BoyzForum! BoyzForum! - forum gay Indonesia www.boyzforum.com

Howdy, Stranger!

It looks like you're new here. If you want to get involved, click one of these buttons!

Selamat datang di situs Boyzforum yang diarsipkan oleh Queer Indonesia Archive. Forum untuk komunitas gay Indonesia yang populer ini didirikan pada tahun 2003, dan ditutup pada tanggal 15 Desember 2020.

Forum ini diabadikan untuk kepentingan sejarah. Tidak akan ada konten baru di forum ini. Silakan menikmati forum ini sebagai potongan dari sejarah queer Indonesia.

Black Book (Story Of Love)

2456722

Comments

  • kasian tomi
  • Ada hubungan apakah nantinya tomi sama yuki???
  • udah lama banget baru di lanjut...
    mention ya kalau update lagi
  • aduh kasihan Tomi, untunglah ada Syaif sebagai penyemangat ...
  • Update yang pertama berubah... Kok jadi Abe-Tomi ya :-?

    Yaudah deh gakpapa ;;)

    Kisah hidup uda Abe yang lainnya ya~.. Yoshh lanjut uda^^)/
  • @Tsu_no_yanyan , @lulu_75 ,
    @widy_wnata92 , @3llo , @cute_inuyasha ,
    @d_cetya , @ianz_rongerz, @hyujin.

    happy reading ya guys....
    jangan lupa like nya.
  • @Tsu_no_yanyan , @lulu_75 ,
    @widy_wnata92 , @3llo , @cute_inuyasha ,
    @d_cetya , @ianz_rongerz , @hyujin



    Menurut kalian, kemiskinan itu apa harus dijadikan beban? Apa harus membuat kita menjadi rendah diri dan minder? Aku tidak tahu kalau kalian berpikir kemiskinan membuat kalian larut dalam kesedihan. Tidak, itu bukan prinsip hidupku. Walau begitu banyak lobang di hatiku, sebisa mungkin aku tutupi dengan senyuman. Yah, tersenyum walau kadang ku rasakan begitu getir.

    Seharusnya, kemiskinan ini tidak membuat kami berjalan sendiri-sendiri. Seharusnya yang disebut keluarga itu, ketika salah satu dari anggotanya dapat masalah, maka yang lain harus membantu. Bagaimana pun caranya. Dan yang memiliki sifat seperti itu cuma aku. Cuma aku yang peduli dengan keluargaku yang morat marit. Aku capek melihat Bunda menangis, aku bosan melihat Papa yang seperti lari dari tanggung jawab. Papa dihinggapi ketakutan-ketakutan yang tidak aku mengerti. Dia seperti terpenjara dalam pikirannya sendiri. Setiap kali ada orang asing yang bertamu ke rumah, dia pasti pucat duluan dan menyembunyikan dirinya di dalam kamar.

    Aku hanya berharap Papa menyerahkan diri saja ke pihak yang berwajib dari pada hidup dalam ketakutan-ketakutan seperti itu.

    Pagi ini seperti hari-hari sebelumnya aku sedang mengasah sabit untuk memotong rumput. Pasca putus sekolah aku konsen menggembalakan sapi. Mencari rumput dari satu sawah ke sawah lainnya. Berat sih, apalagi ditunjang oleh tubuhku yang kurus. Sering aku menahan lapar yang terkadang membuat tubuhku seolah-olah merasa melayang. Ketika rasa lapar menyerang aku hanya bisa membungkukkan badan, atau aku akan berbaring dan menekuk tubuhku sehingga rasa lapar tersebut perlahan-lahan menghilang.

    "Tom, cepatlah berangkat! Sebentar lagi hari semakin tinggi!" Ku lihat Bang Nanda sudah berdiri di sampingku. Wajahnya terlihat letih. Semalaman dia begadang. Main-main dengan temannya. Hiruk pikuk main domino di lepau kopi.

    "Abang baik-baik saja?" Aku memang suka khawatir kalau melihat salah satu dari saudaraku sakit.

    "Ahk, aku ini jantan! Tak ada yang perlu kau risaukan! Bergegaslah!" Tanpa bicara lagi, Bang Nanda melangkahkan kakinya. Aku dengan cepat pula menyusul langkahnya.

