, mata kamu gak pernah berbohong karena itu aku percaya sama kamu. Aku percaya sepenuhnya sama kamu.” Kali ini air mataku mulai menutupi pandanganku menjadi buram.
“Kamu.. Kamu gak pernah tahu kan susahnya aku buat cerita semua itu. Selama ini aku sendirian. Cerita itu aku simpan sendirian. Aku gak pernah mau cerita karena orang-orang cuma bakal nyakitin aku lagi. Aku gak pernah cerita sama siapapun selain kamu. Aku kira kamu percaya sama aku, Joy.. Aku cuma mau kamu percaya. Cuma itu..”
“……..”
“Buku itu.. Bang Dirga kasih buku itu tadi.”
Sekarang dia benar-benar pergi. Kurasa kita tidak akan berbicara lagi untuk waktu yang lama.
*****
Sudah dua minggu ini aku banyak menghabiskan waktu dengan bang Dirga. Dia mengenalkanku dengan om Rio, pamannya yang baru saja mendirikan sebuah restauran di jalan Soekarno Hatta. Restauran barunya itu sering menampilkan sebuah live performance entah itu band kecil atau hanya permainan instrumen-instrumen ringan. Dan disitulah bang Dirga mengajakku. Dia mengajakku bermain untuk menambah uang jajan katanya. Aku tidak bermain sendiri. Dia memainkan gitar akustiknya sementara aku akan duduk memainkan piano di sebelahnya. Sejak kecil aku memang sudah bermain piano sehingga kurasa permainanku tidak begitu buruk untuk dipertontonkan.
“Nanti malam mau main lagu apa?” tanyaku.
“Apa aja. Asal jangan main piano klasik. Gue gak bisa ngiringinnya.”
“Gak ada ide.”
“Aransemen instrumen lagu yang udah terkenal aja.” Balasnya serius sambil terus memegang setir.
“Gak bisa mikir.” Balasku lagi sambil memajukan kepalaku dari belakang ke antara dua kursi depan untuk melihatnya lebih dekat.
“Iiiih.. lo tuh ya” sahutnya gemas sambil mengacak-ngacak rambutku.
“Jadi harus dibenerin lagi kan!” ucapku sedikit kesal.
“Ya udah sini, gue benerin rambutnya.” Dia kembali menata rambutku dengan satu tangannya, yang lainnya tetap memegang setir. “Gue pilihin lagunya ya dari radio. Yang ini gimana?” ucapnya sambil memutar-mutar tombol hitam, memilih stasiun radio yang ingin didengarnya.
Aku tak percaya lagi
Dengan apa yang kau beri
Aku terdampar disini
Tersudut menunggu mati
Aku tak percaya lagi
Akan guna matahari
Yang dulu mampu terangi
Sudut gelap hati ini
“Enggak. Enggak. Yang lain ada?”
“Kalau yang ini?”
Hadirmu hanya sekilas dihidupku
Namun meninggalkan luka tak terhapus oleh waktu
Tertawa hanya tuk tenangkan jiwa
Namun yang kurasa hampa semua hilang tak tersisa
Bayangkan rasakan bila semua berbalik kepadamu
Bayangkan rasakan bila kelak kau yang jadi diriku
“Jangan lagu Indonesia. Barat aja.”
“Bentar dicari dulu.. Mmmhh.. yang ini?”
I may have made it rain
Please forgive me
My weakness caused you pain
And this song's my sorry
“Gak suka.”
“Oke, yang ini deh.”
But you didn't have to cut me off
Make out like it never happened and that we were nothing
And I don't even need your love
But you treat me like a stranger and that feels so rough
No you didn't have to stoop so low
Have your friends collect your records and then change your number
I guess that I don't need that though
Now you're just somebody that I used to know
“Gak- ”
“Ssssttt.. Sekali lagi bilang enggak awas yah!” ancamnya sambil menutup mulutku. “Ini yang terakhir. Gak boleh ganti, gak boleh protes!”
However far away I will always love you
However long I stay I will always love you
Whatever words I say I will always love you
I will always love you
“Terserah bang Dirga!” jawabku ketus.
