It looks like you're new here. If you want to get involved, click one of these buttons!
Copyright 2021 Queer Indonesia Archive. See our Privacy Policy. Contact us at [email protected]
Dengan menggunakan situs ini berarti Anda setuju dengan Aturan Pakai.
BoyzForum.com adalah situs anti pedofilia!
Comments
cinta… melainkan realita… realita tak berperi…
***
Chapter 1 : De ja vu
Aku melihat angka 1 disudut atas beranda
facebook, tepatnya di privat messege. Karena
penasaran akhirnya kuarahkan kursor menuju
gambar itu lalu meng-kliknya.
Reni :
Buat kakak2 alumni, dmhon kehadirannya untuk
menjadi panitia LDKS SMP pda hari Sabtu, 2
november 2014. Trimakasih…
Diklat rupanya. Huhhh… berarti besok. Waktu
memang berjalan begitu cepat. Padahal, rasanya
baru kemarin aku lulus SMP dan sekarang sudah
melaksanakan UAS pada semester ganjil. Memang
statusku kini bukan berada di kelas 3. Meskipun
masih di kelas 1, 6 bulan rasanya sangat sebentar
sekali bagiku. Tapi aku tidak akan pernah menyesali
selama 6 bulan terakhir ini karena aku mempunyai
seorang sahabat, namanya Ardar dan Farid. Ardar
satu kelas denganku, yakni berada di IPS 1.
Sedangkan Farid berada di Ipa 4, namun kami
seorganisasi di kepengurusan OSIS. Setiap pulang
sekolah aku selalu mengantarkan Farid pulang ke
rumahnya, mungkin itulah yang menyebapkan aku
dan dia dekat. Pernah suatu hari Farid bertanya,
“Jar, kenapa kamu melamun? Kayak kesambet aja,
lu!”
“Gak kenapa-napa kok, Rid,” balasku dengan raut
wajah baik-baik saja yang bisa dibilang, sedikit
dipaksakan. Karena entitas kedekatan kami bisa
dibilang cukup baik, Farid terus bertanya tentang
masalahku, namun hanya kujawab, “Aku gak mau
membebanimu dengan masalahku.” Akhirnya Farid
mengerti dan kedekatan kami pun semakin baik
dengan dia sering bercerita tentang keluarga,
pacar, atau masalah kelasnya. Diakhir cerita, aku
selalu memberi nasihat konyol lalu diselingi candaan
garing. Tapi syukurlah, karena dengan begitu, aku
semakin dekat dengan dia.
Seperti yang ditanyakan Farid diatas, kebiasaanku
di sekolah adalah melamun karena dengan begitu
aku bisa berfantasi liar tentang angan-anganku
mempunyai seorang pacar. Aku ingin sekali
berpacaran dengan Farid, membayangkan gimana
kelak nanti jika kami berdua menikah lalu
mempunyai anak, hingga akhirnya bahagia melihat
anak kami berdua tumbuh besar. See? Jelas bukan
bahwa angan-anganku itu tidak mungkin terwujud.
Bagaimana mungkin laki-laki menikah dengan laki-
laki lagi bisa mempunyai keturunan. Maka dari itu,
lebih adil jika aku berfantasi saja daripada aku gila
menggapai mimpi liar yang sangat mustahil menjadi
kenyataan. Kadang juga objek yang menjadi
fantasiku bukan Farid, tapi sahabat keduaku yang
ada di kelas. Yap, namanya Ardar. Aku tau dengan
berfantasi seperti ini membuatku tampak payah
dan menyedihkan. Tapi apa boleh buat? Mempunyai
orientasi seperti ini tidak akan ada banyak pilihan.
Dan pilihan itu jauh membuatku yakin, bahwa yang
namanya pilihan pasti ada jalan keluarnya. Meskin
hanya sedikit, aku akan mencobanya. Pilihanku saat
ini, aku ingin terus dekat dengan mereka berdua
dan jika mungkin, aku akan menembaknya. Klasik?
Yah sangat klasik sekali!
“Fajar, kamu belum pulang?” aku melihat Riska,
sekertaris kelasku diam di depan pintu. Aku
menggelengkan kepala untuk menjawabnya.
