It looks like you're new here. If you want to get involved, click one of these buttons!
Copyright 2021 Queer Indonesia Archive. See our Privacy Policy. Contact us at [email protected]
Dengan menggunakan situs ini berarti Anda setuju dengan Aturan Pakai.
BoyzForum.com adalah situs anti pedofilia!
Comments
nitip mention y ts..tq
Maaf pula jika ada yang tidak berkenan di mention. Silahkan layangkan protes anda di komentar.
----
PART 7
Malam itu, di penghujung musim dingin, saat bar bersiap untuk tutup dan hanya Bree lah yang tersisa di bar kumuh miliknya. Pria jangkung itu tengah mengangkat barrel kosong yang terakhir ke ruang bawah tanah. Ketika ia keluar dari ruang bawah tanah, mengunci pintu dan berbalik, ia nyaris terjengkang melihat sosok wanita telah berdiri di hadapannya. Hoodie perak yang halus menutupi mahkota karamelnya, namun tidak menutupi kilat menantang dari sepasang manik kelam yang terlindung oleh bayang.
“Astaga, anda membuatku nyaris mati karena jantungan.” Bree tertawa. Ia melangkah melewati sosok wanita yang tak melepaskan tatapan padanya. “Segelas anggur sebelum pergi?”
Keduanya kini berada di bar. Wanita itu duduk di hadapan meja bar yang tinggi dengan hoodie yang telah terlepas dari kepalanya, menampakkan surai coklat yang terikat tinggi dan tergerai hingga ke punggung. Ada beberapa garis pudar di antara surai caramel itu, menunjukkan usianya yang telah menua. Sedangkan Bree di seberang meja, tengah membuka botol anggur.
“Apa gerangan yang membuat wanita seperti anda berada di tempat sekumuh dan di waktu yang tidak tepat seperti ini?”
Wanita itu tak menjawab. Ia hanya diam, hingga ketika menerima segelas anggur di tangan. “Kamu tentu sudah tahu.”
Bree mengedikkan bahu dengan senyum miring di wajah. “Well, jika memang saya sudah tahu, saya tidak perlu berkata apapun lagi.”
Wanita itu mendengus. “Seperti biasa, kamu selalu menang dalam bermain kata.” Dan menenggak minuman fermentasi di tangannya hingga tandas.
“Oh ya?” Bree mengangkat alis, berpura-pura tersanjung. “Segelas lagi, madam?”
“Tidak, terima kasih.” Wanita itu meletakkan gelas di meja, memutarnya dengan jemarinya yang lentik. “Aku sudah berbicara dengan Smith.”
Gerak Bree terhenti untuk sedetik. Ia meletakkan botol anggur di lemari, dan kembali ke meja bar. Ia menangkap tatapan dengan makna yang jelas dari wanita anggun di hadapannya. Namun Bree tidak berkata apapun, memilih diam sebelum wanita itu berbicara lebih banyak.
“Ini sebuah kesalahan yang terlewatkan, Bree. Kamu bertugas untuk menjaganya, bukan? Harusnya kamu bisa mencegahnya.”
“Kita tidak bisa menyebutnya sebagai kesalahan. Ini adalah jalan hidupnya. Ia yang memilihnya.” Bree bersedekap. “Lagipula tugas dan janjiku adalah untuk menjaganya bukan mengekangnya.”
Wanita itu menatap Bree dengan pandangan menantang dan pria itu melakukan hal yang sebaliknya. “Kamu tidak melihat yang terjadi di luar sana? Harusnya kamu sadar pada apa yang telah kamu lewatkan. Kamu membuat semuanya terjadi begitu saja.”
Gelengan kepala menjadi jawaban Bree. Bukan berarti ia tidak tahu. Ia berada di sana di setiap kejadian itu terjadi. Ia menyaksikan dan tidak menghentikan. Itu bukan tugasnya, selalu ia tekankan pada dirinya. “Aku tahu.” Lirihnya. “Tapi apa anda tidak melihat wajahnya? Apa anda tidak melihat kebahagiaan di matanya? Apa anda tidak melihat ia begitu hidup?”
Wanita itu terdiam cukup lama. “Aku tahu, Bree. Aku melihatnya. Kamu tahu kalau aku amat menyayanginya. Namun aku mencoba untuk bersikap netral. Mencoba untuk membuatnya tetap hidup.” Ia menghela. “Kita tidak boleh membuat keduanya bersama.”
Bree melotot dengan keputusan yang wanita itu ucapkan. “Tugasku adalah menjaganya, bukan—“
“Aku tahu aku tidak bisa mengharapkanmu. Aku dan Smith yang akan melakukannya. Tapi aku tahu, suka atau tidak suka kamu akan membantuku.” Wanita mengangkat satu sudut bibirnya dan tersenyum miring.
