BoyzForum! BoyzForum! - forum gay Indonesia www.boyzforum.com

Howdy, Stranger!

It looks like you're new here. If you want to get involved, click one of these buttons!

Selamat datang di situs Boyzforum yang diarsipkan oleh Queer Indonesia Archive. Forum untuk komunitas gay Indonesia yang populer ini didirikan pada tahun 2003, dan ditutup pada tanggal 15 Desember 2020.

Forum ini diabadikan untuk kepentingan sejarah. Tidak akan ada konten baru di forum ini. Silakan menikmati forum ini sebagai potongan dari sejarah queer Indonesia.

Help Me Once More

1246710

Comments

  • Ternyata ayahnya yg meninggal.
    Kasihan damar...
  • Ternyata ayahnya yg meninggal.
    Kasihan damar...
  • Ju2r tmbah keren ni,oh trnyata sprti itu yah,kashan damar...
  • Kasian sekali..puk puk damar...
    Apa yang akan di lakukan joy nanti terhadap buku itu? Apa dia akan bantu damar ngambilinnya?
  • Idih komen sampe double2 gt , genggeus
  • mencintai kakaknya dan ayahnya meninggal ... kasihan Damar ...
  • Duh dek kapan di update
  • @Clorofil gapapa banyak juga bang. Daripada sepi gak dikomenin. hiks.. dipost dibawah tuh lanjutannya. mulai sibuk kuliah nih ane. hehe
    @JimaeVian_Fujo iya sedih ya. #nangisdipojokan.
    @hendra_bastian kasihan kasihan kasihan.. #upinmodeon
    @Agova makasih bang. hehe
    @akina_kenji jawabannya sudah ada di bawah ya..
    @lulu_75 doakan saja semoga tsnya baik. gak bikin damar nangis lagi. hehe
    @Adiie siap 86!
  • edited August 2015
    @lulu_75 @JimaeVian_Fujo @Agova @pokemon @pramahadi @Sho_Lee @Clorofil @hendra_bastian @Adiee @akina_kenji


    -5-

    1. Gue janji gue akan jadi satu-satunya orang yang gak bakal ngejauhin dia dengan penyakit apapun yang menimpanya
    2. Gue janji kalau gue bakal bantu dia
    3. Janji terakhir gue, gue akan berusaha apapun caranya untuk mencegah supaya hal buruk itu tidak terjadi. Penyakit itu, gue pastikan tidak akan ada seorang pun yang tahu

    “AAAaaarrgh..!!! GILA! GILA! JODDY, LO UDAH GILAAA!!” kepala gue rasanya mau pecah kalau ingat kejadian waktu itu. Emang ini mulut masih sinting aja meskipun gak ada otaknya. Otak di kepala juga kadang kagak kepake kalau mulut gue udah ambil kendali. Dari dulu hobi gue emang obral janji sana sini. Bagi gue urusan janji itu perkara cetek, tapi masalah bakal gue tepatin atau enggak, udah beda lagi urusannya. Dari semua janji yang pernah gue obral seumur hidup gue, yang pernah gue tepatin mungkin dibawah 5%. Hal itu juga yang menyebabkan gue diputusin sana-sini. Selama gue pacaran, jujur gue belum pernah sekali pun mutusin cewek. Yang ada semua cewek yang mutusin gue gara-gara gue gak konsistenlah, tidak berprinsip, tidak berkomitmen, tidak ada integritas, yang pada intinya mah gue ngomong kemana, kelakuan kemana.

    Tapi kali ini beda. Ini menyangkut hidup matinya seseorang. Penyakitnya Damar bisa ketahuan kalau gue tidak segera ambil tindakan. Gue sendiri belum tahu apa penyakit yang ia derita karena sampai sekarang dia belum mau cerita sama gue. Penyakit apa ya yang sekiranya bisa membuat orang-orang ngejauhin dia. Hmmm.. Penyakit kulit? Kayaknya gak mungkin, dia kulitnya mulus gitu waktu gue liat dia ganti baju semalam. Penyakit mental? Meskipun dia mirip alien tapi masih dalam batas waras. Kepribadian ganda juga kayaknya dia gak punya. Penyakit menular? Bener juga. Jangan-jangan penyakit menular lagi. Tapi kalau penyakit menular, dia gak mungkin sejahat itu bikin orang-orang tertular. Sumpah gue panasaran!