“Kamu sendiri kenapa belum pulang?”
“Aku habis pelatihan dasar pramuka. By the way
kamu gak takut diam di kelas sendirian?” balasnya
seraya duduk di pinggirku. Lagi, aku
menggelengkan kepala untuk menjawabnya.
Riska ini adalah pakar sosiologi, jika seseorang
bertanya tentang sosial, maka dialah ratunya.
Bulan kemarin aja dia terpilih—bersama satu orang
kelas 3—menjadi perwakilan SMA untuk mengikuti
olimpiade sosiologi. Namun namanya juga manusia,
dibalik kelebihan pasti ada kekurangan. Kekurangan
Riska hanya 1, yaitu lemah di matematika! “gimana
gath-nya? Seru gak?” imbuhnya pelan, mengulik
tentang kepergianku di gath Indonesia Fingerstyle
Guitar Comunity yang dilaksanakan kemarin.
“Lumayan seru. Kebanyakan membawa lagu
aransemennya Yiruma, Masaaki, sama Sungha
Jung.”
“Ada Fajar?” serempak aku dan Riska menoleh ke
arah pintu. Disana ada Farid dengan senyum sendu
mencadunya yang selalu membuat bibirku ikut
tersenyum. “Eh kalian lagi pacaran ya? Sory
ganggu.” Dia berbalik sambil ketawa. Sontak aku
dan Riska misuh-misuh secara impulsif (Refleks).
“Aku pulang dulu, ya, Ris,” pamitku.
“Yeeee! Terus gue ditinggalin sendirian gitu?”
Riska pergi menyusul sembari menubruk bahuku,
ngambek!
“Ardar sudah pulang?”
JLEB!
Kalimat itu sedikit membuat hatiku miris hingga
angan-anganku pun dengan tidak sopannya terbang
menuju hari kemarin, dimana Farid mencurahkan
seluruh isi hatinya padaku. Jujur saja saat ini aku
tidak mau bertemu dengan Farid. Bukan karena
aku benci atau ingin menenangkan diri—walaupun
sebenarnya ingin—tapi aku takut Farid bertanya
tentang mata sembab yang ditanyakan teman-
temanku tadi pagi di kelas. Dan ternyata memang
terbukti. Perkiraanku salah bahwa mata sembab ini
akan sembuh oleh waktu, toh pada akhirnya dia
bertanya juga. Sekarang, aku harus menjawab
gimana?
”Anu… mungkin ada yang hinggap dimataku ketika
tidur semalam.” Farid menggumam gak jelas.
Syukurlah dia tidak membahas mata ini lebih jauh.
”Mau sama aku atau kamu nyupirnya?”
“Sama kamu aja, Jar. Males nyupir,” sahutnya.
Baiklah kalau begitu.
Di sepanjang perjalan tidak ada yang bicara baik
aku yang memulai ataupun Farid. Jujur saja
keadaan ini sedikit menggangguku hingga akhirnya
aku yang memulai pembicaraan. Aku bertanya
kepada dia soal kemarin, tentang kenapa dia
mempercayakan rahasianya kepadaku padahal kami
berteman baru 6 bulan. Jawabannya kurasa simpel,
aku orang baik dan dapat dipercaya, begitu
katanya. Karena belum puas dengan jawaban
seperti itu, aku terus bertanya hingga akhirnya dia
jujur. “Aku tidak pernah menemukan orang
sepertimu, teman yang selalu menganggap sahabat
adalah segalanya. Yang kulihat, kamu perhatian
kepadaku, itu sudah cukup membuktikan bahwa
kamu orang yang dapat dipercaya. Setiap saat
kamu selalu mengantarku pulang, jika ada masalah
kamu selalu siap menjadi tempat curhat, ketika aku
ada masalah kamu siap membatu, dan yang bisa
kulakukan sekarang hanya bisa percaya kepadamu.