“Aida, dengar—“
“Sampai bertemu lagi, Bree.” Aida berdiri, kembali mengenakan hoodie di kepala. “Ngomong-ngomong, terima kasih untuk minuman anggurnya.” Ia berbalik, menyibakkan jubah perak musim dinginnya, dan menghilang dalam satu kedipan.
Bree berdiri di balik meja bar, memandang kosong pada barnya yang kini sepi. Ia mendesah berat dan mengusap rambut panjangnya dengan satu tangan. “Ini akan menjadi sangat melelahkan.”
“Jauhi Henry.”
Cliff baru saja tiba sore ini, sejam yang lalu, setelah menyapa Tuan dan Nyonya Silvercrow, mendiskusikan hal penting yang membuatnya kembali ke kota ini, ia segera melaju kakinya ke bar namun tidak menemukan pujaan hatinya di sana. Betapa ia merindukannya setelah sebulan tak bertemu. Ia mengalihkan langkan ke permukiman kumuh. Menghiraukan segala tatapan akan tampilannya dalam balutan setelan resmi yang berkelas. Ia sudah membayangkan pemuda bersurai tembaga itu akan menyambutnya, memeluknya erat dan menatapnya penuh rindu. Jika beruntung, ia akan mendapatkan kecupan yang manis dari Henry.
Namun yang menyambutnya adalah Smith. Pria ringkih dan pincang itu menatapnya tegas dan menantang, mengucapkan dua kata yang menghentikan napasnya untuk sesaat.
“Maksud anda?”
Smith tidak peduli meski yang dihadapannya adalah bangsawan dengan derajat yang nyaris menyamai sang Raja, ia tetap berdiri di sana, berusaha tegap meski tubuhnya yang kurus tak memungkinkan. Ia adalah mantan prajurit kerajaan, dan menghadapi hal seperti ini hal yang mudah baginya ketimbang berada di medan perang. “Sudah sangat jelas, Tuan. Saya meminta anda menjauh dari Henry.”
Cliff tak melepaskan tatapannya dari tatapan tegas Smith. Ia bisa melihat kesungguhan di sana. Dan itulah yang ia takutkan. Selama ini ia mengira Smith tidak mempermasalahkan hubungan keduanya mengingat pria tua itu tidak pernah menegur mereka sekalipun. Namun melihat pria itu kini berdiri menantang di hadapannya, ia menjadi tidak yakin. Apa yang pria itu permasalahkan?
“Biarkan aku bertemu Henry.”
“Dia tidak berada di sini. Pergilah.”
Pemuda bersurai emas itu tak lepas menatap Smith. Memuji ketangguhan si pria tua. “Apa yang membuat anda berubah pikiran?”
“Saya salah. Tidak seharusnya anda bersama.”
“Kenapa? Apa karena kami sama?”
Smith menggeleng lemah.
“Apa karena masalah derajat?”
Sekali lagi Smith menggeleng. “Saya bukan orang yang berpikir rendah seperti itu. Masalahnya bukan pada hal seperti itu. Masalahnya adalah pada anda dan Henry yang tidak seharusnya bersama.”
“Tapi kenapa?” Cliff berseru dan napasnya memburu. Ia lelah dan tidak mendapatkan jawaban yang layak.
“Maaf, saya tidak bisa mengatakannya. Yang bisa saya lakukan adalah meminta anda untuk menjauhinya.”
“Dengar, saya tidak akan mengambulkan permintaan anda. Saya telah berjanji dan tidak akan menjauhinya apapun yang terjadi.”
“Apapun yang terjadi? Meski demi membuat Henry tetap hidup?”
Cliff terdiam, mencerna kalimat Smith. Keningnya mengernyit mencipta kerutan. Matanya memicing, mencari kejelasan. “Apa maksudmu?”
Keheningan adalah jawaban yang ia dapatkan, membuat sang Duke marah. “Katakan!” raungnya. Namun keheningan sekali lagi menjadi jawaban. Smith tetap kokoh di tempatnya, bersama ego yang besar di dalam tubuh yang ringkih. Cliff yakin ia tidak akan mendapatkan apapun.
“Baik, aku akan mencarinya sendiri.” Jadi setelah ia menetralkan emosinya yang kacau, menetralkan napasnya yang meliar, ia segera berbalik pergi. Meninggalkan Smith yang menghela lelah.
