BoyzForum! BoyzForum! - forum gay Indonesia www.boyzforum.com

Howdy, Stranger!

It looks like you're new here. If you want to get involved, click one of these buttons!

Selamat datang di situs Boyzforum yang diarsipkan oleh Queer Indonesia Archive. Forum untuk komunitas gay Indonesia yang populer ini didirikan pada tahun 2003, dan ditutup pada tanggal 15 Desember 2020.

Forum ini diabadikan untuk kepentingan sejarah. Tidak akan ada konten baru di forum ini. Silakan menikmati forum ini sebagai potongan dari sejarah queer Indonesia.

Sepanjang Hidupku

1424345474864

Comments

  • lah kok ada triko bang?? itu triko yang dr namamu ku pinjam ya??? mulai bertanya2 tentang rentang waktu.. coz,, dsini jg ada kak bahagia sejahtera...
  • @sasadara kenapa judulnya Namamu Kupinjam? Sebab nama para tokoh dalam cerita tersebut memang sengaja kupinjam dari nama-nama orang di sekitarku. Akan semakin banyak tokoh dari Namamu Kupinjam yang akan saya sebutkan di sini. :)
  • suka suka suka.. ada Akang Triko juga :x
  • Badai banget
  • Ooooo.... Jadi ini the ada kaitannye ma namamu kupinjam? Ini the semacam flash back Ooooo.... Jadi ini the ada kaitannye ma namamu kupinjam? Ini the semacam flash back Ooooo.... Jadi ini the ada kaitannye ma namamu kupinjam? Ini the semacam flash back Ooooo.... Jadi ini the ada kaitannye ma namamu kupinjam? Ini the semacam flash back Ooooo.... Jadi ini the ada kaitannye ma namamu kupinjam? Ini the semacam flash back Ooooo.... Jadi ini the ada kaitannye ma namamu kupinjam? Ini the semacam flash back Ooooo.... Jadi ini the ada kaitannye ma namamu kupinjam? Ini the semacam flash back Ooooo.... Jadi ini the ada kaitannye ma namamu kupinjam? Ini the semacam flash back kitu? :D
  • Ooooo.... Jadi ini the ada kaitannye ma namamu kupinjam? Ini the semacam flash back kitu? :D
  • Kang @arieat bukan flashback dan tidak ada kaitannya sama sekali dengan cerita Namamu Kupinjam. Cerita Namamu Kupinjam hanya sebuah cerita fiksi sedangkan kisah Sepanjang Hidupku ini murni kisah sejati perjalanan hidup saya. Rata-rata nama para tokoh di setiap cerita saya yang pernah saya buat, memang saya ambil dari nama orang-orang di sekitar saya.

    Seperti berikut ini :

    1. Namamu Kupinjam (Bu Sugeng, Bu Sri Sudaryanti, Pak Ruspita, Kak Gia, dan Topan);

    2. Under One Roof (Lingga, Bang Rahmat, Kak Ismi, Kak Vina, Bu Tri, Novan, Teacher Ahian, dan Mrs. Velly);

    3. Scout Trainer (Reynald, Khuwazaky, Arin, Cici, Berry, Arjuna, Beny, Deny, dan Marvel);

    4. Pembalasan Markonah (Asih, Hendra, Dony, Nino, dan Cik Tinah)

    5. Pineapple (Lim Cai Seng, Wafa)

    Nanti seiring jalannya cerita, Kang @arieat juga akan mengerti. Saya tidak mengaitkan kisah hidup saya dengan cerita-cerita fiksi yang telah saya buat. Di sinilah true story tentang para tokoh yang pernah saya pakai namanya untuk semua cerita saya.
  • [IMG]http://eemoticons.net/Upload/Yoyo and Cici Funny Monkey/210.gif[/IMG] berhasil nyusul juga yow.. bener2 brasa diajak mas sugih @HidingPrince naik mesin waktunya doremon dah..cakep..cakep..
  • edited July 2014
    #17

    ♬♪♬♪♬♪♬♪♬♪♬♪♬♪♬♪♬♪♬♪♬♪


    ---"Ayo, Bela Kang Triko-nya, Dek!"---

    Bogor, Juli 2001
    (Kelas 1 SMU)

    MOS hari ke-2

    "Mata empat, mana ID card kamu?" Masih seperti kemarin si Gatot kece menghadangku di pintu gerbang sekolah.

    "Ini boarding pass saya, Kang!"

