It looks like you're new here. If you want to get involved, click one of these buttons!
Copyright 2021 Queer Indonesia Archive. See our Privacy Policy. Contact us at [email protected]
Dengan menggunakan situs ini berarti Anda setuju dengan Aturan Pakai.
BoyzForum.com adalah situs anti pedofilia!
Comments
Mention ya kakak~
45 menit.
Untuk kesekian kalianya aku melirik jam tangan hitam di tangan. Sudah 45 menit aku berada di sini. Di ruang tunggu dekan, aku duduk di ujung bangku tunggu sambil membaca majalah otomotif yang kubeli kemarin. Aku membelinya agar seseorang tahu aku tahu tentang otomotif, padahal tidak sama sekali. Jujur saja, aku tidak memiliki ketertarikan pada hal-hal yang berbau otomotif. Aku bahkan tidak peduli jika motorku rusak. Bengkel dibangun untuk memperbaiki kendaraan, bukan?
Aku membuka selembar halaman. Padahal sebenarnya aku tidak fokus, tidak membaca ataupun memperhatikan kendaraan mewah apalagi yang ada di dalam halaman itu. Fokusku sejak tadi sudah berada di tempat lain. Aku melirik seseorang di sisi ujung lainnya dari bangku, kebetulan hanya kami berdua di dalam ruang tunggu ini. Seorang pria yang sedang menopang dagu dan menghentakkan ujung sepatunya berkali-kali.
Mengembalikan pandangan pada majalahku, aku tersenyum geli. Meski dari samping, aku tidak bisa menyangkal jika wajah pemuda itu terlihat lucu saat bosan. Aku berusaha untuk tidak tertawa, lalu kembali membalik halaman majalah. Dan ide jahil muncul begitu saja di kepalaku. Aku bergumam. Menggumamkan nada yang tidak jelas untuk menimpali hentakan sepatu pemuda itu.
Masih bersenandung, aku kembali meliriknya. Lalu segera mengalihkan pandanganku, kembali ke majalah, ketika pandangan kami bertemu. Aku mengangkat sedikit majalah di tanganku, berusaha menutupi wajahku. Akutersenyum geli dan masih bersenandung. Tapi tidak bisa menyembunyikan nada bahagia di setiap gumamanku.
Oke, tadi dia melihatku. Dan rasanya benar-benar luar biasa. Aku tidak berhenti bergumam, tidak lagi berani untuk meliriknya. Aku bahkan bisa merasakan jika dia sedang menatapku intens saat ini, menghentikan hentakan sepatunya. Nah, ini dia gunanya majalah. Aku bisa berpura-pura membaca, menutupi wajahku yang sudah kupastikan merona merah. Aduh…
Setengah menit kemudian aku mendengar suara pintu yang terbuka dan langkah kaki, lalu suara pintu kembali menutup. Kuyakin pemuda itu sudah tidak berada di ujung bangku. Aku menutup majalah dan menghembuskan napas kelegaan. Baru kusadari ternyata sejak tadi aku menahan napas. Wow, rekor baru untukku, menahan napas karena seorang pemuda tampan menatapku. Benar-benar deh.
Aku terkekeh pelan. Lalu berdiri dan beranjak pergi dengan majalah otomotif yang masih berada di tanganku. Kupastikan majalah ini tidak akan pernah kubuang kapanpun. 45 menit yang menggelikan, sungguh.
Pemuda itu, namanya Raka. Dia pemuda berkulit sawo matang nyaris putih, yang kutahu dia keturunan pribumi. Wajahnya bersih dengan janggut dan kumis yang selalu terpotong rapi. Rambutnya yang hitam dipotong pendek dan acak-acakan, namun selalu terlihat menawan di mataku. Kedua iris cokelatnya selalu memandang tegas. Selalu membuatku nyaris jantungan saat dia melihatku.
Sama denganku, Raka adalah mahasiswa tingkat dua. Kami berada di jurusan dan kelas yang sama. Kami hanya berbincang hanya beberapa kali—bisa dihitung jari, bahkankurasa tidak pernah lebih dari semenit. Aku ragu, kurasa dia tidak tahu namaku atau ingat wajahku, atau bahkan dia tidak ingat jika kami sekelas.
Menurutku, dari tampilannya, Raka adalah pemuda yang tampan. Kurasa dengan kedua manik caramel itu dia bisa memikat banyak gadis. Aku yang notabene seorang pria, terpikat pada ketampanannya. Ya, pria. Aku seorang pria, dan aku terpesona padanya, Raka yang juga seorang pria. Jadi, kalian tahu aku ini apa, bukan?
Jangan katakan dengan suara yang keras. Jangan sampai orang lain mendengarmu. Ucapkan saja dengan berbisik. Atau setidaknya pastikan tidak ada siapapun di sekitarmu dalam radius satu kilometer.
Ya, Aku seorang Gay.
Tidak ada yang mau terlihat jelek di depan gebetan, bukan? Tidak ada yang mau menjadi bahan tertawaan di depan gebetan, bukan? Itulah yang terjadi padaku. Aku terlambat tiga puluh menit di kelas dosen yang sangat ramah. Saking ramahnya, sang dosen tidak segan-segan menyindirku.
“Nah, salah satu contoh dari tipe mahasiswa kebo. Jangan bilang kau tidak mandi?”
Jangan pernah melakukan tiga hal berikut saat seorang dosen menyindirmu dengan pertanyaan di atas: nyengir, menggaruk kepala, dan tertawa “he he”. Dipastikan kau akan menjadi bahan tertawaan sekaligus menjadikanmu sebagai mahasiswa-yang-tidak-pernah-mandi-pagi. Kuakui aku tampak sangat bodoh waktu itu.
Tapi bukan berarti aku tidak mandi loh. Serius, aku mandi meski cuma beberapa menit doang. Mandi kilat gitu. Tapi tetap saja mandi. Okelah, kemeja dan rambutku acak-acakan. Tapi aku juga sempat sikat gigi kok meski cuma gak sampai semenit. Tapi sayangnya, aku tidak bisa memberikan pembelaan apapun saat semua sedang menertawai tingkah bodohku. Apalagi sewaktu si Raka juga ikut tertawa, menertawaiku maksudku. Dan bodohnya lagi, aku ikut menertawai diriku sendiri. Agh, aku benar-benar malu.
Kuputuskan untuk duduk di belakang, meringkuk di sudut. Tidak mengeluarkan suara apapun. Sudah cukup dengan sindiran tadi. Jangan sampai ada sindiran lain yang meluncur ke arahku. Lagipula dari posisi ini aku bisa melihat Raka di depan. Dia duduk tepat di depanku. Aku bisa puas melihat rambutnya dan gerakan tubuhnya. Sedikit-sedikit mengecap aroma parfumnya yang kuat. Sial, aku benar-benar terpesona padanya. Hanya karena aroma parfumnya, aku malah jadi klepek-klepek.
“Hei, kau tidak mau ikut?” seseorang menepuk bahuku.
“Hah?” Aku mengedarkan pandangan. Beberapa orang sudah berjalan keluar ruangan, beberapa lainnya masih duduk di tempat membereskan barang. Heh? Sejak kapan kelas selesai? Tuh kan, cuma karena duduk di belakangnya aku jadi lupa yang lain. Serasa dunia milik sendiri.
Aku menoleh ke samping, pada teman yang tadi menepuk bahuku. “Apa katamu tadi?”
“Tuh kan, kebiasaan. Kau melamun mulu kerjanya. Kalau lagi diajak bicara ya perhatiin.”
Aku meringis lalu melirik pada Raka yang sudah beranjak dari kursi. Bagaimana mau merhatiin kalau si tampan ada di depan hidung? Ini kesempatan emas, ya dimanfaatin. Yak an? “Sori deh. Tadi kamu ngomong apa?”
“Mau ikut makan di fakultas sebelah gak? Teman-teman mau lihat cewek sebelah. Katanya cantik-cantik loh.”
Aku mengangkat dua alis, berpura-pura telihat tertarik. Padahal sebenarnya sih enggak. Lagi-lagi mataku tertuju pada Raka yang kini sedang berbicara dengan seorang wanita. “err, boleh deh.”
Aku beranjak dan mengekori temanku. Semakin dekat dengan Raka, aku semakin was was. Aku mengeluarkan ponsel lalu berpura-pura mengecek pesan masuk. Dan dengan sengaja aku menyenggol bahunya. Aku berpura-pura meringis sakit lalu berbalik. Aku melemparkan pandangan rasa bersalah padanya dan bergumam “Maaf.” Sementara pemuda itu menatapku dengan heran. Lalu aku berbalik dengan hati penuh sorak. Maksudku, rasa senang. Yes, hari ini aku berhasil menyentuhnya meski dengan sengaja. Setidaknya dia melihatku.
Tapi kemudian langkahku terhenti. Seseorang menahan bahuku. Aku berbalik dan mendapati kedua pasang manic coklat milik Raka sedang menatapku, membuat jantungku melompat ke kiri dan kanan. “Tunggu” Katanya.
Dengan satu tangannya, dia menarik bahuku, membalikku menghadapnya. Dan saat itu juga aku menyadari satu hal. Raka menyentuhku! Dia menyentuhku! Serius nih? Gampar aku! Kalau saja aku seorang wanita, aku pasti sudah berteriak euphoria lalu pingsan di pelukan si tampan ini. Sayangnya, aku seorang pria. Dan bodohnya, yang kulakukan adalah mengedipkan mataku beberapa kali.
Eh, tunggu! Bukan itu permasalahannya. Jangan-jangan dia marah karena disenggol?
“He-hei. Aku tidak sengaja, sungguh.” Bohongku. Jangan sampai dia menghajarku di depan umum.
“Tidak, tenang saja. AKu tidak marah.” Omigad! Suaranya itu loh, mengalun lembut di telingaku.
“Err—Anu, jadi?”
“Malam ini jam 8 ke rumahku, oke?”
Satu kalimat itu sukses membuat otakku seperti dihantam palu. Aku tidak salah dengar kan? Telingaku masih berfungsi dengan baik, kan? Seingatku masih deh. Raka mengajakku ke rumahnya malam ini, kan? Ke rumahnya.Malam.Ini.Dia.Mengajakku.Serius.Nih? Aku membeku, mata membelalak, dan mulut terbuka lebar. Tampang terpaling bodoh yang kubuat hari ini.
Aku menelan ludah. “Ke-ke-keruma-rumahmu? Ma-malam ini?” Sejak kapan aku tertular penyakit gagap?
“Hei, kau tidak apa-apa?”
“Hah?”
“Kau baik-baik saja?”
“Ah? Ya. Kau mengajakku ke rumahmu? Tunggu. Tapi kenapa? Maksudku, ini mendadak. Aku tidak—“ AKu mulai meracau dan gelagapan, kehilangan kata untuk berbicara.
Dan saat itu kakiku rasanya seperti mau patah. Bukan mau patah lagi. Seolah tiba-tiba tulangku menjadi debu begitu saja saat pemuda bermata coklat ini tertawa pelan. Jika bukan karena aku sadar sedang berada di depan umum, aku pasti sudah jatuh berlutut . Sial, kenapa saat tertawa suaranya kedengaran indah banget? Kembali aku terpesona, memasang tampang bodoh dengan mulut nganga dan mata membelalak.
Perlahan tawanya mereda. “Tidak usah panik gitu, dong.”
