BoyzForum! BoyzForum! - forum gay Indonesia www.boyzforum.com

Howdy, Stranger!

It looks like you're new here. If you want to get involved, click one of these buttons!

Selamat datang di situs Boyzforum yang diarsipkan oleh Queer Indonesia Archive. Forum untuk komunitas gay Indonesia yang populer ini didirikan pada tahun 2003, dan ditutup pada tanggal 15 Desember 2020.

Forum ini diabadikan untuk kepentingan sejarah. Tidak akan ada konten baru di forum ini. Silakan menikmati forum ini sebagai potongan dari sejarah queer Indonesia.

When The Love Falls

245678

Comments

  • Insya Allah update besok. baru 8 Lembar ms word. MAaf jika lama, soalnya lagi UAS. ini juga nyempatin buat nulis...
  • Hmmm ... utamain UAS dulu aja bro, klo update bs ntaran aja klo uda kelarr ... :)
  • Ketika cinta datang terlambat, itu namanya bukan
    cinta… melainkan realita… realita tak berperi…

    ***
    Chapter 1 : De ja vu

    Aku melihat angka 1 disudut atas beranda
    facebook, tepatnya di privat messege. Karena
    penasaran akhirnya kuarahkan kursor menuju
    gambar itu lalu meng-kliknya.

    Reni :

    Buat kakak2 alumni, dmhon kehadirannya untuk
    menjadi panitia LDKS SMP pda hari Sabtu, 2
    november 2014. Trimakasih…

    Diklat rupanya. Huhhh… berarti besok. Waktu
    memang berjalan begitu cepat. Padahal, rasanya
    baru kemarin aku lulus SMP dan sekarang sudah
    melaksanakan UAS pada semester ganjil. Memang
    statusku kini bukan berada di kelas 3. Meskipun
    masih di kelas 1, 6 bulan rasanya sangat sebentar
    sekali bagiku. Tapi aku tidak akan pernah menyesali
    selama 6 bulan terakhir ini karena aku mempunyai
    seorang sahabat, namanya Ardar dan Farid. Ardar
    satu kelas denganku, yakni berada di IPS 1.
    Sedangkan Farid berada di Ipa 4, namun kami
    seorganisasi di kepengurusan OSIS. Setiap pulang
    sekolah aku selalu mengantarkan Farid pulang ke
    rumahnya, mungkin itulah yang menyebapkan aku
    dan dia dekat. Pernah suatu hari Farid bertanya,
    “Jar, kenapa kamu melamun? Kayak kesambet aja,
    lu!”

    “Gak kenapa-napa kok, Rid,” balasku dengan raut
    wajah baik-baik saja yang bisa dibilang, sedikit
    dipaksakan. Karena entitas kedekatan kami bisa
    dibilang cukup baik, Farid terus bertanya tentang
    masalahku, namun hanya kujawab, “Aku gak mau
    membebanimu dengan masalahku.” Akhirnya Farid
    mengerti dan kedekatan kami pun semakin baik
    dengan dia sering bercerita tentang keluarga,
    pacar, atau masalah kelasnya. Diakhir cerita, aku
    selalu memberi nasihat konyol lalu diselingi candaan
    garing. Tapi syukurlah, karena dengan begitu, aku
    semakin dekat dengan dia.

    Seperti yang ditanyakan Farid diatas, kebiasaanku
    di sekolah adalah melamun karena dengan begitu
    aku bisa berfantasi liar tentang angan-anganku
    mempunyai seorang pacar. Aku ingin sekali
    berpacaran dengan Farid, membayangkan gimana
    kelak nanti jika kami berdua menikah lalu
    mempunyai anak, hingga akhirnya bahagia melihat
    anak kami berdua tumbuh besar. See? Jelas bukan
    bahwa angan-anganku itu tidak mungkin terwujud.
    Bagaimana mungkin laki-laki menikah dengan laki-
    laki lagi bisa mempunyai keturunan. Maka dari itu,
    lebih adil jika aku berfantasi saja daripada aku gila
    menggapai mimpi liar yang sangat mustahil menjadi
    kenyataan. Kadang juga objek yang menjadi
    fantasiku bukan Farid, tapi sahabat keduaku yang
    ada di kelas. Yap, namanya Ardar. Aku tau dengan
    berfantasi seperti ini membuatku tampak payah
    dan menyedihkan. Tapi apa boleh buat? Mempunyai
    orientasi seperti ini tidak akan ada banyak pilihan.
    Dan pilihan itu jauh membuatku yakin, bahwa yang
    namanya pilihan pasti ada jalan keluarnya. Meskin
    hanya sedikit, aku akan mencobanya. Pilihanku saat
    ini, aku ingin terus dekat dengan mereka berdua
    dan jika mungkin, aku akan menembaknya. Klasik?
    Yah sangat klasik sekali!

