BoyzForum! BoyzForum! - forum gay Indonesia www.boyzforum.com

Howdy, Stranger!

It looks like you're new here. If you want to get involved, click one of these buttons!

Selamat datang di situs Boyzforum yang diarsipkan oleh Queer Indonesia Archive. Forum untuk komunitas gay Indonesia yang populer ini didirikan pada tahun 2003, dan ditutup pada tanggal 15 Desember 2020.

Forum ini diabadikan untuk kepentingan sejarah. Tidak akan ada konten baru di forum ini. Silakan menikmati forum ini sebagai potongan dari sejarah queer Indonesia.

REASONS TO LOVE A NERD LIKE ME

Hi. It's me again, Abub. Well, belakangan gue lagi suka baca sebuah novel online yng ditulis oleh BeakyBoo di wattpad. Ceritanya menarik. Romantis dan banyak konflik konflik keren laginya. Pada awalnya, gue pikir karena ini novel berbahasa inggris, guebenar benar ga tertarik bacanya. Tapi entah apa yabg membuat gue akhirnya tertarik dan sudah menyelesaikan 17 kali membacs ini. Judulnya sama kayak yabg diatas. Kalian bisa baca sendiri di:

Www.wattpad.com/4293906-reasons-to-love-a-nerd-like-me/

Yang bakal gue post hanyalah versi indonesia dari apa yabg gue pahami dan mengerti dari cerita ini secara yah.. gue artiinnya sendiri dan apa adanya. Gue juga udah minta izin dari becky nya buat post cerita ini. Dan dia memberi izin, yaaay! Jadi dari 53 chapter, gue janji maksimal akan post 4 cerita sehari. So. Semoga kalian mengerti ya dengan translate-annya gue
«13456740

Comments

  • Chapter 1 : Hanging Around

    Hari selasa biasa di Havensdale School dan Sixth Forms College. Anak anak kecil berlarian di sepanjang TK, dan juga suara tawanya mengombak melalui jendela di Januari. Teman temanku di Sixth Form tak diragukan lagi pasti sedang sibuk dengan apapun itu pada cousework nya. Sedangkan aku,..

    Aku digantungdi ruang ganti anak anak PE cowok.

    Mungkin agak susah dipercaya hal seperti ini masih terjadi kepada remaja 17 tahun sepertiku, tapi inilah kenyataannya. Aku digantung seperti sepotong daging di butchershop, kakiku terayun ayun diatas tanah. Tangan-tanganku diikat dengan kuatnya dibelakang dengan beberapa tambang dari lemari PE, membuatku benar benar terjebak meskipun aku sudah berusaha untuk membebaskan diri. Tinggi badanku yang bisa dibilang memprihatinkan benar benar tidak membantu, atau karena gantungan mantelnya berada sangat tinggi di dinding. Aku benar benar sudah cukup berusaha untuk melepaskan diri, tapi setelah sepuluh menit, aku tau ini tidak berhasil. Jadi, aku memutuskan untuk menerima fakta dan berharap seseorang akan berpaling menemukanku didalam kegelapan seperti ini.

    Oh well, atau mungkin tidak seburuk itu. Beberapa siswa yang stress akan membolos dari hari hari sibuknya. Dan, aku hari ini hanya ketinggalan pelajaran Matematika dan aku merasa sudah benar benar sudah menguasai apapun di sesi itu. Mungkin, rasanya tidak apa apa jika aku bisa sedikit bersantai. Tentu, ruang ganti adalah sarang dari keringat dan aku mulai benar benar membutuhkan toilet saat ini, tapi tak akan lama sampai sports team berikutnya datang dan menemukanku, kan? Plus, karena ini adalah kondisi yang memalukan, aku tidak benar benar berharap akan diselamatkan oleh grup orang orang keren, dan setengah telanjang yang selanjutnya akan datang...

    Hanya saja, tidak ada hunky setengah telanjang yang datang membantuku. Ataupun orang biasa. Aku ditinggalkan disana, digantung didalam kegelapan dan merasa akan seperti ini terus dalam waktu yang tidak lama. Aku mencoba berteriak meminta bantuan sekeras mungkin, tapi pintu masuk terlalu tebal dan memblokade suaraku sampai keluar. Jadi, aku kemudian bernyanyi hanya untuk membuat diriku tetap waras saat ini. Aku memilih lagu 'I Will Survive' oleh Gloria Gaynor.

    Tepat saat aku, secara mental menyiapkan diri untuk kejadian memalukan yang akan terjadi nanti saat aku membuat celanaku basah, aku mendengar sebuah suara dari pintu.

    "Hey, apa ada orang didalam sana? Aku mencari temanku, Scotty"

    Jantungku jungkir balik merasa lega, itu adalah Olive, sahabat terbaikku.

    "Olly!! Aku disini! Help me!!"

    Ada beberapa bunyi hantaman saat Olive mencoba membuka pintu yang dikunci. "Scotty, apa yang terjadi?? Aku tak bisa membuka pintunya! Apa mereka melakukannya lagi?!"

    Oh ya, aku lupa mengatakannya... ini bukanlah kali pertama ini semua terjadi padaku. Aku pernah digantung seperti ini juga sebelumnya, hanya saja waktu itu aku berhasil melepaskan diri. Kali ini aku tidak beruntung.

    "Tunggu sebentar!"

    Ada jeda sebentar, diikuti oleh bunyi dentingan kunci saat Olive mulai membuka pintu. Dia adalah Head Girl di Sixth Form, dan hasilnya, dia mempunyai hak dengan kunci sekolag jika ada emergency. Kupikir,mungkin kejadian ini bisa digolongkan sebagai emergency.

    Akhirnya, pintu terbuka, membuat cahaya dari luar masuk kedalam. Olive menggapai gapai mencari saklar.

    "Demi Tuhan, Scotty, mereka meninggalkanmu dalam keadaan gelap seperti ini?! Ini benar benar sudah keterlaluan!! Sudah berapa lama kau berada disana?!"

    Aku mengangkat bahu, tapi mungkin Olive tidak melihatnya karena terlalu gelap. "Aku tidak tahu, mereka mengerjaiku saat jam Matematika"

    "Astaga!" Pekiknya. "Itu lebih dari dua jam yang lalu! Selama itukah kau terjebak disini?"

    Finally,Olive menemukan saklar lampu dan membuat seisi ruangan terang. Mataku berkedip kedip beberapa kali karena terlalu lama berada di dalam kegelapan dan aku mengusap usap kedua mataku dibelakang kaca mata yang super tebal. Saat aku membuka kedua mataku lagi, aku melihat Olive berdiri dibelakangku dengan tampang cemas diwajahnya. Aku menghela nafas dan mengangkat kepalaku. Aku pasti terlihat menyedihkan, bisa dibilang gitu sih.

    "Kemarilah" kata Olive, menggapai tangannya untuk melepaskanku. Dia selalu baik dan lebih tinggi dariku (yang bisa menjadi lebih berguna saat aku digantung seperti ini). Mencengkramku seerat mungkin, dia melepaskanku dari gantungan dan menyelamatkanku. Kemudian dia memberikanku sebuah pelukan saat aku menahan diri untuk menangis. Aku bahkan tak bisa membalas pelukannya karena tanganku masih terikat di belakang.

    Dia membalikkan badanku dan mulai sibuk dengan tali tambang, dan perlahan mulai melepaskan ikatannya. "Ini konyol, Scotty. Mereka tidak bisa seperti ini terus! Kau harus melakukan sesuatu!"

    Aku tidak perlu memberitahunya siapa yang bertanggung jawab untuk kecelakaan kecil ini. Selalu orang yang sama dengan teman temannya. Taylor Raven. Ketua dari club tennis dan kepala dari 'Scotty William Hate Campaign'.