Tepat di akhir senja, Cliff terpaksa kembali ke kediaman Silvercrow setelah para pengawal memintanya untuk segera kembali. Masih ada diskusi yang harus dilakukan olehnya dan Mr. Silvercrow. Cliff telah mencari nyaris di seluruh kota. Di restoran, bertanya pada wanita penjual bunga (ia sempat membeli setangkai tulip merah untuk Henry), bertanya pada Anne dan Bree, namun nihil. Ia tidak mendapatkan apapun. Seolah Henry telah menghilang.
“Ini korban yang kedua puluh di bulan ini. Hal yang sudah diluar batas kewajaran. Kami sudah memberlakukan jam malam, namun nyatanya tetap saja ada korban yang jatuh. Untuk saat ini kami masih mengkambinghitamkan serigala lapar di luar sana.”
Cliff memainkan gelas anggur di tangan. Ia menyandarkan punggung ke sandaran sofa yang terletak di sisi perapian ruang kerja. Keningnya mengernyit, mencoba berkonsentrasi. “Bagaimana dengan korban?”
Graham yang tadinya duduk di sofa berhadapan dengan Cliff kini berdiri, melangkah dengan gusar ke sisi meja kerja. Mengambil beberapa lembar kertas yang penuh dengan catatan yang masih jelas diingatannya. “Sama seperti sebelumnya. Korban yang ditemukan telah mongering dan rapuh, seolah energinya telah tersedot habis. Dan ada bekas luka gigitan dan bahu atau leher.” Graham kembali ke sofa, menyerahkan beberapa lembar kertas pada Cliff. “Kami sudah menyelidiki , dan tidak ada pola khusus dalam menentukan target. Hanya saja, dia tidak menyerang anak-anak. Mungkin aku harus percaya pada kenyataan bahwa makhluk kegelapan itu telah kembali.”
Sang Duke membaca daftar korban yang diterima. Benar, tidak ada daftar anak-anak. Semuanya bersifat acak. Wanita atau pria, dari berbagai profesi bahkan prajurit Graham dan prajuritnya telah menjadi korban. Semuanya adalah wanita dan pria dewasa. Lalu bagaimana dengan Henry? Bisa saja pemuda itu menjadi korban.
“Mr. Scarlet?”
Apa ini ada kaitannya dengan ucapan Smith yang penuh teka-teki? Apa ada hubungannya dengan hidup Henry? Tapi apa hubungannya dengan dirinya? Ini membuatnya pusing.
“Mr. Scarlet?” Tepukan di bahu oleh Graham menyadarkannya. “Anda tampak risau. Apa ada yang mengganggu anda?”
Cliff menyerahkan lembar korban itu kembali pada Graham. Ia menatap minuman anggur yang tinggal separuh dan menenggaknya hingga tandas. “Apa anda tahu Henry berada di mana?”
Kening sang Marquess mengernyit. “Henry? Bukankah dia sedang bekerja di tempat Bree saat ini? Tapi mungkin dia sudah berada di rumah. Aida sudah memintanya untuk berhenti bekerja sebelum kasus ini berakhir.”
Cliff menghela dan mengusap wajah.
“Anda butuh istirahat, Mr. Scarlet. Perjalanan panjang membuat anda lelah. Beristirahatlah.” Saran dari Graham yang dibalas dengan anggukan setuju oleh Cliff.
Begitu ia keluar dari ruang kerja, ia nyaris bertabrakan dengan Aida yang hendak membuka pintu. “Selamat malam, Mr. Scarlet.”
“Malam, Mrs. Silvercrow.”
“Diskusinya telah berakhir? Padahal saya baru akan mengantarkan kue manis.” Ujarnya menyodorkan senampan kue kering bertabur gula.
Cliff hanya membalasnya dengan senyum sebelum berlalu pergi. Meninggalkan Aida yang menatap punggung sang Duke dengan bingung.
Cliff tidak bisa berdiam diri begitu saja di kediaman Silvercrow sebelum ia melihat Henry tepat di hadapannya, sebelum ia menyentuh dan memeluk pemuda yang ia kasihi. Sudah cukup dengan rindu yang menyesakkan selama sebulan. Ia sudah berada di tanah kelahiran Henry, dan tidak bertemu pemuda itu membuatnya merasa frustasi.
Persetan dengan jam malam. Ia tidak peduli meski pengawal yang memintanya untuk tetap di kediaman Silvercrow demi keamanan. Tidak ada yang bisa melarang sang Duke kecuali seorang Raja. Jadi ia pergi ke kota dengan kuda seorang diri, menolak pengawalan yang ditawarkan.
Seperti yang dikatakan Graham, jam malam benar diberlakukan. Jalanan kota nampak amat sepi. Hanya suara lolongan anjing dan gesekan daun akibat tiupan angin musim semi yang terdengar. Namun nampaknya aturan itu tidak berlaku di daerah kumuh. Bar kumuh milik Bree masih ramai seperti biasa, meski berkurang dibandingkan sebelumnya.