    “Fajar, kamu belum pulang?” aku melihat Riska,
    sekertaris kelasku diam di depan pintu. Aku
    menggelengkan kepala untuk menjawabnya.

    “Kamu sendiri kenapa belum pulang?”

    “Aku habis pelatihan dasar pramuka. By the way
    kamu gak takut diam di kelas sendirian?” balasnya
    seraya duduk di pinggirku. Lagi, aku
    menggelengkan kepala untuk menjawabnya.
    Riska ini adalah pakar sosiologi, jika seseorang
    bertanya tentang sosial, maka dialah ratunya.
    Bulan kemarin aja dia terpilih—bersama satu orang
    kelas 3—menjadi perwakilan SMA untuk mengikuti
    olimpiade sosiologi. Namun namanya juga manusia,
    dibalik kelebihan pasti ada kekurangan. Kekurangan
    Riska hanya 1, yaitu lemah di matematika! “gimana
    gath-nya? Seru gak?” imbuhnya pelan, mengulik
    tentang kepergianku di gath Indonesia Fingerstyle
    Guitar Comunity yang dilaksanakan kemarin.

    “Lumayan seru. Kebanyakan membawa lagu
    aransemennya Yiruma, Masaaki, sama Sungha
    Jung.”

    “Ada Fajar?” serempak aku dan Riska menoleh ke
    arah pintu. Disana ada Farid dengan senyum sendu
    mencadunya yang selalu membuat bibirku ikut
    tersenyum. “Eh kalian lagi pacaran ya? Sory
    ganggu.” Dia berbalik sambil ketawa. Sontak aku
    dan Riska misuh-misuh secara impulsif (Refleks).

    “Aku pulang dulu, ya, Ris,” pamitku.

    “Yeeee! Terus gue ditinggalin sendirian gitu?”
    Riska pergi menyusul sembari menubruk bahuku,
    ngambek!

    “Ardar sudah pulang?”

    JLEB!

    Kalimat itu sedikit membuat hatiku miris hingga
    angan-anganku pun dengan tidak sopannya terbang
    menuju hari kemarin, dimana Farid mencurahkan
    seluruh isi hatinya padaku. Jujur saja saat ini aku
    tidak mau bertemu dengan Farid. Bukan karena
    aku benci atau ingin menenangkan diri—walaupun
    sebenarnya ingin—tapi aku takut Farid bertanya
    tentang mata sembab yang ditanyakan teman-
    temanku tadi pagi di kelas. Dan ternyata memang
    terbukti. Perkiraanku salah bahwa mata sembab ini
    akan sembuh oleh waktu, toh pada akhirnya dia
    bertanya juga. Sekarang, aku harus menjawab
    gimana?

    ”Anu… mungkin ada yang hinggap dimataku ketika
    tidur semalam.” Farid menggumam gak jelas.
    Syukurlah dia tidak membahas mata ini lebih jauh.
    ”Mau sama aku atau kamu nyupirnya?”

    “Sama kamu aja, Jar. Males nyupir,” sahutnya.
    Baiklah kalau begitu.

