It looks like you're new here. If you want to get involved, click one of these buttons!
Copyright 2021 Queer Indonesia Archive. See our Privacy Policy. Contact us at [email protected]
Dengan menggunakan situs ini berarti Anda setuju dengan Aturan Pakai.
BoyzForum.com adalah situs anti pedofilia!
Comments
Tiki satu kos ma Mathew...???
Penasaraan dg cowok sebelah kamar...
matthew deket sama tiki ya karna mirip taka, kayanya lingga ada feel sama tiki
btw.. klo kaya gt foto ilustrasi lingga sama subi, gw mw dong lingga nya, kan subi dah sama wahid wakakakaka
Yg kuat yg mas tiki. Mattew nanya kesiapa tuh? Mas tiki kah? Atau cowok yg sama mas tiki?
°•¤ Happy Reading Guys ¤•°
@Antistante @yuzz
@meong_meong @anohito
@jeanOo @privatebuset
@Gaebarajeunk @autoredoks
@adinu @4ndh0
@hakenunbradah @masdabudd
@zhedix @d_cetya
@DafiAditya @Dhivars
@kikyo @Tsu_no_YanYan
@Different @rudi_cutejeunk
@Beepe @dheeotherside
@faisalrayhan @yubdi
@ularuskasurius @Gabriel_Valiant
@Dio_Phoenix @rone
@adamy @babayz
@tialawliet @angelofgay
@nand4s1m4 @chandischbradah
@Ozy_Permana @Sicnus
@Dhivarsom @seno
@Adam08 @FendyAdjie_
@rezadrians @_newbie
@arieat @el_crush
@jerukbali @AhmadJegeg
@jony94 @iansunda
@AdhetPitt @gege_panda17
@raharja @yubdi
@Bintang96 @MikeAurellio
@the_rainbow @aicasukakonde
@Klanting801 @Venussalacca
@greenbubles @Sefares
@andre_patiatama @sky_borriello
@lian25 @hwankyung69om
@tjokro @exxe87bro
@egosantoso @agungrahmat
@mahardhyka @moemodd
@ethandio @zeamays
@tjokro @mamomento
@obay @Sefares
@Fad31 @the_angel_of_hell
@Dreamweaver @blackorchid
@callme_DIAZ @akina_kenji
@SATELIT @Ariel_Akilina
@Dhika_smg @TristanSantoso
@farizpratama7 @Ren_S1211
@arixanggara @Irfandi_rahman
@Yongjin1106 @Byun_Bhyun
@r2846 @brownice
@mikaelkananta_cakep @Just_PJ
@faradika @GeryYaoibot95
@eldurion @balaka
@amira_fujoshi @kimsyhenjuren @ardi_cukup @Dimz @jeanOo @mikaelkananta_cakep
@LittlePigeon @yubdi
@YongJin1106 @Chachan
@diditwahyudicom1 @steve_hendra
@Ndraa @blackshappire
@doel7 @TigerGirlz
@angelsndemons @3ll0
@tarry @OlliE @prince17cm @balaka
@bladex @dafaZartin
@Arjuna_Lubis @Duna
@mikaelkananta_cakep
@kurokuro @d_cetya
@Wita @arifinselalusial
@bumbellbee @abyh
@idiottediott @JulianWisnu2
@rancak248 @abiDoANk
@Tristandust @raharja
@marul @add_it
@rone @eldurion
@SteveAnggara @PeterWilll
@Purnama_79 @lulu_75
@arGos @alvin21
@hendra_bastian @Bun
@jeanOo @gege_panda17
@joenior68 @centraltio
@adilar_yasha @new92
@CL34R_M3NTHOL @Lovelyozan
@eka_januartan @tianswift26
@guilty_h @Dhivars @Togomo
@adilar_yasha @GeryYaoibot95 @CL34R_M3NTHOL @Lovelyozan @eka_januartan @tianswift26 @abyyriza @privatebuset @Bun @sujofin @centraltio
@TedjoPamungkas @cute_inuyasha @hehe_adadeh @Vio1306 @gemameeen
@febyrere @Prince_harry90
@ando_ibram @handikautama @babayz @seventama @Gaebara @coniostring1
×××°•••°°•••°×××
I always thought... that love was something tender, sweet, and affectionate. I realized... that was only a plausible delution when I experienced my first love.
Loving someone feels just like some sort of violence tearing me into pieces.
Usai mengetik, aku langsung memposting kalimat itu ke wall Facebook-ku. Kemudian aku meraih tas selempangku dan bergegas keluar dari kamar kosku.
Sebenarnya cukup lama aku tidak memposting apapun ke wall Facebook-ku ini. Tapi pagi ini, entah kenapa aku merasa sedikit sentimentil. Dan ingin menuangkan isi kepalaku disana.
Setelah mengunci pintu, aku segera memakai helm, menyalakan mesin motorku. Setelah menunggu beberapa menit, aku segera melajukan motorku ini. Menuju rumah Taka.
•°•°•°•°•°•°•°•°•°•°•°•°•
"Kiiii! Elu dari mana aja semalem?!" Taka menyambutku di ambang pintu sambil berkacak pinggang.
"Yaelah... Belon juga gue turun Ka. Gue balik aja deh..."
"Heeeyyy!!" Taka berlari cepat kearahku dan memegang erat stang motorku. "Ki... Kayaknya rumah gue kerampokan!!" ujarnya serius. "Tapi yang ilang cuma baju-baju lu!"
Kujitak jidatnya, "Bego gak sembuh-sembuh!" aku berseru dan melangkah masuk ke dalam. Membiarkan Taka memarkirkan motorku ke garasi sambil bersungut-sungut mengelus jidatnya. Tidak sampai semenit dia sudah berjalan mengiringiku.
