It looks like you're new here. If you want to get involved, click one of these buttons!
Copyright 2021 Queer Indonesia Archive. See our Privacy Policy. Contact us at [email protected]
Dengan menggunakan situs ini berarti Anda setuju dengan Aturan Pakai.
BoyzForum.com adalah situs anti pedofilia!
Comments
Lagi sibuk say. Sorry banget belum bisa update
Diluar masih gelap saat aku terbangun. Dengan malas tanganku terulur meraih handphone yang kuletakan di meja samping kasur.
Pagi-pagi buta iseng buka aplikasi sosial media, sepertinya akan menjadi kebiasaan baruku untuk mengisi waktu luang. Seperti sekarang misalnya. Dengan mata yang kadang melek, dan kadang tertutup, aku iseng membuka aplikasi Twitter milikku yang biasanya hanya menjadi salah satu media yang kupakai melihat berita setelah televisi.
Sayangnya aku sedang tidak mood membaca berita. Dan tumben saja aku iseng melihat beberapa tweet yang biasanya tak kuanggap penting, mendadak seperti itulah yang memang ada di dalam otakku saat ini.
Misalnya saja ada cuitan berbunyi : 'It's okay if I'm not your favorite chapter you have written, but I hope you sometimes smile when you flip back to the pages I was apart of.' Tanpa banyak berpikir, aku langsung me-retweet-nya.
Mataku langsung terbuka lebar saat melihat notifikasi pesan masuk saat aku menarik turun togle notifikasi. Hanya ada satu pesan masuk sebenarnya. Tapi aku langsung tersenyum saat membaca isi SMS yang dikirimkan oleh Toshio beberapa jam yang lalu itu.
^Senang bisa kenal dan ngobrol bareng kalian. Toshio^ begitu isi SMS-nya.
^Malam Toshio... Pasti sudah tidur ya. Kalo belum, reply asap^ ketikku, dan langsung kukirim.
Belum juga aku meletakkan ponsel-ku, langsung ada notifikasi pesan masuk. Ternyata balasan dari Toshio.
^Tadi sempat ketiduran sepulang dari ngobrol ama kalian, tapi satu jam lalu gw kebangun dan gak bisa balik tidur. Untung aja hari ini gw off. Elo belon tidur?^ balasnya.
^Gue juga kebangun. Sayangnya masih gelap^ belum selesai aku mengetik, pesan yang masih kuketik, tak sengaja terkirim. Efek mata masih ngantuk dan resiko pakai Smartphone touchscreen tuh memang kadang seperti ini.
^Memangnya kalo gelap kenapa?^ balasnya beberapa detik kemudian. Karena aku malas mengetik, langsung saja aku sentuh tombol dial.
^Emangnya kenapa kalo masih gelap Ki?^ tanya Toshio di seberang sana.
Aku terkekeh sebentar, "Sorry... Gue masih ngantuk. Belon selesai ngetik, ehhh... Kesenggol tombol kirim" aku menyahut. "Ya karena masih malem Tosh, kalo udah siang gue ajak ngopi" aku melanjutkan.
^Sekarang aja yuk^ ajaknya bersemangat.
"Hmmmm... Sampe segitunya Tosh... Udah kangen berat ama gue?" godaku. Toshio terdiam dan tidak menyahuti guyonanku. "Bercanda Tosh. Jangan marah... By the way... Mata gue masih setengah watt nih... Gak bakalan bisa nyetir motor kesono, meskipun deket"
^Kalo gue jemput, elu mau ikut kan?^
"Kemana Tosh?"
^Gampanglah itu...^
Belum sempat aku bertanya lagi, Toshio langsung mengakhiri panggilan teleponku. Jadilah, aku terpaksa turus dari atas ranjang. Kubuka pintu lemariku untuk mengambil celana pendek dan sebuah kaos.
Diperjalanan pulang tadi, aku memang sempat terisak sebentar dibahu Bli Syaka. Dan sesampainya di kos, aku langsung mandi, dan tertidur pulas tanpa mengenakan pakaian alias telanjang bulat.
Setelah mengenakan pakaian, aku berjalan menuju pintu kamarku. Saat kubuka, tubuh Alan jatuh terpelanting dibawah kakiku. Rupanya dia sedang duduk bersandar di pintu kamarku. Aku tertawa melihat tampang Alan karena ia terlihat begitu terkejut.
"Looh... Kak Tiki...?" Ucapnya kikuk saat aku membantunya bangkit. "Ah... Sorry... Gue salah kamar..." ucapnya lagi. Tercium bau alkohol dari mulutnya yang hanya berjarak sekitar dua jengkal dari hadapanku. Rupanya dia mabuk, dan sepertinya karena pengaruh alkohol pula, dia jadi salah kamar.
Aku sempat celingukan dan merasa sedikit heran. Karena kamar sebelah terlihat sepi. Tidak seperti semalam.
"Aidan kemana, Lan?" Tanyaku penasaran.
"Hih... Elo inget nama bencong gila itu, tapi kenapa bisa lupa ama nama gue, Kak?" Alan mengoceh dengan badan terhuyung. Aku langsung meraih pinggangnya dan mengajaknya masuk ke dalam kamarku. Kubantu Alan agar duduk di sofa yang berada di dekat jendela. Kemudian aku melepaskan sepatu yang ia pakai, dan meletakkannya di dekat pintu kamar yang kemudian aku tutup lagi lantaran aku ingin menyalakan AC. Bisa kulihat kalau Alan berkeringat sampai membuat basah kemejanya.
Ponsel milikku berdering dari dalam saku celana pendekku. Ternyata dari Toshio.
^Ki... Sorry, gue kayaknya gak jadi kesitu. Gue tadi jatoh di kamar mandi^ ujarnya diseberang sana.
"Hah? Kok bisa? Trus elu gak papa kan?"
^Gak papa sih... Tapi kaki gue kayaknya keseleo. Trus... Pala gue agak pusing. Tadi kejedot di ubin^
"Waduh! Ya udah, elu dikamar aja. Nanti agak siangan gue ke tempat elu aja. Gimana?"
^Hmm... Iya deh... Maaf banget ya Ki...^
"Iya... Gak papa... Tapi itu kaki lu kalo bisa kasih balsem atau di kompres pake handuk anget"
^Iya Ki... Ini gue lagi ngompres kaki gue pake anduk anget... Ya udah... Sampe nanti ya Ki... Bye...^
Baru saja aku mengakhiri perbincangan singkatku dengan Toshio di line telepon, Alan mencoba beranjak berdiri dan lantas nyaris jatuh tersungkur. Beruntung aku langsung menangkap pundaknya. Alan terkekeh, dengan tangannya yang berpegangan pada pinggangku. Karena aku lebih tinggi darinya, wajah Alan bersandar tepat di dadaku.
Hu~uh...!! Pertama kali aku menghadapi orang mabuk saat menenangkan Bang Bayu yang mabuk sambil terus menangis sampai pagi, sepulangnya dari pemakaman Bang Toya. Lalu, terakhir kali aku menghadapi orang mabuk, saat masih OJT di sebuah hotel di kawasan Uluwatu, sewaktu aku menenangkan seorang tamu yang sedang membuat keributan di Dining Hall dengan mantan tunangannya. Dan sekarang, aku harus menghadapi bocah mabok satu ini. Tau begini, kubiarkan saja dia tertidur di teras.
Tapi aku tak mungkin tega melakukan hal itu, tentunya. Buktinya, aku malah mengajak masuk si Alan bocah sialan ini ke dalam kamarku.
"Hmmmm... Bau badan lo enak banget Kak..." Alan meracau saat tubuhnya ku dorong kesofa agar kembali duduk disana. "Gue suuukaaaa.... Hehehehe..."
"Sayangnya gue gak suka ama bau alkohol yang berasal dari mulut lo, Alan" jawabku santai. Aku duduk di hadapannya menggunakan kursi kecil berbentuk kotak yang biasa menjadi sandaran kakiku saat aku sedang ingin bersantai.
Mendengar ucapanku, Alan lantas menutup mulutnya menggunakan kedua telapak tangannya.
"Gue perhatiin, kayaknya elo suka banget mabok ya, Lan?"
"Yah... Gimana lagi Kak... Kalo gak mabok, gue gak bisa... Lo tau lah..."
"Gak. Gue gak tau" jawabku serius.
"Mmm... Kalo gak mabok, gue gak bisa ngelayanin tamu-tamu gue... Matthew ngasih tau gue, kalo dia keceplosan soal pekerjaan gue dan anak-anak di kamar sebelah..."
"Emangnya gak bisa pake viagra aja?" Tanyaku penasaran.
"Gak mempan..." Sahutnya sambil menyorongkan sedikit badannya kearahku. "Bukan berarti gak ngefek... Tapi kalo cuma pake viagra, gue masih pengen muntah tiap kali... Tiap kali..."
"Elo udah makan?" Aku memotong ucapannya. Karena aku tidak sanggup mendengar kalimat berikutnya. Alan kembali bersandar ke sofa. Kemudian kepalanya menggeleng pelan.
"Tadi cuma makan Nasi Jinggo trus dapet panggilan. Gue belon makan lagi. Napa Kak? Elu mau kasih gue makan?"
"McD yang di depan, dua puluh empat jam gak?" Aku balas bertanya.
Alan memejamkan matanya. Ia meletakkan jari telunjuknya diantara alis, dengan mulut manyun. "Lupa" jawabnya setelah aku menunggu selama beberapa menit. Aku mendengus. Bukan sebal. Tapi lucu saja melihat tingkahnya yang konyol itu. "Tapi gue gak lapar Kak" celetuknya. "Sorry, bukan apa-apa. Biar kata gue jual diri, gue anti nerima makanan gratis. Ato... Abis makan, nanti elo gue servis aja deh Kak..."
Ngelantur ni bocah, batinku. Yah, namanya juga orang mabok.
"Tapi gue gak mau ditusuk ya Kak. Kalo ngisep aja, gue masih sanggup" lanjutnya.
Kali ini aku tertawa dibuatnya. "Alan... Alan..." ucapku sambil menggelengkan kepala.
"Nama gue bukan Alan, Kak"
"Oya? Trus siapa dong?" tanyaku sok penasaran. Padahal emang pengen tau juga.
"Tapi jangan kasih tau siapa-siapa ya Kak" ujarnya dengan raut wajah serius. "Janji ya Kak... Janji pleaseeeeee...."
"Iya... Janji" aku menyahut sambil mengacungkan dua jariku, membentuk huruf V.
"Nama gue itu... Than..."
"Hah?"
"Ethaannn Kak"
"Hah? Setan?"
"ETHAANNN!" serunya gemas. "E. Te. Ha. A. Eeennn!!!"
"Ooohhh... Setan..."
"Hih! Kakak nih ya. Cakep kok budeg!"
"Hahahaha... Makasih..." Aku menyahut santai sambil mengusap kepalanya.
"Kak... Gue kan bukan anak kecil. Ngapain diusap-usap gini..."
"Emang berapa umur lo?"
Alan alias Ethan mengangkat pinggulnya lalu tangannya merogoh saku celananya yang ada dibagian belakang. Setelah mengeluarkan dompetnya, ia mengulurkan KTP miliknya.
Setelah mengamati sebentar, dan menghitung dari tahun kelahirannya, Ethan rupanya masih berusia 19tahun. Sekitar dua bulan lagi, dia baru akan genap berusia 20 tahun. Aku mengamati foto close-up Ethan di KTP dan wajahnya sekarang, aku melihat sedikit perbedaan. Dia terlihat sedikit lebih tua dibandingkan wajahnya yang berada di foto KTP-nya.
Kuat dugaanku, karena faktor alkohol. Juga segala gaya hidupnya yang serba nokturnal itu. Selama kos disini, walaupun belum sebulan disini, aku baru sekali dua kali saja melihatnya melek di siang hari. Selebihnya, dia baru akan terlihat malam hari saja.