    Di sepanjang perjalan tidak ada yang bicara baik
    aku yang memulai ataupun Farid. Jujur saja
    keadaan ini sedikit menggangguku hingga akhirnya
    aku yang memulai pembicaraan. Aku bertanya
    kepada dia soal kemarin, tentang kenapa dia
    mempercayakan rahasianya kepadaku padahal kami
    berteman baru 6 bulan. Jawabannya kurasa simpel,
    aku orang baik dan dapat dipercaya, begitu
    katanya. Karena belum puas dengan jawaban
    seperti itu, aku terus bertanya hingga akhirnya dia
    jujur. “Aku tidak pernah menemukan orang
    sepertimu, teman yang selalu menganggap sahabat
    adalah segalanya. Yang kulihat, kamu perhatian
    kepadaku, itu sudah cukup membuktikan bahwa
    kamu orang yang dapat dipercaya. Setiap saat
    kamu selalu mengantarku pulang, jika ada masalah
    kamu selalu siap menjadi tempat curhat, ketika aku
    ada masalah kamu siap membatu, dan yang bisa
    kulakukan sekarang hanya bisa percaya kepadamu.
    Itu saja. Dan sekarang jika aku yang bertanya, apa
    yang akan kamu lakukan jika ada orang sepertimu
    memperlakukanmu seperti kamu? Maaf bahasanya
    kurang enak di dengar.” So, what? Memangnya apa
    yang akan kulakukan? Benar kata Farid, aku juga
    akan percaya sama orang itu. Tapi, jika aku boleh
    bertanya kembali, apa yang akan dilakukan oleh
    Farid jika mengetahui aku melakukan semua itu
    karena aku cita sama dia?

    Untungnya aku tidak munafik bahwa aku juga ingin
    bersahabat dengan dia. “Tapi apakah kamu tau?”
    lanjutnya, ternyata masih ada yang ingin dia
    sampaian. “Kuharap kamu tidak akan menjauhiku
    setelah ini. Hmmm… sebenarnya, aku pernah
    menyukaimu, Jar.”

    What!!

    Hampir saja aku menabrak mobil di depanku karena
    kaget. “Tapi aku sadar, sahabat lebih penting
    daripada pacar. Tidak mungkin aku menjadikanmu
    sebagai seorang kekasih karena hal itu akan
    membuat pertemanan kita menjadi kaku atau kamu
    menjadi ilfeell . Aku hanya bisa mita maaf jika
    kamu merasa menjadi alat namun percayalah, jika
    kamu ada masalah maka cerita kepadaku. Selagi
    aku bisa membantu, maka akan kuusahakan.”
    Mendengar semua itu ingin rasanya aku menangis
    dan berteriak. Kenapa aku tidak peka?!
    Seharusnya, jika dia gay dan aku gay, setidaknya
    aku bisa merasakan gerak tubuhnya, tatapan
    matanya, bahkan aura ketertarikannya. Apakah
    karena Farid dengan mudahnya mencintai orang lain
    sehingga dia tidak menunjukannya kepadaku?
    Apakah semudah itu?! Atau, kenapa dia tidak bisa
    sadar aku mencintai dia? Padahal kita sama!
    Mungkin pertanyaan kedua bisa kujawab karena aku
    sendiri dengan mudahnya membagi cinta untuk
    Farid dan Ardar. Dan sekarang apakah aku harus
    jujur bahwa aku juga mencintainya? Ibaratnya,
    kenapa harus mencari yang lain padahal sudah ada
    yang bersedia. Yah, sudah kuputuskan aku akan
    jujur. Harus!

    “Fa…”

    “Aku sangat… eh? Tadi kamu mau bicara apa?”
    sahutnya setelah memotong ucapanku.

    “Nggak, kamu aja duluan, Rid.”

    “Aku cuman mau berkata bahwa aku sangat
    bersyukur telah mengenal kamu yang mau
    menerima orientasiku. Aku juga mau bersyukur
    karena Tuhan telah mempertemukanku dengan
    Ardar. Jangan takut, Jar, karena dengan Tuhan
    menghadirkan Ardar dikehidupanku, rasa cintaku
    kepadamu tidak bersisa lagi. So, kamu jangan takut
    kepadaku ya. Aku tidak akan ngapa-ngapain kamu,
    kok. Keep calm … oke?” dia tertawa terbahak
    setelah berkata seperti itu. Aku pun demikian,
    menertawakan betapa lucunya hidup ini. Dari
    suaranya aku bisa merasakan bahwa dia sangat
    bahagia bertemu dengan Ardar. Terbukti juga
    betapa antusiasnya Farid jika aku menceritakan
    Ardar ataupun dia yang bercerita. Lalu pembuktian
    terakhir, kugerakan kaca spion motorku sedikit ke
    atas untuk melihat wajahnya. Yah, dia sangat
    bahagia sekali. Senyum sendu mencadunya semakin
    jelas dan aku sangat yakin bahwa dia bahagia
    dengan keadaannya. Membuatku mau tak mau
    bertanya, ‘Kenapa Farid bisa sebahagia itu?
    Bukannya belum tentu cintanya akan diterima oleh
    Ardar?’ lagi, pertanyaan itu sudah kutemukan
    jawabannya. Jika aku ada dalam posisi Farid, maka
    aku juga akan bahagia telah menemukan orang
    yang bisa dipercaya, mau menerima orientasi yang
    masih dianggap tabu, lalu ada orang yang bisa
    membuat kita jadi semangat untuk menjalani hidup.
    Sedikit iri, sih. Tapi aku harus kuat dan ingat akan
    janjiku. Aku akan mendukungmu, apapun itu.
    Setelah sampai depan rumah Farid, aku tersenyum
    ramah karena disana ada ibunya Farid sedang
    menyapu halaman.