Lagu-lagu itu entah kenapa mengingatkanku kembali akan Joy. Sejak malam itu aku tidak pernah berbicara atau bertemu dengannya walaupun hanya berpapasan sekilas di kampus, tidak pernah sama sekali. Dia benar-benar menghindariku. Aku marah padanya. Aku kira selama ini aku bisa walau sedikit bergantung pada satu orang saja, membagi sedikit rasa sakit yang kualami. Aku pikir dia mempercayai apa yang kukatakan. Mungkin baginya cerita itu hanya bualan kosong. Dan aku si pembual itu benar-benar bodoh bisa percaya padanya.
Tapi disisi lain aku benci hal itu. Aku tidak ingin seperti ini. Jika dia minta maaf sekali saja, tidak, maksudku jika dia memanggilku sekali saja, kurasa aku bisa mempertimbangkan untuk kembali berteman dengannya seperti dulu. “Kenapa hah? Lo gak bisa? Lo gak bisa bilang apa penyakit lo? Bullshit !!! Penyakit itu emang gak ada kan? Gue gak percaya sama lo.” Kata-katanya itu terlintas kembali di ingatanku. Bagaimana mungkin aku mengatakan kalau aku berbeda dihadapannya, apalagi berteriak keras mengatakannya. Aku ingin ia bisa mengerti perasaanku walau sedikit saja. Tapi kurasa ia benar. Aku berbohong. Aku berbohong kepadanya karena aku tak pernah mengatakan yang sebenarnya. Aku hanya tak cukup berani mengulang semua kejadian yang dulu pernah terjadi.
Hpku bergetar. Ada pesan dari Erick.
Erick : Damaaaaar ♥
Aku : iya?
Erick : Lo lagi itu ya?
Aku : itu apa?
Erick : Lo lagi berantem ya sama Joddy?
Erick : Lo diapain sama dia? Maafin dia yah? Dia mah gitu orangnyaaa~
Aku : Gak apa-apa kok.
Erick : Tuh kan. Dia emang gak berperasaan orangnya, tidak berkeprimanusiaan, suka jutek, playboy, tukang berantem, kasar, mulutnya pedes, suka jitak kepala, jahanam.. Jangan sampai lo percaya sama omongannya. Percaya aja sama Allah. Kalau percaya sama dia ntar lo musyrik. Pokoknya kalau lo mau balas dendam, ajakin gue ya. Gue juga gak sabar pengen bales dia.
Aku : Aku gak bisa. Dia gak mau ketemu.
Erick : Yakin lo? Besok malem lo ikut gue yah.
Aku : kemana?
Erick : Tempat tongkrongan gue bareng anak-anak. Joddy juga ntar bakal kesana.
Aku : Gak usah.
Erick : Jahaaat =( Gue gak ada temen, masa lo nyuruh gue pergi sendiri?
Aku : Dia marah. Aku juga marah.
Erick : Pokoknya ntar besok lo ke kampus aja. Ntar dari sana lo ikut gue. Eh, si Joddy manggil gue tuh. Udah dulu yah..
Ternyata Joy ada bareng Erick. Enak rasanya kalau sekarang aku jadi Erick. Dia bisa terus ada di deket Joy. Beda sama aku yang dijauhin sama dia padahal dia pernah janji kalau dia gak akan ngejauhin aku. Mungkin janji itu memang memberatkan buat dia. Dia udah ngelakuin semuanya, aku gak pernah bisa membalas apa yang dia pernah lakukan. Aku kembali menatap kaca jendela, melihat indahnya kota Bandung di malam hari sambil menghela nafas panjang.
*****
@hendra_bastian oh, jadi sukanya yg macho, berani, mengayomi ya.. catat catat.. hehe
@Clorofil jadi melting gini deh.. ♥
@abong sudaaah
@sully_on sudah jg
pas gw baca lg, part ini ancur bgt ternyata. hiks
Bete!
Serius
Bete!
Serius
#plakkreaderkurangdiuntung#
Wajar sih kalo joy kek gitu,,,dia udah berusaha keras buat cari buku,,,,eh malah liat damar sama orang yang ngambil bukunya *walopun salah paham sih*
harusnya dia kasih tau joy tentang penyakitnya..
Oh ya yg ini maksudnya (“Gue udah janji bakal jadi satu-satunya orang yang bakal ngejauhin lo. Dan disini gue nungguin lo supaya lo tahu kalau masih ada gue di deket lo.”)
'yang nggak bakal ngejauhin lo' ato yang bakal ngejauhin lo'..???