"Ki... Gue serius! Baju lu gak ada semua!!"
"Iya. Gue tauk. Lagian baju gue bukan ilang. Tapi gue pindahin semua"
"Kemana?"
"Kekosan gue"
Taka mencengkram erat lenganku. Aku yang semalaman tidak tidur dan terjaga sampai Subuh, nyaris jatuh akibat hentakan tangan Taka.
Aku bukan tidak sengaja menghindari tatapan matanya. Tapi aku benar-benar masih mengantuk. Untung saja tadi sempat sarapan. Meskipun cuma beberapa lembar roti gandum dan secangkir kopi susu.
"Gue boleh duduk gak? Masih ngantuk nih"
Taka merangkul pundakku dan membawaku ke dalam kamar yang tadinya adalah kamarku. Aku langsung menjatuhkan badan ke kasur. Memeluk bantal. Dan membiarkan Taka memelukku.
"Gue tau Ki... Gimana situasi lu ama Bang Zaki. Tapi kenapa elu harus keluar dari rumah ini? Ini rumah lu juga Ki. Kalo elu pengen ngebales menghindar dari Bang Zaki, elu cukup diem disini aja. Gak usah ke rumah sebelah..."
Dan bla-bla-bla lainnya.
Kupejamkan mataku dan membiarkan Taka terus mengoceh. Sampai aku capek juga mendengar celotehannya.
Kuraih kedua pipinya dengan tanganku. Kucengkram erat sampai ia kesulitan bicara. Taka baru berhenti berontak saat kulumat bibirnya.
"Shut up! Or..."
"Or...?"
"I'll fuck you!!" ancamku.
"Maauuuuu...." Taka menatapku dengan mata berbinar-binar. "Ooohhh... C'mon Ki... Fuck gue pake monster Anaconda lu..." rengeknya.
"Taka! Elu ngapain, hah?!"
Aku ikut menoleh ke arah pintu. Bisa kulihat Suwek berdiri di pintu mengacungkan pisau dengan hanya memakai celana pendek saja dengan apron.
"Nih si pe'a maksa gue buat nge-fuck dia, Wek!" aku mengadu sambil mencoba menutupi area selangkanganku, dimana tangan Taka sedang memegangi pinggulku.
"I'm joking honey... Elu tau gue kan?" Taka bangkit dan menghampiri Suwek. "Ini pisonya taro sini aja ya..."
Sementara Taka sudah asik merayu Suwek yang sedang ngambek, ingatanku kembali di kejadian semalam. Saat Matthew memergokiku sedang memberi buah ke tetangga kosku.
Sebenarnya bukan itu yang membuat kami sama-sama kaget. Lebih kepada kenapa aku bisa jadi tetangga cowok itu yang ternyata adalah teman Matthew!!
Setelah memarkir motornya, Matthew masuk kedalam kamarku. Ia berinisiatif menutup pintu saat kami sudah di dalam kamar.
"Kak Tiki sejak kapan kos disini?" tanya Matthew mencoba mencairkan kekakuan diantara kami.
"Sejak hari ini" jawabku.
"Tapi pindahannya udah sejak beberapa hari lalu kan?" tanya Matthew mencoba memastikan. "S-soalnya... Mmm... Tadinya aku mau pindah kemari... Tapi kata tuan rumahnya, kamar ini udah di sewa orang... Ternyata Kak Tiki yang... pindah kemari..."
Aku beralih ke dapur. Mencoba menyibukkan diriku dengan cara membuatkan Matthew secangkir kopi.
"Mau kopi hitam, atau kopi susu, Matt?"
"Gak usah repot-repot Kak..."
"Santai aja... Oh iya, yang tadi itu temen lu?"
"Yang tadi? Oh! Aidan? Iya, dia... temenku Kak..." Matthew nampak salah tingkah. "Tapi... Saranku... Jangan terlalu dekat ama dia dan temen-temennya Kak"
"Alasannya?"
"Mmm... Anu... Itu..."
"Elu enggak ngebolehin gue deket ama mereka, karena pengen memonopoli gue, gitu?" tanyaku bergurau. "Masa gue gak boleh ramah ama tetangga gue?"
"E-eehhh.... B-bukan gitu..."
"Terus...??"
"A-anu... Sebenernya, dia itu gigolo Kak... Mereka semua... A-aku j-juga pernah ikutan... Tapi sejak kerja di Warung... Aku udah berhenti Kak... Sumpah!"
Aku sampai berhenti mengaduk kopi dan menatap Matthew. Sepertinya aku tidak bisa menyembunyikan ekspresi kagetku. Sementara Matthew berdiri salah tingkah.
"Cewek lu tau?"
"Yang pernah aku bilang cewekku, sebenernya bukan cewekku Kak... D-dia..."
"Jangan bilang kalo cewek lu itu yang jadi ATM buat lu..."
"Semacam itu Kak... T-tapi aku ama dia udah lama putus hubungan Kak... Soalnya dia udah dapet brondong baru..."
Aku menghela nafas panjang. Tak hanya sekali. Bahkan dengan kurang ajarnya, aku melakukan hal itu setelah menatap Matthew.
"Kalo elu butuh apa-apa, jangan sungkan bilang ke gue. Oke?"
"Hmmmm... Oke... Tapi kalo aku butuh aja ya Kak?"
"Berarti sekarang elu lagi jomblo dong?"
"Hehehe... Ya gitu deh..."