    Olive berhasil melepaskan tanganku dari tambang dan aku mengayun ayunkannya untuk kembali merasakan jari jariku. "Tak apa apa Ol, lagian juga tak berguna. Dia sangat tidak tersentuh di sekolah ini, hanya akan memperparah jika aku melawannya"

    Aku berbalik menghadapnya, membuat Ollive merasa jengkel. Olive adalah orang yang cantik. Tapi dia berhasil menyembunyikan kecantikannya itu dengan baik. Rambut pirang tebalnya selalu berantakan, lengan dan kaki kurusnya terlihat selalu mengikutinya kemanapun dia pergi, oh dan dia juga menggunakan kacamata tebal dan behel. Kubilang, ini adalah cinta yang tidak biasa. Aku mengaguminya apa adanya. Ironisnye, seisi sekolah akan merendahkan perempuan manapun yang tidak memiliki fashion sense yang diterima di kalangan sosial. Untungnya, Olive tidak peduli tentang apapun yang orang katakan tentangnya.

    "Kalau kau tidak akan memperingatinya tentang ini, dan aku benar benar mengharuskanmu! Tak bisakah kau paling tidak mulai membela dirimu?" Olive berdiri berkacak pinggang, "Berhenti membiarkannya mengerjaimu setiap waktu! Melawan baliklah!"

    Aku tau dia benar,tapi lebih mudah bicara daripada melakukan. "Murah mengatakannya Olive, tapi masalahnya akan beda saat sekelompok orang bodoh mengeroyokmu. Apa yang seharusnya kulakukan!?"

    Olive menggeleng, rambut pirang ikalnya jatuh mengikuti wajah dimplenya. "Oh, aku tak tahu Scotty. Tentu kau bisa memikirkan sesuatu, kau siswa terpintar di Lower Sixth, tak bisakah kau menggunakan kepintaranmu untuk berbicara?"

    Aku tertawa, tawa sarkas. "Oh aku yakin sekali kepintaranku akan menyadarkan Braindead Baker Boys"

    Musuh nomor satuku, Taylor Raven adalah anak yang pintar, hanya saja dua pengawalnya tidak. Billy dan Bobby Barker adalah kembar identik, dengan kepala plontos dan otot yang menonjol. Mereka berada di urutan terbawah setiap pelajaran akademis dan nilai-nilainya hampir berhasil untuk bisa diterima di Sixth Form, bagaimanapun juga mereka sangat ahli dalam olahraga lapangan. Apakah itu football, rugby ataupun tennis. Mereka seperti mempunyai keahlian tersendiri dalam setiap permainan tersebut, dan juga kemampuan untuk menghantam siapapun yang menghalanginya dengan kasar (bisa jadi taktik yang tidak berguna dalam tennis, tapi mereka masih memberikan tembakan terbaiknya). Sebagai orang bertubuh kecil dan berkepribadian lemah (oke, aku mengakuinya) , tak ada yang berakhir dengan baik saat mereka melihatku. Kenyataannya, diantara merekalah yang telah menggantungku seperti, berat badanku lebih seperti sehelai kertas.

    Olive berputar putar di ruang ganti, kekesalannya hampir terlihat jelas dari tubuhnya. "Argh! Aku benci orang orang itu! Apa salahmu sampai mereka memperlakukanmu seperti ini?! Aku sudah tak tahan lagi melihatmu disiksa terus!"

    Aku menempelkan tanganku di bahunya, lalu menempelkan kedua dahi kami. "Tak apa, Ol. Aku baik baik saja. Hanya tinggal satu setengah tahun lagi, dan lalu kita berdua akan kuliah dan hidup dengan tenang sementara mereka akan jauh dari kita dengan ingatan school sports nya, hanya untuk membuat mereka nyaman pada malam hari"

    Olive tertawa memperlihatkan behel di giginya. Dia tahu aku benar. Sekolah selalu menjadi neraka bagi orang orang pintar dan termotivasi untuk tidak takut berada didalam keramaian seperti kami.

    "Aku tahu kau benar" balas Olive. "Aku hanya mengkhawatirkanmu, Scott. Ini tidak benar! Kau tidak harus memasang wajah tegar dan menjadi pecundang! Taylor Raven adalah bajingan kelas atas! Yang harus kau lakukan hanyalah mengatakan sesuatu dan melaporkannya kepada orang yang tepat!"

    Aku menggeleng. "Kau tahu dialah andalan Havensdale,kan? Lagian ayahnya jugalah yang membiayai hampir setiap bangunan disekolah ini. Semakin banyak dia dihukum, maka juga semakin banyak aku harus membayar atas apa yang dia terima"

    Ayah Taylor, Alan Raven adalah pensiunan atlit tennis (tak diragukan lagi darimana Taylor mendapatkan bakat permainannya) dan tentu saja orang kaya. Seisi keluarga Raven hidup didalam apartemen mewah di luar Havensdale dan membiayai hampir setiap bangunan sekolah dengan donasi dari harta kekayaannya. Itu adalah peraturan tak tertulis bahwa sebagai balasannya, sekolah akan memberikan perlakuan khusus kepada anaknya, Taylor Raven. Jika terjadi masalah apapun, sekolah akan selalu tutup mata. Bukan karena dia menerima banyak pelatihan ekstra dan mewakili Havensdale dalam setiap pertandingan tennis melawan daerah lain.

    Olive seperti selalu melupakan poin penting tersebut sama menasehatiku. Dia membuka mulutnya mencoba untuk beradu argumen denganku, tapi aku menghentikannya. "No arguments! Itu tak berguna. Dan itu hanya akan membuatku dan ibuku sedih. Aku tak mau dia menerima tekanan apapun. Yang harus kulakukan hanya cuek dan menolak keberadaan orang orang bodoh itu"

    Oh ya satu lagi, ayahku meninggal dalam kecelakaan mobil beberapa tahun yang lalu saat aku berusia 14 tahun. Butuh waktu lama bagi kami untuk bisa menerima semua itu. Khususnya ibu. Hidup tetap berlanjut. Kami dulu sangaaat dekat. Tapi semua berubah setelah kejadian itu. Ibu benar benar merasa tertekan. Setelah perjuangan panjang, ibu akhirnya bisa menerima kenyataan. Dan aku pastinya tak akan menghancurkan semua kepercayaan diri yang sudah susah susah dibangun ibu hanya karena digantung seperti tadi.

    Olive kehabisan argumen dan ekspresinya perlahan berubah menjadi sedikit lebih lembut. Aku sudah mengenal Olive sejak dari Junior High School. Dan sejak kejadian itu, dia tumbuh dan sadar bahwa ibuku begitu tertuju bahwa dia lebih tidak ikut campur dengan hal apapun.

    "Oke, terserah kau saja. Aku serius, katakan sesuatu. Kau tahu aku punya kekuatan untuk mengurus mereka kan?" Dia menaikkan sebelah alisnya. Olive memiliki guru guru yang selalu memanjakannya karena dia adalah Head Girl. Jadi satu kata saja darinya, akan membuat Taylor Raven tak berkutik.

    "Thanks Ol" kataku. Sesaat kemudian aku teringat bahwa aku ada urusan penting yang harus diselesaikan. "I'll be right back, aku ke toilet dulu"

    Ada sebuah toilet kecil di ruang ganti, yang juga punya beberapa shower. Setelah aku selesai dengan panggilan alam, aku menghidupkan salah satu shower dan meletakkan kepalaku dibawah air yang jatuh membasahinya. Aku butuh sesuatu untuk membuatku tersadar setelah beberapa lama berada didalam kegelapan. Air dingin terasa begitu sejuk dan membasahi rambut ikalku hingga terasa sangat dingin, tapi aku tak peduli. Setelah beberapa menit, aku mematikan shower lalu mengelap kacamataku.

    Tepat saat aku berdiri didepan salah satu cermin toilet, aku tak tahan dan melihat seseorang didalam sana yang juga sedang menatapku. Aku pucat, kecil, tak berdaya dan homosexual nerd. Aku adalah target pembullyan yang cocok.