    “Gimana kabarnya, nak?”

    “Alhamdulilah baik, bu. Ibu sendiri gimana?”
    tanyaku.

    “Ibu juga baik alhamdulilah. Farid kamu udah bilang
    ke Fajar belum?”

    Alisku mengernyit bingung, “Oh iya lupa,” sahut
    Farid sambil menempelkan tangannya di kening.
    “Haha, jadi gini, Jar. Ibu dan papa nanti sore akan
    pergi ke Garut. Nah jika kamu bersedia, mau gak
    kamu nginep di rumahku untuk sementara waktu?”
    Jelas, aku pasti akan menjawab iya.

    “Emang ibu akan berapa hari disananya?” tanyaku senang.

    “Sebentar kok, palingat dua hari.” Aku manggut-
    manggut. “Kamu bersedia kan?”

    “Ya, bu, Farid bersedia.”

    “Hatur nuhun…,” jawabnya menggunakan bahasa
    sunda.

    “Yo, Jar ke kamarku,” ujar Farid sambil jalan.

    “Permisi, bu…” Aku mengikuti Farid menuju
    kamarnya yang berada di lantai atas. Sejujurnya,
    baru kali ini aku masuk ke rumahnya. Biasanya jika
    aku mengantar Farid hanya sampai depan rumah
    saja.

    Di sepanjang dinding aku melihat hewan terbang
    yang sudah diawetkan, lukisan pemandangan yang
    kuyakini hasil karyanya Farid, lalu ada beberapa
    foto keluarga. Aku sedikit tertarik kepada lukisan
    abstrak yang letaknya berada di tengah-tengah
    sekumpulan hewan laut. Lukisan itu seperti cupid,
    tapi sayapnya seakan dibuat transparan. Sungguh,
    sangat indah! Tapi kenapa sayapnya dibuat
    transparan ya?

    “Lukisan ini karya kamu, Rid?” ujarku penasaran.

    “Sebenarnya bukan, sih. Lukisan itu hasil tiruanku
    ketika aku kelas 3 SMP. Aku suka dengan
    gambarnya, lalu ku jiplak deh. Gambar aslinya lebih
    keren dari ini loh.”

    “Benarkah? BTW sejak kapan kamu suka
    ngegambar? Kok aku belum tau?” aku bisa tau
    lukisan yang ada di dinding karyanya Farid karena
    dibawahnya ada tulisan nama dia.

    “Sejak SD, sih. Awalnya aku nge gambar manga.
    Tapi karena bosan nge gambar manga terus,
    akhirnya aku belajar nge gambar pemandangan
    walaupun kadang kala benda seperti kursi.
    Tergantung mood.”