"Gak cari yang baru? Ngomong-ngomong, nih kopi lu... Kita duduk sambil nonton TV aja yuk"
"Kalo sekedar suka, ya ada... Tapi gak berani nembak..."
"Ooohhh... Lebih baik jangan nembak. Kecuali elu siap nanggung resiko terburuknya..." aku menyahut sambil menyeruput kopi di cangkir sambil menatap lurus ke layar televisi di hadapan kami.
Kudengar Matthew tertawa garing. Dan cukup lama kami hanya duduk di lantai, menonton tayangan televisi. Aku tidak bisa fokus ke acara yang tidak jelas itu. Mungkin karena aku sangat jarang menonton televisi. Lebih sering menonton film dari koleksi DVD milik Bang Zaki dan Taka. Atau lebih sering menonton koleksi film milik Bang Toya yang beberapa diantaranya aku bawa kemari.
"Kak Tiki kenapa kos?" Matthew mendadak bertanya. Mungkin dia sedang mencari cara untuk mencairkan suasana diantara kami saat ini.
"Butuh suasana baru..." jawabku.
"Oh..." Matthew menyahut singkat.
"Gerah?" tanyaku saat aku melirik Matthew yang sibuk mengelap keringat di keningnya dengan lengan kaus polo-nya.
Tanganku terulur meraih remote AC yang tergeletak di dipan kayu yang menjadi sandaran punggung Matthew.
"By the way, Matt... Walaupun elu udah lama berhenti ngelakuin itu, elu masih sering main kemari?" tanyaku.
"Kadang main kemari kalo lagi jenuh di kosan. Tapi kalo udah pulang dari Warung, lebih sering tidur" jawabnya, lalu menyeruput kopi dari cangkir yang sedari tadi ia genggam.
"Itu gak panas dipegang terus?" tanyaku penasaran. Matthew menggeleng sambil nyengir. "Udah biasa" jawabnya. Sejenak kemudian ia meraih handphone miliknya yang tergeletak di lantai, dekat dengan kakinya.
"Kenapa nyengir kuda gitu Matt?" tanyaku berlagak penasaran.
"Nih... Si Aidan minta di kenalin ama Kak Tiki" jawabnya dengan suara meninggi. Sesaat kemudian kami bisa mendengar seseorang terbatuk di luar kamar. "Kakak harus hati-hati ama Aidan!" Matthew berujar serius dengan suara agak berbisik. "Kalo tidur, pastikan pintu dikunci. Kalo gak, nanti si Jalang itu bakalan mengendap-endap masuk kemari"
"Hah? Mau ngapain? Nyolong?" tanyaku penasaran.
"Nyolong kesempatan buat ngisep pistol laki-laki milik Kak Tiki" jawabnya serius. Tak lama Matthew menunjukkan layar handphonenya padaku.
^Setan!! Jangan ngerusak nama baik gue!!^ itu kalimat yang kubaca di layar handphone Matthew. Dan bisa kulihat, pengirimnya adalah Aidan.
Matthew dengan cepat meraih gagang pintu dan membukanya secara mendadak. Dan... BRUK!! Aidan jatuh tersungkur di ambang pintu. Kemudian dia bangkit dan cengengesan kearahku. Tangannya menggapai mencoba menjitak jidat Matthew.
Aku cuma bisa melongo saja melihat tingkah laku mereka.
Aku meminta Matthew membuka pintu kamar sementara aku mematikan AC. Lalu aku berkenalan dengan Aidan. Juga dengan Fandra dan Alan yang tadi asik bermain gitar di teras kamar Aidan.
Aidan bilang teman-temannya yang lain keluar jalan-jalan. Sementara Matthew mengirim pesan singkat ke nomorku, kalau yang lainnya sepertinya sudah ada panggilan out call.
Entah kenapa kami semua cepat akrab. Mungkin karena ada Matthew yang menjembatani perkenalan kami. Memang lumayan sering aku mendengar pujian dari Wahid, kalau Matthew itu supel dan komunikatif.
Tanpa terasa, kami semua asik menonton film dari salah satu film yang diminta Matthew. Sambil terus bercerita kesana kemari. Sampai sekitar jam empat pagi, satu persatu dari mereka pamitan. Dimulai dari Fandra yang pamitan mau clubbing sekitar jam dua belas malam. Disusul Alan yang pamitan setelah mendapat panggilan telepon sekitar jam dua dini hari. Dan sekitar jam setengah empat, Matthew menarik paksa Aidan untuk keluar dari kamarku.
"Pulang... Bencong! Lu kira Kak Tiki tuh makhluk nokturnal kayak elu?!" Matthew berseru sambil menyeret Aidan dan menendangnya ke kamar sebelah. "Sorry Kak... Udah ganggu waktu istirahatnya... Abis ngurus yang satu ini, aku bakalan pulang..."
"Hahahaha... Oke Oke... Hati-hati di jalan ya.. sampai nanti..." aku menyahut. Kemudian menutup pintu kamar. Dan tak lupa menguncinya. Sesuai dengan saran Matthew.
Aku membalikkan badanku. Terlentang di atas kasur sambil menatap kearah langit-langit kamar. Tanpa sadar, aku terkikik geli mengingat kejadian semalam. Apalagi kalau ingat ucapan Matthew semalam, yang memberi penjelasan tentang profesi tetangga kosku itu.
Aku tidak pernah bermimpi bisa sampai punya kenalan seperti Aidan dan teman-temannya. Terlebih jadi tetangga kosku. Bisa dibilang, aku sangat awam dengan profesi seperti yang digeluti oleh Aidan. Tapi aku tidak pernah sedikitpun merendahkan orang-orang seperti Aidan.