“Tapi kau bilang, kau mengajakku ke rumahmu. Malam ini.”
“Ya, tapi tidak untuk macam-macam. Kita akan mengerjakan tugas kelompok. “
“Tugas kelompok?”
“Ya. Kau tidak ingat ya? Tadi dosen memberi tugas kelompok. Dan kita sekelompok.”
Aku menyayangimu pak dosen. Terima kasih banyak. Kalau ketemu lagi aku akan memberikanmu cipika cipiki.
“O-oke.”
“Ingat, jam 8 malam. Tenang saja, aku tidak akan berbuat yang aneh-aneh.”
Siaaaal! Piso mana piso! Ini malu sampe mati namanya.
Raka melemparkan satu kedipan nakal padaku sebelum berbalik pergi. Ya Tuhaaaaaan, cobaanmu begitu berat, tapi amat sangat terima kasih. Tapi bisa kabulkan satu permintaanku? Sediakan tandu secepatnya! Aku mau pingsan! Kedipannya membuatnya terlihat nakal sekaligus manis. Aku tidak akan heran lagi jika suatu saat terkena diabetes.
Seseorang menepuk bahuku dari belakang-lagi. “Aku menunggumu dari tadi, ternyata kau masih di sini.”
“Hah?” Aku berbalik menatap temanku.
“Lagi-lagi kau melamun. Di tengah koridor lagi. Gila. Ayo!”
Rese. Dia gak pernah dikedipin cowok tampan (kalau dia sih cewek cantik) sih, jadi gak tau rasanya.
saya bingung cara ngepost di sini. haha
---------
Bagai melempar dua burung dengan satu batu, sudah dapat nomor ponselnya, dapat pula alamat rumahnya. Betapa beruntungnya aku. Sepertinya aku benar-benar berterima kasih pada dosen yang memberi tugas. Sungguh perkembangan yang lebih dari yang kuharapkan selama ini.
Malam itu aku bergegas ke rumahnya, bermodal pakaian terbaik yang kumiliki, dan parfum mahal dan maskulin yang baru saja kubeli sore tadi. Bayangin, aku bahkan memakai parfum, hal yang tidak pernah kulakukan sebelumnya. Merelakan ratusan ribu, jajanku sebulan, demi sebuah parfum mahal yang kuharap akan berefek pada hidung dan matanya agar ia tidak melepaskan sedikit pandangan padaku. Paling tidak, yang kuharapkan, ia menyadari aku memakai parfum.
Aku harus berkata apa? Dari penampilannya selama ini, rapi, maskulin, dan bermobil, jelas terlihat bahwa dari kalangan atas. Tapi aku bahkan tidak sanggup berkedip ketika aku melihat rumah mewah dengan sentuhan eropa. Ini sih tiga kali lipat dari rumahku. Dan dia mengaku bahwa ia tinggal sendiri di sini. Betapa kayanya pujaan hatiku ini.
Dengan gugup, aku duduk di ruang kedua, hidungku mencium aroma pengharum ruangan yang menenangkan. Bisa ditebak, lavender. Ia datang tak lama kemudian dengan dua gelas minuman. Di meja sudah terhampar beberapa buku referensi yang dibutuhkan dan sebuah laptop yang menyala, menampilkan logo klub bola favoritnya.
"Nah, kita mulai dari mana?" tanyanya
Aku diam menggigit bibir bawah, mengeluarkan catatan dari dalam tas. Masih terbayang ketika aku datang dengan rapih, berpenampilan yang menarik, dan dia menyambutku di pintu rumahnya dengan pakaian rumah. Kaos oblong putih dan celana selutut. Betapa panasnya wajahku terbakar oleh malu. Tapi tidak bisa kusangkal jika tubuhnya terbentuk dengan pas.
"Kurasa--" aku menelan ludah gugup, dia masih menatapku dari duduknya di seberang. "--langsung ke topik utama. Dengan begitu, kita bisa menarik garis lain ke pertanyaan berikutnya."
Ia menghentakkan ujung pena ke meja, menggumam dan berpikir, lalu mengangguk pelan. "Ide bagus. Nah, kita bisa merangkumnya. Aku cari di buku, kau cari di jurnal."
Aku mengangguk pelan, dan pandanganku beralih pada laptop miliknya. Membuka browser dan mulai mengetikkan kata kunci yang kuinginkan. Meski beberapa menit terlewati, aku masih tidak bisa fokus. Dia tepat di depanku, begitu dekat dan aku selalu tergoda untuk meliriknya. Sial, betapa kerennya ia dengan tampang yang begitu serius.
"Kau sudah menemukannya?" aku tertangkap basah ketika matanya menangkap mataku. Dengan panik aku segera beralih ke laptop. "Ya, beberapa." Dan aku melihatnya berdiri dan menghampiriku. Duduk di sebelahku dengan pandangan tertuju pada layar laptopnya.
"Oh, itu bisa digunakan." katanya. Ia semakin bergeser mendekat, merasakan bahunya bersentuhan dengan bahuku. Bahkan hidungku bisa mencium aroma parfum yang sama yang selalu ia gunakan. Jantungku nyaris melompat keluar. Betapa menggodanya situasi seperti ini. Aku bisa saja-- Tapi tidak! Ingat, jangan sampai aku membuat diriku menjadi lebih memalukan.
Aku baru bisa bernapas lega, menstabilkan degup jantungku ketika ia telah kembali ke tempatnya, menekuni kembali buku-buku miliknya.
Jam 10.00 ketika aku melirik jam tanganku. Sudah dua jam berlalu, dan kami hampir menyelesaikan tugas kami. Dan sudah dua jam aku berjuang melawan segala godaan dan juga jantungku yang terus berdetak cepat. Sial!
"Ugh!" ia di seberang mengerang, merilekskan otot-ototnya yang terbentuk hingga membuatku menatapnya hingga tidak berkedip.
"Ada apa?"
"O-Oh, tidak! Aku hanya menemukan jurnal baru yang--yang mungkin, bisa mendukung." aku menemukan jurnal memang, untunglah bisa dijadikan alasan.
Ia kembali bergerak ke sampingku. Melakukan seperti yang ia lakukan dua jam yang lalu. Bahu kami beradu, aroma parfum kami menguar dan menyatu di udara, menimbulkan sensasi aneh di hidung, jantung dan pembuluh darahku. Aku bahkan bisa merasakan bahwa wajahku merona hebat hingga ketelinga.
"Jurnal yang mana?"
"Em, yang ini?"
"Hei.." Ketika ia berbisik di telingaku, merasakan napasnya yang hangat menggelitik telinga, aku tidak bisa menetralisir degupan jantungku yang sudah diambang batas. Napasku bahkan tercekat di tenggorokan. Suaranya yang dalam dan menggoda kembali berbisik ditelinga, mengirimkan sensasi menggelitik di garis punggungku.
"hei..." kesekian kalinya, ia meraih wajahku. Sulit untuk menolak ketika bahuku menyentuh bahunya. Bergerak ke belakang pun satu tangannya yang bebas sudah berada di belakang hingga punggungku beradu dengan tangannya. Aku terperangkap!
"Y-ya?" aku mencoba bersikap tenang meski rasanya nyawaku nyaris melayang pergi. Menelan ludah gugup, aku bisa melihat seringai di sudut bibirnya. Ia mendekatkan wajah hingga napasnya yang hangat menggelitik cuping hidungku, beradu dengan hembusan napasku yang berhembus lebih cepat.
"Aku tahu..." katanya, sebelum ia menunduk, meraup bibirku dalam ciuman yang singkat. "... aku tahu kau sejak tadi memperhatikanku. Kau menyukaiku?" Binggo! Tebakan yang tepat dan sekaligus membunuh jantungku. Aku bahkan kesulitan bernapas dan berbicara sekaligus. Ketahuan melirik oleh orang yang kamu lirik sensasinya serasa terjung ke jurang penuh duri.
Mulutku megap-megap, tidak tau mau berkata apa. Tapi yang terjadi selanjutnya malah membuat otakku blank, berhenti bepikir, jantung dan paru-paruku berhenti bekerja dalam hitungan detik. Raka kembali meraup bibirku, kini dalam ciuman yang lebih panas dan lumatan menggoda. Membawaku dalam arus kenikmatan yang nyaris tidak berhenti.
Ia berdiri, menarikku berdiri bersamanya, tanpa melepas ciuman. Mendorongku dengan pelan ke sofa. Aku tidak tahu apa yang terjadi selanjutnya karena pikiranku kosong, dan aku membiarkan semuanya terjadi. Yang teringat di kepalaku hanyalah rasa sakit yang serasa membelah tubuhku namun ada rasa nikmat yang menggelitik di seluruh kulit. Dalam sayup aku melihat wajahnya di atasku, yang tenggelam dalam desahan kenikmatan yang sama yang kurasakan. Aku sendiri tidak tahu apa aku melakukannya dalam sadar atau tidak, aku mengangkat kedua tangan, meraih lehernya, dan menariknya dalam ciuman. Hingga akhirnya aku tidak lagi melihat apapun.
Aku tidak tahu sudah berapa lama waktu berlalu, sudah berapa lama aku tertidur. Aku terbangun dan menyadari bahwa aku tidak mengenakan apapun selain selimut yang menutupi tubuh. Melirik ke samping, menyadari aku masih berada di ruang kedua di rumah Raka, tertidur di sofa. Aku bergerak bangkit, namun rasa sakit di bagian bawah tubuh mengalahkanku hingga kembali jatuh terbaring. Aku meringis, nyaris berteriak.
Dan gambaran-gambaran yang terjadi semalam melintas di kepalaku, membuat darahku berdesir hebat, mengalirkan panas di seluruh tubuh. Membuat wajahku jauh lebih merah. Kami melakukannya. Aku dan Raka. Kami melakukannya. Melakukan itu. Tidak perlu disebutkan karena aku sungguh malu. Aku benar-benar malu dan tetap merasa sakit. Aku bertanya-tanya di mana pemuda itu, tak nampak sedikit pun. Aku hendak bangkit lagi, dan sekali lagi rasa sakit mengalahkanku.
"Saranku jangan banyak bergerak karena rasanya akan lebih sakit."
Aku memekik ketika mendengar suaranya, mengirimkan rasa sakit yang lebih pada tubuhku. Damn! Ia menghampiri, meletakkan mug di atas meja di hadapanku, satu gelas lain di tangannya. Aku bisa mencium aroma coklat dari tempatku. Aku mengangkat tangan menutupi wajahku yang malu. Mengintip dari sela jemariku, melihat penampilannya dalam pakaian rumah namun dengan pakaian yang berbeda. Rambutnya yang lembab membuatnya terlihat seksi. Shit!
Dan saat itu juga aku menyadari satu hal. Aku telanjang! Aku buru-buru bangkit dan duduk, sedikit meringis. Aku seegera meraih seluruh pakaianku di bawah dan memakainya buru-buru. Raka duduk di sebelahku, meletakkan mugnya di meja. Aku meliriknya, pandangannya mengarah ke depan, jemarinya bertaut dalam gelisah. Aku menebak ada sesuatu yang sedang ia pikirkan.
"Yang semalam..."
Aku menelan ludah gugup.
Pandangannya beralih, menyapu wajahku. Ketika sepasang iris karamel itu menatapku dalam emosi dan rasa bersalah, aku merasakah hatiku digenggam dengan kasar. "Bisakah... bisakah kita menganggap bahwa itu tidak pernah terjadi?"
