It looks like you're new here. If you want to get involved, click one of these buttons!
Copyright 2021 Queer Indonesia Archive. See our Privacy Policy. Contact us at [email protected]
Dengan menggunakan situs ini berarti Anda setuju dengan Aturan Pakai.
BoyzForum.com adalah situs anti pedofilia!
Comments
"Tyo, lo yakin cara ini bakal berhasil?" tanya Audy ragu.
"Ya, gak tahu juga sih. Coba aja dulu deh," jawab gue. Audy makin terlihat ragu setelah mendengar jawaban gue yang kurang meyakinkan tadi. Ya, mau gimana lagi, gue juga gak yakin cara ini akan berhasil.
Hari ini gue emang sengaja ngajak Audy buat ngedatengin orang pinter. Gue kasihan sama dia yang sering di gangguin sama "penghuni" di kostan.
Semingguan ini gue ngerasa Audy kurang betah di kostan. Dan setelah gue paksa buat cerita, dia ngaku kalau sering di gangguin sama makhluk halus penghuni kostan.
Gue heran. Anak kost lain juga pernah di gangguin sama hantu itu ketika pertama datang ke kostan, tapi paling lama juga 2-3 hari doang. Lah, si Audy kok malah sampe semingguan lebih di gangguinnya.
Sebagai orang yang merekomendasikan kostan ini pada Audy, gue jadi ngerasa gak enak. Gue-pun berkonsultasi pada Pak Tatang, pemilik rumah kost ini.
Pak Tatang juga gak tahu harus berbuat apa. Dia cuman nyaranin Audy buat pergi ke orang pinter. Dan kalau gak berhasil, dia sendiri yang akan ngundang dukun buat "ngebersihin" rumah kostannya.
Saat ini gue dan Audy sedang berada di ruanh tamu orang pinter. Gue dapet kontak orang pinter ini dari iklan baris di koran, sehingga gue juga agak meragukan keputusan gue mengajak Audy kemari.
Ruang tamu ini sama saja dengan ruang tamu kebanyakan. Gak ada tanda-tanda kalau ini adalah rumah orang pinter. Apalagi saat gue dan Audi disuruh buat menunggu orang pinternya yang lagi nerima tamu.
Gue pikir orang pinter ini sama kaya ustad-ustad yang sering muncul di acara-acara misteri di salah satu stasiun TV swasta. Padahal bayangan gue orang pinter itu kaya dukun-dukun di film yang berpakaian serba gelap dengan aksesoris anehnya, terus gelap-gelapan di dalam ruangan berbau kemenyan.
Tapi kayanya orang pinter ini tidak seperti itu. Mudah-mudahan saja dia bisa membantu Audy agar berhenti di gangguin setan itu.
Gue melirik Audi yang duduk di sebelah gue. Dia masih terlihat ragu dan kurang nyaman berada di tempat ini. Kasihan juga sih ngeliat dia kaya gini, tapi mau gimana lagi, ini semua kan demi kebaikannya juga.
"Tegang amat lo, Dy. Relax aja napa." kata gue seraya menepuk bahunya, memberi dorongan motivasi.
Dia mencoba untuk tersenyum meskipun terlihat di paksakan. "Kalau lo gak mau kita bisa balik aja deh,"
"Ehh?? Gak usah, Yo. Gue gak apa-apa kok, cuman sedikit tegang aja. Lagian toh kita udah ada disini,"
"Yaudah, terserah lo aja." kata gue akhirnya.
Gue kemudian meraih tangannya kemudian meremasnya pelan. "Sabar ya, Dy. Gue ngelakuin ini semua demi kebaikan lo. Gue gak mau ngeliat lo murung terus di kostan,"
"Gak apa-apa, Yo. Justru gue yang harusnya berterima kasih sama lo." Audy tersenyum. Kali ini dia terlihat lebih santai dari sebelumnya.
Tiba-tiba pintu yang berada tak jauh dari kami terbuka. Dari balik ruangan yang gue duga sebuah kamar itu, tiba-tiba muncul seorang pria paruh baya dengan pakaian koko berwarna putih. Selembar sarung bermotif kotak-kotak tampak melilit bagian tubuh pria itu.
Pria itu ternyata tidak sendirian. Seorang pria muda terlihat mengikutinya dari belakang. Gue taksir pria itu berusia 30-an.
Mereka terlihat saling bercengkerama dengan menggunakan bahasa sunda halus yang tidak gue tahu artinya. Yah, meskipun gue udah tinggal di Bandung semenjak SMP, gue masih tetep gak bisa bahasa sunda, apalagi kalau bahasa sunda halus. Kalau bahasa sunda kasar sih masih bisa gue mengerti sedikit-sedikit.