Mungkin karena semasa sekolah di Jakarta dulu, aku punya beberapa teman seperti Aidan. Meskipun tidak terlalu dekat memang. Aku hanya mendengar dari desas-desus yang santer terdengar di kalangan teman-temanku saja.
Bagiku, mereka punya alasan tersendiri sampai bisa menggeluti profesi seperti itu.
•°•°•°•°•°•°•°•°•°•°•°•°•
Hari ini aku tidak diperbolehkan bekerja oleh Bli Syaka. Katanya wajahku terlihat letih. Jadilah, aku hanya memberi tahukan pada Suwek, kalau mungkin Matthew terlambat, biarkan saja. Tapi aku menitip pesan pada Suwek, agar Matthew kerja lembur hari ini.
Suwek tidak banyak tanya. Mungkin dia mengira kalau Matthew sudah menghubungiku terlebih dulu.
Tadi Taka menyuruhku untuk sarapan di depan ruang TV-nya. Dia melarangku untuk ke rumah sebelah. Selama makan, Taka memaksaku untuk mengajaknya ke kosanku. Dan saat sedang asik makan itulah, Bli Syaka datang bersama Bang Julian.
Tadinya aku disuruh Bli Syaka untuk tidur saja, tapi aku menolak dengan alasan kalau aku tidak bisa tidur meskipun aku sangat mengantuk.
Setelah menyelesaikan makan, Taka meraih piring yang tadi berisi nasi dan kari ayam buatan Suwek. Ia membawanya ke wastafel dan mencucinya. Aku cuma mengangkat kedua alis menatap tingkah Taka. Aku sempat melirik sekilas kearah Bli Syaka dan Bang Julian yang sepertinya sedang berdiskusi di ruang tamu.
Sekitar jam setengah sepuluh, atau lebih tepatnya dua jam kemudian setelah aku selesai makan, Bli Syaka mengajak kami semua keluar. Sebenarnya Taka sudah ada janji bertemu dengan Bang Akbar di tempat proyek kosannya. Tapi karena dia memaksa ingin ikut, jadilah kami keluar berempat.
"Bli... Kita kemana?" tanya Taka pada Bli Syaka yang duduk di kursi depan.
"Elu tinggal ikut aja, cerewet banget Ka" aku menyahut sambil duduk bersandar di kursi tengah, di belakang Bang Julian yang sedang sibuk mengemudikan mobilnya.
"Kalo kamu cerewet, nanti aku turunin disini aja lho" ancam Bli Syaka, tentunya dengan nada bercanda.
Kalau kuperhatikan ternyata sikap dan gelagat Bli Syaka itu sedikit mirip dengan Wahid. Well, mereka memang memiliki karakter sabar, lembut dan sangat peka. Kalau saja aku bisa dengan tipikal laki-laki seperti mereka, mungkin aku tidak akan membuat keputusan untuk menjadikan Bang Zaki sebagai kekasihku.
Mungkin karena aku ini kembaran Taka, jadinya kami punya sedikit kesamaan untuk menyukai laki-laki yang benar-benar seperti laki-laki. Bukan berarti Bli Syaka dan Wahid itu klemar-klemer, tapi ahh... entahlah!
Seperti halnya lelaki straight kebanyakan, mungkin para lelaki gay memang hanya bereaksi terhadap lelaki yang sesuai dengan tipe mereka saja. Menjadi gay, bukan berarti aku bisa seenaknya saja menyukai semua jenis lelaki.
Aku meraih handphone-ku yang kuletakan di sampingku. Setelah melihat kelayar, aku langsung me-reject panggilan telepon dari Mamah. Aku sedang malas menerima panggilan telepon dari beliau. Bukan karena aku sedang marah. Tapi aku memang benar-benar sedang malas. Bisa saja Mamah lagi-lagi mengajakku berdebat.
Aku bukan tidak bisa berdebat dengan beliau. Tapi aku sedang malas.
"Siapa Ki?" tanya Taka padaku.
Aku hanya menunjukkan layar handphone-ku pada Taka kemudian meletakkannya kembali di kursi mobil.
"Gue angkat ya Ki?"
"Gak usah... Biarin aja. Bisa merembet kemana-mana nanti" kataku sambil memasukkan handphone-ku itu ke dalam tasku. Tentunya setelah merubah handphone-ku itu menjadi silent mode.
"Bodo amat ah. Kepala gue lagi puyeng begini" kataku sambil menutup kedua mataku dan kembali menyamankan diriku dalam posisi dudukku.
•°•°•°•°•°•°•°•°•°•°•°•°•
Aku sampai di kosan sekitar jam tiga siang. Tadi aku nurut saja di ajak Bli Syaka ke Spa yang dulunya adalah tempat dia bekerja bersama Bang Toya. Karena kami mendadak datang tanpa booking terlebih dahulu, jadinya kami harus menunggu selama dua jam. Dan selama dua jam menunggu, Taka mengajakku ke departemen store yang berada di sebelah kanan meja reception. Meninggalkan Bli Syaka dan Bang Julian yang sedang sibuk melakukan reuni dadakan dengan beberapa staff yang mereka kenal.
Taka membelikanku kaos dengan warna yang sama dengan miliknya. Karena aku sedang tidak mood, jadinya aku hanya iya-iya saja saat dia memberikannya padaku. Tidak tanggung-tanggung, Taka membelikanku sekitar lima buah kaos dan dua buah kemeja. Untung saja kemeja yang dia berikan memiliki motif yang berbeda dengan miliknya.
Setelah menemani Taka belanja, aku segera memaksanya untuk menyusul Bli Syaka. Kalau dibiarkan saja, Taka bisa kalap belanja ini itu! Bocah satu itu memang super boros! Taka selalu punya cara untuk membuang-buang uangnya.
