It looks like you're new here. If you want to get involved, click one of these buttons!
Copyright 2021 Queer Indonesia Archive. See our Privacy Policy. Contact us at [email protected]
Dengan menggunakan situs ini berarti Anda setuju dengan Aturan Pakai.
BoyzForum.com adalah situs anti pedofilia!
Comments
@PrinceArga
Mana fotonya Kang Ugih dri kecil kok gak dishare? Cuman ada foto temen²nya aja?
Kang Ugih tu foto Ary ma sapa?kok kayak foto ma cewek ya?
Klo 'Pineapple' tu kayaknya lom pernah baca aku.bisa dibaca dimana ya?
@callme_DIAZ
@ramadhani_rizky
@hananta
@mustaja84465148
@haha5
@waisamru
@caetsith
@angga_rafael2
@nakashima
@aries18
@san1204
@adam25
@bayumukti
@farizpratama7
@rizky_27
@fends
@eldurion
@Tsu_no_YanYan
@arieat
@YANS FILAN
@beepe
@MikeAurellio
@Shishunki
@3ll0
@agova
@Gabriel_Valiant
@leviostorm
@kimo_chie
@Dimz
@blackshappire
@Agova
@just_Pj
@Dhika_smg
@arieat
@boljugg
@siapacoba
@Edmun_shreek
@The_jack19
@WYATB
@bonanza
@Zazu_faghag
@4ndh0
@yo_sap89
@nand4s1m4
@d_cetya
@Ray_Ryo
@icha_fujo
@elul
@Zhar12
@Anju_V
@hehe_adadeh
@aicasukakonde
@amira_fujoshi
@anohito
@admmx01
@adam25
@touch
@meong_meong
@YSutrisno
@ardi_cukup
@angelsndemons
@Cowoq_Calm
@eswetod
@line
@kikyo
@Bintang96
@haha5
@hiruma
@Soni_Saja
@kikyo
@san1204
@andre_patiatama
@Dhika_smg
@dafaZartin
@MikeAurellio
@dimasalf
@Akukamukita
@Lenoil
@FransLeonardy_FL
@reenoreno
@zeva_21
@TigerGirlz
@alfa_centaury
@eizanki
@alvaredza
@ardi_cukup
@9gags
@Adityashidqi
@hananta
@Gabriel_Valiant
@abiDoANk
@Zhar12
@d_cetya
@sasadara
@boy_filippo
@3ll0
@Tsu_no_YanYan
@eizanki
@Fikh_r
@tarry
@4ndh0
@Just_PJ
@adamy
@GeryYaoibot95
@Fuumareicchi
@haha5
@doel7
@kikyo
@Ananda_Ades
@AkhmadZo
@Yohan_Pratama
@Dityadrew2
@diditwahyudicom1
@eka_januartan
@tarry
@EllaWiffe10
@Needu
@andi_andee
@cloudsquirrel
@Black_G
@Daviano
@Adityaa_okk
@lulu_75
@Fours
♖♬♪♖♥♡♥♣♧♣♠♢♦♢♠♧♣♧♡♥♡♖♪♬♖
#18
---"Gue Terima Tantangan Lu, Ryan!"---
Bogor, Juli 2001
(Kelas 1 SMU)
Hari ini merupakan hari pertamaku mengikuti kegiatan belajar mengajar di sekolah. Kelasku mendapat shift siang, masuk pukul 13.00 dikarenakan sekolahku belum memiliki banyak gedung. Jumlah ruang kelas yang tersedia hanya 16 ruangan, sementara jumlah kelas keseluruhan mencapai 24 kelas. Jadi masih kurang 8 ruangan lagi. Karena itu mau tidak mau seluruh kelas 1 terpaksa difokuskan melakukan kegiatan belajar-mengajar pada jam siang setelah kelas 3 bubar. Sementara pihak sekolah masih menunggu peleburan SDN Manunggal 1 dan SDN Manunggal 2 yang bertetanggaan dengan sekolahku. Rencananya kedua SD tersebut akan ditutup, dan diserahkan oleh pemerintah untuk perluasan wilayah SMUN 5 sepenuhnya.
Pagi-pagi sekali aku berangkat ke SMPN 4 sekolahku dulu, guna mengantarkan dagangan yang akan kutitipkan di kantin. Sebulan sebelumnya saat menjelang kelulusan aku telah meminta izin pada seorang pedagang di sana. Namanya Mang Ujang. Orangnya sudah tua dan baik hati. Aku menitipkan keripik pedas, nasi uduk, dan aneka gorengan di lapaknya.
"Mang, hari ini saya titip nasi uduk 40 bungkus, keripik pedas 40 bungkus, dan goreng pastel 40 bungkus ya. Daftar harganya sudah saya catatkan," kataku menyerahkan daganganku.
"Iya, taruh di situ saja! Nanti Mamang yang menatanya," ujar beliau sambil menyiapkan dagangannya.
"Ini ekstra buat Mamang!" Tak lupa kuserahkan bonus untuknya.
"Makasih ya, Dek!" Beliau tersenyum menyambutnya.
"Saya permisi dulu, Mang. Mau belanja ke pasar!" Pamitku.
"Iya, hati-hati. Selamat menjalani hari-hari baru di sekolah baru!" Katanya ramah sambil menata dagangan titipanku.
Kulangkahkan kakiku menyusuri koridor sekolah lamaku ini. Aku sempat melewati barisan toilet dan kelasnya Ary dulu.
"Hmm... Jadi ingat sama Novan, kaya apa ya kabarnya dia?" Pikiranku pun bergulat mengenang masa-masa indahku dulu dengannya.
Meskipun hubungan kami hanya sebatas sahabat, tapi rasanya kami seperti orang berpacaran. Sikap Novan sering terlalu mesra padaku. Masih kuingat dengan jelas bagaimana ia memelukku menyuruhku mencium aroma parfum yang melekat di tubuhnya, mengajariku nikmatnya beronani dengan lembut, hingga genggaman erat tangannya saat kami menatap bintang bersama.
FLASHBACK...
Bogor, November 2000
(Kelas 3 SMP)
::Ini adalah kilas balik antara aku dan Novan sebelum Ary pulang dari Filipina::
Malam itu aku mengikuti kegiatan buka puasa bersama di sekolah. Rencananya aku akan pulang bareng Indra seusai menunaikan shalat terawih.
"Gih, aku ke mesjid dulu sebentar ada yang ketinggalan!" Indra berbalik meninggalkanku.
"Aku tunggu di sini ya, Ndra!" Teriakku melihatnya berlari.
"Tunggu aja di situ!" Balasnya tanpa menoleh padaku.
Lima menit kutunggu, dia tak kunjung datang. Sepuluh menitpun berlalu. Hingga hampir setengah jam aku menunggunya ditemani vampir-vampir kecil penghisap darah.
PLOK!
Kutepuk makhluk kecil itu yang mendarat di tanganku. "Heueh, mana sih si Indra? Katanya cuma sebentar!" Gerutuku.
"Eh Gie, kok masih di sini?" Tegur suara yang cukup kukenal dari kejauhan.
Suasana tampak gelap, tak ada lampu penerang di sekitarku. Kupicingkan mataku mencoba memastikan siapa gerangan yang bersuara.
Sosok itu semakin dekat, "Sekolah udah sepi lho!"
"Novan?" Tegurku.
"Iya, ini gue! Lagi nunggu siapa?" Tanyanya.
"Indra, anak 3-F!" Jawabku.