Saat perhatianku kembali pada Ethan, kulihat dia sudah tertidur di sofa. Melihatnya seperti itu, aku hanya menghela nafas sebentar.
Dengan hati-hati, aku mengangkat tubuh Ethan yang diluar dugaanku ternyata sangat ringan. Dari sofa, aku memindahkan Ethan ke kasur. Setelah menarik selimut agar Ethan tidak kedinginan, karena dia langsung meringkuk yang kuduga ia merasa kedinginan, aku mengambil dompetnya yang jatuh di lantai.
Aku membuka dompetnya. Bukan karena aku ingin lancang. Tapi aku ingin memasukkan kembali KTP miliknya kesana. Aku sempat bersiul melihat isi dompetnya yang dipenuhi lembaran uang berwarna merah dan biru. Aku sampai agak susah untuk menutupnya kembali karena banyaknya uang itu. Kuletakan dompet itu diatas meja yang berada disamping ranjang. Tepat berada di hadapan Ethan yang tidur dalam posisi miring.
Sebenarnya aku ingin kembali tidur juga. Tapi rasa kantukku benar-benar sudah hilang. Saat melihat jam yang ada dilayar ponsel milikku, ternyata sekarang sudah waktunya Shalat Subuh. Segera saja aku menuju ke kamar mandi.
Sudah beberapa hari ini Shalat-ku selalu bolong. Karena terlalu fokus pada Bang Zaki selama beberapa hari ini, aku sampai lupa pada Sang Pencipta. Padahal, selama ini aku selalu yakin, hanya Dia-lah yang selalu bisa membantuku disaat aku merasa galau seperti saat-saat ini.
Tanpa pikir panjang, aku langsung mengambil Wudhu di dalam kamar mandi.
•°•°•°•°•°•°•°•°•°•°•°•°•
Aku sedang membuat sarapan saat melihat Ethan alias Alan terbangun dari tidurnya. Dia sempat merasa heran dan bertanya padaku, perihal keberadaan dirinya di kamarku. Aku hanya tersenyum sebentar dan mematikan kompor.
Kemudian aku berjalan menuju lemari, dan mengambil sebuah handuk bersih dari dalam lemari dan sikat gigi bersih yang kuletakan diatas kulkas, yang tadi kubeli di warung depan kosan usai membeli bahan-bahan untuk membuat sarapan. "Mandi dulu gih. Nanti kita sarapan bareng"
"Males ah. Airnya dingin kalo jam segini" sahutnya.
"Ini udah jam delapan, Lan. Lagian kalo takut ama air dingin, di dalem ada air panasnya kok" aku berujar. Lalu menunjukkan padanya water heater yang ada di dinding bagian atas di dalam kamar mandiku. "Tinggal elu atur aja mau seberapa panas. Udah sana. Mandi dulu. Nasinya bentar lagi mateng tuh"
Sekitar sepuluh menit kemudian, aku dan Alan duduk bersebelahan di depan TV. Pintu dan jendela kamar sudah aku buka saat ia sedang mandi tadi. Kebetulan diluar sedang hujan lebat. Jadi aku tidak perlu menyalakan AC kamar.
Saat sedang makan, aku yang sedang melihat tayangan di layar televisi, dikejutkan dengan sapaan seseorang di depan pintu. Rupanya Aidan. Aku menyilahkan ia untuk masuk dan mengajaknya untuk ikut sarapan.
"Disebelah ada sapa aja nyet?" tanya Alan.
"Ada si Ujang, Faisal, Romi, Fikri, Satya ama Lutfi" jawab Aidan yang sedang menyendok nasi dan lauk seadanya dipiringnya. "Mm!! Enak! Kak Tiki nih yang masak?"
"Gak mungkin juga kan gue yang masak" sahut Alan. "Pan elo tau sendiri, gue cuma pinter masak aer"
"Iye juga ye. Bakalan ujan badai kalo elo bisa masak" Aidan menimpali.
"Ajak aja temen lo kemari" aku menawarkan.
"Duh! Jangan Kak. Entar pada tuman" sahut Alan.
"Iya bener. Mereka mah biasa makan rumput ngapain juga ditawarin makanan enak begini. Gak bakalan pada doyan" Aidan menimpali.
"Udah, biarin aja. Dan, panggilin dah temen-temen lo. Makan itu paling enak kalo bareng-bareng. Lebih sedep rasanya" aku meletakkan piringku ke lantai. "Lan, sini bantu gue mindahin mejikom dan lauk-pauk lainnya ke depan tipi" pintaku.
"Yakin nih Ka? Entar kalo gue pengen nambah gimana?"
"Hahahaha... Ya udah, nambah aja dulu. Biar gak keabisan"
Matthew datang tepat saat Aidan dan teman-temannya masuk kedalam kamarku. Sebenarnya tadi aku sudah menghubungi dia untuk membawakan beberapa lauk dan sayuran kemari.
"Buset. Ada acara apaan nih? Rame bener?" tanya salah satu teman Aidan yang tadi sempat bersalaman dan berkenalan denganku, tapi aku tidak ingat siapa namanya karena mereka menyebut nama mereka bersamaan.
"Ini dalam rangka sunatannya Alan" sahut Aidan.
"Wah... Elu mau di sunat juga Lan?"
"Yah! Kenapa disunat Lan? Gue kan suka kuncup kulup lo"
"Oh, jadi ini kulupnya Alan? Pantesan agak-agak alot gimana gituh"
"Udehh jangan banyak bacot lo pada. Biar alot elo bakalan ketagihan" sahut Alan tak kalah koplaknya.
Aku terkekeh sambil menggaruk kepalaku mendengar celotehan bocah-bocah dihadapanku ini. Sementara saat aku menoleh kearah Matthew, ia hanya memutar matanya dan memberikan ekspresi 'Kan udah pernah gue bilang' kepadaku.
"Kalo mau nambah jangan banyak-banyak. Tar Kak Tiki gak kebagian" celetuk Matthew. Aku menepuk pundak Matthew, "Udah, biarin aja. Gue beli banyak biar bisa dimakan bareng-bareng kok"
"Tauk nih si Mamat. Ngatur-ngatur aje. Bang Tiki-nya aja gak ngelarang" sahut salah satunya sambil menyiduk sayur di dalam panci yang tadi kuletakan di sebelah Magicom.
"Kalo gini tiap hari, bakalan gemuk nih body gue"
"Sialan lo"
"Heh, ada apa manggil nama gue?" Alan menyahut.
"Sialan, pe'a. Bukan manggil elo!" Lutfi nyerocos sambil terus mengunyah makanannya.
"Yeh, mentang-mentang panggilan, ngerasa ye?" Romi memainkan matanya naik turun sambil menatap nakal kearah Alan.
"Monyet!" Alan melempar kerupuk ke wajah Romi yang cengengesan.
"Iiihh tau aja kalo gue suka pisang" kali ini Fikri yang sudah selesai makan, mencomot pisang yang ada di salah satu kantong plastik.
"Bang, beneran boleh nambah nih?" Satya berseru kearahku.
"Elah, pake malu-malu kucing segala lo" Alan menimpali.
Satya lantas menyahut, "Lah, kok situ tau kalo saya kucing?"
"Tau dong, kan situ hobinya nungging" Lutfi yang menyahut.
"Oh, bukan karena suka daging mentah?" Satya bertanya sambil menyikut Fikri yang duduk disebelahnya.
"Mbeerr... Sukanya gadoin daging mentah. Eeiiimmm!?!" Fikri menyahut dengan nada kemayu. Dan karena sikap kemayunya itu, aku jadi lebih mudah mengingat namanya.
Rasanya aku sudah menjadi gila. Setelah semalam tanpa malu menangis di hadapan Bli Syaka dan Bang Julian, sekarang aku malah tak henti-hentinya ngakak melihat tingkah laku dan celetukan teman-teman Matthew, yang bagiku terlihat dan terdengar konyol. Perutku sampai kram rasanya.
Dari mulai makan, sampai selesai cuci piring, mulut mereka tak ada satupun yang berhenti berkicau. Bahkan tak ada satupun diantara mereka yang menggubris ucapan Matthew yang bernada mengancam agar tidak mengganggu aktifitasku. Semakin dilarang malah semakin dilanggar saja.
"Uuuhhh... Kalo abis makan... Selalu aja gini..." Alan menggeliat lalu menyandarkan punggungnya ke ranjang.
"Kenyang?" tanyaku.
"Kenyang dan ngantuk..." Alan menyahut.
"Ngomong-ngomong, gue balik dulu ke kamar. Makasih Kak sarapan gratisnya. Sumpah enak banget!" Satya pamitan dan langsung ngacir.
"Kebiasaan!" Lutfi yang sedang merokok di teras di depan pintu kamarku, memukul bokong Satya yang berlalu melewatinya.
Aku tersenyum dengan mengerutkan kedua alisku. Menatap Satya yang sudah menghilang dalam hitungan detik dari dalam kamarku.
"Gak usah heran Bang. Tu bocah emang pe'a. Setiap abis makan, pasti langsung pergi boker!" Romi yang sedang ikutan merokok dan duduk disebelah Lutfi, mencoba memberiku penjelasan. Jeli juga matanya. Dia bisa memberikanku jawaban yang belum sempat terlontar.
Sekedar informasi, ada si Ujang itu memiliki ciri fisik kulit putih mulus, bibirnya tipis dan berwarna merah muda, agak songong tapi polos. Ujang ini sebenarnya lumayan pendek diantara teman-temannya tapi badannya padat berisi.
Faisal memiliki ciri wajah keturunan Arab, dengan hidung mancung seperti Zayn Malik. Memiliki kulit putih, tapi dari bawah lutut hingga atas mata kakinya ia memiliki bulu lebat. Sedangkan ditangannya ia tidak memiliki bulu selebat itu.
Lalu ada Romi yang juga memiliki kulit berwarna sawo matang. Karena ia juga memakai kaus singlet seperti yang lain, aku bisa melihat dadanya yang sedikit berbulu. Ciri khas fisiknya yaitu badannya yang kekar dan sama seperti Alan a.k.a Ethan, Romi terlihat juga manly diantara yang lain.
Ada Fikri yang agak mencolok. Kulitnya yang putih, dengan badan langsing sebenarnya sepadan dengan wajah cute-nya. Sayangnya dia ngondek alias kemayu diantara semuanya.
Kemudian Satya yang juga memiliki kulit sawo matang. Yang mencolok dari penampilannya adalah ia memiliki body langsing, tapi mataku sempat melotot melihat bokongnya yang terbalut celana pendek itu, terlihat bulat dan semok montok.
Lalu Lutfi. Dia itu sangat kurus alias cungkring. Herannya kecungkringannya itu seolah kandas saat melihat wajahnya yang aduhai cakep dan juga nemiliki kulit putih. Dan matanya yang agak sipit membuatnya terlihat memiliki wajah oriental yang khas.
Sementara Aidan memiliki kulit kuning langsat dan body slim fit. Sebenarnya dia terlihat agak kemayu juga. Tapi sepertinya dia agak menjaga sikap setiap kali berada di hadapanku. Dan Fandra, yang kalau dari belakang terlihat mirip dengan Alan karena memiliki style rambut yang sama. Mereka berdua juga memiliki body slim fit seperti Aidan. Hanya saja, Fandra ini juga sama talk active seperti lainnya.
Dari pengamatanku, sepertinya memang hanya Alan saja yang berbicara seperlunya. Tapi termasuk tipe orang yang nyablak kalau sedang bercanda dengan teman-temannya. Tapi ya gitu, kalau bercandanya selesai, Alan akan duduk diam dengan punggung bersandar dengan mata terpejam.
•°•°•°•°•°•°•°•°•°•°•°•°•
Sekitar jam sebelas siang, aku berangkat ke Beachwalk Kuta ditemani Alan. Aku yang memintanya saat semua temannya sudah kembali ke kamar dan hanya ada Alan yang ketiduran di sofa.
