It looks like you're new here. If you want to get involved, click one of these buttons!
Copyright 2021 Queer Indonesia Archive. See our Privacy Policy. Contact us at [email protected]
Dengan menggunakan situs ini berarti Anda setuju dengan Aturan Pakai.
BoyzForum.com adalah situs anti pedofilia!
Comments
Moga lancar n konsisten updatenya
Dengan tinggi 170-an sentimeter, Audy sebenarnya sudah termasuk tinggi untuk orang seumurannya. Remaja berkulit putih bersih itu mempunyai rambut lembut dengan poni ala bintang-bintang Korea yang nyaris menutupi mata sayunya.
Siang itu Audy menghabiskan sisa waktunya dengan bersantai di bawah sebuah pohon beringin yang berada di komplek kampusnya. Di siang hari yang menyengat seperti itu, Audy memang lebih memilih berteduh di bawah pohon yang rindang dari pada menghabiskan waktu di dalam ruangan berAC, menurutnya suhu udara AC kurang menyegarkan dan hanya membuat badan jadi malas saja.
Saat tengah asyik membaca buku, tiba-tiba saja Audy tercekat ketika seseorang mengagetkannya dari belakang.
"Woi, serius banget baca bukunya!" seru seorang perempuan yang sebaya dengannya.
"Anjrit lo Cha, ngagetin aja!" protes Audy pada Icha, teman sekampusnya.
"Ya, maaf," ujar Icha. "Lagian gue empet liat lo. Panas-panas gini bukannya ngadem di mall, malah duduk-duduk di bawah pohon beringin kaya kuntilanak," katanya kemudian.
"Biarin ajalah, emang masalah ya buat loa?!" Sahut Audy kesal.
"Ciee, si ganteng sewot," kilah Icha dengan nada menggoda.
Meskipun sahabatnya itu terlihat ketus, namun Icha tak pernah merasa tersinggung, karena ia tahu kalau Audy itu tipe cowok Tsundere, bersikap ketus tapi sebenarnya ia adalah tipe anak manis.
Cewek cantik berambut panjang terurai itu tingginya hampir sepantaran dengan Audy. Nama lengkapnya adalah Marissa Wulandari, namun orang memanggilnya Icha. Entah sejak kapan, tapi sudah seperti peraturan yang tak tertulis jika seseorang bernama Risa, Resha, ataupun Reza kerap di panggil dengan sebutan Icha, jadi entah sudah berapa banyak orang di Indonesia yang mempunyai nama panggilan yang mainstream itu.
Audy merengut, "Yee, siapa juga yang sewot," katanya berkilah.
"Yaudah gak penting," kata Icha yang kini sudah duduk di samping Audy. "Ngomong-ngomong jadi gak gue anterin nyari kost?" Katanya kemudian.
"Jadi dong!" Audy menutup bukunya kemudian memasukannya ke dalam tas.
"Mau nyari kostan daerah mana? Duh, ngapain sih lo pindah kostan segala, kan kostan lo yang sekarang udah enak,"
"Kejauhan ah, gue males pergi kuliah nyubuh biar gak kena macet," ungkap Audy. "Lagian kostannya mahal, gila aja gue harus bayar 700 ribu tiap bulan, bisa bangkrut gue," katanya kemudian.
"Ah, dasar pelit lo. Jadi ceritanya lo mau nyari kostan yang deket-deket sini gitu?" Tanya Icha.
Audy mengangguk, "Di kostan lo juga gak apa-apa deh," katanya.
"Kostan gue penuh, dodol. Tapi kalau lo mau tidur di genteng sih gak apa-apa. Atau gak lo sekamar ama Pak Tatang," ujar Icha menyarankan.
"Pak Tatang? Bapak kost lo yang botak dan gendut itu? Ih, amit-amit deh!" Seru Audy merinding jika harus membayangkan ia satu ranjang dengan bapak-bapak ganjen seperti Pak Tatang, pemilik kostan tempat Icha tinggal.
"Yah, sapa tahu aja lo minat, kasihan pak Tatang gak ada temen tidur sejak di tinggal bininya hehehe" kata Icha sambil cengengesan.