    Kutunjukkan kartu identitasku yang baru kubuat bersama Indra tadi malam. Sukses membuat mata si manusia pewayangan satu itu melotot karena ia gagal menghukumku jalan jongkok ke ruang logistik. Semua berkat arahan Kang Triko kemarin.

    Tampak benar kekecewaan pada gurat wajah Kang Gatot. "Kenapa kamu berdiri di situ?"

    "Ada deh Kang, mau tahuuu aja!" Kataku sok jaim.

    Saat Wahyu dan beberapa teman sekelas kami yang lain datang, kuserahkan kartu-kartu identitas milik mereka yang telah kubuat. Alhasil Gatot kece pun semakin kecewa karena mangsa buruannya sedikit-banyak berkurang karena berhasil menunjukkan kartu identitas yang benar.

    "Haha... Puas banget lu ngeliat muka petugas penjaga gerbang tadi!" Wahyu cengar-cengir di sebelahku.

    "Gue kesal Kang Gatot ngetawain gue gara-gara gue nabrak dinding pembatas ruang BK pas jalan ke kantor kemaren siang!"

    "Hah? Yang bener, Gie? Kaya iklan Close Up aja, lu!" Wahyu terkikik mendengar ceritaku.

    "Enak aja lu! Iklan Close Up mah ceweknya nabrak plang jalan gara-gara lihat senyuman cowok cakep yang noleh ke dia. Lha gue kan nabrak tembok bukan gara-gara ngeliatin Kang Gatot!" Aku mendebatnya.

    "Haha... Coba gue ngeliat juga. Pasti lucu kali tuh! Emang gimana ceritanya lu sampai bisa nabrak tembok?" Wahyu semakin tergelak.

    "Udah ah. Males gue ceritanya!" Aku berjalan meninggalkannya.

    "Pagi semuanya!" Sapaku pada seisi kelas.

    "Pagi!" Sahut mereka menoleh ke arahku.

    Oow... What a surprise! Pagi-pagi buta seperti ini kulihat Prince Charming sedang duduk di kursi guru di sudut kelas, pandangannya turut menoleh padaku. Tak lepas senyum hangatnya yang menggetarkan jiwa. Kang Triko benar-benar mempesona.

    "Pagi Kang!" Sapaku padanya.

    "Pagi Gie!" Balasnya masih dalam keadaan tersenyum.

    "Bawaanmu kelihatannya banyak banget!" Katanya menunjuk tas plastik yang kubawa.

    "Iya nih, pesanan teman-teman sekelas," kataku menjawab pertanyaannya.

    Kulihat Chairani duduk di sebelah mejaku. Ia sedang bernyanyi. Suaranya sangat mirip Toni Braxton, salah satu idolaku yang menembangkan lagu Unbreak My Heart. Dan Chairani memang sedang menyanyikan lagu tersebut, membuatku terbuai mendengarkannya.

    "Unbreak my heart, say you'll love me again..." Liriknya.

    "Suara lu bagus banget, Ran. Cocok jadi penyanyi," pujiku tulus.

    "Thanks! Tapi gue kan mau jadi dokter gigi. Emang sih rencananya gue mau daftar ekskul LVC!" Katanya menghentikan senandungnya.

    "LVC?" Keningku mengernyit.

    "Lima Voice Choir!" Lanjutnya menjelaskan.

    "Oh, paduan suara gitu ya?"

    "Gimana pesanan kita?" Tanyanya kemudian.

    Kukeluarkan semua konsumsi dari dalam tas plastik yang kubawa. Semua jenis konsumsi kugabung dalam satu plastik setengah kiloan.

    "Nah, ambil! Satu orang satu bungkus!" Perintahku.

    "Kang, buat Akang!" Kuserahkan ekstra konsumsi yang sengaja kusisihkan untuk Kang Triko.

    "Ini buat Akang? Thanks ya, Gie!" Katanya menerima pemberianku.

    Dibukanya bungkusan dariku dan dilahapnya sebuah comro yang bulat lonjong.

    "Em, enak Gie! Mama kamu yang bikin?" Tanyanya menikmati comro di tangannya.

    "Ng... Itu saya yang bikin, Kang!" Jawabku malu-malu.

    "Spesial buat Akang, lho!" Tambahku dalam hati.

    "Wah, pinter masak kamu Gie! Enak banget ini!" Pujinya menampakkan wajahnya yang cerah ceria.

    "Terima kasih Kang, buat pujiannya!"

