It looks like you're new here. If you want to get involved, click one of these buttons!
Copyright 2021 Queer Indonesia Archive. See our Privacy Policy. Contact us at [email protected]
Dengan menggunakan situs ini berarti Anda setuju dengan Aturan Pakai.
BoyzForum.com adalah situs anti pedofilia!
Comments
@Tsunami sip ^^
@hygeia thanks ya udah menyukai cerita saya.
jalan ceritanya, suka suka suka
@Hato thanks
@new92 saya sengaja gak kasih nama. thanks udah suka.
Akhir-akhir ini tidur menjadi hobi baruku.
Aku kembali terbangun setelah tanpa sadar tertidur. Hal yang pertama kali kurasakan adalah rasa hangat di punggung dan perutku. Aku mengerang, sedikit menggeliat dan tubuh di belakangku agak tersentak. Aku menyadari bahwa aku tertidur dengan menyandarkan tubuhku pada Erga yang memelukku dari belakang. Posisi yang tidak kusangka sangat nyaman. Menyingkirkan meja ke samping, kami duduk di lantai bersandar pada bantal sofa yang ditumpuk. Awalnya kupikir posisi duduk yang ditawarkan Erga ini aneh dan memalukan, namun nyatanya aku tidak ingin sedetikpun berpindah setelah pemuda itu merengkuhku dari belakang.
"Kau sudah bangun?"
Aku menolehkan wajah, mengangguk padanya dan mengecup pipinya singkat. Pemuda itu mampu membuatku ketagihan dengan segala sentuhan sederhana seperti itu, ciuman di kening, pipi atau hanya sebuah pelukan.
"Berapa lama aku tidur?" tanyaku sambil meraih kedua tangannya untuk memelukku lebih erat. Sungguh aku tidak ingin sedikit pun ia melepas pelukannya dariku. Tubuhku yang lebih kecil dan kurus dan tubuhnya yang tegap dan gemuk namun dilapisi otot, bagiku terasa amat pas saat kami berpelukan. Seolah kami adalah sepasang puzzle.
"Hanya beberapa jam?" ia mengecup pelipisku.
"Sekarang jam berapa?"
"Jam 4 sore."
"Sore?"
"Ya, kenapa?"
"Kamu memelukku selama 5 jam lebih?" aku melotot padanya. "Kamu gak apa kan?" aku, jujur, khawatir. Kami tidak berubah posisi selama 5 jam lebih, tentu Erga akan merasa lelah mengingat dia menjadi tempat punggungku bersandar.
Erga tertawa. "Tidak. Jika itu untukmu, aku tidak akan lelah. Aku juga sempat tertidur tadi. Lagipula..." ia mengangkat lengannya ke dadaku, memelukku lebih erat, menarikku lebih dalam ke dalam pelukannya, membagi kehangatannya padaku dan juga dariku untuknya. Ia mengecup pelipisku lagi dan tersenyum. "...ini sangat nyaman, bukan?"
Aku menunduk tak berani menatap wajahnya yang tampak menawan. Wajahku memerah. Erga memiliki pesonanya sendiri yang membuatku tertarik.
"Kita belum makan siang." buru-buru aku mengalihkan topik.
Erga menyandarkan dagu di pundakku, "Mau makan apa? Kubelikan." napasnya menggelitik kulit leherku.
"Nasi goreng?"
"Oke."
Erga melepaskan rengkuhannya dan beranjak pergi setelah berkata "Tunggu di sini.". Ia meraih kunci mobilnya di meja dan pergi. Aku sendiri meregangkan otot, mematikan TV yang masih menyala dan menuju kamar. Aku butuh mandi saat ini.
Aku turun dari kamar dengan pakaian yang berbeda, celana pendek selutut dan kaos abu-abu. Erga sudah berada di bawah tangga, menatapku dengan senyum yang tak lepas dari wajahnya. Ia meraih tanganku, menggenggamnya lembut. Ia menarikku, membawaku ke ruang tengah. Di meja sudah ada sepiring nasi goreng yang menggunung.