Dan dalam sekejap hatiku telah dirobek dengan tidak manusiawi.
Dari gelagatnya, ketika ia mengusap wajahnya dari lingkupan frustasi dengan kedua tangannya, aku menyadari bahwa ia sama sekali tidak berbohong. Secuil pun.
“Yang kita lakukan semalam…” ia bahkan menelan ludah, aku tahu ia mengingatnya dengan jelas namun seolah menolak kejadian semalam untuk bersarang di satupun sel sarafnya. “…adalah kesalahan.” Dan aku bisa merasakan wajahku seperti ditampar dengan keras. Kesalahan katanya? Lalu siapa yang memulai semua itu? Dia, Raka yang menciumku lebih dulu dan tidak kusangkal ciuman itu begitu menghanyutkan, menggairahkan.
“Kesalahan katamu? Jadi maksudmu aku adalah kesalahan?”
Dengan cepat ia menatapku frustasi. “Bukan begitu, aku tidak menganggapmu salah.” Kembali ia melempar pandang. “Hanya saja…”
“Aku tahu, tidak perlu kau katakan lagi.”
Aku melempar pandang ke depan, dengan rasa panas di pelupuk mata, aku yakin akan menangis. Tapi nyatanya tidak. Aku sama sekali tidak menangis, tidak ada satupun tetes yang terjatuh. Aku menahannya sekuat tenaga. Air mata hanya akan membuatku terlihat lemah. Dengan kalimat penolakan secara tidak langsung setelah kejadian semalam yang entah ia inginkan terjadi atau tidak, aku tidak akan terlihat lemah di hadapannya. Meski rasanya tubuhku serasa dikoyak dengan kasar.
“Aku..” menyadari nada suaraku bergetar, aku berdeham, menarik napas ketenangan. “…aku pulang.”
Aku berdiri. Raka melihatku. Ketika aku hendak melangkah, ia menahan pergelangan tanganku. Aku menoleh, menatap tangannya yang mencengkeram erat pergelangan tanganku. “Aku antar.” Lirihnya.
Dan mendapatkan rasa sakit yang lebih? Tidak, terima kasih.
Jika kemarin pandangan cemas yang dia tujukan padaku itu akan meluluhkan hatiku dan melelehkannya bagai logam di suhu seribu derajat, nyatanya saat ini tidak sama sekali. Rasanya seperti di sayat dengan pelan dan disiram air garam. Untuk apa peduli padaku? Tidak ada gunanya sama sekali. Jadi aku melepas cengkeramannya dari pergelangan tanganku yang kini meninggalkan bekas merah, dan menggeleng dengan pandangan ke ruang tamu. Aku bahkan tidak ingin melihat wajahnya saat ini.
“Terima kasih, tapi aku bawa motor.” Aku bergegas keluar, beruntung pagar rumah itu tidak terkunci, jadi aku tidak perlu berbalik padanya. Aku setengah berlari, menghampiri motorku dan melaju pergi.
Aku bahkan belum membersihkan diri.
Di rumah aku segera ke kamar, menghiraukan rasa sakit di bawah dan lemparan pertanyaan dari ibu dan ayah. Bergegas ke kamar mandi, kunyalakan shower dan membasuh diri. Aku bergeming di bawah guyuran air dengan seluruh pakaian di tubuh. Aku tidak mengingat apapun yang kulakukan, serasa memandang kosong ke depan. Aku hanya merasakan ada air yang hangat mengalir di pipiku, yang perlahan menyatu dengan air dingin yang mengalir di seluruh tubuh.
Harusnya aku tahu bunga mawar yang terlihat indah, menawan dan menggoda pun memiliki duri yang tajam. Dan aku telah tertusuk cukup dalam.
Bagaimana gak sakit, aku ditolak secara tidak langsung setelah semalam diperkosa –oke, aku juga menikmatinya sih. Bahkan aku belum mengatakan bahwa aku menyukainya atau mencintainya.
Aku, terbaring tidak berdaya di tempat tidur, menatap langit-langit. Memutar masa lalu dimana aku begitu memujanya, membayangkan bahwa kami bisa bersama, berbagi kasih dan cinta. Mengingatnya aku tertawa. Aku mengangkat satu tangan, menutupi mata dengan telapak tangan. Aku bisa merasakan rasa hangat yang mengalir di pelipis. Anehnya, aku menangis dan tertawa bersamaan.
Tiga hari kemudian aku sudah berada di kelas setengah jam lebih awal. Tidak ada siapapun, tentu saja. Aku segera mengambil tempat duduk di belakang sudut yang menjadi favoritku, karena bisa bersandar dengan nyamana ke dinding samping sewaktu lelah mendengar penjelasan dosen. Setengah jam aku habiskan waktu mendengarkan dentingan piano yang lembut dari headset yang menempel di telinga. Melempar pandangan kosong, pikiranku melayang entah kemana.
Selama tiga hari aku mencoba memantapkan hati, melupakan semua kejadian malam itu seperti apa yang Raka inginkan. Aku akan bersikap biasa padanya, seolah tidak terjadi apa-apa. Yang artinya tidak akan ada interaksi lagi dengannya, seperti yang selama ini terjadi di antara kami. Kecuali mengenai tugas kelompok dari dosen, yang mesti kami kumpulkan di akhir semester. Oh dosen, aku tidak tau lagi apa aku harus berterima kasih padamu atau menggamparmu saat bertemu nanti.
“Hei, udah sehat kamu?” aku terlonjak ketika seseorang menepuk bahuku, menyadarkanku dari lamunan. Kulihat ke samping, Derri sedang mengernyitkan alis menatapku.
“O-oh, ya. Sudah baikan.”
“Kebiasaan kamu, ngelamun. Entar kesambet, tahu rasa kamu.”
Aku hanya membalasnya dengan cengiran. Ketika kembali memandang ke depan, saat itu pula sosok itu memasuki kelas. Masih dalam pesonanya yang mampu mengobrak-abrik perasaan. Dengan cepat aku melempar pandangan ke samping, ke tembok, langit-langit atau pada Derri yang kini sibuk menulis entah apa.
“Der, apa yang kamu kerjain?” tanyaku basa-basi ketika kulihat Raka berjalan ke arah kami.
“Cuma lagi ngegambar aja.” Jawabnya tanpa menoleh, ia kembali fokus pada pekerjaannya, dan aku kembali diam.
Raka berhenti di kursi di barisan depanku dan duduk tepat di depanku. Aku menahan napas sesaat. Dan ketika oksigen kembali kuhirup, ada aroma parfum yang sangat kukenal tercium oleh penciumanku. Parfum Raka, wangi yang sama yang kucium pada malam itu. Aku memijat pelipisku akibat rasa pusing yang menyeruak. Kenapa di saat seperti ini kejadian malam itu terulang lagi? Kenapa pula ia duduk di depanku ketika kursi di barisan lain atau di depannya masih kosong?
“Kamu baik-baik saja? Sakit lagi?” Aku menoleh mendapati Derri menatapku khawatir.
“Eh? Oh, gak. Cuma sedikit pusing.” Jawabku.
“Hm… Kalau masih sakit izin saja, entar aku izinin ke dosen.”
“Gak perlu, aku baik-baik saja kok.” Aku melempar senyum, menunjukkan bahwa aku baik-baik saja.
“Ok, bilang ya, kalau sakit lagi.” Ujarnya sebelum ia kembali menekuni dirinya pada dunianya, menggambar sketsa di buku catatan. Aku beruntung berteman dengan Derri. Derri teman yang loyal dan pengertian. Aku menyukainya bukan seperti memujanya dan mencintainya. Hanya sebatas suka pada teman.
Aku mengangguk singkat dan berbalik ke depan. Terkejut mendapati Raka menatapku. Hanya sesaat sebelum ia kembali berbalik. Dan aku sendiri terpana, kembali terjebak dalam pesonanya yang menawan. Aku kembali meragukan diriku sendiri, entah aku bisa bersikap biasa padanya atau tidak. Aku tidak tahu. Aku sudah terlalu lama memujanya penuh cinta, tidak mudah menghilangkannya begitu saja hanya dalam tiga hari. Masih ada rasa itu ketika menatap wajahnya yang menawan, menatap ke manik cokelatnya yang menatapku cemas yang membuat perasaanku masih nyaris seperti dulu, memujanya dengan menggebu-gebu.
Eh, tunggu dulu! Apa aku tadi melihat ada kilat khawatir dari dua manik cokelatnya yang menawan itu?
Aku pasti hanya berhalusinasi. Betapa bodohnya aku.
Dan aku merasa frustasi pada rasa kesalku sendiri. Kenapa pula aku merasa kesal jika ingin kembali bersikap biasa padanya? Sialan si tampan itu.
Ketika Derri menepuk bahuku, barulah aku tersadar dari lamunan panjangku. Kembali mengajakku untuk ke kantin fakultas sebelah. Ketika aku bangkit, kulihat Raka juga berdiri dari kursi dan beranjak pergi. "Kita ke kantin mana?" tanyaku.
Derri memasang cengiran khas di wajahnya. "Biasa, kantin fakultas sebelah, ngecengin cewek-cewek cantik di sana."
Aku, dalam kepura-puraan menjawab dengan antusias. "Wah, ayuk."
Tidak sengaja pandanganku kembali bertemu dengan Raka ketika aku melangkah ke pintu keluar. Ia sudah berbalik menghadapku sepenuhnya. Alisnya mengernyit, nyaris menyatu, menatapku dengan pandangan yang seolah berkata 'Are you f*cking kidding me?' Dan saat itu pula ketika kedua manik cokelatnya menatap tepat ke mataku, aku segera melempar pandang ke Derri yang sudah berjalan di hadapanku, menatap tas Eigernya yang seolah lebih menarik.
Faktanya saat itu aku gugup. Sangat gugup. Pandangan tajam Raka seolah menelanjangiku, membuat tenggorokanku tercekat oleh ludahku sendiri. Aku melirik sejenak, dan kedua maniknya masih menatapku dengan pandangan yang sama. Aku tahu dia tidak percaya dengan apa yang dia dengar. Maksudku, setelah apa yang telah kami berdua lalui di rumahnya malam itu, dia pasti menganggap otakku sedang korslet saat ini, mengingat dia tahu aku ‘belok’. Aku bahkan menerka-nerka yang ia pikirkan: Tertarik ngecengin cewek? What a Bullshit!.
Entah kenapa aku merasa malu karena ia mendengarnya.
Aku baru bisa bernapas lega ketika melewatinya. Hingga satu sentuhan di bahu, menahanku untuk melewati pintu. Aku berbalik dan dia menatapku penuh keseriusan. "Raka?" Aku berpura-pura terkejut, dan shit! kenapa suaraku bergetar? "Ada apa?"
Tidak ada jawaban darinya selama beberapa detik, hingga akhirnya ia menggelengkan kepala, melepaskan tangannya yang hangat dari bahuku dan beranjak pergi.
Ada apa sih dengannya?
"Kamu kok lagi-lagi bengong? Entar gak kebagian tempat duduk kita. Gimana sih?" Aku terhenyak, mendapati Derri sudah berdiri di hadapanku dengan gaya bertolak pinggang, ekspresi wajahnya menampakkan kekesalan.
"Ah, maaf. Ayo."
------------
Saat itu aku menunggu Derri memesan makanan, ketika seseorang menepuk bahuku.