    "Kemana tujuan kita sekarang, Bang?" Aku menurunkan sedikit topi di kepalaku untuk membatasi teriknya sinar matahari yang menyambar wajahku.

    "Akh, tak tahukah kau Tom, cahaya matahari pagi ini, bagus buat kesehatan mata kau!" Bang Nanda mengangkat topi yang melekat di kepalaku dan mengabaikan pertanyaanku.

    "Hahh, panas bang! Nanti kulit muka Tomi memerah!" Ujarku berusaha merebut kembali topi tersebut. Namun Bang Nanda malah memukul kepalaku.

    "Cerewet! Udah, ga' usah manja! Topi ini biar aku yang pakai!"

    Aku hanya diam dan bersungut-sungut di belakangnya. Tanpa bicara lagi aku berjalan di sampingnya.

    Usia Bang Nanda dan Bang Nandi saat ini 20 tahun. Mereka itu kembar identik. Sangat mirip satu sama lain. Perangainya pun 11 12. Dan kalau sedang ada masalah yang dibuat oleh salah satu dari mereka, Papa dan Bunda akan kesulitan mengadili, karena mereka sering bertukar posisi dan saling menyalahkan. Ujung-ujungnyanya Bunda hanya bisa mengurut dada.

    "Tom, usia kau berapa sekarang?"

    "15 Bang, kenapa tu?" Tumben dia nanyain umur. Tapi sangat disayangkan, masa' umur adiknya sendiri dia tidak tahu.

    "Hmm, sudah besar kau rupanya! Mimpi basah sudah belum?"

    "Mimpi basah? Apa itu bang?" Aku hanya mengerinyitkan kening. Baru sekali ini aku dengar kata-kata mimpi basah.

    "Ya sudahlah, tak perlu dibahas!" Ku lihat wajah Bang Nanda memerah. Dia mempercepat langkahnya. Dari belakang aku lihat, tubuh abangku ini terpahat alami. Kulitnya kecoklatan dengan rambut sedikit gondrong di bagian belakang. Sebatang rokok terselip di telinganya. Bahunya bidang dan otot di lengannya itu terlihat sekal. Bang Nanda juga sering pamer dadanya yang bidang, perutnya yang kotak-kotak. Begitu juga dengan Bang Nandi, mereka saling unjuk gigi dan selalu bersaing menunjukkan siapa yang terbaik.

    Cuma ada satu hal tantangan mereka yang belum aku ketahui hasilnya. Burung siapa yang paling besar. Itu aku dengar secara sembunyi-sembunyi ketika mereka saling berisik tidak jelas di dalam kamar.

    Awalnya mereka saling mengejek masalah lengan, lalu dada, bokong, kaki dan entah bagaimana ceritanya tiba-tiba Bang Nandi membuka celananya.

    "Kau kalah, burungku lebih besar dari punya kau!"

    Ku lihat Bang Nanda terdiam. Dia menarik nafas dalam.

    "Kasih aku waktu seminggu, aku bisa buktikan kalau dalam jangka waktu tersebut, punyaku jauh lebih besar, lebih panjang dan lebih kuat dari punya kau!"

    "Deal!"

    Aku hanya bisa tertawa dalam hati melihat mereka yang ribut masalah burung. Sekedar informasi, kami memang sekamar bertiga. Sementara Kak Tania masih sekamar dengan adikku yang paling kecil.

    Sekamar dengan mereka ga' ada serunya. Berisik, dan kamar kadang begitu pengap dengan bau rokok. Belum lagi pakaian yang bertebaran dimana-mana. Entah mana yang bersih dan mana yang kotor. Bercampur aduk menjadi satu. Kadang kasihan Bunda. Mereka tidak pernah mau mencuci baju sendiri. Bahkan demi membantu Bunda, tidak sekali dua kali aku mencucikan baju kedua abangku tersebut.

    "Tom, bergegaslah! Jalan kok seperti perempuan sih, melenggag lenggok kaya' itik berjalan! Buruan, nanti rumputnya keburu disabit orang!"

