It looks like you're new here. If you want to get involved, click one of these buttons!
Copyright 2021 Queer Indonesia Archive. See our Privacy Policy. Contact us at [email protected]
Dengan menggunakan situs ini berarti Anda setuju dengan Aturan Pakai.
BoyzForum.com adalah situs anti pedofilia!
Comments
Lu ada fb?
Biar lu bsa kritik crita gw jg di fb.
Ada gak gambar perwujudan dari cincin² itu??
ini desain nilda ala aku. hehe.. maaf cuma bisa bikin lwt paint. kalo ada yg bs pake corel atau program lainnya n bisa kasi model yg lebih halus juga aku persilakan dgn senang hati
@Adityashidqi , ada,, boleh boleh.. via pm aja ya
@faisalrayhan suka gay romance ya? aku juga suka. tentu aku banyakin, setidaknya aku usahain seimbang antara actio, fantasy ama romance-nya. karena aku juga suka ketiganya.
tapi jgn terlalu brharap ada sex scane d sini.. soalnya penulis ga pengalaman di bidang itu.. uhuk! *jomblo akut
Kalau bagian sex nya ada yaa alhamdulillah seneng juga bacanya hahaha.=))
Kalau ngk ada juga ngk pp, lagian ngk ada juga seru kok hihih.
Aku pernah tuh nonton anime yaoi gitu yang ada magic2nya tapi udah taman dan kentang ceritanya
Iya pm aja.
@jacksmile @rebelicious @obay @zuyy18 @egosantoso @needu @alvin_021 @Unprince @faisalrayhan @octavfelix @dityadrew2 @shinta056 @Fours @lulu_75 @keanu_ @unprince @obay
Untuk chapt ini aku tambain pic Arvand n Rio menurut bayanganku. yg mna arvand yang mana rio silakan tebak sendiri selamat membaca..
Cincin 8. Celva Corma dan Quattro Bestia
“Ja..jadi kau..”
“Ya.. benar sekali Rio... aku CelVaros. Pencipta cincin Tàren dan roquen yang menggunakan sebutan yang sama dengan namanya. Celva corma dan roquen celva.”
Keadaan menjadi hening setelah lelaki itu mengatakan identitasnya. Namun, Rio meraih cangkir teh dan menghirup isinya. “Oh..” ujarnya singkat.
“Ha? Hanya ‘Oh’ kau bilang?! Harusnya kau bisa tunjukkan sedikit rasa segan dan hormatmu padaku!” protes Varos.
Alis Rio mengangkat sebelah mendengar kata-kata Varos. Ia pun meletakkan cangkirnya dan menyilangkan lengan di dadanya. “Buat apa aku segan? Kau sudah banyak membebani dan mencelakai aku!”
Varos merasa tersengat dengan kata-kata Rio. Bibirnya tampak bergerak-gerak senewen, namun tak ada gerutu yang keluar dari bibirnya itu.
“Baiklah Rio. Satu hal yang harus kau ketahui, bahwa aku tak pernah sekalipun mencelakaimu. “ujarnya dengan telunjuk mengacung di depan wajahnya. “Justru, aku sudah berkali-kali menyelamatkanmu dan begitu sampai akhir.”
“Menyelamatkanku? Oh soal tawuran waktu itu?”
“Tidak! Bukan itu saja!”
Lagi-lagi Rio mengerutkan kening dan melihat ekspresi Rio itu, Varos hanya tersenyum dan kembali menjalin jari jemarinya.
“Kau akan tahu begitu aku menjelaskan semuanya.”
Mata Rio memicing sesaat namun Varos tampak tak memperhatikan hal itu dan dia mulai bercerita.
“So. Begini.. umm.. aku mulai dari mana ya?”
“Lebih baik anda mulai dari siapa pasukan yang menyerang Rio dan saya, tuan.”
Mendengar usulan dari Armitha, Varos menjentikkan jarinya dan berseru. “Aha! Baiklah, kita mulai dari siapa mereka.”
Dalam hati Rio merasa jengkel sekali dengan sifat Varos. Benar-benar tidak serius dan terkesan suka mempermainkan hidup orang lain. Rio membenci tipe orang seperti itu. Celakanya orang yang ia benci itu adalah salah satu Eldar, orang-orang paling penting dalam pelepasan ‘kutukan’ di jari Rio. Dan Rio masih belum bisa percaya, bagaimana Tuhan bisa memberikan kepercayaan dan kekuatan pada orang macam itu.
“Mereka... adalah personil angkatan darat yang berada di bawah pimpinan salah satu perwira tinggi di negeri ini.”