“Hai!”
Aku menoleh, mendapati seorang pemuda yang tersenyum lebar padaku, menampakkan deretan giginya yang rapi seperti telah dikikir. Dua lesung pipi nya membuatnya nampak manis. “Erga?” Aku terkejut tidak kusangka ia berada di sini, di kampusku.
“Sudah kubilang kan, kita akan bertemu lagi.” Ia tertawa geli, sebelum duduk di bangku kosong di sebelahku.
Namanya adalah Erga. Pertemuan pertama kami memalukan, meski sebenarnya cuma aku yang amat malu. Kami bertemu kemarin di sebuah cafe ketika akhirnya aku memutuskan untuk berjalan-jalan, meski bagian bawah tubuhku masih agak ngilu. Aku mampir di sebuah cafe. Kebetulan waktu itu ia sedang berada di panggung memainkan piano di atas sana. Aku duduk tidak jauh dari panggung. Kulihat jemarinya bergerak dengan lincah, memainkan nada-nada yang mengalun lembut dan sendu, menarik emosiku yang kala itu masih diambang stabil menjadi goyah. Lalu nada itu beralih menjadi cepat, penuh semangat bagai amarah, dan diakhiri dengan nada yang lembut. Semua nada itu begitu pas, seolah Erga sedang mewakiliku untuk menunjukkan perasaanku saat itu kepada dunia luar.
Di akhir pertunjukannya, aku langsung berdiri, memberinya tepuk tanganku padanya hampir semenit. Aku bahkan tidak menyadari bahwa semua pengunjung lain telah berhenti bertepuk tangan, dan semuanya menatapku. Erga terkejut menatapku yang semangat bertepuk tangan atas pertunjukkanya, sebelum akhirnya ia tersenyum. Senyumnya menyadarkanku. Aku berhenti tepuk tangan, melemar pandang pada semua mata yang mengarah tepat padaku, hingga aku duduk dan tertunduk malu.
Erga turun dari panggung, menghampiri mejaku dan akhirnya kami berkenalan. Erga tidak banyak bercerita mengenai dirinya, yang aku tahu hanya namanya. Aku terlalu antusias pada keahliannya bermain piano, bagaimana nada-nada itu berhasil menggoda emosiku dengan hebatnya. Ketika aku bertanya apa ia bekerja di cafe, entah kenapa aku sedikit kecewa saat ia menjawab ‘tidak’. Katanya, ia hanya menyumbangkan pertunjukkannya pada cafe kenalannya. Dan secara misterius di akhir pertemuan dia bilang ‘kita akan bertemu lagi’.
Dan benar saja, dia sudah di sini, duduk di sampingku di kantin fakultas hukum. Aku memandanginya tidak percaya. “Kau kuliah di sini?”
Dia hanya mengangguk, menampilkan cengirannya.
“Kenapa kau tidak bilang kemarin? Kau membuatku penasaran!” jeritku, memukul bahunya. Dan pemuda bergigi rapi itu hanya tetawa pelan. Teganya dia. Aku membuang muka, berpura-pura nampak kecewa. Pemuda itu hanya kembali tertawa, dan aku tersenyum geli mendengar tawanya. Aku kembali menoleh padanya, dengan kilat penasaran di kedua mataku. “Bagaimana kau tahu aku kuliah di sini?” Nah, itu misteri.
“Aku melihatmu beberapa hari yang lalu di sini.” Jawabnya menatapku. Dan baru kusadari bahwa kedua warna matanya memiliki warna yang sama dengan Raka. Cokelat.
“Oh, pantas saja. Tapi bagaimana kau tahu itu aku?”
Ia mengangkat bahu. “Hanya tebakan.”
Saat itu pula Derri kembali, meletakkan sebuah baki di atas meja. Meletakkan dua piring nasi goreng yang kami pesan. “Loh? Temanmu?” tanyanya saat duduk di hadapanku, menyadari kehadiran orang asing di sebelahku.
“Ah, iya. Ini Erga.” Aku mengenalkan Erga pada Derri, dan sebaliknya. “Erga, ini Derri.” Keduanya berjabat tangan dan memperkenalkan diri.
“Kok aku gak tahu?” tanyanya sambil melahap nasi gorengnya.
“Iyalah, kami kan baru bertemu kemarin.” Dan Derri hanya mengangkat bahu, melanjutkan menikmati nasi gorengnya dengan lahap.
Aku menoleh pada Erga. “Makan, Ga?”
“Kau menawariku makan? Mau menyuapiku maksudmu?”
Aku melotot padanya. “Jangan bercanda, deh. Aku serius.”
Ia hanya tertawa pelan. “Iya, sorry, aku sudah makan tadi bareng teman. Waktu balik tadi kebetulan lihat kamu, jadi singgah.”
“Loh? Kok gak balik bareng? Nanti ditungguin teman-temanmu loh.”
Kedua alisnya terangkat, dan jujur saja Erga nampak lucu. “Kamu mengusirku?” Ada pancaran kekecewaan di kedua matanya. Ia melempar pandang ke arah lain.
“Eh? Bukan maksudku begitu. Maaf deh.”
Bahunya bergetar. Awalnya kupikir dia nangis, aneh banget kan cowok nangis di depan umum. Tapi ternyata dia tertawa. Dan langsung kutebak, dia mengerjaiku. Sialan. Kupukul bahunya keras hingga ia meringis.
Ia masih tertawa. “Sorry, sorry. Aku kan cuma bercanda. Entar aja aku balik, tungguin kamu.”
Aku tidak membalas perkataannya, dan mulai melahap nasi goreng di hadapanku. Yang terjadi selanjutnya hanya percakapan ringan antara Derri dan Erga, aku beberapa kali menimpali. Ketika nasi goreng di kedua piring kami sudah tandas, kami kembali ke fakultas. Kali ini bersama Erga, berjalan bertiga.
“Kok ke kantin yang jauh, makannya?” tanyaku. Aku baru tahu ternyata ia dari jurusan seni, yang jelas-jelas gedungnya berada dua gedung setelah gedung fakultasku. Sementara kantin berada di fakultas sebelah. Yang artinya ia harus melewati tiga gedung fakultas untuk mencapai fakultasnya.
“Di situ enak sih.” Jawaban singkatnya membuatku mengangguk mengerti. Memang sih, makanannya enak, tidak menyesal aku ke sana.
Ketika kami melewati koridor fakultas (oh ya, gedung fakultas kami saling terhubung melalui jembatan di tingkat dua dari satu gedung ke gedung lainnya), kulihat Raka berada di arah berlawanan, menuju ke arahku. Ia bersama seorang wanita yang kukenal, teman sekelasku juga. Ketika jarak kami semakin dekat, aku semakin merapat ke Erga. Bukan bermaksud membuatnya cemburu atau apapun itu, tapi hanya memberinya jalan. Yah, sekalian menghindarinya juga sih. Menyentuhnya membuatku teringat kejadian malam itu.
“Hai Raka, Julie” Dan sialnya Derri malah menyapanya, yang dibalas dengan gumaman dari Raka dan sapaan ‘hai’ dari Julie. Aku menoleh, dan untuk kesekian kalinya pandanganku dan Raka kembali bertemu. Ia menatapku dan Erga yang berada di sebelahku, bergantian. Aku mengangguk pelan dan melempar senyum sapa padanya. Tidak ada balasan, dia melempar pandang dan kembali berjalan, diikuti Julie di belakang.
“Siapa dia?” Aku agak terkejut ketika Erga berbicara.
“Oh, dia Raka, teman sekelasku.”
“Kok sombong gitu?”
“Eh? Gak kok.”
Erga mengernyitkan alis saat memandangku. “Kamu membelanya?”
“Tidak kok. Dia memang baik.”
“Aku lihat kok, kamu menyapanya meski dalam bentuk isyarat sih, tapi boro-boro senyum, dia langsung pergi begitu saja. Di mana baiknya? Berkesan sombong malah.”
Iya juga sih. Tapi yang kutahu Raka memang baik. Bukan bermaksud membelanya. Di luar permasalah yang terjadi antara aku dan dia, Raka memang pemuda yang baik kok.
“Ya, sudah aku pergi dulu. Sampai bertemu nanti.” Erga menepuk bahuku lalu beranjak pergi.
Aku dan Derri kembali berjalan menyusuri koridor, menaiki tangga ke lantai atas untuk ke kelas perkuliahan berikutnya.
"Ngapain kamu di sini?" tanyaku, sementara Derri menyapa Erga seperti biasa sebelum melanjutkan langkahnya.
"Loh? Gak boleh ya? Kan sudah kubilang 'sampai bertemu'."
"Bukan gitu. Hanya saja kan-- duh!" seseorang menyenggol bahuku. Karena posisiku masih berada di anak tangga, aku nyaris terjatuh ke depan seandainya Erga tidak menahan kedua bahuku.
"Hati-hati dong!" Seru Erga, pada seseorang yang menyenggolku. Ada sejumput kemarahan dalam seruannya. "Gak apa, gak. Salahku juga menghalangi jalan."
Aku menoleh pada si pelaku, terkejut mendapati Raka menatapku. "Maaf, gak sengaja." ucapannya datar sedatar tatapannya padaku, seolah tidak ada keihklasan di sana. Tanpa menunggu balasan dariku, ia berbalik dan pergi. Ulu hatiku terasa ngilu melihatnya.
"Sombong banget tuh anak. Gak apa-apa kamu, kan?"
Aku menggeleng pelan. "Gak, gak apa."
Ada jeda kosong di antara kami, sebelum aku melirik kedua bahuku yang di tahan oleh kedua tangannya dengan erat. Erga yang menyadari arti lirikanku segera menarik tangannya dan kembali memasukkannya ke dalam saku, menunjukkan gelagat gelisah. "Eh, maaf."
"Loh? Kenapa minta maaf. Aku berterima kasih malah. Kalau gak tadi aku udah nyium lantai." ucapku, yang dibalas dengan senyuman olehnya.
"Oh ya, kok ada di sini?"
"Masa dua kali harus kubilang sih? Kan sudah kubilang 'sampai bertemu'."
"Aku memutar mata. "Ya gak secepat ini juga kan. Lalu mau ngapain?"
Ia mulai melangkah, dengan aku mengikutinya di sebelah. "Yuk ke Cafe."
"Cafe?"
"Ya, Cafe yang kemarin."
"Ngapain?"
"Nongkrong lah."
"Tapi aku ada tugas kuliah, Ga."
Erga memutar mata, mengayunkan tangannya bagai menepis debu. "Kan bisa malam. Aku anterin pulang deh."
"Aku bawa motor kok."
Erga mendengus, terdengar sebal sepertinya. "Ya sudah, tinggalin motormu di kampus. Entar malam ku antar lagi ke sini deh, buat ngambil."
Aku berhenti berjalan, menoleh padanya, menatap sebal. Baru aja kenalan dua hari sudah bikin emosi. "Mana bisa! Kalau ada yang nyuri gimana? Mau ganti rugi kamu?"
Lagi-lagi ia mendengus sebal. "Ya sudah, kita sendiri-sendiri ke sana. Kemariin ponselmu."
Aku mengernyit, memandangnya bingung. "Loh ngapain?" tapi bodohnya, aku merogoh saku celana dan menariknya keluar. Erga tidak berkata apa-apa, menekan beberapa tombol di ponsel layar sentuhku dan menelpon seseorang.