Setelah pria paruh baya itu mengantarkan tamunya, tiba-tiba pandangan kami bertemu.
"Biasalah, minta penglaris buat usaha," kata dia seolah-olah tahu apa yang tengah gue pikirkan. Jujur, gue emang agak sedikit penasaran dengan percakapan mereka barusan.
"Kenalin Pak, saya Tyo... dan ini teman saya, Audy." kata gue memperkenalkan diri. Gue dan Audy kemudian bergiliran berjabat tangan dengan pria yang baru saja gue tahu namanya Pak Ghandi.
Pak Ghandi ini berusia sekitar 55 tahun. Sedari awal kami bertemu, senyum ramahnya tak pernah hilang dari wajahnya. Ada sedikit rasa optimis melihat keramahan yang di tunjukan Pak Ghandi.
"Jadi, ada perlu apa adek-adek datang kemari? Mau minta penglaris buat usaha? " tanya Pak Ghandi.
Gue dan Audy langsung menggelengkan kepala.
"Ahh, jangan-jangan kalian mau minta pelet ya?" tebak Pak Ghandi sambil tersenyum penuh arti.
"Bukan, Pak. Kita kesini bukan buat minta penglaris atau pelet," kata gue memberi tahu.
Pandangan Pak Ghandi tiba-tiba tertuju pada Audy.
"Bapak tahu kok apa maksud kedatangan kalian kemari," ujar Pak Ghandi tanpa melepaskan pandangannya dari Audy.
Gue dan Audy saling berpandangan, heran.
"Gak usah pada heran begitu. Tadi Bapak sekilas ada sosok perempuan yang ngikutin dek Audy." ungkap Pak Ghandi yang mengerti keharanan kami.
Gue agak merinding mendengar ucapan Pak Ghandi. Sementara Audy, ia terlihat cukup kaget. Yah, wajar saja kalau dia shock karena mendengar ada sosok hantu yang mengikutinya.
"Err, hantunya masih ada gak, Pak?" Audy bertanya dengan nada ragu. Jelas sekali kalau dia ketakutan.
"Tenang saja, Bapak cuma sekilas ngelihatnya. Mungkin dia takut sama Bapak, makannya dia langsung pergi," kata Pak Ghandi menjelaskan.
"Tapi nanti dia bisa balik lagi kan, Pak?" tanya Audy. Gue bisa melihat kecemasan yang tersirat dari wajahnya.
Pak Ghandi tidak menjawab pertanyaan Audy. Dia tetap tersenyum ramah. Sebenarnya, tanpa perlu di jawab pun, Audy sudah tahu jawabannya.
Audy kemudian menceritakan semua hal yang terjadi padanya pada Pak Ghandi. Dari awal dia melihat sosok perempuan di kostan hingga seringnya ia mencium wangi-wangian bunga melati di kamarnya setial malam. Mendengar semua pengakuannya membuat gue semakin kasih dengannya.
Audy benar-benar mengalami hari-hari yang berat selama di kostan. Dan itu semua gara-gara gue. Seharusnya gue gak ngerekomendasiin kostan itu ke Audy. Tapi yah mau gimana lagi, toh semuanya sudah terjadi.
"Jadi gimana, Pak? Apa semuanya bisa di atasi?" tanya gue setelah Audy menceritakan semuanya pada Pak Ghandi.
"Gampah itu mah. Yang perlu dek Audy cuman melakukan sebuah ritual saja,"
"Ritual apa, Pak?" Audy terlihat penasaran.
"Yah, cuman semacam ritual pembersihan diri saja," kata Pak Ghandi.
Gue dan Audy kembali saling berpandangan.
"Gimana, Yo?"
"Apanya yang gimana?" gue balik bertanya heran.
"Itu ritual. Menurut lo gimana?" sorot matanya seakan-akan meminta persetujuan gue.
"Hmm, tapi ritualnya aman kan, Pak? Terus itu di jamin berhasil, kan?" tanya gue pada Pak Ghandi.
"Ahh, gak macam-macam kok, cuma ritual biasa. Dan ya, bapak jamin berhasil. Kalau tidak berhasil, Bapak rela gak di bayar deh," jawab Pak Ghandi berusaha meyakinkan gue.
Tiba-tiba saja gue mulai meragukan semua ini. Entahlah, ada perasaan gak nyaman ketika mengetahui kalau Audy harus melakukan sejumlah ritual. Apalagi ketika melihat sorot mata Pak Ghandi yang bernafsu untuk melakukan ritual. Keramahan yang di tunjukannya sejak awal tiba-tiba menghilang begitu saja.
Namun melihat Audy yang bersemangat membuat gue gak tega. Dia sudah terlanjur berharap, dan gue gak mau merusak suasana hatinya.