Seketika suasana menjadi tegang. Mata Rio tampak melebar. “Angkatan darat? Kenapa mereka terlibat?”
Varos terkekeh pelan. “Tentu saja.. Karena pimpinan mereka adalah pemakai cincin Tàren. Celva Corma.”
“Apa? Ja.. jadi.. ada pemakai cincin Tàren yang lain?”
“Tentu saja Rio.. Kan Armitha sudah menyampaikan sebagian kebenarannya padamu, bahwa ada enam belas cincin Tàren di bumi ini. Dan.. aku harus bilang, bahwa kenam belas cincin itu sudah berada pada pemakainya masing-masing.”
Dada Rio seketika menjadi sesak. Armitha juga menunduk tak bersuara, begitu juga Kamal. Tanpa Rio sadari jari jemarinya mulai gemetar. “Sebentar Varos.. Bukankah jika keenam belas cincin sudah sampai pada pemiliknya maka itu berarti kiamat sudah semakin dekat?”
Varos tidak langsung menjawab pertanyaan Rio dengan kata-kata, melainkan anggukan pelan dengan senyum tipis di bibirnya.
Rio melongo sejenak melihat sikap Varos. Kemudian Varos melihat Rio mulai tertawa. Ya, tertawa. “Apa yang lucu Rio?”
Rio yang semula menggigil karena tawanya perlahan mulai menghentikan tawanya dan melihat Varos dengan tatapan mengejek. “Haha. Ini pasti hanya gurauan kan?”
Varos terdiam.
“Sejak awal kalian membodohiku dengan hal-hal aneh ini.. aneh sekali jika aku percaya pada kalian!”
“Hadapilah kenyataannya Rio.” gumam Varos, dan seketika suasana kembali hening. Begitu juga Rio yang kini mulai menundukkan wajahnya. Perlahan Arvand menengok ke arah wajah Rio. Ia bisa melihat mata Rio yang kosong. “Rio?” tegurnya.
“Kau sudah melihat sangat banyak Rio. Mulai dari munculnya cincinmu, diriku, kemampuan Armitha dan Kamal, serta orang yang menyerangmu. Itu semua bukanlah gurauan. Itu adalah kenyataan. Kau tidak perlu lari, karena kau sangat sadar. Bahwa kau tak bisa lari.”
“Kalau begitu, lepaskan cincin ini dariku!”
Varos mendongak ke arah Rio yang menghunuskan tangan kanannya di depan wajah Varos.
Varos juga bisa melihat berkas kemarahan dan keputusasaan di mata Rio.
“Jika kau bisa memasangkan cincin terkutuk ini, maka harusnya kau juga bisa melepasnya!”
Varos tetap terlihat tenang di bawah tekanan Rio. ia hanya menjentikkan jarinya pada punggung tangan Rio dan mendorongnya ke bawah, hingga menjauh dari wajah Varos.
“Lalu, apa yang kau dapatkan dengan terlepasnya cincin ini dari jarimu? Kau pikir kiamat akan berubah pikiran setelah pemakai enam belas cincin kembali tidak lengkap? Kau pikir dia akan memalingkan wajah murkanya dari bumi? Tidak Rio. Keadaan takkan bisa kembali lagi. Dengan atau tanpa cincin itu, tetap saja kau akan mati.”
“Lalu kenapa kau memasangkan cincin ini padaku?!”
“Karena dengan memasagkan cincin ini padamu, setitik harapan akan muncul.”
Jawaban cepat Varos sekali lagi membuat kebekuan dalam ruangan itu. Rio pun perlahan duduk di kursinya dengan wajah menunduk.
“Tapi kenapa aku?” gumamnya lirih.
Varos menghela nafas sesaat kemudian meraih cangkir teh di depannya. “Karena cuma kau yang pantas, dan telah dipilih olehnya.”
Rio melirik ke arah Varos. “Olehnya? Siapa?”
Rio cuma bisa menelan ludah saat menunggu Varos menghirup teh dari cangkirnya. Menunggu jawaban dari Varos yang kini menelan cairan teh di tenggorokannya.
“Kau tak perlu tahu.”
“Apa?” Rio kembali berdiri dan menatap Varos dengan garang. “Aku harus tahu semuanya, Varos!”
Varos melihat wajah Rio. dia bisa menangkap kemarahan di mata Rio. “Kau hanya perlu mengetahui apa yang berguna untukmu Rio. Siapa yang memilihmu itu bukanlah hal yang berguna untukmu. Tak ada artinya untukmu dan itu untuk kebaikanmu juga.”
Bibir Rio gemetar menahan emosinya mendengar jawaban Varos yang tenang itu.