    "Hey, buat Teteh mana?" Terdengar suara Teh Rita berlari kecil menghampiriku.

    Ia pun berseluncur di lantai karena lantai kelas kami lumayan licin, cocok untuk bermain skate.

    SREEET!

    Teteh Rita berhenti tepat menahan tangannya di punggungku. Nyaris aku terjungkal terdorong olehnya.

    "Wah, buat Teteh dah kehabisan!" Kutolehkan pandanganku padanya.

    "Hmm... Nanti Teteh aduin sama Kak Gia lho, kalo Ugie sekarang sombong. Pelit lagi!" Ia mendadak ngambek.

    "Eh, iya Teh! Iya, ini ada kok! Udah Ugie pisahin juga kok!" Kuambilkan jatah konsumsi untuknya yang tidak seberapa banyak dengan yang kuberikan pada Kang Triko.

    "Eh, itu jatah konsumsi kita ya?" Harry dan teman-teman lain mulai menyerbu.

    Kurang dari satu menit seisi kelas mengerubungiku. Tak lama terdengar bel tanda kumpul berdering. Kami semua berhamburan menuju lapangan.

    Aku masuk ke barisan. Sempat kulihat Ichsan di kejauhan bersama Makbul. Mereka menyapaku dengan isyarat tangan saking jauhnya posisi mereka dariku.

    "Kalau disuruh baris yang cepat dong, Dek! Jalan aja kok lelet banget? Kaya anak TK aja!" Omel Teteh Irene si panitia nyentrik.

    "Kalian punya kaki gak sih? Jalan aja pada kaya keong!" Bentak Kang Demy, ketua Umum OSIS.

    Aku sama sekali tak tertarik padanya. Gayanya kaku, tidak pernah senyum, dan jaimnya gak ketulungan. Kesannya mungkin mau berlagak sok cool. Jadinya malah tukul!

    "Rambut kamu kok gak dicukur? Punya kuping enggak sih? Kemarin kan sudah Akang bilang, cowok itu dipotong cepak 1-2-1! Mau nampang ya di sini? Ini sekolah Dek, bukan tempat gaya-gayaan!" Bentaknya pada seorang anak yang cukup kukenal.

    Anak itu bernama Fahrul. Teman SMP-ku dulu. Wajahnya sangat khas Arab. Lumayan cakep sih (bayangin aja mukanya Fahry Albar). Tapi aku tidak begitu akrab dengannya, karena kami tidak pernah satu kelas.

    (Dan sorry buat yang menilaiku sama dengan si Badai dalam Namamu Kupinjam, aku sama sekali tidak tertarik pada yang namanya Fahrul! Sebab aku berbeda selera dengan si Badai :P )

    "Maaf Kang, pacar saya ngelarang saya cukur rambut!" Katanya berterus-terang.

    "Apa? Pacar? Kamu pikir sekolah ini milik pacarmu?" Bentak Kang Demy lagi menendang sepatu Fahrul.

    Tiba-tiba saja berpuluh pasang mata menatap ke arah Fitri. Aku baru ngeh, kalau Fahrul ternyata adalah pacarnya Fitri. Mereka berdua memang pasangan yang cocok, karena wajah Fahrul sangat khas Arab sementara Fitri gadis berjilbab yang sholehah. Wajah Fitri memerah diperhatikan sebagian peserta MOS yang mengetahui hubungannya dengan Fahrul.

    "Berhubung kamu sudah berani melanggar tata tertib peraturan MOS, kamu harus masuk ke ruang logistik untuk dicukur oleh Kang Gatot!" Maki Kang Demy lagi pada Fahrul.

    Kang Gatot lagi! Kang Gatot lagi! Sepertinya dia memang pantas menjadi algojo ketimbang panitia MOS.

    "Tunggu! Kamu jalan jongkok dari sini sampai ruang logistik!" Cegah Kang Demy menahan langkah Fahrul yang keluar dari barisannya.

    Fahrul pun turun berjongkok mengikuti arahan sang ketua umum OSIS yang jutek itu.

    "Oke, SEMANGAT PAGI!" Teriak Teteh Irene menggunakan megaphone di tangannya.

    "PAGI!" Sahut kami serempak.

    "Kurang kompak! Sekali lagi, SEMANGAT PAGI!" Teteh Irene mengulangi aba-abanya.

    "PAGIII!" Teriak kami lebih keras lagi.