Itu saja. Dan sekarang jika aku yang bertanya, apa
yang akan kamu lakukan jika ada orang sepertimu
memperlakukanmu seperti kamu? Maaf bahasanya
kurang enak di dengar.” So, what? Memangnya apa
yang akan kulakukan? Benar kata Farid, aku juga
akan percaya sama orang itu. Tapi, jika aku boleh
bertanya kembali, apa yang akan dilakukan oleh
Farid jika mengetahui aku melakukan semua itu
karena aku cita sama dia?
Untungnya aku tidak munafik bahwa aku juga ingin
bersahabat dengan dia. “Tapi apakah kamu tau?”
lanjutnya, ternyata masih ada yang ingin dia
sampaian. “Kuharap kamu tidak akan menjauhiku
setelah ini. Hmmm… sebenarnya, aku pernah
menyukaimu, Jar.”
What!!
Hampir saja aku menabrak mobil di depanku karena
kaget. “Tapi aku sadar, sahabat lebih penting
daripada pacar. Tidak mungkin aku menjadikanmu
sebagai seorang kekasih karena hal itu akan
membuat pertemanan kita menjadi kaku atau kamu
menjadi ilfeell . Aku hanya bisa mita maaf jika
kamu merasa menjadi alat namun percayalah, jika
kamu ada masalah maka cerita kepadaku. Selagi
aku bisa membantu, maka akan kuusahakan.”
Mendengar semua itu ingin rasanya aku menangis
dan berteriak. Kenapa aku tidak peka?!
Seharusnya, jika dia gay dan aku gay, setidaknya
aku bisa merasakan gerak tubuhnya, tatapan
matanya, bahkan aura ketertarikannya. Apakah
karena Farid dengan mudahnya mencintai orang lain
sehingga dia tidak menunjukannya kepadaku?
Apakah semudah itu?! Atau, kenapa dia tidak bisa
sadar aku mencintai dia? Padahal kita sama!
Mungkin pertanyaan kedua bisa kujawab karena aku
sendiri dengan mudahnya membagi cinta untuk
Farid dan Ardar. Dan sekarang apakah aku harus
jujur bahwa aku juga mencintainya? Ibaratnya,
kenapa harus mencari yang lain padahal sudah ada
yang bersedia. Yah, sudah kuputuskan aku akan
jujur. Harus!
“Fa…”
“Aku sangat… eh? Tadi kamu mau bicara apa?”
sahutnya setelah memotong ucapanku.
“Nggak, kamu aja duluan, Rid.”
“Aku cuman mau berkata bahwa aku sangat
bersyukur telah mengenal kamu yang mau
menerima orientasiku. Aku juga mau bersyukur
karena Tuhan telah mempertemukanku dengan
Ardar. Jangan takut, Jar, karena dengan Tuhan
menghadirkan Ardar dikehidupanku, rasa cintaku
kepadamu tidak bersisa lagi. So, kamu jangan takut
kepadaku ya. Aku tidak akan ngapa-ngapain kamu,
kok. Keep calm … oke?” dia tertawa terbahak
setelah berkata seperti itu. Aku pun demikian,
menertawakan betapa lucunya hidup ini. Dari
suaranya aku bisa merasakan bahwa dia sangat
bahagia bertemu dengan Ardar. Terbukti juga
betapa antusiasnya Farid jika aku menceritakan
Ardar ataupun dia yang bercerita. Lalu pembuktian
terakhir, kugerakan kaca spion motorku sedikit ke
atas untuk melihat wajahnya. Yah, dia sangat
bahagia sekali. Senyum sendu mencadunya semakin
jelas dan aku sangat yakin bahwa dia bahagia
dengan keadaannya. Membuatku mau tak mau
bertanya, ‘Kenapa Farid bisa sebahagia itu?
Bukannya belum tentu cintanya akan diterima oleh
Ardar?’ lagi, pertanyaan itu sudah kutemukan
jawabannya. Jika aku ada dalam posisi Farid, maka
aku juga akan bahagia telah menemukan orang
yang bisa dipercaya, mau menerima orientasi yang
masih dianggap tabu, lalu ada orang yang bisa
membuat kita jadi semangat untuk menjalani hidup.
Sedikit iri, sih. Tapi aku harus kuat dan ingat akan
janjiku. Aku akan mendukungmu, apapun itu.