"Oh, tadi gue ngelihat dia balik bareng teman-temannya!" Katanya.
"Apa? Gue ditinggalin?" Aku tercengang. "Sialan! Apa sih maunya dia?"
"Udah lu balik bareng gue aja! Sekolah udah gak ada orang!" Ajaknya merengkuh bahuku.
"Eh?" Aku terkejut melihat tangannya menempel di bahuku. Belum pernah kami sedekat ini.
"Lu sendiri kok belum balik?" Giliranku menanyainya.
"Biasalah, tadi gue ngerokok dulu di belakang sekolah bareng Devan!"
"Bandel lu ya! Pasti puntung rokok yang ada di WC itu semua bekas elu kan?" Tudingku menunjuk ke arahnya.
"Enak aja! Gue gak pernah ngerokok di WC ya! Kalo coli iya!" Katanya tanpa merasa malu.
"Astagfirullahaladzim!" Aku beristigfar.
"Dasar anak alim lu! Lu suka coli gak? Kapan-kapan kita coli bareng yuk!" Ajaknya sambil nyengir cengengesan.
Waktu itu kami memang belum pernah melakukan masturbasi bersama.
"Ingat ini bulan puasa, woy!" Sambarku padanya.
"Ah, gak ngaruh buat gue! Mau bulan puasa apa bukan gak ada bedanya," tukasnya cuek.
"Aduuh, susah banget ngomong sama orang resek kaya lu!" Gumamku pelan.
"Biar resek yang penting ganteng!" Ternyata dia mendengarku.
Benar-benar PD sekali dia.
"Terus Devan-nya sekarang mana?" Tanyaku lagi.
"Dia dah pulang duluan, jalan sama pacarnya!" Katanya menghentikan langkahnya.
"Ada apa?" Kutolehkan pandanganku menghadapnya.
"Paling enak kalo punya pacar!" Ia menarik napas panjang.
"Ya, elu kenapa gak jalan sama pacar lu?" Kataku menimpalinya.
"Gue mana ada pacar!"
"Kan banyak cewek yang suka sama lu. Tinggal dipilih aja!"
"Bingung milihnya!" Ia menggaruk kepalanya.
"Eh, lu mau gak temenin gue sekarang?" Lanjutnya lagi.
"Ngapain?"
Tiba-tiba saja ia menarik tanganku menuju tangga gedung lantai kelasku.
"Mau apa Van?" Selorohku penasaran setibanya kami di atas.
"Lu temenin gue aja di sini! Pura-puranya elu jadi pacar gue!" Kembali ia tersenyum nyengir.
Kali ini paras wajahnya terlihat sangat jelas berkat pancaran cahaya lampu yang terdapat di koridor kelasku. Benar-benar tampan.
"Hah? Gelo sia!" Aku tercengang.
#Gelo sia! (Bahasa Sunda) : Gila lu!
Jujur, sebenarnya aku suka Novan mengatakan itu. Tanpa sadar, akupun berharap kalau Novan mengatakannya dengan sungguh-sungguh.
"Gie, kita rebahan di situ yuk!" Ajaknya.
Bagaikan telah terhipnotis olehnya, aku menuruti saja kata-kata yang diucapkannya. Hatiku berdegup kencang.
"Jangan-jangan Novan mau ngapa-ngapain aku nih!" Pikirku. "Tapi gak apa-apa deh, aku pasrah. Novan cakep banget sih!"
Kamipun berebah berdampingan di lantai lapang samping kelasku. Aroma napasnya tercium hangat olehku membuat jantungku berpacu semakin cepat.
Novan memangku kepalanya dengan kedua tangannya yang dilipat ke belakang. "Gie, apa benar ya orang baik yang sudah meninggal itu bakal naik ke langit menjadi bintang?" Ucapnya tiba-tiba sambil memandang langit.
Malam ini bintang bertaburan, namun bulan hanya terlihat seujung kuku.
"Lu tuh aneh ya. Orang yang udah mati ya masuk ke akherat! Cuma dua pilihan mereka, surga atau neraka!" Cibirku padanya.
"Gue tahu itu. Tapi guru TK gue waktu di Amrik, pernah bilang ke gue 'Good people will be peacefully in heaven. There is heaven!'" Tunjuk Novan ke langit pada gugusan bintang-bintang.
Aku mendesah menekuk kedua lututku dan bangkit duduk.
"Emangnya siapa yang udah meninggal? Pacar lu?" Tebakku.
"Waktu gue lahir, gue nggak sempat ketemu sama orang yang udah berjuang ngelahirin gue. Gue gak pernah ngerasain belaiannya sama sekali. Gue gak pernah ngerasain nikmatnya ASI yang dia punya. Gue gak pernah dikecup sama dia setelah gue ada. Gue ngerasa nyesel, kenapa gue harus lahir ke dunia?"
Eeh... Novan menangis? Dia bangkit duduk di sebelahku.
Kugenggam jemari tangannya. "Sorry Van, gue turut sedih. Semoga nyokap lu baek-baek aja di sana! Tenang di peristirahatannya!" Kataku bersungguh-sungguh.
"Thanks Gie. Sorry kalo gue cengeng. Sebenarnya, malam ini malam ultah gue! Seharusnya gue bahagia. Tapi gue malah sedih ingat sama nyokap gue yang udah meninggal pas ngelahirin gue!"
"Lu enggak cengeng kok Van. Itu wajar. Lu kan manusia sama kaya gue!" Tuturku.
"Anyway, happy birthday ya Van. Semoga apa yang elu harapkan dapat elu capai dengan baik. Sorry gak ngasih kado apa-apa, soalnya gue gak tahu kalo sekarang hari ultah lu!"
Novan berulang tahun tanggal 30 November. Aku baru menyadari kalau namanya yang berbunyi Nov- diambil dari nama bulan kelahirannya. Setelah kusadari, ternyata Novan memiliki zodiak yang sama denganku : Sagitarius.
"Thanks ya Gie, lu nggak apa-apa kan temenin gue dulu di sini?"
Aku mengangguk memberikan bahuku padanya. Biarlah Novan meluapkan kesedihannya sebagai pelepas rindu terhadap orang yang telah melahirkannya. Entah mengapa akupun ikut menangis bersamanya.
"Lu kenapa ikutan mewek?"
Aku menyeka air mata di pipiku. "Ternyata nasib lu gak beda jauh sama nasib gue. Seumur hidup gue, gue belum pernah ketemu sama bokap gue. Komuknya aja gue gak tahu kaya gimana. Tapi semua keluarga gue bilang, kalo gue pengen tahu kaya apa tampang bokap gue, ngaca aja di depan cermin!"
"Bokap lu udah meninggal?"
Aku menggelengkan kepalaku.
"Ortu gue cerai seminggu setelah gue lahir. Sebulan sebelumnya bokap gue pergi ninggalin rumah lantaran kepelet sama cewek dari kampungnya di Kalimantan! Surat cerai dari bokap gue diantar sama uwak gue!" Ungkapku secara terbuka.
Baru kali ini aku menceritakan masalah pribadiku kepada orang lain, terutama mengenai keluargaku. Dulu semasa SD aku hanya terbuka kepada Ardhan. Namun kini dia menghilang keberadaannya. Tak seorangpun tahu pindah ke mana Ardhan dan keluarganya.