Aku bukan mengajak Alan untuk nge-date. Tapi entah kenapa aku ingin saja mengajaknya jalan-jalan. Terlebih aku ke Kuta pun karena ingin menemui Toshio yang tadi meneleponku lagi.
Setelah memarkir motor, dan saat sedang berjalan menuju tempat janjianku dengan Toshio, Taka meneleponku. Rupanya dia sudah berada di depan kamar kosku. Tadinya ia ingin mengajakku jalan-jalan lagi. Dan saat aku bilang kalau aku janjian dengan Toshio, aku memintanya untuk menyusul saja kemari.
"Gue denger dari Matthew, katanya elu jago masak Bang?" Alan bertanya padaku saat kami sedang duduk di dalam taxi.
Sebenarnya bisa saja kami naik motor ke Beachwalk. Toh, jarak tempuhnya akan semakin cepat di bandingkan perjalanan menggunakan taxi. Dengan motor kami bisa menembus perjalanan melewati jalan Majapahit, lalu ke jalan Pattimura, dan menembus jalan Poppies 2 melalui jalan Benesari.
Tidak harus melewati jalan Raya Kuta dan jalan Pantai Kuta yang super padat seperti ini. Harusnya kami sudah tiba di tujuan sejak tiga puluh menit yang lalu.
Lagi pula Alan juga tidak protes. Dia hanya diam dan baru buka suara saat taxi yang kami tumpangi terpaksa berdiam diri selama beberapa menit akibat terjebak arus lalu lintas yang macet ini.
"Kenapa? Elu mau gue ajarin?"
"Gak kuat bayar biaya kursusnya" jawab Alan dengan pandangan masih mengarah keluar jendela.
Aku tertawa sebentar, "Gak perlu bayar. Yang penting elu beli aja semua bahan masakan yang mau elu olah" aku berujar menanggapi ucapan Alan. "Emangnya mau masak apaan?"
Alan tak langsung menjawab. Ia hanya menoleh, menatapku beberapa detik, kemudian menundukkan kepalanya. Lanjut nyengir sambil menggaruk tengkuknya.
Aku hanya terdiam dan tersenyum melihat tingkah Alan yang seolah sedang salah tingkah itu.
Alan yang biasanya terlihat sok cool. Dan seringkali terlihat mengantuk, juga sering kali teler itu, bisa punya ekspresi kekanakan begini juga rupanya.
"Gue pengen masak... dang..."
"Hah? Apa? Sorry gue gak denger kata terakhir lo barusan"
"Rendang. Gue pengen bisa masak rendang" sahutnya dengan kedua tangan memelintir ujung kaos dan jaketnya.
"Kalo mau masak rendang, harus ekstra beliin gas" aku menyahut.
"Yaelah. Pelit amat"
"Yaudah. Bikin Indomie Goreng rasa rendang aja kalo gitu. Gue ajarin sampe sekardus deh"
Alan menoleh menatapku dengan mulut ternganga dan mata menyipit memandang kearahku. Aku mendengar suara orang menahan tawa, yang rupanya berasal dari supir taxi.
"Pe'a elu mah Bang! Kalo masak mie instan mah... Gue!!!... Sama sih, gue gak bisa juga" Alan berujar pasrah.
Sekarang gantian aku yang menganga dan melotot mendengar ucapannya. Kulihat, Bapak supir taxi sebisa mungkin menahan tawanya dengan cara membekap mulutnya dengan kepalan tangannya. Sambil melirik kami dari kaca spion.
"Masak yang gampang dululah. Sayur sop gitu. Atau Cah Kangkung. Atau yang super gampang..."
"Apaan?"
"Sayur bayem" aku menyahut.
Kulihat jakun Alan naik turun berulang kali saat mendengar saran terakhirku.
"Sayur bayem pake tempe goreng dan sambel... Hhmm... Enak tuh Bang" Alan berujar semangat. "Eh tapi beneran gampang tuh? Soalnya gue ama Romi pernah nyoba masak, tapi rasanya gak enak"
"Oh, ada kompor dan perlengkapan masak juga di kamar kalian?"
"Ada... Cuma teflon ama panci. Seringnya buat masak yang gampang aja. Biasanya gue minta tolong ama Romi buat masakin mie instan ama telor ceplok"
"Trus... Kapan mau masaknya? Kan nanti malem elu pasti kelayapan lagi. Pulangnya... Subuh lagi pastinya. Ya kan?"
"Entar malem gue mau libur dulu ah. Capek"
"Yakin?"
Belum juga Alan menjawab, kami sudah tiba di tempat tujuan.
•°•°•°•°•°•°•°•°•°•°•°•°•
Taka sudah sampai terlebih dulu, sekitar lima belas menit sebelum aku dan Alan sampai. Tidak perlu heran. Karena Taka kemari dengan sepeda motor. Belum lagi, kalau sendirian, dia pasti ugal-ugalan.
Duh! Aku itu paling cemas kalau mengingat Taka ugal-ugalan. Jangankan yang ugal-ugalan, yang nyetir motornya bak pembalap professional, yaitu Bang Zaki, saja bisa terkena apes. Dan imbasnya adalah dengan kepergian Bang Toya beberapa tahun lalu. Tidak ada satupun dari kami yang menyalahkan Bang Zaki. Termasuk aku. Tapi... Ah. Sudahlah.
Taka mengulurkan Mango Tango dari BR yang ia belikan kepadaku. Rupanya Taka masih hapal dengan menu kesukaanku satu ini. Dari Kuta Bex, kami berempat akhirnya sepakat untuk berjalan kaki menuju Discovery Mall yang berada di jalan Kartika Plasa. Alasannya? Karena Taka ingin mentraktir es krim ini. Buat aku dan Taka yang biasa berolah raga, jarak dari Kuta Bex ke Discovery Mall tidak seberapa. Tapi aku lupa dengan si Alan yang --jangankan olah raga, aku yakin makannya pun tak teratur begitu-- menjadi ngos-ngosan.
Sementara Toshio, walaupun ia bilang tidak apa-apa, tapi melihat kemejanya yang sampai basah seperti itu membuatku mau tak mau jadi merasa bersalah juga. Sambil menemani Taka mengantri di BR, aku sempat membeli air mineral dari mini market di seberang jalan untuk Toshio dan Alan.
Kalau boleh jujur, sebenarnya berjalan kaki dari Kuta Bex menuju Discovery Mall itu tidak seberapa jauh. Mungkin tidak sampai tiga puluh menitan kalau aku berjalan sendiri. Tapi cuaca terik siang hari ini yang membuat kami berempat berkeringat. Seolah kami sedang joging siang tengah hari bolong.
Tapi yah... Aku tidak bisa menyamakan kebiasaanku dengan orang lain. Terlebih, bisa dibilang, aku kan baru mengenal mereka berdua. Makanya aku yang menyuruh Taka untuk mentraktir kami semua.
Sayangnya, meskipun kami kembar, tapi Taka bisa sangat tidak sensitif dengan hal sepele seperti ini. Bisa dibilang sepele, tapi disatu sisi bisa sangat mengecewakan orang lain.
"Ahh... Abis makan banyak, trus sekarang olah raga... Gue kira gue bakalan bisa gemuk setelah makan sebanyak tadi. Ternyata kagak" ujar Alan.
"Kalo mau gemuk, minum obat cacing dulu Lan" kataku menyahut sambil mengulurkan Mint Chocolate Chip pada Alan. Aku yang memilihkan menu ini. Agar rasa mint-nya bisa menyegarkan Alan.
Kami berempat lalu duduk di anak tangga yang berada di depan Discovery Mall. Tempat ini paling sesuai untuk nongkrong anak muda. Kalau siang hari seperti ini, belum terlalu banyak memang. Tidak seperti malam hari, terutama saat weekend.
Disebelah kananku ada Alan yang sibuk menjilati es krimnya. Ehem! Bukan menjilati. Lebih tepatnya, menikmati! Lalu disebelah kiriku ada Toshio yang juga sedang menikmati Rainbow Sherbet yang ia pilih sendiri tadi. Sambil sesekali menenggak air mineral yang kuberikan padanya. Sepertinya dia masih haus. Dan di ujung sendiri, ada Taka yang sedang menikmati dua es krim sekaligus di masing-masing tangannya.
"Lupakan diet! Kontrak kerja gue udah habis sejak seminggu yang lalu" Taka berujar senang seperti anak kecil yang baru pertama kali dibolehkan membeli es krim.
Kalau mau menengok jauh ke masa kecil kami dulu, jangankan es krim BR, untuk membeli es krim merk W dan merk C itu saja, biasanya kami harus rela tidak jajan satu minggu. Atau kalau mau yang lebih mahal sedikit, bisa harus menahan jajan sekitar dua mingguan. Karena saat itu, yang kami tau Mamah bekerja sendirian untuk menghidupi kami bertiga. Kami saat itu tidak pernah tau kalau Daddy kami sebenarnya masih hidup dan terpaksa tidak bisa bertemu dengan kami karena desakan Om kami yang tak lain adalah orang tua Bang Bayu.
Ditambah, nasihat Bang Toya, yang meminta kami supaya rajin menabung dan tidak menuntut terlalu banyak ke Mamah. Jadilah, kami yang kembar tiga ini tidak pernah jajan. Selalu membawa bekal ke sekolah. Biasanya kami memakai rantang, dan akan menikmati makan siang kami seperti sedang piknik di dalam kelas. Sisi positifnya, yaitu ada beberapa teman kami yang juga ikut membawa bekal dan nimbrung makan bersama dengan kami.
Yah, walaupun aktifitas membawa rantang itu sangat merepotkan awal mulanya. Tapi itu pun hanya berlangsung sampai kami SD saja. Saat SMP kami lebih sering puasa. Kecuali Taka tentunya. Dia selalu minta di traktir teman-temannya. Dan saat SMU, kami bertiga tidak memilih sekolah yang sama. Itu karena Taka yang malas belajar, dan Tika tidak bisa konsentrasi akibat harus memarahi Taka kalau malasnya kumat.
Dan kini, karena Taka sempat bekerja di bidang modeling, management-nya mengharuskan Taka menjaga pola makan. Dengan diet ketat misalnya. Atau tidak bisa memakan banyak es krim seperti sekarang ini.
Taka sendiri yang bilang kepadaku, kalau sejak beberapa tahun terakhir ini, berat badannya mudah sekali naik dan sulit turun. Saat kami konsultasikan ke Bang Zaki, dia bilang karena faktor umur. Ealah, padahal kami kan belum kepala lima. Kami masih kepala dua! Walaupun kepala tiga hanya tinggal beberapa tahun lagi, memang. Tapi tetap saja. Kalimat Bang Zaki saat itu seperti mengintimidasi mental kami berdua. Makanya aku jadi rutin olah raga.
Ngomong-ngomong soal olah raga, sepertinya aku sudah lama tidak melakukan itu. Terlebih sejak pindah tinggal sendiri.
Mungkin nanti.
Entah kapan.
Kalau mood-ku sedang bagus. Mungkin.