    Ketika aku memasuki kamarnya, kesan pertama
    yang bisa kutangkap adalah : WOW! Sumpah, kamar
    Farid luas sekali! Bukan karena luasnya aku
    terkejut, tapi karena disetiap dindingnya
    terpampang lukisan indah hasil cipta dia sendiri.
    Hanya ada satu dinding yang datar, kosong tanpa
    gambar. Namun ketika mataku beralih pada lukisan
    dekat dengan jendela, hatiku kembali bergetar,
    mood- ku kembali buruk karena lukisan itu sangat
    familiar sekali bagiku. Yah, lukisan itu adalah wajah
    Ardar bersama dengan tubuh lengkapnya. Dalam
    lukisan itu, Ardar sedang menatap horizon langit
    yang begitu luas diangkasa raya dengan tangan
    tersampir disaku celana. Bibirnya tengah
    tersenyum manis sekali. Yang membuat hatiku
    seperti dirajam oleh jarum bukan hanya karena
    realita Farid tidak mencintaiku lagi, tapi juga
    karena aku merasa iri. Aku juga ingin dilukis
    sebagai tanda bahwa aku adalah sahabatnya.

    “Bagus gak gambarnya, Jar?” aku sedikit
    tersentak dari lamunan.

    “Tentu. Siapapun yang melihat pasti akan
    mengatakan hasil karyamu indah sekali. Emang
    sengaja dibuat hitam putih, kan?”

    “Begitulah. Aku menyukai warna hitam dan putih
    atau dalam kata lainnya adalah warna abu-abu.
    Kamu tau? Kebanyakan dari kaum gay memberi
    label dunianya sendiri adalah dunia abu-abu.
    Perumpamaannya memang tepat menurutku.
    Ibaratnya, laki-laki adalah hitam dan perempuan
    adalah putih. Sedangkan kaum gay tidak hitam,
    tidak juga putih. Tapi jika disatukan akan menjadi
    warna abu-abu. Kamu mengerti?”

    Yah aku sangat mengerti, karena aku juga
    menyukai warna itu. Memang aku tidak bisa
    memberi perumpamaan, tapi warna abu-abu sangat
    sakral bagiku. Kenyataannya jika kita melihat
    album foto hitam putih, maka suasana hati kita
    secara otomatis akan berbeda atau sedikit
    melodrama. Seperti menggambar potret masa lalu
    yang pernah terpatri oleh seseorang dan potret itu
    adalah sebuah kenangan yang—mungkin—terlalu
    manis untuk diingat dan terlalu pahit untuk
    dilupakan. Potret sering digambarkan dengan kisah
    masa lalu, foto bergaris, atau sebuah cerita. Jelas,
    potret itu ada pasti terbentuk sebuah makna.
    Siapapun ingin menjadi bagian dari potret hidup
    seseorang, begitu pun denganku. Aku ingin sekali
    menjadi orang yang berarti bagi hidup seseorang.
    Dalam kasus ini, aku ingin menjadi potret bagi
    Farid dan Ardar, kedua sahabatku.

    Aku berjalan menuju lukisan Ardar, mencoba
    melihatnya lebih dekat lagi. “Gimana kamu bisa
    melukis wajah Ardar sesempurna ini?”

    “Jangan berlebihan, Jar. Aku tidak sesempurna itu
    kok. Aku nge gambar dibantu oleh foto asli dia
    yang kuambil secara sembunyi-sembunyi.”

    Arrrgghh!! Sebal!

    Kuhempaskan tubuhku ke kasur lalu memejamkan
    mata. ‘Ingin rasanya sejenak nyangkoyod dan
    nyurulungin cai panon, sungguh sangat lungse hati
    dan awak ini!’ batinku.

    “Eh iya, kenapa kamu gak ikut ke garut? Bukannya
    mulai besok udah hari libur ya?” ketika aku
    bertanya seperti itu Farid senyum-senyum sendiri.
    Jangan-jangan…

    “Niatnya aku juga pengen ngajak Ardar untuk
    nginep disini, tapi kamu yang ngajak jangan aku.
    Soalnya kami berdua belum terlalu akrab.” Tuh kan,
    pasti dia akan mengajak Ardar. Well, sebenarnya
    aku juga senang jika Ardar ada disini, pasti akan
    lebih seru. Berkat dia aku jadi bisa ngelucu
    walaupun sangat garing. “Ayolah, please ajak
    dia…,” pintanya, manja!

    “Iya iya, bawel!”

    Aku mengeluarkan HP-ku di saku celana lalu
    berkutat sebentar di layar monitor mencari nomer.
    Setelah kutemukan, kudekatkan menuju telinga,
    menunggu jawaban di sebrang sana.

    “Halo…”

    “Halo, bu…”

    “Loh kok ibu sih!” protes Farid. Aku melototi Farid,
    menyuruhnya jangan berisik.