    Aku tersenyum pada pantulanku sendiri dicermin. Aku tau aku bukanlah orang yang attractive, tampan atau apapun itu. But hey! Aku tidak terlalu buruk! Olive selalu bilang kalau aku adalah orang yang tampan diantara para nerds lainnya. Dengan sahabat srrta keluarga yang yang brilian. Aku adalah pria yang digantung di ruang ganti selama 2 jam dan aku tak akan menjadi korban lagi!

    Aku keluar dari toilet merasa sedikit lebih baik. Olive menungguku diluar dan kuletakkan lenganku diantara lengannya. "Ayo Ol, kita pergi!"

    Kami keluar dari ruang ganti layaknya King and Queen dari para nerds. Aku tidak malu dengan diriku sendiri. Aku tak akan membiarkan insiden kecil ini membuatku down, dan aku tentu saja tak akan membiarkan Taylor Raven mengintimidasiku lagi.

    Dan saat pikiran pikiran itu berputar putar dikepalaku, Olive dan aku berpapasan dengan sosok yang saat ini sedang kupikirkan. Taylor Raven, pacarnya, Patricia dan juga pengawalnya, Braindead Baker Boys.

    Oh, great.

  • Oooh great.. I like this
  • Oooh great.. I like this
  • Chapter 2: Enemies

    Aku tiba tiba merasa semua kepercayaan diri yang tadi kubangun menguap begitu saja seperti balon yang kempes. Mudah mengatakan bahwa aku tak akan peduli saat sendirian di bawah shower, tapi beda kasusnya saat kelompok pembenciku, 'Scotty Williams Hate Campaign' berdiri tepat didepanku saat ini.

    Mereka sepertinya baru saja kembali dari lapangan tennis. Taylor bahkan masih menggunakan training putih dengan dalaman hitam dan kaos polo putih yang diselimuti oleh keringat. Menyakitkan rasanya mengatakan ini, tapi dia tampak benar benar seksi dengan raket yang disandang di belakangnya itu. Braindead Baker Boys tidak terlihat begitu seksi dengan kepala plontosnya yang juga berkeringat, tapi masih tampak menarik.

    Taylor menyeringai puas padaku seperti, aku hanyalah guyonan yang tak akan pernah habis baginya. "Why, Hello again, Scotty-Boy. Apa yang kau lakukan di hallway?" Dengan santainya dia menenggak air dari botol yang ia bawa dan menyapu mulutnya dengan tangan. "Kupikir kau akan tetap.. terikat sepanjang hari?"

    Saat kata kata itu meluncur dari mulutnya, saat itu juga aku teringat bahwa pergelangan tanganku tadi diikat di ruang ganti. Dengan sadar, aku merapatkan kedua tanganku karena masih terasa sakit akibat bekas ikatan tadi. Billy Baker tertawa terpingkal pingkal, sedang Patricia yang sedari tadi mengekor juga tertawa. Olive memberikannya tatapan sedingin mungkin yang langsung dibalas Patricia sepuluh kali lebih dingin. Sepertinya kedua wanita ini lebih saling membenci ketimbang Taylor membenciku.

    "Dengar" kata Olive. "Kalian bisa menutup mulut kalian. Kalian beruntung karena Scotty adalah orang yang baik dan tak akan mengatakan apapun. Sebaiknya kalian berhati hati karena jika aku adalah dia, maka kalian akan langsung dikeluarkan dari sekolah karena kalian tak tahu dengan siapa kalian sedang berurusan!"

    Aku merasa perutku berputar putar. Aku mencintai Olive, tapi terkadang dia sama sekali tak bisa menjaga mulutnya. Dia mencoba untuk membelaku, tapi aku tau itu hanya akan memperparah keadaan. "Ayo kita lupakan saja mereka" bisikku pada Olive dan mengajaknya untuk pergi. Yang kuinginkan hanyalah pulang, melupakan hari yang menyebalkan ini dan tak akan pernah mengulanginya lagi.

    "Tidak! Mereka harus tau!" Pekiknya dan kemudian berbalik kepada mereka. "Kalian semua benar benar bedebah bajingan! Dewasalah dan berhenti menganggu hidup orang lain! Ini semua bahkan sedikitpun tidak lucu!!"

    Seisi kelompok itu bahkan menertawakan Olive dua kali lebih keras daripada yang tadi. Patricia kemudian mulai menirukan Olive dengan gaya pongahnya yang bodoh, "Ohhhh stopp it guyss! Ini sedikitpun sama sekali tidak lucu!!" Dan kemudian tertawa melengking. Ya Tuhan! Patricia sangat menjengkelkan! Satu satunya cara terbaik untuk mendeskripsikannya adalah, dengan membayangkan bahwa seseorang membawa seekor kuda tua lalu menyulapnya menjadi seorang remaja perempuan yang tengik. Maksudku, lihatlah dari giginya yang jelek saat tertawa dan suara suara aneh itu, kau pasti bisa membayangkan maksudku kan? Dia selalu mengikat rambut blonde bervolume nya ponytail kebelakang tepat di puncak kepala yang sama sekali tidak membantu masalah kecantikannya. Patricia membenci Olive karena dua hal: Satu, karena Olive adalah Head Girl dari Sixth Form dan kedua, Olive lebih cantik darinya bahkan tanpa polesan apapun! Dan Olive hanya membencinya karena satu hal : karena dia adalah Patricia.

    "Look, Calm down Ol" Oceh Taylor mencemooh. "Yang tadi itu cuman joke. Kami kemari hanya untuk membuatnya mengerti. Scotty-boy pasti bisa menerima beberapa guyonan, benar kan?" Dia kemudian menarikku lalu mencubiti pipiku seperti aku adalah seorang balita. Pipiku memerah dan kutepis tangannya dengan kasar.

    "Ooohhh! Sudah mulai kasar sekarang" cemooh Taylor. "Now, Olly The Wally akan melindungi dan lihatlah, kami menggigil ketakutan"

    The Braindead Baker Boys masih saja tertawa dan mengeluarkan pekikan tanda setuju. Aku sadar bahwa mereka sama sekali tidak pernah mencemoohku, mereka membiarkan Taylor yang melakukannya padaku. Mereka hanya setuju dengan apapun yang dikatakannya dan melakukan hal hal kotor apapun untuk Taylor. Kutebak,mungkin mereka pikir mereka akan mendapatkan sesuatu dari ayahnya Taylor dan semua sports contract itu?

    Olive mulai terlihat benar benar kesal sekarang. Tapi meskipun sudah jelas dia sedang marah, dia tak bisa menemukan kata kata yang pas untuk berargumen. Jadi mulutnya terus terbuka seperti ikan yang sedang mangap dan membuat Patricia melihat kesempatan untuk membalas kami. Dia mendekat sambil memutar mutarkan raket yang sedari tadi dia sandang diantara kami.

    "Ada apa, Olly sayang? Kucing menggigit lidahmu? Kau harus berpaling dari perasaanmu terhadap pacar gay mu ini dan berhentilah memanjakannya! Maksudku, kalian tak akan pernah bisa bersama jadi menyerahlah"

    Pipi kami berdua merona. Benar benar kurang ajar! Taylor kemudian kembali berbicara, "aku tak tahu, Pats. Sepertinya tak seorangpun di sekolah ini yang mau berpacaran dengannya, jadi mungkin itulah yang memberi Olive berharap lebih banyak"

    Ok. Sudah cukup! Aku meraih tangan Olive dan dengan kesal pergi melewati mereka berempat dengan semua keberanian yang kumiliki.

    "Oohh!!!" Cemoohan mereka berempat menggema memenuhi seluruh hall dibelakangku, kemudian kembali tertawa. Olive memberikan mereka jari tengah saat kami sudah semakin menjauh dari mereka.

    "Now, Now" Teriak Taylor memanggilnya. "Itu bukan sikap yang seharusnya diperlihatkan Head Girl!" Cemoohan itu masih berlanjut hingga kami berhasil keluar dari hallway tersebut ke koridar dan beranjak ke cafetaria.