    "Pertama-tama Teteh mau mengingatkan kepada kalian agar senantiasa meningkatkan kedisiplinan dan kemandirian! Kalian ini sudah bukan anak TK atau SD lagi Dek, masak tadi Teteh lihat masih saja ada di antara kalian yang diantar-jemput pakai mobil pribadi? Kapan mau gedenya kalau gitu? Pokoknya mulai besok, Teteh gak mau lagi melihat ada di antara kalian yang diantar jemput pakai mobil pribadi dan berhenti di depan gerbang! Kalau sampai Teteh menerima laporan dari Kang Gatot bahwa ada di antara kalian yang masih diantar-jemput selama MOS, maka kami selaku Dewan Kehormatan OSIS tidak segan-segan akan mengusir kalian dari sekolah ini! Paham semuanya?" Koar Teteh Irene begitu panjang.

    "Paham!" Jawab kami serempak.

    "Bagus! Sekarang coba tolong keluarkan konsumsi yang Teteh suruh bawa kemarin. Pertama-tama keluarkan dulu mumi Indonesia!" Perintahnya lantang.

    Segera kami berlomba-lomba mengeluarkan barang bawaan kami. Aku dan teman-teman sekelasku mengangkat pisang molen tinggi-tinggi.

    "Apa jawabannya?" Tanya Teteh Irene dengan suara teramat keras.

    "Pisang molen, Teh!" Seruku dan teman-teman sekelasku kompak.

    "Ih, pinter ya anak buahnya Teteh Rita!" Puji Teteh Irene membuat Teteh Rita tersenyum-senyum bangga rada narsis.

    Tidak sedikit pula peserta dari kelas lain yang salah membawa konsumsi yang diperintahkan oleh Teteh Irene. Ada beberapa di antara mereka yang malah membawa astor, coklat Bengbeng, wafer, dan lain sebagainya.

    "Nah, cokelat Bengbeng ini buat Teteh!" Dicaploknya konsumsi peserta yang salah oleh Teteh Irene.

    "Sekarang coba keluarin peluru pedas!" Kembali Kang Demy bersuara.

    Kelasku kompak mengeluarkan comro. Banyak peserta dari kelas lain yang membawa cilok berbumbu pasta kacang, bakso, dan permen Pagoda Pastilles yang rasanya pedas.

    "Jawaban yang benar, karena kita orang Indonesia jadinya : COMRO!" Kang Demy menyebutkan jawabannya.

    "Horee!" Sontak aku dan teman-teman sekelasku melonjak girang. Lagi-lagi jawaban kami benar.

    "Nah, sekarang silakan keluarkan kue isi hawa!" Perintah salah seorang anggota Dewan Kehormatan OSIS yang tidak kami kenal.

    Buru-buru kelasku mengacungkan donat tinggi-tinggi ke udara.

    "Jawabannya adalah DONAT ya, adek-adek!" Kata kakak Dewan Kehormatan OSIS itu lagi.

    "Horee!" Aku dan teman-teman sekelasku berpelukan melonjak girang. Tak ada satupun bawaan kami yang salah.

    "Yaaah..." Anak-anak kelas lain mengeluh karena salah.

    "Hebat! Hebat! Hari ini kalian terhindar dari hukuman kami!" Teteh Irene berdecak kagum. "Kelas kalian benar-benar kompak!" Pujinya kepada kami.

    "Semua berkat idenya Ugie! Nanti kalau Teteh Irene ngasih teka-teki lagi, biar Ugie aja yang jawab ya!" Puji Ule bangga.

    "Siap Le!" Kuacungkan tanda oke padanya.

    "Seharusnya kita berterima kasih kepada Kang Triko. Sebab dia yang sudah memberi arahan kepada kita agar kelas kita selalu kompak!" Kuingatkan teman-temanku agar mereka tidak lupa diri.

    "Benar juga kata lu!" Gumam Wahyu pelan.

    "Next time, kalian pasti akan mendapat hukuman dari kami!" Sungut Teh Irene seakan sedang berikrar.

    "Siapa takut!" Sela Ule setelah Teh Irene berlalu dari hadapan kami.

    Segera kami kembali masuk ke dalam kelas. Sempat kulihat anak-anak kelas lain yang terkena hukuman diminta mencabuti rumput liar dan sampah yang berceceran di sekitar lingkungan sekolah.

    "Satu-Tujuh! Mana yel-yelnya?" Teriak Teteh Rita begitu kami memasuki kelas.