"Kadang gue ngerasa minder tiap ngeliat teman-teman yang diantar-jemput sama bokapnya. Gue iri sama mereka. Tapi nasi udah menjadi bubur, kita gak akan pernah bisa mengubah apa yang udah terjadi dalam hidup kita. Masa lalu gak akan pernah bisa kembali!" Kataku menelungkupkan wajahku dalam-dalam.
"Gie, yang sabar ya!" Novan mengusap punggungku.
"Elu juga Van, elu harus ikhlas! Biarin nyokap elu tenang di alam sana! Lu harus banyak shalat, mengaji, dan ngedoain buat ketenangannya!" Nasihatku padanya.
"Thanks Gie, elu benar-benar baek! Mulai saat ini lu jadi sahabat gue ya!" Ucapnya lembut.
Aku mengangguk. Perasaan bahagia mengharu-biru karena hubungan kami bisa sedekat ini.
Novan membawaku kembali berebah menikmati indahnya bintang-bintang yang bertebaran di langit. Udara dingin yang menusuk tak sama sekali kami rasakan. Entah berapa jam lamanya kami menghabiskan waktu berduaan di lantai lapang samping kelasku. Yang kuingat, aku pulang ke rumah saat hari menjelang sahur. Novan menghubungi supir pribadinya melalui telepon umum yang terdapat di depan sekolah kami. Sambil menunggu supirnya datang kami berjalan mengelilingi sekolah saling berpegangan tangan dan menyanyikan lagu-lagu Sheila On Seven kesukaan kami. Novan memang memiliki selera yang sama denganku. Mungkin karena kami satu zodiak, sehingga kami merasa memiliki banyak kecocokan.
End of Flashback...
Lamunanku bersama Novan mendadak buyar tatkala kurasakan sebuah tepukan menyentuh bahuku.
"Kamu kan sudah SMU. Kok ada di sini? Mau balik lagi ke SMP?" Tegur seorang pria paruh baya berpenampilan seragam safari.
"Eh, Bapak. Saya baru saja menitip dagangan di kantin Pak!" Kusalami orang itu penuh rasa santun.
Beliau adalah Pak Pardi, Kepala SMPN 4.
"Masuk SMU mana kamu?" Tegur beliau lagi.
"SMUN 5, Pak!" Jawabku singkat.
"NEM kamu kan tinggi, kenapa nggak masuk ke SMUN 1?" Mata Pak Pardi terbeliak.
"Kejauhan Pak. Lagian saya tertarik belajar Bahasa Jepang, kan di SMUN 5 ada pelajaran Bahasa Jepang. Kalau masuk SMUN 1 nanti malah belajar Bahasa Jerman. Enggak minat saya, Pak!" Dalihku pada beliau.
"Ah, kamu mah dari dulu emang bobogohan wae sama si Sachi!" Goda Pak Pardi mencandaiku.
#Bobogohan wae (Bahasa Sunda) : Pacaran aja.
"Ah Bapak. Sachi kan sekarang sudah pulang ke negaranya!" Kataku tersipu malu.
"Iya, terus lulus SMU nanti kamu nyusulin dia ke Jepang!" Gurauan beliau semakin menjadi.
"Iih, Bapak mah kitu!" Aku menunduk malu.
#Kitu (Bahasa Sunda) : Gitu.
"Kamu sudah beli seragam sama peralatan tulis buat sekolah?" Tanya beliau tiba-tiba.
"Kalau alat tulis sih sudah. Kalau seragam belum dikasih sama pihak sekolahnya, Pak. Baru diukur 5 hari yang lalu!" Jawabku apa adanya.
"Sebentar atuh ya, kamu tunggu di sini dan jangan ke mana-mana!" Pak Pardi lalu masuk ke dalam kantornya dan tampak menelepon seseorang.
Selang 5 menit berlalu, Pak Pardi kembali menemuiku di depan kantornya.
"Barusan Bapak menelepon Pak Rifai kepala sekolah kamu. Bapak bilang sama beliau, supaya DSP (Dana Sosial Pembangunan) sekolah kamu dibayar separuhnya saja. Sisanya biar Bapak yang menanggungnya!" Kata Pak Pardi begitu tulus.
"Masya Allah Bapak, saya jadi menyusahkan Bapak!" Buru-buru aku mencium tangannya seraya mengucapkan terima kasih.
"Kamu teh anak kebanggaan Bapak! Walaupun kamu susah, tapi kamu enggak minder jualan di sekolah. Bapak bangga punya murid seperti kamu. Masih kecil udah banting tulang membantu ibu kamu!" Ujar Pak Pardi lagi mengelus kepalaku.
"Hidup Bapak dulu juga susah. Makan ikan asin saja sudah terbilang mewah. Sekarang Bapak nggak mau kalau anak-anak Bapak harus merasakan apa yang dulu pernah Bapak rasakan. Bapak ingin anak-anak Bapak hidup senang. Biar saja Bapak sekarang hanya makan dengan uyah, tapi anak-anak Bapak semua jadi sarjana!"
#Uyah : Garam.
Tiba-tiba Pak Pardi menarik tanganku berjalan ke luar meninggalkan halaman sekolah. Dituntunnya tanganku seperti sedang menuntun anak kecil yang masih ingusan. Tak sedikit orang-orang di jalanan menyoroti kami. Rasanya benar-benar malu menjadi pusat perhatian. Kami berjalan menuju kompleks pertokoan yang terletak tidak jauh dari SMPN 4.
"Ayo, kita cari seragam buat kamu!" Ajak beliau.
Aku hanya mengikuti langkahnya di depanku. Pak Pardi membawaku masuk ke Toko Meita dan memilih seragam sekolah yang dijual di sana.
"Pas enggak ukurannya?" Tanya beliau setelah aku keluar dari fitting room.
"Pas, Pak!" Kataku.
"Nah, sekalian seragam PRAMUKA-nya juga!" Tunjuk beliau ke arah box seragam di sebelahku.
Kupilih-pilih ukuran yang sesuai dengan tubuhku. Setelah Pak Pardi membayarkan seragam yang dibelikannya untukku, beliau menempelkan sebuah amplop di tanganku.
"Ini buat uang jajan kamu. Kalau ada apa-apa, datang saja ke kantor, temui Bapak! Enggak usah sungkan-sungkan! 'Pak, saya perlu anu!' Bilang saja sama Bapak! Insya Allah nanti Bapak kasih, selama Bapak masih mampu memenuhinya!" Pesan beliau begitu tulus.
"Bapak, saya bingung harus berkata apa. Begitu banyak yang telah Bapak berikan kepada saya, dan saya tidak bisa membalasnya. Mudah-mudahan Gusti Allah membalas semua kebaikan hati Bapak. Terima kasih banyak ya Pak, atas semuanya!" Ucapku seraya mencium tangannya begitu lama.
"Kamu itu anak kebanggaan kami! Duta tercinta kami! Pesan Bapak untuk kamu, jadilah anak yang shaleh, berbakti kepada orang tua, dan rajinlah belajar! Itu yang utama! Bapak hanya bisa mendoakan semoga kamu kelak menjadi orang yang berhasil!" Nasihat beliau lugas.
"Amin. Insya Allah Pak, saya akan menuruti nasihat Bapak!"
"Sudah ya, Bapak mau balik lagi ke kantor. Sampaikan salam Bapak untuk ibumu di rumah!" Pesan beliau sambil berlalu dari hadapanku.