"Kok cuma sepiring?"
"Kan biar romantis, sepiring berdua." kekehnya dan segera kupukul bahunya.
"Sok romantis."
"Biarin."
Akhirnya, kami duduk berdampingan, melantai di meja ruang tengah yang rendah. Menikmati sepiring nasi goreng yang menggunung. Satu suapan ke mulutku, satu suapan ke mulutnya, begitu terus secara bergantian. Sejak ia menyentuh tanganku, sedetikpun ia tidak melepasnya. Menautkan jemari kami dengan erat, berbagi kehangatan di setiap selanya. Aku agak kikuk karena matanya tak pernah lepas dariku, menghujaniku dengan pandangan cinta yang mampu membuat siapapun bertekuk lutut.
Ada rasa bahagia yang membuncah saat menerima seluruh pandangan itu, pandangan yang hanya ditujukan untukku, bukan orang lain. Pandangan yang tidak pernah kudapatkan dari orang yang sempat kucintai. Mengingat sosoknya menyadarkanku akan rasa bersalah yang mengganjal di tenggorokan. Rasa bersalah pada Erga yang kini masih memandangku penuh cinta.
Aku membalas tatapannya, tersenyum padanya, berusaha mengirimkan seluruh rasa kasih yang tersisa untuknya. Betapa kejamnya aku, menjadikan dirinya sebagai pelarian. Kecewa pada Raka, aku melemparkan diri padanya. Hanya karena tidak mendapatkan kenyamanan yang kucari, dengan mudahnya aku mencarinya ke sumber lainnya. Dia mencintaiku dengan penuh kesungguhan, aku malah masih ragu akan perasaanku padanya meski telah menerimanya. Harusnya pemuda itu tahu jelas bahwa ketika aku menerimanya, perasaanku padanya masih tidak bisa disebut cinta. Aku sangat menyedihkan. Kejam sekaligus murahan, begitulah kuanggap diriku kini.
"Hei, ada apa?" Suaranya yang lembut berbisik di telinga.
Tidak kusadari tanganku menggantung di udara saat menyuapinya. Ia menatapku bingung, tangannya mempererat genggaman tanganku. Aku menunduk, meletakkan sendok di piring yang kini menyisakan setengah nasi goreng.
"Aku kenyang."
Aku tahu, ketika ia tidak tertawa, aku tahu ia menyadari ada sesuatu yang tidak beres padaku. Kenyang bukan menjadi alasan yang terdengar tepat saat ini. Tapi Erga tidak bertanya lebih jauh. Ia mengelus kepalaku, berkata dengan lembut "aku juga." yang membuat hatiku tersentuh. Lihat betapa pengertiannya ia? Betapa bodohnya aku karena sampai kini aku masih belum mencintainya. Aku merasa diriku semakin kejam padanya.
Namun kata orang cinta tumbuh seiring berjalannya waktu, bukan? Dan kupastikan akan kubalas sebanyak cintanya yang telah ia hujamkan padaku suatu saat nanti.
Waktu menunjukkan pukul 5, dan kami betah duduk di depan TV menikmati acara komedi sore dengan posisi duduk yang sama seperti sebelumnya. Ia kembali merengkuhku dari belakang dan aku menyandarkan punggungku di tubuh tegapnya, berbagi kehangatan yang dapat kami rasakan. Ia memeluk perutku, menautkan jemarinya di sana, sementara tanganku menggenggam tangannya. Ia meletakkan dagunya di atas kepalaku, bisa kurasakan hembusan napasnya membelai rambutku.
"Gak menghubungi Derri?" getaran di kepala membuatku merasa geli.
"Hm?"
"Derri."
"Kenapa dengan Derri?"
"Katanya ibumu menyuruh Derri menemanimu."
"Oh iya." Aku buru-buru melepaskan tangannya dari perutku dan beranjak untuk mengambil ponsel di meja yang sudah terpinggirkan ke sisi ruangan. Namun tertahan ketika ia kembali memelukku erat, menarikku kembali hingga terjatuh terduduk, membentur tubuhnya, dan mengaduh. Aku menoleh padanya, terkejut sekaligus menahan tawa saat melihat ekspresi tidak suka dari wajahnya yang malah terlihat lucu.