    Wahyu sang ketua kelas bangkit berdiri dari duduknya. Ia memimpin kami membawakan yel-yel. Serentak kami turut berdiri dan mulai menggerakkan badan seraya melantunkan yel-yel singkat kelas kami.

    "Satu-Tujuh!" Teriak Wahyu memberi aba-aba.

    Satu-Tujuh is the best!
    (Tangan kanan diputar merentang)
    Satu-Tujuh is the best!
    (Tangan kiri diputar merentang)
    Wes ewes ewes bablas angine!
    (Kedua tangan bergerak senam sambil menggoyang-goyangkan pantat)

    Satu-Tujuh is the best!
    (Tangan kanan turun ke pinggang, tangan kiri masih diputar merentang)
    Satu-Tujuh is the best!
    (Tangan kiri turun ke pinggang)
    Wes ewes ewes bablas kentute!
    (Pantat bergoyang-goyang)

    "BRUUT!" Wahyu membunyikan suara kentut.

    "Uh, bau!" Sontak seisi kelas menutup hidung.

    "Bom meledak! Bom meledak!" Seru Ule kocar-kacir mengitari kelas.

    "Aduh, pabrik gas di belakang SMPN 4 kenapa dibawa pindah ke sini?" Teh Rita turut menutup hidungnya.

    "Hahaha..." Kami pun tergelak bersama.

    ***

    "Gie, kamu dicari Ibu Isti!" Panggil Kang Triko di sela-sela jam istirahat terakhir.

    "Ibu Isti?" Aku mengerutkan keningku.

    "Guru Bahasa Inggris. Itu yang sedang duduk di tempat piket guru!" Tunjuk Kang Triko ke kejauhan.

    "Oh iya, terima kasih Kang," kataku melengos pergi.

    "Maaf Bu, Ibu memanggil saya?" Kuhampiri wanita modis kisaran 30 tahunan.

    "Kamu yang namanya Sugih?" Tegurnya sambil mengajakku masuk ke dalam kantor.

    Di dalam ruangan terdapat 2 orang kakak kelas yang juga sedang menungguiku. "Ini pasti yang namanya Kang Adam! Tapi perempuan di sebelahnya itu siapa?" Kurebahkan pantatku di kursi duduk bersama mereka.

    "Apa yang memotivasi kamu untuk mendirikan English Club?" Tanya Bu Isti to the point.

    "Oh, jadi interview nih?" Pikirku.

    "Saya ingin membuat wadah di mana orang-orang yang tergabung dalam organisasi ini adalah orang-orang yang menyukai Bahasa Inggris, dan ingin mempelajari Bahasa Inggris. Jadi organisasi ini dibentuk tidak hanya untuk mereka yang mahir berbahasa Inggris saja, tetapi juga untuk para pemula yang ingin mampu menguasai Bahasa Inggris! Tujuan organisasi ini adalah untuk meningkatkan kemampuan para siswa dalam berbahasa Inggris secara aktif baik lisan maupun tulisan, bertukar pikiran sesama anggota, dan memotivasi para anggota agar dapat memahami Bahasa Inggris baik sebagai pelajaran maupun pengalaman," Ungkapku secara detail.

    "Cukup bagus juga!" Komentar Bu Isti. "Tapi apa kamu yakin organisasi ini dapat berjalan, dan mampu menjaring anggota?"

    "Mengapa tidak? Saya yakin murid-murid baru angkatan saya akan tertarik untuk mengikuti organisasi ini!" Ucapku penuh semangat.

    "Bagaimana dengan kamu, Adam? Dewi?" Bu Isti memalingkan wajahnya kepada 2 orang senior di sebelahku.

    "Oh, jadi perempuan ini namanya Teh Dewi?" Ucapku dalam hati.

    "Kalau saya sependapat dengannya, Bu! Tujuan kami juga ingin agar sekolah kita ini memiliki media di mana dalam wadah organisasi kita berguna menciptakan bibit-bibit unggul untuk mengikuti pertandingan Bahasa Inggris seperti debate contest, telling story, speech contest, dan lain sebagainya!" Kata senior yang bernama Dewi itu.

    "Saya juga sama, Bu!" Kang Adam menambahkan.

    "Baiklah, saya akan pegang kata-kata kalian. Awalnya saya merasa tidak yakin organisasi ini dapat dibentuk, karena tahun lalu hampir tidak ada peminatnya saat saya mencoba mempromosikannya!" Terang Bu Isti.