Pertemuan hari ini takkan pernah kulupakan seumur hidupku. Begitu banyak yang telah beliau berikan kepadaku. Mulai dari pembayaran DSP sekolahku (untung saja mama belum membayarkan iuran tersebut, karena cek pemberian Bu Sjahandari baru kami cairkan 3 hari yang lalu), seragam sekolah, plus uang saku. Saat kubuka amplop pemberian beliau, ternyata jumlahnya Rp360.000,00. Jumlah yang sangat besar bagiku. Mungkin bila dibandingkan dengan zaman sekarang jumlah tersebut setara dengan uang Rp700.000,00.
"Pak Pardi, saya tidak akan pernah melupakan Bapak. Semoga Allah membalas segala budi baik kemurahan hati Bapak!" Doaku dalam hati.
Kulenggangkan kakiku berbelanja ke Pasar Anyar guna membeli sayuran pesanan mama. Saat aku kembali ke rumah dan menceritakan semuanya kepada mama, mama mengucap syukur karena Allah senantiasa berkenan mengirimkan malaikat-malaikat-Nya untuk mengantarkan rizki kepada kami. Alhamdulillah.
★☆★
"Wah, rasanya keren ya udah pake seragam SMU!" Seruku pada teman-teman sekelasku.
Kami asyik berdiskusi membicarakan keseruan masa-masa MOS kami.
"Gila, pas acara minta tanda tangan panitia MOS kemaren itu, gue dikerjain habis-habisan sama Kang Jimmy! Gue disuruh jogedlah, disuruh nyium Kang Gatot-lah, disuruh lompat-lompat kaya kodoklah!" Cerita Wiwin pada Intan dengan ekspresi geregetan.
"Sama gue juga disuruh nyanyi lagu Balonku Ada Sepuluh, Anak Ayam Turun Seribu, sama lagu Doraemon sambil tutup idung!" Sahut Intan berbagi pengalamannya.
"Gue yang paling parah, masak gue disuruh gosok-gosok tahi ayam ke muka gue? Kan bau!" Wahyu turut nimbrung. "Emang gila tuh Kang Jimmy!"
"Haha... Berarti gue yang paling beruntung, niat gue cuma ngedapetin tanda tangannya Kang Triko, terus gue disuruh Kang Triko buat ngerayu Teh Irene. Ya udah, gue gombalin aja tuh Teh Irene, gak tahunya tanpa gue minta Teh Irene sendiri yang ngasih tanda tangannya ke gue!" Ceritaku pada mereka.
"Iih, enak bener tuh! Kok gue malah dikerjain habis-habisan sama Teh Irene, pas gue minta tanda tangan ke dia? Gue disuruh maen ular naga panjang bareng si Harry, Indra, Ule, Chairani, sama si Jaka sambil nyanyi-nyanyi kaya anak TK. Pas lagunya udah beres, gue kira dia bakal langsung ngasih gitu aja tanda tangannya. Tahunya kita disuruh tabok-tabokkan berantai. Ule nabok pipi gue, terus gue nabok Indra, Indra nabok pipinya Chairani, Chairani nabok lagi ke si Jaka, Jaka nabok Harry, Harry nabok Ule, dan balik lagi ke gue sampai lima kali putaran!" Ungkit Intan sedikit kesal.
"Apa gak sakit tuh maen tabok-tabokkan?" Responku pada Intan.
"Ya sakitlah, tapi namanya juga perjuangan!" Ucap Intan menyunggingkan senyuman.
"Teh Irene mah gitu ya, giliran sama cowok cakep aja, nggak ngasih syarat buat ngasih tanda tangannya!" Keluh Wiwin tidak terima.
"Thanks ya Win, jadi gue cakep ya?" Kataku sedikit narsis.
Tiba-tiba mataku bertumbukkan dengan seorang gadis yang baru saja masuk ke dalam kelas. Segera kuhampiri gadis itu untuk mengajaknya berkenalan.
"Hai, kok gue belum pernah lihat elu ya selama MOS kemaren?" Sapaku padanya.
"Oh, gue kan emang baru aja masuk!" Sahut gadis itu.
Penampilannya sangat ketat dan junkiest, persis gaya anak-anak Genk Versus 416 di SMP-ku dulu. Rok yang dipakainya sangat mini di atas lutut. Lengan kemejanya sangat pendek, bahkan pusarnya nyaris tersorot ke berbagai penjuru. Kepalanya ditutup memakai bandana. Tapi ah, sebodo amat, aku tidak peduli dengan penampilannya, meskipun aku menduga dia pasti tergolong perempuan 'nakal'.
"Oya kenalin, Ugie!" Kuulurkan tanganku padanya.
"Damayanti!" Balasnya sijedat.
"Lu dari SMP mana?" Tanyaku duduk di sebelahnya.
"SMP PGRI 3!" Jawabnya lagi.
"Oh, berarti lu temannya sepupu gue dong. Lu kenal gak sama Lucky M.N?"
"Ih, itu mah mantan gue malahan!" Damayanti sukses membuatku terkejut.
"What? Elu mantannya Lucky? Kok si Lucky gak pernah cerita ya kalo pacaran sama elu. Biasanya dia cerita soal pacar-pacarnya ke gue!" Aku terkesima.
"Yah, kaya lu gak tahu aja. Dia kan playboy cap kadal! Kita aja jadian cuma satu minggu!" Ungkap Damayanti.
"Hah? Satu minggu?" Lagi-lagi aku dibuatnya tersentak.
"Biasa aja kalee!" Damayanti memonyongkan bibirnya.
"Bukan gitu, biasanya dia pacaran paling sebentar 3 bulan lho!" Selaku.
"Oh, berarti sama gue yang paling bentar!" Responnya cuek.
"Ngomong-ngomong, lu kenapa baru masuk hari ini?" Selidikku sedikit aneh.
"Lu mau tahu? Sini gue bisikkin!" Katanya menarik kepalaku.
"NEM gue gak cukup buat masuk ke sekolah ini. Terus bokap gue nembak 5 juta supaya gue diterima di sini!" Desisnya di telingaku.
"Hah?" Aku melongo mendengarnya.
Ternyata uang memang raja segala-galanya. Uang dapat menutupi kebodohan! Uang dapat menebus segala apa yang kita inginkan! Dan uang dapat menaikkan status kita dari derajat yang rendah hina dina menjadi derajat yang paling tinggi di atas segala kasta!
"Gie, aku pindah tempat duduk ya? Kamu duduk sama si Wahyu aja!" Panggil Harry di kejauhan.
Kuanggukkan kepalaku tanda setuju pada Harry. Agak aneh juga mendengarnya minta pindah. Rasanya tidak ada masalah di antara kami berdua, tapi ah ya sudahlah! Biar saja kalau itu memang maunya.
"Selamat siang semuanya!" Seorang wanita paruh baya berkerudung dan berkacamata masuk ke dalam kelas.
"Siang, Bu!" Koor seisi kelas bersamaan.
Aku tidak sadar kalau bel masuk telah berdering. Buru-buru aku kembali ke tempat dudukku.
"Sudah berdoa belum?" Tegur wanita itu lagi.
"Belum, Bu!" Lagi-lagi kami berkoor-ria.
"Sebelum belajar, mari berdoa menurut agama dan kepercayaan kita masing-masing! Berdoa dimulai!" Wahyu selaku ketua kelas memberikan instruksi.
Sontak kami pun mengikuti instruksi yang diberikannya. Semua kepala menunduk. Tampak sebagian berkomat-kamit membaca doa seperti sedang membaca mantra.