"Kamu beneran mau menghubungi Derri."
"Iya, makanya lepas." tapi pemuda itu malah semakin mempererat pelukannya.
"Gak boleh."
"Masa gak boleh sih?"
"Masa aku mau ngizinin kamu dan Derri berduaan di rumah?"
"Astaga, Erga. Kami kan cuma sahabat. Tidak lebih."
"Tapi tetap saja, kalian cuma berdua, bagaimana kalau nanti kamu malah jatuh cinta padanya? Bagaimana kalau selanjutnya kalian malah-- Aduh!"
Aku segera mencubit pinggangnya, menghentikan cerocosannya yang makin menjadi. Erga hanya tertawa tanpa membalas, begitulah ia. Udara dari tawanya menggelitik kulit leher dan telingaku. "Aku hanya bercanda" ucapnya dan menambahkan "Kalau begitu aku yang nemenin ya."
Buru-buru aku menjawab "Tidak."
"Kok tidak? Kenapa Derri boleh?" Dan sekali lagi aku harus menahan tawa saat melihat ekspresi lucu wajahnya yang tidak menyukai jawabanku.
"Tidak malam ini. Besok saja deh. Aku... belum siap." bukan berarti aku mengharapkan aku dan Erga untuk melakukan hal lebih di malam esok. Tapi aku hanya merasa bahwa aku tidak ingin bersamanya dulu malam ini. Kami bahkan baru jadian tidak sampai sehari.
Erga tertegun pada jawabanku, lalu tersenyum dan mengecup pipiku. "Oke, aku bisa menunggu kapanpun untukmu."
Jadi aku menghubungi Derri, beruntung pemuda itu bisa menemaniku malam ini. Pemuda itu akan datang setelah jam 7 malam. Aku dan Erga kembali menikmati kehangatan yang saling terbagi, menikmati acara yang tayang di TV.
HIngga akhirnya saat malam menjelang, sebelum jam 7 aku menyuruh Erga untuk pulang. Meski sebelumnya ia menolak. Namun aku memaksanya, karena akan terlihat aneh jika Derri menemukan Erga di rumahku. Aku takut dia berpikir yang aneh-aneh.
Aku mengantar Erga ke depan, dengan tangan yang saling terhubung. Kami berhenti di ruang tamu. Ia menghadap padaku, dan aku bisa melihat wajahnya yang agak merona. Matanya bergerak liar untuk sesaat namun berikutnya memaku mataku.
"Hei,"
"Hm?"
"Boleh kucium?"
"Kenapa pakai izin sih?"
"Di bibir."
Aku terkekeh pelan. Untuk itukah? Betapa lucunya pemuda itu. Aku mengangguk dan menjawab "Tentu." Namun sebelum ia menciumku, aku bergerak maju lebih dulu, mencium bibirnya singkat dan membuatnya terpaku. Aku mundur, dan tersenyum padanya. Betapa lucunya Erga dengan wajahnya yang terkejut seperti itu.
Ketika Erga kembali pada kesadaran, ia tersenyum. Erga mendekat, agak menunduk. Untuk kedua kalinya kami menyatukan bibir. Hanya ciuman yang singkat, saling menyentuh, tanpa tuntutan lebih. Genggaman tangan kami mengerat, menunjukkan bahwa kami berdua menikmatinya. Ia menarik diri, memperlihatkan rona merah di wajahnya, sama sepertiku.
Sekali lagi ia mendekat, mengecupku dikening. "Aku pulang." bisiknya yang kubalas dengan anggukan. Aku mengantarnya ke luar rumah setelah melepas genggaman tangan kami, saling melambaikan tangan ketika ia telah berada di dalam mobil. Ia pergi menjauh dari rumah, dan aku menatap kepergiannya dengan jantung yang berdebar.
Sepertinya malam ini aku akan bermimpi indah.
*pukpukRaka* Sabar ya Ka! *peluk*