"Lah? Kenapa nelpon orang? Kok gak make ponselmu?" protesku. Ia tidak berkata apa-apa, dan detik berikutnya ia kembali menyerahkannya. Kulihat di layar ponselku menunjukkan nomor seseorang di panggilan keluar.
"Itu nomorku, simpan. Ntar kuhubungi kalau udah di cafe. Takutnya kamu langsung pulang lagi."
Aku menatapnya sebal. "Mana mungkin!" seruku.
Tanpa kusadari kami sudah berada di tempat parkir. Aku ke parkiran motor, dan ia ke parkiran mobil setelah ia berseru 'Awas kalau gak datang!' padaku. Kesal, aku tidak membalasnya. Aku langsung ke motor matic merah milikku, memakai helm dan melaju pergi.
Tiba di cafe, aku terkejut mendapatinya sudah berdiri di undakan depan pintu masuk. Seberapa cepat ia membawa mobil? Atau aku yang amat lambat? Gayanya masih sama saat terakhir bertemu di kampus. Kedua tangan di dalam celana jeans sambil mengetukkan sepatunya, tidak ada tas yang menggantung di bahunya.
"Cepat banget." ucapku padanya. Ia hanya mengangkat bahu, lalu membawaku masuk. Ia membuka pintu cafe dan mendorong pinggangku, menuntunku masuk ke dalam. Suasana cafe tidak begitu ramai, sepi, mengingat jam masih menunjukkan pukul 4 sore. Hanya 3 meja yang terisi dari belasan meja yang ada. Kami duduk di meja dimana pertama kali kami berkenalan, meja yang berada di dekat panggung.
Jujur saja, aku jarang datang ke tempat seperti ini. Jadi ketika pelayan menghampiri meja kami dan menanyakan pesanan, aku hanya memesan minuman yang sangat familiar untukku, meski ada menu lain di daftar menu. Jus Jeruk. Erga memesan secangkir latte. Setelah pelayan pergi, aku mengedarkan pandang ke sekitar.
"Sepi ya" gumamku.
"Masih sore, kalau malam bakal rame." ucapnya sambil melirik jam tangan cokelat yang melingkari pergelangan tangannya.
Aku mengedarkan pandanganku lagi, dan kali ini bertubrukan dengan piano putih yang berada di panggung. Agak aneh bagiku melihat instrumen besar itu berada di tempat seperti ini. Atau alat musik itu adalah hal yang biasa di cafe? Entahlah.
"Mau ke panggung?" Ia menatapku, dengan cengiran di wajahnya. Sepertinya menyalahartikan maksud tatapanku pada piano itu.
"Hah? Gak!" seruku.
Namun pemuda itu tidak mendengar penolakanku. Ia meraih pergelangan tanganku dan menarikku. Aku memberontak berusaha melepaskannya, namun cengkeramannya semakin kuat. Dan di sinilah aku, berdiri di samping piano sementara Erga sudah duduk di depan tuts piano. Ia menekannya beberapa kali menciptakan nada, melatih jemarinya. Aku mengedarkan pandang, melihat semua pasang mata itu tertuju pada kami, seolah menunggu sebuah pertunjukan.
"Ngapain ngajak aku ke atas. Mana bisa aku main piano." bisikku. Aku mulai gelisah di atas sana.
"Nyanyi?"
"Suaraku gak bagus."
"Ya gak apalah, dikit juga penontonnya."
Dan mempermalukan diriku sendiri? Gila!
Sebenarnya sih aku pernah ikut ekstrakulikuler paduan suara, cuma selama setahun. Tapi gak pernah dapat posisi main sekalipun.
Erga tidak mendengarku bersungut-sungut di samping piano. Ia menekan kembali tuts piano. Awalnya hanya nada tak berirama. Sebelum akhirnya jemarinya menari dengan lincah, menciptakan irama yang mengalun. Awalnya kupikir itu musik intrumental, namun terasa familiar, dan menggelitik hati. Tapi saat mencapai chorus aku mengenali lagi ini, membuat ulu hatiku terasa ngilu seolah baru saja dipukul. Aku berbalik, membelakangi penonton. Erga menatapku dan tersenyum, sebelum pandanganku kosong dan terbang ke memori yang menyakitkan. Memori antara aku, Raka, pesonanya, dan betapa aku memujanya.
Entah setan apa yang merasukiku, aku berbalik menghadap pengunjung dan menghampiri mike di stand mike. Aku mengetuknya menimbulkan suara ketukan di stereo dan menghentikan lantunan piano Erga. Menoleh padanya, kulihat ekspresi terkejutnya melihatku sudah berada di depan panggung dengan satu tangan mencengkeram mike. Aku mengangguk padanya, dan ia kembali memainkan lagu yang sama. Aku menarik napas, menahan napasku di diafragma dan ketika melewati intro, aku membuka suara dan mulai bernyanyi.
[i]Guess it's true, I'm not good at a one-night stand
But I still need love 'cause I'm just a man
These nights never seem to go to plan
I don't want you to leave, will you hold my hand?[/i]
Kejadian itu kembali terbayang di benakku, gambaran-gambaran itu terlintas di penglihatanku. Wangi itu menusuk penciumanku, dan sensasi sentuhan itu menggelitik kulitku.
[i]Oh, won't you stay with me?
'Cause you're all I need
This ain't love, it's clear to see
But darling, stay with me[/i]
Bisa kurasakan gemuruh di dadaku ketika aku terus bernyanyi. Mengalirkan perasaanku di setiap bait lagu yang kulantunkan. Jantungku yang memompa lebih cepat karena emosiku yang berubah, dari memuja, cinta, sakit, amarah, kecewa. Berganti dan menyatu. Aku merasakan perutku seperti di hantam dengan keras. Namun aku tidak berhenti bernyanyi.
[i]Why am I so emotional?
No, it's not a good look, gain some self-control
And deep down I know this never works
But you can lay with me so it doesn't hurt[/i]
Aku tidak mengerti dengan jalan pikiranku sendiri. Aku marah padanya, pada Raka yang telah menyakiti perasaanku. Meski tidak di depan umum, tapi serasa ia melemparkan kotoran di wajahku. Aku memutuskan untuk bersikap biasa padanya, mencoba melupakannya perlahan. Namun akhirnya aku masih tidak berdaya oleh suara, sentuhan dan pesonanya. Menyadari betapa tidak berdayanya aku. Menyesali betada bodohnya aku, karena hingga saat ini aku masih memujanya penuh cinta.
[i]Oh, won't you stay with me?
'Cause you're all I need
This ain't love, it's clear to see
But darling, stay with me[/i]
Ketika aku berhenti bernyanyi dan suara piano telah berhenti, aku membuka mata merasakan panas oleh cahaya. Bisa kurasakan mataku berair, namun tidak mengalir. Aku bahkan tidak menyadari bahwa sejak tadi aku menutup mata. Yang kutahu aku menuangkan segala perasaanku selama empat hari ini dalam lagu itu. Tepukan tangan mengingatkanku bahwa saat ini aku sedang berada di atas panggung, di tonton oleh pengunjung cafe. Ada rasa malu bersarang di kedua pipi. Namun aku membungkuk dan mengucapkan terima kasih. Aku menoleh pada Erga, tersenyum padanya, namun pemuda itu hanya menatapku dengan pandangan yang tidak kumengerti.
"Ayo, turun." Bisikku padanya dari depan panggung. Aku menghampiri meja kami, menyeruput jus jeruk yang sudah berada di sana. Tenggorokanku menjadi terasa kering setelah bernyanyi. Namun setidaknya kini aku lega. Beban pikiranku sedikit berkurang. Erga sudah duduk di depanku, masih menatapku, meski ia sedang meminum minumannya.
"Ada apa?" tanyaku risih.
"Kau bilang gak bisa nyanyi?"
"Aku gak bilang gak bisa nyanyi, aku kan cuma bilang suaraku gak bagus."
"Jangan gila! Itu bagus tahu. Aku saja sampai kaget." serunya, menjitak kepalaku.
"Duh, main kasar!" keluhku, mengusap ubun-ubunku. "Memang suaraku gak gitu bagus kok."
"Bagus!"
"Gak!"
"Bagus!"
"Gak!"
"Bagus! Aku aja sampai ter--" ia buru-buru berhenti berbicara di tengah perdebatan konyol kami.
"Sampai apa?"
"Yeaah, sampai terpesona." bisiknya, namun aku masih dapat mendengarnya. Ia memalingkan pandang dariku.
Dengan wajahnya yang sedikit memerah dan terlihat imut, entah kenapa darahku berdesir, menggelitik perutku. Aku tidak tahu harus membalasnya dengan perkataan apa. Hingga beberapa menit ada jeda kosong di antara kami. Ia sibuk melihat entah apa, aku sibuk memainkan sedotanku, mengaduk jus jerukku yang tertinggal setengah.
"Ga, terima kasih." Akhirnya aku memutuskan untuk bersuara lebih dulu, memecah keheningan yang terasa janggal di antara kami.
Ia menatapku dengan alis yang mengernyit. Kedua alisnya yang hampir menyatu dan pandangan tidak mengerti dari kedua manik cokelatnya mengingatkanku pada Raka. "Untuk?"
"Untuk mengajakku ke sini. Bebanku jadi sedikit berkurang."
Ia tidak berkata apapun, dan hanya tersenyum. Satu tangannya mengacak rambutku, mengirimkan rasa nyaman padaku. Selanjutnya selama sisa waktu kami bercerita banyak hal. Perkuliahannya, perkuliahanku dan banyak hal lainnya.
---
Aku pulang dari cafe saat jam tanganku menunjukkan pukul delapan. Tidak kusangka kami mengobrol cukup lama. Dan akan lebih lama lagi jika aku tidak mengingat tugas kuliah yang harus kukerjakan malam ini. Saat tiba di rumah, aku melihat mobil yang terasa familiar terparkir di depan pagar rumah. Di benakku, ada satu sosok yang memiliki mobil seperti ini. Tapi itu tidak mungkin, tidak mungkin di rumahku. Jadi aku memarkir motor di halaman dan meletakkan helm di spion. Aku segera menuju rumah, namun langkahku berhenti dan napasku tercekat. Di sanalah ia, sosok yang tidak pernah kuduga akan berdiri di teras rumahku dengan kedua tangan terlipat di dada dan kedua mata yang memandangku tajam.
"Dari mana saja kamu?"
Raka! Aku nyaris histeris.
Itu kalimat pertama yang keluar dari mulutku saat aku tersadar setelah nyawaku melayang selama beberapa detik. Itupun kuutarakan dalam jeritan. Oh ya, aku tidak pernah sekalipun bercerita pada Raka mengenai tempat ku tinggal, apalagi memberikannya alamat rumahku. Dan ajaibnya, dia sudah berada di teras rumahku sekarang. Pengennya sih ini cuma mimpi, jadi aku bisa menamparnya agar aku terbangun. Gak mau nampar diri sendiri, kan sakit. Mataku masih melotot padanya, sementara ia memandangku tajam dalam pose mengancamnya. Kami terjebak dalam keheningan yang singkat sebelum akhirnya Raka kembali bersuara.
"Kenapa kamu balik nanya? Aku tanya dari mana saja kamu?"