Kulantunkan doa yang biasa kubacakan setiap kali akan belajar. Doa yang pernah diajarkan oleh Umi Ating saat aku kelas 6 SD.
"Allahuma taflana hikmata kawansur alaina minkhaja inni birrahmatika ya arrhamarrahimin," ucapku dalam hati.
"Selesai! Beri salam!" Instruksi Wahyu berikutnya.
"Assalamualaikum Warrahmatullahi Wabarakatu!" Ucap kami menyebutkan salam.
"Waalaikumsalam Warrahmatullahi Wabarakatu!" Wanita itu membalas salam yang kami ucapkan.
"Anda semua tahu siapa saya?" Tanya wanita itu menurunkan kacamata yang dipakainya, matanya setengah mendelik seperti sedang menakut-nakuti.
(Weeh... Apa kalian tahu siapa dia? Kalau kalian pernah membaca ceritaku yang berjudul : Namamu Kupinjam, dialah orangnya yang bersedia memberikan kompensasi kepada Badai agar Badai bisa satu kelas dengan Mario! Jabatannya di sekolah adalah Wakil Kepala Sekolah Bidang Kurikulum. Ayo tebak, siapa coba?)
"Ibu, wali kelas kami ya?" Celetuk Ule menjawab pertanyaan wanita itu.
"O bukan! Saya ndak jadi wali kelas! Saya cuma mengajar Ekonomi dan Akuntansi!" Kata beliau.
"Lalu nama Ibu siapa?" Giliran Harry yang bertanya.
"Naaaah..." Seisi kelas benar-benar dibuatnya terkejut, wanita itu nyaris melompat membuat kami ketakutan.
"...itu dia! Tak kenal maka tak sayang!" Kata beliau lagi.
"Perkenalkan, saya asli Jogja. Saya sudah lebih dari 20 tahun merantau di sini. Jadi saya ini sudah mengajar di sekolah ini jauh sebelum kalian dilahirkan! Sekarang usia kalian kira-kira berapa ya? Paling-paling kisaran 15 atau 16 tahunan, iya toh? Nah, jadi saya itu karena dulunya kuliah di UGM mengambil Fakultas Pendidikan, maka jadilah saya seorang guru! Dan berhubung saya ini sukanya pelajaran Ekonomi, maka saya mengajar Ekonomi. Saya tinggal di Ciomas, dulunya saya sempat tetanggaan dengan ibunya Sahrul Gunawan yang sekarang menjadi artis terkenal! Terus saya ini suka Ekonomi, karena Ekonomi itu asyik tiap hari menghitung duit, padahal duitnya tidak ada. Haha... Tapi ya ndak apa-apa toh? Namanya juga belajar menjadi pengusaha! Siapa tahu ketiban rezeki, nanti saya menjadi pengusaha! Iya toh?" Cerocos wanita itu panjang lebar dengan logat Jawa yang sangat kental.
"Busyet! Ibu ini niat kenalan nggak sih? Dari tadi kok namanya nggak kunjung disebutin!" Bisikku di telinga Wahyu yang duduk di sebelahku.
Teman-temanku di belakang sebagian tertawa-tawa mendengarkan ceramah perkenalan yang aneh itu.
"Ibu ini lebih pantes jadi ustadzah yang buka warung di pasar!" Celetuk Damayanti di belakangku.
Aku tersengih mendengarnya. "Kenapa gitu?"
"Penampilannya kaya guru ngaji, tapi ceramahnya kaya orang jualan ngitung untung rugi!" Papar Damayanti membuatku sedikit tergelak. Wahyu pun cekikikan menutup mulutnya.
"Jadi nama yang diberikan oleh orang tua saya kepada saya itu lengkapnya adalah SRI SUDARYANTI! Ada yang tahu kira-kira umur saya berapa?" Ucap beliau penuh kejutan.
"Bu, daripada saya ngitung umur Ibu, mendingan saya ngitung duit di dompet Ibu! Kali aja Ibu kasih semua untuk saya!" Celetuk Ule membuat seisi kelas geger terbahak-bahak mendengarnya.
"Wah, si Ule pinter ngetroll juga ternyata!" Komentarku di sela-sela derai tawaku yang panjang.
Mata Ibu Sri Sudaryanti langsung mendelik menatap Ule. Kacamata yang dipakainya sudah turun mencapai ujung hidung. Digamitnya dompetnya erat-erat di bawah ketiaknya.
"Hati-hati Bu, kalau uang dalam dompet Ibu hilang semua, pasti dicopet sama Ule tuh!" Celetuk Dwie Putri membuat seisi kelas semakin tergelak.
(Jangan ditiru ya sodara-sodara! )
??
Jam pelajaran kedua, masuklah seorang wanita muda berpenampilan modis. Betisnya sangat seksi membuat sekumpulan anak lelaki di kelasku bersiul melihatnya. Rambut wanita itu pendek sebahu. Kulitnya putih mulus dengan wajah dibingkai kacamata sama seperti Bu Sri Sudaryanti. Wow, lumayan cantik!
"Good afternoon class!" (Selamat siang semua!) Sapanya pada seisi kelas.
"Good afternoon, Mam!" (Selamat siang, Bu!) Sahut kami serempak berpaduan suara.
"Do you know my name?" (Apakah kalian tahu nama saya?) Katanya bertanya pada kami.
Hadeuh! Kenapa sih guru di sekolah ini sukanya main tebak-tebakan? Kontan kami pun saling melempar pandangan barangkali di antara kami ada yang mengenal beliau.
"No, Mam!" (Tidak, Bu!) Jawab kami serempak.
"You don't know my name?" (Kalian tidak tahu nama saya?) Tanya beliau lagi.
"Yes, Mam!" (Ya, Bu!) Lagi-lagi kami menjawabnya dengan begitu kompak.
"OK. Do you want to know my name?" (OK. Apa kalian ingin tahu nama saya?) Ucap beliau.
"Yes, Mam!" (Ya, Bu!) Kata kami lagi mengulang jawaban sebelumnya.
"Well, my name is Maria D.B. You just call me Mrs. Maria! Okay?" (Baiklah, nama saya adalah Maria D.B. Kalian panggil saja saya Ibu Maria! Oke?) Beliau menyebutkan namanya.
"Yes, Mam!" (Ya, Bu!) Masih koor yang sama.
"So, now I want you to introduce yourself one by one to me! Let me know you all each other!" (Jadi, sekarang saya ingin kalian memperkenalkan diri satu-persatu kepada saya! Biarkan saya mengenal kalian semua satu sama lain!) Ucap Bu Maria lagi.
"Yes, Mam!" (Ya, Bu!) Tak bosannya kami mengucapkan kata-kata yang sama seperti sebelumnya.
"Alright, start from here. What is your name dude?" (Baiklah, mulai dari sini. Siapa namamu, Nak?) Tegur Bu Maria kepada Ule yang duduk persis di hadapannya.
"Yes, Mam!" (Ya, Bu!) Sahut Ule kocak.
Gubrak! Ditanya nama malah menjawab 'Yes, Mam!' Pasti Ule sedang berada di bawah alam sadar. Kembali suasana kelas menjadi riuh menertawakan Ule.
Ternyata Ibu Maria adalah guru wali kelas kami. Beliau termasuk kategori guru favorit di sekolah kami karena suaranya yang lembut dan sangat perhatian kepada para siswanya. Terang saja hal ini membuat kelas lain iri kepada kelas kami.