.
.
.
Setelah gue dan Audy sepakat untuk melaksanakan ritual, Pak Ghandi mengajak Audy masuk ke dalam ruangan kamar yang gue duga sebagai tempat praktiknya. Sementara Audy sedang di ritual, Pak Ghandi menyuruh gue untuk menunggu di ruang tamu saja. Padahal gue juga sebenernya pengen ngeliat ritualnya kaya gimana.
Sekarang sudah hampir 15 menit gue menunggu. Rasa bosan mulai menghampiri. Gue penasaran ritual apa yang sedang di lakukan Audy dan Pak Ghandi.
Karena rasa penasaran ini gak bisa gue bendung lagi, akhirnya gue memutuskan untuk mengintip sedikit ke dalam kamar.
Ada sih perasaan takut ketahuan, tapi mau gimana lagi, rasa penasaran gue lebih besar dari pada rasa takut itu sendiri.
Dengan hati-hati gue membuka pintu ruangan itu dengan hati-hati, nyaris tanpa ada suara. Pintu itu tak gue buka terlalu lebar, yang penting ada sedikit celah untuk gue mengintip ke dalam.
Ruangan itu terlihat biasa saja. Ada ranjang dan lemari pakaian, sama seperti kamar pada umumnya. Gorden di dalam sana tertutup rapat, sehingga membuat ruangan itu menjadi temaram.Meskipun begitu, gue masih bisa melihat dengan jelas apa yang terjadi di dalam sana. Di ranjang itu Audy berbaring, sementara Pak Ghandi duduk di pinggir ranjang.
"Santai saja, dek Audy. Jangan terlalu tegang." ujar Pak Ghandi.
"I-Iya, Pak," jawab Audy dengan gugup. "Tapi, Pak, apa dengan ritual ini saya benar-benar bisa terbebas dari gangguan hantu itu?"
"Nak Audy jangan khawatir. Percayakan saja semuanya pada Bapak!" Pak Ghandi memijat pelan paha Audy.
"Baiklah, semuanya saya percayakan pada Bapak, asal semuanya beres."
"Nah, sebelum kita melaksanakan ritualnya, bagaimana kalau dek Audy lepas dulu bajunya,"
Lepas baju? Kenapa Pak Ghandi menyuruh Audy menanggalkan pakaiannya? Memangnya ritual seperti apa yang mengharuskan pelakunya bertelanjang dada?
Ah, mungkin saja Pak Ghandi akan memandikan Audy dengan air kembang tujuh rupa seperti di film-film. Tapi setelah gue perhatikan, di ruangan itu tak ada kamar mandi malam. Gue juga gak ngeliat ada baskom air atau sejenisnya. Lagian mana mungkin ngemandiin orang di atas kasur.
Hmm, jadi mencurigakan deh. Lebih baik gue terus mengawasinya deh. Toh gue juga penasaran ritual seperti apa yang akan di lakukan oleh mereka.
"Bu-Buka baju?" Audy terlihat kaget.
"Iya, dek Audy. Dan kalau bisa sekalian dengan celananya juga,"
"A-Apa? Celana juga?" tanya Audy ragu. "Tapi kenapa? Apa tidak bisa seperti ini saja?"
"Kita akan melakukan ritual pembersihan, dek. Bertelanjang adalah salah satu syaratnya," kata Pak Ghandi menjelaskan.
"Tapi ---"
"Kau ingin ritual ini berhasil atau tidak?!" seru Pak Ghandi dengan nada tidak sabar. Well, di telinga gue itu lebih terdengar seperti sebuah ancaman sih.
"Baiklah kalau begitu. Yang penting saya bisa terbebas dari hantu itu." kata Audy pasrah.
Apa? Si Audy menerima persyaratan dukun cabul itu?! Ahh, yang bener aja, dy. Masa lo bisa-bisanya kemakan omongan Pak Ghandi yang udah jelas-jelas penipu.
Lihat saja mata Pak Ghandi yang menatap tubuh Audy dengan penuh nafsu itu. Dah, oh damn, sekarang Audy sudah melepas kaosnya, sehingga memamerkan tubuhnya yang slim dan putih bersih itu.
Gue melihat ada keraguan di wajah Audy saat ia tengah melepas gesper celananya secara perlahan. Gue lihat Pak Ghandi membantu Audy melepaskan celananya dengan semangat.
Cukup. Ini sudah keterlaluan. Gue gak akan ngebiarin Audy di apa-apain sama dukun cabul itu. Gue harus menghentikan semua ini.
Dengan kasar gue membuka pintu hingga membuat suara gaduh. Audy dan Pak Ghandi menoleh ke arah gue. Mereka jelas terlihat sangat terkejut.