Aku masih tidak sadar sepenuhnya, sehingga tidak begitu mendengar suara pemuda yang kucinta dan kupuja ini. Masih dengan melotot tidak percaya pada sosok nyatanya tiga meter di hadapanku, mulutku kembali bersuara. "Bagaimana kamu tahu rumahku?"
"Kamu tuli ya? Aku tanya, kamu malah balik nanya lagi. Dari mana kamu?" Kali ini nada suara yang ia gunakan lebih tegas dan berat. Kedua manik coklatnya semakin memicing tajam. Kalau dia punya kekuatan super, kuyakin ada laser yang keluar dari pandangannya dan melobangi mataku saat ini.
Aku tersadar sepenuhnya, menyadari caranya berbicara kepadaku yang sangat tidak wajar. Aku masih ingat bagaimana ramahnya dulu ia, meski kami cuma berbicara beberapa kali, dan bagaimana lembutnya ia memperlakukan orang lain. Dan kenapa sekarang berubah jadi 180 derajat begini? Kemana sosok ramah yang kupuja itu?
"Aku cuma dari kafe tadi." akhirnya aku menjawab, takutnya ia akan kembali bertanya hal sama, bukan mata yang memicing tapi dengan tangan yang melayang siap menggamparku.
Ia menurunkan tangannya yang terlipat di dada, mengganti pose menjadi bertolak pinggang. Dan mataku tidak lepas dari setiap pergerakannya. Oh, shit! Kenapa dia harus tampak keren dalam pose itu. Kemeja biru muda dan celana jeans biru tuannya yang terlihat pas di tubuhnya, lengan kemeja yang tergulung hingga setengah lengan, membuatnya terlihat lebih seksi. Aku nyaris menampar diri sendiri, untuk menyadarkan diriku bahwa aku sedang kecewa padanya, jika saja tidak kuingat situasi yang memanas di antara kami saat ini.
"Kan sudah kukirim pesan ke ponselmu kalau aku akan ke rumah jam setengah 7. Kamu malah baru pulang jam 8."
Hah? Pesan? Oh, aku lupa menyentuh ponselku sejak ke cafe. Suasana dan perbincanganku yang seru bersama Erga membuatku lupa, bahkan getaran ponsel di pahaku pun tidak kurasakan. Aku merogoh ponselku di saku celana, dan pandangannya mengikuti pergerakan tanganku.
"Pasti belum dibaca. Ngapain aja sih?" dengusnya, dan saat itu pula aku menarik keluar tanganku dari saku celana. Aku mengangguk padanya dengan mata yang tak lepas dari kedua manik cokelatnya yang tajam. Dia manusia atau ular sih? Kok untuk berpaling pandang pun susah banget rasanya. Engsel leherku sepertinya butuh dilumasi, karena sejak tadi aku mencoba untuk berpaling, tapi manik coklatnya yang menatap kedua mataku malah membuatku tidak mampu bergerak sedikit pun.
Kusimpulkan, sepertinya dia keturunan siluman ular putih.
"Kamu ini bisu juga, hah? Dari tadi cuma nganggung-ngangguk saja. Ya jawab!"
Kali ini aku naik pitam. Sejak tadi Raka menghinaku. Tulilah, bisulah. Oke, dia tampan, rupawan, penuh pesona, dan aku memujanya setengah mampus. Tapi kalau dihina kan aku gak bisa diam aja. Aku kan bukan tembok yang meski dihina dan dicoretin pun tetap aja datar. Aku punya perasaan juga.
"Aku gak tuli! gak bisu!" seruku
"Makanya jawab!" Aku terkejut. Suaranya yang berat dan tegas itu malah mengalahkan seruanku yang lebih terdengar bagaikan cicitan baginya.
"Ya gak usah pakai marah, dong. Lagian ngapain kamu di sini?"
Raka menghembuskan napas dengan kencang, kutebak aku sudah memancing emosinya. Sial, mulutmu harimaumu, nih. Ia menghampiriku. Sebelum sempat aku melangkah mundur, ia sudah menahan bahuku dengan tangan kirinya, sementara tangan kanannya merogoh saku celanaku. Napasku tercekat tatkala jemarinya dengan kasar dan secara tidak sengaja menyentuh pahaku, meninggalkan kesan menggelitik yang mengembalikan bayangan-bayangan kejadian bersamanya yang ingin kulupakan, namun kutahu tidak akan bisa. Aku hendak mendorongnya menjauh, namun ia lebih cepat menarik ponselku dari saku celana dan mundur selangkah.
"Hei--!" Baru saja aku hendak merebut ponselku kembali, namun tatapan matanya yang penuh amarah mengisyaratku untuk mundur. Dan aku cuma bisa menurutinya.
"Ini, lihat, baca!" Ia menyodorkan ponselku dengan layar yang menghadap tepat di depan kedua mataku.
Aku meraihnya, dan benar di sana ada namanya.
From: Raka
Aku ke rumahmu malam ini jam 6.30. Selesaiin tugas.
Yang bisa kulakukan hanya menelan ludahku. Damn!
"Makanya jangan keenakan pacaran."
Aku mengangkat wajahku cepat, melotot padanya. "Aku tidak pacaran."
Aku tidak tahu aku telah menyulut apa, ia mendekat padaku, wajahnya agak menunduk mendekati wajahku.
"Kalau bukan pacaran, lalu apa namanya?" desisnya. Ia kembali menarik wajahnya menjauh. "Berduaan di cafe sama siapa tuh? Egi? Gigi?
"Sudah kubilang aku gak pacaran, dan namanya Erga."
"Ya, ya, bela saja terus pacar gay mu."
"Raka!" Aku sudah ada niat untuk menghajar kepalanya, atau gak menghantam mulutnya dengan apapun untuk membuatnya berhenti mencerocos. Kemarahanku sudah nyaris diubun-ubun. Kata-kata Raka semakin kasar dan menyayat. Menyakitkan untuk didengar.
Ia mendengus, berbalik dan mengambil tasnya di kursi teras. Ia berjalan melewatiku yang masih di liputi amara. Tanganku terkepal, mataku tidak lepas dari sosoknya yang berlalu melewatiku. Sebelum mencapa pagar, ia berbalik.
"Besok aku akan ke sini lagi."
"Hah? Ngapain? Besok kan sabtu?" spontan aku berseru kesal. Tidak puas dia datang ke sini memakiku, dan besok datang memakiku lagi?
Mata Raka memandang datar padaku. Tidak ada kilat kemarahan di asna seperti semenit yang lalu. "Ngerjain tugas. Mumpung sabtu libur."
"Tapi kan besok aku ada urusan?"
Pandangan datar itu berubah menjadi memicing tajam. "Dengar Erga lagi? Masih belum puas pacarannya tadi?"
"Y-ya, bukan begitu. Dia mengajakku ke cafe lagi." Aku tidak tahu, mungkin pengaruh tatapannya yang tajam itu membuatku menjawabnya. Setengah hati aku malah enggan mengatakannya, ada rasa ketakutan oleh sesuatu yang tidak kumengerti sehingga enggan untuk mengatakannya.
Aku enggan melihat tatapan tajamnya, namun dalam sekali lirikanku, bisa kulihat pandangan tajam itu seolah berharap bisa membunuhku.
"Besok aku datang." tegasnya, lalu berbalik. Tidak menunggu tanggapan dariku. ia sudah membuka pintu mobilnya, masuk ke dalam dan melaju dengan cepat menjauhi rumahku.
Aku masih berdiri di teras. Kedua tanganku terkepal di sisi tubuh. Ada amarah yang meluap dari tubuhku. Aku memuja keramahannya dan kebaikannya. Mencintai pesonanya. Kecewa dengan segala keputusannya. Dan marah pada keegoisannya. Aku menjadi semakin tidak mengerti. Dadaku bergemuruh, menggebu dalam emosi yang bercampur. Emosi yang sulit untuk kupahami.
Semenit aku berdiri di sana, sebelum akhirnya aku memutuskan untuk masuk ke dalam rumah, membalas singkat sapaan kedua orang tuaku yang sedang berada di ruang tengah menikmati acara favorit mereka. Aku segera berlari menaiki tangga menuju kamar, membuka pintu kamar dan mendengar teriakan ibuku di lantai satu.
"Temanmu mana? Sudah pulang?"
"Gak tau!" teriakku dan membanting pintu. Sebenarnya sih sangat tidak sopan. Tapi jika mengingat sosoknya malah membuatku kesal.
Aku melempar tasku sembarangan ke lantai. tanpa membereskan dan membersihkan diri, aku melompat ke kasur, membenamkan wajahku ke dalam bantal dan meneriakkan satu kata untuk satu orang yang saat ini benar-benar berhasil menarik emosiku hingga ke ubun-ubun, Raka.
"Sialaaaaan!"
Aku gelisah dengan mata terpejam, badanku terasa berat dan panas dengan keringat yang terasa lengket nyaris disekujur tubuh. Kulit lengan kanan atas dan paha kiriku terasa tergelitik geli. Aku meringis ketika bahuku terasa hangat oleh udara yang berhembus. Aku tidak mengerti akan sensasi aneh yang membuat perutku bergejolak dan dadaku bergemuruh hebat. Aliran darahku melaju melebihi kecepatan normal. Hawa hangat yang menggelitik itu berpinah ke perpotongan leher. Aku meringis dengan kepala tersentak ke belakang ketika rasa hangat itu berubah menjadi rasa sakit. Tapi anehnya aku tidak menolaknya. Terus bergerak ke atas, meninggalkan jejak basah. Dagu, dan akhirnya bibirku terasa basah, lengket, hangat, dan sensasi lainnya yang tidak mampu kuartikan.
Aku membuka mata, mendapati sepasang manik coklat yang menatapku penuh kasih dengan gairah yang terselip di sana. Wajahnya berpeluh, hingga rambutnya terasa lepek karena keringat saat kuraba. Seringai tercetak di bibirnya sebelum kembali ia mengecupku sekilas, lalu berbisik "bangun..."
Bangun? Apanya yang bangun?
Sekali lagi ia mengecup bibirku, melumatnya dan kembali berbisik. "Bangun..."
"Apa maksud--?"
PLAK!
"AAAWW!"
Aku menjerit histeris ketika kurasakan sensasi panas menusuk di pipi. Mataku terbuka sempurna dalam sedetik. Seketika itu juga aku sudah bangkit, terduduk di kasur dengan tangan kanan menyentuh pipi kananku yang memerah. Awalnya sih pengen menyumpahi, mencerca dan memaki siapapun yang tela mengusik mimpi indahku yang lengket penuh gairah. Belum juga sampai klimaks udah dibangunin. Tapi apa daya, ketika mataku menangkap sosok yang sedang berdiri di samping tempat tidurku dengan pose menantangnya yang cool abis, tangan menyilang di dada dengan mata coklat yang memandang tegas, aku tidak bisa berkata apapun, hanya memasang wajah terbodoh yang kumiliki. Mata melotot, mulut terbuka.
Hanya beberapa detik loh, karena efek bangun tidur kesadaranku belum pulih. Siapa tahu saja sosok di hadapanku hanya fatamorgana. Hingga ketika kesadaranku telah utuh aku kembali menjerit dengan kalimat yang sama. "Kenapa kamu bisa ada di sini?"
Tanpa dosa, Raka hanya mengangkat alis, menatap tanpa minat padaku. "Nah, gitu dong. Kalau kusuruh bangun, ya bangun. Aku tidak menyangka kamu punya hobi teriak. Ini masih pagi."