    Aku tersentak dari lamunanku. Aku segera menyusul langkah Bang Nanda. Dia menatapku tajam. Kalau dia sudah marah, aku hanya bisa menundukkan kepala.

    Melihat jalan yang diambil oleh Bang Nanda, aku jadi tahu kemana tujuan kami mencari rumput untuk disabit. Kubang, begitu nama daerahnya. Sebuah persawahan si kaki bukit yang kita lewati melalui jalan-jalan yang dipenuhi batu cadas. Jalan ini cukup licin karena semalam hujan deras. Aku memegang tangan Bang Nanda supaya tidak terpeleset.

    "Hati-hati, Tom!" Ujarnya sambil menyentakkan genggaman tanganku. Aku menatapnya heran.

    "Jangan biasakan bergantung kepada orang lain. Berusahalah sendiri terlebih dahulu. Kau pasti bisa melewati turunan ini tanpa bantuanku!" Aku termangu mendengar kata-katanya. Sepertinya Bang Nanda tidak sayang kepadaku. Ada sekelumit rasa benci di hatiku menatapnya. Sombong! Apa dia tidak butuh bantuanku. Awas saja kalau dia memintai tolong, tidak bakalan aku bantu.

    Setelah berjalan dengan susah payah melewati terjalnya tebing, akhirnya kami sampai di tempat yang dituju.

    Sudah terlihat beberapa orang yang mencari rumput. Kalau punya sawah kita bisa klaim rumput yang tumbuh di pematangnya itu sebagai rumput kita dengan memberinya tanda. Tapi bagi yang tidak punya sawah harus berjuang untuk mendapatkan sekarung rumput walau harus dengan mencuri rumput orang lain.

    "Yah, mulailah Tom. Banyak tuh rumput yang bisa disabit!" Kata Bang Nanda.

    Dan setengah jam kemudian kami sibuk dengan pekerjaan masing-masing.

    "Tomiiiii!" Aku mendengar panggilan seseorang dari kejauhan. Aku lihat Bang Nanda sedang duduk disebuah pondok di dekat tepian sungai. "Minum dulu!" Teriaknya lagi. Aku menatap karung milikku. Sudah dipadati rumput. Sudah cukup untuk mengenyangkan perut seekor sapi. Lalu dengan sedikit berlari aku mendekati pondok dimana Bang Nanda berada.

    Sesampainya disana, aku lihat Bang Nanda membaringkan tubuhnya. Badannya dipenuhi keringat. Wajahnya memerah. Dia pejamkan matanya. Nafasnya terlihat naik turun. Sebuah botol minuman tersampir di sampingnya. Segera aku ambil dan mendekatkannya ke mulut. Namun ketika aku tuangkan ke mulutku, tidak ada setetes pun air masuk ke dalam kerongkonganku.

    "Hahahhaa!" Ku dengar tawanya yang menjijikkan. Duh, mau nangis rasanya. Ku lemparkan botol tersebut ke arah Bang Nanda, mengenai dadanya.

    "Ehh, setan! Berani kau sama aku?" Dia dengan cepat bangkit dan menarik kerah bajuku. Ku tatap matanya dengan penuh kebencian.

    "Salah sendiri tidak bawa air minum! Bukannya sudah aku bilang sama kau, jangan lupa bawa air minum! Sekarang kau marah sama aku? Dasar sampah!" Dia mendorong tubuhku membuatku terjatuh. Dia kembali membaringkan tubuhnya. Aku sangat kesal. Ingin sekali aku pecahkan kepalanya dengan batu sungai ini. Akhirnya aku perlahan-lahan meninggalkannya. Aku tidak akan menangis. Bukan hal seperti ini yang membuatku harus mengeluarkan air mata. Ku pergi ke tepi sungai. Badanku dipenuhi keringat dan aku memutuskan untuk mandi. Dalam hitungan menit, aku sudah berada dalam sungai yang airnya setinggi pinggang. Air melewati bebatuan yang terlihat berwarna kecoklatan. Ku tampung air dengan kedua tanganku. Lalu ku minum dengan perlahan. Terasa begitu nikmat dan segar. Namun, aku tidak mau minum banyak-banyak bisa sakit perut aku nanti.