Setelah sampai depan rumah Farid, aku tersenyum
ramah karena disana ada ibunya Farid sedang
menyapu halaman.
“Gimana kabarnya, nak?”
“Alhamdulilah baik, bu. Ibu sendiri gimana?”
tanyaku.
“Ibu juga baik alhamdulilah. Farid kamu udah bilang
ke Fajar belum?”
Alisku mengernyit bingung, “Oh iya lupa,” sahut
Farid sambil menempelkan tangannya di kening.
“Haha, jadi gini, Jar. Ibu dan papa nanti sore akan
pergi ke Garut. Nah jika kamu bersedia, mau gak
kamu nginep di rumahku untuk sementara waktu?”
Jelas, aku pasti akan menjawab iya.
“Emang ibu akan berapa hari disananya?” tanyaku senang.
“Sebentar kok, palingat dua hari.” Aku manggut-
manggut. “Kamu bersedia kan?”
“Ya, bu, Farid bersedia.”
“Hatur nuhun…,” jawabnya menggunakan bahasa
sunda.
“Yo, Jar ke kamarku,” ujar Farid sambil jalan.
“Permisi, bu…” Aku mengikuti Farid menuju
kamarnya yang berada di lantai atas. Sejujurnya,
baru kali ini aku masuk ke rumahnya. Biasanya jika
aku mengantar Farid hanya sampai depan rumah
saja.
Di sepanjang dinding aku melihat hewan terbang
yang sudah diawetkan, lukisan pemandangan yang
kuyakini hasil karyanya Farid, lalu ada beberapa
foto keluarga. Aku sedikit tertarik kepada lukisan
abstrak yang letaknya berada di tengah-tengah
sekumpulan hewan laut. Lukisan itu seperti cupid,
tapi sayapnya seakan dibuat transparan. Sungguh,
sangat indah! Tapi kenapa sayapnya dibuat
transparan ya?
“Lukisan ini karya kamu, Rid?” ujarku penasaran.
“Sebenarnya bukan, sih. Lukisan itu hasil tiruanku
ketika aku kelas 3 SMP. Aku suka dengan
gambarnya, lalu ku jiplak deh. Gambar aslinya lebih
keren dari ini loh.”
“Benarkah? BTW sejak kapan kamu suka
ngegambar? Kok aku belum tau?” aku bisa tau
lukisan yang ada di dinding karyanya Farid karena
dibawahnya ada tulisan nama dia.
“Sejak SD, sih. Awalnya aku nge gambar manga.
Tapi karena bosan nge gambar manga terus,
akhirnya aku belajar nge gambar pemandangan
walaupun kadang kala benda seperti kursi.
Tergantung mood.”
Ketika aku memasuki kamarnya, kesan pertama
yang bisa kutangkap adalah : WOW! Sumpah, kamar
Farid luas sekali! Bukan karena luasnya aku
terkejut, tapi karena disetiap dindingnya
terpampang lukisan indah hasil cipta dia sendiri.
Hanya ada satu dinding yang datar, kosong tanpa
gambar. Namun ketika mataku beralih pada lukisan
dekat dengan jendela, hatiku kembali bergetar,
mood- ku kembali buruk karena lukisan itu sangat
familiar sekali bagiku. Yah, lukisan itu adalah wajah
Ardar bersama dengan tubuh lengkapnya. Dalam
lukisan itu, Ardar sedang menatap horizon langit
yang begitu luas diangkasa raya dengan tangan
tersampir disaku celana. Bibirnya tengah
tersenyum manis sekali. Yang membuat hatiku
seperti dirajam oleh jarum bukan hanya karena
realita Farid tidak mencintaiku lagi, tapi juga
karena aku merasa iri. Aku juga ingin dilukis
sebagai tanda bahwa aku adalah sahabatnya.
“Bagus gak gambarnya, Jar?” aku sedikit
tersentak dari lamunan.
“Tentu. Siapapun yang melihat pasti akan
mengatakan hasil karyamu indah sekali. Emang
sengaja dibuat hitam putih, kan?”
“Begitulah. Aku menyukai warna hitam dan putih
atau dalam kata lainnya adalah warna abu-abu.
