It looks like you're new here. If you want to get involved, click one of these buttons!
Copyright 2021 Queer Indonesia Archive. See our Privacy Policy. Contact us at [email protected]
Dengan menggunakan situs ini berarti Anda setuju dengan Aturan Pakai.
BoyzForum.com adalah situs anti pedofilia!
Comments
Gue kembali melihat senyum manis Aldi sesampai gue di depan pintu kelas. Rasanya ada angin sepoi-sepoi yang menerjang lo pagi-pagi ketika melihat senyum sahabat lo yang udah lama lo rindukan.
Gue membalas senyum Aldi sambil meletakan tas gue di bangku dan duduk sambil menghadap Aldi.
"Gimana kabar lo?" tanya gue.
"Super sekali."
Gue kangak. "Lo udah kayak Mario Teguh aja. Tumben."
"Hati gue bahagia bangen sekarang Rian." ujar Aldi senyum-senyum.
"Ih lo gaje deh. Senyum-senyum kagak jelas. Lo udah makan obat?"
"Liat lo aja, udah obat bagi gue."
Anjiir gue bulshing deh.
"Aciee..., pasutri yang udah pada baikan." nyolot Dwi dari belakang.
Aldi langsung tersenyum dan memeluk gue. "Gue nggak pernah ada masalah kok sama sodara gue ini."
"Nah buktinya kemarin, kenapa lo dingin banget sama Adrian? Sedingin es kutub selatan." Dwi menunjuki kita bergantian.
"Perasaan lo kali."
"Ah nggak yakin gue." Dwi mengedepi gue. Guepun memandangnya jengah. Seperti biasa Dwi kembali lagi ke kelakuan aslinya. "Eh bay the way kenapa lo seneng amat sekarang?"
Aldi memberi kode supaya Dwi bergeser dan Aldipun pindah kebelakang mengambil posisi disamping Dwi.
"Lo taukan si Tia?" bisik Aldi ke Dwi, walaupun itu bukan dikatakan berbisik karena gue bisa mendengar suara Aldi.
"Ooh anak kelas XI IPS 4 itu ya?" tanya Dwi antusias. "Kenapa dia?"
Pikiran gue melayang ke Askar. Entah kenapa gue jadi males mendengarkan pembicaraan mereka yang lebih mirip emak-emak tukang gosip.
Guepun bangkit dari bangku hendak keluar kelas sampai tangan Aldi memegangi tangan gue. "Lo mau kemana?" tanyanya.
"Gue mau keluar dulu. Gue bosan di kambing congeki."
"Ato lo sensi karena gue nyebut XI IPS 4?" sela Dwi yang sontak bikin gue melotot dan langsung duduk kembali. Bisa bahaya kalau nih anak bisa keceplosan tentang si A yang suka ama si B.
"Gue nggak jadi keluar deh.". Dan mata gue masih memandang tajam Dwi setajam pisau dapur.
"Iya gue nggak akan ngacangin lo deh." ujar Aldi tersenyum sambil ngacak-ngacak rambut gue.
"Lupain si Rian yang lagi PMS. Kenapa dengan si Tia?" tanya Dwi antusias.
"Dia nampaknya suka seseorang bro."
"Eh siapa? Apa gue kenal eh? Beruntung banget dah tuh cowok."
"Iya, lo kenal banget dia." ujar Aldi seraya melirik gue.
Dwi juga ikutan melirik gue dengan pandangan bingung.
"Jangan bilang kalo Tia suka sama si Adrian." ujar Tio menunjuki gue pake tangan kiri. Selain suka kekerasan dia juga nggak sopan banget.
Aldi membekap mulut Dwi sambil mengangguk dengan mata berbinar.
Sontak gue kaget. Tia cewek berhijab yang super duper cantik itu punya rasa ke gue.
Gue cuman bisa menganga, dia suka gue? Buset, sebegitunya gue bahkan si ketos yang ngebet suka sama Tia aja ditolak sama dia, nah guemah apa atuh.
"Serius lo? Masak?" Wajah Dwi penuh introgasi.
"Kalo masak di dapur bro." Aldipun menepuk jidat Dwi. Gue masih diam membisu. "Kapan gue dusta ama lo. Dia sendiri yang nanya ke gue apa si Adrian punya pacar ato nggak."
"Lo jawab apaan? Kapan?" guepun bersuara.
"Ee buset penasaran bingit lo." ujar Dwi menepuki lengan gue dengan tampang mesum.
Gue cuma mendengus kesal sambil tetap terus menatap Aldi.
"Gue jawab aja lo masih jones. Kemarin malam di BBM, selepas lo pulang dari rumah gue." jawab Aldi.
Gue mangut-mangut.
"Bagus tuh Rian. Lo tembak aja dia, daripada lo ngeharapin seseorang yang nggak direstuin." kata Dwi.