•°•°•°•°•°•°•°•°•°•°•°•°•
Dahulu kita terbiasa
selalu menunggu, terus menunggu
berharap datang seseorang
untuk melengkapi kisah hidup ini
Terlalu sulit melangkah
tuk temukan yang selalu dinantikan
hingga kita pun berjanji
tiada lagi alasan untuk menunda
Akhirnya kita bersama setelah menanti lama
semoga selalu terjaga
waktu telah berbicara, menanti tak sia-sia
karena kau yang kini ada, sangatlah berharga
Bertahan di kesendirian telah menuntunku menemukanmu
tanpa ragu aku berikan semua rasa cinta yang tersimpan lama
Penantian selama ini tak membuatku jera, tetap berharap
Ku yakin seseorang kan datang kepadaku, menggenggam tanganku
[ Penantian Berharga - Rizky Febian ]
•°•°•°•°•°•°•°•°•°•°•°•°•
°•¤ Happy Reading Guys ¤•°
@Antistante @yuzz
@meong_meong @anohito
@jeanOo @privatebuset
@Gaebarajeunk @autoredoks
@adinu @4ndh0
@hakenunbradah @masdabudd
@zhedix @d_cetya
@DafiAditya @Dhivars
@kikyo @Tsu_no_YanYan
@Different @rudi_cutejeunk
@Beepe @dheeotherside
@faisalrayhan @yubdi
@ularuskasurius @Gabriel_Valiant
@Dio_Phoenix @rone
@adamy @babayz
@tialawliet @angelofgay
@nand4s1m4 @chandischbradah
@Ozy_Permana @Sicnus
@Dhivarsom @seno
@Adam08 @FendyAdjie_
@rezadrians @_newbie
@arieat @el_crush
@jerukbali @AhmadJegeg
@jony94 @iansunda
@AdhetPitt @gege_panda17
@raharja @yubdi
@Bintang96 @MikeAurellio
@the_rainbow @aicasukakonde
@Klanting801 @Venussalacca
@greenbubles @Sefares
@andre_patiatama @sky_borriello
@lian25 @hwankyung69om
@tjokro @exxe87bro
@egosantoso @agungrahmat
@mahardhyka @moemodd
@ethandio @zeamays
@tjokro @mamomento
@obay @Sefares
@Fad31 @the_angel_of_hell
@Dreamweaver @blackorchid
@callme_DIAZ @akina_kenji
@SATELIT @Ariel_Akilina
@Dhika_smg @TristanSantoso
@farizpratama7 @Ren_S1211
@arixanggara @Irfandi_rahman
@Yongjin1106 @Byun_Bhyun
@r2846 @brownice
@mikaelkananta_cakep @Just_PJ
@faradika @GeryYaoibot95
@eldurion @balaka
@amira_fujoshi @kimsyhenjuren @ardi_cukup @Dimz @jeanOo @mikaelkananta_cakep
@LittlePigeon @yubdi
@YongJin1106 @Chachan
@diditwahyudicom1 @steve_hendra
@Ndraa @blackshappire
@doel7 @TigerGirlz
@angelsndemons @3ll0
@tarry @OlliE @prince17cm @balaka
@bladex @dafaZartin
@Arjuna_Lubis @Duna
@mikaelkananta_cakep
@kurokuro @d_cetya
@Wita @arifinselalusial
@bumbellbee @abyh
@idiottediott @JulianWisnu2
@rancak248 @abiDoANk
@Tristandust @raharja
@marul @add_it
@rone @eldurion
@SteveAnggara @PeterWilll
@Purnama_79 @lulu_75
@arGos @alvin21
@hendra_bastian @Bun
@jeanOo @gege_panda17
@joenior68 @centraltio
@adilar_yasha @new92
@CL34R_M3NTHOL @Lovelyozan
@eka_januartan @tianswift26
@guilty_h @Dhivars @Togomo
@adilar_yasha @GeryYaoibot95 @CL34R_M3NTHOL @Lovelyozan @eka_januartan @tianswift26 @abyyriza @privatebuset @Bun @sujofin @centraltio
@TedjoPamungkas @cute_inuyasha @hehe_adadeh @Vio1306 @gemameeen
@febyrere @Prince_harry90
@ando_ibram @handikautama @babayz @seventama @Gaebara
×××°•••°°•••°×××
well sebenarnya ini udah lama digarap. tapi karena ini lagi insomnia dan bingung mau ngapain, ya akhirnya menyempatkan nulis ini.
part 2 nya sabar dulu ya. ada yg perlu di sesuaikan. karena sebenarnya terakhir ditulis itu sekitar bulan desember 2016 sampai February 2017.
yawes ... karena sekarang aku udah mulai ngantuk, see you soon guys. sorry lama menunggu.
Kirain udah nggak dilanjut lagi.
mensen saya yak kalo apdet lagi.
ya mau gimana lagi. kan aku juga punya kesibukan di jam kerja. gak harus aku umbar semuanya disini kan?
°•¤ Happy Reading Guys ¤•°
@Antistante @yuzz
@meong_meong @anohito
@jeanOo @privatebuset
@Gaebarajeunk @autoredoks
@adinu @4ndh0
@hakenunbradah @masdabudd
@zhedix @d_cetya
@DafiAditya @Dhivars
@kikyo @Tsu_no_YanYan
@Different @rudi_cutejeunk
@Beepe @dheeotherside
@faisalrayhan @yubdi
@ularuskasurius @Gabriel_Valiant
@Dio_Phoenix @rone
@adamy @babayz
@tialawliet @angelofgay
@nand4s1m4 @chandischbradah
@Ozy_Permana @Sicnus
@Dhivarsom @seno
@Adam08 @FendyAdjie_
@rezadrians @_newbie
@arieat @el_crush
@jerukbali @AhmadJegeg
@jony94 @iansunda
@AdhetPitt @gege_panda17
@raharja @yubdi
@Bintang96 @MikeAurellio
@the_rainbow @aicasukakonde
@Klanting801 @Venussalacca
@greenbubles @Sefares
@andre_patiatama @sky_borriello
@lian25 @hwankyung69om
@tjokro @exxe87bro
@egosantoso @agungrahmat
@mahardhyka @moemodd
@ethandio @zeamays
@tjokro @mamomento
@obay @Sefares
@Fad31 @the_angel_of_hell
@Dreamweaver @blackorchid
@callme_DIAZ @akina_kenji
@SATELIT @Ariel_Akilina
@Dhika_smg @TristanSantoso
@farizpratama7 @Ren_S1211
@arixanggara @Irfandi_rahman
@Yongjin1106 @Byun_Bhyun
@r2846 @brownice
@mikaelkananta_cakep @Just_PJ
@faradika @GeryYaoibot95
@eldurion @balaka
@amira_fujoshi @kimsyhenjuren @ardi_cukup @Dimz @jeanOo @mikaelkananta_cakep
@LittlePigeon @yubdi
@YongJin1106 @Chachan
@diditwahyudicom1 @steve_hendra
@Ndraa @blackshappire
@doel7 @TigerGirlz
@angelsndemons @3ll0
@tarry @OlliE @prince17cm @balaka
@bladex @dafaZartin
@Arjuna_Lubis @Duna
@mikaelkananta_cakep
@kurokuro @d_cetya
@Wita @arifinselalusial
@bumbellbee @abyh
@idiottediott @JulianWisnu2
@rancak248 @abiDoANk
@Tristandust @raharja
@marul @add_it
@rone @eldurion
@SteveAnggara @PeterWilll
@Purnama_79 @lulu_75
@arGos @alvin21
@hendra_bastian @Bun
@jeanOo @gege_panda17
@joenior68 @centraltio
@adilar_yasha @new92
@CL34R_M3NTHOL @Lovelyozan
@eka_januartan @tianswift26
@guilty_h @Dhivars @Togomo
@adilar_yasha @GeryYaoibot95 @CL34R_M3NTHOL @Lovelyozan @eka_januartan @tianswift26 @abyyriza @privatebuset @Bun @sujofin @centraltio @sar_el
@TedjoPamungkas @cute_inuyasha @hehe_adadeh @Vio1306 @gemameeen
@febyrere @Prince_harry90
@ando_ibram @handikautama @babayz @seventama @Gaebara
×××°•••°°•••°×××
Waktu berjalan sangat cepat. Terlampau cepat.
Sudah lebih dari enam bulan, mungkin hampir setahun aku keluar dari rumah Bang Zaki. Dimana saat itu aku putuskan untuk tinggal sendiri. Juga aku pun terpaksa tidak meneruskan usaha Warung Makan mendiang Bang Toya.
Dari Taka aku mendapat kabar kalau Warung itu sudah tidak diteruskan. Alias sudah tutup. Aku lupa kapan tepatnya. Karena aku mencoba terus menyibukan diri dengan berbagai macam aktifitas.
Mulai dari kembali berolah raga, karena perutku sudah mulai mancung karena malas berolah raga. Ada Alan yang selalu menemaniku olah raga. Kadang bertiga dengan Toshio, kalau dia sedang ada shift siang atau sore. Atau berempat dengan Mamat alias Matthew, yang sekarang tetap bekerja denganku.
Bekerja denganku?
Ah iya. 'Kos-kosan' milikku dan Taka sudah resmi dibuka sejak empat bulan terakhir. Lebih tepat disebut sebagai home stay karena setiap kamar mempunyai fasilitas masing-masing. Seperti sudah memiliki perabotan yang komplit. Atau memiliki kolam renang mini di bagian teras belakangnya yang terkoneksi dengan bathroom.
Tapi Taka sengaja tidak membuatkan dapur. Ternyata ia bertujuan untuk membuka mini resto di bagian depan 'Kosan' milik kami ini. Saat akan membuka mini resto inilah, Mamat datang menawarkan diri. Bukan hanya dia saja. Tapi juga ada Wahid dan yang lainnya.
Sayangnya aku hanya membiarkan Mamat saja yang aku terima bekerja disini. Karena aku mengajak Alan bekerja disini.
Bicara tentang Alan, kami menjadi dekat. Bukan sebagai kekasih. Tapi lebih sebagai adik dengan kakak. Yah, walaupun aku beralasan pada teman dikosannya dulu, kalau Alan sudah resmi menjadi pacarku. Agar aku tidak banyak mendapat pertanyaan dan alhamdulillah kebohongan 'kecil' kami itu lumayan mujarab juga.
Supaya tidak ada yang curiga, Alan sempat tinggal satu kamar denganku sampai kami pindahan ke Kosan milikku dan Taka ini. Selama tinggal sekamar denganku, aku terus mengajari Alan memasak. Dan bagusnya, dia termasuk orang yang cepat sekali menyerap semua ilmu yang kuberikan padanya. Bahkan, Alan pandai sekali membuat garnish, dimana itulah kelemahanku. Well, aku bisa membuat garnish yang sederhana. Tapi tidak pernah sebagus buatan Alan.
Alan selalu saja menunjukkan ekspresi kekanakan yang lucu tiap kali aku memuji sambil mengusap kepalanya.
Selain tinggal bersamaku, dan berhenti bekerja malam menjajakan tubuhnya, awalnya aku sempat mengusulkan untuk memanggil nama asli Alan. Yaitu Ethan. Sayangnya Alan menolak. Dengan ekspresi wajah dingin, ia berujar kalau Ethan sudah lama mati.
Alan sempat bingung saat aku mengetahui nama aslinya. Aku beralasan, kalau aku tau saat melihat foto copy KTP miliknya sewaktu kami -aku, Alan, Zulfikar dan Taka- mendaftarkan diri sebagai warga baru di kantor kelurahan setempat. Padahal awal aku tau nama aslinya, adalah saat pertama kalinya Alan menginap di kamar kosku di Denpasar saat ia sedang mabuk. Kuat dugaanku, kalau Alan lupa akan hal itu.
Sekedar informasi kecil, insomnia yang sering kualami sejak keluar dari rumah Bang Zaki, seolah hilang atas bantuan Alan.
Kok bisa?
Well, awalnya aku memang terbiasa tidur sendirian dimana saja. Di sofa atau di karpet misalnya. Tapi sejak aku menjalin hubungan dengan Bang Zaki, aku seolah ikut tertular dengan kebiasaan tidur Bang Zaki yang selalu berpelukan.
Jadi, apakah aku tidur sambil berpelukan dengan Alan? Meski berat, harus kuakui hal itu.
Alan mengejekku awalnya. Tapi setelah kujelaskan mengenai kebiasaan tidurku dengan Bang Zaki, ia hanya nyengir lalu mengusap pipiku. Dan ia selalu tidur dalam dekapanku.
Dan akibat ulahku itu, ada drama diantara aku dan Alan yang melibatkan Matthew.