Kamu tau? Kebanyakan dari kaum gay memberi
label dunianya sendiri adalah dunia abu-abu.
Perumpamaannya memang tepat menurutku.
Ibaratnya, laki-laki adalah hitam dan perempuan
adalah putih. Sedangkan kaum gay tidak hitam,
tidak juga putih. Tapi jika disatukan akan menjadi
warna abu-abu. Kamu mengerti?”
Yah aku sangat mengerti, karena aku juga
menyukai warna itu. Memang aku tidak bisa
memberi perumpamaan, tapi warna abu-abu sangat
sakral bagiku. Kenyataannya jika kita melihat
album foto hitam putih, maka suasana hati kita
secara otomatis akan berbeda atau sedikit
melodrama. Seperti menggambar potret masa lalu
yang pernah terpatri oleh seseorang dan potret itu
adalah sebuah kenangan yang—mungkin—terlalu
manis untuk diingat dan terlalu pahit untuk
dilupakan. Potret sering digambarkan dengan kisah
masa lalu, foto bergaris, atau sebuah cerita. Jelas,
potret itu ada pasti terbentuk sebuah makna.
Siapapun ingin menjadi bagian dari potret hidup
seseorang, begitu pun denganku. Aku ingin sekali
menjadi orang yang berarti bagi hidup seseorang.
Dalam kasus ini, aku ingin menjadi potret bagi
Farid dan Ardar, kedua sahabatku.
Aku berjalan menuju lukisan Ardar, mencoba
melihatnya lebih dekat lagi. “Gimana kamu bisa
melukis wajah Ardar sesempurna ini?”
“Jangan berlebihan, Jar. Aku tidak sesempurna itu
kok. Aku nge gambar dibantu oleh foto asli dia
yang kuambil secara sembunyi-sembunyi.”
Arrrgghh!! Sebal!
Kuhempaskan tubuhku ke kasur lalu memejamkan
mata. ‘Ingin rasanya sejenak nyangkoyod dan
nyurulungin cai panon, sungguh sangat lungse hati
dan awak ini!’ batinku.
“Eh iya, kenapa kamu gak ikut ke garut? Bukannya
mulai besok udah hari libur ya?” ketika aku
bertanya seperti itu Farid senyum-senyum sendiri.
Jangan-jangan…
“Niatnya aku juga pengen ngajak Ardar untuk
nginep disini, tapi kamu yang ngajak jangan aku.
Soalnya kami berdua belum terlalu akrab.” Tuh kan,
pasti dia akan mengajak Ardar. Well, sebenarnya
aku juga senang jika Ardar ada disini, pasti akan
lebih seru. Berkat dia aku jadi bisa ngelucu
walaupun sangat garing. “Ayolah, please ajak
dia…,” pintanya, manja!
“Iya iya, bawel!”
Aku mengeluarkan HP-ku di saku celana lalu
berkutat sebentar di layar monitor mencari nomer.
Setelah kutemukan, kudekatkan menuju telinga,
menunggu jawaban di sebrang sana.
“Halo…”
“Halo, bu…”
“Loh kok ibu sih!” protes Farid. Aku melototi Farid,
menyuruhnya jangan berisik.
“Ya ada apa, Nak? Kok kamu belum pulang?”
“Anu… Fajar mau nginep di rumah temen. Boleh,
kan?”
“Kamu itu punya rumah sendiri, nak. Jangan terlalu
sering nginap di rumah orang, nanti dikiranya kamu
gak punya rumah lagi.”
“Tapi bolehkan?”
“Iya iya, jangan nakal!”
“Ibu kamu ya?”
“Iya, soalnya aku belum ijin.” Setelah menelfon ibu
aku mencari kontak Adar lalu menelfonnya. Sengaja
ku tekan speaker biar Farid puas.
“Halo Jar ada apa?”
“Kamu ada acara gak hari ini? Nginep yuk, di
rumahnya Farid. Refresing sehabis UTS nih…”
“Euh, kamu nelfonnya telat. Aku udah ada acara
sama kakak naik gunung Mahameru.”
“Hah? Mahameru? Serius?”