"Ahh, stop, Cha, stop. Gue geli ngebayanginnya!" Seru Audy merinding.
Icha terkekeh, sudah kebiasaannya menggoda Audy sejak awal mereka bertemu. Mereka berteman sejak awal tahun ajaran, mereka tak sengaja bertemu saat satu kelompok ketika masa-masa ospek, sehingga tak heran jika keduanya sudah tahu tabiat baik buruknya masing-masing.
"Udah ah, yuk pergi sekarang, keburu sore nih!" Ajak Audy.
"Gue laper, makan dulu ya,"
"Iye, terserah lo aja deh," sahut Audy malas.
"Tapi traktir," balas Icha.
"Yaelah, bantuin gue cari kostan aja belom, udah minta traktir duluan aja," ujar Audy menggerutu, sementara Icha hanya tersenyum, memamerkan deretan giginya yang putih bersih.
===============
===============
# AUDY #
Setelah hampir 2 jam gue ama Icha nyari kostan yang kosong di sekitar kampus. Rata-rata kostan yang kita datengin udah pada penuh. Aneh, padahal tiap hari gue sering nemu papan pengumuman kamar kosong di sekitar sini, tapi giliran gue cari kok malah pada penuh.
Baik gue atau Icha udah mulai lemes bertandang dari satu kostan ke kostan lain. Padahal sebelumnya kita udah makan siang, tapi bukannya semanget ehh malah makin lemes. Ternyata nyari kostan sendiri itu melelahkan.
Dulu sih gue dapet kostan dari internet, jadi gak usah capek-capek kaya gini. Gue pikir karena deket kampus, pasti gampang nyari kostan, ternyata malah lebih susah dari yang gue bayangin.
"Anjrit, Dy. Capek nih, kaki gue rasanya udah kaya mau patah aja," keluh Icha.
Gue lihat Icha udah kelelahan. Dandannya yang tadi rapih sekarang udah mulai kucel bercampur keringat. Meskipun kita temen deket, gue jadi gak enak ama Icha karena udah ngerepotin.
"Sorry ya, Cha, gue udah ngerepotin lo," kata gue dengan nada menyesal.
"Gak apa-apa kok, Dy. Ama gue mah gak usah sungkan-sungkan hehe" kata Icha sambil mengusap wajahnya dengan tisu basah.
Gue tersenyum, gak salah gue punya temen kaya dia. Kalau gue cowok normal, mungkin gue udah pacarin si Icha yang mau di ajak susah kaya gini. Oh ya, gue emang seorang gay, jadi gue gak punya perasaan khusus ama si Icha. Perasaan gue ama si Icha itu tulus hanya sebatas teman doang.
Gue sih dari pada si Icha, gue lebih naksir ama Ko Daniel, senior Icha di jurusan Fikom. Ko Daniel itu cowok keturunan yang menurut gue tipe ideal gue banget. Yah, menurut gue cowok-cowok oriental itu punya daya tarik dan sex appeal yang lebih menggairahkan dari pada ras lain.
Hampir tiap gue coli, pasti Ko Daniel lah yang bakal jadi objek fantasy liar gue. Sayang gue gak terlalu akrab ama Ko Daniel, sehingga gue cuman bisa mengaguminya dari jauh aja.
"Cha, kita ngadem di warnet yuk? Sekalian cari-cari info kostan di internet," ajak gue pada Icha.
"Ayok, di depan ada warnet tuh, lumayan enak kok tempatnya," kata Icha menyarankan. Gue sih nurut aja, secara Icha udah hapal banget daerah sini, gak kaya gue yang baru pertama muter-muter di daerah sini.
Akhirnya gue dan Icha mutusin ke warnet buat nyari info kostan di internet. Sebenernya gue bisa aja nyari kostan pake hape, tapi berhubung gue kasihan ama si Icha yang udah kepanasan, mending ke warnet aja deh. Lagian lumayan biar bisa ngadem bentar.
Warnet yang Icha maksud itu gak terlalu jauh dari tempat kita sekarang. Yah, sekitar 100 meteranlah. Gue lihat spanduk khas warnet terpasang di sebuah rumah yang berada tepat di sebelah warung klontong.