Bang Julian membelikanku secangkir kopi saat aku ikut duduk di Coffee Shop yang berada di Lobby. Lumayan membuat mataku menjadi melek, karena aku memang masih mengantuk.
Setelah menghabiskan setengah cangkir kopi, giliran Bli Syaka yang mengajak kami untuk memasuki sebuah lift menuju ke lantai dua. Saat keluar dari dalam lift, kami di sambut empat orang terapis wanita. Aku dan Taka berada di ruangan yang sama, sementara Bli Syaka masuk ke dalam ruangan di depan kami.
Aku tidak ingat apa-apa selama menjalani proses pijat. Karena aku langsung terlelap. Bahkan aku sempat heran, saat menyadari diriku sudah terlentang, sementara seingatku, tadi itu proses pijatnya dimulai dengan posisi menelungkup. Dan Taka yang membangunkanku dengan caranya yang kurang ajar. Yaitu memainkan kedua putingku sampai membuatku ereksi.
"Ka... Elu serius ngajak gue incest-an?" tanyaku sambil membiarkan tangan Taka membelai penisku yang tegak mengacung.
"Enggaklah... Gue cuma hobi godain elu doang" jawabnya sambil cengengesan. "Elu itu orangnya terlalu serius Ki..." lanjutnya sambil mengajakku untuk berendam di dalam bathup. Ada dua bathup yang letaknya bersebelahan. Tapi kali ini aku yang berinisiatif mengajak Taka untuk berendam bersama.
Sebenarnya ukuran bathup yang kami pakai ini bisa dibilang kecil. Bahkan saat salah satu dari kami masuk saja, airnya sudah berkurang separuh. Jadilah, kami hanya duduk berendam sebentar, lalu bangkit untuk menyabuni badan kami yang lengket karena minyak zaitun yang dipakai untuk memijat badan kami.
Saat sedang sabunan pun, Taka lagi-lagi menggodaku. Dia bilang ingin menyabuni punggungku, tapi tangannya terus saja nakal memainkan area selangkanganku.
"Ka..." panggilku sambil membalikkan badanku, berdiri berhadapan dengannya.
"Hmmm... Apa Ki?" Taka menyahut sambil memainkan alisnya naik turun.
"Elu nungging gih. Sini gue fuck bo'ol lu" kataku sambil membalikkan badannya dan memaksanya untuk menungging. Dan kejadian selanjutnya adalah, Taka yang teriak-teriak minta ampun sebelum aku sempat menjamahnya.
"Gila lu Ki! Gue kan bilang kalo gue cuma bercanda!"
"Kan elu sendiri yang bilang, kalo gue tipe orang yang serius. Giliran gue udah serius, elu malah nolak"
"Gue gak mau bo'ol gue dower gara-gara monster Anaconda lu itu, pe'a!!"
"Alah... Buktinya Suwek aja bisa ketagihan ama uler piton lu" jawabku sambil mengeringkan badan dengan handuk, kemudian keluar dari bathup.
"Yeee... Itu mah beda! Kalo dia kan emang udah dari dulu ketagihan ama Piton gue!"
"Ngeles aja lu, Abang Bajay!"
"Maksa aja lu, kernet metro mini!"
"Ka..." aku melangkah mendekati Taka, yang langsung melangkah mundur hingga ia jatuh terduduk di kursi yang terbuat dari kayu yang berada di dekat lemari disebelah bed massage. "Kapan elu mau maen ke kosan gue?"
"Kenapa emangnya?"
"Ya paling gak, gue bisa persiapan beli obat bius dulu, gitu"
"Buat ngebius siapa?" dahi Taka berkerut sambil mendongakkan wajahnya menghadap kearahku.
"Elu dong, Taka sayang..." godaku sambil menampar wajahnya dengan Anaconda milikku yang sudah terkulai lemas.
"Tiki pe'aaaaa....!!" jeritnya dengan mata terpejam. Aku hanya bisa ngakak melihat wajah Taka yang terlihat pucat setelah aku tampar barusan.
Bahkan setelah sampai di dalam kamar pun, aku mendadak tertawa saat teringat kejadian tadi.
Selama perjalanan menuju Kuta pun, Taka terus saja menghindariku. Sepertinya dia masih ngambek gara-gara aku membalas perlakuannya.
Bli Syaka mengajakku untuk jalan ke Beachwalk setelah selesai pijat bersama di Spa. Bang Julian rupanya yang mentraktir kami. Dan sekarang giliran Bli Syaka yang mentraktir kami makan siang di salah satu restoran di Kuta.
Usai makan siang bersama, aku putuskan untuk jalan-jalan sendiri menelusuri pantai Kuta. Tentunya aku sudah lebih dulu memberitahu Bang Julian untuk tidak menungguku kalau mereka mau pulang duluan.
Saat melintas di depan Kuta Bex, aku putuskan untuk masuk ke dalam gang Popies yang berada di sebelahnya. Terakhir kemari, sepertinya saat aku mengajak jalan-jalan Wahid untuk menemaniku membeli pakaian di butik langganan Taka yang berada di Legian.
Sebenarnya cuaca hari ini lumayan berawan, tapi mungkin karena aku lumayan capek jalan kaki, akhirnya aku putuskan untuk membeli minuman ringan di sebuah minimart yang berada di sebelah Monumen Bom Bali di Legian.
Saat sedang sibuk memilih minuman yang berada di dalam deretan lemari pendingin, tanpa di sangka, aku bertemu dengan kakaknya Wahid.