“Haha, bercanda. Aku ada acara camping di outbone
dekat dengan KPSBU. Sorry ya mungkin lain kali.”
“Oke gak masalah. Yaudah selamat untuk
campingnya, Dar.”
Aku menutup telfon sembari
melihat raut muka Farid. For God sake! Mukanya
itu… “HAHAHAHAHAHA!”
***
“Ayolah, Rid jangan galau gitu. Masih ada hari esok
kok,” hiburku. Sejak insiden tadi Farid menjadi
tidak bersemangat, bahkan makan pun dia gak
mau. Jiah, kayak sinetron aja. Terus sekarang aku
harus sok sedih lalu pura-pura nahan lapar gitu?
Meskipun kalau dipikir-pikir kasian juga sih. Pasti
dia sudah berfantasi liar jika harapannya terwujud
atau paling nggak dia akan merasa senang. Huhh…
apa boleh buat? Bagian dari hidup adalah
kenyataan yang tidak sesuai dengan harapan.
Aku beringsut mengambil gitar di pinggir televisi.
Pada awalnya aku memainkan fingerstyle kereta
malam, tapi entah kenapa jariku berubah memetik
lagu nostalgia aransemennya Sungha Jung. Lagu ini
sangat slow dan terdengar menyedihkan. Sesuai
dengan judul, meskipun tidak ada lirik pendengar
pasti akan tau bahwa lagu ini dikhususkan untuk
mengingat masa lalu baik kelam ataupun
menyenangkan. Setiap melodi yang dihasilkan
menurutku berhasil masuk ke dalam hati, jiwa, dan
raga. Sama halnya ketika aku mendengar sound
track Naruto Sadness and Sorrow, kesan sedih
dalam setiap nadanya pasti akan menyentuh.
“Kamu sengaja hah membuat suasana hatiku
semakin kacau!?” umpatnya sedikit keras sambil
meletakan mangkuk mie yang sudah kosong. Aku
menggelengkan kepala melihat tingkah konyolnya.
Di kepengurusan OSIS Farid terpilih menjadi seksi—
kok sedikit geli ya bilangnya—keamanan karena dia
mempunyai tampang sangar lalu ditunjang dengan
badan tegap. Sedangkan aku terpilih menjadi seksi
—lagi, aku merasa geli bilangnya—kesenian karena
mungkin senior telah melihatku sering bermain
gitar fingerstyle di koridor. Padahal aku ingin
sekali menjadi seksi keamanan biar nanti pas
pelaksanaan MOPD aku bisa memarahi Farid yang
notabennya sebagai mentor kelas.
“Udah kan galaunya? Aku udah ngantuk nih, tidur
yuk.” Aku berjalan menuju kasur lalu berbaring
menghadap langit-langit. “Aku tidur duluan ya…
selamat tidur, Rid…” Kasur dipinggirku nampak
seperti bergoyang. Kubuka mataku ingin melihat
apa yang sedang ia lakukan. Ternyata Farid sedang
mengambil kertas ukuran A3 lalu duduk di kursi
menghadap ke jendela. Pasti dia akan ngelukis. Tapi
ngelukis apa ya?
Ah, bodo! Tubuhku rasanya lelah hari ini. Akhirnya
aku pun tertidur dengan cepat meski terbangun
lagi tepat jam 2 dini hari.
Kuedarkan mataku kesekeliling, hmmm dimana
Farid ya? Setelah kesadaranku pulih kembali, aku
bisa melihat Farid sedang tidur di lantai dengan
dialaskan karpet dan selimbut tipis. Hal itu tentu
saja membuat hatiku sedih. Bermacam dugaan dan
prasangka berkelebat dipikiranku. Kenapa Farid
tidur di lantai dan tidak tidur di kasur denganku
padahal ukuran kasurnya cukup besar? Apakah
karena dia mencoba menghargaiku? Atau, apakah
orang pertama yang ada di samping Farid ketika
bangun adalah Ardar bukannya aku?
Aku harus berpikir positive thingking, mungkin
Farid mencoba menghargaiku karena keadaannya.