    Dan kegilaan ini belum selesai sampai disitu. Satu-satunya cara supaya gak ada yang tahu tentang penyakit Damar ya cuma satu, gue harus mengobarkan diri untuk ngerebut buku Diarynya tanpa ketahuan siapapun. Karena kalau gue sampai ketahuan bukan cuma hidup gue atau Damar yang terancam, tapi ini akan melibatkan dua jurusan, hingga satu kampus bisa terlibat. Efek domino yang benar-benar mengagumkan hanya dari sebuah buku Diary.

    Dalam kondisi genting seperti ini, Damar sama sekali tidak bisa diharapkan. Dia benar-benar dalam kondisi down. Dan kondisi gue saat ini asxfrwbfhwjfjbfw.. such an unstable state. Damar cuma kasih informasi tentang buku Diarynya. Karena waktu itu ia terlambat, ia dihukum dan ranselnya diperiksa. Sehingga buku itu yang tidak termasuk ke dalam barang yang seharusnya dibawa jadi disita oleh kakak tingkatnya. Dan kabar buruknya, biasanya barang-barang yang disita akan diminta pertanggungjawabannya di ospek selanjutnya. Damar yakin kalau di ospek malam Sabtu depan, kakak tingkatnya akan membaca buku Diary itu di depan semua orang.

    Berarti waktu gue untuk bisa ambil buku itu cuma sampai Jum’at siang besok. Sudah beberapa hari ini gue mencari-cari informasi tentang kakak berambut merah yang waktu itu ngambil buku Diarynya. Semua informasinya tentang dia udah gue dapetin mulai dari tanya-tanya orang dan temennya sampai gue mata-matain keseharian dia. Tapi usaha gue stak sampai disini karena untuk langkah selanjutnya, gue gak mungkin bisa kerja sendiri lagi. Gue harus minta bantuan partner in crime gue, si Erick. Tapi gue harus tetap berhati-hati agar hal-hal tentang buku Diary itu tidak sampai ketahuan sama siapapun termasuk Erick.

    Dan sekarang disinilah gue menghabiskan waktu berdua dengannya. Sudah hampir setengah jam, gue sama Erick menunggu di seberang gerbang kampus belakang. Namun target yang gue tunggu masih belum terlihat juga batang hidungnya.

    “Jod, sebenernya kita mau ngapain sih?”

    “Udah lo tunggu aja. Pokoknya elu tinggal ngikutin apa kata gue.”

    “Takut nih gue. Sekarang kan malem Jum’at Jod. Balik yuk! Lo sebenernya lagi nungguin apa sih?”

    “Nungguin susanna lewat. Puas ente.”

    “Lo gak lagi uji nyali kan bro? Sumpah gue angkat tangan kalau lo ngajakin gue uji nyali-uji nyalian lagi. Kapok gue.”

    “Heh. Ente nyerocos mulu. Gue datengin dah ntu setan kesini.” Sosor gue.

    Akhirnya si Erick berhenti nyerocos juga. Kalau enggak udah gue sumpel tuh mulut pake kembang tujuh rupa. Dari kejauhan, sesosok pria berambut merah mulai terlihat sedang menenteng tas dan helmnya. Kelihatannya ia akan segera menuju ke parkiran belakang. Nah, sekarang waktunya gue beraksi.

    “Mundur rick!” perintah gue.

    “Siap bos!” jawabnya tegas. Pantatnya Erick sekarang malah nungging-nungging gak jelas sambil nubruk-nubruk itunya gue.

    “Anjrit! Ente ngapain, sarap!” kata gue sambil jitak tuh helm di depan mata.