“Yang pasti dipilihnya kau sebagai pemakai cincin Nilda tak lepas dari persetujuan kami, para eldar. Dan kami pastikan apa yang kami putuskan adalah hal yang terbaik. Begitu juga untukmu Rio. Banyak rahasia yang tak perlu kau ketahui juga karena untuk kebaikanmu.”
Melihat ketegangan itu, Armitha mencoba angkat bicara. Ia rasa Rio lebih bisa menerima kata-katanya. “Varos benar Rio.. lebih baik kita percaya padanya. Bagaimanapun juga, dia adalah salah satu anggota Eldar yang telah hidup ribuan tahun dalam kebijaksanaan. Pasti mereka juga merencanakan segala hal yang baik bagi kita.”
Rio menatap Armitha dengan sedikit heran. Dia segan pada wanita itu, tapi dia agak kecewa karena Armitha lebih membela Varos daripada dirinya. Namun Rio bisa menerima kata-kata Armitha, dan perlahan ia duduk kembali di kursinya. Menunduk.
“Lebih baik, sekarang kau memikirkan keselamatanmu dulu. Kau sudah tahu bahwa cincin beserta keselamatanmu sedang berada dalam bahaya.”
Rio tak menjawab nasihat Varos. Ia hanya menundukkan wajahnya dan merenungi nasibnya. Dalam benaknya masih banyak suara ‘kenapa harus aku?’ berputar dan berdengung di kepalanya.
“Tapi tuan..” Armitha kembali angkat bicara. Ia merasa banyak pertanyaan yang belum terjawab. “Anda masih belum menjelaskan lebih jelas tentang penyerang kami. Jika benar yang menyerang kami adalah pasukan yang diperintah oleh seorang pemakai cincin Celva, lalu kenapa ia melakukan itu?”
Kini Varos menggeser bola matanya ke arah Armitha. “Bagini Mitha.. Sebelum aku menjawab pertanyaanmu itu, terlebih dahulu aku akan memberitahumu posisi cincin-cincin Tàren, khusunya Celva kini.”
Armitha mengangguk dan menatap wajah Varos dengan seksama. Begitu juga dengan Kamal, sedangkan Arvand lebih tertarik atau lebih tepatnya prihatin melihat kondisi Rio.
“Sudah kuberitahu sebelumnya bahwa keenam belas cincin sudah sampai pada pemakainya masing-masing. Dan khusus cincin celva, cincin-cincin terbaik yang pernah kubuat, sebenarnya telah lama ditemukan manusia milenium ini dan disimpan oleh Nazi pada masa perang dunia kedua. Saat itu mereka hanya menganggap cincin-cincin itu adalah sebuah peninggalan masa lampau yang hanya memiliki nilai estetik,historis, dan ekonomis saja, sehingga mereka menyimpannya sebagai simpanan harta bersama dengan emas-emas mereka. Setelah nazi jatuh, peti berisi cincin-cincin celva itu ditemukan oleh pasukan sekutu dan membawanya ke gedung putih sebagai cindera mata. Dan pada saat itulah, aku datang. Aku sampaikan pada para pemimpin dunia blok sekutu yang saat itu tengah berada dalam satu ruangan pertemuan. Aku katakan pada mereka bahwa cincin-cincin itu akan membawa peran dalam kiamat yang akan datang. Begitu mereka mempercayainya, maka cincin-cincin itu disimpan di beberapa negara yang berbeda dan kini, cincin-cincin itu diserahkan kepada orang-orang terpilih dalam jajaran militer. Mereka dipilih karena ketangguhan, ketangkasan, kesetiaan serta potensi untuk menggunakan cincin celva. Maka dipilihlah empat orang jenderal yang dianggap berhak dan mampu menggunakan kekuatan cincin celva corma. Keempat jenderal itu dipanggil dengan sebutan, ‘Quattro Generale della Bestia’ atau yang lebih sering dipangil dengan kode, ‘Quattro Bestia’.”
Varos hanya tersenyum saat melihat keterkejutan di wajah Armitha, Kamal, bahkan Rio yang melirikkan matanya ke arahnya.
“Dan kini, keempat jenderal ini tengah mengincar kalian, para Firima.”
Arvand mendongakkan wajahnya. Ia melihat Armitha, Varos dan Rio bergantian. “Mereka.. mengincar Rio?”
“Tapi kenapa tuan?” sambung Kamal. “Harusnya mereka, para pemakai celva corma dianugrahi kekuatan yang besar. Dan aku yakin kekuatan itu yang mereka manfaatkan dalam urusan militer mereka. Tapi kenapa mereka justru mengincar cincin Firima yang tidak memiliki kemampuan apapun dalam pertempuran?”
