It looks like you're new here. If you want to get involved, click one of these buttons!
Copyright 2021 Queer Indonesia Archive. See our Privacy Policy. Contact us at [email protected]
Dengan menggunakan situs ini berarti Anda setuju dengan Aturan Pakai.
BoyzForum.com adalah situs anti pedofilia!
Comments
Kasian don nya ya.......
Semangat gan nanti gw kasih first kiss gw sma bang @Robi_is_a_goodboy
Kasian don nya ya.......
Semangat gan nanti gw kasih first kiss gw sma bang @Robi_is_a_goodboy
terima kasih @McGerronimo boleh mention utk selanjutnya?
Cincin 10B.
“A.. Anda..”
Suara Rio tergagap ketika ia melihat sosok pria dengan tatapan yang begitu dalam dan sejuk sedang melingkupi tubuh Rio dengan jaket putih yang cukup tebal.
Dengan senyum yang hangat, pria itu menyuarakan kata-kata pertamanya. “Pakailah.. di sini dingin sekali pada malam hari.”
Wajah Rio tampak membeku karena gugup dan canggung. Ia mengangguk kaku sambil mengeratkan jaket itu ke tubuhnya.
“Oh.. kau pasti bingung. Saya ayah Arvand, Arkhan Juneville. Kau bisa panggil saya June.”
Rio masih tertegun penuh tanya sambil menyalami tangan Tuan June. Sebagai ayah seorang anak berumur tujuh belasan tahun, wajahnya tampak masih begitu muda. Garis-garis putih di rambut yang ia sisir ke belakang itu seakan tak sanggup menunjukkan tanda-tanda penuaan di wajah Tuan June. Apakah ini hanya efek minimnya pencahayaan malam atau memang keluarga Arvand berwajah rupawan. “A... nama saya Rio..” balas Rio yang sedikit terlambat.
“Ya.. aku tahu.. saat aku pulang dari pekerjaanku, aku sudah menemukanmu terbaring di ranjang anakku. Anakku Arvand tampak begitu mencemaskanmu, hingga dia tampak lebih jelek selama beberapa hari.”
Rio hanya bisa menelan ludah. ‘Jelek?’ Rio bertanya-tanya apakah standar Tuan June setinggi itu, sampai tidak menyadari setampan apa anaknya? Selain itu Rio menjadi sedikit khawatir akan apa yang harus ia jelaskan bila Tuan June menanyakan perihal ketidaksadarannya. Akankah Tuan June akan berburuk sangka padanya dan menyuruh Rio menjauhi anaknya?
“Lalu... Apa yang kau lakukan di sini? Keluarga kami jarang sekali menjamah tempat ini di malam hari. Terlalu dingin. Sebaiknya kau segera masuk dan kembali ke kamar. Apalagi kau baru saja siuman bukan?”
Rio kembali menelan ludah dan mengangguk pelan.
“Hmm.. Apakah... ada sesuatu yang kau pikirkan? Yang membuatmu tidak nyaman? Apakah aku mengganggu di sini?”
“O..Oh, tidak! Tidak sama sekali tuan.. Saya bahkan berterima kasih sudah membawakan saya jaket. Di sini memang dingin. Hehe..”
Tuan June hanya tersenyum tipis sambil mengangkat sebelah alisnya seakan bertanya ‘lalu?’ dan itu membuat Rio tertunduk dengan senyum tipis,
“Saya hanya tidak bisa tidur.. dan omong-omong.. Sebelumnya maaf kalau saya terkesan lancang, tapi .. apakah anda benar-benar ayah kandung arvand?”
Wajah Tuan June tampak menyiratkan keheranan bercampur geli. Rio segera menyambung kata-katanya, dengan harapan Tuan June tidak berprasangka buruk padanya. Rio tidak ingin menciptakan kesan negatif di awal pertemuannya dengan orang tua Arvand.
“Maksudku.. anda terlihat masih sangat muda.. anda masih seperti pria berumur 20an..”
Raut heran Tuan June berubah menjadi tawa kecil. “Haha.. Santai saja.. Jangan tegang begitu. Aku sudah sering mendengar kata-kata seperti itu. Jawabannya tentu saja aku ayah kandung Arvand. Aku bisa menunjukkan akta kelahiran, kartu keluarga dan foto-foto masa kecil Arvand. Aku bahkan bisa menceritakan seluruh detil biografi Arvand sejak ia masih berada dalam kandungan hingga saat ini. Tentu saja kalau kau mau.”
“Aa..Hahaha..” Rio hanya tertawa kecil sedikit dipaksa. “Aku akan menyukainya tuan.. tapi mungkin di lain waktu.”
Tuan June tampak mengangguk-angguk setuju sambil mengosok dagunya yang runcing.
“Saya hanya kagum pada penampilan anda. Anda tampak lebih seperti kakak Arvand daripada seorang ayah.” Rio mengatakannya dengan senyum melengkung penuh, supaya Tuan June tidak merasa terhina atau berprasangka negatif.
“Oh.. tentu saja! Kalau kau mau tahu rahasianya.. tentu perawatan kulit itu penting. Aku bisa mengenalkanmu pada kenalanku seorang spesialis kulit dan kecantikan. Lalu, pola makan juga perlu. Daann... yang penting juga, kau harus selalu dalam keadaan yang damai... senang.. bahagia...”
Rio hanya bisa mengangguk-anggukan kepalanya saat Tuan June mengayun-ayunkan tangannya bak balerina saat mengucapkan kata damai, senang dan bahagia.