    “Jiah. Lo bilang mundur ya gua mundur. Napa lo malah jitak kepala gua?” Erangnya kesakitan.

    “Maksud gua mundurin motornya. Bukan pantat elu!”
    Sekarang posisi kita agak menjauh dari gerbang belakang supaya tidak terlihat oleh target incaran gue. Tak lama, sebuah motor terlihat keluar dari gerbang belakang dengan kecepatan standar.

    “Rick! Sekarang keahlian ngebut lo bakal menentukan hidup matinya kita berdua. Lo kejar tuh motor depan kagak pake mulut!” kata gue.

    Erick mulai menyalakan motornya dan melaju dengan kecepatan tinggi. Motor di depan sepertinya belum sadar akan kehadiran kita berdua. Namun lama kelamaan, kecepatan motor target mulai meningkat. Gawat! Rupanya target mulai sadar akan keberadaan kita berdua.

    “Rick, lebih cepet lagi !” teriak gue.

    Erick pun meningkatkan kecepatannya dan kita melaju semakin cepat. Melihat jarak yang semakin dekat melalui kaca spion, target mulai ketakutan.

    “Begaal! Begaaaal!” teriak target ketakutan.

    Emang kampret dasar. Gue sama Erick malah dikira begal. Di sepanjang jalan belakang kampus ini kalau malam memang terkenal gelap dan angkernya. Dan daerah ini juga terkenal tempat mangkal begal melancarkan aksinya. Bisa kacau nih kalau rencana gue sampai gagal. Padahal tadinya gue gak mau pake rencana b. Tapi apa boleh buat, target sudah bertindak di luar kendali. Gue harus berani ambil resiko.

    “Jod. Ada begal Jod!” Erick malah ikut-ikutan panik.

    “Toloooong! Begaaal! Begaaaaal!” Rupanya target ini minta ditimpuk.

    “Jod, gue belum mau mati!” Erick mulai gemetaran. Mental Erick dan target rupanya ada di level yang sama.

    “Makanya buruan. Noh, lo susul motor depan!” balas gue.

    Keahlian Erick gue acungi jempol. Tak lama motor itu berhasil kita salip. Sepertinya Erick masih belum ngerti apa rencana gue. Akhirnya dari kursi belakang, gue ambil alih kendali motornya. Gue majukan badan gue ke arah depan menempel punggung Erick, begitupun kepala gue, gue senderkan ke bahunya sebelah kiri. Erick emang kalah tinggi beberapa cm sama gue. Gue pegang tangannya Erick untung mengambil alih stang motornya dan gue belokkan, memblokir jalan target gue. Dari posisi ini entah kenapa gue bisa ngerasain jantungnya dia yang berdegup semakin lama semakin kencang. Penakut banget ini anak. Tapi gue salut sama dia, sebagai sahabat dia benar-benar bisa diandalkan. Thanks ya Rick..

    “Berhenti !” perintah gue kepada target. “Turun lo !”

    “Ampun bang! Viking! Hidup Persib! Persib nu Aing!” teriaknya sambil ketakutan. Gue pernah dapet beberapa postingan mengenai begal yang ada disini. Di salah satu postingannya ada beberapa tips menangani begal salah satunya lo harus ngaku Viking sejati supaya lo dibebasin sama tuh begal.

    “Sekarang serahin tas lo!” teriak gue.

    “I-ini A!” ucapnya ketakutan. Gue kira dia bakal melawan. Ternyata dia pasrah juga orangnya.

    “Ada barang berharga?”

    “A-ada laptop saya A!”

    “Nih, ambil laptopnya!”

    “Ma-makasih A! Beneran A ini laptopnya buat saya?”

    “Seterah lu. Gue pinjem dulu tas lo! Entar gue balikin!”