“Tahu apa kau, tentang cincin Firima?”
Kata-kata Varos seketika membuat Kamal keheranan dan dia segera menangkupkan telapak tangannya.
“Firima corma mungkin tak diberkahi kekuatan untuk menyakiti dan merusak seperti celva, menel maupun arda. Namun Firima juga memiliki kekuatan yang sangat unik dan tidak bisa dianggap enteng.”
Sekali lagi Kamal menganggukkan kepalanya sambil menghormat. “Maafkan atas ketidaktahuan saya tuan. Karena selama ini hanya nyonya Armitha lah pemakai cincin Tàren yang mampu menggunakan kekuatannya. Selain itu hamba tak mengetahui apapun, meski hamba telah melihat cincin Firima lainnya, yaitu cincin Nilda yang kini dipakai oleh tuan Rio.”
Varos menggeser pandangannya dari Kamal ke arah Rio, kemudia ia memejamkan matanya sejenak.
“Baiklah, akan kujelaskan pada kalian semua, kekuatan cincin-cincin Firima yang kuketahui.”
Wajah Armitha, Kamal tampak kembali tegang. Arvand juga melirik ke arah Rio. Rio sedikit mendongakkan wajahnya, menatap cincin yang melingkar di jarinya.
“Cincin Firima dibuat oleh eldar yang bernama Athaniel. Seorang gadis suci yang memiliki ketertarikan dan kasih sayang yang sangat pada umat manusia. Karenanya, dia menciptakan cincin-cincin yang dapat mengoptimalkan kemampuan yang hanya dimiliki oleh manusia.
Cincin yang pertama, adalah cincin Noldo, cincin para pemikir. Dibuat untuk mencari hakikat alam semesta dan mendapatkan manfaat darinya. Cincin kedua adalah cincin Hena, cincin para bijak dan pembuat keputusan. Dibuat untuk selalu menuntun manusia pada pilihan yang benar. Menimbang baik-buruk, benar-salah melalui pandangan masa depan dan masa lalu. Berikutnya cincin yang ketiga, cincin para pencari kebenaran. Cincin Inita. Cincin ini menuntun pemakainya untuk dapat menilai baik buruk manusia berdasarkan isi pikirannya. Dan cincin terakhir.. “
Kini Varos memperhatikan Rio, hingga Rio menoleh dan mata keduanya bertemu.
“Nilda..” gumam Varos pelan. “Tak ada apapun yang dapat kuketahui tentang cincin ini.”
Mata Rio terbelalak dan dengan mata itu ia menatap Varos. “Kenapa? Kau eldar bukan? Kau yang menciptakan cincin-cincin ini? Bagaimana bisa kau tidak tahu?”
“Bukan aku yang menciptakan Firima! Sudah kukatakan sebelumnya, Athaniel yang membuatnya!”
“Kalau begitu datangkan dia padaku!”
Baru saja Varos membuka bibirnya, seketika itu juga tak ada kata-kata yang keluar dari mulutnya. Seolah kata-kata telah tercekat di tenggorokannya, dan ia pun menutup kembali bibirnya. Ia meraih kembali cangkir tehnya dan berkata pelan. “Itu tidak mungkin lagi Rio.” ujarnya, dan saat bibir cangkir sudah di depan bibirnya, ia berkata lagi. “Itu tak kan mungkin terjadi, Rio. Tak perlu bertanya kenapa, karena aku takkan punya jawaban untukmu.”
Rio baru saja membuka mulutnya namun segera saja ia berhenti karena Varos sudah lebih dahulu menjawab pertanyaan yang akan ia utarakan. ‘Kenapa?’
Setelah beberapa tegukan hangat di tenggorokannya, Varos kembali meletakkan cangkir di atas meja. “Baiklah kita lanjutkan saja. Kalian sudah mengerti betapa besarnya kemampuan cincin Firima..”
“Tidak untukku.” Potong Rio,
“.. Ya, kecuali Nilda. Tapi setidaknya kita tahu kemampuan ketiga cincin yang lain. Sederhananya, cincin Noldo memberikan kemampuan kepada pemakainya berupa kekuatan untuk berpikir dan kepandaian luar biasa. Cincin hena memberikan gambaran masa depan dan masa lalu pada pemakainya, dan cincin Inita membuat pemakainya dapat membaca isi hati dan pikiran manusia lain. Nah sekarang bayangkan apabila kekuatan ini disandingkan dengan kekuatan yang berpotensi merusak semacam celva?”
