It looks like you're new here. If you want to get involved, click one of these buttons!
Copyright 2021 Queer Indonesia Archive. See our Privacy Policy. Contact us at [email protected]
Dengan menggunakan situs ini berarti Anda setuju dengan Aturan Pakai.
BoyzForum.com adalah situs anti pedofilia!
Comments
Aku tidak buta untuk menyadari bahwa Erga pun memiliki kebutuhan untuk memuaskan diri. Namun aku tetap menahannya untuk tidak menuntut lebih. Aku sadar aku menyiksanya. Sebagai sesama pria, aku tahu bagaimana perasaannya. Namun aku sendiri tahu bahwa tubuhku menolak sentuhan yang lebih itu jika dari Erga. Aku sendiri tidak mengerti, aku menginginkan sentuhan-setuhan ringannya yang lembut menggoda, namun aku menolak untuk melangkah lebih jauh.
"Aku akan marah padamu jika Derri menginap lagi hari ini." ucapnya, melempar senyumnya yang hangat.
Kami tengah di kamar, berbaring miring saling berhadapan. Ia menopangkan kepala di satu telapak tangan yang tertopang oleh siku. Tatapannya selalu teduh, membuatku tak henti tersenyum padanya. Jemariku menari di dada bidangnya yang terbalut kaos. Kuletakkan telapak tanganku di sana, meresapi kehangatan dan merasakan debaran jantungnya.
Satu tangannya yang lain, meraih tanganku di dadanya. Jemari kami bermain, saling mengait dan mengelus. Ia menautkan jemari, mendekatkan tanganku ke wajahnya dan mengecup mesra setiap ruas jemariku.
"Kau tahu," ciuman itu berpindah ke punggung tangan dan telapak tangan. Lalu berakhir di pergelangan tangan. "aku selalu tidak tahan untuk terus mengecupmu. Kau selalu tampak menggoda."
Wajahku terasa panas. Kalimatnya menyentuh, sungguh. Jika harus memilih untuk mengulang waktu, aku ingin bertemu Erga pertama kali dibanding Raka. Erga dengan pesonanya, kata mesra nan romantisnya, mampu menyentuh hati siapapun. Ia secara perlahan menancapkan cintanya di hatiku, menanamkan tunas yang kuharap bisa tumbuh dengan lebat, menumbangkan cintaku pada Raka.
Ia kembali memainkan jemari kami, namun tatapan itu berubah menjadi sendu.
"Ada apa?" tanyaku.
Ia tidak menjawab, tak berhenti menautkan jemari. Namun kemudian ia berbisik. "Boleh kicium?" Erga akan selalu meminta izin padaku untuk sebuah ciuman di bibir.
Aku mengangguk pelan, dan bibir kami menempel. Tanpa tuntutan, hanya saling menempel dalam waktu yang lama. Aku memejamkan mata ketika kulihat matanya terpejam. Semenit ia menarik diri, dan sekali lagi aku menangkap tatapan sendu itu tertuju padaku. Aku tentu khawatir.
Ia melepaskan tangannya dariku, mengubah posisi, berbaring telentang, tubuh dan seluruh fokusnya berada pada langit-langit kamar. "Aku melihatmu." ucapnya tanpa memandangku.
"Melihat apa?"
"Kamu dan Raka."
Dengan cepat aku bangkit dari tidur, menatapnya khawatir. Ia tidak menatapku, namun aku tahu pandangan terluka itu ada di kedua pasang mata karamelnya, dan aku tahu apa yang ia maksud. Aku merasa sangat tidak adil padanya. Aku buru-buru mendekatinya, meraih tangannya yang ia letakkan di dadanya. Menggenggamnya erat. Aku diam cukup lama.
"Aku tidak akan berbohong. Aku dan Raka memang melakukannya" aku menelan ludah, merasakan sakit saat kedua manik itu melirikku penuh luka. "seperti apa yang kamu lihat." Aku menunduk, menatap tangannya yang kugenggam semakin erat.
Aku menunduk "Aku minta maaf." bisikku dengan rasa bersalah dan bersungguh-sungguh.
Ia perlahan bangkit dan duduk, tanpa melepas tangannya yang kugenggam erat. Ia mengelus kepalaku, mengirimkan kenyamanan. Elusan itu bergerak ke pipi, mengangkat wajahku, dan yang kulihat adalah tatapan teduh dan senyumannya.