    Target akhirnya pergi meninggalkan TKP. Gue cek isi tasnya. Sayang buku diary milik Damar tidak ada disana. Tapi memang bukan itu yang gue cari. Di dalam tasnya, terdapat beberapa kunci. Ya. Dengan kunci-kunci ini, gue akan rebut lagi buku Diary nya. Namun sepertinya gue melupakan sesuatu. Suasana saat itu saat hening. Padahal ada dia.. Ya, dia.. Erick.

    “Rick, lo gak apa-apa?” tanya gue. Dia cuma geleng-geleng kepala.

    “Lo gak mau tanya kenapa gue ambil tasnya?” tanya gue lagi.

    “Lo marah sama gue? Ini bukan tindak kriminal bro. Gue cuma pinjem tasnya bentar. Entar juga gue balikin. Lo ngerti?”

    “Gue.. Gue percaya ama lo Jod. Asalkan sama elu, gue.. kemanapun lo pergi gue bakal ikut lo.” Jawabnya aneh.


    *****

  • “Mar, untuk kali ini gue mohon sama lo, jangan datang kesana! Gue mohon banget sama lo! Nanti gue bakal jelasin semuanya ke lo.”

    Itu sms terakhir yang dikirim Joy tadi siang kepadaku. Sudah kubaca pesan itu untuk yang kesekian kalinya. Namun kata-katanya itu tak mengurungkan niatku untuk datang sore ini. Dia sudah berjanji kepadaku dan aku percaya kepadanya. Entah apa yang akan terjadi yang jelas aku percaya kata-katanya bahwa apapun yang terjadi aku harus membernikan diri bahwa papaun itu semuanya akan segera terjadi, tak lama lagi. Dan aku lebih percaya pada Joy dibandingkan aku percaya pada diriku sendiri yang sekarang sedang ketakutan.

    Sore itu, aku datang. Namun tidak ada yang terjadi. TIdak ada sedikitpun hal aneh yang terjadi. Semuanya terasa normal layaknya hidupku di detik-detik yang sebelumnya. Tidak ada seorang pun yang membahas buku Diary itu, seakan-akan buku itu lenyap tak berjejak. Aku penasaran, apakah ini ada hubungannya dengan sesuatu yang Joy lakukan. Tapi isi smsnya sama sekali tidak menyiratkan tentang hal itu. Lantas bukunya ada dima-

    “Damar. Damar. Hei. Lo gak apa-apa kan?” suaranya memecahj lamunanku.

    “Aah. Aah iya bang? Kenapa?”

    “Lo ini ya. Daritadi gue tanya, lo udah makan?” tanyanya sedikit terkekeh. “Emang lo lagi ada masalah? Atau lagi mikirin seseorang?” godanya yang hanya kubalas dengan gelengan seadanya.

    “Nah. Itu maksudnya belum makan, gak ada masalah, atau gak lagi mikirin siapa-siapa?” lanjutnya lagi sambil menghitung apa yang diucapkannya tadi dengan jarinya yang masih ada di kemudi.

    “Maksudnya gak lagi mikirin apa-apa. Tadi udah makan kok.”

    “Ngomong-ngomong kok lo gak mau duduk di depan? Jadi gak enak nih sendiri di depan.”

    “Aku gak suka duduk di depan.”

    Ssreeeeeeekkkk….

    Bang Dirga membanting setirnya dan berhenti di samping jalan membuat badanku terseret ke arah berlawanan, menabrak kaca jendela.

    “Lo.. Lo gak benci sama gue kan?” tanyanya sambil menengok ke kursi belakang.

    “Kenapa?”

    “Maksudnya?”

    “Bang Dirga mau aku benci sama abang? Kenapa aku harus benci sama bang Dirga?” pertanyaanku membungkamnya diam. Lantas ia membuka pintu dan keluar dari mobil. “Bang Dirga mau pergi kemana?” ucapku dalam hati seraya membuka pintu di sampingku. Belum sempat pintu itu terbuka, pintu yang lainnya sudah terbuka lebih dulu dan bang Dirga kini duduk di sebelahku.

    “Sebenarnya ada yang mau gue kasih buat lo.” Dia mulai mengambil sesuatu di balik kursi belakang. Apa mungkin buku Diarynya ada di Bang Dirga? Ya, mungkin saja.