    Aku duduk di salah satu kursi dan nenghela nafas. Sedangkan Olive berputar putar disampingku tak peduli dengan tatapan aneh yang ditujukan padanya dari Upper Sixth yang sedang beristirahat di meja yang berlawanan.

    "Aku benci si bodoh Taylor Raven dan pacarnya yang menjijikkan!" Pekiknya sambil mengeluarkan semua uneg uneg yang dia tahan. "Mereka pikir siapa mereka? Beraninya mereka bicara seperti itu kepada kita! Siapa mereka sampai bisa menghakimi kita seperti itu? Mereka bahkan tak mengenal kita!"

    Suara Olive terdengar semakin keras dan keras hingga membuat seorang cowok berambut panjang di pojok Cafetaria menatap kami dengan kebingungan. Olive menatapnya balik dengan tatapan jangan-bercanda-denganku dan dengan cepat cowok itu pergi meninggalkan cafetaria.

    Aku kembali mendesah. "Aku tau. Mereka hanya orang orang bodoh. Lupakan sajalah, sudah selesai kok"

    "Ya, tapi ini masih belum selesai kan?" Kata Olive sambil menyelipkan tangannya diantara rambut pirang panjangnya yang berantakan dan mengacaknya dengan cemas. "Mereka masih akan melakukan ini padamu sampai dua tahun kedepan!"

    "Satu setengah tahun" koreksiku. Aku selalu menghitung hari sampai hari dimana aku bisa keluar dari lubang neraka ini dan menikmati hidupku sendiri.

    "Berapa lamapun, tetap saja masih lama!" Dia akhirnya berhenti berputar putar dan duduk disampingku. "Aku tak mengerti, apa urusan mereka?" Dia mulai memukup mukulkan jarinya diatas meja. "Ini entah sudah kali ketiga atau kali ke empat mereka menargetkanmu, dan aku tak mengerti kenapa"

    Dia benar. Dengan dua insiden digantung dengan coat hook, aku juga pernah dikunci didalam lemari properti dan juga botol botol soda yang berserakan didalam tasku. Banyak hal hal menjijikkan, kekanak kanakkan dan mengesalkan yang semakin tidak lucu setiap harinya terjadi padaku.

    "Olly, apa kau benar benar sulit untuk memikirkan apa alasan mereka melakukan itu?" Tanyaku. "Bagaimana jika dengan alasan semua orang membenciku? Maksusku, coba lihat. Aku pendek. Aku gay. Aku berkacamata dan aku sama sekali tidak punya fashion sense bagi kaum berkepribadian gay dan aku menyukai matematika dan aku adalah ketua dari club MMORPG,... apa aku masih harus mengatakan yang lain?"

    Ekspektasiku adalah, Olive akan tertawa setelah mendengar semua itu. Tapi dia tetap mengernyikat dahinya sambil memberikanku tatapan intens, "Ya... ya.. aku tahu itu Scotty. Maksudku, kita sudah berada di satu sekolah yang selama dengan orang orang ini selama 5 tahun. Kita dulu pernah bersenang senang dengan mereka, sekarang mereka sudah jelas jelas keterlaluan dan melewati batas!"

    Aku mengangkat bahu. "Mungkin mereka bosan dan mengerjaiku adalah salah satu cara untuk menghabiskan waktu?"

    Olive berhenti memukul mukul jarinya diatas meja dan menepukkan semua jari jarinya. "Ini pasti gara gara Patricia, dia membenciku karena aku adalah Head Girl, dia pikir pasti dia adalah orang yang sangat berpengaruh di sekolah ini"

    Well, itu terdengar seperti penjelasan yang logis. Aku memutuskan untuk setuju dengan yang satu itu.

    "Kau mungkin benar. Dia selalu cemburu padamu dan selalu ingin mengerjaimu. Jadi karena kau terlalu sulit untuk dikerjai, jadi dia menggunakan Taylor untuk mengerjaiku"

    Aku melihat sebuah kilatan dimata biru Olive. "Oh ya. Pasti begitu! Dia pasti mengatakan padanya betapa dia membenciku. Aku yakin ini pasti bukan tentangmu mu Scotty. Ini pasti tentang bagaimana cara mengalahkanku! Kau bukan apa apa melainkan hanya korban dari permainan mereka"

    OK. Mulai terdengar seperti teori konspirasi. Ada apa dengan gadis ini?

    "Well, kau pasti tak tahu apa apa" ucapku pelan. "Maksudku, yang tadi adalah omong kosong"

    "Oh aku tahu seperti apa Patricia itu" desis Olive. "Dia memiliki Taylor yang selalu bermanja manja padanya, satu kata darinya dan Taylor akan melakukan apapun untuknya. Tentu saja dia tak bisa untuk menyuruhnya untuk mengerjai seorang perempuan. Tapi dia tau betapa akan menyakitkanku saat melihat sahabatku menderita. Dia pasti menyuruh Taylor menyakitimu hanya untuk melihat bagaimana reaksiku. Oh this is sooooo like her"

    Aku benar benar tak yakin dengan alasan-alasan ini. Faktanya aku sangat yakin kalau Olive salah menggonggongi orang. Tapi kuputuskan akan menjadi lebih gampang jika membiarkan dia percaya dengan teorinya sendiri.

    "Kau benar Ol, aku tak akan berurusan lagi dengan sapi itu"

    Persetujuan ini sepertinya sedikit memuaskannya dan dia lalu mengangguk. "Aku juga. Dengar, aku akan ada mentoring session dengan seseorang dari tahun 7 lima menit lagi. Apa kau akan baik baik saja kalau aku meninggalkanmu?"

    Aku terdenyum. Aku yakin waktu waktu alotku akan segera berakhir. Olive memiliki banyak pertimbangan dengan segala macam club sekolah yang menjadi tanggung jawabnya. Dia selalu bekerja dan melakukan apapun yang dia bisa untuk menolong dan menjadi pupil bagi sekolah. Dia benar benar sangat mengagumkan.

    "Aku akan baik baik saja" sebisa mungkin aku tersenyum. "Mungkin aku lebih baik pulang saja. Kau pergilah, kita akan bicara lagi nanti"

    "Aku bisa meng-cancelnya kalau kau mau aku mengantarkanmu?" Aku tau dia akan melakukannya untukku. Tapi aku tak mau menghancurkan harinya lagi.

    "Aku yakin aku akan baik baik saja. Saat aku dirumah nanti, aku yakin akan segera bisa melupakan hari yang menyebalkan ini"

    Kita tau kalau itu bohong, tapi Olive masih memberikan tatapan yang menyemangatiku. "Itu benar. Pulanglah dan lupakan si brengsek Taylor" dia mendekat dan mengacak acak rambutku. "Kita akan bicara lagi nanti. Bye"

    Aku memberikannya hormat perpisahan dan membuatnya tertawa kecil, lalu melihatnya keluar dari cafetaria. Aku berharap semoga dia tak akan melabrak Taylor atau Patricia lagi karena aku tau dia akan. Tetap saja aku yakin dia masih bisa mengontrol dirinya lebih baik daripada aku.

    Kulihat jamku, sudah 40 menit sejak pelajaranku selesai. Aku tau Mr. Bicknam pasti masih bekerja di kelasku sampai jam pelajaran berikutnya dimulai. Aku memutuskan untuk menghampirinya dikelas sebelum pulang kerumah. Mungkin dia bertanya tanya kemana saja aku karena jarang sekali aku melewati pelajarannya.

    Aku keluar dari cafetaria dan melihat ke lantai atas atau lantai bawah apa ada Taylor dan Patricia atau tidak. Aku tak bisa melihat atau mendengarnya dan membuatku percaya mereka masih berada di ruang ganti. Aku dengan cepat berjalan melewati tempat dimana aku baru saja digantung.