“Dan ITULAH. Itulah sebabnya aku menyempatkan bermeditasi di sela waktu senggangku. Kau tahu, tempat kerjaku adalah tempat yang menguras emosi dan pikiran. Ah, hanya memikirkannya saja sudah membuat satu lipatan kecil di kantung mataku. Aku bisa merasakannya! Ah lupakan saja. Jadi, errr...”
“Rio..”
“Ya, Rio. kuncinya adalah itu. Perhatikan tubuhmu, pikiranmu, dan hatimu.. maka semua itu akan menjaga pesonamu.” Ujar Tuan June sambil memijat-mijat pipinya.
Rio tertawa pelan dibuatnya. Kini ia tidak bingung lagi darimana Arvand mendapatkan sifat konyol dan kekanak-kanakannya. Dan ia lega mengetahui Tuan June tak terlalu ambil pusing tentang apa yang terjadi pada Rio sebelum tak sadarkan diri. Atau mungkinkah Tuan June tidak ingat untuk menanyakan itu?
Lamunan Rio terhenti ketika Tuan June menguap dan merentangkan kedua tangannya.
“Hoammm... Sepertinya badanku sudah merindukan ranjangku yang lembut. Kau tidak masuk, Rio?”
Rio menggeleng dengan senyum tipis. matanya kini teralih pada jalanan kota di bawahnya. “Tidak tuan. Saya ingin berada di sini lebih lama lagi.”
Tuan June meresponnya dengan ‘hmm’ panjang dan mengangguk pelan. Kemudian ia mencondongkan tubuhnya ke samping dengan mata memicing ke arah wajah Rio. “Apakah.... itu soal asmara?”
Mata Rio yang semula tampak kosong langsung melebar. Ia menoleh ke arah Tuan June dengan senyum canggung yang aneh. “Eh..? Maksudnya?”
“Apakah kau memikirkan suatu hal.. yang berkaitan dengan asmara?”
“hahh.. bu.. bukann..” Rio buru-buru menggeleng-gelengkan kepalanya, meski dalam hati ia mengiyakan pertanyaan Tuan June.
Melihat rekasi Rio, Tuan June semakin melebarkan senyumnya. “Hoo... aku pasti benar. Kau tidak bisa menipu mata sutradaraku.” Ujar Tuan June sambil menunjuk ke arah mata berwarna cokelatnya itu.
Rio seperti tertusuk tombak untuk kedua kalinya, membuatnya lemas dan hanya bisa memangku dagunya di tangannya.
“Hahaha.. Benar kan... Ah, aku sudah bertahun-tahun melihat orang sepertimu Rio... Aku bisa langsung tahu hanya dengan sekali lihat.”
Rio hanya bisa tertawa pelan mendengar kata-kata Tuan June. “Sudah berapa lama anda berprosfesi sebagai sutradara, tuan?”
“Hmm.. Berapa lama ya..? Kalau aku tidak salah ingat, hampir 20 tahun.”
Bibir Rio membulat diiringi suara ‘o’ panjang pelan.
“Sebenarnya Arvand tidak terlalu menyukai pekerjaanku. Dia pernah berkata jika pekerjaanku hanya menyuruh orang lain untuk saling berbohohong dan berpura-pura di depan orang banyak. Tapi.. bagaimana lagi? Itu sudah menjadi pekerjaanku dan juga passionku di dunia seni. Yah.. kau tahu, setiap orang punya pandangan berbeda. Bahkan antara ayah dan anak.”
Untuk sejenak Rio tertegun. Selama Tuan June masih mengoceh tentang hubungannya dengan beberapa aktor dan aktris terkenal, di kepala Rio justru masih terngiang kata-kata Tuan June tentang bagaimana Arvand tidak menyukai kebohongan dan kepura-puraan.
‘Apakah Arvand juga tidak menyukaiku yang sudah berbohong padanya? Tapi.. tapi aku tidak berbohong padanya.. Dia hanya tidak mengetahui... Belum mengetahui diriku sepenuhnya. Apakah itu termasuk kebohongan? Lalu bagaimana dengan Don? Aku sudah berjanji setia padanya. Dia mempercayaiku. Bagaimana reaksi Don jika tahu aku sudah melangkah semakin dekat dengan garis ‘tidak setia’ yang telah ia patok? Dan bagaimana dengan Arvand? Apakah ia akan terima saja, mengetahui aku sudah berbohong pada orang lain?’
Rio memejamkan matanya rapat-rapat dan memeluk bonekanya erat sekali.
Melihat itu, Tuan June menghentikan ocehannya tentang skandal seorang aktris dengan seorang petugas lighting.
“Apakah kau baik-baik saja Rio? Mungkin lebih baik kita masuk ke dalam..”
“Tuan. Bolehkah aku bertanya?”
“Oh.. Tentu saja.”
Rio diam sesaat dan membasahi bibirnya yang mengering terkena dinginnya angin. “Apakah di antara banyak judul yang anda sutradarai, ada suatu judul film yang menceritakan tentang seseorang.. yang terjebak di antara cinta segitiga? A..atau.. sederhananya, ada seseorang yang tidak bisa memilih antara dua orang yang sama-sama ia suka..”