"Cha, lo duluan aja gih, gue mau beli minuman dulu," kata gue pada Icha.
"Gue nitip Teh gelas ama cemilan ya,"
"Sip deh,"
Icha masuk duluan ke warnet, sementara gue masuk ke dalam warung klontong yang berada tepat di samping warnet itu. "Bu, Teh gelasnya 2 dong," kata gue pada seorang wanita berdaster yang sedang asyik menonton sinetron itu.
Ibu-ibu itu mendelik kesal ke arah gue. Mungkin gue di anggap mengganggu ritualnya menonton sinetron. Tapi peduli amatlah, bukan urusan gue ini.
Dia mengambil 2 buah Teh gelas dari kulkas, kemudian menyerahkannya padaku dengan wajah di tekuk. Gila, gak bersahabat banget ni ibu-ibu ama pelanggan.
"Ini sama kacang dan rotinya 2 jadi berapa bu?" Tanya gue sambil merogoh dompet di saku celana.
"Jadi 6 ribu, dek!" Katanya sambil memasukan belanjaan gue ke dalam kantuk kresek kecil berwarna hitam.
Gue kemudian menyodorkan selembar uang bernominal 10 ribuan sambil mengambil kantung belanjaan gue. Ibu-ibu itu membuka laci dengan keras sambil mengambil uang kembalian lalu menyerahkannya padaku dengan tidak sabar.
Saat gue menghitung jumlah uang kembalian, ibu-ibu itu langsung kembali ke tempat duduknya, melanjutkan menonton sinetron tanpa mengucapkan terima kasih padaku. Gila, jangan sampe deh gue punya ibu kostan kaya dia, bisa makan hati gue tiap hari haha
Setelah berbelanja, gue langsung melangkahkan kaki memasuki rumah berlantai 2 tempat warnet itu berada. Gue melongok ke dalam warnet yang menurut gue sebelumnya adalah sebuah garasi.
"Maaf, Kang, Saya mau cari temen saya," kata gue pada seorang cowok muda yang duduk di kursi operator.
"Oh, iya, silakan," katanya ramah.
Gue perhatiin cowok yang sedang tersenyum ramah padaku itu. Kok wajahnya kaya familiar gitu, kaya pernah liat di mana gitu. Gue pengen nyapa tapi malu ah, ntar gue di sangka SKSD lagi.
Tapi saat gue baru mau masuk, tiba-tiba gue inget siapa tu cowok.
"Nghh, sorry, apa kita udah pernah saling kenal sebelumnya?" Tanya gue hati-hati, pertanyaan yang aneh sih menurut gue.
Tapi kan gue cuman mau mastiin aja kalau dia bener atau nggak orang yang gue maksud.
"Menurut lo?" Dia balik bertanya. Duh, gue jadi salah tingkah nih saking malunya, kan gak seru kalau gue salah orang.
"Nggh, nggak deh gak apa-apa," kata gue buru-buru.
Dia tiba-tiba tertawa, "Duh, Audy, lo lupa ya sama gue? Ini gue, Tyo!" Katanya.
"Tyo alumni SMP 10 bukan?" Tanya gue memastikan.
"Aduh, Audy, kayanya lo bener-bener lupa ama gue ya?" Dia terlihat tersinggung.
"Sorry, gue cuman mastiin aja kok," kata gue beralasan.
Fix, ternyata dia memang bener-bener Prasetyo, cowok yang sempet gue taksir pas SMP. Duh, makin cakep aja tu orang.
"Gimana kabar lo, Dy?" Tanya dia ramah seolah-olah tak ada kesalahpahaman di antara kita.
"Baik kok, Yo. Lo sendiri gimana?"
"Yah, gini-gini ajalah, Dy," katanya sambil tersenyum ramah. Gila, tu orang senyumnya gak pernah berubah ya, selalu bikin gue deg-degan.
"Sibuk apa nih sekarang?" Tanyanya kemudian.
"Sibuk kuliah aja, lo sendiri?"
"Lo kuliah dimana, Dy? Gue sih sibuk jaga warnet aja hehe" ujar Tyo.