“Halo, Mr. Scarlet. Anda tampak menawan malam ini.” Anne kembali menggodanya hari ini yang dibalas dengan senyum simpul dari sang duke. Cliff menghampiri meja bar. Ada Bree di sana yang tengah menuangkan bir ke gelas besar.
“Di mana Henry?” pertanyaan kedua untuk hari ini.
“Henry tidak berada di sini.” Dan jawaban yang sama dari Bree membuat Cliff berdecak.
Tanpa berkata apapun, Cliff segera berbalik pergi meninggalkan bar. Bree, dari balik meja bar menatap punggung sang Duke yang menghilang setelah melewati pintu bar yang rendah.
Cliff baru saja melangkahkan kakinya ke permukiman kumuh ketika ia mendengar suara jeritan yang pilu. Awalnya ia ragu. Bisa saja si pelaku sedang melakukan penyerangan. Ia bisa memanggil pengawal di pos terdekat. Namun akhirnya ia memutuskan untuk bertindak, pelaku akan menghilang jika ia terlambat. Ia berlari menghampiri sumber suara, setelah memastikan pedang panjang telah tergenggam erat di tangan.
Di batas kota, di antara rimbunan pepohonan, tepat di hadapannya, ia bisa melihat apa yang selama ini menjadi cerita kelam di buku sejarah. Di balik bayang pepohonan, si pelaku tengah menancapkan taringnya yang tajam di leher korban. Perlahan tapi pasti, korban yang merintih semakin kurus dan kering hingga ke tulang. Pelaku menyedot habis energi dan darah korban tak bersisa.
Cliff tidak bergerak, terpaku di tempat. Tenggorokannya terasa kering hingga tak mampu bersuara. Tangannya mendadak berkeringat dan pegangan di gagang pedang terasa licin. Air yang beku seolah menjalari sepanjang garis punggungnya mengirimkan ketakutan.
Si pelaku melepaskan taringnya begitu si korban telah kering kerontang. Darah yang merah dan segar mengalir di kedua sudut bibirnya, ke dagu dan ke leher. Ia mengelapnya kasar dengan telapak tangan. Mengendus udara dan menyadari ada satu lagi mangsa yang bisa melegakan dahaganya. Ia berbalik, mendapati pemuda tepat beberapa meter darinya, mengacungkan pedang padanya. Bibirnya yang basah oleh darah menyeringai. Menyadari bahwa ia akan benar-benar kenyang malam ini.
Cliff mengacungkan pedang, bertindak waspada begitu si pelaku berbalik. Menatap Cliff dengan pandangan buas. Meski terlindungi oleh bayang pepohonan, ia bisa melihat jelas kilat lapar dari manik yang berkilau itu. Namun ketika si pelaku melangkah keluar dari bayang, ketika sinar rembulan memperjelas sosoknya, napas Cliff tercekat di tenggorokan menyadari bahwa yang di hadapannya saat ini adalah apa yang tidak pernah ia bayangkan.
Ia mengenali tubuh mungil itu. Ia mengenali surai tembaga itu. Ia mengenali manik merah yang selalu menawan itu. Ia mengenali garis bibir tipis yang jika tersenyum akan nampak menggoda. Ia mengenali seluruhnya, seharusnya. Namun ia tidak mengenali tatapan bengis dari manik sewarna darah itu. Ia tidak mengenali seringai dari garis bibir bernoda darah, sehingga menampakkan dua taring tajam yang siap mengoyak. Ia tidak mengenali sosok yang nampak lapar di hadapannya sedikit pun.
Ujung pedang Cliff terjatuh ke tanah, dan kewaspadaannya sirna dalam sekejap. Lidahnya kelu dan manik sapirnya membulat sempurna dalam keterkejutan. Apa yang di hadapannya saat ini adalah mimpi terburuknya yang menjadi nyata.
Ketika ia berhasil menemukan kembali suaranya, ketika ia berhasil menggerakkan lidahnya, Cliff berbisik dengan suara yang lirih, rendah dan tenggelam dalam ketidakpercayaan.
“Henry—?”
Kentang akhh..keep writing ts
mahluk itu muncul setelah henry bertemu pertama kali dgn clif , apa ada hubungan nya..?
apa clif yg bisa mengembalikan henry mnjadi manusia biasa....... ??
Lanjut ya.. ,!!!
@lulu_75 bukannya yang suka bulan itu werewolf ya? cmiiw
@Roynu hahaha akan terjawab kok nanti.