"Aku mengerti" ucapnya, membuat ku tenang.
Dan tanpa izin bibirnya telah menempel di bibirku. Untuk pertama kalinya, malam itu, kami berciuman lebih dalam.
Raka seperti yang telah dijanjikannya, ia menjadi lebih dekat dengan Julie. Bagai magnet dua kutub, berbeda namun melekat. Dimana ada Raka, disitu ada Julie, begitu pula sebaliknya. Aku tidak akan berbohong jika aku sendiri merasa kesal padanya. Awalnya, aku murka padanya, membecinya sepenuh hati. Betapa tidak, ia menyatakan diri bahwa ia menyayangiku, namun di hari berikutnya ia telah bergandengan bersama Julie, bertukar rayu dan tawa. Namun kusadari bahwa akulah yang menginginkannya, dan Raka mewujudkannya, seperti yang ia janjikan.
Raka dan aku, kembali ke hubungan kami yang pertama. Seolah tidak mengenal satu sama lain.
Saat itulah Erga berada di sana, di tempat yang tepat, di sisiku. Ia tanpa ragu, dari sejak awal kami mengikat hubungan, telah menghujaniku dengan kasih yang tidak pernah kudapatkan dari pemuda yang kuinginkan. Ia melakukannya dengan tepat, dalam jumlah yang tepat, tidak lebih. Memberikan apa yang kuinginkan dan yang tidak pernah kuminta. Cinta.
Terlepas dari permasalahan yang kami hadapi di awal hubungan kami, semuanya baik-baik saja.
Memasuki liburan semester, hubungan kami berkembang menjadi lebih baik. Perasaanku pada Erga perlahan tumbuh dengan sendirinya. Kami menghabiskan waktu bersama, bercumbu mesra, tanpa henti menghujankan kasih. Ia yang harus kuakui adalah pasangan yang cemburuan dan agak posesif. Namun entah kenapa aku menyukainya. Harus kuakui aku telah tenggelam dalam kasihnya.
Cafe, tempat pertama kami beradu pandang, tempat pertama kami saling berjabat, bertukar nama dan kata, menjadi tempat favorit kami. Nyaris setiap sore hari kami habiskan waktu di sana, bersenda gurau, atau bermain musik. Tidak peduli pada orang-orang yang menganggap kami aneh, atau pun bosan dengan wajah kami yang terus berada di panggung, nyatanya kami sangat menikmatinya. Ia bermain piano, melantunkan nada-nada indah. Dan aku bernyanyi, melantunkan lagu cinta.
All I knew this morning when I woke
Is I know something now, know something now I didn't before.
And all I've seen since eighteen hours ago
Is green eyes and freckles and your smile
In the back of my mind making me feel like
I just wanna know you better, know you better, know you better now
I just wanna know you better, know you better, know you better now
I just wanna know you better, know you better, know you better now
I just wanna know you, know you, know you
'Cause all I know is we said, "Hello."
And your eyes look like coming home
All I know is a simple name
Everything has changed
All I know is you held the door
You'll be mine and I'll be yours
All I know since yesterday is everything has changed
And all my walls stood tall painted blue
And I'll take them down, take them down and open up the door for you
I just wanna know you better, know you better, know you better now
I just wanna know you better, know you better, know you better now
I just wanna know you better, know you better, know you better now
I just wanna know you, know you, know you
'Cause all I know is we said, "Hello."
And your eyes look like coming home
All I know is a simple name
Everything has changed
All I know is you held the door
And you'll be mine and I'll be yours
All I know since yesterday is everything has changed
Come back and tell me why
I'm feeling like I've missed you all this time, oh, oh, oh.
And meet me there tonight
And let me know that it's not all in my mind.
I just wanna know you better, know you better, know you better now
I just wanna know you, know you, know you
All I know is we said, "Hello."
And your eyes look like coming home
All I know is a simple name
Everything has changed
All I know is you held the door
You'll be mine and I'll be yours
All I know since yesterday is everything has changed
All I know is we said, "Hello."