Kesenyapan kembali menyerang, hingga bibir Armitha bergerak lirih. “Kehancuran massif.”
Seketika semua mata tertuju pada Armitha. Entah itu pandangan masa depan dari hena atau dari pendapat Armitha sendiri, yang jelas Varos terlihat tersenyum setuju pada Armitha.
Armitha pun melanjutkan kata-katanya. “Ketika seseorang memakai lebih dari satu cincin Tàren maka keseimbangan sekali lagi akan rusak. Manusia itu akan berkuasa dan menciptakan kerusakan yang tak bisa ditandingi oleh kekuatan cincin lain. Kehancuran di masa lalu akan terulang kembali, dan manusia sekali lagi akan menghadapi kiamatnya.”
Mata Armitha yang semula tampak menerawang kosong kini bergerak kembali. Armitha juga bisa melihat pandangan tegang pada mata Rio, Kamal dan Arvand. Armitha pun melirik ke arah Varos.
“Benar begitu tuan?”
“Ya.. Persis seperti yang kau katakan Armitha.” Kemudian Varos merogoh saku di balik mantel hitamnya dan melemparkan suatu barang logam yang kemudian berputar tergelincir di meja hitam itu. Mata Rio melebar. Sebuah belati yang tak asing di ingatannya kini mengarahkan ujungnya yang runcing dan kotor oleh darah beku ke hadapan Rio.
Varos melihat ke arah Rio sesaat lalu ke arah Arvand yang menundukkan wajahnya.
“Kemarin, salah satu jenderal sudah mulai memerintahkan pasukannya untuk merampas cincinmu. Aku mungkin terlambat untuk melindungimu saat itu, dan temanmu itu pun takkan sanggup melawan semua pasukan itu sendiri. Sehingga dengan sangat terpaksa aku turun tangan juga.. untuk membunuh mereka semua.”
Mata Rio kini menoleh ke arah Varos. “Kau? Bukankah eldar tak diberkahi kekuatan untuk menyakiti..”
“Memang benar.. Cincinku ini tidak memberiku kekuatan untuk menyakiti, tapi bukan berarti aku pribadi tidak bisa membunuh.” Varos memandangi cincin hitam yang melingkar di jarinya sebelum ia mengalihkan pandangannya ke arah Rio.
Tatapan mata Varos terasa begitu dingin dan membuat tubuh Rio menjadi kaku. Pandangan Varos kali ini begitu berbeda. Sungguh dingin dan mengintimidasi. Seolah ada bayangan besar di belakangnya yang menghunuskan pedang-pedang panjang ke leher Rio.
“Aku bahkan bisa membunuh keempat jenderal itu jika aku mau.”
Rio menelan ludahnya sesaat. “Lalu kenapa tak kau lakukan?”
Mendengar pertanyaan lugu Rio, Varos terhenyak lalu tertawa kecil. Dan seketika bayangan menyeramkan dalam benak Rio menghilang, menyusut kembali ke tubuh Varos.
“Tentu tak akan kulakukan.” Ujarnya di tengah tawanya. “Kami para eldar, tidak diperbolehkan terlalu masuk ke dalam kehidupan manusia. Kita hanya boleh memberikan sentuhan awal. Dan membiarkan semuanya bergerak sesuai takdir atau berjalan sesuai rencana kami. Kami takkan membunuh para pion penggerak takdir. Karena kami yakin, masing-masing pemegang cincin akan mempunyai perannya masing-masing saat datang waktunya nanti.”
Tangan Rio mengepal dan gemetar. Lagi-lagi rasa ketidaksukaannya pada Varos kembali muncul. “Jadi memang kau sengaja memberikan cincin-cincin ini pada kami,dan kau mengatur semua ini. Pasti kau juga yang membocorkan rahasia cincin Firima pada pemilik cincin celva itu bukan?”
Varos tak menjawab pertanyaan Rio itu. Ia justru tersenyum tanpa dosa. Seketika Rio bangkit dari kursinya dan mencengkram kerah mantel hitam Varos. “Tega sekali kau! Kau merencanakan ini semua! Begitu mudahnya kau mempermainkan nasib seseorang!”
Arvand segera bangkit dan menahan bahu Rio, begitu juga Armitha yang berusaha menenangkan Rio.
“Rio! hentikan.. tenangkan dirimu!” ujar Arvand.
“Tenang Rio.. Ingat Rio.. Dia adalah eldar..” tambah Armitha.