    Aku merendam tubuhku. Merasakan setiap air mengaliri seluruh pori-pori di tubuhku. Akhhh, segarnya, rasanya pengen melebur aja jadi air. Air saja bisa memberikan ketenangan dan kesejukan kepadaku, sementara abang kandungku sendiri bisanya cuma bikin kesal saja.

    Selesai berendam, dengan hanya mengenakan sehelai celana pendek, aku berbaring di sebuah batu yang cukup landai. Ku pejamkan mata menikmati nyanyian alam. Di atasku, langit dipenuhi awan dan cahaya berwarna biru. Badanku terasa begitu hangat. Rasanya pengen menyatu saja dengan batu ini. Akh, hidupku hanya dipenuhi fantasi-fantasi aneh.

    Tiba-tiba aku dikagetkan ketika ada keciprat air membasahi perut dan dadaku. Ku buka mata, terlihat Bang Nanda sudah duduk di sampingku.

    "Enak hidup kau ya? Sudah seperti di pantai saja kau berjemur! Buruan bangun! Kau pijitkan badanku ini. Pegal-pegal semuanya!" Dia memukul pahaku. Matanya melotot memandangku. Dengan diam aku bangkit duduk. Aku mengeluhkan sikap abangku ini di dalam hati. Aku kan juga capek!

    Namun dari pada tangannya melayang lagi, biar aku mengalah. Bang Nanda menelungkupkan badannya.

    "Cepat kau pijit yang enak! Awas kalau setelah kau pijit masih sakit, aku benamkan kepala kau ke dalam air sungai ini! Buruan!"

    Cerewetnya minta ampun. Aku akui badan Bang Nanda ini bagus. Pantatnya pun padat dan sekal. Pinggangnya ramping. Dalam hati aku menjadikannya idola. Aku juga harus mempunyai fisik bagus seperti Bang Nanda.

    "Hmmm, enak... bagian pinggang itu kau lamakan sedikit, Tom!" Desisnya. Matanya terlihat berat. Angin sawah berhembus tidak menentu, membuatku juga ngantuk.

    "Bang, ke pondok itu aja gimana bang? Disini sebentar lagi akan sangat panas menyengat. Matahari semakin meninggi!" Usulku sambil terus memijit pinggangnya.

    "Jangan manja! Cepat kau pijit!" Bentaknya yang walhasil membungkam mulutku.

    Tiba-tiba perutku berbunyi!

    "Tomi lapar bang, pulang yuk bang! Lagian kan sudah selesai mencari rumputnya!" Aku menjauhkan tanganku dari tubuhnya. Dan hendak berdiri, namun Bang Nanda menarik tanganku kuat.

    "Siapa menyuruh kau berhenti?!" Teriaknya marah.

    "Tomi lapar bang! Tomi juga capek!" Sungutku kesal. Bang Tomi memukul kepalaku.

    "Lapar...lapar... lapar! Itu saja yang ada di otak kau! Pulanglah kau duluan!" Dia menendang tubuhku kuat. Aku menggerung kesakitan ketika aku terjatuh dari batu. Kepalaku terantuk dan sakitnya minta ampun! Bang Nanda tidak mempedulikan rasa sakit yang aku alami, dengan santainya dia membuka bajunya. Bertelanjang bulat dan kemudian meloncat ke dalam sungai. Dia menyiramku dengan air.

    "Ayo pulang sana! Mau aku tampar?!"

    "Bang Nanda jahat!" Teriakku sambil beranjak dari sana! Ya Tuhan, kenapa Bang Nanda sekejam itu sama hamba? Dalam hati aku merasa pilu. Dengan cepat aku melangkah meninggalkan tempat itu. Tapi langkahku terhenti, ketika tiba-tiba aku dengar teriakan.

    "Tomiiiiii!!!! Tommmm, tolonginnn donkkkk!" Bang Nanda terdengar teriak-teriak. Awalnya aku berusaha untuk cuek. Namun dia terus teriak-teriak. Akhirnya aku memutar tubuhku dan kembali ke tepian sungai. Ku lihat Bang Nanda duduk diantara dua batu. Wajahnya memerah dengan ekspresi ketakutan.