So dust off your highest hopes
All I know is pouring rain and everything has changed
All I know is a new found grace
All my days I'll know your face
All I know since yesterday is everything has changed
"Tadi itu luar biasa." Ia meraih pinggangku dan berbisik. Menghiraukan pandangan orang-orang. Kami menjadi lebih terbuka pada lingkungan sekitar. Erga lah yang mendorongku pertama kali. Ia adalah tipe pemuda yang tidak malu untuk mengumbar cinta. Namun ia masih sadar diri, jadi hanya sebatas sentuhan-sentuhan sederhana di kulit.
Aku tertawa pelan, dan kami turun ke meja kami. Ia telah duduk, menatapku bingung karena masih berdiri di pinggir meja.
"Aku harus ke toilet."
"Mau kutemani?"
"Tidak, tidak perlu."
Hanya sebentar, tidak cukup sepuluh menit aku sudah kembali ke meja. Namun beberapa meter langkahku terhenti. Di meja kami, di tempat di mana aku seharusnya duduk, ada Raka yang tengah menatap Erga dengan pandangan yang tidak kumengerti. Alisnya menegas, rahangnya mengeras, ekspresi yang kukenali sebagai amarah.
Aku terpaku di tempat, tidak berani mendekat. Sepertinya Raka tidak menyadari diriku berada di jarak yang hanya beberapa meter. Seluruh fokusnya pada Erga yang duduk membelakangiku. Aku hendak memberanikan diri melangkah, namun kuurungkan ketika kulihat kepalan tangan Raka mengeras. Aku tahu pemuda itu benar-benar marah, terlihat dari kedua manik karamelnya yang berkilat oleh amarah.
"Jangan berpura-pura tidak mengerti, Erga. Aku tahu kamu tidak menyukainya. Sedikit pun."
Siapa? Menyukai siapa? Aku tahu sejak dulu bahwa Raka dan Erga memiliki hubungan yang tidak kuketahui, namun Erga menolak untuk membicarakannya sekalipun. Berkali-kali pemuda itu mencari alasan atau mengubah topik untuk menghindari pembicaraan yang sensitif.
Kulihat punggung Erga bersandar di kursi. Dari belakang kulihat pergerakan tangannya yang menyilang di dada. Ia memasang pose menantang ketika sedang terancam. "Jangan sok tahu." tegasnya.
"Aku memang tahu."
Erga tak menjawab, dan Raka melanjutkan dengan desisan yang tegas dan mengancam "Kau membenciku atas apa yang kulakukan pada adikmu."
Erga mendekat ke meja, mencondongkan wajah pada Raka. "Jangan berbicara satu kata pun tentang adikku. Dan tahu apa kau tentang aku?"
"Sejelas yang kuingat. Kau straight"
Kau Straight. Erga straight?
"Dan kau mendekatinya untuk membalas dendam, merebutnya dariku seperti aku merebutnya darimu. Kau--"
BRAK! Aku tersentak ketika terdengar suara benturan keras yang diakibatkan oleh kepalan erat Erga membentur meja.
"Ya, aku merebutnya darimu agar kau menderita. Agar kau merasakan rasanya kehilangan yang pernah kurasakan. Kau pembunuh harus tahu rasanya kehilangan."
Aku-- apa?
Raka diam untuk sejenak. Pandangan amrahnya berubah menjadi sendu. "Kau harusnya tahu bahwa aku tidak membunuhnya. Kecelakaan itu tidak pernah kuharapkan."
"Diam!" seru Erga. Kulihat bahunya naik turun dengan cepat karena emosi.
Raka tertunduk. "Aku hanya ingin kau mengembalikannya padaku. Aku menyayanginya, mencintainya. Aku ingin kau berhenti bermain-main dengannya sebelum ia tahu dan terluka."
Saat itu hatiku tersentuh oleh ucapannya. Suaranya yang bergetar dan nadanya terdengar tulus membuat hatiku kembali tersentuh. Bunga yang dulunya layu dan merindukan air kini telah tersiram oleh ucapannya.
Erga mendengus geli. "Aku tidak akan mengembalikannya. Tidak sedetikpun. Kau tidak akan pernah mendapatkannya lagi. Aku akan membuatmu menderita, amat menderita."
Raka mengangkat wajah, menatap penuh luka. "Apa kau tidak sadar kau bisa melukainya?" bisiknya.
