It looks like you're new here. If you want to get involved, click one of these buttons!
Copyright 2021 Queer Indonesia Archive. See our Privacy Policy. Contact us at [email protected]
Dengan menggunakan situs ini berarti Anda setuju dengan Aturan Pakai.
BoyzForum.com adalah situs anti pedofilia!
Comments
@Agova damarnya lagi gw culik dulu. hehe
@JimaeVian_Fujo banyak jg fansnya damar. wkwk
@Clorofil makasih dah mampir. udah jadi sih tinggal diupload. tapi lg males buka laptop. hehe. ntar ya malem.. #eh
Yang gak mau dimensen bilang ya.
-3-
Besok pagi, gue dan beberapa anak basket sudah berdiri di lapangan menunggu anak-anak baru yang datang. Mereka lalu mengisi absen yang sudah diedarkan. Ada beberapa anak tingkat 2 yang baru mendaftar namun jumlahnya tidak seberapa dibandingkan dengan jumlah anak tingkat 1. Gue mencoba mencari Damar diantara mereka semua, namun batang hidungnya tidak terlihat juga padahal sudah setengah jam lebih dari waktu yang ditentukan.
Tiba-tiba terdengar deru langkah kaki yang semakin keras.
“Ma-Maaf terlambat.” katanya sambil mengatur nafasnya yang masih terengah-engah. Keringatnya bercucuran membasahi sebagian rambutnya. Di punggungnya terjinjing tas yang besarnya melebihi ukuran tubuhnya, yang seolah-olah akan meledak dalam hitungan menit.
“Karena masih hari pertama, jadi masih bisa dimaafkan.” Kata gue sedikit canggung. Hari ini memang jadwal gue menjadi pembimbing anak baru. “Yang belum pakai baju olahraga atau baju basket, gue kasih 10 menit untuk ganti pakaian. Setelah itu kita lanjut pemanasan.”
Setelah 10 menit, beberapa anak tampak berlarian kembali ke lapangan.
“Sekarang kalian akan lari bolak-balik ke ujung lapangan. Tolong bagi ke dalam 4 banjar. Banjar pertama lari terlebih dahulu dilanjut banjar berikutnya. Jangan berhenti sebelum gue suruh berhenti.” perintah gue tegas.
Mereka pun berbaris ke dalam beberapa banjar dan mulai berlari. Perlahan gue hampiri damar yang ada di barisan belakang banjar terakhir. Gue sedikit khawatir sama kondisinya. Apalagi kemarin Erick sms gue kalau dia pingsan waktu ospek. Gue senggol dia pelan supaya dia lihat ke arah gue.
“Kamu kuat lari kan?” bisik gue, gak mau anak-anak lain mikir kalau gue pilih kasih.
Dia hanya mengangguk perlahan dan kembali mengalihkan pandangannya ke tengah lapangan, menunggu gilirannya berlari. Bila dilihat dari sorot matanya, badannya yang kecil ini terlihat tangguh. Namun di mata gue dia Cuma bocah yang sedang memaksakan diri dan bertindak sok kuat di depan orang lain.
“Ya. Berhenti !” teriak gue setelah mereka lari beberapa balikan. “Untuk hari ini, kita gak akan latihan teknik. Kita mau mengamati kemampuan dasar kalian dulu dalam permainan. Masing-masing banjar tadi sekarang jadi 1 kelompok. Mainnya bergilir, kelompok 1 lawan kelompok 2 dilanjutkan kelompok 3 lawan kelompok 4.”
Gue pun duduk di tangga bareng temen basket gue yang lain sambil mengamati permainan mereka. Ada beberapa anak yang udah jago mainnya tapi ada juga yang kelihatannya masih pemula. Kelompok 2 akhirnya memenangkan permainan. Berarti sekarang giliran Damar main di lapangan. Gue cukup penasaran sama kemampuannya. Bisa jadi di balik tubuhnya yang kecil, ia ternyata seorang jenius basket layaknya tokoh di kartun atau film. Tapi kelihatannya ia belum pernah main basket sebelumnya. Bahkan dari caranya memegang bola, tampaknya ini baru yang pertama. Dan benar saja. Gue sekarang benar-benar yakin kalau dia belum pernah main basket. Bahkan aturannya pun sepertinya dia tidak tahu. Entah apa yang membuatnya nekat mencoba bermain basket. Permainan pun akhirnya dilanjutkan sampai hampir tengah hari.