Loh kok bisa begitu?
Begini ceritanya.
Karena Alan selalu tidur sambil berpelukan denganku, rupanya gantian Alan yang menjadi insomnia sejak kami pindah ke 'rumah' baru kami. Disini, Zulfikar dan Taka tentunya tinggal sekamar. Letaknya di kamar depan dekat dengan ruang lobby yang bersebelahan dengan mini resto di bagian depan bangunan. Sedangkan kamarku berada di sebelah kanannya. Dan diseberang kamarku adalah salah satu kamar yang tadinya untuk disewakan, tapi aku jadikan mes untuk Matthew dan Alan.
Sebagai tambahan, kamarku dan kamar Taka berbeda bangunan dengan kamar Matthew dan Alan. Secara keseluruhan, sebenarnya tiap-tiap kamar dibangun seperti paviliun yang memiliki teras kecil di depannya. Tiap bangunan kamar juga memiliki berjarak sekitar sepuluh meteran. Sebagai pembeda dengan kamar yang disewakan, hanya kamar milikku dan milik TaSu -Taka Suwek- yang memiliki dua lantai.
Dilantai dasar ada ruangan yang memiliki sebuah sofa panjang yang diseberangnya ada sebuah TV layar datar berukuran jumbo. Disebalah TV ada dinding yang kujadikan sebagai tempat untuk menjajarkan koleksi buku yang kumiliki. Dan disebelah mini private library ini, adalah bathroom dengan dinding kaca buram yang terinspirasi dari kamar mandi di dalam kamar Bang Zaki.
Bedroomku ada di lantai dua dengan nuansa outdoor nyaris tanpa dinding. Hanya ada sebagian kecil yang berbahan dinding. Sisanya adalah kaca yang bisa digeser seperti rumah Jepang. Ada bathroom kecil yang hanya memiliki sebuah kaca bundar, sebuah wastafel berbentuk mangkuk dari bahan batu alam, sebuah toilet duduk, dan shower yang memiliki tirai anti air. Mirip dengan bathroom dilantai dasar. Hanya saja ruangannya tidak seluas yang berada dibawah.
Dari beranda kamarku, ada tangga kecil yang terhubung dengan halaman kecil yang memiliki kolam renang. Disalah satu sudut kolam renang, Taka membuat mini jacuzzi yang terhubung langsung dengan kamar mandi yang berdinding kaca buram.
Karena bangunan rumah mini milikku dan yang lainnya sedikit mirip, kami semua disini menyebutnya dengan sebutan kamar.
Saat tengah malam, Alan selalu mengetuk kamarku, dan secara blak-blakan, Alan mengatakan kalau ia seolah terlanjur terbiasa tidur dalam dekapanku.
Responku saat itu bisa dibilang cukup -mungkin sangat- egois. Aku bilang padanya, ia bisa tidur berpelukan dengan Matthew. Sedangkan Alan bilang, kalau gaya tidur Matthew itu sangat berbahaya. Sering mengigau misalnya. Atau menendang kesegala arah. Dan lain sebagainya, yang membuat Alan malah tidak bisa tidur.
Satu hari, aku menolak tegas ajakan Alan. Di dalam dadaku terasa nyeri seperti ada yang mencubit jantungku, saat Alan berlalu pergi dari kamarku dengan ekspresi wajah yang terlihat sedih. Mungkin hanya bayanganku saja saat melihat ada setitik air disudut matanya.
Hal itu membuatku merasa sangat bersalah. Terlebih Alan sempat ngambek. Dia hanya bicara padaku ala kadarnya. Tidak seperti yang biasa ia lakukan padaku.
Taka dan Suwek -alias Zulfikar- bahkan sempat menegur dan memarahiku saat mereka melihat Alan ngambek.
"Gua gak pernah ngira elo sejahat itu ama orang Ki!" Taka membentakku usai menceritakan situasi yang aku dan Alan jalani. Termasuk tentang hubungan bohongan diantara kami berdua.
"Elo gak mikirin perasaan dia Bang Ki?!" Suwek ikutan membentakku. "Atau mungkin udah saatnya elo ganti kacamata?! Sini gua beliin kacamata kuda!"
"Biar apa Yank?" Taka bertanya singkat pada Suwek.
"Biar Abang tercinta lo ini bisa fokus ke Alan. Biar Abang lo ini sadar, kalo Alan itu sebenarnya udah terlanjur suka dan sayang ke dia tanpa mereka sadari!" Suwek yang berdiri dihadapanku menudingkan jarinya diwajahku.
Aku hanya bisa mengangakan mulut saat mendengar kalimat Suwek. Sama halnya dengan Taka.
"Hih! Kalian itu beneran sodara kembar yang bego! Gak peka ama perasaan orang lain!" Suwek memasang tampang galak sambil menyilangkan tangannya dan kaki kirinya dihentakkan ke lantai hingga terdengar suara 'BAM!' lumayan keras.
Sementara aku pergi meninggalkan mereka berdua di dalam kamar, aku berjalan menuju ke kamar Matthew dan Alan. Selama beberapa menit aku hanya berdiri mematung di depan pintu kamar mereka yang tidak tertutup rapat. Sampai pada akhirnya aku mendorong pintu kamar dihadapanku.
"Lan... Gue mau ngo..." Ucapanku terhenti saat melihat Alan tidur memunggungi arah pintu sambil memeluk Matthew yang tidur terlentang. Alan menggunakan bahu kiri Matthew sebagai bantalan kepalanya, sementara tangan kiri Matthew memeluk bahu Alan.
Setelah menutup pintu dan berjalan menuju dapur yang letaknya di mini resto, entah kenapa, perasaanku menjadi semakin kacau balau.
Sudah beberapa minggu sejak kejadian itu. Alan juga sudah tidak ngambek lagi. Sikapnya sudah seperti biasa lagi. Dan hanya perasaanku saja yang kadang masih kacau balau. Terlebih kalau sedang sendirian di atas kasur.
Seperti sekarang misalnya.
Aku sedang duduk di beranda kamar. Menyandarkan punggungku disalah satu pilar bangunan kamar. Angin berhembus lumayan kencang malam ini, meskipun langit sedang cerah dan hampir tak ada awan diatas sana.
Aku yang sedang asik menikmati kesendirianku, mendadak merasa tergelitik untuk menghubungi Alan. Kuraih ponsel yang tergeletak di dekat kakiku yang sedang kuselonjorkan. Kupanggil nomor Alan, yang ia terima di panggilan pertama. Kuat dugaanku dia sedang memakai ponselnya untuk ber-chat ria dengan teman-temannya di sosmed.
^Ape Bang?^ Tanya Alan diseberang sana.
"Lagi apa lo?" Tanyaku balik.
"Lagi naek tangga nih" jawab Alan yang bisa kulihat kepalanya mulai muncul dari arah tangga.
"Dasar gak sopan"
"Salah lo sendiri, pintu ga dikunci. Untung gue yang masuk. Kalo maling yang masuk?"
"Kan elo emang maling"
"Suwek!"
"Suwek lagi kelonan ama Yayanknye di kamar sebelah!"
"Sial!" Alan manyun. Dan terlihat lucu.
"Al kan sebutan awal nama lo, Lan" aku nyengir.
Fyi, sepanjang pembicaraan ini, ponsel kami masih sama-sama ditempelkan ditelingaku. Walaupun Alan yang memakai kemeja berkerah shanghai berwarna putih, dengan dua kancing terbuka dan bercelana pendek kain berwarna biru laut itu sudah jongkok dengan berjinjit di seberangku, sambil manyun dan juga main nyeruput seenaknya saja teh chamomile dari cangkir yang kupakai.
"Ih! Minuman apaan ini? Gak enak banget!" Ujarnya setelah menenggak habis secangkir penuh. -Hadeuh!-
"Itu teh chamomile, Lan"
"Yang bisa menenangkan perasaan galau itu? Beuh! Elo galau kenapa Bang?" Alan berjingkat dan bergeser, lalu duduk disebelahku.
Kusudahi panggilan teleponku, bisa habis pulsaku kalau meladeni bocah ini. Kami sama-sama meletakkan ponsel disebelah cangkir dan teko mini yang digeser menjauh oleh Alan.
"Lan... Elo tidur sini ya malam ini" ujarku.
"Ogah" sahutnya cepat.
"Kenapa?"
"Kita belum mukhrim Bang. Yang kemaren-kemaren itu adek khilaf udah mau bobok bareng Abang" jawabnya ngaco.
Kuletakkan tanganku di pinggangnya dan menariknya agar semakin mendekat denganku. Alan diam saja. Bahkan bisa kulihat alisnya berkerut dengan pipi bersemu merah. Tak lupa bibirnya yang dimanyunkan.
"Besok kita ke penghulu. Tapi malam ini, adek harus mau Abang buntingin ya" ujarku. Mencoba mengikuti ke-ngaco-an Alan.
Alan menoleh cepat kearahku dengan mata terbuka lebar dan pipi bersemu. Aku balas menatapnya.
Lama kami saling bertatapan mata. Dan saat kudekatkan wajahku, telapak tangan Alan mendarat di bibirku.
"Kenapa? Karena belum mukhrim?" Candaku sambil meraih telapak tangannya dan kugenggam erat. Sementara wajah kami hanya beberapa mili saja. Sampai pada akhirnya aku menyenggol hidung Alan menggunakan hidungku.
"Maafin gue ya Than... Udah kasar ke elo"
"Who?"
"Ethan..."
"Please deh Bang. Jangan panggil nama itu lagi" matanya memicing.
"Kenapa? Padahal orang dari Banjar manggil elo gitu kan?"
"Itu beda perkara. Lagian gue udah kasih tau ke mereka buat manggil gue Alan aja"
"Ya udah. Apa perlu gue panggil elu sayang? Dahling? Beib? Honey? Sweety? Asal jangan Alan. Karena gue gak mau manggil elo gitu"
"Apaan sih lo?" Alan memalingkan wajahnya tapi aku meraih pipinya dengan tanganku yang tadi kugunakan untuk meremas tangannya. Agar Alan kembali menatap kearahku. Ia juga tak bisa bergerak menjauh, karena aku mendekap pinggangnya semakin erat.
Alan menggeliat mencoba membebaskan dirinya dari dekapanku. Tapi kemudian ia terbelalak dan mematung saat aku mendaratkan bibirku di pipi kanannya. Kuraih pipi kirinya agar bisa kulihat ekspresi wajahnya yang terlihat bego itu.
"Mingkem!" Perintahku. Dan Alan langsung menutup mulutnya yang menganga. Tapi matanya masih melotot menatapku.
Kumiringkan kepalaku dan dengan cepat kudaratkan bibirku di bibirnya. Kulumat pelan. Kemudian bisa kurasakan badan Alan yang tadi kaku mematung, mulai melemas.
Kedua mataku terpejam sesaat sebelum kudaratkan bibirku. Aku tak bisa melihat ekspresi wajah bego Alan. Tapi aku bisa merasakan tangan kanan Alan meremas tengkukku. Dan tangan kirinya meremas pergelangan tangan kananku yang sedang memegangi bagian belakang kepalanya. Disusul bibir Alan yang balas melumat bibir bawahku. Bahkan gerakan kami seirama saat bibir kami terbuka sepersekian detik saat aku ganti melumat bibir bawahnya, dan Alan ganti melumat bibir atasku.
"Ehhhmmmm... Aahhh..."
Hanya ada desah halus itu yang terdengar dari bibir ranum Alan ketika kami sibuk saling melumat. Saat aku menyesap halus, ia balas menyesap halus bibirku. Begitupun saat aku ganti menyesap kuat bibirnya, ia melakukan hal yang sama.
Bahkan saat lidahku terulur mencoba membasahi bibirnya yang kering, Alan menyesapnya lembut tapi kuat. Seolah ingin melumat lidahku seluruhnya. Oleh karenanya, aku melakukan hal yang sama saat lidahnya ganti terulur.