Akhirnya setelah dua setengah jam suntuk berkenalan dengan guru pelajaran Ekonomi dan Bahasa Inggris di kelas, akhirnya tiba waktunya istirahat. Segera kulangkahkan kakiku menuju perpustakaan sekolah yang letaknya persis di depan mesjid. Hari Sabtu yang lalu aku telah mendaftarkan diri menjadi anggota Siswa Peduli Buku kepada Mas Agus pustakawan sekolah kami. (Kalau diamati baik-baik, ternyata wajah Mas Agus mirip sekali dengan wajah Uya Kuya).
"Ehem, kayanya ada yang lagi mojok nih!" Tegurku berdeham.
"Eh Gie, lagi istirahat?" Prince Charming balik bertanya.
"Iya. Belum pulang Kang?" Gantian aku balik bertanya.
Kutelusuri rak buku yang berada di samping jendela perpustakaan. Suasana di luar tampak ramai.
"Belum nih. Masih pengen nyantai dulu sambil nyari referensi buat nyelesein tugas!" Katanya sedikit nyengir.
Tangannya menggenggam tangan perempuan yang duduk di sebelahnya. Perempuan itu begitu mesra menciumi punggung tangan Kang Triko, seraya membelai-belai rambut Kang Triko yang lebat hitam legam. Perempuan itu adalah perempuan yang sama dengan yang pernah kulihat saat aku berpapasan dengannya ketika pulang MOS hari pertama dulu. Aku semakin yakin kalau perempuan itu adalah pacarnya. Dan aku mulai cemburu memperhatikan kemesraan mereka berdua di sudut perpustakaan.
"Aku nggak boleh cemburu! Aku nggak boleh cemburu! Ingat Ugie, kamu juga sudah punya pacar! Pacar kamu itu adalah Ary! Bukan Kang Triko!" Aku memberi sugesti pada diriku sendiri.
Kualihkan pandanganku ke luar jendela, "Ooh, jadi di luar itu kantin ya? Pantesan aja rame banget!" Gumamku cukup nyaring.
"Gie, di situ ada tukang burger nggak?" Panggil Kang Triko menunjuk ke jendela yang sedang kuintip.
"Ada Kang!" Kataku menjawabnya.
"Minta pesankan 2 dong!" Katanya memintaku menghampirinya untuk mengambil uang di tangannya.
"Yang pedas ya!" Lanjutnya lagi.
"Siip!" Kuraih uang di tangannya.
"Mang, burgernya dua yang pedas!" Kataku mendongakkan kepala di jendela.
Tukang burger itu berjualan persis di sebelah kaca jendela tempatku menyembulkan kepalaku. Tukang burger pun sigap melayani pesananku. Segera digorengnya irisan daging sapi yang berbentuk bulat.
"Sst... Mang, yang satunya lagi sausnya dibanyakin ya Mang! Bikin yang super pedas!" Desisku kepada si tukang burger.
Entah mengapa timbul begitu saja sebersit ide untuk mengerjai pacar Kang Triko yang kelewat ganjen itu. "Haha... Biar tahu rasa dia!" Tawaku dalam hati.
"Nih Kang, burgernya! Dan ini kembaliannya!" Kuserahkan 2 burger di tanganku.
Namun Kang Triko hanya mengambilnya satu dari tanganku.
"Aku pulang dulu ya, sayang!" Pacar Kang Triko bangun dari tempat duduknya dan keluar meninggalkan kami berdua.
"Lho, burgernya Teh?" Panggilku pada perempuan itu. Dia sama sekali tak menghiraukanku.
"Itu khusus buat elu, Gie! Si Ocha gak doyan yang beginian!" Ucap Kang Triko mengunyah burgernya.
"Apa?" Aku melotot seketika.
Jadi burger ini untukku? OMG! Kenapa aku jadi tuan makan senjata?
"Duduk Gie!" Kang Triko menggeser kursi yang baru saja dilipat oleh pacarnya tadi.
Kurebahkan pantatku di kursi yang disiapkan Kang Triko untukku. Burger di tanganku kunikmati dengan ekspresi merem-melek yang membuatku kepedasan.
"Gie, elu suka ngelukis ya? Kemaren gue lihat buku agenda lu banyak banget lukisannya. Keren-keren gambarnya!"
Mendengar kalimat pujian yang dilontarkannya membuat hidungku mengembang serasa melayang di udara. Tangkap aku, Kang Triko!
"Udah dari SD Kang. Dulu sering ikut PORSENI!" Jawabku sambil terus mengunyah burger yang kusantap.
"Kan udah gue bilang, panggil gue Triko aja! Sama-sama kelahiran '85 juga!" Katanya tiba-tiba.
"Sorry, gue lupa. Soalnya masih rada kagok sih, esensial dari MOS kemaren. Ngomong-ngomong kok lu tahu gue lahir tahun 1985?" Aku mengerutkan kening.
"Gue baca biodata elu yang dikasih sama TU. Lu lahir tanggal 17 Desember 1985 kan?" Katanya memastikan.
"Yup, tepat sekali! Kalo lu lahirnya tanggal berapa?" Aku mencoba mencari tahu.
"Gue lahir tanggal 3 Juli 1985!" Jawabnya menghentikan makannya.
"Wah, udah lewat dong!" Sesalku.
"Ya, tepat di hari ultah gue kemaren, si Ocha nembak gue. Daripada gue ngejomblo diolokin terus sama teman-teman gue, ya udah gue terima aja cintanya si Ocha!"
"Owh gitu. Jadi pacar elu tadi namanya Ocha ya? Ngomong-ngomong, gue belum terlambat kan buat ngucapin selamat sama elu? Happy birthday ya Trik, wish you all the best. Dan selamat juga buat status baru lu!" Kusalami tangannya hangat.
"Thanks ya, Gie. Elu baek sama gue!" Ia menyambut salamku suka cita.
Di saat perhatiannya lengah mengamati sesuatu di kejauhan, buru-buru kutukar burgerku dengan burgernya yang ditaruhnya di atas meja.
"Wah, enak sekali burger bekas gigitan Prince Charming!" Sorakku kegirangan dalam hati.
Kang Triko pun kemudian turut melanjutkan menikmati burger yang telah kutukar.
"Lho, kok rasanya berubah ya?" Ekspresi Kang Triko begitu terkejut.
"Gak tahu! Kelamaan ditaruh kali!" Aku berpura-pura. Dalam hati aku tertawa cekikikan.
"Gila pedas banget!" Buru-buru ia meneguk minuman dari botol yang dibawanya.
"Lu mau minum juga?" Tawarnya kemudian.
Minuman bekas Kang Triko? Mana mau aku menolaknya! Serta-merta aku langsung menghabiskan minumannya yang tinggal separuh itu.
"Thanks ya!" Kataku ceria.
"Oya, gue boleh tahu gak, Arga itu siapa sih?" Dia menatapku lekat seolah sedang diburu oleh rasa penasarannya.
"Kenapa emang?" Kubalas tatapan penasarannya.
"Semua lukisan elu yang gue lihat di agenda punya lu, banyak goresan bertuliskan Arga!" Urainya menceritakan.
"Arga itu ya gue!" Kataku nyengir kuda.
"Nama panggilan?" Alisnya terangkat sebelah.
"Bisa dibilang gitu juga sih! Tapi cuma nyokap yang manggil gue kaya gitu kalo pas lagi marah. Soalnya nama Arga itu pemberian bokap gue. Sementara Sugih itu pemberian nyokap gue!" Beberku menjelaskan.