"Kamu kenapa bisa ada di kamarku?"
"Loh, ibumu yang nyuruh kok?"
Hah!? Gak nyangka ibuku tega menyuruh orang asing masuk di kamar anaknya sendiri. Bagaimana kalau hal yang iya-iya bakal terjadi seperti di rumah Raka? Bagaimana kalau untuk kedua kalinya diriku diperkosa? Teganya ibuku tidak memikirkan kesucian tubuh anaknya ini. Eh, ibuku mana tahu kalau anaknya kebangetan beloknya. Lagipula aku tidak suci lagi ya. Udah dinodain Raka juga.
Goblok!
Aku segera berbaring kembali dan menarik selimut hingga menutupi wajahku yang terasa panas dan memerah. Masih pagi, baru bangun tidur pula, udah mikir yang jorok-jorok. Tiba-tiba selimutku ditarik dengan kasar. Aku melotot pada si pelaku, dalang kesengsaraanku, wadah cinta sepenuh hatiku, melemparkan selimutku ke lantai dan menatapku kesal. "Kalau kubilang bangun ya bangun." ucapnya tegas.
Aku menyembunyikan wajahku di balik bantal dan berteriak keras. "Gak! Masih ngantuk!"
"Bangun!" Ia menarik tanganku dan dalam satu sentakan aku sudah bangkit terduduk di atas tempat tidur. Sialan, genggamannya begitu kuat. Aku melotot kesal padanya, namun cukup sulit kulakukan karena banyak hal yang begitu meluluhkanku, pandangan tegasnya, rahangnya yang terkatup rapat. Damn! Ngapain juga sih dia berada di kamarku.
Aku segera menarik tanganku hingga terlepas dari genggamannya ketika aku telah terasadar dari segala pesonanya. Aku bangkit dari tempat tidur, berlari keluar kamar dan ke lantai satu. Berkeliling rumah dan tidak menemukan satupun sosok ayah maupun ibu. Sialan, kemana sih mereka? Jangan bilang mereka meninggalkan anaknya seorang diri di rumah bersama Raka si pelaku pemerkosa. Gak diperkosa sih, sama-sama menikmati juga. Tapi kalau ayahku tahu, dijamin Raka bakal dikebiri.
Karena tidak menemukan keduanya, aku kembali ke kamar, menemukan Raka sedang duduk di tempat tidur, sebelum akhirnya ia merebahkan punggungnya dengan kedua tangan di kepala sebagai bantalan. Sial, kenapa juga segala tindakannya tampak begitu memukau? Dari balik pintu berseru padanya "kemana ibu dan ayahku?"
"Mereka pergi." ucapnya tanpa menatapku. Agak kesal sih, memangnya langit-langit kamar lebih menarik, apa?
"Kemana?"
"Mana kutahu." jawabnya enteng.
Aku kesal, aku gondok, aku marah, dan aku cinta padanya. Sial. Dengan kesal, aku mengambil handuk dan menyampirkannya di bahu. Aku membuka lemari memilih pakaian yang akan kugunakan, kaos oblong hijau dan celana army selutut. Lalu beranjak ke kamar mandi di dalam kamarku.
"Loh? Gak buka baju? Masa ke kamar mandi berpakaian lengkap?"
Aku meliriknya dari bahu, melihatnya yang sudah duduk di tepi tempat tidur. Ada kerlingan jahil yang kutangkap dari tatapannya.
"Maksudmu?"
"Ya ampun, biasa aja kan? Ngapain malu di depanku, coba? Lagipula malam itu kan aku juga sudah lihat kamu telanjang. Jadi nyantai aja."
Dan saat itu aku bisa merasakan emosiku kembali diaduk dengan cepat hingga meluap. Kedua tanganku terkepal, menggenggam erat pakaianku. Tubuhku bergetar karena amarah. Aku menoleh ke kamar mandi, tidak ingin menatap sepasang mata coklatnya dan seringai tipis di bibirnya. "Bisa gak sih kita gak ngomongin itu?"
"Loh? Kenapa?"
"Kan kamu yang bilang kalau itu gak pernah terjadi." Tidak ada tanggapan darinya. Aku melangkahkan kakiku ke dalam kamar mandi, dan menutupnya.
Butuh waktu nyaris sejam bagiku untuk keluar dari kamar mandi. Bukan berarti aku melakukan hal yang jorok-jorok yah. Aku malah sudah selesai membersihkan diri 15 menit di awal. Namun aku perlu memantapkan hatiku untuk keluar dan bertemu kembali dengan Raka. Selama sisa waktu, aku mengguyur tubuhku dengan air dari shower, merasakan terpaan air ke seluruh kulit, melunturkan amarah dari panas tubuhku. Aku terus menanamkan dalam pikiran bahwa semua akan baik-baik saja selama aku tidak menyinggung masalah itu, atau Raka tidak menyinggungnya lagi.
Aku keluar dari kamar mandi dengan keadaan bersih dan berpakaian lengkap, dan tidak mendapatinya di kamarku. Ia tidak berada di tepi tempat tidur seperti terakhir kali aku melihatnya. Apa dia sudah pulang? Baguslah. Apa karena kata-kataku terlalu kasar padanya dan menyakiti hatinya? Ketika beranjak keluar dari kamar dan ke lantai satu, aku melihatnya sedang menonton TV. Aku melihat kiri kanan, tidak ada tanda-tanda ibu dan bapak sudah berada di rumah.
"Ngapain kamu di sini?"
"Nonton." singkat, padat dan jelas tanpa menoleh padaku pula.
"Maksudku, bagaima--"
"Ibumu bilang anggap saja rumah sendiri."
Dan dengan cuek bebek dia nonton tanpa izin pemilik rumah? Edan nih Raka. Kelakuannya benar-benar bikin orang emosian. Aku tidak lagi menggubrisnya dan mendaratkan diriku di dapur. Kulihat meja makan kosong. Ibu tidak memasak apapun. Aku menghela napas berat, menghampiri lemari dan mengeluarkan dua bungkus mie goreng. Aku gak rakus ya, cuma ini untuk aku dan Raka. Tidak mungkin aku membiarkan anak orang kelaparan, sementara aku makan dengan lahap. Gak mungkinlah aku setega itu.
Aku baru saja hendak memasukkan dua mie kering itu ke dalam air yang mendidih, ketika sepasang lengan memeluk pinggangku dari belakang. Sontak saja kedua mie kering itu terlepas dari pegangan dan jatuh dengan sendirinya ke dalam air mendidih. "Kamu marah?" bukan pertanyaan, tapi pernyataan. Napasnya yang hangat menggelitik leherku ketika ia berbicara. Saat itu jantungku langsung berpacu lebih cepat. Aku bahkan kesulitan untuk bernapas karena sesak di dada.
Aku sebenarnya heran. Ia menyatakan bahwa apa yang terjadi di antara kami dan apa yang telah ia lakukan adalah salah, dan meminta ku untuk melupakannya. Kulakukan, meski aku masih berusaha. Tapi kini ia memeluk pinggangku, berbicara dengan nada lembut yang menggoda. Aku seperti merasa memiliki harapan padanya. Tapi aku harus percaya pada apa? Yang memintaku melupakannya atau menggodaku untuk mengingatnya? Aku sungguh tidak mengerti.
Aku bahkan tidak mengerti pada diriku sendiri. Ketika aku memutuskan untuk melupakannya, aku berusaha melakukannya. Aku bersikap biasa padanya, menjaga jarak. Tapi ketika Raka memeluk pinggangku, aku melupakan semuanya. Kehangatan lengannya di perutku membuatku menginginkannya untuk tidak pernah melepaskan pelukannya, merasakan hembusan napasnya yang hangat menggelitik lehekru. Dan aku menginginkan rasa hangat itu lebih dan lebih.
Akhirnya, setelah perang batin, kuputuskan untuk menjawab dengan nada ketus "Gak."
"Bohong."
"Gak kok, Raka." kali ini aku berusaha membuat suaraku terdengar lembut.
"Aku minta maaf." oke itu kemajuan yang besar. Raka minta maaf padaku. Haruskah aku berdansa salsa dan menari hip hip hura di atas bara api sekarang? "maaf, karena mengungkitnya. Tidak seharusnya kulakukan. Kau memaafkanku?" nada suara yang ia gunakan, begitu menggoda, begitu memikat, seluruh tubuhku lumpuh, seluruh hatiku nyaris meleleh.
Ada jeda yang panjang, dimana aku sedang berpikir antara memaafkannya, tingkahnya, dan menahan desiran aneh di perutku.
"Hm.." kuputuskan hanya bergumam saja.
"Thanks." ia mencium perpotongan leherku yang tidak tertutupi oleh garis pakaian, melepas pelukannya di pinggangku dan pergi.
Masih bisa kurasakan, jantungku masih berpacu cepat, darahku masih berdesir hebat, pandanganku tidak fokus meski wajahku tertunduk pada rebusan mie di atas kompor. Aku menyentuh perpotongan leherku, tempat di mana ia menciumnya. Jemariku bisa merasakan ada tertinggal jejak basah dan hangat di sana. Aku menutup mata rapat dan merasakan wajahku memanas ketika bayangan dari mimpi semalam terlintas di kepala. Aku tahu wajahku memerah hingga ke kuping tanpa perlu memandangi cermin.
Butuh waktu beberapa menit bagiku untuk membuat diriku kembali ke alam sadar, membuat diriku tenang, secara batin dan fisik. Dan menyadari bahwa air rebusan mie ku nyaris tandas. Aku memekik terkejut.
Sial, terpaksa merebus mie untuk kedua kalinya.
Kugeser pantatku sedikit ke kanan. Sungguh rasanya tidak nyaman. Situasi seperti ini benar-benar mengingatkanku pada malam itu. Kami, aku dan Raka, di ruang tamu rumahku, mengerjakan tugas. Aku berkutat dengan laptop milik Raka sedangkan ia berkutat dengan buku-buku milikku. Bedanya, kali ini aku duduk di sofa, dia duduk di sampingku. Aku sudah menyuruhnya untuk menjauh, duduk di bawah atau di manapun, asal bukan di sampingku, merapat hingga bahu kami bersentuhan. Tapi dia ngotot, dengan duduk bersebelahan seperti ini dia bisa melihat jurnal yang kutemukan, jadi dia tidak perlu membuang energinya untuk bergerak lebih banyak. Akhirnya aku tidak menolak.
Sialnya, parfumnya yang menggoda itu dapat tercium olehku.
Aku memutuskan untuk berdiri. "Mau kemana?" tanyanya.
"Buang air. Kenapa? Mau nemenin?"
Oke, sebenarnya itu hanya bercanda. Tapi Raka membalas dengan "Kau tidak bisa kencing sendiri ya? Mesti dipegangin?" Aku langsung berbalik, tidak pedulikan tawanya yang keras. Aduhai, tawanya yang gurih itu bikin geli.
Aku kembali beberapa menit kemudian dan raka sudah duduk di tempatku, memakai laptopnya untuk mengerjakan tugas. Untuk menjaga jarak darinya, aku duduk di bawah, bersandar pada sofa dan mulai membuka buku referensi setelah menegak sirup rasa jeruk yang tinggal setengah. Dan lagi-lagi aku harus merasakan frustasi ketika hidungku kembali membaui parfumnya. Raka sudah duduk di sebelahku, meletakkan laptopnya di atas meja tepat di hadapanku. Posisi duduknya kembali mengingatkanku pada kejadian malam itu. Tubuhnya sedikit menyerong. Satu tangannya lincah menari di laptop, satu tangan lainnya menyangga tubuhnya, tapi berada di belakang punggungku. Sedikit bergerak, bahuku malah akan menyenggol dadanya.