Kedua tanganku bisa merasakan tubuhnya bergetar pelan saat kami saling melumat. Semuanya sekarang seolah berjalan dalam mode slow motion.
Dari tanganku yang merambat turun dari belakang kepalanya menuju bahunya. Dan saat lumatan dibibir kami terlepas saat tanganku mendarat di permukaan kulit pinggangnya, karena kemeja putih yang Alan pakai sedikit terbuka.
"Ahhh..." desahan halus yang panjang meluncur dari bibir Alan, sementara aku mendaratkan bibirku di dagunya. Kemudian merambat ke tengkuknya.
Dan saat kemeja Alan terlepas, sementara aku tak sadar siapa yang melepaskannya. Bibir juga lidahku sibuk menjelajahi leher dan tengkuknya, kedua tangan Alan meremas dikedua sisi bahuku.
Aku juga sudah tidak memakai kemejaku? Tanyaku dalam hati. Sejak kapan?
Dan sejak kapan, atau lebih tepatnya, siapa yang memindahkan kami keatas kasur? Sepertinya tadi kami sama-sama duduk di teras! Kenapa sekarang sudah ada dikasur?
Aku bahkan sudah tak ingat siapa yang melucuti seluruh pakaian kami berdua. Dan tubuh kami yang mulai berkeringat kini menggeliat saling menggesek.
Yang aku bisa lihat adalah ekspresi wajah Alan yang memandangku dengan mata sendu yang tak pernah kulihat. Bibirnya sesekali menggigit bibir bawahnya sendiri, dengan mata terbelalak lebar ketika aku menghentakkan pinggulku. Mataku itu terpejam. Dan aku mengecupnya. Dan dari bibirnya keluar rintihan tertahan. Disaat itu pula, kedua tangan Alan meraih punggungku. Meremasnya.
Bibirku lagi-lagi mendarat di lehernya saat kepalanya terdongak diantara bantal. Sementara tangan kiriku meraih dan meremas pinggulnya. Dan tangan kananku mendarat di dadanya. Meraba putingnya dengan telunjuk dan jempolku. Memilinnya. Kemudian lidahku mendarat di puting kanannya. Dan mulutku menyucup dan menghisapnya kuat dibarengi dengan hentakan lembut di pinggulku.
Yang jelas. Saat akhirnya mataku sudah terbuka lebar. Kesadaranku pun telah kembali utuh. Ternyata malam sudah berganti pagi. Sementara itu, Alan masih tertidur dengan ekspresi wajah yang lelah, sekaligus terlihat damai di dalam dekapanku.
Um... Lebih tepatnya mungkin bisa dibilang, kalau Alan tidur tengkurap diatas tubuhku, dengan kepalanya yang bersandar di bahuku. Untungnya bantal yang kugunakan lumayan tebal untuk menyangga sebagian kepalanya.
Tubuh polos kami terbalut selimut. Aku menariknya hingga sebatas bahu Alan, karena aku tak mau ia kedinginan karena hawa pagi ini terasa dingin. Alan mendekapku erat, seolah tak ingin melepaskanku, saat ia merasakan hawa dingin.
Aku bisa merasakan sesuatu yang keras sedang bergesekan lembut dengan... Uhum kami dibawah sana ternyata saling bergesekan dalam morning glory.
Mata Alan terbuka saat aku meraba dan meremas bokongnya. "Ouch!" Tangannya meraih tanganku. Ia menatap keselimut, karena aku menutupi bagian bawah kami dengan selimut, kemudian mata kami bertemu pandang.
"Good morning, cinta" sapaku.
•°•°•°•°•°•°•°•°•°•°•°•°•
Matamu Melemahkanku
Saat Pertama Kali Ku Lihatmu
Dan Jujur Ku Tak Pernah Merasa
Ku Tak Pernah Merasa Begini
Oh Mungkin Inikah Cinta
Pandangan Yang Pertama
Karena Apa Yang Ku Rasa Ini Tak Biasa
Jika Benar Ini Cinta
Mulai Dari Mana
Oh Dari Mana
Dari Matamu Matamu
Ku Mulai Jatuh Cinta
Ku Melihat Melihat
Ada Bayangan
Dari Mata Kau Buatku Jatuh
Jatuh Terus Jatuh Ke Hati
Dari Matamu Matamu
Ku Mulai Jatuh Cinta
Ku Melihat Melihat
Ada Bayangan
Dari Mata Kau Buatku Jatuh
Jatuh Terus Jatuh Ke Hati
Matamu Melemahkanku
Saat Pertama Kali Ku Lihatmu
Dan Jujur Ku Tak Pernah Merasa
Ku Tak Pernah Merasa Begini
Oh Mungkin Inikah Cinta
Pandangan Yang Pertama
Karena Apa Yang Ku Rasa Ini Tak Biasa
Jika Benar Ini Cinta
Mulai Dari Mana
Oh Dari Mana
Dari Matamu Matamu
Ku Mulai Jatuh Cinta
Ku Melihat Melihat
Ada Bayangan
Dari Mata Kau Buatku Jatuh
Jatuh Terus Jatuh Ke Hati
Dari Matamu Matamu
Ku Mulai Jatuh Cinta
Ku Melihat Melihat
Ada Bayangan
Dari Mata Kau Buatku Jatuh
Jatuh Terus Jatuh Ke Hati
[ Dari Mata - Jaz ]
•°•°•°•°•°•°•°•°•°•°•°•°•
Aku menghampiri Ethan. Mulai hari ini ia kupanggil begitu. Dan aku hanya diperbolehkan memanggil dan menyebutnya begitu saat kami hanya sedang berduaan saja. Itu karena aku menang debat beberapa jam yang lalu. Ethan menolak keras aku memanggilnya Cinta. Karena setiap kali aku memanggilnya begitu, wajahnya memerah sampai ke daun telinganya. Antara kesal dan malu. Paling tidak, aku tidak melihat ekspresi dingin diwajahnya saat aku menyebut nama aslinya itu.
Tapi Ethan masih meringkuk di kasur memeluk guling sambil mendesi memeganggi bokongnya. Wajahnya dibenamkan di bantal. Matanya melirikku kesal, dengan pipi bersemu merah saat aku mengecup pipinya.
"Ma'em dulu Than... Abis itu minum obatnya. Tadi gue sendiri yang beli ni obat sebelum bikinin sarapan. Spesial buat Ayank Ethan"
"Sss... Diem lo Bang! Sss... Duh! Ini gimana gue bisa duduk? Sakit banget sumpah!"
"Tapi semalem elu ke enakan loh Than. Sumpah!" Godaku.
"Ha...aahhh... Elu mah jahat Bang..." Ethan merengek.
Merengek manja! Dan ini pertama kalinya dia melakukan itu!
"Gue pangku aja sini deh. Sambil nyuapin elo"
Aku menyingkap selimut yang menutupi tubuh polos Ethan. Kuraih kemeja lengan panjangku. Karena itu yang paling dekat dengan kami. Kupakaikan pada Ethan. Sementara bagian bawah tubuhnya hanya kututupi dengan selimut.
"Gak mau gue pangku?" Pertanyaanku dijawabnya dengan gelengan pelan.
"Sumpah ya! Gue tuh udah lama tau kalo barang lo itu gede, tapi gue gak nyangka bakalan segede itu" ucapnya bersungut-sungut. "Dan elo semalem masukin semua?!"
"Enggak semua kok. Setengah doang" jawabku sambil meraih piring berisi nasi goreng sosis dengan red pepper lengkap dengan telur mata sapi, menu kesukaan Ethan. Dari semua masakan yang pernah kumasak, hanya menu ini yang paling ia suka.
"Setengah?? Elo bilang semalem itu masuk setengah?" Ethan masih ngomel sambil menyuap sendiri nasi goreng yang piringnya ia letakan diatas pahanya sendiri.
"Dan dari kapan elo udah tau kalo punya gue gede?"
Ethan tersedak mendengar pertanyaanku. Aku tertawa sambil mengambil gelas berisi air mineral dan kuberikan pada Ethan.
Ethan tak langsung menjawab. Aku pun tak mendesaknya. Aku ingin dia menyelesaikan sarapan paginya terlebih dulu. Saat ini masih pukul delapan pagi. Baru si Suwek yang bangun. Tadi dia sedang beres-beres di Mini Resto. Matthew baru bangun setelah aku selesai menyiapkan sarapan pagi untuk Ethan ini.
Matthew sempat bertanya "Elo liat Alan, Bang?" padaku. Dan ia cuma ber-O panjang saat aku bilang yang dia cari sedang dikamarku. Saat aku membawa nampan berisi piring dan segelas air, Matthew pamit pergi mandi setelah diusir Suwek untuk segera membantunya.
"Gak habis? Tumben..."
"Ini... Banyak banget Bang..." Jawabnya setelah menghabiskan setengah gelas air. "Eh iya. Gue kan mau minum obat"
"Tenang aja. Obatnya gak perlu diminum kok"
"Hah?" Ethan menatapku bingung.
Dan setelah aku menjelaskan padanya kalau obat yang kubelikan ternyata harus melewati proses anal, Ethan menatapku pasrah dengan raut wajah sedikit sedih.
Kuulurkan tanganku meraih kepalanya. Kuusap pelan. Lalu kudekap Ethan. "Sorry ya... Lain waktu gak bakalan ada tusuk-tusukan lagi deh" ujarku meminta maaf.
"Tapi elo suka kan Bang?"
"Enggak. Karena gue gak nyangka kalo elu ternyata masih perjaka ting ting di bagian belakang sana" aku menjawab jujur.
"Ye... Jadi elo ngira, karena gue bekasnya orang banyak, elo jadi main nafsu kuda kayak semalem, gitu?"
"Enggak gitu, Ethan sayang" kutatap matanya. Dan wajahnya kembali memerah. Kali ini semerah tomat, mungkin. "Gue gak pernah berpikir elo bekas siapapun. Pertama, kalo mau bahas bekas, gue juga bekasnya mantan gue. Kedua, yang bikin gue nafsu kuda itu, ya elu! Karena semalem pertahanan diri gue jebol karena liat ekspresi lo. Denger suara lo. Trus..."
"Cukup! Sekarang balik ke obat aja!" Ethan masih kudekap. Wajahnya mendongak menatapku. Dan aku tersenyum menatapnya. Bukan senyum mengejek. Tapi senyum menenangkan. Karena wajah Ethan terlihat sangat cemas.
Aku memintanya untuk menungging. Saat ujung obat berbentuk lancip dan lonjong menyentuh bibir anusnya yang bengkak dan merah, serta aku mendengar Ethan berdesis menahan sakit, aku secara reflek mencium permukaan kulit pantatnya yang mulus. Tidak seperti sang mantan yang memiliki bulu halus di area ini.
Ups! Please stop Tiki! Ini bukan waktunya membanding-bandingkan. Dan jangan pernah melakukan hal itu lagi!, Jerit hati kecilku.
Bisa kurasakan badan Ethan bergetar saat aku mendorong masuk obat ke dalam lubang anal miliknya. Aku kembali mencium dan menggigit halus pantatnya.
Wow! Aku tak menyangka, kalau dengan melakukan hal itu, bagian uhum-ku ternyata bereaksi.
"Tadi gue nanya ke apotekernya. Kalo masih sakit dalam kurun waktu sepuluh sampai dua belas jam, harus dikasih lagi" aku berujar sambil membetulkan posisi uhum-ku yang sudah tegang akibat melakukan hal tadi.
Tangan Ethan mendarat di bagian depan selangkanganku. Meremas uhum-ku. Kubiarkan saja. Malahan aku mendaratkan bibirku dibibirnya. Menikmati ciuman pagi rasa nasi goreng yang Ethan sambut sambil memasukkan tangannya kedalam celana pendekku yang sudah ia buka resletingnya.