Belum selesai Rio menyelesaikan kata-katanya, ia melihat Tuan June tertawa tanpa suara, hingga kata ‘ha’ satu persatu keluar dari mulut Tuan June. Tawanya yang sedikit tertahan itu jujur saja membuat Rio merasa sedikit kesal. Itu adalah suatu reaksi yang tidak ingin kau lihat saat kau sedang ingin menceritakan masalah beratmu pada seseorang.
“A..Apakah ada yang lucu dari pertanyaanku, Tuan June?”
Langsung saja Tuan June menengok ke arah Rio dan mulai mengurangi intensitas tawanya, hingga ia bisa berbicara lagi. “Ha.. ha.. Hehe.. Maaf Rio. bukan maksudku menertawakanmu.. tapi.. jujur saja.. cerita yang kau katakan tadi sudah begitu klise. Banyak sekali film yang menceritakan kisah dengan pola semacam itu. tak terhitung banyaknya. Kurasa kau sendiri sudah melihat beberapa di antaranya.”
Rio terhenyak mendengarnya. Yang dikatakan Tuan June ada benarnya. Pertanyaannya sudah menjadi sebuah klise di dunia perfilman begitu juga di banyak novel dan cerpen. Rio sendiri sudah melihat akhir dari beberapa cerita semacam itu. Pada akhirnya salah satu di antara dua orang yang ia cintai harus mengalah atau bahkan mati, sehingga lakon utama bisa mencintai orang yang ‘tersisa’.
Tidak banyak, bahkan Rio tak pernah menemui cerita di mana lakon utamanya dapat mencintai kedua orang sekaligus hingga akhir hayat. Pasti hanya satu yang ia dapat cintai.
Tuan June tampak sudah dapat mengendalikan tawanya sekarang, dan melihat tatapan Rio, membuatnya bersimpati. “Aku tak tahu pasti poin pertanyaanmu Rio.. tapi sebagai sutradara yang sudah memimpin banyak judul dari berbagai genre, aku hanya bisa memberimu sedikit nasihat.”
Perlahan Rio menoleh ke arah Tuan June. Ia bisa melihat tampang serius dari wajah Tuan June.
“Setiap penulis cerita.. Setiap sutradara.. Setiap manusia, memiliki pengertian cintanya masing-masing. Apa definisi yang pasti tentang cinta itu sendiri masih belum bisa ditemukan hingga kini. Bahkan Albert Einstein sendiri lebih memilih merumuskan teori relativitas waktu daripada mencari rumus persamaan cinta. Itulah yang menimbulkan muncul kata-kata, seseorang bisa mengagumi berkali-kali, menyukai ratusan orang, melakukan perkawinan berkali-kali, tapi dia hanya akan merasakan jatuh cinta satu kali. Kenapa?
Karena setiap orang memilki definisi cintanya masing-masing. Dan untuk menemukan definisi cintanya sendiri, seseorang akan berproses dan mencarinya. Hingga ia menemukan seseorang yang sesuai dengan definisi cintanya.”
Rio terpana mendengar penjelasan Tuan June. Antara kagum, sekaligus dalam proses mencerna kata-kata Tuan June.
“Saranku, sebaiknya kau cari dulu, seperti apa definisi cintamu. Dengan begitu aku yakin kau akan menemukan seorang yang layak.”
Anggukan pelan tampak pada Rio. Sedikitnya dia memahami apa yang dimaksud Tuan June.
“Okay.. Sepertinya aku harus segera tidur. Hawa dingin ini membuatku semakin mengantuk saja. Ah! Aku begitu merindukan selimut hangatku sekarang.”
Mata dan senyum Rio mengikuti Tuan June yang kini melangkah memasuki ruangan, hingga tatapan Rio kembali melebar penasaran ketika Tuan June berbalik lagi ke arahnya.
“Satu lagi, sebaiknya kau mencoba metode meditasi seperti yang kulakukan. Itu terbukti ampuh untuk menjernihkan pikiranmu. Dan bagus untuk perawatan tubuh juga tentunya.”
Rio hanya tersenyum mendengar saran itu, kemudian mengangguk semangat hanya umtuk menyenangkan hati Tuan June.
“Baiklah, aku masuk dulu. Kau juga harus segera masuk dan pergi tidur. Banyak begadang bisa membuat kantung matamu membengkak dan menghitam. Aku tak akan rela hal itu terjadi padaku, jika aku menjadi dirimu. Good night..”
“Baik Tuan June.. terima kasih..”
Ucapan terima kasih Rio hanya dibalas senyuman oleh Tuan June yang kini telah berlalu dari tempat itu, meninggalkan Rio dengan boneka penguin di pelukannya.
“Hmm..” sekali lagi kepulan asap putih mengepul dari bibir tipis Rio. Dipandangnya kilau cincin yang melingkar di jari manisnya. Pantulan cahaya rembulan dari cincin itu tampak bergerak-gerak di wajah dan mata Rio. Dalam lamunannya itu, pikiran Rio melambung jauh. Mereka-reka kembali kata-kata Tuan June yang tadi ia dengarkan.
Ya. Rio pikir, selama ini ia tidak tahu cinta apa yang dia inginkan. Yang ia rasakan hanya perasaan tertarik dan nyaman ketika seorang pria begitu dekat dengannya. Ia hanya merasa tertarik pada pria dengan wajahnya yang menarik, atau dengan badannya yang atletis. Ia juga merasa begitu tertarik pada seorang pria hanya karena ia unik dan menghibur. Tapi Rio kembali bertanya-tanya. Apakah itu sungguh cinta. Jika itu cinta, dengan beberapa kriteria itu saja, Rio sudah mendapati banyak sekali orang yang ia ‘cintai’. Apakah cinta sungguh hanya untuk satu orang? Tidak bisakah Rio mendapatkan lebih?