"Pakai jurnal yang ini, gimana? Bisa disertain gambar juga. Aku sudah nemu gambar yang pas." Ia terus mengoceh dengan pandangan fokus ke layar laptop, sementara otakku secara mendadak kosong dan dipenuhi oleh bayangan-bayangan kejadian beberapa hari lalu.
Napasku memburu. Jantungku berdegp cepat, bayangan kejadian itu terus melaju di hadapanku. Tubuhku terasa tergoda namun terkoyak dalam waktu yang sama. Wangi parfumnya dan hangat tubuhnya begitu menggoda.
"Hei,"
Aku tenggelam dalam dilema, berusaha mengajak tubuhku untuk bergerak menjauh, namun tubuhku menolak untuk bergerak. Koordinasi otak dan tubuhku menjadi kacau.
"Hei." Dan tepukan di bahuku menyadarku, menarik kesadaranku kembali.
"Y-ya?" Barulah kusadari wajahnya begitu dekat, manik cokklatnya tepat berada di depan mataku. Begitu memikat dan membiusku.
Perlahan Raka mendekatkan wajah, dan sedikit memiringkan wajah ketika jarak kami kian menipis. Aku tidak mampu bergerak, tergoda untuk mendekat. Namun ketika bayangan kejadian itu terus terlintas, bukan hanya adegan lengket dan basah yang kami lakukan, tapi juga bayangan di mana wajah frustasinya terlihat jelas di wajahku, ucapannya yang dulu berhasil mengoyak perasaanku terngiang di telinga, aku segera menarik wajahku menjauh. Ia yang menyadarinya, berhenti bergerak. Menatapku bingung. Aku segera menggeser tubuhku menjauh darinya dan kembali bangkit.
"Aku haus." suaraku bergetar. Tidak ingin melihat wajahnya, aku segera berbalik dan memasuki ruang tengah dan menuju dapur. Di dapur aku malah tidak mengambil gelas. Aku hanya berdiri di samping westafel, menenangkan diriku yang kacau. Aku menutup mata rapat ketika kudengar suara dentuman yang keras dari ruang tamu. Tidak, aku tidak mau tahu itu apa.
Sekembalinya aku dari dapur, situasi berubah. Raka di ujung sofa dengan buku di tangan, sedangkan aku di ujung lainnya, duduk bawah dengan laptop di hadapanku. Tidak ada komunikasi yang terjadi antara kami, aku begitu takut melihat ekspresinya saat ini. Ketika ia menemukan informasi dari buku, ia hanya melipat halamannya dan menyerahkannya padaku untuk kumasukkan ke dalam data kami. Selanjutnya hal itu terjadi selama dua jam hingga waktu menunjukkan pukul 4 sore.
Kuregangkan otot tubuhku ke kiri dan kanan. rasanya begitu lelah untuk duduk selama berjam-jam. Untungnya tugas kami hanya butuh beberapa referensi lagi sebelum semuanya kelar. Tidak ada ruginya mengerjakannya lebih cepat. Kedua kalinya aku melirik jam dan pintu depan rumah. Tidak ada tanda-tanda orang tuaku akan kembali dalam waktu dekat. Kemana sih mereka? Kencan?
Drrrttt..
Ponselku bergetar di atas meja. Aku meraihnya dan melihat nama Erga tertulis di layar ponselku yang berkedip. Ada rasa senang sekaligus bersalah padanya. Aku takut dia marah padaku karena hingga detik ini dia belum menghubungiku.
"Halo?"
"Halo, lagi di mana?"
"Rumah. Maaf ya, aku membatalkannya sepihak. Kita bisa pergi sore ini. Lagipula tugasku sudah selesai."
"Aku kan sudah bilang, tidak apa-apa." nada suaranya yang menenangkan berhasil menguapkan rasa bersalahku. Tapi tunggu-! Kapan dia bilang?
"Hah? Kapan kamu bilang? Kupikir kamu marah karena tidak menghubungiku."
"Semalam kan udah kukirimin pesan. Pagi tadi juga, kutelepon dua kali tapi direject. Kupikir kamu sibuk."
Pagi tadi? Seingatku, aku tidak mendengar sekalipun ponselku berbunyi. Kecuali-- Aku segera menolehkan pandanganku ke arah Raka. Pemuda itu duduk di ujung sofa sambil membaca buku, terlihat tidak peduli pada sekitar, atau berpura-pura tidak peduli. Pandangan tajamku menghujam padanya, namun kuyakin tidak ada pengaruh apapun padanya.
"O-oh, yang itu. Maaf. AYAHKU YANG BAIK yang merejectnya saat kami sarapan. Katanya tidak boleh ada gangguan selama family time. Semoga kamu mengerti." dustaku.
"Oh, gak apa. Tapi sore ini ke cafe kan?"
"Ya, sekarang aku akan ke sana."
"Oke, sampai bertemu di sana."
"Ya."
Hubungan telepon kami terputus. Aku segera menaruh ponselku kembali ke atas meja, melemparkan pandangan tajamku pada Raka yang sedang berpura-pura tidak berdosa di ujung sofa sana. "Kamu kan yang merejectnya? Kamu juga yang hapus pesan dari Erga agar aku tidak membacanya." tuduhku, meski kuyakin tuduhanku padanya tepat seratus persen.
"Ya."
Amarahku kembali naik ketika tanpa rasa bersalah ia membenarkan tuduhanku. Aku berdiri, memasang pose tolak pinggang. "Kenapa kamu melakukannya? Itu privasi. Kamu tidak mengerti privasi, hah?" seruku.
Ia menaruh buku yang tadi ia baca ke atas meja. Ia berdiri memasang pose menantangnya, kedua tangan yang terlipat di dada, dan menatapku dengan pandangan yang sama yang kuberikan padanya. "Aku ingin kamu fokus kerja tugas. Aku tidak ingin tugas ini terbengkalai hanya karena kamu asik pacaran dengan pacar gay mu."
"Sudah kubilang aku tidak pacaran." seruku "dan jaga bicaramu!" kali ini aku berteriak.
Ia mengangkat kedua alisnya, pandangan matanya yang meremehkan membuatku kesal. "Oh ya? Kau pikir aku buta?"
Napasku memburu oleh amarah. Aku tidak membalasnya untuk menghindari amarahku yang kian melonjak. Kutarik dalam napasku dan menghembuskannya untuk memperoleh ketenangan. "Sudahlah. Kamu pulang saja. Aku ada urusan."
"Pacaran maksudmu?"
Kesekian kalinya aku tidak menjawab. Aku segera berbalik, menuju ke ruang tengah dan ke lantai dua. Aku berhenti di anak tangga teratas ketika ia berteriak dari lantai bawah ruang tengah. Tidak kusangka ia mengikutiku. "Kau mau kabur? Kita belum selesai." serunya.
"Jangan kekanak-kanakan, deh."
"Kamu yang kekanak-kanakan." balasnya sengit. Aku menggelengkan kepalaku, tidak membalasnya dan segera masuk ke kamar dengan membanting pintu keras. Di susul berikutnya oleh suara dentuman yang keras dari lantai bawah. Aku tidak peduli.
Aku tidak mengerti, Raka ini maunya apa? Nyaris setiap saat menguras emosiku. Membuatku kacau oleh amarah dan memuja. Ia seolah selalu mengajakku beradu mulut. Untungnya kami tidak beradu jotos, karena sudah dipastikan aku kalah telak. Ia bahkan lebih besar dariku. Tidak tahukah ia betapa sakitnya setiap kali ia mengungkit hal yang sama dalam adu mulut kami? 'Pacaran' dan 'pacar'. Tidak tahukah ia meski amarahku yang besar padanya, selalu ada rasa memuja yang jauh lebih besar padanya. Tidak tahukah ia bahwa aku hanya ingin terjebak dalam status ikatan bersamanya, bukan dengan siapapun yang selalu ia tuduhkan? Kenapa ia tidak sekalipun peka?
Aku menggelengkan kepala, menyadari bahwa kemustahilan adalah jawaban yang akan kudapatkan. Kuputuskan untuk berganti pakaian dengan jeasn biru tua dan kaos lengan pendek hitam. Kuyakin Erga sedang menungguku saat ini.
Ketika turun ke bawah, kupikir Raka sudah pulang. Tapi ternyata pemuda itu sedang berdiri di samping pintu rumah, dengan tas tergantung di bahu kanannya. "Kenapa masih di sini?" tanyaku sembari mengunci pintu.
"Aku ikut."
"Hah? Kenapa?"
"Terserah aku kan. Ayo, pakai mobilku."
"Tapi aku bawa motor."
Harusnya aku tahu kalau Raka adalah tipe orang yang tidak menerima penolakan. Pemuda menawan itu segera menarikku keluar halaman, menungguku mengunci pagar dan kembali menyeretku ke mobilnya. Aku yang tidak bisa menolak dengan pasrah menghempaskan pantatku di kursi sebelah pengemudi. Kami melaju meninggalkan rumah dalam keheningan. Hanya beberapa menit sebelum Raka memecah keheningan dengan satu kata yang membuatku kembali berdesir.
"Maaf."
"Iya."
"Kamu memaafkanku kan?"
"Hmm..." Aku melempar pandang ke jendela di samping. Melihat bayanganku sendiri di kaca yang gelap. Bisa kulihat ada senyum kecil di wajahku yang panas oleh rasa senang. Sudah kubilangkan dia selalu membuat emosiku kacau. Amarah, senang, cinta, kecewa. Kalau seperti ini terus aku bisa gila.
Kami kembali terjebak dalam keheningan, hingga akhirnya Raka memutar musik. Misery oleh Maroon 5 terdengar dari speaker dan menguasai keheningan kami dalam perjalanan.
So scared of breaking it
That you won't let it bend
And I wrote two hundred letters
I will never send
Sometimes these cuts are so much deeper than they seem
You'd rather cover up
I'd rather let them bleed
So let me be
And I'll set you free
I am in misery
There ain't nobody who can comfort me
Why won't you answer me?
The silence is slowly killing me
Girl, you really got me bad
You really got me bad
I'm gonna get you back
I'm gonna get you back
Your salty skin and how
It mixes in with mine
The way it feels to be
Completely intertwined
Not that I didn't care
It's that I didn't know
It's not what I didn't feel,
It's what I didn't show
So let me be
And I'll set you free
I am in misery
And there ain't nobody who can comfort me
Why won't you answer me?
The silence is slowly killing me
Girl, you really got me bad
You really got me bad
I'm gonna get you back
I'm gonna get you back
You say your faith is shaken
And you may be mistaken
To keep me wide awake and waiting for the sun
I'm desperate and confused
So far away from you
I'm getting there, I don't care where I have to run
Why do you do what you do to me, yeah?
Why won't you answer me, answer me, yeah?
Why do you do what you do to me, yeah?
Why won't you answer me, answer me, yeah?
I am in misery
There ain't nobody who can comfort me
Why won't you answer me?
The silence is slowly killing me
Girl you really got me bad
You really got me bad
I'm gonna get you back
I'm gonna get you back