    "Abang... kenapa?" Tanyaku cemas, namun aku belum berani mendekatinya. Bang Nanda menatapku, lalu tersenyum tidak jelas.

    "Tolong cebokin donkkk! Hahaha!"

    Astaga! Aku tidak tahu mesti komentar apalagi. Wajahku sudah bisa dipastikan memerah seperti kepiting rebus. Bang Nanda memutar tubuhnya dan menunggingkan pantatnya. Aku serasa mau muntah dan dengan cepat berlari meninggalkan Bang Nanda yang leluconnya tidak lucu itu. Malah sangat menjijikkan. Umurnya berapa sih??? Ga' sadar apa kalau aku ini adiknya. Kandung! Bagaimana aku bisa hormat ke dia kalau kelakuannya bar-bar begitu.

    "Menjijikkan!" Teriakku kesal! Masih aku dengar tawanya yang tidak berkesudahan. Semoga dia kerasukan jin sungai, biar nyahok! Doaku dalam hati.

    "Kamu kenapa, Tom?"

    Ohh pleaseee, satu aja sudah bikin aku pusing, apalagi dua.

    "Ga' kenapa-napa! Tomi mau pulang!" Semprotku pada Bang Nandi yang sepertinya juga baru selesai menyabit rumput dan sedang istirahat di pondok! Bang Nandi menatapku tidak percaya.

    "Adik ganteng abang ini kenapa? Kok wajahnya sewot gitu?" Bang Nandi menarik tubuhku dan membawaku ke dalam pelukannya.

    "Jangan peluk-peluk! Abang bau!" Semprotku dan berusaha melepaskan diri dari rangkulannya yang semakin erat. Namun, bukannya dilepas, Bang Nandi melapkan keringat di lehernya dan dipeperin ke mukaku. Aku benar-benar seperti dibuli habis-habisan oleh kedua kakakku.

    "Nah sekarang pulanglah! Tomi sudah abang kasih perlindungan dengan keringat sakti! Hahaha!" Najisss! Bau keringatnya minta ampun! Aku segera menjauh darinya setelah mengenakan pakaianku. Lalu tanpa banyak omong lagi aku dengan cepat melangkah pulang.

    "Eh Tom, nanti bilang ke Bunda untuk masak yang enak! Jangan sambal dan lauknya itu ke itu saja! Kita kan juga pengen sehat!" Teriaknya setelah aku sedikit jauh.

    Aku hanya mengepalkan tinju dan ku arahkan kepadanya. Bang Nandi terlihat geram. Dia mengambil sebongkah batu dan melempariku. Aku lari pontang panting. Dasar kembar stress! Bunda ngidam apa sih kok sampai punya anak kembar jahat dan sadis.

    TBC...
  • Update><

    #bacabacabaca
  • Owww imajinasi menari liar membaca tentang duo abang kembar ini! Awww aww Tomi!! >//< :))
  • aku penasaran sama makhluk yang bernama @tsu_no_yanyan ini, boleh minta kontaknya ga? kenalan gitu! udah hampir 3 tahun ane wara wiri dimari. pengen kenal secara personal dengan reader2 setia ane. bolehkah??
  • Nitip mantion bang . Hehe
  • hmm, kyaknya si kembar mesum ye da? Xd

    ciye ciye tante @Tsu_no_YanYan ditanyain uda ni ye hahayy
  • heee kontak aku? O.O

    Boleh aja sih, tapi lewat pm ya uda, takut mendadak tenar klo bagi kontak di sini~ :))
  • Kenapa d_cetya? Pengen minta kontak aku juga? :)) :))
  • okay @tsu_no_yanyan, uda tunggu yeee pm nyaa...
    @d_cetya, kamu juga, masa' maunya baca cerita uda doank, ga' mau ya jadi sahabat2 baik uda??? ayooo donkkk be friend juga di dunia nyata. tapi syaratnya kudu bisa jaga privacy.
    @adiie, alright sir!!!
Sign In or Register to comment.