"Tuh, di kampus depan,"
Tyo manggut-manggut, mengerti dengan apa yang ku maksud. "Sama dong," katanya kemudian.
"Hah? Maksud lo?" Tanya gue kurang ngeh apa maksudnya.
"Maksud gue, kita kuliah di tempat yang sama, gitu," katanya menjelaskan.
Gue mengkerutkan dahi, heran. Katanya dia sibuk kerja, tapi kok malah bilang sekampus ama gue ya.
"Masa sih? Kok gue gak pernah lihat ya?"
Tyo tersenyum, kemudian menjelaskan, "Gue ambil kelas karyawan, Dy. Gue siang kerja, malemnya baru kuliah deh," ungkapnya.
Gue cuman bisa bergumam sambil manggut-manggut mengerti. Hebat ya si Tyo, kuliah tapi sambil kerja. Ternyata dia orangnya mandiri banget. Padahal dulu gue nyangkanya si Tyo tuh tipe-tipe anak yang kerjanya cuman ngabisin duit orang tua doang, ternyata gue salah toh. Makin kagum aja deh gue ama dia.
Tapi yang bikin gue kaget, ternyata dia satu kampus ama gue, yah meskipun beda program sih. Dari perbincangan kita sore itu, gue tahu kalau Tyo ngambil jurusan Multimedia.
"By the way, lo ngekost daerah sini ya?" Tanya Tyo.
Gue menggeleng, "Nggak kok, sebenernya gue ngekost di Cisitu, tapi sekarang lagi nyari-nyari kostan di daerah sini," kata gue menjelaskan.
"Oh, udah dapet kostannya?"
"Boro-boro, Yo, pada penuh semua," kata gue.
"Oh, kalau lo mau di sini ada tuh kamar kosong," ujar Tyo menyarankan.
"Wah, di sini ada kostan juga toh?"
"Iya, kebeneran baru kosong kemaren tuh. Lo mau liat dulu gak?" Kata Tyo dengan senyum ramahnya.
Gue mendadak semangat, ternyata rumah yang di jadiin warnet ini adalah sebuah kostan. Kok kebetulan sekali ya.
"Boleh-boleh," kata gue antusias. "Oh ya, temen gue ada di bilik no berapa ya?" Tanya gue pada Tyo, menanyakan no bilik yang di tempati oleh Icha.
"Temen lo yang mana?" Tyo terlihat heran, oh god, bodoh banget ya pertanyaan gue, si Tyo mana tahu tentang si Icha.
"Itu loh cewe cantik berambut panjang yang mukanya kaya kuda," jawab gue asal.
"EH, KAMPRET, SIALAN LO NGATAIN MUKA GUE KAYA KUDA!" Seru sebuah suara dari arah bilik-bilik komputer yang gue yakini adalah suara Icha.
"Hehehe sorry," sahut gue. "Cha gue mau lihat kostan nih, lo mau ikut gak?" Tanya gue entah pada siapa karena kelihatannya gue kaya lagi ngomong sendiri.
"Ogah ah, lagi tanggung nih. Lo pergi aja sono!" Kata Icha dengan nada tinggi.
"Oke deh, cuman bentar kok. Ntar gue balik lagi ke sini yee,"
"Sip!" Sahut Icha singkat.
Pandangan gue tertuju pada Tyo, "Yaudah, Yo, sekarang aja yuk, takut keburu maghrib nih," ajak gue.
"Yaudah, Ayok!" Kata Tyo.
Setelah menitipkan meja operator pada temannya, Tyo langsung beranjak dari kursinya kemudian menyuruh gue untuk mengikutinya. Gue sedikit tercengang, terakhir kali gue ketemu Tyo, tinggi kita itu sepantaran. Tapi sekarang, dia udah beberapa sentimeter lebih tinggi dari gue. Kulitnya juga jadi lebih putih bersih kekuningan. Ahh, jadi makin cakep amat tu orang, pikir gue.
Gue mengikuti Tyo yang mengaja gue masuk ke dalam rumah lewat pintu depan yang hanya berjarak beberapa langkah dari warnet. Wah, asyik nih, kalau gue mau ke warnet gak usah jauh-jauh lagi, pikir gue.