Anak-anak sudah meninggalkan lapangan sedari tadi. Namun Damar masih duduk di tangga dengan tas ranselnya yang besar sendirian.
“Gak pulang?” tanya gue.
Dia mendongakkan kepalanya ke arah gue dan menggelengkan kepalanya. Dia kembali menatap ke tengah lapangan dengan pandangan kosong. Entah kenapa rasanya ia lagi menghindari gue.
“Lo gak kenapa-kenapa kan?” tanya gue lagi.
“Aku Damar.” Balasnya aneh.
“Hah? Iya iyalah gue tahu. Lu lagi bercanda?” Ini anak ling-lung apa gimana sih. ”Nih, gue Joy. Mau kenalan lagi?” sambung gue ketus sambil duduk di sebelahnya.
“Aku kira kamu lupa.” Katanya senyum-senyum sambil menyerongkan posisi duduknya menghadap gue. Ekspresinya kini tampak lebih baik.
“Soalnya kalau aku ketemu orang, gak akan pernah lupa.” Katanya lagi.
“Ya sorry deh mar kalau waktu itu gue lupa.” Gue mulai garuk-garuk kepala.
“Kalau tadi di lapangan, masih lupa gak?”
Dia kenapa sih, nanyanya aneh banget. “Ya enggaklah. Makanya lo harus sering-sering muncul di hidup gue, jadinya gue gak akan pernah lupa sama muka lo.” Kilah gue, jadi mirip puisi nih.
“Dikirain masih lupa. Hehe. Soalnya kamu kayak lagi liat orang asing.” Sambungnya yang kemudian diam sesaat sebelum mulai bertanya lagi. “Kita temen kan?”
“Mmmh. Ya bolehlah. Tapi kalau di lapangan kita bukan temen.”
“Kok gitu?” protesnya dengan muka tertekuk.
“Ya suka-suka guelah.” Kocak banget rasanya godain bocah polos kayak dia. Gue belum pernah nemu makhluk yang sespesies sama dia. Mirip alien sih dia. Putih, kecil, terus matanya hitam, bulat, besar-besar. hehe.. Kalau gak percaya, coba search aja di google ‘Alien’. Tapi dia gak botak sih, gak kerempeng juga.
“Ngomong-ngomong, ini tas apa karung? Gede amat. Lo kabur dari rumah ya?”
“Enggak kok. Hari ini ada ospek. Tapi nanti sore jam 3. Jadinya sekarang gak ada kerjaan.”
“Lagi? Bukannya baru beres tadi malem? Emang lo gak capek?” Gue lirik jam tangan, baru jam setengah 12 rupanya. “Masih jam segini kok. Sini !” Gue ambil dan bawa tas ransel di sebelahnya. Terus gue tarik tangan dia.
“Aaah.. Mau kemana Joy?” pekiknya.
“Ikut gue. Jangan banyak nanya.”
Dia gue bawa ke parkiran depan. Ternyata ranselnya ini bocah lumayan berat juga. Gue taro ranselnya di atas CBR merah kesayangan gue sambil gue pake helm. “Naik !” Gue suruh dia naik ke motor gue. “Nih helmnya. Jangan lupa pegangan!” suruh gue lagi. Untungnya ini bocah cuma nurut-nurut aja. Karena jalanan kosong, gak sampai 20 menit, kita pun sampai.
“Turun !”
“Ini dimana Joy?” tanyanya bingung.
“Rumah gue. Lo istirahat aja. Ntar sebelum jam 3, gue anterin lagi balik ke kampus.” Gue buka helm terus ngeliatin dia yang dari tadi cuma celingak-celinguk. “Udah sono gih masuk. Gak ada siapa-siapa kok di rumah gue.” Dia Cuma ngangguk-ngangguk.