Namun Rio tak bergeming. Ia masih mencengkram kerah Varos dengan kuat. Tak tampak ada usaha untuk menahan diri lagi dari Rio. “Aku tak peduli! Aku benci dengan orang-orang macam ini!kau pikir kau berhak mengatur hidup kami hah!?”
“Tentu aku tak berhak Rio.”
Mata Rio terbelalak.
“Aku tak berhak mengatur hidup kalian. Tapi aku berhak mengarahkan kalian untuk keselamatan kalian sendiri di masa depan. Apa yang kalian tahu tentang masa depan? Kalian di mataku tak lebih dari sekedar anak-anak kecil yang menangis saat ayah-ibu mengantarmu ke sekolah.”
Tenggorokan Rio tercekat. Perlahan cengkramannya pada kerah mantel Varos melonggar.
“Lebih baik kau buang pikiran buruk tentangku dan para eldar Rio. Karena pada saat-saat seperti ini, kalian akan membutuhkan pertolongan kami. Kau juga sudah kuselamatkan dua kali. Dan yakinlah, suatu hari nanti kau akan menyadari bahwa aku telah menyelamatkanmu dari awal hingga akhir.”
Akhirnya Rio melepaskan cengkraman tangannya pada kerah mantel Varos, lalu duduk kembali dengan gusar di kursinya. “Lalu kenapa kau menyelamatkanku? Bukankah katamu eldar tak diperbolehkan terlalu mencampuri urusan manusia selain mengarahkannya?”
Varos meraih kerah mantelnya dan merapikannya seraya berkata. “Karena kami tidak bisa membiarkanmu mati saat itu Rio. Tidak perlu tanya kenapa.” Seketika itu juga Rio mengatupkan bibirnya. Lagi-lagi Varos sudah menebak apa yang akan Rio tanyakan.
Kini Varos berdiri dari kursinya, tampak ia hendak pergi dari apartemen itu.
“Baiklah, itu saja yang bisa aku katakan. Aku harus pergi sekarang.”
“Apa? Kau tidak bisa pergi! Banyak hal yang harus kau jawab!” cegah Rio yang bangkit dari kursinya.
“Sudah cukup untuk saat ini Rio. Mungkin aku hanya bisa memberikan pesan dan saran untukmu dan Armitha. Carilah pemakai cincin Firima yang lain. Inita dan Noldo. Peringatkan mereka tentang hal yang kukatakan tadi. Kalian harus bersatu dan saling melindungi. Dengan begitu setidaknya bisa mengurangi kemungkinan kalian akan terbunuh. Karena aku takkan membunuh lagi untuk kalian.”
Rio tercekat dengan kata-kata Varos baru saja. Armitha tampaknya bisa membaca pikirannya dan berkata. “Tapi tuan. Bagaimana kami menemukan mereka? “
Varos terdiam sejenak, membenarkan posisi topi bundarnya, kemudian berjalan menuju pintu. “Tenang saja.. Sekarang kalian beristirahatlah dan nanti akan kuberikan lokasi kedua orang itu. Sekarang aku pamit dulu. Ohya, terima kasih juga tas tehnya. Sampai jumpa!”
“Sebentar Varos!”
Langkah kaki Varos terhenti. Suara Rio berhasil menahan gerakannya dan membuat ia menoleh.
“Kumohon untuk pertanyaanku kali ini, jawablah dengan jujur. “
Varos hanya terdiam. Ia hanya menyerongkan sedikit badannya ke arah Rio.
“Kejadian yang kualami kemarin.. itu nyata bukan? Harusnya.. harusnya tubuhku ditikam oleh seseorang..”
“Ya, itu benar Rio. Itu nyata. Kau ditikam oleh salah seorang bawahan salah satu jenderal yang menggunakan roquen arda.”
“Aku tak memperdulikan siapa yang menikamku Varos. Yang ingin kuketahui adalah.. Bagaimana bisa kejadian itu tak menimbulkan bekas apapun di tubuhku?! Harusnya aku terluka parah.. tidak. Harusnya aku mati!”
Varos hanya mengangkat bahunya dengan santai. “Mana kutahu.”
Sontak mata Rio melebar.
“Lebih baik kau tanya pada teman di sampingmu itu. Dia terus berada di sampingmu saat kau tak sadarkan diri.” Sambung Varos, kemudian ia pun menghilang di balik dinding pembatas ruangan.
“Apa? Arvand?” seketika Rio menoleh ke arah Arvand yang balik memandangnya dengan wajah polos.
“Err... mungkin ini aneh. Aku sendiri bingung. Tapi, aku bisa menceritakannya padamu Rio..”ujarnya. “Um.. Sebelumnya aku minta maaf padamu Rio. Karena aku tidak bisa melindungimu, sampai hal itu terjadi.”