Sontak gue mempelototinya sedangkan Aldi memandang kita berdua bingung.
"Itu cuman perkiraan gue, soalnya apa tujuannya coba, nanya-nanya seseorang punya pacar ato nggak." tandas Aldi seraya mengangkat kedua bahunya.
Guepun berbalik dan meletakan kepala gue ke meja. Gue pusing deh.
"Eh Al! Lo bawa baju olahraga nggak?" terdengar suara Dwi bertanya sama Aldi.
Anjing, gue lupa kalo hari ini ada Penjasorkes.
---
Gue mendatangi guru yang paling tegas di sekolahan gue dengan wajah penuh takut. Tangan gue dingin penuh keringat dingin. Sambil terseok-seok gue mendekati beliau yang sedang mempersiapkan bola basket untuk materi nanti.
"Ada apa Adrian? Kenapa kamu nggak ganti baju?" tanya beliau yang sibuk mengurusi bola-bola beliau tampa melihat gue.
"Maaf pak, saya lupa bawa baju olahraga." Gue menekurkan kepala.
Pak Marhedi berhenti mengurus bola-bola beliau dan nampaknya sedang memandangi gue.
"Kamu nggak boleh ikut jam saya tanpa baju olahraga." terdengar suara beliau yang ngebass.
"Saya mohon kompensasi untuk kali ini pak." ujar gue.
"Sekali tidak tetap tidak Rian." suara Pak Hedi meninggi.
Guepun melangkahkan kaki dengan muka tertunduk. Daripada kena khutbah si guru penjasorkes mending gue cabut deh.
"Rian, tunggu!"
Gue berbalik memandang beliau dengan memasang tampang muka memelas. "Iya pak."
"Kamu bisa pinjam baju olahraga sama anak kelas XI IPS 4, mereka penjasorkes ntar siang." kata Pak Marhedi.
Mata gue bersinar-sinar mungkin kali ya, sampai gue sadar kalau gue harus minjam ke anak kelas XI IPS 4 yang notabene adalah kelasnya Askar. Omegat.
Guepun berjalan terseok-seok menuju kelas XI IPS 4 dengan perasaan dagdigdug. Lo harus bertemu seseorang yang lo cintai, tapi harus berusaha lo jauhi demi orang yang lo cinta. Ah... entah kenapa gue sampe lupa kalo pak Hedi tukar jam dengan bu Silvi.
"Nyari Askar ya bro?" tanya Fadli menepuki bahu gue yang sontak bikim gue kaget sesampai gue di depan kelas XI IPS 4.
"Ng... nggak kok. Gue kesini mau pinjam baju olahraga. Gue lupa bawa." ujar gue seraya melirik kedalam kelas yang nampaknya ribut. "Nggak belajar Li?"
"Nggak. Sekarang gue sama bu Sri, tau deh lo gimana beliau kan."
Gue cuman mangut-mangut. Ibu Sri emang selalu begitu, kasih tugas dan beliaunya cabut entah kemana. Semoga beliau nggak makan gaji buta.
"Gue boleh pinjam baju olahraga lo nggak?"
"Boleh-boleh, gue ambil dulu ya. Lo mau masuk ke kelas dulu?"
"Nggak usah, gue nunggu disini aja." jawab gue.
"Sebentar ya." Dan Fadli berlalu ke mejanya mengambil bajunya. Gue cuman bisa melongokan muka dari depan pintu kelas. Gue masih ingat zaman SD dulu, kalo masuk ke kelas tetangga tanpa izin ketuanya akan kena denda. Dan gue masih kebawa-bawa sampai sekarang. Dan lagian, gue juga lagi ngehindari Askar kan.
Oke nampaknya si bos besar Yakuza Junior nggak ada di tempat nih.
"Gue pinjam dulu ya Fadli."
Fadli nampak mengedipkan mata sambil mengacungkan jempolnya. Guepun berlari menuju toilet favorit gue ganti baju. Dan dengan tergesa-gesa laksana pasangan mesum kena grebek, guepun bergegas ganti pakaian dan berberes-beres. Daripada ntar kena hukum sama pak Marhedi bin Fulan itu. Guepun membuka pintu dan gue cuma bisa terpaku berdiri di tempat.
Fakta yang nggak bisa gue bantah bahwa hati gue laksana supernova, meledak-ledak memancarkan energi dan gelombang kejut yang mampu menembus medium antarbintang. Namun disisi lain hati gue hancur menyisakan lubang hitam ketika gue melihat seseorang yang gue rindukan sekaligus yang harus gue jauhi.
Gue berusaha setegar mungkin. Berjalan dengan muka tertunduk menghindari tatapannya yang bikin gue melting.
Askar memegangi pergelangan tangan gue lembut.
"Rian." desirnya.
Gue berusaha berontak, tapi raga gue menghianati gue.