Aku juga harus tegas jika perlakuan dia terhadapku
berlebihan. Maksudku, jika dia mengorbankan
dirinya sendiri demi menjaga perasaanku, kurasa
itu tidak perlu. Bukan maksud menolak, yah, tapi
aku sudah tidak mempunyai realita memihak.
Esensinya aku akan tetap seperti ini : menjadi gay
dengan harapan semu. Munafik jika aku tidak
mencintai mereka berdua lagi, toh pada
kenyataannya aku masih berharap. Haha, seperti
yang kubilang barusan, harapan semu tanpa ada
ujung.
“Rid, bangun…” Aku menggoyangkan tubuh Farid
pelan.
“Ya, ada apa?” matanya nampak merah setelah
terbuka.
“Kenapa kamu tidur di bawah? Kenapa gak aku saja
yang tidur di bawah?” dia terlihat nampak bingung.
“Huhh, yaudah tidur lagi gih di atas biar aku yang
di bawah.” Farid menolak, dia malah kembali tidur
di bawah seraya menyelimuti kembali tubuhnya.
“Yaudah aku tidur di teras saja,’ ucapku akhirnya.
“Jar kamu apa-apaan, sih!? Yaudah kita berdua
saja yang tidur di atas?” balasnya sedikit marah,
atau marah beneran?
“Lagian kamu sih kenapa tidur di bawah, kamu kan
tuan rumahnya,” balasku tak kalah sewot.
“Fajar… aku tuh habis main PS. Kamu gak liat di
pinggir kepalaku ada stick?”
Eh?
Shit! Ternyata prasangkaku gak ada yang benar.
“Kamu, sih, malah tidur duluan. Besok kan hari
libur, mana suara dengkurmu keras sekali lagi,
makin susah saja kan aku tidurnya.”
What!!?
Dengkur? Apakah aku tidur mendengkur? Kenapa
aku tidak tau ya? Yaiyalah gak tau, aku kan tidur
-_-
tbc
Update update!!
Oh iya, jujur saja saya bingung nge postnya. padahal, cerita ini udah dibikinbeberapa hari yang lalu. kendalanya, saya kan nulisnya di lap top. lah kalau di lap top gak bisa buka boyz forum, bisany di HP itu juga di opera mini. otomatis saya harus mindahin tulisan di lap top ke HP. tapi... ternyata jika dipindahin semua spasinya jadi berantakan. so, maaf jika bacanya kurang nyaman.
jangan lupa komen, like, and share ya. )
nb. Judulnya De ja vu (A) soalnya nanti ada yang B nya.
koment dulu baru baca, hahha
oh iya, jika kalian ingin baca versi nyamannya, bisa kunjungi blog saya. sefares.wordpress.com
disana dilengkapi dengan gambar dll.
Uhmmm .. hubungan apapun itu menurut gw spt kita sekolah, ada kalanya kita jd elementary yg hrs kerjain tugas2 dan ujian semester dulu sebelum masuk next level .. tugasmu skrg cm setia tanpa pamrih brader, jgn harap timbal balik perasaan dari mereka. Sebenernya sahabat itu kan terlihat wkt saling mengasihi wkt salah satu lagi susah, si susah rela membuka hatinya untuk sekedar bercerita kpd temannya yg lain dan temannya itupun tampa pamrih dan setia untuk ikut berbela rasa. Menurutku persahabatan adalah masalah hubungan batin yang kuat antara 2 manusia dan bukan hanya 'status' yang diakui atau tidak sehingga cuma bisa d rasakan bukan d ucapkan .
Kakak umurnya berapa? yah, mungkin saya dekat sama mereka ingin menuntut balasan : mereka juga menganggapku sebagai sahabat mereka. Tapi saya merasa beryukur, karena saya ditempatkan di kelas yang rame orang-orangnya. setiap kelas bubar, kami selalu bermain gigitaran, nge youtube, atau hal hal menarik lainnya seperti nge aransemen musik akustik. meskipun, begitu, entah kenapa hati ini merasa sepi, kak. apakah tujuan saya bukanlah mencari sahabat? tapi berharap mereka berdua sama seperti saya yaitu mempunyai perasaan menyimpang.