    Saat aku hanya tinggal beberapa langkah lagi, aku melihat beberapa siswa Upper Form memasuki ruangan Mr. Bicknam. Sial, pelajaran selanjutnya sudah dimulai. Aku ingin menemuinya sebelum terlambat, jadi aku berlari.

    Aku tak tahu apa karena aku tak melihat atau aku terpeleset sesuatu, aku merasakan badanku menghantam sesuatu yang keras. Atau seseorang yang keras. Buku bukunya berserakan dilantai. Aku langsung membantunya untuk mengumpulkan buku buku itu dan mengucapkan maaf berkali kali.

    Saat aku mendongak keatas, aku melihat seseorang berbadan besar, tinggi, gelap yang sedang menatapku aneh. Itu Vincent Hunter. Pria terkuat yang paling ditakuti disekolah.

    Dan kupikir, hidupku pasti takkan bisa lagi menjadi lebih parah.
  • ceritanya menarik ... dilanjut ...
  • Chapter 3: The Tale Of Vincent Hunter

    Biar kuberitahu kalian sedikit cerita tentang Vincent Hunter. Ada banyak cerita dan gosip yang beredar dengan beberapa versi bagaimana dia bisa mendapatkan pamornya disekolah, hari itu, tapi aku adalah salah satu orang yang menyaksikan itu semua.

    Itu semua terjadi beberapa tahun yang lalu. Saat aku berada di Year 9 dan Vincent berada setahun diatasku. Sekitar satu tahun sejak saat kepergian ayah dan butuh waktu lama bagiku untuk bisa kembali ke sekolah dan mengerjakan semua tugas tugas yang menumpuk dan menggunung. Tapi aku tak bisa. Jadi aku harus berada dalam Detention, semacam semester pendek. Biasanya guru guru akan memberikanku keringanan. Tapi guru scienceku, Mrs. White berhati batu dan tak sedikitpun memberikanku keringan. Aku jadi ngelantur sendiri, intinya adalah aku berada dalam Detention saat itu.

    Detention di sekolahku dibagi berdasarkan jurusan yang dipilih, bukan di tahun berapa kau sedang duduk saat ini. Jadi sudah biasa saja jika dalam kelas kau menemukan siswa siswa yang lebih tua ataupun lebih muda darimu. Dan hasilnya, aku sekelas dengan banyak siswa dari Year 7 dan Year 10. Termasuk Vincent. Saat itu kami sedang sibuk duduk di tempat kami masing masing mengerjakan tugas yang diberikan Mrs. White kepada kami. Vincent duduk di pojok paling belakang, ada tiga orang cowok yang duduk beberapa bangku didepannya dan aku duduk di bagian paling depan. Mrs. White lah yang mengawasi kelas kami selama 10 menit dan setelah itu dia pergi ke kantornya.

    Aku sesekali melihat Vincent. Dia tampak sangat keren dan gagah dengan dasi yang sedikit longgar dan kemeja yang berkerut. Kepalanya yang berambut coklat menunduk sembari serius mengerjakan tugas. Vincent adalah tipe orang yang melakukan apapun yang dia mau dan tak peduli dengan tanggapan orang lain. Saat itu, aku berharap bisa menjadi Vincent daripada menjadi diriku sendiri. Dia tampak keren.

    Aku tak tahan untuk tak mengintip Vincent dari bangkuku. Saat aku kembali lagi mengintipnya, aku tertangkap basah olehnya dan dia langsung memberikanku tatapan cemberut. Aku dengan spontan kembali berputar ke tugasku dan terbatuk batuk menahan malu.

    Seisi kelas mulai heboh saat Mrs. White tak ada. Ketiga orang yang duduk didepan Vincent berbisik bisik dan kemudian tertawa terbahak bahak. Aku menoleh sebentar dengan kesal kepada mereka karena mereka menganggu konsentrasiku lalu kembali pada tugasku. Awalnya,kupikir mereka menertawakanku (let's face it, aku adalah sasaran empuk pembully-an disekolah). Tapi aku terkejut saat mereka ternyata menertawakan Vincent saat mereka berbisik bisik dan melirik Vincent dari sudut matanya.

    Vincent tak memberika respon apapun dan mencueki mereka. Entah karena kesal atau apa,ketiga cowok itu mulai berkata dengan nyaring. "Oi Vincent. Kenapa kau berada di Detention lagi? Apa kau kembali menjadi anak nakal?" Lalu mereka bertiga kembali tertawa.

    Lagi, Vincent tak memberikan respon apapun dan fokus pada tugasnya. Aku tak pernah melihat Vincent menyakiti orang lain, dia bertubuh jangkung dan tinggi, memang sih tak terlihat seperti preman sekolahan, tapi dia selalu mengutamakan sikap dalam pergaulannya. Itulah yang membuat orang orang harus berpikir dua kali jika ingin berurusan dengannya.

    Salah seorang dari mereka bertiga kemudian kembali mencemooh,yang akhirnya aku sadar bahwa ia adalah Rich. "Hei Vincey, apa ayahmu dipenjara? Apa ayahmu membunuh orang lain lagi?"

    Ayah Vincent dikenal sebagai pemabuk, dan pembuat onar. Suatu hari dia terlibat dalam sebuah pertengkaran di bar yang karena ulahnya mengakibatkan seorang pria harus dilarikan kerumah sakit. Meski tak ada luka yang cukup serius, tapi kasus ini disorot oleh media massa dan tersebar di koran lokal. Tentu saja semua orang tau tentang ayah Vincent. Dan kemudian banyak rumor yang kudengar tentangnya disekolah.

    "Rich, kudengar ayah Vincent hanya terlibat, dia tak sampai membunuh.... kan?" Sahut salah seorang temannya.

    Vincent masih tak merespon apapun. Dia tetap fokus tapi genggaman tangannya pada pena semakin kuat. Rich kemudian dengan beraninya membalikkan kursi menghadap Vincent lalu kembali berkata dengan pongah. "Oi Vincent,ceritakanlah pada kami apa yang sebenarnya terjadi. Bagaimana rasanya hidup bersama seorang pembunuh?"

    Mereka kembali tertawa. Tapi tetap Vincent tak merespon. Rich menjadi kesal. Dua orang gadis dari Year 7 yang tadi menoleh kemudian berbalik mencoba untuk tidak mendengarkan obrolan itu.

    "Kupikir kau tangguh, tapi kau ternyata tak setangguh apa yang ku bayangkan" Ucapnya.

    Itu dia. Rich sudah benar benar keterlaluan. Mereka bertiga kembali tertawa terbahak bahak sebelum Vincent bangkit dan tanpa sadar apa yang sedang terjadi, Vincent menjambak rambut Rich, dan menghantamkan wajahnya ke meja.

    Bunyi tulang tulang yang patah membuat seisi ruangan terkejut dan berpaling pada Vincent. Dua orang wanita dari Year 7 berteriak dan menangis. Darah segar merembes keluar dari hidung dan mulut Rich dan membasahi lantai. Cengkraman tangan Vincent masih kuat. Sangat kuat. Membuat kedua teman Rich berdiri ketakutan dengan mulut menganga dan air mata tertahan di pelupuk.

    "Dengar, jangan pernah mengatakan apapun tentangku. Paham?" Kata Vincent yang langsung dijawab dengan angguka oleh mereka berdua.

    Vincent kembali duduk dibangkunya dan bersikap seolah olah tak ada apapun yang sedang terjadi. Sementara aku dari kejauhan menatapnya horror dan kagum.

    Rich kemudian dengan badan yang masih bergetar berdiri dengan bantuan kedua temannya tepat saat Mrs. White datang. Dia menyuruh mereka bertiga untuk mengikutinya ke ruangannya dan meminta kami untuk tetap tenang. Vincent masih bersikap seolah olah tak terjadi apa apa. Beberapa saat kemudian, Mrs. White kembali dan menyuruh Vincent untuk menghadap kepala sekolah dan mengatakan bahwa dia bertanggung jawab untuk ini semua. Sementara mereka pergi,kami disuruh untuk menulis kesaksian diatas sebuah kertas.