    “Besok lo ada acara?” tanyanya sambil menyembunyikan benda itu di belakangnya.

    “Enggak ada.”

    “Di rumah ada siapa?”

    “Gak ada siapa-siapa. Ibu pergi ke pernikahan sodara di luar kota. Pulangnya besok siang mungkin.”

    “Jadi, kalau sekarang pulang agak malem gak apa-apa kan? Gak akan ada yang marah kan?” lanjutnya dengan sumringah. “Lo temenin gue ya malem ini. Please..”

    Tanpa menunggu jawaban dariku, bang Dirga kembali menuju ke kursi depan dan mulai memutar balik, mengambil arah yang berlawanan dengan arah menuju ke rumah kami berdua. Di sepanjang perjalanan, bang Dirga bersenandung kecil. Ia tampak bersemangat dan tak sabar untuk segera sampai ke sana. Entah kemana kami akan pergi yang jelas tempat itu adalah tempat benar-benar dinantikannya.

    Perjalanan kami rupanya terhambat oleh jalanan yang macet. Kami melewati daerah gasibu dan tampaknya sebuah acara musik sedang digelar disana. Suara nyaring dan dentuman drum dapat terdengar jelas walau dari kejauhan. Sebuah panggung besar berdiri disana dengan lautan manusia yang bergerombol mengerumunginya. Pemandangan itu kini menyorot perhatianku yang belum pernah menyaksikan kerumunan massa sebanyak itu. Hal itu membuatku tak sadar bahwa bang Dirga sudah memberhentikan mobilnya sedari tadi.

    “Berhenti disini?” tanyaku heran. “Mobilnya bang Dirga rusak ya? Bannya bocor?”

    Dan disana ia menunjukkan dua buah kertas yang tadi di sembunyikannya ke depan mataku.

    “Mobilnya gak kenapa-kenapa. Temenin nonton konser ya? Pleaseeeee…” rayunya dengan ekspresi wajah yang lucu, puppy eyes yang menggemaskan. “Mau ya? Sekali ini aja.”

    “Bang Dirga gak ngajak yang lain?”

    “Tadinya ini tiket punya temen, cuma dia batal nonton. Katanya takut ada begal kalau keluar malem.”

    “Aku belum pernah nonton konser. Apalagi yang seramai itu bang.”

    “Tangan!” pintanya. Aku mengulurkan tanganku yang dibalasnya dengan sebuah genggaman yang terasa hangat. “Udah tenang aja. Tipsnya cuma satu. Tangannya jangan sampai lepas yah!” ujarnya sambil mengenggam tanganku erat dan mengajakku keluar dari mobil.

    Aku berjalan semakin cepat kemudian berlari mengikuti gerak langkahnya. Bang Dirga berjalan atau mungkin berlari terlalu cepat menuju ke gerbang masuk konser tersebut. Gerbang masuk konser itu hanya dibentuk dari pagar besi hitam yang dijajarkan dan dipasang berderet, sama sekali tak terlihat kokoh namun setidaknya dapat mencegah orang asing masuk ke dalam. Di luar gerbang ini banyak berdiri orang-orang yang sengaja ingini menonton konser tersebut secara gratis karena panggungnya dapat terlihat dari sini walau tak sejelas dari dalam.

    Bang Dirga terlihat sangat antusias sementara aku disini hanya memikirkan bagaimana caranya agar tanganku tak terlepas dari genggamannya karena untuk saat ini aku tak ingin kehilangan ia di tengah kerumunan yang penuh sesak ini.
    Sekarang kami berada di barisan belakang penonton. Tapi bang Dirga terus menarik tanganku menerobos masuk diantara kerumunan penonton menuju ke barisan paling depan. Suara penyanyi, drum serta gitar listrik seakan-akan berlomba menjadi yang terkencang. Jangan kira konser yang kita tonton ini adalah konser musik jazz, indie, atau pop. Musik rock menjadi pilihan yang tak terlalu buruk untuk meramaikan lapangan Gasibu malam itu.