Erga diam, ia menunduk.
Saat itu, ketika fokus Raka di Erga perlahan menghilang, pandangan kami bertemu. Tubuhnya menegak, dan matanya melotot karena terkejut mendapatku terpaku beberapa meter dari mereka. Pandangannya meliar, menduga seberapa lamakah aku berdiri di sana dan apakah aku mendengar percakapan mereka atau tidak. Sedetik kemudian ia bangkit berdiri. "Aku pulang." ujarnya pada Erga yang masih menunduk tak menanggapi. Ia menatapku sejenak, melemparkan tatapan penuh kasih dan senyum tulus yang menusuk dadaku, dan aku menatapnya tanpa berkedip hingga ia menghilang dibalik pintu cafe.
Aku terpaku di tempat, beberapa detik untuk mencerna semua kalimat yang keduanya lontarkan dalam percakapan serius mereka. Perutku terasa ngilu, tubuhku terasa lemas, dan kepalaku terasa pusing oleh rentetan kenyataan yang menghantam. Raka menyayangiku tulus, dan Erga yang ternyata straight menjadikanku alat balas dendam atas kejahatan masa lalu yang Raka perbuat padanya. Membuatku berpikir ulang apakah Erga mencintaiku dengan tulus atau tidak. Lalu, apakah semua pandangan penuh kasih, perlakuannya, sentuhan dan ciuman penuh cintanya selama ini adalah bualan belaka?
Perutku terasa mual dan ingin muntah.
Kuputuskan untuk mendekat ke meja. Awalnya ragu, tanganku yang bergetar menyentuh rambutnya dan mengelusnya. "Kamu kenapa?" suaraku bergetar oleh rasa sakit. Aku menarik napas, menguatkan diri untuk tersenyum padanya, memandangnya sekali lagi dengan penuh kasih, meski aku sendiri mulai ragu.
Erga mengangkat wajah. Ia tersenyum dan memandangiku dengan pandangan yang selama ini ia berikan, pandangan penuh kasih, yang membuat hatiku terasa sakit oleh luka yang tanpa sadar telah ia ciptakan. Ia mengangkat tangan, meraih pinggangku dan mengelusnya. "Tidak, tidak ada apa-apa."
Aku tersenyum padanya dan duduk di kursi. "Sepertinya tadi aku melihat Raka." Aku memutuskan memberanikan diri untuk memulai bertanya, membuka kartu dengan perlahan. Aku harus tahu.
Sejenak pandangannya terkejut namun dengan cepat berganti. "Oh ya, kamu salah lihat. Tidak ada Raka di sini."
Bohong.
"Oh ya, mungkin aku salah lihat. Tapi sepertinya tadi beneran ada Raka."
Erga tertawa, ia meraih tanganku dan mengelusnya, yang nyatanya malah terasa aneh bagiku. Tidak seperti sebelumnya. Perutku terasa ngilu lagi. "Jangan bikin aku cemburu, dong."
Bohong.
Aku berpura-pura tertawa pelan. Aku kembali menatapnya. "Ngomong-ngomong, aku penasaran. Kamu dan Raka memiliki hubungan apa, sebenarnya?"
"Kami tidak memiliki hubungan apa-apa, sungguh."
Bohong.
"Kan kamu tahu aku tidak menyukainya."
Aku hanya mengangguk. "Kenapa sih kamu tidak suka Raka?"
"Karena dia dekat denganmu."
Bohong. Kenapa ia tidak jawab saja karena Raka adalah pembunuh?
"Oh ya?"
"Tentu, aku tidak ingin ada satupun orang yang boleh mendekatimu."
Bohong.
"Memangnya aku ini apamu?"
"Kamu kan pacarku."
Bohong. Kenapa ia tidak jawab saja kalau aku adalah alat balas dendamnya?
"Kau menyayangiku?"
Ia mengeratkan genggamannya, memandangiku seperti selama ini, dan tersenyum. "Tentu saja."
Bohong.
"Terima kasih." aku tersenyum padanya, berusaha melemparkan tatapan dan senyum kasih yang akhir-akhir ini kuberikan padanya.
Berusaha terlihat bahagia karena cinta, namun nyatanya hatiku telah hancur berkeping-keping.