    Setelah selesai, tak ada luka serius yang dimiliki Rich. Tapi dia masih harus mendapatkan beberapa jahitan di wajahnya. Vincent dipaksa untuk menulis surat permintaan maaf dan meminta maaf secara verbal kepada keluarga Rich, plus dia di berikan skorsing selama dua minggu yang membuat keluarga Rich murka. Tentu saja. Tapi sekolah mengeluarkan alasan, bahwa ini bukan sepenuhnya salah Vincent.

    Kalau akulah yang memiliki sekolah ini, aku pasti akan mengeluarkannya saat itu juga. But hey, ini kehidupan nyata dimana guru guru tak akan peduli dengan keselamatan muridnya!

    Kejadian itu, sontak menjadi pembicaraan panas seisi sekolah. Mereka mulai menggosipkan apapun tentang Vincent dan hampir seluruh dari mereka tak tahu bahwa aku melihat kejadian yang sebenarnya. Aku hanya tak mau menerima ratusan pertanyaan nanti jika menceritakan yang sebenarnya. Yang harus kulakukan, hanyalah mencoba melupakan kejadian itu dan menjauh dari Vincent apapun yang terjadi.

    Tapi disinilah aku, menabraknya dan membuat buku buku dan paper nya berserakan di lantai.

    Aku menyiapkan diri untuk menerima apapun reaksi dari Vincent. Aku mungkin akan dipukul dan di maki. Tapi.. tepat saat aku selesai dengan buku buku itu, dia langsung mengambilnya dan berkata. "Perhatikan langkahmu, Specs"

    Kalau aku tak salah dengar, ada nada humor di kalimatnya.

    Dia berjalan melewatiku dan aku masih terbengong bengong sendiri memperhatikannya dari sini, sampai dia menghilang dibawah tangga.

    Aku kemudian berbalik dan tak sengaja kembali menabrak seseorang.

    Hari ini benar benar bukan hari keberuntunganku.
  • Chapter 4: Girls and Game

    Yang baru saja kutabrak (lagi-lagi) adalah salah seorang siswi cantik dari Upper Form yang sangat tomboy dengan rambut hitamnya yang pendek, dengan gitar yang tersandang di punggungnya. Dia benar benar terlihat kesal kepadaku.

    "Jesus Christ, apa yang kau lakukan?!" Dia memakiku, "enyahlah!"

    Setelah itu, dia mendorongku dengan kedua tangannya lalu melangkah melewatiku dengan sepatu boots nya itu. Dia berjalan ke arah yang sama dengan Vincent.

    "Oi Vincent! Tunggu aku! Seekor tikus baru saja menabrakku!"

    Aku tak mengatakan apapun untuk membela diriku dari cewek yang mengerikan ini. Aku masih terkejut karena Vincent sama sekali tidak menghajarku tadi. Malah sekarang, aku dengan hati hati berjalan menempeli dinding dinding kelas di lorong untuk berjaga jaga tak akan menabrak orang lagi. Aku menunggu orang orang di kelas Mr. Bicknam habis, dan setelah itu aku segera menuju kelas. Mr. Bicknam orang yang sangat baik, untung saja dia mengerti alasan kenapa aku melewatkan pelajarannya. Dia benar benar berbeda dari guru guru yang lain, yang selalu tutup mata tentang pembully-an yang terjadi padaku.

    Ketika aku sudah selesai dengan urusanku, aku kemudian memutuskan untuk pulang. Hari ini, adalah hari yang panjaaaaang, dan juga menyebalkan. Yang ingin kulakukan hanyalah pergi dari sekolah dan melupakan semua yang telah terjadi hari ini. Jadi aku menuruni tangga lalu berjalan ke arah pintu keluar didekat meja piket.

    Saat aku berjalan keluar, aku melihat sosok Vincent Hunter dan juga gadis tomboy yang tadi kutabrak duduk dibawah pohon besar di sayap barat Havensdale. Vincent sedang menghisap rokoknya sedangkan cewek itu mengeluarkan gitar dari dalam sarangnya. Apakah mereka memiliki jam kosong ataupun mereka membolos, aku tak tahu. Awalnya kupikir Taylor Raven dan antek anteknya adalah sosok yang pantas untuk ditakuti karena mereka ahli memainkan otot oto mereka. Tapi saat tahu bahwa Vincent Hunter juga pandai menjaga sikap dan of course, dia juga ahli dalam memainkan otot ototnya, membuat ketakutanku padanya menjadi dua kali lebih besar dari ketakutanku pada Taylor Raven. Aku masih tak percaya kalau aku masih hidup setelah menabrak mereka berdua tadi.

    Kupikir aku mendadak kehilangan kesadaran saat melihat mereka berdua, tapi tiba tiba Vincent memergokiku tengah memandanginya. Mendadak, pipiku jadi panas. Aku menggeser bola mataku ke arah kiri, yah.. agar bisa berpura pura melihat pohon (walau aslinya srdang memperhatikan Vincent). Kemudian aku terkejut, Vincent melambaikan tangannya padaku! Aku tak yakin apa itu ditujukan padaku atau tidak, tapi tak ada orang lain selain aku disini. Pipiku mendadak panas dan akhirnya berjalan pergi meninggalkan mereka berdua disana.

    Aku bisa mendengar tawa Vincent yang menggelegar dari kejauhan.

    - -
    Malam itu, Olive berkunjung kerumah. Aku sangat senang karena dia datang. Sekarang dia sedang berguling di lantai kamarku dengan GameBoy nya. Kami saat ini sedang bertarung dalam game Munchy Monster.


    "Yes! Aku berhasil!" Katanya saat dia berhasil mengalahkan Pikamunchy ku dengan Fire-Otternya. "Aku sudah menaikan level Flamey ku dan lihat, aku berhasil mengalahkanmu!"

    Aku tak tega mengatakan padanya, bahwa aku sengaja melakukan itu. Maksudku, aku sengaja membiarkannya menang kali ini. Aku sedang tak mood untuk bermain karena hari yang menyebalkan ini.

    "Sepertinya impas" kataku. "Tapi aku ingin tanding ulang nanti"

    Olive tertawa lalu memasukkan GameBoy nya kedalam tas dan lalu mendekatiku. "Jadi.. bagaimana harimu? Maaf karena aku meninggalkanmu tadi"

    "Tak apa" balasku. "Lagian aku tak bertemu dengan Taylor Raven lagi kok dan rasanya benar benar melegakan"

    "Thank god!" Pekiknya. "Aku juga tak bertemu dengan si jalang Patricia tadi, yuck!" Dia menggigiti lidahnya sambil memasang ekspresi aneh.

    Aku tertawa. "Yeah, tapi kau pasti tak akan percaya siapa yang aku tabrak tadi... atau.. tak sengaja ku tabrak"

    "Siapa?"

    "Vincent Hunter..."

    "What!!? Vincent Hunter si psikopat itu!?" Olive adalah salah satu orang yang mempercayai rumor yang beredar tentang Vincent di sekolah.

    "Ya.. orang itu" kataku. "Aku kembali ke kelas Mr. Bicknam untuk menjelaskan kenapa aku melewatkan pelajarannya, tapi aku tak sengaja menabraknya yang mungkin baru saja atau sedang menuju kelas lain dan membuat semua kertasnya beterbangan.."

    Mata Olive membesar dengan horrornya, "Kau melakukan apa!? Jadi apa yang dia lakukan padamu setelahnya!?"

    Aku mengangkat kedua bahuku, "Tidak ada. Dia hanya menyuruhku untuk memperhatikan langkahku"

    Olive mengangkat badannya, duduk disampingku diatas kasur dan lalu mendekat kearahku. "Kau membuat kertas kertas seorang VINCENT HUNTER beterbangan , orang yang hampir mengirim siswa lain ke rumah sakit? Dan lalu dia tak melakukan apapun tapi malah menyuruhmu untuk memperhatikan langkahmu?!"