“Kita ke atas aja ke kamar gue. Jadi lo bisa sambil tidur-tiduran.”
“Kamu disini cuma sendiri Joy? Gak takut?”
“Ya enggaklah mar. Ada bi Inah juga. Orang tua gue sih di Jakarta. Tadinya rumah ini dipake kalau lagi liburan di Bandung aja. Tapi waktu kelas 2 SMA, gue diusir sama bokap gue. Jadinya gue pindah sekolah ke sini. Terus rumahnya gue yang pake.”
“Kok diusir?”
“Gak diusir juga sih. Mmmh. Pokoknya gue liar waktu dulu masih di Jakarta. Ya daripada gue di pesantren, mending gue pindah kesini.” Dia cuma manggut-manggut.
Di dalam kamar, gue langsung buka baju dan cela- ..
“Celananya jangan!” potongnya, memecah keheningan kamar gue.
“Napa sih lo?” tanya gue heran.
“Celananya gak usah dibuka ya.” serunya gelagapan.
“Lo napa sih? Sama-sama cowok ini. Bukannya tiap hari lo liat ginian. Gue juga pake boxer kali. Atau lo mau liat punya gue? Lo ketularan si Erick ya?” gue ketawa-tawa sambil menurunkan celana. “Sini naik ke kasur.”
Damar jalan sambil menundukkan kepalanya malu-malu. Dia pun duduk di ujung kasur di sebelah gue.
“Kok mukanya gitu sih?” Gue tengadahkan kepalanya yang nunduk dengan kedua tangan gue. “Buka aja kacamatanya. Lo kan mau tidur.” suruh gue sambil melepas kacamatanya. Waktu gue liat entah kenapa matanya udah berkaca-kaca. Gue coba mengalihkan pikirannya yang entah sedang melayang kemana.
“Kemarin katanya lo pingsan? Kok bisa?” tanya gue.
“Gak inget.”
“Tapi lo gak diapa-apain kan sama kakak tingkat?”
“Maksudnya?”
“Ya maksud gue dikerjain atau diapain gitu.”
”Dipanggil Maria.” Celetuknya sambil misuh-misuh bikin gue ngakak gak berhenti-berhenti. “Jangan ketawa.” Protesnya kesal.
Di atas meja kecil di samping tempat tidur gue ada beberapa karet gelang. Gue ambil dua terus gue iket rambutnya Damar jadi kuncir dua. Rambutnya tebal tapi lembut dan mudah jatuh jadi gampang diiket. Sekarang rambutnya jadi keliatan lucu kayak air mancur kembar.
“Cocok kok jadi Maria.” Puji gue.
“Kok rambutnya diiket?”
“Biar jadi mirip Maria.” Kata gue. “Cantik.”
Sekarang mukanya Damar udah merah kayak tomat. Kalau aja dia ngaca, pasti udah malu banget tuh anak. Gue puji dikit langsung merah mukanya, gue ada salah dikit langsung marah dia. Bikin gemes aja, minta ditabok tuh anak. haha. Peace mar..
“Dulu adek cewek gue juga suka minta diiket rambutnya.” Sambung gue.
“Adeknya di Jakarta?”
“Sekarang sih udah gak ada.”
“Ma-maaf.”
“Santai kali. Udah lama juga.” Balas gue. Yah, tomatnya ilang, mukanya jadi sedih sekarang, salah ngomong rupanya gue. “Kalau sekarang lo balik jam berapa?”
“Gak tahu. Tapi kata bang Dirga cuma sebentar. Sebelum maghrib udah pulang kok.”
“Ntar baliknya gue anter ya!”
“Jangan. Ntar bareng sama bang Dirga aja.”
“Siapa tuh bang Dirga?” tanya gue penasaran.
“Kakak tingkat. Tapi rumahnya searah. Kemarin juga dianterin pulangnya.”