"Rian gue mau bicara sama lo." ujarnya lembut. Berbeda 180° dengan kejadian beberapa waktu yang lalu.
"Maaf gue ada jam dengan Pak Hedi, dan gue udah telat."
Askar melepaskan gue.
Guepun mulai melangkah meninggalkan dia sehingga gue bisa mendengar suaranya yang memohon.
"Temui gue di taman belakang sepulang sekolah nanti."
Gue hanya bisa mengangguk dan berlalu pergi.
---
Entah apa yang difikirkan oleh ketua Koboi Junior eh Yakuza Junior sampai-sampai meminta gue untuk menemuinya sepulang sekolah di taman belakang. Berbeda dengan kondisi taman pas istirahat yang merupakan spot orang pada pacaran, taman belakang sekolah disaat sepulang sekolah sepi pengunjung bro, sehingga sukses bikin gue was-was. Pikiran kotor gue meliar. Mungkin Askar akan nyulik gue dan meminta tebusan restu dari Aldi. Ato lebih liarnya lagi, dia ngajak gue nikah ke Amerika sambil berjongkok dan menyerahkan sekuntum bunga bangkai ke gue.
Gue menepuk-nepuk pipi gue mengusir pikiran absurd gue.
Askar nampak duduk disalahsatu batu alam yang dijadikan bangku sambil memandang danau belakang sekolah.
Guepun mendekati Askar sambil berdehem. Dia menoleh dan tersenyum sambil menepuk permukaan bangku yang ada disampingnya.
Gue tersenyum dan langsung duduk. Entah kenapa jantung gue perang dunia ke tiga sekarang.
Kita berdua duduk dalam diam, gue malah bisa dengar suara rumput yang bergoyang saking sepinya.
Taman belakang gue emang indah, berbeda dengan anggapan situ-situ semua yang beranggapan taman gue yang kumuh dan kotor. Viewnya keren deh bro. Ada danau kecil yang bersih ditambah bangku-bangku dari batu alam dan diseberang danau ada asrama cewek AkPer kota gue yang bikin cowok-cowok betah ke tempat ini.
"Ehem .., lo ada apa nyuruh gue kesini." ujar gue sambil memandang mukanya.
Dia tetap terus menatap danau. "Nggak .., ada yang harus kita bicarakan."
"Bicarakan apa?"
"Kenapa lo nggak angkat telfon gue semalam? Kenapa nggak lo bales sms gue semalem?" dia memandang gue penuh emosi.
Gue tertunduk. Batin gue kacau. "Maaf Askar, kita mungkin nggak bisa rekanan lagi dalam buat tugas. Gue nggak bisa lagi rekanan buat makalah sama lo."
"Apa Rian?"
Gue memandang Askar lekat-lekat. "Gue udah memutuskan nggak akan ngelanjutin makalah kita." ujar gue mantap.
"Lalu nilai lo Rian?"
"Biarlah nilai Bahasa Indonesia gue hancur daripada perasaan gue ini berkembang semakin dalam."
"Apa yang salah dengan perasaan itu Rian? Nggak ada yang salah."
"Semua salah Askar, dua orang cowok saling mencintai itu salah.
"Apa yang dikatakan Adrian itu benar Askar. Lo nggak usah ngarepin dia jadi pacar lo. Percuma. Dia nggak sama kayak lo." terdengar suara seseorang yang amat gue kenal dari belakang.
Gue berbalik. "Aldi?!"
What?!
Aldi mendekat, dia nampak bermuka dingin sekarang. Ada rasa permusuhan dimatanya.
"Ayo Adrian kita pulang! Makalah kita belum selesai." ujar Aldi menarik tangan gue.
"Jangan pergi Rian." desis Askar sambil memegang tangan gue.
"Lepaskan tangan kotor lo Askar!" teriak Aldi.
Askar melepaskan tangan gue, dia memandang marah Aldi.
"Ayo kita pulang!"
Gue mengikuti Aldi dari belakang, walau mata gue masih tertuju pada Askar.
Gue nggak yakin, tapi gue bisa melihat air mata Askar yang menetes saat memandang gue.
--- tbc
R~
Pagi semua! Aurora kmbli. Gimana part ini keren nggak? Nggak tau tuh, pikiran Aurora lgi absurd and gaje. Mungkin dampak kabut asap kali ya, daerah gue udah kayak Kirigakure aja. Hahaha. So kalo part ini agak gimana gtu, mohon dimaklumi karena udah terkontaminasi zat2 berbahaya. Ah.. apaan sih.
Okeh, seperti biasa, gue minta vote n komentar teman2 semua. Komentar n vote teman2 semua akan aku jadikan penyemangat untuk bikin cerita yg aneh eh keren maksudnya. Maaf typo. So selamat membaca dan selamat berhari selasa. Sunt
Sincerely
R~
Hmmm, i think Aldi tu ska ma Rian, cma dia tu mngkn denial gtu.