Sejenak Rio menggelengkan kepalanya dengan lemah. Ia menundukkan wajahnya, membenamkan dagunya di kepala penguin yang empuk dan dingin. Matanya hanya tertuju pada cincin Nilda di jarinya.
“Aku sungguh sial sejak bertemu denganmu. Aku bahkan masih belum bisa menerima kenyataan ini. Aku masih yakin ini hanyalah lelucon jelek yang tidak lucu. Tapi... Jika ini semua benar.. jika kau benar adalah cincin ajaib yang memiliki kekuatan menyembuhkan.. bisakah kau menyembuhkan hati yang terluka, Nilda?”
Sementara Nilda hanya menjawab dengan kilau temaram yang dingin.
***
Hehehe berasa hidup seperti d dunia lain.
Lanjut agan,,,,,
Yg semangat ya....
Cincin 11. Pelindung (1)
“Rio..!”
“Rio..!”
Perlahan Rio membuka matanya, dan perlahan pula Rio menyadari keberadaan di sekitarnya. Sensasi menggelitik di wajah dan teliga Rio yang seirama dengan hembusan angin yang hangat. Langit biru luas dengan beberapa dedaunan berwarna perak dan emas beterbangan, disertai dengan kelopak kecil bunga-bunga putih.
Rio mengerjap-ngerjapkan matanya.
“Rio..!”
Suara itu masih terdengar samar. Seolah menggema dari suatu tempat yang jauh. Dengan perasaan sedikit malas, Rio beranjak dari tempat berbaringnya yang empuk dan menggelitik. Dalam posisi terduduk dengan kedua telapak tangannya di tanah, menyangga punggungnya, Rio melihat ke sekelilingnya. Ia mengenali tempat itu. Kini ia bisa yakin jika ia sedang bermimpi. Hanya dalam mimpi saja Rio bisa mendapati pemandangan semacam ini. Sebuah padang bunga tulip putih dan pohon-pohon berdaun emas dan perak. Jika itu semua nyata, tempat itu pastilah surga, karena pemandangan itu sungguh memanjakan mata dan hati. Jika boleh, Rio ingin di situ selamanya, terperangkap dalam mimpi yang begitu indah.
Perhatian Rio kini terarah pada sebuah pohon yang paling besar di sebelah kirinya. Wanita itu masih di sana. Wanita dengan rambut yang berkilauan, antara keemasan atau keperakan, Rio masih bingung untuk menilainya. Yang jelas wanita itu masih berdiri di tempat yang sama, menunggu Rio dengan senyumnya yang dingin dan angkuh layaknya kebanyakan wanita yang agung.
Perlahan Rio berdiri dan berjalan ke arah wanita itu. Setidaknya, bila Rio ingin hidup selamanya di tempat itu, dia harus mengenal satu-satunya manusia yang kemungkinan bisa menjadi teman hidupnya di sana.
“Nyonya.. Siapakah anda? Kenapa anda selalu muncul di mimpiku?”
Wanita itu tersenyum semakin lebar, memancarkan keindahan yang tak bisa disamai oleh kilaunya bintang di langit senja.
“Mengapa kau diam saja? Jawab aku!”
Wanita itu masih saja terdiam dan tersenyum, seolah sedang memperhatikan bagaimana seorang anak kecil mengomel dan merengek meminta sesuatu.
Untuk sejenak Rio terdiam di tempat itu. Dipandangnya jari jemarinya. Barulah kini ia menyadari bahwa selama di mimpi yang sama itu, Rio tak pernah mendapati Nilda di jari manisnya. Mata Rio bergerak-gerak, seakan ada sesuatu di benaknya yang perlahan melesak keluar.
“Kau.. Apakah kau..”
Wanita itu tersenyum kian lebar seraya bola matanya tampak mengerling ke arah belakang Rio. dan suara memanggil nama Rio, samar-samar terdengar kembali.
“Kau... Nilda? Atau..”
Angin berderu cukup kencang. Kelopak tulip putih beterbangan. Dalam pandangannya yang terhalang kelopak-kelopak itu, Rio melihat wanita itu memalingkan tubuhnya dan melambaikan tangannya.
“Tidak.. tidak.. kau harus menjawab pertanyaanku dulu! Tunggu! Jangan pergi..”
Dan akhirnya Rio bisa mendengar suara wanita itu untuk yang pertama kalinya.
“Kita akan berjumpa lagi Rio. waktunya semakin dekat. Kau harus bergegas Rio..”
“Apa maksudmu? Kenapa aku harus bergegas?”
‘Rio!’
Suara itu kembali menggema samar dan kian mendekat, begitu juga degan angin yang berderu semakin kuat menerbangkan lebih banyak kelopak putih dan membuyarkan pandangan Rio. Satu pemandangan terakhir yang dapat Rio lihat adalah senyum wanita itu dan suaranya yang dalam.
“Sampai jumpa lagi Rio.”
‘Rio!’
***
Rio mengerjap-ngerjapkan matanya. Kelopak bunga putih yang tadi beterbangan dengan liar kini telah berubah menjadi bulu-bulu putih di langit-langit. Rio merasa tubuhnya diguncang perlahan dan wajah yang tak asing baginya muncul di lingkup pandangannya.