Mendengar itu, Rio tersenyum dan memegang pundak Arvand dengan lembut. “Tidak apa-apa Arvand. Mendengar bahwa kau berusaha melindungiku sampai akhir dan merawatku selama aku tak sadarkan diri membuat aku senang Arvand. Terima kasih.”
Wajah Arvand bersemu mendengar kata-kata Rio itu dan kebiasaan Arvand pun muncul. Menggaruk bagian belakang kepalanya dengan senyumnya yang khas.
“Baiklah Arvand, sekarang katakan padaku apa yang terjadi.”
Arvand menganggukkan kepalanya dan mulai bercerita.
“Saat itu keadaanku terdesak, Rio. Mereka terlalu banyak dan bersenjata. Sulit buatku untuk mencapai tempatmu. Akhirnya orang tadi.. err.. Varos, datang dan aku bingung. Seketika itu juga orang-orang di sekitarku berhenti bergerak, dan Varos dengan mudah saja menyayat mereka satu persatu dengan pisau belati ini.”
Mata Rio segera melirik ke arah belati dengan noda darah di depannya. Jadi benar, cincin eldar tidak memberi kemampuan untuk menyakiti secara langsung tapi dengan entah kemampuan apa cincin itu memberikan Varos kesempatan untuk membunuh dengan mudah.
“Dan ketika mereka sudah mulai bergerak lagi, seketika itu pula darah berhamburan di mana-mana. Begitu juga dengan lelaki logam yang menusukmu, tubuhnya telah terkoyak oleh pedangnya sendiri. Varos yang membuatnya seperti itu. Setelah itu aku tanpa pikir panjang segera menghampiri tubuhmu. Saat itu sekujur tubuhmu tertutup darah. Aku tak tahu harus berbuat apa. Aku cuma bisa berteriak memanggil namamu, berharap kamu akan membuka mata, namun kamu tak kunjung bangun. Aku berteriak meminta pertolongan Varos, namun dia diam saja. Hingga akhirnya keajaiban itu muncul.”
Mata Rio melebar menatap Arvand. Seakan ia tak sabar mendengar keajaiban apa yang terjadi.
“Cincinmu bersinar sangat terang Rio. dan seketika itu juga, lubang di dadamu perlahan memulihkan dirinya sendiri.”
Mata Rio bergerak-gerak memandang Arvand seakan tak percaya. “Be.. Benarkah itu Arvand?”
Arvand tersenyum seraya berkata. “Ya Rio.. Aku tak mungkin berbohong padamu. Aku sendiri awalnya tak percaya dengan yang kulihat, namun buktinya, aku bisa melihatmu bernafas dengan baik sekarang. Tanpa lubang di dadamu tentunya.”
Rio yang awalnya melongo, perlahan mulai tersenyum kemudian tertawa pelan hingga akhirnya ia tertawa lepas. “Haha.. Jadi begitu... Jadi begitu...” ujarnya di tengah tawanya.
Matanya melirik ke arah belati di meja kemudian meraihnya.
Armitha yang semula tersenyum mendengar kata-kata Arvand kini perlahan mulai khawatir saat Rio memandang serius belati di tangannya. “Ri..rio.. kau mau apa?”
Alih-alih menjawab pertanyaan Armitha, Rio justru menyayat ujung telunjuknya dengan
belati itu.
“Rio!” jerit Armitha. Sedangkan Arvand tampak sekilas mengerjapkan matanya. Dan saat matanya terbuka kembali, ia melihat wajah Rio. Wajah Rio tampak bersinar puas, saat melihat luka sayatan di jarinya perlahan memudar hingga akhirnya hilang tak berbekas.
“Hahaha.. kau lihat itu Arvand?? Lukaku hilang dalam sekejap! Akhirnya.. Akhirnya aku tahu kekuatan cincinku.. Nilda.. memiliki kemampuan regenerasi!”
Arvand mengangguk dan tersenyum pada Rio. Tampak ia ikut bahagia dengan keberhasilan Rio menemukan kekuatan cincinnya. Hal yang sama juga ditunjukkan Armitha dan Kamal. Armitha juga mendaratkan ciuman selamat di kedua pipi Rio.
“Dengan kekuatan cincin ini, aku tak perlu takut lagi Armitha..”ujarnya dengan senyum cerah.
“Ya Rio... Aku ucapkan selamat padamu Rio.. Dengan begini kita hanya perlu mencari dua pemakai Firima lainnya, dan kekuatan Firima akan sempurna.”