    “Ya ada apa, Nak? Kok kamu belum pulang?”

    “Anu… Fajar mau nginep di rumah temen. Boleh,
    kan?”

    “Kamu itu punya rumah sendiri, nak. Jangan terlalu
    sering nginap di rumah orang, nanti dikiranya kamu
    gak punya rumah lagi.”

    “Tapi bolehkan?”

    “Iya iya, jangan nakal!”

    “Ibu kamu ya?”

    “Iya, soalnya aku belum ijin.” Setelah menelfon ibu
    aku mencari kontak Adar lalu menelfonnya. Sengaja
    ku tekan speaker biar Farid puas.
    “Halo Jar ada apa?”

    “Kamu ada acara gak hari ini? Nginep yuk, di
    rumahnya Farid. Refresing sehabis UTS nih…”

    “Euh, kamu nelfonnya telat. Aku udah ada acara
    sama kakak naik gunung Mahameru.”

    “Hah? Mahameru? Serius?”

    “Haha, bercanda. Aku ada acara camping di outbone
    dekat dengan KPSBU. Sorry ya mungkin lain kali.”

    “Oke gak masalah. Yaudah selamat untuk
    campingnya, Dar.”

    Aku menutup telfon sembari
    melihat raut muka Farid. For God sake! Mukanya
    itu… “HAHAHAHAHAHA!”

    ***

    “Ayolah, Rid jangan galau gitu. Masih ada hari esok
    kok,” hiburku. Sejak insiden tadi Farid menjadi
    tidak bersemangat, bahkan makan pun dia gak
    mau. Jiah, kayak sinetron aja. Terus sekarang aku
    harus sok sedih lalu pura-pura nahan lapar gitu?
    Meskipun kalau dipikir-pikir kasian juga sih. Pasti
    dia sudah berfantasi liar jika harapannya terwujud
    atau paling nggak dia akan merasa senang. Huhh…
    apa boleh buat? Bagian dari hidup adalah
    kenyataan yang tidak sesuai dengan harapan.

    Aku beringsut mengambil gitar di pinggir televisi.
    Pada awalnya aku memainkan fingerstyle kereta
    malam, tapi entah kenapa jariku berubah memetik
    lagu nostalgia aransemennya Sungha Jung. Lagu ini
    sangat slow dan terdengar menyedihkan. Sesuai
    dengan judul, meskipun tidak ada lirik pendengar
    pasti akan tau bahwa lagu ini dikhususkan untuk
    mengingat masa lalu baik kelam ataupun
    menyenangkan. Setiap melodi yang dihasilkan
    menurutku berhasil masuk ke dalam hati, jiwa, dan
    raga. Sama halnya ketika aku mendengar sound
    track Naruto Sadness and Sorrow, kesan sedih
    dalam setiap nadanya pasti akan menyentuh.

    “Kamu sengaja hah membuat suasana hatiku
    semakin kacau!?” umpatnya sedikit keras sambil
    meletakan mangkuk mie yang sudah kosong. Aku
    menggelengkan kepala melihat tingkah konyolnya.
    Di kepengurusan OSIS Farid terpilih menjadi seksi—
    kok sedikit geli ya bilangnya—keamanan karena dia
    mempunyai tampang sangar lalu ditunjang dengan
    badan tegap. Sedangkan aku terpilih menjadi seksi
    —lagi, aku merasa geli bilangnya—kesenian karena
    mungkin senior telah melihatku sering bermain
    gitar fingerstyle di koridor. Padahal aku ingin
    sekali menjadi seksi keamanan biar nanti pas
    pelaksanaan MOPD aku bisa memarahi Farid yang
    notabennya sebagai mentor kelas.

    “Udah kan galaunya? Aku udah ngantuk nih, tidur
    yuk.” Aku berjalan menuju kasur lalu berbaring
    menghadap langit-langit. “Aku tidur duluan ya…
    selamat tidur, Rid…” Kasur dipinggirku nampak
    seperti bergoyang. Kubuka mataku ingin melihat
    apa yang sedang ia lakukan. Ternyata Farid sedang
    mengambil kertas ukuran A3 lalu duduk di kursi
    menghadap ke jendela. Pasti dia akan ngelukis. Tapi
    ngelukis apa ya?