“Gak capek apa pulang ke rumah? Rumah lo kan jauh.” tanya gue sambil mojok ke deket tembok terus langsung tiduran sambil guling-guling.
“Capek sih. Tapi masa tidur di jalan.”
“Nginep aja disini. Besok kan libur tuh minggu. Ntar besok pagi baru balik. Yah yah? Temen gue juga banyak yang suka numpang nginep. Bosen nih gue gak ada temen.”
“……”
“Udah ah kelamaan mikir lo. Pokoknya ntar gue tungguin sampai lo beres. Ntar gue jemput di parkiran kayak tadi.” Akhirnya dia manggut-manggut.
“Kalau kamu gak diapa-apain kan sama kakak tingkat?” celetuk dia, balas nanyain gue.
“Males ah.” Gue langsung ngehadap tembok, munggungin dia. Masa iya harus gue ceritain tuh jaman jahilliyah. Ogah ah. Ntar image gue langsung drop lagi. Bikin bete aja.
“Kok curang sih!” Dia naik-naik ke kasur sambil ngintip-ngintip ke arah muka gue yang lagi nontonin tembok. Gue pun balik badan lagi ngehadap dia.
“Mmmh.. Kemarin gue nyanyi balon meletus. Mau denger gue nyanyi?”
Suara emas gue pun langsung gue kumandangkan. Dia cuma ketawa terpingkal-pingkal sepanjang gue nyanyiin tuh lagu. Karena badan kita yang sama-sama lelah, entah bagaimana caranya kita berdua tertidur pulas sampai akhirnya Damar jerit-jerit bangunin gue.
“Joy ! Joy ! Plis, Joy Bangun !!!!”
“UDAH JAM 3 !!!” Pekiknya panik.
*****
“AAAaaargh.. Bodo banget sih !!!!” teriak gue emosi.
Sejak tadi gue cuma mondar-mandir di parkiran motor depan. Sekarang udah jam 5, berarti sebentar lagi ospeknya beres. Dan sekarang gue malah bingung gimana cara gue buat ngehubungin dia nanti. Gue mengutuk kebodohan diri gue sendiri. Tapi gue jadi ingat sama nomor yang dikasih Erick kemarin malam. Karena penasaran, akhirnya detik itu juga gue beranikan diri untuk menghubungi nomor itu.
“Halo?” kata gue.
“………”
Tak ada jawaban padahal teleponnya sudah tersambung. Lama-lama terdengar suara isakan.
“Halo? Halo, ini Damar kan?” Tanya gue.
“………”
Suara isakan itu terdengar semakin keras. Gue jadi semakin cemas sama keadaan dia. Meskipun terlihat seperti ini, gue termasuk orang yang lemah dengan air mata. Gue paling gak suka melihat atau mendengar seseorang yang menangis. Hanya ada dua hal dalam kamus gue, menghindari sumber tangisan atau melakukan segala hal untuk membuat orang itu berhenti menangis.
“Mar? Lo gapapa kan? Lo dimana sekarang?”
“……..”
“Mar, ini gue Joddy. Joy. Lo kenapa nangis? Jangan kemana-mana, gue ke tempat lo ya sekarang.” ucap gue dengan nada halus untuk menenangkannya.
“Jo- Joy?” balasnya dengan suara yang terbata-bata. “Joy. A-aku…..”
Gue berlari tanpa arah mengelilingi kampus. Gue benci mendengar suara tangisan. Dan sekarang gue benar-benar bingung dimana Damar. Entah kenapa dia tidak mau memberitahu posisinya saat ini.
“Aku bisa minta tolong?” Ia mulai berhenti menangis.
“Pasti. Gue pasti tolong. Gue janji.”
“Kalau gitu, aku punya pertanyaan Joy.” Ia melanjutkan sebuah kisah yang belum pernah gue dengar sebelumnya.