“Rio.. Kau sudah bangun? Cepat.. Kita bisa terlambat ke sekolah..”
Butuh waktu beberapa saat bagi Rio untuk mencerna kata-kata pria itu. “Arvand?” ucapnya dengan suara serak.
“Ayo bangun. Cepatlah pergi mandi! Aku akan membantu Armitha menyiapkan sarapan. Kau bergegaslah..”
“Bergegas?” ucap Rio lirih seakan mengingat-ingat sesuatu. Dilihatnya Arvand beranjak dari kamar dan pandangan Rio bergeser ke arah jam dinding di salah satu sisi kamar. Jarum pendek dan yang paling ‘diam’ menunjukkan angka enam. Kini mata Rio benar-benar terbuka sepenuhnya.
“Astaga!”
Bagai hendak dimangsa singa, Rio meloncat dari ranjang dan berlari ke arah kamar mandi sambil lalu membanting pintu kamar mandi cukup keras.
“Sial... Bagaimana aku bisa lupa kalau ini hari Senin? Padahal Arvand sudah mengingatkanku kemarin..” gerutu Rio sambil melepas pakaiannya.
Di bawah rintik shower, angan Rio kembali pada lucid dream yang barusan ia alami. Entah kenapa memori akan mimpi itu kian berkurang dan terhapus menjadi potongan-potongan mimpi yang samar. Hanya wajah wanita itu dan kata “bergegaslah” yang dapat Rio ingat dengan kuat.
Suara derit logam terdengar ketika tangan Rio memutar keran shower. Rintik deras air hangat yang tadi mengguyur tubuh Rio kini berubah menjadi titik-titik air yang menetes di jemari Rio. membentuk tetes air yang mengalir lembut di permukaan licin cincin Nilda. Mata Rio tertuju pada cincin itu.
“Apakah itu kau Nilda?”
***
“Kau lama sekali Rio..”
Gerutu Arvand terdengar ketika Rio pertama kali memasuki ruang makan. Tampak Arvand sudah siap dengan seragam dan jaket putihnya yang semalam Rio kenakan di beranda. Wajah Rio agak berseri ketika membayangkan jaket yang dikenakan Arvand sempat ia pakai dan rasakan kehangatan dan wanginya.
“Kenapa kau senyum-senyum begitu? Ayo cepat sarapan!”
Senyum Rio mengembang riang. “Baiklah, baiklah.. Kau bawel sekali pagi ini Arvand.”
“Ah.. Aku hanya tidak ingin membuat kesan jelek di mata guru-guru dan teman-teman.. Aku kan masih baru di sekolah.”
“Hehe.. Kau lucu sekali Arvand.. Omong-omong, kebetulan sekali kau punya dua seragam. Yah agak kebesaran sih. Tapi ini lumayan.” Ujar Rio sambil menggigit rotinya.
Arvand yang semula menyendok nasi terakhirnya tampak mengalihkan pandangan ke arah Rio. dilihatnya baju seragam yang tampak agak kebesaran di tubuh Rio, begitu juga celana yang ia lipat di ujungnya. “Hehe.. syukurlah. Tidak terlalu buruk. Untuk celana memang aku punya dua. Yang kau pakai itu celanaku yang baru. Yang lama kupakai.”
“Eh? Kenapa kau pakai yang lama? Kenapa tidak untuk aku saja? Mungkin saja lebih kecil.”
“Tidak Rio. ukurannya tidak jauh berbeda. Hanya saja aku tidak enak untuk meminjamkan celana ini padamu.”
Rio agak terkejut ketika Arvand menunjukkan bagian lutut celanaya yang sobek. “Astaga! Bagaimana kau akan mengenakan celana sobek begitu di sekolah? Aaish... Kau akan membuat kesan yang jelek di mata guru dan teman-teman.”
Arvand kembali memasukkan kakinya ke bawah meja dan memasukkan nasi terakhirnya ke mulutnya. “Maka itu, jangan sampai terlambat.. supaya kesan jelekku tidak bertambah.”
Rio tertawa kecil melihatnya. Dengan gemas Rio mencubit pipi Arvand yang menggembung karena makanan yang ia kunyah. “Hahaha.. kau lucu sekali Arvand.”
Sekilas Rio dapat melihat wajah Arvand yang merona, meski ia tak ingin menunjukkannya pada Rio.
Kedamaian di tempat itu seketika padam ketika Varos muncul di ruang makan dan langkahnya terhenti ketika melihat Rio dan Arvand. Begitu pula kedua remaja itu tampak mematung ketika melihat kehadiran Varos yang tak diundang.
“Varos?” gumam Rio yang kemudia menyadari tangannya masih di pipi Arvand, segera menarik tangannya.
“Kalian? Kenapa kalian berpakaian seperti itu?” tanya Varos dengan mata yang bergerak-gerak bingung ke arah dua remaja di depannya. Sementara Armitha dan Kamal baru saja muncul dari dapur, melihat siapa tamu yang datang.
Rio dan Arvand saling pandang untuk sesaat dan memandang Varos dengan bingung. “Kenapa? Tentu saja karena ini hari senin. Kami harus berangkat ke sekolah.”
“Apa? Sekolah? No, no, no.. Tidak ada sekolah.”
Rio hanya bisa melongo usai Varos mengatakan itu dan melihat ia duduk di depannya, meraih selembar roti lalu mengolesinya dengan banyak mentega.
“Apa maksudmu? Sejak kapan kau berhak mengatur hidup kami juga?”