    "Oh. Dan dia memanggilku Specs" tambahku.

    "Specs?!!" Pekiknya. "Astaga! Itu romantis sekali!"

    Aku bisa merasakan wajahku panas saat ini. "Diamlah, Ol. Mungkin dia adalah pria yang baik, berbeda dengan apa yang dipikirkan orang orang tentangnya selama ini"

    "Pfft" Olive mengejekku. "Aku tak setuju denganmu. Dia bukan apa apa selain orang kasar yang hobi bertengkar. Kau pasti sudah melakukan sesuatu yang membuatmu bisa mendapatkan sisi baik darinya. Jika orang lain tahu tentang catatan kasusnya, maka rumor tentangnya di sekolah akan semakin parah"

    Mataku melebar. "Kau sudah membaca setiap catatan kasus yang dia perbuat selama ini di sekolah?"

    "Oh, come on! I'm the Head Girl!" Tembaknya. "Aku sudah membaca catatan kasus setiap orang dan punyanya, jauh lebih membuat orang orang geleng geleng kepala. Kau tak tahu apa yang sudah dilakukannya kepada teman teman dan guru. Dia adalah orang yang sangat pantas dikeluarkan selama bertahun tahun"

    Aku memutar mata. "Aku tak mengerti, kenapa kau tak dikeluarkan karena seenaknya membaca catatan kasus orang lain.."

    Olive adalah tipe orang selalu ingin tahu dengan urusan orang lain. Jadi jika ada suatu masalah, dengan wewenangnya sebagai Head Girl of Sixth Form dia bisa mengetahui apapun meski dia tak berhak.

    "Ngomong ngomong.." katanya dengan cepat merubah topik pembicaraan. "Aku masih tak percaya dia tak memukulmu atau memakimu. Dia, adalah tipe orang yang pasti akan melakukan itu"

    "Tapi temannya mendorongku" jawabku saat teringat cewek tomboy itu. "Aku juga menabraknya saat itu.."

    "Maksudmu Alexis Mae?"

    Tentu saja Olive tau siapa cewek itu. Jelas sekali.

    "Dia berambut pendek, dengan gitar di punggungnya.."

    "Alexis Mae" potong Olive mengkonfirmasi. "Dia sudah seperti bayangan Vincent, kemanapun Vincent pergi, dia selalu ada. Mereka berdua kayaknya pacaran deh. Hubungan mereka bahkan pernah jadi trending topic di sekolah. Tapi pada dasarnya dia adalah bayangan Vincent"

    Saat dia mengatakan itu, aku benar benar yakin kalau sosok yang kutabrak adalah Alexis Mae. Dia adalah tipe cewek yang gampang untuk diingat.

    "Menarik" kataku menganggukkan kepala. "Kau sepertinya tau apa saja tentangnya"

    "Tentu, itu sudah jadi kewajibanku sebagai Head Girl untuk mengenali teman teman!"

    "Dan sekarang kau bersikap seolah olah kau yang bertanggung jawab" balasku sambil mencibir.

    Olive menyeringaiku, dia sedikit merasa tersinggung. Jika sudah berhubungan dengan posisinya di sekolah, Olive mendadak akan kehilangan sense of humour nya. Dia turun ke lantai lalau menyandarkan punggungnya ke kasur. "Kau tahu, aku dan Alexis benar benar memiliki jalan yang berbeda. Dia dan Vincent mendaftarkan diri untuk bisa tampil dalam kontes Battle Of Band bulan depan.."

    Oh ya, setiap tahunnya sekolah kami selalu mengadakan even ini dan tahun ini Olive juga ambil andil dalam mengurusi acara tersebut.

    "Jadi.. dia punya band?" Tanyaku.

    "Begitulah.. aku belum mendengar demo dari lagunya karena aku terlalu sibuk dengan urusanku" katanya. "Mungkin, dulu pernah ada diskusi tentang apakah menbiarkan mereka memainkan lagunya atau melihat mereka menghancurkan pentas. Tapi kupikir, mungkin sebaiknya biarkan mereka memainkannya karena BFF's barunya Vincent akan terpukau" Olive menaik naikkan kedua alisnya padaku sambil menyeringai puas menggodaku. Aku meraih bantal dan lalu melemparkannya pada Olive.

    "Diam!"

    Dia tertawa sambil menjauhkan bantal yang kulempar tadi darinya. "Seriously, Scotty. Kau sudah punya Taylor Raven sebagai musuh abadimu dan sekarang kau malah memiliki musuh baru bernama Vincent Hunter dan kemudian kau baru saja mengatakan dongeng padaku, tadi?" Dia berpaling pada sebuah novel Harry Potter yang terletak di rak rak buku buku. "SCOTTY POTTER.... LIIIIVEEED!!!"

    Aku menggerutu sendiri lalu menjatuhkan diriku keatas kasur. Tak akan ada habisnya jika mendengarkan ocehan dari Olive kalau begini terus.

    Kemudian ibuku datang menghampiri kami, "Hey kalian berdua. Aku baru saja memasak makan malam. Ayo kita makan!"

    Olive berdiri dan berjalan ke arah pintu kamarku, "Oh, Yes Please, Mr. William. Pasti akan menyenangkan! Maaf ya kalau merepotkan"

    Ibuku tersenyum pada Olly. Dia benar benar mengagumi teman berambut pirangku itu. Mereka berdua sangat akrab hingga Olly tampak seperti anak perempuan angkatnya.

    "Tak masalah OllyBean. Kalian berdua bisa menceritakan semua gosip terhangat dari sekolah padaku"

    Ohhh! Kapan hari ini akan berakhiir!?



  • @adamy semoga mengerti yah :-)

    @lulu_75 semoga menikmati yaaa
  • sepertinya Vincent suka sama Scootty ...
  • Nitip mention ya klu up lagi...
  • wah mksh kk TS atas info critanya. langsung cek kesana hehe.
    tp ttp nanti ane baca dsni jg xD
  • wah mksh kk TS atas info critanya. langsung cek kesana hehe.
    tp ttp nanti ane baca dsni jg xD
  • Chapter 5: Noticing Vincent

    Mungkin ngga penting juga sih, tapi saat makan malam, aku menceritakan semua hal yang terjadi di sekolah kepada ibu dalam versi yang telah ku ubah. Aku menceritakan semuanya, kecuali Taylor Raven, ataupun digantung di ruang ganti. Olive malah sepertinya ingin memuntahkan beans yang sedang dia kunyah di mulut saat ini. Dia kesal karena aku tak memberitahu semuanya, tapi dia menahan itu. Karena seperti yang kukatakan tadi, sangat jarang untuk melihat ibu bisa tersenyum seperti ini setelah kematian ayah dan aku tak mau menghancurkan senyumannya hanya karena hari burukku.

    Setelah makan malam, Olive berpamitan pada Ibu dan akhirnya aku bisa tidur. Like, ya.. aku langsung tertidur begitu saja di kamar. Tapi mimpiku, berisikan tentang semua kejadian di sekolah. Kau tahu.. Taylor Raven, digantung, bahkan.. menabrak Vincent.

    Beberapa hari berlalu di sekolah berlalu tanpa adanya insiden. Untungnya aku tak bertemu dengan Taylor Raven dan antek anteknya lagi. Aku tak tahu apakah saat ini dia sedang mempersiapkan pertandingannya melawan daerah lain (hey, it's Taylor Raven. Si Atlit tennis), atau.. saat ini dia sedang mempersiapkan taktik dan rencana terbaru untuk menyiksaku? Aku tak peduli. Setidaknya, aku bisa mendapatkan ketenangan di sekolah, yah.. meski hanya sebentar.