Walaupun sebenarnya sudah lama aku tau dari Wahid kalau dia bekerja di Legian, tapi aku baru tau kalau dia bekerja disitu. Kami tidak banyak bicara. Tapi kami sempat bertukar nomor telepon.
Dan baru saja aku membatin mencoba mengingat nama Kakak si Wahid itu, dia sudah mengirim SMS padaku. Dari SMS, aku meminta ID Line-nya, dengan alasan klasik kalau pulsaku sedang limit. Bukan ID Line yang dia berikan, tapi sebuah nickname akun Facebook-nya.
Aku iseng stalking ke postingan di wall Facebook-nya. Mataku terpaku saat membaca salah satu status yang ia tulis.
Love someone is like creating a part of yourself with the softest and thinnest skin.
Just a simple touch could make my temperature go up.
If they sink their claws in a bit, they can easily tear me up. And if they intentionnaly squeeze my hand tightly, that would be fatal for me.
My love is... a bomb filled with the potential to tear my world apart.
Setelah memberikan jempol di statusnya, aku juga membagikan statusnya itu di wall-ku, dengan imbuhan kalimat 'Wut I Feel Rite Now...'
Aku tersenyum saat belum satu menit aku membagikan status miliknya, Kakak Wahid yang ternyata bernama Akhza itu, langsung memberikan jempol juga. Sepertinya kami sedang saling stalking.
^Lagi istirahat?^ ketikku di kolom chat Messenger dan ku kirimkan pada Akhza.
^Barusan pulang. Lagi dimana?^ balasnya instan.
^Baru sampe di kos^ aku menjawab.
^Kos? Sejak kapan?^ pertanyaannya membuatku tersenyum.
^Sejak kemaren^ balasku lagi.
^Boleh mampir?^
^Silahkan. Tapi gw mo mandi dolo ye^ balasku setelah melepaskan seluruh pakaianku.
^Mandi bareng aja yuk^
Aku membalasnya dengan sebuah stiker tertawa, lalu mengetikkan ^Belum mukhrim^ dibawahnya.
^Oooh... Minta di lamar dulu ya? Mau pake mas kawin apa?^
Dibawah guyuran shower, aku ngakak saat membaca balasannya.
^Kok lama? Lagi mandi?^
^Iya...^ aku membalas singkat.
^Mandi bisa mainan hape?^
^Masih aman mandi maenan hape. Yang penting bukan sambil maen hati^ balasku.
^Habis share statusku langsung baper?^ godanya.
Sial, batinku sambil terkekeh. ^BAwah PERut^ balasku lagi.
^Wah menjurus nih^
^Jurusan mana Bli?^
^Mana alamatnya?^ ia bertanya lagi setelah mengirim stiker yang menunjukkan ekspresi lesu.
Aku langsung mengirimkan lokasi kosanku. ^Kalo nyasar telepon aja^
Setelah beberapa menit, Akhza membalas, ^Oh, di jalan itu. Gak bakalan nyasar. Mungkin bingung cari kamarmu aja^
Aku tersenyum membaca balasannya. ^Okay... Ditunggu...^ balasku, kemudian meletakkan handphone-ku diatas mesin cuci dan cepat-cepat menuntaskan mandiku.
•°•°•°•°•°•°•°•°•°•°•°•°•
Aku menyambut hangat kedatangan Akhza. Dia datang bersamaan dengan datangnya ojek online yang membawakan pesanan donat kesukaanku beserta es kopinya. Aku sengaja pesan tiga, karena yang satunya kusimpan di dalam kulkas.
"Suka kopi beginian?" tanya Akhza. "Lain kali aku bawain deh kalo maen kesini lagi"
"Gak usah... Lain kali aku yang bikin sendiri. Ini beli karena gue lagi males bikin" jawabku.
Pembicaraan berlanjut di teras kamar karena Akhza bilang dia ingin merokok. Sementara aku melarangnya untuk merokok di dalam kamar karena aku menyalakan AC.
"Kenapa enggak kos di rumah Ibu-ku aja?" tanya Akhza. Aku tersenyum dan menggeleng pelan. "Karena ada Wahid?"
"Gak juga. Kebetulan gue terlanjur cocok disini" jawabku.
Akhza berdiri menghadap kearahku. Kemudian berjalan mundur. Tangannya mengisyaratkan kalau dia sedang menghitung jumlah kamar kos yang berderet. "Cuma sepuluh kamar" ujarnya kemudian kembali duduk di sebelahku.
"Selain sedikit, suasana disini sepi. Makanya gue langsung ngerasa enjoy" kataku.
"Ki... Kamu tau kalau Wahid pernah suka sama kamu?"
Akhza, seperti yang pernah aku dengar dari Wahid, adalah orang yang selalu to the point. Dan sekarang basa basi itu langsung sirna setelah mendengar pertanyaannya barusan. Ekspresi wajahnya yang tadi terlihat santai pun kini berganti menjadi serius.
"Sampai aku jadi pelampiasannya karena dia enggak bisa juga dapetin kamu"
"Terus salah gue kalo ternyata gue gak nerima perasaan dia, dan sekarang malah menyambut hangat kedatangan elu kemari?" aku menyahut santai. "Dengan segala hormat, Bli Akhza, walaupun pada akhirnya gue jadi suka sama cowok, bukan berarti gue bisa begitu aja nerima perasaan orang yang udah gue anggep adek gue sendiri"
"Lalu perasaanku buat dia selama setahun lalu itu bagaimana, Ki?"
"Kita masuk ke dalam"
"Jawab Ki!" Akhza mendadak saja membentakku.