Varos hanya menggerakkan bola matanya sesaat ke arah Rio dan terus mengoleskan mentega di rotinya.
“Err.. Ada apa ini?” tanya Armitha sambil duduk di meja dengan hati-hati, seakan merasa tidak enak memotong ketegangan di antara Varos dan Rio.
“Ah, Armitha. Apakah Kamal di sana?” Varos menengok ke arah belakang Armitha dan Kamal mengangguk dengan gayanya yang khas. “Bagus. Tolong buatkan aku secangkir teh. Gulanya yang banyak.”
Kamal pun mengangguk dan meninggalkan tempat itu. sementara Varos menggigit rotinya dengan begitu puas.
“Bukan bermaksud mengaturmu Rio.. Tolonglah, kau jangan terus berburuk sangka padaku. Semua yang kulakukan untuk kebaikanmu.” Remah roti sesekali terlontar ketika Varos berbicara dengan mulut penuh roti menteganya.
“Lalu sekarang kau melarangku untuk pergi ke sekolah?”
“Untuk saat ini? Iya. Aku sendiri yang akan mengurus masalah sekolahmu. Kau tidak perlu khawatir.”
“Ta.. Tapi kenapa? Aku sudah absen selama beberap hari dan..”
“Pemegang cincin Noldo, salah satu cincin Firima, sudah tewas.”
Suasana pagi yang hangat dan damai seolah retak menjadi pecahan-pecahan kecil. Kata-kata Varos seketika membuat Rio dan Armitha mematung, sementara Arvand tersedak saat meminum susunya.
“Gerakan Quatro Bestia semakin gencar dan nekat. Tidak seperti kasusmu Rio, beberapa jenderal sudah terjun langsung memburu cincin-cincin Firima. Hal itu membuat kondisimu jadi semakin sulit.”
Kamal baru saja datang dan menghidangkan secangkir teh ke hadapan Varos.
“La.. Lalu apa yang harus kami lakukan, Tuan?”
Terasa sekali kekhawatiran di suara dan wajah Armitha. Arvand juga melihat Rio terdiam dengan tangannya yang gemetar.
“Untuk sementara ini, kalian tunggu di tempat ini. Mereka mungkin sudah mendapatkan informasi tentang Rio dan tempat tinggal serta sekolahnya, namun mereka tak tahu apapun tentang Arvand. Sehingga untuk saat ini, sekali lagi, untuk saat ini, kurasa tempat ini aman untuk kalian berdua.”
“Jadi.. Kau ingin mengurung kami di tempat ini? Sampai kapan? Kami juga punya kehidupan sendiri..”
“Dan kehidupanmu akan berakhir ketika mereka menemukanmu Rio.”
Tenggorokan Rio seakan tercekik ketika Varos menatapnya dengan tajam.
“Saat ini aku tidak bisa memastikan keberadaan cincin noldo, namun kemungkinan besar cincin itu sudah di tangan salah satu dari keempat jenderal. Dan kau tahu, bagaimana cara mereka mengambil cincin itu darimu?”
Rio menundukkan kepalanya. Ia teringat pada kenangan masa itu, ketika Laviska menghunuskan pisaunya ke arah wajah Rio.
“Theodore Takatsuchi, pemegang cincin noldo yang terakhir. Aku menemukannya mati dengan kondisi tangan dan kakinya terputus. Begitu juga dengan korban lainnya. Mereka tak akan berbelas kasih dan menyisakan saksi hidup yang akan membahayakan operasi mereka.”
Udara di ruang itu seakan membeku. Semuanya membisu. Bahkan kegetiran tersirat pada wajah Varos, meski berusaha ia tutupi dengan mengunyah roti dan meminum teh.
“Jadi.. Sampai kapan kami harus bersembunyi?”
Ada kesan sedikit bersahabat di suara Rio sekarang. Bukan suara yang terkesan ketus dan kurang ajar yang selama ini dia lontarkan pada Varos.
Mendengar perubahan suara Rio itu, Varos hanya menghembuskan nafas dalam. “Setidaknya sampai para jenderal yakin bahwa kau dan Armitha sudah tidak berada di tempat ini, atau sampai kau memiliki pelindung yang dapat diandalkan.”
“Err...”
Varos dan Rio menoleh ke arah Arvand yang dengan senyum canggung, mengangkat tangannya. “Mungkin aku bisa mendaftar.”
Untuk sejenak keadaan menjadi hening, dan dalam satu letupan, Varos tertawa hinggaa remah roti di mulutnya berceceran di meja makan. “Kau? Ahahahaha...! Temanmu sungguh pintar dalam mencairkan suasana, Rio!”
Tidak terima dengan gurauan Varos, Rio segera mengapit lengan Arvand, yang hal itu membuat Arvand tertegun.
“Tidak, Varos. Dia berjanji akan selalu berada di sampingku dan melindungiku. Aku pun mengiginkannya sebagai pelindungku.”
Tawa Varos terhenti, berubah menjadi ekspresi heran yang dibuat-buat. “Heh! Dasar anak kecil. Selalu saja berpikir sederhana dan seenaknya saja. Hey, apakah kau tahu dengan siapa kau berurusan kini? Mereka bukan Laviska, atau prajurit dengan cincin roquen. Yang kau hadapi adalah jenderal yang memegang cincin kuasa setara dengan cincin yang kau kenakan! Jika dia mau, dia bisa membunuh kalian berdua hanya dengan sekali tebas!”