"Mau hidangan penutup?" Tanyaku. Dengan wajah semerah tomat, Ethan mengangguk.
•°•°•°•°•°•°•°•°•°•°•°•°•
Taka tertawa terpingkal-pingkal sambil memegangi perutnya. Aku baru saja selesai menceritakan perihal keadaan Ethan saat ini. Bahkan sekarang Taka sampai terjatuh dari kursinya dan masih tetap tertawa. Tidak mempedulikan raut wajah penasaran si Suwek dan Mamat yang sedang berdiri di pantry.
Ada Tony dan istrinya Rose yang sedang sarapan pagi di meja dekat pantry, ikut menatap kearah Taka. Mereka adalah turis dari Eropa -aku lupa dari negara mana. Mereka pasangan bulan madu yang sudah empat hari menginap disini. Taka bilang, kalau sepupu Rose yang pernah satu agency dengannya adalah temannya. Dan merekomendasikan home stay milik kami ini. Kami memang belum mengiklankan usaha kami kemanapun. Website sudah sembilan puluh persen jadi. Tapi karena Taka punya banyak teman dan relasi, jadinya ya sudah lumayan banyak yang menginap disini. Tony dan Rose adalah diantaranya.
"Heh setan! Jangan bikin gue nyesel udah cerita ke elo ya!" Bentakku pada Taka yang masih ngakak. Kali ini dia sudah kembali duduk di kursi tapi masih ngakak so hard sambil memukul meja berulang kali.
Suwek datang menghampiri kami. Ia membawa segelas air. "Mau gue siram ke muka lo, atau mau elu minum. Biar ketawa kampungan lo itu pergi, Ka?" Tanya Suwek memberikan pilihan.
Aku cuma bisa nyengir mendengar pertanyaan Suwek.
"Hahaha... Elo mau gue ceritain ini ke Ayank gue atau gue... Hahahaha..."
"Sebaiknya elo diem ketawa dulu Ka. Kalo Ethan sampe denger, gue yang gak enak hati!"
"Ethan?" Suwek bertanya dengan raut wajah bingung.
"Alan, Wek. By the way, jangan manggil dia Ethan ye. Cuma gue yang dia bolehin" jawabku.
"I see... Jadi udah ada nama kesayangan, ceritanya, heh?" Suwek berujar sambil duduk di kursi yang ada diantara aku dan Taka. "Jadi ceritanya kalian... Udah resmi?" Aku menjawab dengan anggukan. "Good deh kalo gitu. Trus sekarang mana tu bocah?"
"Tewas Yank. Tu bocah sekarang tewas setelah ditembak Tiki! Ngahahahahahaha...!"
Karena kesal, aku pun meninggalkan Taka dan berjalan menuju kamarku. Sekarang sudah pukul dua belas siang. Sudah waktunya mengecek kondisi Ethan.
Tapi baru saja aku berjalan lima meter, aku melihat kedatangan Subi dan Irvin. Hampir saja aku lupa kalau dua jam yang lalu, Irvin meneleponku mau datang kemari.
Sejak lulus setahun lalu, Subi sekarang meneruskan pendidikannya mengambil Diploma. Aku lupa ia mengambil jurusan apa. Sementara Irvin, dia masih kerja serabutan dan sudah sejak sebulan terakhir, ia memaksaku untuk menerimanya kerja disini. Posisi apa saja dia mau, ujarnya. Tapi mengenai hal itu, dia harus berbicara langsung pada Taka. Aku sebenarnya tidak keberatan. Masalahnya kan sekarang ini, posisi kerja sebagai apa yang sedang kami butuhkan.
"Kalian duduk dulu ya. Gue mau ke kamar dulu" aku berujar pada Subi dan Irvin. "Ngomong-ngomong, Wahid gak ikut?" tanyaku pada Subi sebelum melangkah pergi.
"Ikut kok. Tapi dia lagi beli pulsa di mini market depan" Subi menjawab. Tak lama aku melihat Wahid berjalan masuk menuntun sepeda motornya. Subi dengan sigap menghampiri Wahid. Ia membantu Wahid untuk memarkirkan sepeda motor pacarnya itu.
Makin lengket saja mereka berdua, pikirku. Aku sempat punya pikiran, kalau mereka tidak akan seawet ini. Tapi melihat kemesraan diantara keduanya... ternyata bisa melegakan hatiku.
Bisa jadi karena Wahid yang masih tetap polos dan sabar. Juga sikap dewasa Subi yang menjadi salah satu alasan keduanya semakin mesra.
Aku tersenyum saat terlintas harapan agar aku dan Ethan bisa semesra Subi dan Wahid. Yah, paling tidak, kalau melihat karakter slenge'annya Ethan yang sebelas dua belas dengan Taka, bisa jadi kunci kecocokan kami.
Sesampainya di kamar, aku melihat Ethan yang sedang duduk di kasur. Sepertinya dia baru bangun tidur. Dengan mata yang masih lima watt, Ethan menatapku sambil tersenyum.
Ingatanku kembali saat ia selesai menghabiskan hidangan penutupnya pagi tadi. Aku benar-benar takjub dengan tekhnik blow job Ethan, yang selalu ia banggakan sejak saat kami awal kenal. Meskipun mulutnya tak sanggup melahap setengah uhum-ku, tapi permainan lidah dan hisapannya mulutnya bisa aku kasih rating five stars. Apalagi saat ia dengan tanggap benar-benar menenggak habis seluruh cairan kejantananku hingga tetes terakhir. Membuatku makin mengagumi dirinya dari sisi yang sangat special.
"Udah mendingan?" tanyaku saat melihatnya turun dari kasur. Ethan mengangguk pelan.
"Masih agak perih. Tapi udah gak papa" ujarnya.
Saat aku duduk disebelahnya, Ethan malah kembali rebahan. Kali ini ia merebahkan kepalanya dipangkuanku. Tangannya ia selipkan ke kaosku, dan mengusap punggungku.
"Bang Tiki..." Panggilnya dengan suara agak serak. Khas orang bangun tidur.
"Ya? Kenapa Than?"
"Ai... Yu..."
"Hah? Apa?"
Setelah berdeham, Ethan mengulangi ucapannya, "I love you... I love you... I love you... So much!"
"I love you too, Ethan" aku menyahut sambil mengusap kepalanya. "Mandi yuk..."
"Mandi bareng?"
Aku mengangguk mendengar pertanyaannya.
Ethan langsung melompat turun dan melepaskan kemejaku yang ia pakai. Ia membantuku melucuti pakaianku dan melemparnya kesegala arah. Setelah tubuh kami sama-sama polos, Ethan menggandengku ke arah beranda.
Kami berjalan menuruni tangga dalam keadaan polos tanpa sehelai benang pun. Tapi sebelum menuruni anak tangga, aku menarik tangan Ethan. Lalu menggendongnya. Ethan terkekeh sambil melingkarkan tangannya di pundakku. Kakinya juga dilingkarkan ke pinggangku.
Awalnya aku mau mengajaknya masuk ke dalam kolam renang. Tapi karena mengingat sakit di anusnya, aku mengajaknya berendam di dalam bathtub saja.
Ethan masih duduk di pangkuanku. Dan dalam posisi duduk berhadapan. Tangannya sibuk menggenggam uhum-ku yang tegang akibat ulahnya.
Yah... Kalau boleh jujur, dari menuruni anak tangga tadi pun, uhum-ku sudah tegak mengacung dan menggesek di belahan pantatnya yang mulus.
"Nanti... Kalo udah sembuh... Gue mau ini dimasukin semuanya Bang" ucapnya sambil menyandarkan kepalanya di bahuku.
"Emangnya ga sakit?"
"Sebenernya semalem tuh enak banget Bang. Sumpah! Tapi gak tau deh, paginya malah kesakitan guenya"
Aku terkekeh mendengar ucapannya. "Yang penting sekarang, elo sembuhin dulu. Kalo udah sembuh, pelan-pelan deh elo masukin semua" kataku.
"Jangan pelan-pelan lah Bang. Yang hot kayak semalem aja. Yahud banget tau gak?"
"Oohh... Jadi suka di hard core?"
Ethan mengangguk sambil tersipu mendengar pertanyaanku. "Elo tau gak Bang..?"
"Enggak"
"Dengerin dulu ngapah, hih!" Ethan dengan gemas mencubit putingku. Aku tertawa mendapati tingkahnya yang bisa seperti ini. Padahal biasanya dia ini tipikal yang gengsian. Super jaim. Tapi memang harus aku akui, dia cuma tertawa lepas kalau kami sedang berdua saja.
Harusnya aku menyadari hal itu sejak dulu. Ethan merasa nyaman saat berada disisiku. Terutama saat sedang berduaan. Tapi aku malah menganggapnya seperti adik. Dan sering kali curhat mengenai putusnya aku dengan sang mantan. Berulang kali. Dengan cerita yang sama. Dan Ethan selalu merespon hal yang sama. Ia akan memeluk dan mengusap punggungku. Padahal aku tidak pernah menangis loh kalau curhat padanya.
Aku jadi membayangkan bagaimana kuatnya Ethan menahan diri untuk tidak mengutarakan perasaannya. Seperti kata Suwek dan Taka, bisa jadi Ethan tidak berani mengutarakan perasaannya padaku, karena ia takut aku menjauhinya.
Justru saat ia menghindariku itulah, aku menyadari, kalau aku merasa kehilangan dirinya. Kehadiran Ethan sudah mengisi kekosonganku. Dan tanpanya aku menjadi hampa.
Aku mau muntah saja kalau menyadari diriku mendadak menjadi puitis dalam biru. Halah!
Aku menyandarkan kepalaku di bathtub, dan memperhatikan dengan seksama ekspresi wajah Ethan. Well, aku sudah cukup akrab dengan ekspresi dan gaya bicaranya yang ceplas ceplos saat kami berdua saja seperti ini.
Tapi, ini adalah pertama kalinya, ia berbicara dalam posisi seperti ini. Duduk telanjang bulat di dalam bathtub berisi air panas. Tangannya yang seolah tak ingin melepaskan uhum-ku. Belum lagi sesekali ia mencium pipi, mata, bibir, dan pipiku. Plus, ia menggesek-gesekkan hidungnya di hidungku.
Dan saat ia menggesek-gesekkan hidungnya seperti itu, membuat tanganku refleks meraih kepalanya. Memiringkan sedikit kepalaku, dan membungkam bibirnya yang asik berceloteh dengan bibirku.
Dan aku semakin bahagia saat Ethan membalas perlakuanku padanya. Ditambah ia mengeratkan pelukannya.
Bukan suara kecipak kecipuk air yang menggema di dalam kamar mandi. Tapi suara ciuman kami yang tadinya lembut dan romantis, berubah drastis menjadi ciuman memburu dengan tangan saling menggenggam di uhum satu sama lain.
Ah iya, ada satu hal yang aku baru sadari. Ternyata uhum-nya Ethan itu uncut. Alias tidak sunat. Jadi memudahkanku untuk memainkannya dalam genggaman tanganku di dalam air seperti sekarang ini.
"A...aaahhh... Banghhh... Ma-mau..."
Aku dengan sigap menarik tubuhnya hingga terangkat. Cukup mudah bagiku untuk mengangkat body slim fit milik kekasih baruku ini.
Ethan berdiri membungkuk dengan berpegangan pada bahu dan meremas rambutku. Dan satu detik sebelum ia sampai, mulutku melahap uhum-nya, dan kini gantian aku yang mencoba menelan seluruh cairan kejantanan miliknya.
Tapi...
"Huuueeeekkkkk...!!" Aku langsung memuntahkan cairan kental di dalam milikku ke lantai. Ethan tertawa keras sambil memijit tengkukku.
Usai memuntahkan seluruhnya, aku langsung menoleh kearah Ethan. "Stop smoking! Your cum feels disgusting, ya know, babe!?"
"Okay honey teddy sweety... I'll try... Tapi gak bisa stop total ya..." Jawabnya.