"Kita. Masuk. Ke. Dalem. Sekarang!" aku berujar tegas dan menekan setiap kata dari kalimatku, sambil mencengkeram kerah kemeja seragamnya. Bukan hal yang sulit untuk menarik badan Akhza yang walaupun besar, toh masih lebih besar badanku. Aku kembali keluar kamar untuk mengambil kopi milik Akhza yang masih berada di teras, kemudian meletakkannya di lantai dekat pintu.
Tadinya aku sudah ingin marah saja karena Akhza membentakku. Tapi melihat dia yang duduk diam sambil nangis, aku jadi tidak tega.
"Gue tuh juga lagi patah hati... Nyokap gue tau tentang hubungan antara gue dan... laki gue. Sementara laki gue nyuekin gue... Sekarang hati gue berasa lagi luntang lantung gak jelas begini, tolong... Jangan elu tambah-tambahin. Kalo bisa, kalo bisa nih ya, elu bantu kurangin beban gue..." cerocosku sambil duduk memeluk Akhza dan mengusap punggungnya, yang lumayan lebar juga.
"Bisa gue tebak nih... Kayaknya gue kualat ama adek tercinta lu itu tuh. Makanya gue kayak begini sekarang" aku nyerocos lagi, kali ini disambut tawa pelan Akhza.
"Enggak heran kalau Wahid cinta mati ke kamu, Ki. Meskipun kamu bilang seperti tadi, tapi kamu itu kuat. Gak kayak aku..." Akhza berujar sambil mencoba tersenyum saat kami sedang duduk berhadapan.
"Kalian itu bener-bener adek kakak... Klop! Sama-sama cengengnya!" aku berseru. Kuusap air mata di wajah Akhza. "Elu itu, Za... Badan aja yang segede security, tapi hati Barbie!"
"Makasih... Makasih atas hinaannya!!" ujarnya sambil tersenyum lebar.
•°•°•°•°•°•°•°•°•°•°•°•°•
"Itu tadi... Kakaknya Wahid kan?" Matthew bertanya setelah melihat motor yang dikendarai Akhza menghilang dari pandangan kami. Aku hanya mengangguk sebagai jawaban dari pertanyaan Matthew. "Kak Tiki akrab juga sama bajingan itu?"
"Bajingan?"
"Oh iya. Mungkin Kak Tiki gak tau penyebab Wahid lebih milih Subi dari pada balikan sama Kakak tirinya itu"
"Wait! Wait!... Jadi kalian semua tau tentang Wahid dan Akhza?"
Matthew nyengir. "Sebenarnya mereka putus gara-gara aku dan Irvin"
Aku menyilahkan Matthew untuk duduk dan melanjutkan ceritanya mengenai Wahid dan Akhza. Aku ketinggalan banyak cerita rupanya. Mungkin karena aku terlalu sibuk dengan urusan pribadiku sendiri yang kebetulan terjadi bersamaan dengan kejadian yang dialami oleh Wahid.
"Jadi itu penyebabnya..." aku berujar sambil memainkan ujung daguku dengan jemariku.
"Penyebab apa Kak?"
"Penyebab Akhza langsung pamitan pulang setelah ngeliat kedatengan elu, Matt?"
"Dia takut ama aku, gitu Kak?"
"As if!! Dia mungkin menghindari keributan disini, Mamat..." jawabku geregetan sambil mengacak-acak rambutnya. "Meskipun sebentar, gue bisa liat kemarahan di pandangan matanya. Paling enggak itu dugaan gue. Yang pasti dia gak takut ama elu Matt. Sebaliknya... Dia benci ama elu"
"Biarin aja. Lagian orang kayak gitu..."
"Orang kayak gimana?" aku menyela lalu menyeruput kopiku. Ngomong-ngomong soal kopi, aku sampai lupa menghidangkan sajenan untuk Matthew.
Aku segera beranjak menuju kulkas, dan mengambil es kopi yang tadinya mau kunikmati saat sedang sendirian. Kemudian kuberikan pada Matthew.
"Warung sepi ya?" aku mencoba mengalihkan topik pembicaraan.
Aku bukan tipikal orang yang suka bergosip. Biarlah Akhza terlihat buruk dimata orang lain. Walaupun sebenarnya aku melihatnya masih abu-abu.
Entah itu karakter buruk atau baik. Tapi selama aku merasa tidak mendapatkan perlakuan buruk, aku tidak akan ikut terkontaminasi dengan ucapan orang lain. Karena aku punya bukti nyata di diri Suwek. Kalau mengingat masa lalunya, mungkin...
Ah! Sudahlah. Kalau mengenai masalah Wahid, suatu saat aku akan bertanya sendiri, atau mungkin tidak sama sekali. Sepertinya lebih baik tidak sama sekali. Aku tidak mau mencampuri urusan orang lain. Karena aku masih pusing dengan masalahku sendiri.
Pertama aku sudah bisa keluar dari rumah Bang Zaki. Tapi aku masih belum bisa keluar dari pekerjaanku sekarang. Bukan berarti aku sudah merasa tak nyaman. Masalahnya aku harus memegang janji dan komitmen yang aku buat saat awal mula aku memutuskan untuk stay di Bali.
Aku merasa memutuskan untuk tinggal dan bekerja disini, di Bali, sudah menjadi pilihan yang tepat. Yang salah adalah pilihanku untuk mencintai orang yang seharusnya memang tidak boleh kusentuh. But, love is so mysterious. Everything I thought I disliked up to now, all seem charming to me.
Aku tidak menyesal sudah mencintai dan sempat mendapatkan hati Bang Zaki. Tapi aku malu pada diriku sendiri, sudah merampas hati Bang Zaki yang seharusnya tetap menjadi milik Bang Toya.