Rio mengangguk dengan semangat. Ia merasa bebannya sedikit terangkat kini. Dan ini semua terjadi berkat bantuan satu orang. Rio pun menoleh ke arah Arvand yang -entah apa yang sedang ia pikirkan- sedang mencengkram dan meremas-remas lap di atas meja. Rio langsung saja memeluknya, membuat wajah Arvand bersemu. Ia tak menyangka Rio akan melakukan itu.
“Terima kasih Arvand. Ini tak kan terjadi tanpamu.” Gumam Rio.
Arvand yang semula hanya terbengong-bengong kini tersenyum dan membalas pelukan Rio dengan tepukan pelan di punggung Rio. “Tak perlu berterima kasih Rio.. Aku juga akan berjanji, akan selalu ada untuk menjagamu.”
Rio tercengang sesaat mendengar bisikan Arvand. Namun Rio hanya tersenyum dan melepas pelukannya.
Armitha juga tersenyum simpul melihat momen itu. Memang agak aneh melihat dua orang lelaki saling berpelukan seperti yang Rio dan Arvand laukan. Namun untuk momen bahagia seperti itu tak ada salahnya sebuah pelukan antara sesama lelaki.
“Baiklah anak-anak.. Lebih baik sekarang kalian beristirahat atau lakukan hal yang kalian suka. Aku akan membereskan meja.”
Rio langsung menoleh ke arah Armitha dan tangannya menyambar piring-piring di dekatnya. “Biar kubantu Armitha..”
“Tidak perlu Rio.. kau baru saja siuman dan menerima hal-hal yang berat. Lebih baik kau bersantai bersama Arvand.”
Untuk sejenak mata Armitha dan Rio saling bertemu dan seakan berbicara dalam tatapan itu. Hingga Armitha menggeleng dan tersenyum. “Tidak Rio.. Aku bersikeras.”
Rio pun menghela nafas dan mendorong kursinya ke dalam meja. “Baiklah Armitha.. Terima kasih untuk segalanya.”
Armitha mengangguk. “Ya.. ah, kau juga Arvand. Berhentilah, biar aku dan Kamal yang membereskan ini.” Ujar Armitha pada Arvand yang tampak melipat kain lap yang tadi ia permainkan.
“Err.. Tapi aku merasa tidak enak.. Kalian adalah tamuku.” Ujarnya.
Armitha menggeleng pelan lalu meraih kain lap yang Arvand pegang. “Sudah tidak usah kau pikirkan. Lebih baik kau temani Rio untuk bersantai. Dia sangat membutuhkannya.”
“Err.. Baiklah Armitha, maaf dan terima kasih.” Ujar Arvand sambil menyerahkan kain lap pada Armitha.
Armitha dengan senyuman yang ramah menyambut kain lap itu dan saat itu juga jari Arvand dan Armitha bertemu. Seketika senyum Armitha perlahan memudar.
Jadilah Arvand mengajak Rio menuju ke luar ruang makan untuk berkeliling, sementara Armitha masih memandang kedua pemuda itu hingga keduanya lenyap di balik dinding pembatas ruangan. Mata Armitha tampak menerawang kosong.
“Ada apa nyonya?”
Suara Kamal seketika membuat Armitha tersadar dan mengerjapkan matanya. Sebuah senyum tipis tersungging di bibirnya. “Tidak apa-apa Kamal.. Aku hanya melamun sebentar.”
“jika anda capai, biar Kamal ini saja yang membereskan ini semua.”
Armitha menggeleng. “Tidak Kamal.. Aku tidak lelah. Pekerjaan ini takkan membuatku merasa lelah.” Ujarnya.
Kamal pun tersenyum. “Baiklah nyonya, kalau anda memaksa.. Tapi biarlah Kamal saja yang membawa tumpukan piring ini ke tempat cuci piringnya. Ini cukup berat untuk anda.”
“Baiklah Kamal. Letakkan saja biar aku yang mencuci.” Ujar Armitha. Kamal pun pergi sambil membawa tumpukan piring kotor itu, sedangkan Armitha menundukkan wajahnya ke arah lap di tangannya.
“Mungkin perasaanku saja.” Batin Armitha.
Dan ketika Armitha hendak merapikan lipatan kain lap itu, mata Armitha melebar. Seketika itu juga ia menengok ke arah jalan tempat Arvand dan Rio menghilang dari pandangannya.
Samar-samar ia juga bisa mendengar tawa canda mereka. Tanpa sadar sebuah embun meluncur dari kelopak mata Armitha.
***
*ksh cendol..
wkkwkk..
yaa.. arvand ternyata org biasa dgn rambut tak biasa.. #apadeh