"Ayo masuk, Dy," ajak Tyo mempersilakan gue masuk.
Gue sedikit takjub dengan desain bangunan rumah ini. Dari luar, rumah berlantai 2 ini terlihat kecil dan biasa saja. Tapi ketika gue masuk, rumah ini terlihat luas sekali.
Rumah ini sepertinya di desain memang untuk di jadikan sebuah kost-kostan, soalnya letak-letak kamarnya terlihat teratur. Kamar-kamar itu seperti mengelilingi ruang ruang tengah yang melompong itu. Hanya ada sebuah karpet besar dan sebuah TV berukuran 21 inch, mungkin ini tempat untuk orang-orang di rumah ini bersantai.
"Di sini ada berapa kamar, Yo?" Tanya gue sambil memperhatikan satu persatu pintu kamar yang tertutup rapat.
"Di sini ada 9 kamar, Dy. 5 di bawah dan 4 di atas. Kamar yang kosong tinggal di atas," ungkap Tyo menjelaskan.
"Wah, banyak banget, dari luar kelihatanya kaya rumah biasa aja ya," kata gue kagum.
"Yah, begitulah," gumam Tyo. "Yuk, gue anter ke kamar lo," ajaknya kemudian.
Gue kembali mengikuti Tyo yang mulai berjalan menaiki anak tangga menuju lantai 2. Suasana di lantai 2 tidak terlalu beda jauh, perbedaanya di sana tidak ada ruang TV, melainkan 4 ruangan yang saling berhadapan.
"Lo tinggal di sini juga gak, Yo?" Tanya gue penasaran.
"Iya, kamar gue di bawah. Tapi kalau ada apa-apa lo bisa cari gue di warnetlah," tukasnya.
Kami menuju ke sebuah ruangan paling pojok, setelah Tyo membuka kunci kamar itu, kami pun kemudian masuk.
Mata gue memperhatikan setiap sudut kamar itu. Not bad, lumayan gede dan bersih. Kamar itu masih kosong, belum ada barang apapun disana. Gue menghampiri jendela, lalu membukanya.
"Wah, bagus nih pemandangannya," gumam gue saat melihat pemandangan gedung-gedung pencakar langit yang berada jauh di sana. Kebetulan rumah-rumah di sekitarnya cuman berlantai 1 sehingga udara yang masuk ke dalam kamar ini terasa lebih plong.
"Gimana, lo suka gak? Ini kamar yang spotnya paling enak loh," ujar Tyo mempromosikan.
"Iya, gue suka banget kamar ini, kayanya adem gitu ya," kata gue tanpa menoleh ke arah Tyo. Gue lagi asyik ngerasain terpaan angin yang menerpa wajah gue.
Gue kemudian menoleh ke arah Tyo yang sedang bersandar di ambang pintu sambil menyilangkan tangan di dadanya.
Senyum manis seolah-olah tak pernah lepas dari wajahnya.
"Berapa nih sebulannya?" Tanya gue to the poin. Gue emang bukan orang yang suka basa-basi sih.
"500 ribu/bulan," jawab Tyo. "Sudah termasuk listrik dan air. Fasilitasnya kasur, lemari, meja belajar, dan wifi gratis," katanya menjelaskan.
Gue merengut, "Yah, mahal amat, gak bisa kurang nih?" Kata gue memelas.
Tyo menggeleng, "Sorry, Dy, gak bisa. Udah dari yang punyanya segitu," katanya dengan nada menyesal.
"Loh, ini bukan kostan lo ya?" Tanya gue.
"Bukan, Dy. Gue cuman jaga doang hehehe..." Ungkapnya.
Gue manggut-manggut mengerti, kirain gue ini rumah ama warnet punyanya si Tyo, atau minimal punya bokapnya gitulah, tapi ternyata dia cuman jaga doang toh.
"Oh, kirain ini kostan punya keluarga lo, Yo," kata gue, Tyo hanya tersenyum mendengar tebakanku yang salah.