    Ah, bodo! Tubuhku rasanya lelah hari ini. Akhirnya
    aku pun tertidur dengan cepat meski terbangun
    lagi tepat jam 2 dini hari.

    Kuedarkan mataku kesekeliling, hmmm dimana
    Farid ya? Setelah kesadaranku pulih kembali, aku
    bisa melihat Farid sedang tidur di lantai dengan
    dialaskan karpet dan selimbut tipis. Hal itu tentu
    saja membuat hatiku sedih. Bermacam dugaan dan
    prasangka berkelebat dipikiranku. Kenapa Farid
    tidur di lantai dan tidak tidur di kasur denganku
    padahal ukuran kasurnya cukup besar? Apakah
    karena dia mencoba menghargaiku? Atau, apakah
    orang pertama yang ada di samping Farid ketika
    bangun adalah Ardar bukannya aku?

    Aku harus berpikir positive thingking, mungkin
    Farid mencoba menghargaiku karena keadaannya.
    Aku juga harus tegas jika perlakuan dia terhadapku
    berlebihan. Maksudku, jika dia mengorbankan
    dirinya sendiri demi menjaga perasaanku, kurasa
    itu tidak perlu. Bukan maksud menolak, yah, tapi
    aku sudah tidak mempunyai realita memihak.
    Esensinya aku akan tetap seperti ini : menjadi gay
    dengan harapan semu. Munafik jika aku tidak
    mencintai mereka berdua lagi, toh pada
    kenyataannya aku masih berharap. Haha, seperti
    yang kubilang barusan, harapan semu tanpa ada
    ujung.

    “Rid, bangun…” Aku menggoyangkan tubuh Farid
    pelan.

    “Ya, ada apa?” matanya nampak merah setelah
    terbuka.

    “Kenapa kamu tidur di bawah? Kenapa gak aku saja
    yang tidur di bawah?” dia terlihat nampak bingung.
    “Huhh, yaudah tidur lagi gih di atas biar aku yang
    di bawah.” Farid menolak, dia malah kembali tidur
    di bawah seraya menyelimuti kembali tubuhnya.
    “Yaudah aku tidur di teras saja,’ ucapku akhirnya.
    “Jar kamu apa-apaan, sih!? Yaudah kita berdua
    saja yang tidur di atas?” balasnya sedikit marah,
    atau marah beneran?

    “Lagian kamu sih kenapa tidur di bawah, kamu kan
    tuan rumahnya,” balasku tak kalah sewot.
    “Fajar… aku tuh habis main PS. Kamu gak liat di
    pinggir kepalaku ada stick?”

    Eh?

    Shit! Ternyata prasangkaku gak ada yang benar.
    “Kamu, sih, malah tidur duluan. Besok kan hari
    libur, mana suara dengkurmu keras sekali lagi,
    makin susah saja kan aku tidurnya.”

    What!!?

    Dengkur? Apakah aku tidur mendengkur? Kenapa
    aku tidak tau ya? Yaiyalah gak tau, aku kan tidur
    -_-
    tbc
  • edited December 2014
    @Tsunami @lulu_75 @balaka @Aji_DrV @Wita @Hiruma @Hato @naonao21 @3ll0 @d_cetya @arifinselalusial

    Update update!!

    Oh iya, jujur saja saya bingung nge postnya. padahal, cerita ini udah dibikinbeberapa hari yang lalu. kendalanya, saya kan nulisnya di lap top. lah kalau di lap top gak bisa buka boyz forum, bisany di HP itu juga di opera mini. otomatis saya harus mindahin tulisan di lap top ke HP. tapi... ternyata jika dipindahin semua spasinya jadi berantakan. so, maaf jika bacanya kurang nyaman.