Tanpa berbasa-basi lagi, gue langsung menghampiri Pak Ghandi dan menariknya agar menjauh dari Audy.
Audy yang masih berbaring di atas ranjang terlihat bingung. Ia menatap gue dengan pandangan meminta penjelasan. Gue abaikan tatapannya. Gue langsung mengambil kaos Audy yang berada tak jauh dengannya.
"Ayo, pergi!" Gue menarik Audy dengan kasar. Ia terlihat kerepotan karena harus menahan celananya agar tidak melorot. Meskipun begitu, ia tetap mengikuti gue meninggalkan rumah itu tanpa mengajukan pertanyaan.
Sementara Pak Ghandi masih berdiri di pojok ruangan. Ia masih terlihat terkejut dan bingung saat gue dan Audy pergi meninggalkan rumahnya.
Saat di depan teras rumah Pak Ghandi, barulah Audy mulai menyadari apa yang sedang terjadi.
"Maksud lo apa sih pake narik-narik gue segala? Apa lo gak lihat gue lagi di ritual sama Pak Ghandi?!" Audy menatap tajam gue, meminta penjelasan.
"Audy, lo masih percaya kalau orang itu benar-benar akan meritual lo?!" tanya gue gak percaya.
"Ya iyalah, emang lo kira Pak Ghandi mau ngapain?"
Gue berdecak kesal. "Lo itu beneran polos atau bego sih, dy?!"
"Maksud lo apa sih, Yo?" geram Audy tak senang.
"Lo masih gak sadar? Pak Ghandi itu penipu, dy!"
"Kekhawatiran lo berlebihan, Yo. Pak Ghandi itu cuman mau membersihkan energy negatif di dalam tubuh gue doang," Audy berkilah.
"Dengan cara nyuruh lo telanjang gitu?!" bentak gue dengan nada tinggi. Audy tercekat karena kaget mendengar nada bicara gue yang mulai meninggi.
Entahlah, gue cuman emosi aja ngeliat kebegoan Audy.
Audy menundukan kepalanya, sedih. Sigh, kenapa gue jadi ngerasa bersalah coba? Gue kan gak salah.
"Yang jelas, Pak Ghandi gak akan ngeritual lo, dy. Dia itu penipu, dukun cabul. Dia cuman mau ngelecehin lo doang," kata gue memberitahunya. Kali ini gue menurunkan nada bicara gue. Gue gak mau terlalu keras seperti tadi.
"Gue... Gue tahu, Yo. Tapi... Gue terlalu takut dan bingung. Gue gak tahu apa yang harus gue lakukan..." ujar Audy dengan nada tercekat. Tubuhnya bergetar, menahan tangis.
Sial, kena dia harus menangis segala. Apa dia sengaja ingin membuat gue merasa semakin bersalah? Gue bingung, apa yang harus gue lakukan untuk menenangkan seorang pria yang tengah menangis? Gak mungkin semuanya bisa berhenti hanya dengan di cup, cup, cup atau di kasih permen, kan?
Bingung harus berbuat apa, gue tarik aja di ke dalam pelukan gue. Agak aneh sih, tapi tak apalah.
Gue bisa merasakan tubuhnya yang mulai bergetar hebat. Ya, akhirnya dia menangis dengan hebat dalam pelukan gue.
"Apa yang harus gue lakukan sekarang, Yo? Gue takut... Gue cuman ingin semua ini berakhir..." ujar Audy di sela-sela isak tangisnya.
Gue gak tahu harus berkata apa lagi. Kasihan Audy, dia pasti udah tertekan banget. Ini semua salah gue, seharusnya gue gak pernah merekomendasikan kostan itu. Gue juga gak seharusnya mengajak dia ke tempat ini.
Gara-gara gue, hampir saja dia di rusak oleh dukun cabul itu. Kalau sampai hal itu terjadi, gue pasti gak punya muka lagi untuk berhadapan dengan Audy.
Tenang saja, dy. Pokoknya gue akan mencari jalan keluarnya. Gue berjanji. Gue harap lo mau menunggu sebentar lagi sampai saat itu tiba.
.
.
.
@Hiruma
@Gaebara
@Riomantika
@cute_inuyasha
@arieat
@GeryYaoibot95
@dheeotherside
@new92
@zythrax
@WYATB
@FransLeonardy_FL
@ALEXANDERDINATA
@Tsu_no_YanYan
@mumura
@ABOTH
@lulu_75
@Anubis
@Xian_Lee
thx lagi @3ll0
Jangan² tu hantu seorang Fujoshi dulunya n mau berteman ama Audy.
n lu di tega aku gak dimention