"Ngomong-ngomong, di sini aernya pake ledeng atau air tanah, Yo?" Gue kembali bertanya. Selain listrik, air adalah hal penting buat gue menentukan sebuah kostan layak huni atau nggak. Soalnya gue paling kesel kalau pake ledeng, suka kadang-kadang gak ada aer mendadak.
"Di sini pake aer tanah. Lo tenang aja, di sini mah banyak aer kok," katanya menjelaskan.
Gue manggut-manggut mengerti. Gue sih udah ngerasa cocok ama tempat ini, masalah harga juga gak masalah sih sebenernya, tapi kan gak afdol kalau gak gue coba tawar hehe
"Yaudah atuh, Yo, gimana nih?"
"Yah, gimana yah, gue juga jadi bingung nih," Tyo terlihat menggaruk kepalanya, yang gue yakini gak gatel itu.
"Beneran gak bisa di kurangi lagi ya? Gue sih gak butuh kasur ama lemari, soalnya gue bawa sendiri," ungkap gue, berharap mengurangi fasilitas dapat membuat harga yang harus gue bayar berkurang.
Gue lihat Tyo tampak berpikir dengan serius. Haha, lucu amat sih dia. Raut wajahnya yang serius itu gak pernah berubah sejak dulu.
"Gini aja deh, ntar gue omongin ama yang punya kostan. Mudah-mudahan aja dia mau ngurangin harganya," ungkapnya. "Nomer handphone lo berapa? Entar gue hubungin lo kalau udah deal," katanya kemudian sambil menyerahkan ponselnya padaku.
"Jangan lama-lama ya ngasih kabarnya, soalnya kostan gue di cisitu udah mau abis 2 hari lagi," kata gue sambil memasuka nomer handphone gue ke dalam ponsel milik Tyo, kemudian menyerahkannya kembali.
"Oke sip, gue usahain ngasih kabar secepatnya deh," ujar Tyo tersenyum manis, memamerkan deretan giginya yang putih bersih itu.
Setelah melakukan tawar menawar, gue dan Tyo kembali ke warnet sambil sesekali bersenda gurau, membicarakan hal-hal yang terjadi saat kami masih duduk di bangku SMP.
Di warnet gue ngelihat Icha lagi duduk sambil memainkan hapenya. Berhubung udah hampir maghrib, setelah pamit pada Tyo, gue dan Icha pun pamit pulang dulu.
Gue pulang dengan wajah yang berseri-seri, Icha sempat menyakan kenapa gue terlihat senang hari itu, tapi gue gak jawab apa-apa. Kan gak mungkin juga gue jawab karena gue baru saja ketemu orang yang pernah gue taksir pas SMP yang bukan lain adalah Tyo.
===============
===============
Keesokan harinya gue resmi ngekost di tempat Tyo yang ternyata bernama pondok cemara. Tyo cepet banget ngasih kabarnya, tadi malem dia sms kalau yang punya kost cuman ngurangin harga sebesar 50 ribu jadi 450 ribu aja.
Gue sih gak pake mikir 2 kali buat nerima tawaran Tyo. Selain karena udah cocok dengan tempatnya, gue juga gak sabar buat ketemu Tyo lagi, orang yang dulu pernah jadi karakter utama dalam mimpi gue.
Siang ini gue langsung pindahan ke pondok cemara. Karena barang-barang gue terlalu banyak, gue pindah pake jasa mobil bak terbuka. Tyo membantu gue buat ngangkatin barang-barang gue kaya koper, TV, Kasur, ama lemari dan barang-barang lain yang tersusun rapih di dalam sebuah kardus.
Tyo sempat minta maaf karena cuman bisa bantu ngangkatin barang-barang ke kamar. Katanya dia harus jagain warnet yang lagi banyak pelanggan sehingga gak bisa bantu gue beres-beres.
Gue mengerti, udah mau ngebantuin gue di sela-sela kesibukannya aja udah lebih dari cukup buat gue.
Sore itu gue habiskan untuk merapihkan barang-barang di kamar baru gue ini. Gue gak butuh waktu lama untuk membereskan semua barang-barang gue, dalam waktu sejam semua sudah rapi di tempatnya masing-masing.