    “Damar, tangannya jangan sampai lepas yah!”

    “Iya. Bang Dirga sering nonton konser? Suka music rock?”

    “Ya, lumayan sering nonton. Dan suka music rock juga. Kalau sekarang gak kuliah mungkin gue udah main di depan sana.” Balasnya dengan agak berteriak karena suaranya tertutup dengan suara musik di depan sana.

    Konser itu berlangsung cukup lama. Ketika hampir tengah malam, barulah konser itu selesai dan penonton mulai sibuk meninggalkan lapangan kecuali kami yang tengah berdiam diri melawan arus manusia yang beranjak pergi. Bang Dirga malah menarikku tanganku semakin mendekati panggung yang kosong. Di depan panggung, ia meninggalkanku dan naik ke atas panggung sambil mengambil gitar yang tergeletak disana.

    “Mas, pinjam gitarnya sebentar!” pintanya pada seorang lelaki yang tengah membereskan panggung. Bang Dirga mulai memetik gitar akustik tersebut dan memainkan sebuah instrumen musik yang lembut. Permainannya terdengar dari sound system yang masih menyala, membuat orang-orang menengok kembali ke arah panggung. Permainan gitarnya mengingatkanku akan sosok kak Marcel yang dulu sering memainkan gitarnya. Namun yang ini berbeda. Musiknya terdengar lembut dan menyenangkan, tak terasa menyakitkan seperti yang kudengar dulu.

    Dari atas panggung, bang Dirga setengah berteriak ke arahku. “Sebenarnya gue mau minta maaf sama lo, mar. Gue gak tahu kalau dalam hati lo mugkin lo benci gue dan teman-teman gue yang lain. Ya, mereka terkadang suka berlebihan tapi mereka temen yang baik buat gue. Dan gue berdiri disini cuma mau ngembaliin buku lo.” Dia melemparkan sebuah buku yang berhasil kutangkap. Buku diarynya ada di tanganku sekarang.

    “Kalau lo suka cowok, pasti sekarang lo udah gue pacarin.” Celetuknya yang tidak aku mengerti. “Kalau suatu saat gue punya dua tiket konser, lo masih mau nemenin kan?” aku hanya mengangguk mengiyakan.

    Kami berdua kembali masuk ke mobil dan pulang ke rumah. Sepanjang perjalanan aku tertidur pulas dan terbangun ketika bang Dirga menepuk bahuku pelan dari kursi depan. Tak terasa rupanya kami sudah sampai di rumahku. Begitu aku keluar dari mobil, tampak sebuah motor besar berwarna merah dan seseorang yang diam berjongkok di depan pagar. Saat mata kami bertemu, ia sontak lari ke arahku dan mendekapku dengan sangat erat. Kedua tangannya dilingkarkannya ke punggungku membuatku tak bisa bergerak. Dapat kurasakan nafasnya yang terengah-engah di telingaku dan bibirnya yang bergerak perlahan menyentuh leherku.

    “Gue.. Gue kira lo marah sama gue dan gak mau buka pintu rumah lo.” Bisiknya lirih.

    Entah kenapa suara dan dekapannya itu memacu jantungku berdetak lebih cepat, semakin lama semakin cepat.


    *****


    minta komen dan sarannya ya..
    Kecup basah,
    TS =*

    wkwkwk
  • Apa itu jody...
  • siapa itu yang meluk damar ? smoga itu jody hehe tp tp adegan 'begal' nya suka bgt haha
  • @Agova @JimaeVian_Fujo sebenernya itu udah w kasih petunjuk itu siapa. cuma kelamaan post cerita kali ya.. wkwkwk
  • Asli ngakak saat baca bagian jody sama erick dan si rambut merah :lol:
    Hmm sepertinya itu jody ya...yang merasa bersalah ga berhasil ngambil bukunya...
    Dirga suka damar ya...
Sign In or Register to comment.