“Kalau begitu bantu kami!”
Mata Varos melebar, seolah tak peraya dengan apa yang dikatakan Rio. “Apa?”
“Bantu kami! Bantu kami mendapatkan kekuatan itu. Kekuatan agar kami bisa menghadapi mereka.”
Semua mata kini terarah pada Rio. Begitu juga Arvand yang memandangnya dengan mata sendu. Perlahan ia menundukkan wajahnya ke arah piring di depannya, sehingga ia bisa melihat samar pantulan wajahnya di sana.
“Aku tahu, di antara keempat cincin kuasa, kami dari icncin Firima adalah yang paling lemah karena tidak dianugrahi kekuatan untuk bertarung dan merusak. Tapi aku juga tidak ingin seperti ini. Aku tidak suka menjadi buruan orang lain dan membahayakan hidup orang lain. Namun melihat situasiku sekarang, aku menjadi kasihan pada diriku sendiri.” Tangan Rio bergetar dan menggenggam erat sendok garpu yang berada di samping tangannya.
“Bahkan di antara keempat cincin Firima, hanya aku yang tak tahu apa kekuatan cincin Nilda. Dan kalau pun benar kekuatan sejati Nilda adalah kekuatan penyembuh.. aku masih merasa itu tidak cukup untuk melindungiku dan orang-orang di sekitarku. Untuk itu..”
Sebuah kilau keperakan tampak melesat ke arah wajah Varos, dan baru dapat terlihat benda itu adalah sebuah garpu ketika Varos berhasil mengangkapnya dengan sigap.
“Kau tahu aku punya tingkat akurasi yang baik dalam membidik. Hanya itu keahlianku. Tolong, bantulah aku menjadikan keahlian ini kekuatanku.”
Armitha tampak terkejut melihat kemampuan Rio. Ia berpikir seandainya yang menjadi target lemparan garpu itu bukanlah Varos melainkan dirinya, dia pasti sudah kehilangan salah satu matanya.
Sementara Varos, tampak senyum di bibirnya. Di benaknya terbersit wajah Theo, rekan lamanya yang dulu sempat mengajukan kata-kata yang sama.
‘Aku tidak bisa berdiam diri menjadi mangsa mereka. Kalau memang kepandaian adalah satu-satunya keahlianku, maka bantu aku, untuk menjadikannya kekuatanku.’
Varos menghembuskan nafas dengan lega kali ini. “Hahaha.. Kau memang menarik Rio. Akhirnya baru kusadari kalau kau mirip dengan salah seorang teman lamaku yang sama keras kepalanya”
Wajah Rio tampak tidak terima ketika mendengar kata keras kepala. ‘Apa salahnya dengan hal itu?’
“Baiklah. Aku akan melatihmu menggunakan keahlianmu itu, asalkan kau berjanji untuk selalu menuruti setiap perintahku, tanpa pertanyaan, setuju?”
Varos tampak mengulurkan tangannya ke arah Rio dengan senyumnya yang licik. Jujur saja, Rio merasa tak sepenuhnya menerima syarat yang Varos ajukan. Tapi Rio berpikir bahwa tidak ada cara lain. Sejenak Rio memandang Arvand yang menatapnya dengan sendu, yang tak mampu Rio jelaskan arti pandangan itu.
Kini Rio memandang Varos dengan tajam. Ia sudah membulatkan tekad, bahwa ia akan menjadi kuat, dan melindungi orang yang ia sayangi.
“Setuju.”
Tangan Rio menyambut tangan Varos dengan tegas. Seketika tulisan yang terukir di cincin Varos bersinar seperti nyala api keemasan, dan tulisan itu tampak bergerak dan mengalir ke jari tengah Rio.
“A.. Apa itu..??” seru Rio panik. Tampak ia hendak melepaskan genggaman tangannya namun Varos menahannya dengan kuat, hingga tulisan keemasan itu melingkar sempurna di jari tengah Rio.
“Ini sebagai jaminan bahwa kau tak kan melanggar persyaratanku.” Ujar Varos dengan senyum penuh kemenangan.
Rio buru-buru melepaskan genggaman tangan Varos dan memperhatikan ukiran tulisan asing yang berpijar di jari tengahnya perlahan padam menjadi berwarna kehitaman. Tampak Armitha dan Arvand sama cemasnya ketika melihat peristiwa itu. Arvand bahkan kini sudah berdiri dan menjatuhkan kursinya ke belakang dengan suara keras.
“A.. apa yang kau lakukan padanya” seru Arvand.
“Hehe.. santai saja.. Itu hanya mantra yang kuberikan padamu sebagai jaminan bahwa kau tidak akan memasuki zona berbahaya, sertaaa.... sebagai ‘kekuatan’ yang kujanjikan padamu, Rio.”
Mata Rio seketika bersinar melihat ke arah Varos. “Kekuatan? Kekuatan apa yang kau maksud?”
Varos hanya menjawab dengan senyuman yang misterius khas miliknya.
“Ada apa ini? Tidak bisakah aku menghabiskan masa liburku dengan tenang??”
Pandangan Rio, Armitha, Kamal dan Arvand kini terarah pada Tuan June yang masih dengan piyamanya muncul di pintu ruang makan. Matanya tampak bergerak-gerak bingung menatap banyak mata yang memandangnya.