"Jadi elu punya 2 nama?" Katanya bingung.
Aku mengangguk pelan, "Tapi tetap aja nama yang dipake di akte kelahiran sama di ijazah, malah SUGIH!"
"Haha... Berarti nyokap elu yang menang dong ya?" Kang Triko cekikikan.
"Ya, gitu deh!" Sahutku biasa-biasa saja.
NEEEET... NEEEET... NEEEET...
"Eh Trik, kayanya udah bel masuk tuh. Gue cabut dulu ya, mau balik ke kelas!" Pamitku padanya.
"Ya udah, gue juga mau balik ke rumah! Belajar yang serius lu!" Kang Triko meremas-remas bahuku.
"Yoi deh!" Balasku mengacungkan jempolku untuknya.
"Sst... Jangan sampe ketahuan sama Mas Agus kalo kita barusan habis ngemil di perpustakaan!" Katanya lagi menyembunyikan kertas bekas pembungkus burger yang kami santap tadi.
"Thanks buat traktirannya!" Kukedipkan sebelah mataku padanya.
Kamipun kemudian berpisah di depan pintu perpustakaan. Buru-buru kulangkahkan kakiku menuju ruang kelasku. Ternyata jam terakhir di kelasku adalah pelajaran Pendidikan Agama. Guru yang mengajar kami bernama Pak Dudi. Perawakan beliau sangat gemuk, dan wajahnya dipenuhi brewok yang mulai memutih. Kepalanya tak pernah lepas memakai peci. Orangnya sangat lucu dan gemar bergurau. Berdasarkan cerita yang disampaikannya, baru kuketahui kalau beliau juga mengajar di SMU Insan Kamil, sekolahnya Azhary. Wah, seru juga bisa mempunyai guru yang sama dengan sahabatku yang satu itu.
TOK! TOK!
"Permisi Pak, maaf saya terlambat! Tadi shalat ashar dulu di mesjid soalnya!" Suara seseorang dari luar kelas.
"Kalau mau masuk bilang salam dulu atuh!" Tegur Pak Dudi menoleh ke arah temanku yang baru saja datang itu.
"Baik Pak. Assalamualaikum!" Ucap temanku dari luar.
"Waalaikumsalam, masuk!" Pak Dudi memberi izin.
Segera anak itu melenggang ke arah tempat duduknya.
"Eh, tunggu! Nama kamu siapa?" Cegah Pak Dudi memanggil anak tadi.
Anak itu mengurungkan niatnya untuk duduk dan berbalik menghadap guru agama kami dengan sangat sopan.
"Nama saya Budi, Pak!"
"Budi mana? Budi Sunda? Budi Jawa?" Tanya Pak Dudi membuatnya kebingungan.
"Saya mah orang Sunda saja, Pak!" Jawabnya lagi.
"Bukan apa-apa, sebab orang Indonesia itu cenderung banyak yang bernama Budi! Ada Budi yang orang Makassar, Budi Melayu, Budi Betawi, dan masih banyak Budi-Budi lainnya di negara ini!" Tutur Pak Dudi mulai bercerita.
"Jadi saya punya cerita. Saya punya 5 orang teman yang bernama Budi. Mereka ini semuanya beda suku. Budi yang pertama ceritanya orang Makassar. Budi yang kedua orang Melayu. Terus yang ketiga Budi-nya orang Betawi. Yang keempat orang Minang, dan yang kelima orang Jawa!"
Semua siswa terhenyak menyimak ceritanya.
"Pada suatu ketika, guru saya memanggil salah satu dari mereka. Tapi mereka bingung siapa di antara mereka yang sedang dipanggil. Lantas menyahutlah mereka satu-persatu dengan logat daerahnya masing-masing. Budi yang pertama dari Makassar menyahut dengan ucapan 'APA?', Budi yang kedua dari suku Melayu menyahut dengan kata 'APE?', Budi yang ketiga orang Betawi menyahut 'APE?', Budi yang keempat orang Minang menyahut dengan kata 'APO?', Terus Budi yang kelima orang Jawa menyahut dengan mengucapkan kata 'OPO?'. Ternyata saya masih punya satu orang teman lagi yang bernama Budi. Dia orang Sunda. Karena dia juga mendengar namanya dipanggil, dari jauh dia berlari-lari sambil menyahut dengan ucapan 'NAAAAOOON?'" Mata Pak Dudi nyaris melompat keluar tatkala beliau menuturkan ceritanya dengan ekspresi yang sangat lucu membuat seisi kelas terbahak-bahak menyaksikannya.
"Tuh Bud, jadi kamu teh seharusnya bilang 'NAON' sama Pak Guru!" Celetuk Ule dengan mimiknya yang lucu.
Si Budi hanya menggaruk-garuk kepala mendengar kekonyolan yang diperbuat Pak Dudi.
( ´ー`)y-~~
Hari sudah sangat sore tatkala aku pulang dari sekolah. Kira-kira setengah jam lagi adzan maghrib berkumandang.
TIIIN!
Seseorang mengklaksonku dari belakang.
"Eh, Ugie. Baru pulang sekolah, Gie?" Sapa si pengemudi motor di sebelahku.
"Bang Lubis!" Aku terkesiap.
"Ayo naik! Udah SMU ya sekarang? Tambah cakep aja!" Matanya berkedip sebelah.
"Tidak usah, Bang! Tinggal dikit lagi nyampai!" Tolakku secara halus.
"Benar nih, gak mau Abang bonceng?" Tangannya mulai meraba-raba sekujur tubuhku.
Aku sedikit menghindar menjaga jarak dengannya.
"Kenapa sekarang enggak ngelesin Leman lagi?" Tanyanya dengan mata jelalatan.
"Maaf Bang, sekarang saya sibuk. Sekolah saya masuk siang soalnya. Malamnya harus siaran di RRI!" Kilahku.
"Beuh, udah jadi penyiar sekarang ya. Ugie sombong nih sama Abang!" Ia menghadangku dengan motornya.
"Nggak juga kok, Bang. Perasaan Abang aja paling!" Ucapku hati-hati.
Bagaimanapun aku tak mau membuatnya tersinggung. Selama ini dia sudah cukup baik kepadaku memberikan segala macam hadiah yang seharusnya ia jual di warungnya. Mulai dari parfum, deodoran, minyak rambut, sampai sampo, odol, dan sabun mandi. Meskipun kebaikannya itu padaku semata-mata karena ingin menjamah tubuhku. Entah ingin memperkosaku, atau sekadar mencabuliku seperti kasus yang diperbuat Robot Gedek beberapa tahun silam. Kasus yang menewaskan beberapa orang anak setelah Robot Gedek menyodomi mereka satu-persatu. Membayangkan hal itu rasanya benar-benar membuatku ngeri. Buru-buru aku pamit dari hadapan Bang Lubis dan mempercepat langkahku. Bang Lubis pun langsung tancap gas mendahuluiku.
"Kapan-kapan kita jalan-jalan ya, Gie!" Teriaknya melambaikan tangan kirinya padaku.
Huft! Aku menarik napas lega. Hampir saja tragedi lama terulang kembali.
"Nah, tuh dia!" Tunjuk seseorang beberapa meter di depanku.
"Ryan!" Pekikku pelan.
"Akhirnya ketemu juga lu!" Sorot Ryan tajam. Ia maju menghampiriku.
"Ada apa?" Ucapku agak pelan.