    Satu satunya hal yang berubah di sisa minggu ini adalah, aku mulai melihat Vincent Hunter dan Alexis Mae dimana mana. Aku yakin aku pernah melihat mereka berdua di sekolah sebelumnya, tapi setelah insiden "penabrakan" itu, mereka seperti muncul dimana mana. Maksudku, saat mereka berjalan di luar kelas, saat mereka bermain main di bawah pohon (masih ingat pohon itu?). Saat aku sadar bahwa aku membuntuti mereka, aku berpikir, apa aku sudah menjadi stalker? Mereka menjadi sebuah obsesi tersendiri bagiku. Terutama Vincent Hunter.

    Saat aku melihatnya bermain gitar lagi, dia tampak begitu... menakjubkan. Sangat jauh dari seorang remaja gila yang menghajar teman sekelas saat masa Detention. Aku bertanya tanya, apa sebenarnya Vincent adalah orang yang berbeda dari apa yang dirumorkan? Atau mungkin dia mendapatkan judge yang salah dari orang orang hanya karena kesalahan kecil yang dia buat beberapa tahun yang lalu?

    Dan juga... aku bisa merasakan aura hitam yang berasal darinya. Caranya menghantam Rich dalam amarah, dan juga bagaimana respon serta opini pahit dari guru guru tentangnya. Nafas berat dan beban yang tampak dari matanya seolah olah menyuruh semua orang untuk tetap menjauh darinya. Mata itu.. mata yang seolah olah menggambarkan betapa kelamnya masa lalu seorang Vincent Hunter yang membuat semua orang takut akannya. Satu satunya yang berhasil mendekatinya hanyalah Alexis Mae. Vincent sepertinya bisa mentolerir keberadaan Alexis, sedekat apapun dengannya. Aku penasaran, apa Alexis berhasil menembus cangkang keras Vincent? Somehow.. Vincent tampak seperti seseorang yang sedang berada di dunia tanpa jiwa, dengan kumpulan asap yang mengikutinya dari belakang.

    Rasanya sangat sulit dipercaya waktu itu dia benar benar melambaikan tangannya padaku. Mungkin aku salah, karena itu benar benar bukan seperti pria yang saat ini sedang kulihati dari jauh. Mungkin dia bersikap seolah olah mengenalku waktu itu, tapi saat kami berpapasan waktu itu, dia bersikap seolah olah tak lagi mengenalku. Tatapannya masih sama: tajam dan dalam lurus kedepan. Alexis juga sepertinya tak begitu peduli dengan keberadaanku.

    Satu satunya orang yang menganggapku ada hanyalah sahabat terbaikku diseluruh dunia. Olive. Sore itu, dia menghampiriku saat aku sedang mengambil buku matematika dari loker.

    "Jangan bilang aku tidak tahu, Scotty" katanya sembari menyandarkan satu lengan ke pintu loker. "Kau menyukai Vincent Hunter kan?"

    Buku bukuku langsung berserakan begitu saja dilantai setelah mendengar kalimatnya. "Apa maksudmu?"

    Olive mengarahkan satu telunjuknya padaku. "Tak ada yang bisa membohongiku, Scotty Williams. Aku tau matamu mengawasi sosok Vincent Hunter sepanjang hari. Kau seperti lovesick puppy dog dengan lidahnya yang terjulur!"

    Aku mencoba untuk membayangkan analogi nya. Maksudku, mungkin Vincent tau bahwa aku belakangan selalu memperhatikannya. Tapi.. lovesick puppy dog? Analogi macam apa itu? Well.. Vincent memang cute sih. Tapi bukan berarti aku memiliki perasaan padanya kan?

    "You're crazy!" Jawabku membela diri. "Aku bahkan hampir tak pernah melihatnya lagi!"

    "Bullshit!" Balasnya. "Aku tau kita pergi ke Cafetaria waktu itu hanyalah agar kau bisa mengikuti Vincent Hunter sedikit lebih lama!"

    "A.. a.. aku cuma ingin mengganti suasana?" Aku tercekat. Apa aku benar benar melakukan itu? "Lagian, kau sepertinya membuntutiku ya!?"

    "Aku hanya memperhatikan sikapmu, Scotty" dia mengambil salah satu bukuku kemudian kami berjalan beriringan saat aku berjalan ke kelas. "Look, hanya karena dia bersikap sedikit baik padamu waktu itu, bukan berarti kau harus terbuai dengan semua sikapnya itu. Maksudku, dia itu psikopat! Lagian dia bukan gay, jadi menyukainya hanya akan benar benar jadi bencana bagimu"

    Ingin rasanya aku ditelan bumi bulat bulat saat ini. "Olive, i love you.. aku mencintaimu. Tapi bisakah kau menutup mulutmu? Aku tidak menyukai Vincent Hunter!"

    "Oke,jadi kau tak mengakuinya. That's fine. Kau harus tetap bersikap seperti itu"

    "Well, aku akan tetap bersikap seperti itu!" Balasku. "Karena aku bahkan tak pernah menyukai seorang Vincent Hunter!"

    "Alexis Mae akan benar benar marah jika tau ini" Tambah Olive. "Aku yakin mereka berdua berpacaran dan Alexis, adalah tipe pencemburu. Menyukai Vincent saja sudah jadi masalah bagimu,aku tak ingin kau juga harus menghadapi Alexis nanti"

    "JESUS CHRIST!" pekikku yang membuat dua orang gadis dari Year 8 terkejut. "Aku tidak menyukai Vincent!"

    Tak peduli berapa banyak kata yang kau lontarkan pada Olive, mereka tak akan mampu membuatnya berhenti mengoceh. "Well, easy Scottt. Aku cuma mengatakan mungkin kau menyukai Vincent Hunter dan kau harus mencari sesuatu yang lain untuk mengalihkan perhatianmu dari itu. Tak banyak gay di sekolah ini. Yang harus kau lakukan adalah berkonsentrasi pada pelajaranmu, bukan pada kehidupan percintaanmu"

    Aku ingin sekali rasanya melemparkan buku buku yang ada ditanganku pada Olive saat ini dan memakinya. Tapi obrolan kami tiba tiba terhenti saat seseorang memanggilku.

    "Hey Scotty! Wait up!"

    Itu adalah Mandy Anderson. Salah seorang anggota dari Dungeon Adventure club milikku dan Olive. Mandy berada beberapa tahun dibawahku.

    "Hai Mandy!" Sapa Olive sambil tersenyum padanya. "Bagaimana kabarmu?"

    "Aku baik baik saja" balas Mandy. "Aku ingin mengatakan.. bahwa aku akan terlambat mengikuti acara club karena aku harus mengikuti Detention selama 15 menit sore ini.."

    Bagi orang orang seperti kami, Detention adalah neraka. Mandy masih berada di tahun dimana Detention masih menjadi sebuah kewajiban bagi siswa di tahun itu. Poor Mandy. Mandy adalah gadis dengan badan yang cukup besar dengan kacamata dan juga jerawat di pipinya.

    "It's fine. Kami bisa menunggumu" kata Olive.

    "Dan lagian" tambahku. "Hanya tinggal setahun lagi sebelum kau 'say bye' Detention"

    Mandy tersenyum pada kami berdua. "Kau benar! Thanks Scotty. Thanks Olive. Sampai ketemu lagi nanti"

    Dia lalu menghilang di bawah tangga saat aku ingin naik ke lantai atas, ke kelas matematika ku. Aku mengenggam buku buku ditanganku lebih kuat. "Alright then, Ol. Sampai jumpa lagi nanti" kataku.

    "Oh ya. Sampai jumpa nanti. Ingat..." dia menaik naikkan kedua alisnya padaku.

    "Apa apaan maksud dari itu semua?!" Responku pada ekspresi Olive.

    "Oh.. tidak apa apa.." dia berbalik dan bersikap seolah olah tak terjadi apa apa. "Ingatlah.. BERHENTI MEMIMPIKAN VINCENT HUNTER!!" Pekiknya dari bawah tangga yang menggema ke seluruh hallway.

    Aku menggerutu sendiri di tangga. Geez




  • Ikut daftar mention dong. ._.
Sign In or Register to comment.