    jangan lupa komen, like, and share ya. :))

    nb. Judulnya De ja vu (A) soalnya nanti ada yang B nya.
  • emg ribet bgt kalau mindah dari lepi k hp jadi acakadut, hehe

    koment dulu baru baca, hahha
  • @d_cetya haha, semoga suka :)

    oh iya, jika kalian ingin baca versi nyamannya, bisa kunjungi blog saya. sefares.wordpress.com

    disana dilengkapi dengan gambar dll.
  • Hehehe .. gpp kok brader :) ttp bagus kok ceritanya .. lanjut ya :D
  • @Tsunami haha. Btw, lagi mantengin cerita apa, kak?
  • ehh maksudnya mantengin? gw yg paling suka cerita persahabatan gt mpe bromance lah tp rada males klo isinya melulu romance ... hehehe. Klo story sini ya banyak sih, ada The OFFICE, dll semua yg tema itu gw suka ... hehehe gw jg suka crt lu coz dominasi persahabatan :D
  • @Tsunami haha, sejujurnya, cerita ini adalah reflika dari kehidupan real saya. di SMA, saya deket sama dua orang. Setiap cerita yang saya bat emang memuat tentang persahabatan. entah kenapa, di masa SMA, saya ingin menemukan seorang sahabat yang bener bener sahabat. bukan ada karena butuh saja. Tapi kayakbya gak ada deh sahabat kayak gitu...
  • waaaa tambah suka gw ma ceritamu ... loh emangnya 2 orang sahabatmu itu ga baek? ... gw yakin pasti ada lah. Persahabatan itu butuh komitmen dari kedua belah pihak, klo cuma salah satu pasti cepet rusak. "Seorang sahabat menaruh kasih setiap waktu dan menjadi saudara dalam kesukaran" :)
  • @Tsunami yang menjadi problem, mungkin hanya saya yang menganggap dia sahabat. Pada realitanya mungkin mereka berdua hanya menganggap saya teman. :') :(
  • Sefares wrote: »
    @Tsunami yang menjadi problem, mungkin hanya saya yang menganggap dia sahabat. Pada realitanya mungkin mereka berdua hanya menganggap saya teman. :') :(

    Uhmmm .. hubungan apapun itu menurut gw spt kita sekolah, ada kalanya kita jd elementary yg hrs kerjain tugas2 dan ujian semester dulu sebelum masuk next level .. tugasmu skrg cm setia tanpa pamrih brader, jgn harap timbal balik perasaan dari mereka. Sebenernya sahabat itu kan terlihat wkt saling mengasihi wkt salah satu lagi susah, si susah rela membuka hatinya untuk sekedar bercerita kpd temannya yg lain dan temannya itupun tampa pamrih dan setia untuk ikut berbela rasa. Menurutku persahabatan adalah masalah hubungan batin yang kuat antara 2 manusia dan bukan hanya 'status' yang diakui atau tidak sehingga cuma bisa d rasakan bukan d ucapkan . :)
  • Tsunami wrote: »
    Sefares wrote: »
    @Tsunami yang menjadi problem, mungkin hanya saya yang menganggap dia sahabat. Pada realitanya mungkin mereka berdua hanya menganggap saya teman. :') :(

    Uhmmm .. hubungan apapun itu menurut gw spt kita sekolah, ada kalanya kita jd elementary yg hrs kerjain tugas2 dan ujian semester dulu sebelum masuk next level .. tugasmu skrg cm setia tanpa pamrih brader, jgn harap timbal balik perasaan dari mereka. Sebenernya sahabat itu kan terlihat wkt saling mengasihi wkt salah satu lagi susah, si susah rela membuka hatinya untuk sekedar bercerita kpd temannya yg lain dan temannya itupun tampa pamrih dan setia untuk ikut berbela rasa. Menurutku persahabatan adalah masalah hubungan batin yang kuat antara 2 manusia dan bukan hanya 'status' yang diakui atau tidak sehingga cuma bisa d rasakan bukan d ucapkan . :)

    Kakak umurnya berapa? yah, mungkin saya dekat sama mereka ingin menuntut balasan : mereka juga menganggapku sebagai sahabat mereka. Tapi saya merasa beryukur, karena saya ditempatkan di kelas yang rame orang-orangnya. setiap kelas bubar, kami selalu bermain gigitaran, nge youtube, atau hal hal menarik lainnya seperti nge aransemen musik akustik. meskipun, begitu, entah kenapa hati ini merasa sepi, kak. apakah tujuan saya bukanlah mencari sahabat? tapi berharap mereka berdua sama seperti saya yaitu mempunyai perasaan menyimpang. :(
Sign In or Register to comment.