“Dan.. dan... Siapa dia? Ah! Kenapa banyak sekali orang-orang asing yang datang ke apartemenku beberapa hari belakangan ini??” ujarnya sambil menunjuk ke arah Varos yang seolah tidak terpengaruh pada kehadiran June. Ia pun berdiri dari kursinya, “Aku harus pergi. Untuk saat ini bersabarlah di tempat ini dan siapkan dirimu. Kau tidak akan begitu menyukai metodeku dalam melatih seseorang.”
“Baiklah. Tunggu saja saat itu tiba. Aku akan membuatmu terkejut.”
Tampak sinar mata yang membara di mata Rio, dan sinar itu Varos tangkap dengan senyum puas. Ia pun berbalik dan berhadapan dengan tuan June. Mata mereka saling bertemu ketika Varos melewatinya, dan bayangan Varos menghilang begitu melewati pintu ruang makan. Meninggalkan tuan June yang terbengong, tak tahu apa yang ia lewatkan.
“Selamat pagi tuan June..”Sapa Rio hangat.
“Ha? Oh, ya.. Pagi juga Rio..” Tuan June kini memilih untuk duduk di meja makan dan meraih selembar roti di depannya. “Selamat pagi juga nona..”
Armitha hanya mengangguk dengan senyuman hangat.
“Entahlah.. Yah.. Aku hanya sedikit belum terbiasa. Rumah ini tak pernah sehidup dan semeriah ini sebelumnya. Hey, Arvand, apakah kau tadi yang menjatuhkan kursi? Kembalikan lagi ke posisinya.”
Arvand menuruti perkataan Tuan June dan menduduki kembali kursi itu. “Hehe.. maaf ayah.. Janganlah kesal hanya karena keributan kecil..” rayu Arvand sambil meraih roti di tangan tuan june dan mengolesinya dengan selai kacang. “Nanti kerutanmu bertambah..” bisiknya dengan nada menggoda.
“Hais... Baiklah untuk saat ini aku tidak akan kesal.. Tapi memang keributan tadi menganggu tidur berkualitasku dan menimbulkan satu keriput lagi di wajahku. Kau bisa lihat? Lihat!”
Rio hanya tertawa kecil melihat pemandangan di depannya. Saat Tuan June tampak begitu bersemangat menunjukan sesuatu yang ia anggap kerutan pada Armitha, sementara Armitha hanya menggeleng-geleng dan tampak kebingungan kerutan mana yang Tuan June maksud.
Sudah lama Rio tak melihat suasana yang sehidup ini. Ditatapnya Arvand yang sibuk mengoleskan selai kacang di roti ayahnya. Cukup lama hingga Arvand menangkap tatapan matanya.
“Kenapa Rio? Apa.. Aku meninggalkan bekas selai di wajahku?”
Rio menggeleng pelan sambil tersenyum manis. “Tidak. Tidak apa-apa Arvand.”
“Syukurlah kalau begitu. Ayahku selalu kesal kalau aku terlihat jelek. Dia memang aneh.”
Rio tertawa kecil mendengar kata-kata Arvand. “Tidak cukup aneh bagiku. Justru beliau begitu mirip denganmu, yang tidak ingin meninggalkan kesan jelek di mata orang-orang”
Arvand tertawa kecil mendengarnya. Ucapan Rio mengingatkannya saat ia bilang tidak ingin terlambat agar tidak meninggalkan kesan buruk. Yang lucu bagi Arvand adalah, sekarang dia justru tidak punya kesempatan untuk bersekolah. Dengan kata lain kesan buruk tidak dapat dihidari lagi. Untuk sejenak Arvand merasa terhenyak ketika menyadari hal itu.
“Tapi aku cukup iri dengan keluargamu Arvand.”
Arvand seperti terperanjat dari lamunannya, dan menangkap perasaan ganjil dari kata-kata Rio. Ia menoleh ke arah Rio dengan raut wajah heran. “Rio.. Apakah kau baik-baik saja..?”
“Ya!” Rio mengangguk dengan yakin. “Aku baik-baik saja.. Hanya saja.. Aku merindukan suasana yang hidup sepeti ini Arvand. Seperti yang aku katakan kemarin, kehidupan yang normal.”
Arvand menatap nanar mata Rio dan hanya bisa tersenyum tipis.
“Terima kasih sudah mengajakku ke dalam lingkaranmu. Aku sungguh bersyukur bertemu denganmu,”
Wajah Arvand terlihat kian berseri dan ia kembali mengarahkan pandangannya ke arah roti selai kacang yang entah kenapa sudah begitu tebal lapisan selainya.
Masih tersenyum memandnagi Arvand, dalam hati Rio bergumam, “Maafkan aku Arvand, sudah memasukkanmu ke dalam lingkaranku. Melibatkanmu ke dalam bahaya dan dunia dongeng yang mengerikan ini. Kau hanya harus bersabar. Dampingi aku lebih lama lagi. aku berjanji akan lebih kuat dan bisa menjagamu. Tapi sampai saat itu tiba, jadilah kekuatanku, Arvand. Hanya kau yang bisa membuatku bisa bertahan. Hanya kau.. ‘
Sejenak Rio mengerling ke arah tangan kananya, melihat ke arah cincin Nilda dan sebuah tatto tulisan-tulisan aneh berwarna hitam di sebelahnya.
“... dan kau, Don. Kuharap suatu saat kita bisa bertemu dan menjelaskan segalanya padamu.”
Lanjut ya kak
Trus yg Nnti akan menjadi musuh terbesar rio adalah
arvand
<asal nebak saja>
Saya haus cerita ini