Ary dan Anton berdiri di belakangnya.
"Gue mau nantang elu berantem!" Ryan mendorong tubuhku. Untung saja aku tidak terjatuh.
"Lu tahu buat apa? Buat ngerebutin dia!" Solotnya membentakku keras seraya menunjuk Ary di belakangnya.
"Lu pikir gue takut sama lu?" Tantangku menatapnya lebih tajam daripada yang dilakukannya padaku.
"Gue nggak nyangka! Gue nggak nyangka! Elu selama ini ternyata sama kaya gue! Elu ternyata udah menjadi pagar makan tanaman buat gue!" Ryan mencengkeram kemeja seragamku.
"Ryan, Ryan, sabar Ryan!" Anton dan Ary berusaha mencegahnya.
"Bangke lu emang ya! Elu gak tahu sakitnya kaya apa gue nungguin Ary balik dari Filipina waktu kecil, sampe gue ditinggalin lagi sama dia pas kita lulus SD. Terus pas dia balik lagi ke sini waktu SMP, lu maen nyosor aja ngerebut dia dari gue!" Ucapnya kalap.
"Gue nggak ngerebut dia dari lu, Ryan! Kami berdua emang udah sama-sama suka dari waktu kita masih SD!" Beberku mengungkapkan kebenarannya.
"Alah! Gue gak mau dengar semua omongan lu! Omongan lu sama baunya kaya air di comberan! Bokis tahu lu! Semua omongan lu tuh bullshit!" Caci-makinya lagi kepadaku.
"Sekarang juga gue tantangin elu buat kelahi lawan gue! Kalo gue menang, Ary harus jadi bokin gue! Tapi kalo gue kalah, lu bebas pacaran sama dia, dan gue nggak akan ngeganggu hubungan kalian berdua!" Ucapnya berapi-api.
Kudongakkan kepalaku dengan gigi bergemeletuk.
"STOP!" Teriak Anton lantang menengahi kami.
"Ini gak seimbang, Ryan!" Ucap Anton tegas. "Lu mau ngebantai si Ugie? Cemen banget lu ya, beraninya menindas yang lemah!" Cecar Anton padanya.
"Lu tahu kan, Ugie itu gak punya ilmu bela diri apa-apa! Dia gak pernah ikut karate kaya lu, dia gak pernah ikut taekwondo kaya lu, dia juga gak pernah ikut judo kaya lu! Lu mau bikin tulang-tulang dia remuk? Lu mau bikin dia gegar otak? Atau lu mau bikin dia mampus sekalian?" Berulang kali Anton menunjuk-nunjuk ke arahku. Rasanya aku mendapat pembelaan dari Anton tetapi juga sekaligus merendahkan.
"Tidak Anton! Gue emang gak pernah ikutan club karate, taekwondo, ataupun judo kaya si Ryan. Tapi gue pernah belajar Pencak Silat di sekolah waktu SD!" Teriakku dalam hati. "Paling tidak gue punya basic ilmu bela diri buat ngelawan si Ryan brengsek itu!"
Ary hanya terdiam memandangi kami. Tampak benar kegelisahan yang dipancarkan dari wajahnya.
"Lu nggak mau kan hidup lu berakhir di penjara gara-gara ngebunuh si Ugie?" Kalimat yang dituturkan oleh Anton berhasil membuat Ryan terdiam.
"Gue terima tantangan lu, Ryan!" Ucapku sengit membuatnya tersentak.
"Gie..." Anton dan Ary membelalak kaget.
"Gue cowok, dia cowok! Cuma ini yang bisa kita tunjukkin buat ngebuktiin kalo kita sama-sama jantan!" Seringaiku pada mereka.
"Tapi Gie, lu bisa habis dibantai sama dia! Kemampuan kalian gak seimbang!" Cegah Anton padaku.
"Gue mau berantem sama lu, Ryan! Tapi gue perlu tempo buat berlatih supaya gue bisa ngejar kemampuan elu!" Ucapku menerima tantangan Ryan.
"Ton, lu mau kan ngelatih gue bela diri supaya gue bisa ngelawan dia?" Pintaku pada Anton.
"Perlu waktu yang relatif lama buat ngejar kemampuan dia!" Anton memandangku ragu.
"Berapa lama emangnya? Sebulan? Dua bulan? Tiga bulan?" Tanyaku bertubi-tubi padanya.
Anton mendesah, "Enam bulan, itupun belum efektif untuk benar-benar menyamai kemampuannya. Tapi paling tidak lu udah menguasai dasar-dasarnya!"
"Oke, gue kasih lu tempo 6 bulan buat berlatih nyamain kehebatan gue!" Ucap Ryan begitu congkaknya.
"Tapi dengan satu syarat!" Imbuhnya lagi.
"Syarat apa lagi?" Dengusku sewot.
"Sampai 6 bulan ke depan, lu gak boleh ketemuan sama Ary! Lu gak boleh jalan bareng sama Ary! Sampai di antara kita ada yang benar-benar kalah dalam pertarungan kita nanti!" Tatap Ryan tajam membulatkan kedua matanya yang sipit.
Ary gamang. Ia tak mampu berkata-kata.
"Lu juga sama! Jangan ngedeketin Ary selama pertandingan belum dimulai!" Ucap Anton bijak.
"Kalo lu sampai nemuin Ary selama 6 bulan ini, itu berarti lu mengaku menyerah kalah sama gue!" Ryan menutup pertemuan kami hari ini.
Ryan pun melengos pergi menuju rumahnya. Sempat kulihat sorot matanya yang nyalang seolah ingin menerkamku di depan pintu gerbang halaman rumahnya.
"Kenapa semuanya jadi kaya gini sih?" Ary tampak kesal dan kecewa.
"Gue cabut dulu dah maghrib!" Pamitku pada Anton dan Ary.
"Kita lihat saja nanti, Ryan! Siapa di antara kita yang akan memenangkan Ary!" Kulangkahkan kakiku memasuki pekarangan rumahku.
Akankah cintaku dan Ary berhasil kupertahankan? Semoga saja YA!
つづく
Ayo, para pembaca jangan pada taruhan ya! :P
Silakan komentari dan klik suka kalau kalian memang suka ??
Arigatou gozaimasu!
♔PrinceArga♔
♖♬♪♖♥♡♥♣♧♣♠♢♦♢♠♧♣♧♡♥♡♖♪♬♖
Nah cerita yang Pineapple itu kan sekuel dari Scout Trainer, seputar PRAMUKA gitu. Suka ya bacanya? Boleh nggak cerita-cerita itu saya posting lagi di forum ini?
Bro @4ndh0 aku kira dirimu ganti akun jadi @bumbu , kok foto profil kalian berdua sama? (#maaf OOT)
ehh bang ugie ganti nama toh
Kang Ugih boleh juga klo mau dipost ulang disini.ditunggu dah pokoknya..
Sekalian yg Pembalasan Markonah #maruk
Ini bukan? Kang @PrinceArga n @balaka
mana lo @3llo ???
Semoga Allah membalas segala budi baik kemurahan hati Bapak Pardi, amiiiiin
wah ternyata tanggal lahir kita cuma beda 2 hari bang. gw tanggal 19nya.
yang gw bingung tuh kang triko sama abang lahirnya sama. tapi kok kang triko jadi senior abang? ikut akselerasikah?
kocak sumpah pak dudi itu bang.
jadi ini yang buat hubungan abang sama ary renggang toh. resek emang tuh si ryan #emosi