Setelah selesai beres-beres, gue memutuskan untuk melihat-lihat pondok ini. Dapur berada di lantai 1, keadaannya bersih dan rapih. Semua keperluan memasak ada di sana, Tyo bilang gue boleh pake semuanya asal di beresin lagi.
Di sebelah dapur ada 2 buah kamar mandi yang saling bersisian. Isinya standart aja sih, bak besar dengan air yang sangat jernih, lantai keramiknya juga tak kalah bersih. Hmm, apa semua ini Tyo yang membersihkannya? Batin gue bergumam.
Tadinya gue pikir kamar mandi di rumah ini cuman ada 2, ternyata setelah gue naek ke balkon atas, di sana terdapat 1 kamar mandi yang tak kalah bersih dengan di bawah.
Balkonnya cukup luas, beberapa deret tali untuk menjemur pakaian tampak terlihat melintang dari satu ujung ke ujung lain. Kemudian di sudut-sudut juga terdapat beberapa buah pot bunga besar yang menambah keasrian tempat ini.
Wah, enak banget suasana di sini. Angin sepoi-sepoi terasa menyejukan, dari sini juga kita bisa melihat pemandangan di sekitar karena letak rumah ini yang lebih tinggi dari pada rumah di sekitarnya.
Saat tengah menikmati suasana petang itu, tiba-tiba mata gue tertuju pada sebuah pintu yang berada di ujung sana. Karena gue penasaran, gue pun menghampirinya.
"Ini tempat apaan ya? Apa mungkin gudang?" Gue bergumam, bertanya-tanya.
Kaca jendelanya terlihat sangat gelap sehingga gue gak bisa ngelihat apa isi ruangan itu. Karena sudah terlanjur penasaran, gue mendekatkan wajah gue ke arah kaca, mencoba mengintip ke dalam ruangan.
Samar-samar gue ngeliat sebuah ranjang single dengan sprei putih, lemari, dan juga meja belajar. Hmm, ternyata sebuah kamar, pikir gue. Kok si Tyo gak bilang ya kalau ada kamar di sini.
Ketika tengah asyik mengintip, tiba-tiba gue tercekat ketika melihat seseorang di dalam sana. Seorang cewek yang tengah duduk menghadap tembok -- membelakangi gue --, dengan pakaian putih dan rambut terurai kebelakang.
Gue terus memperhatikan sosok itu. Kurang jelas karena ia berada di samping lemari yang menghalangi pandanganku, tapi gue yakin kalau ada seseorang di sana.
... Seorang cewek...
Tiba-tiba saja tanpa sengaja kaki gue menendang sebuah kaleng cat yang berada di samping kaki gue. Bunyi nyaring langsung terdengar.
Gue terkejut, sontak gue langsung memperhatikan cewek itu, apa dia ngedenger kehebohan yang gue buat? Jangan sampe deh, malu banget gue kalau ketangkap basah lagi ngintipin dia, mau di taro dimana coba muka gue.
Tiba-tiba saja cewek itu menoleh secara perlahan ke belakang, gue berdesis, "Shit, kayanya dia menyadari kehadiran gue," pikir gue.
Sebelum mata kami beradu pandang, gue langsung buru-buru menarik wajah gue dari kaca jendela kamar cewek itu. Dan tanpa berlama-lama lagi, gue langsung pergi dari tempat itu, kembali ke kamar gue.
Gue kembali ke kamar tepat saat adzhan maghrib berkumandang. Gila, kira-kira cewek itu ngelihat gue gak ya? Duh, kok gue jadi gelisah gini ya.
Tanpa gue sadari keringat dingin mulai mengucur dari pelipis mata gue. Gue menyekanya dengan punggung tangan gue.
Duh, badan gue lengket banget deh, mandi dulu ah.
20 menit kemudian gue sudah selesai mandi. Gue sengaja pake kamar mandi di bawah karena gak ingin mandi di kamar mandi atas, gue takut aja ketemu cewek itu.
Gue keluar dari kamar mandi berbarengan dengan seseorang yang membuka pintu depan. Karena penasaran gue sengaja berjalan pelan sambil memperhatikan pintu depan.