"Kok teddy?"
"Body lo ini terlalu gede buat dibilang bunny, hun!"
"Iya juga. Pantesnya elo yang disebut bunny, rite?"
Ethan mengangguk.
Setelah itu, aku meminta Ethan duduk memunggungiku didalam bathtub. Aku memeluknya dari belakang. Dan Ethan malah memiringkan dan sedikit menurunkan badannya, untuk kemudian ia menyandarkan kepalanya di bahuku.
Tangan kanannya meraih pipi kiriku, dan bibirnya mengecup pipi kananku.
"Makasih Bang..."
"Makasih buat apa?"
"Itu pertama kalinya ada orang yang gue ijinin bikin gue ngencrot, apalagi sampe di sepong segala. Gue gak pernah nyangka kalo rasanya tuh... Selangit!"
"Oya?"
Ethan mengangguk.
"Tapi abis dibawa terbang ke langit, gue serasa dibanting, karena elo bilang rasanya menjijikan. Hahahahaha..."
"Sorry. I don't mean that" kukecup keningnya selama sekitar sepuluh detik. Sebagai permintaan maafku.
Bahkan dengan sang mantan pun, aku tidak pernah berlaku dan bertingkah seromantis ini.
Apa mungkin ucapan Mamah dulu itu ada benarnya, kalau aku cuma dijadikan pelarian dari rasa kesepiannya Bang Zaki? Dan tamparan keras tangan Mamah, diwajah Bang Zaki dulu itu telah menyadarkannya?
"Lah? Lah? Kok...?"
"It's okay... I'm fine..." ujarku tersenyum. Rasanya sakit dan akan jauh lebih sakit, kalau dugaanku barusan dan ucapan Mamah waktu itu ternyata benar. "Gue cuma lagi happy. Happy udah bisa sadar kalo gue ternyata menyadari perasaan gue ke elo, Than"
Lima persen bohong, dan sembilan puluh lima persen benar.
Dan saat aku menoleh kearah Ethan, ternyata ia sedang sesenggukkan sambil menutupi wajah dengan kedua tangannya.
"Lah? Kok...?"
"Waa~ahhh... Gue dari pagi ngira kalo gue lagi mimpi Bang... Kalo beneran mimpi, gue gak mau bangun seumur hidup gue... Tapi kalo inget sakit di bo'ol gue, gue yakin kalo ini kenyataan..."
Kalimat terakhir Ethan hampir saja membuatku tertawa.
"Selama ini, kalo kita tidur berdua, gue selalu nyium pipi lo Bang. Bibir lo juga kadang. Tapi karena elo tidurnya kayak gedebok pisang, gue sering grepe-grepein elu Bang... Sorry... Makanya gue tau punya lo itu gede Bang..."
Kali ini pengakuannya sukses membuatku terbahak-bahak. Tapi tak lama. Karena aku langsung memeluknya. Tak lupa mendaratkan kecupan di kening dan di kedua matanya bergantian.
"Udahan yuk mandinya. Sebenernya diluar lagi ada tamu"
"Siapa?"
"Wahid" Ethan mengerutkan dahinya saat mendengar nama Wahid kusebut. Aku pernah menceritakan perihal Wahid pada Ethan, dan dia sempat emosi saat itu.
Mungkin Ethan sama-sama merasa tak terima atas peristiwa yang Wahid lakukan waktu dulu.
"Subi" Ethan langsung mengangkat kedua alisnya sambil manggut-manggut. Aku sudah bilang padanya perihal hubungan Subi dan Wahid.
"Irvin"
"Oh! Udah dateng? Kenapa gak lo bilang? Bukannya dia mau interview?"
"Kan ada Taka. Lagian bini gue lagi sakit, bikin gue kepikiran terus, tau gak?" Kucubit hidungnya sambil menariknya agar mengikutiku ke shower. Kutekan botol pump berisi sabun cair ke shower puff. Kuremas-remas hingga berbusa dan kuratakan ke tubuh Ethan. Sedikit kugosok.
Ethan meraih shower puff ditanganku usai aku meratakan busa sabun dari pundak hingga ke kakinya. Tapi karena tinggi badanku jauh diatas dirinya, Ethan berkonsentrasi menggosok punggung hingga kakiku.
Sempat heran saat ia sengaja melewati area selangkanganku. Ternyata ia ingin mengulum uhum-ku, dan memainkannya dengan sabun cair. Hingga membuatku terasa terbang ke awang-awang akibat mahirnya handjob dari Ethan.
Dan sesaat sebelum ejakulasi, ia sempat membersihkan busa sabun, untuk kemudian ia menenggak habis cairan milikku. Lagi.
"Suka banget ya?"
"Punya best of the best Bang. Rasanya enak banget. Mirip... Hmmm... Kayak air kelapa muda"
Aku ngakak sambil membilas tubuh kami dibawah kucuran shower.
"Mungkin karena gue gak pernah ngerokok. Gak pernah minum. Anti narkoba juga. Makanya, elo juga harus stop semua kebiasaan jelek lo itu. Biar gue bisa ikutan minum air jejaka muda punya lo" ujarku diakhiri kedipan mata.
•°•°•°•°•°•°•°•°•°•°•°•°•
Setelah mengeringkan badan dengan handuk yang selalu ada di rak yang ada di dekat pintu masuk kamar mandi. Kami kembali ke bedroom diatas.
Saat kami sedang menaiki anak tangga, Taka masuk tanpa permisi. Kebiasaan tu bocah emang susah ilang. Hih!
"Abis mandi bareng?" Taka bertanya mengekor di belakang kami.
"Elo ngapain ngikut? Tunggu di bawah! By the way, kita abis renang" jawabku berbohong dikit. Taka langsung memutar badan dan berdiri bersandar di pintu. Sementara aku mengenakan pakaianku yang kuambil dari lemari, Ethan bergegas mengenakan pakaiannya yang semalam ia pakai, dan sudah ku lipat dengan rapi di meja dekat kasur.
Saat melipatnya tadi pagi, aku baru sadar kalau Ethan tidak mengenakan celana dalam.
"Gue balik ke kamar dulu Bang. Mau ganti baju"
Sebelum ia pergi, aku sempat mengecup pipinya dihadapan Taka. Ethan sempat terkejut. Tapi Taka memberi kode kalau ia sudah tau mengenai dirinya dan diriku.
Setelah Ethan masuk ke dalam kamarnya yang berada di seberang kamarku, Taka kembali bertanya padaku.
"Ngomong-ngomong Ki. Bukannya elo pernah bilang, kalo si Alan tuh gak belok kayak kita?"
"Tapi kan dia pernah kerja di prostitusi gay, Ka. Dari ceritanya tadi, pas gue renang (padahal lagi mandi), Ethan bilang, kalo awalnya dia ngerasa berterima kasih ke gue. Karena gue udah mati-matian nolongin dia buat keluar dari dunia itu. Dia terpaksa kok ngelakuin itu semua Ka"
"Iya lah Ki. Cuma manusia pe'a aja yang dengan senang hati mau kerja di dunia begitu" Taka menyahut.
"Iyaps. Bener. Pinter!" Ucapku gemas sambil merangkul Taka dan mencubit pipinya. Aku sempat melihat Ethan yang mengintip di jendela kamarnya saat melihat aku dan Taka berdiri di depan pintu kamarku. Aku mengedipkan mataku dan mengerucutkan bibirku kearahnya. Bisa kulihat ia tersenyum di dalam sana.
"Yang pasti, awal mulanya dia ngerasa sayang ke gue karena gue yang udah peduli ke dia. Ya emang bener gue peduli ke dia. Gue gak tega aja ngeliat dia kelayapan siang malem. Pulang mabok. Dan lain sebagainya. Dia juga pernah ketangkep basah ama gue, kalo lagi sakaw. Itu gue sampe nangis tau Ka waktu ngeliat dia sakaw. Gue beneran gak tega ngeliat dia kesiksa gitu.
Dan ... Waktu sakaw itu, dia agak-agak sadar ngeliat gue yang nangis ngeliat kondisi dia.
Ngeliat gue yang kayak gitu, bikin dia jadi inget mendiang nyokapnya"
"Maksud lo, Ki?" Taka menyipitkan matanya menatapku serius.
"Yang ini dia udah cerita dari dulu Ka. Dia cerita waktu lagi mabok berat. Sambil nangis kalo nyokapnya itu mati sengsara gara-gara bokapnya yang suka judi. Dan elo tau, siapa yang bikin dia jadi kerja di prostitusi?"
Taka menggeleng. Dengan ekspresi takut. Dan bisa terbaca ia menebak-nebak jawabannya dalam hati.
"Abangnya. Abang kandungnya Ethan itu sering maksa dia buat ngoral kemaluannya. Dan waktu itu ketauan ama bokapnya Ka"
"Trus?"
"Bokapnya langsung kalap ngebacok Abangnya. Nyokapnya yang nyoba nyegah Bokapnya itu, kepalanya kepentok meja. Ada pendarahan di dalem otaknya.
Nyokapnya meninggal di rumah sakit. Bokapnya masuk penjara. Dan..."
"Apalagi?"
"Dia punya adek. Cewek. Katanya kalo gak salah inget, harusnya adeknya itu udah SMU"
"Adeknya kemana emang?"
"Dari masih orok dikasih ke tantenya yang gak punya anak. Itu tante dari mendiang Nyokapnya"
"Trus?"
"Jadi selama ini dia kerja malem itu buat ngebantu adeknya. Dia pamit ke Tantenya kalo dia mau kerja di Bali diajak temennya. Tadinya Tantenya udah ngadopsi dia juga. Tapi Ethan ngeliat perekonomian keluarga Tantenya itu lagi susah, akhirnya ya gitu. Dia kerja buat dikirim bukan cuma ke adeknya. Tapi juga ke Tantenya"
"Berarti dia drop out?" Taka bertanya, yang kujawab dengan anggukan.
"Tapi gue curiga itu Tantenya dia bohong. Kali aja dia emang ga mau ngerawat Ethan. Ya kan? Trus duit yang buat adeknya, sapa tau dipake Tantenya juga"
"Kok elo bisa berasumsi gitu Ki?"
"Gue pernah dapet cerita dari Marlo temen kuliah gue yang asli Jakarta Ka. Gue kan sempet dateng ke kampus, waktu gue masih kos di Denpasar, dan ketemu Marlo di kampus. Yang sebelum gue dateng ke acara reunian kampus itu Ka. Pan elu yang nganterin gue pake mobil pinjeman temen bule lo dulu itu. Nah... trus si Marlo yang cerita kalo dia abis berantem ama Nyokapnya. Dia bilang ada temen arisan Nyokapnya yang manfaatin duit ponakannya"
"Jangan bilang kalo..."
"Gue harap sih kagak Ka. Mudah-mudahan itu bukan Tantenya Ethan. Soalnya..."
"Soalnya kenapa?"
"Soalnya, anak angkat Tantenya itu abis meninggal kecelakaan dan itu Tantenya make duit si ponakannya yang dikirim buat adeknya itu Ka. Itu udah hampir enam bulanan yang lalu, ya kan?"
Taka memainkan ujung dagunya dengan kedua jari. Seolah menunjukkan kalau ia sedang berpikir keras.
"Gue baru dapet cerita tentang Tantenya barusan. Tapi gue langsung keingetan ama ceritanya Marlo, Ka. Sebaiknya gue cerita gak ya, Ka?"
"Harus! Elu harus cerita. Minimal konfirmasi dulu ke Alan"
"Konfirmasi apa Bang Taka?"
Aku dan Taka langsung menoleh kearah Ethan yang ternyata sudah berdiri sekitar satu meter di depan kami.
Taka langsung menoleh kearahku. Dari pandangan matanya aku bisa mengartikan, Taka meminta bantuanku untuk menolongnya memberikan alasan.
•°•°•°•°•°•°•°•°•°•°•°•°•