“A-ada, ada seorang anak. Anak itu sangat bahagia karena dikelilingi orang yang dicintainya. Namun ia menderita suatu penyakit. Ia sudah berusaha menyembunyikannya. Tapi suatu hari ia ketahuan dan karena hal itu dia membunuh satu orang yang dicintainya.” Ia berusaha keras untuk menahan tangisan dan tetap melanjutkan kisahnya.
“Karena orang itu mati, satu orang lainnya mulai menjauhi dan membenci anak itu. Dia kini ia kehilangan dua orang yang mencintai dan dicintainya. Rasanya anak itu menjadi semakin lemah, rasanya ia ingin mati saja. Tapi anak itu mencoba dan terus bertahan. Ia mulai menemukan orang-orang yang dapat ia ajak tertawa.” Ia kembali berhenti dan mengambil nafas panjang, menenangkan dirinya.
”Namun... Namun bila tiba-tiba semua orang itu tahu penyakit anak itu, apa mereka akan menjauhinya lagi? Kau tahu, semua orang.. mereka itu bukanlah orang yang mencintai anak itu layaknya dua orang lainnya. Bi-bila mereka mulai menjauhinya, menurutmu apa yang anak itu rasakan? Apa yang seharusnya anak itu lakukan?”
Kali ini ia benar-benar berhenti berbicara. Gue tahu dan gue benar-benar tahu bahwa yang ia tunggu hanyalah jawaban. Namun gue tidak mengerti…. Atau mungkin gue hanya pura-pura dan tidak ingin mengerti. Gue hanya takut. Gue takut dengan jawaban gue itu, ia bisa salah memilih jawabannya sendiri.
“Lo lagi di kampus kan, Mar? Lo dimana? Tunggu gue datang yah.” Dengan suara yang lebih halus lagi, gue bertanya dan mencoba menenangkannya.
“Nnngh.. Jangan. Kamu jangan kesini. Jawab aku, Joy!!!” Kali ini dia berteriak dan benar-benar menangis kencang, bukan isakan halus lagi yang terdengar. Rasanya ingin gue hentikan tangisannya, tapi gue tak bisa.
Tangisannya itu mengingatkan gue akan kisah lainnya tentang tangisan seorang anak kecil yang tersesat. Anak kecil yang kehilangan genggaman sang ibu ketika ia sedang bermain dengan canda dan tawa. Ketika canda dan tawa terlalu manis rasanya untuk dilepaskan, tanpa sadar ia lepaskan genggaman sang ibu. Genggeman sang ibu, genggaman yang ternyata telah mendatangkan canda dan tawa itu sendiri baginya.
Canda dan tawa itu kini hilang seiring dengan hilangnya genggaman ibu. Anak kecil itu keliru, ia terlalu keliru dan kini ia kehilangan segalanya. Ia mencari dan mencari sesuatu yang dapat menggantikan genggaman itu. Meskipun diberikan kepadanya ratusan bahkan ribuan, tetap saja.. tetap saja tak ada satupun yang dapat mendatangkan canda dan tawa baginya. Karena hanya satu, hanya genggaman tangan sang ibu yang sudah benar-benar ia lepaskan.
Dan gue tahu betul bahwa gue hanyalah satu dari ratusan bahkan ribuan manusia yang mengulurkan tangan kepadanya. Gue gak akan pernah bisa membuatnya berhenti menangis karena bukan uluran tangan gue yang ia butuhkan. Bukan genggaman tangan ini yang membawa canda dan tawa baginya. Hanya tersisa harapan munculnya orang yang tepat yang rela memberikan genggaman tangannya dan mengembalikan canda dan tawa miliknya.
Tangisannya itu kini membuat gue berhenti berlari. Gue takut ada hal buruk yang terjadi. Tapi gue lebih takut kalau gue sampai terlambat mencegah hal buruk itu terjadi.
“……..” Tak ada lagi kata yang terucap. Gue cuma bisa diam sembari mendengarkan ia menangis kencang.
#sotoy
btw titip mention yah.
#sotoy
btw titip mention yah.
#sotoy
btw titip mention yah.
#sotoy
btw titip mention yah.
#sotoy
btw titip mention yah.