Tiba-tiba seorang cowok dengan jaket tebal menutupi tubuhnya muncul. Gue gak bisa ngeliat wajahnya karena ia memakai topi dan kebetulan lampu ruangan belum gue nyalain.
"Kang Leo?" Tanya gue hati-hati ketika cowok itu mulai menghampiri gue.
Cowok itu membuka topinya kemudian tersenyum pada gue.
"Eh, beneran Kang Leo ya?" Tanya gue penasaran.
Dia mengangguk, "Iya, Dy, ini Kang Leo. Kamu ngapain di sini?" Ia balik bertanya.
"Ah, Audy ngekost di sini, Kang. Baru mulai hari ini sih," jawab gue.
"Oh ya? Di kamar atas?"
Gue mengangguk, "Kang Leo sendiri ngapain di sini? Mau ketemu temen ya?" Tanya gue.
Kang Leo menggeleng, "Akang juga ngekost di sini, Dy. Kamar Akang persis di depan kamarmu loh," ungkapnya.
Gue terkejut mengetahui Kang Leo, senior gue di kampus yang tampan ternyata satu kostan dengan gue, mana kamar kami saling berhadapan pula.
Kang Leo beberapa sentimeter lebih tinggi dari gue. Mungkin tingginya sekitar 175 sentimeteran. Badannya juga lebih gede dari gue, tapi tetep slimlah. Kulitnya putih bersih dan satu hal yang menjadi kelebihannya adalah matanya yang teduh dan juga lesung pipi yang membuatnya lebih manis ketika tersenyum.
"Wah, serius Kang?"
"Iya, Dy, Akang serius," katanya menyakinkan gue. Gila, setelah Tyo, sekarang ada Kang Leo yang ganteng. Bisa-bisa gue betah seharian di kostan nih.
Tiba-tiba pintu kembali terbuka, sontak gue dan Kang Leo langsung menoleh. Ternyata yang baru saja masuk adalah Tyo yang datang dengan wajah kusam.
Ia tersenyum pada gue dan Kang Leo.
"Baru pulang, Kang?" Tanyanya.
Kang Leo mengangguk, "Iya nih, Yo," jawabnya dengan singkat di ikuti oleh sebuah senyum ramah.
Astaga naga, mimpi apa gue semalem bisa ngeliat 2 bidadara yang mempunyai senyum-senyum yang menggetarkan jiwa itu.
"Yaudah, Akang duluan ya, mau sholat maghrib dulu," kata Kang Leo pamit.
Gue dan dan Tyo mengangguk, mempersilakan Kang Leo untuk kembali ke kamarnya.
"Abis mandi lo, Dy?" Tanya Tyo padaku setelah Kang Leo mulai menaiki tangga.
"Iya nih abis gerah banget hehehe," jawab gue.
"Oh, yaudah, gue juga mau mandi dulu deh," katanya kemudian.
"Emang lo mau kemana gitu?" Tanya gue penasaran. Pertanyaan bego sih, emang kalau orang mau mandi pasti bakal pergi keluar gitu.
"Gue mau siap-siap kuliah dulu, Dy,"
"Lah, emang kuliahnya jam berapa?"
"Jam 7an, tapi jam 10 juga dah selesai kok," kata Tyo menjelaskn, sementara gue manggut-manggut mengerti. Kasihan Tyo, baru juga selesai kerja udah harus kuliah.
"Yaudah deh, sana cepet mandi, ntar telat loh," perintah gue padanya. Gue pun langsung pamit kembali ke kamar karena gak ingin ngeganggu dia.
===============
===============
tuh baru di post
Wah si Audy dikelilingi cowok2 cakep nih...
Menikmati banget bacanya.mention klo update lgi
ditunggu ya kelanjutannya
gue suke gaya bahasa lo, ngingetin sama Raffa evan
pertama kalinya dalam SEJARANG!
what the kamsud?
aku nyimpulinnya gini, kalau dari awalnya saja sudah muncul typo apa kemungkinan aku akan nemuin banyak kalau membaca lanjutannya?
hehe, ntar deh ya aku baca...
let's make it perfect!