•°•°•°•°•°•°•°•°•°•°•°•°•
Aku terbangun dari tidurku. Diluar masih gelap. Dan saat aku melihat jam di layar handphone-ku, ternyata masih pukul dua dini hari. Tidak biasanya aku terbangun jam segini.
Saat kupejamkan mata dan mencoba untuk kembali tidur, rasanya sia-sia. Rasa kantukku hilang.
Sayup-sayup aku mendengar suara yang berasal dari luar kamar. Kamar sebelah sepertinya semakin ramai kalau malam hari. Padahal dari siang tadi, aku tidak melihat adanya kehidupan disana. Bisa jadi memang benar ucapan Matthew kemarin, kalau Aidan dan teman-temannya adalah makhluk nocturnal.
Aku beranjak turun dari ranjang. Kugeser sebuah sofa yang kupakai sebagai tempat aku duduk santai sambil membaca koleksi novel milikku sejak aku masih duduk di bangku sekolah. Aku menggeser sofa itu kedekat jendela.
Sebelum duduk, aku sedikit menggeser tirai di jendela. Membiarkan tirai transparan berwarna putih yang berada di balik tirai kamar yang berwarna senada dengan warna wallpaper kamar.
Dan saat aku duduk berselonjor di sofa, setelah sebelumnya meletakkan dua buah bantal sofa sebagai ganjalan untuk pinggang dan punggungku, mataku mengamati tingkah Aidan dan teman-temannya yang sedang asik melakukan banyak aktivitas di teras kamar kosnya. Ada yang sedang seru bermain kartu. Ada juga yang duduk diatas sadel sepeda motor sambil menggenjrengkan gitarnya sambil bersenandung sendiri.
Jujur saja aku masih tidak sepenuhnya percaya dengan ucapan Matthew tentang pekerjaan dan profesi mereka. Dimataku, mereka masih terlihat sangat bocah.
Ahh... Kalau saja aku memiliki banyak uang seperti Abang, aku pasti akan membuat sebuah usaha untuk membantu mereka. Dan pemikiran itu membuatku mendadak terkekeh sendiri. Betapa naifnya jalan pikiranku.
Iya kalau mereka mau. Kalau tidak, lalu bagaimana? Sudah jelas Matthew memberi tahukan padaku kalau menyudahi pekerjaan seperti itu sangat sulit. Matthew bilang, sulit rasanya mencari uang halal sambil banting tulang dan hanya menghasilkan penghasilan yang bisa di bilang jauh dari cukup. Sementara mereka, orang-orang seperti Aidan itu, sudah terbiasa mendapatkan uang dengan cara yang sangat singkat, mudah dan bisa dipakai untuk berfoya-foya.
Disatu pihak, aku sempat berpikir, bisa jadi tidak se-simple itu. Ada banyak alasan mengapa orang berprofesi seperti Aidan sulit untuk keluar. Salah satunya adalah alasan klise. Yaitu tuntutan ekonomi. Seperti halnya Matthew yang sempat keceplosan kalau Aidan mengawali 'karirnya' karena untuk membantu melunasi hutang piutang kedua orang tuanya.
Kalau aku bercermin diri, sebenarnya hidupku masih jauh lebih baik dari mereka. Aku baru sekali jatuh hati, dan sekali merasakan pahitnya patah hati. Itu masih jauh lebih baik daripada pahitnya kenyataan hidup yang harus dihadapi bocah-bocah seperti Aidan.
Seperti halnya permintaanku pada Abang sebelum kami benar-benar mengakhiri hubungan diantara kami. Bahwa aku meminta waktu padanya untuk mengelola Warung peninggalan Bang Toya, sampai Lingga naik kelas dan mencapai targetnya dan menunggu Subi lulus sekolah. Dimana saat ini mereka sudah menikmati pekerjaan mereka di Warung.
Abang bilang kalau dia akan merenovasi lagi Warung itu. Entah akan menjadi apa nantinya. Tapi yang jelas, itu hanya alasan Abang agar aku pergi dari kehidupannya.
Tanganku menggapai handphone milikku yang kuletakan di meja yang berada sekitar tiga puluh centi meter dari sofa yang kududuki sekarang.
Awalnya aku ingin menulis sesuatu di dinding Facebook milikku. Tapi ku urungkan. Aku malah memilih untuk membuka phone book, dan mengirim pesan singkat, yang benar-benar singkat, di nomor Abang.
' I Miss You So Much '
Dan... Segera kukirimkan tanpa perlu memikirkannya dua kali.
Haahhh~
Aku menghela nafas panjang. Lalu kupejamkan mataku dan menyandarkan kepalaku di sandaran sofa.
Malam ini pun aku masih galau sendiri dan belum siap...
Ah!
Tidak!
Aku memang belum mau move on.
•°•°•°•°•°•°•°•°•°•°•°•°•
Hanya namamu di hatiku
Jiwa dan raga takkan berdusta
Namun terkadang
Cinta terusik benci sesaat
Seribu musim takkan bisa menghibur hati yang penuh marah
Entah mengapa berpisah saat mulai menjalin
Suara hati seorang kekasih,
bagai nyanyian surgawi
Takkan berdusta
walau ketamakan merajai diri yang penuh emosi
Jauh di dasar hatiku,
tetap ku mau kau sebagai kasihku
[ Suara Hati Seorang Kekasih - Melly Goeslaw ]
•°•°•°•°•°•°•°•°•°•°•°•°•
ano
bisa ngga klo ceritany ga dibikin kompleks?
wakakakak