    "Saya pikir mungkin itu karena sistem kegiatan belajar mengajar di sekolah kita menggunakan shift Bu, ada sebagian kelas yang mendapat giliran pagi, dan sebagian lainnya mendapat giliran siang, mengingat sekolah kita sedang melakukan perluasan area dan renovasi gedung besar-besaran. Sehingga kegiatan ekstrakurikuler tidak dapat dihandle dengan baik!" Kusampaikan argumentasiku.

    "Masuk akal juga pemikiranmu itu!" Respon Bu Isti memaklumi.

    "Rencananya saya ingin berkoordinasi dengan Radio English Club di RRI. Kebetulan sayapun menjadi pengurus di sana!" Imbuhku.

    "Wah, ide yang bagus tuh. Katanya REC yang ada di RRI itu merupakan organisasi English Club terbesar di kota kita. Kalau tidak salah dengar anggotanya mencapai ratusan?" Teh Dewi memujiku.

    Aku mengangguk.

    "Nah, siapa tahu kita bisa berbagi native speaker yang ada di REC!" Aku menambahkan.

    "Great!" Bu Isti turut memuji.

    "Baiklah, sekarang saya minta kalian bertiga silakan bekerja sama untuk menyelesaikan proposal pendirian organisasi LIMIT yang akan kita dirikan. Dan susun strategi agar organisasi ini diminati oleh para siswa di sekolah kita!" Beliau memberi perintah.

    "Baik Bu, nanti kami akan membuat programnya!" Kang Adam bangkit berdiri dan mohon pamit dari hadapan Bu Isti, disusul oleh Teh Dewi dan aku.

    "Lu kelas satu berapa?" Tegur Kang Adam begitu kami keluar dari kantor.

    "1-7, Kang!" Kataku singkat.

    "Oke, besok kita datang ke kelas elu buat ngebahas masalah ini lagi. Sekarang kita mau ngetik proposalnya dulu nih. Lu bisa kan bantuin kita promosiin ekskul kita ini?" Ucap Kang Adam.

    "Insya Allah saya siap, Kang!" Kataku sigap.

    "Nyantai aja lagi ngomongnya pake gue-elu aja!" Kata Teh Dewi kalem.

    "Canggung Teh!" Kusunggingkan senyumanku padanya.

    "Oya nama lu siapa?" Tanyanya memajukan wajahnya beberapa senti.

    "Ugie, Teh!" Kataku singkat mengulurkan tanganku padanya.

    "Gue Dewi Indiarti. Panggil aja Dewi!" Dia menyambut uluran tanganku.

    "Adam!" Kang Adam turut menjabat tanganku.

    "Kalo gitu sampe ketemu besok, ya!" Pamit mereka meninggalkanku.

    Teh Dewi ramah juga. Ia membalikkan tubuhnya seraya melambaikan tangannya padaku. Saat aku beranjak akan kembali masuk ke kelas, Kang Triko sudah berdiri di dekatku.

    "Kayanya perbincangan kalian sangat serius," Ucap Kang Triko, tangannya menyentuh pundakku.

    DEG!

    Aku paling tidak tahan disentuh oleh orang yang kusuka. "Enggak juga kok, Kang!"

    "Ternyata kamu supel juga ya!" Ucapnya lagi menilaiku.

    "Aku memang ingin berubah, Kang! Dulu aku orangnya pendiam, tapi sekarang aku ingin menjadi orang yang pro aktif!"

    "Kamu sama kaya Akang! Dulu juga Akang pendiam dan pemalu! Mungkin sekarang juga masih tetap sama!" Ungkapnya tiba-tiba.

    "Masak sih, Kang?" Aku sedikit tak percaya.

    "Tanya aja sama teman-teman Akang! Waktu SMP Akang suka ngumpet di kelas, kalau ditanya guru Akang cuma bisa diam!" Lanjutnya lagi menceritakan masa lalunya.

    "Ih, si Akang ternyata nggak beda jauh sama aku. Aku juga sering menyendiri di kelas atau di perpustakaan selama aku SD dan SMP!" Aku balas bercerita.

    "Makanya sekarang Akang mencoba aktif di OSIS, supaya Akang berubah jadi lebih baik daripada sebelumnya!"

    "Ya, baguslah kalau begitu, Kang!"

    "Kamu juga harus punya semangat kalau betul-betul ingin berubah!" Nasihatnya.

    "Iya, terima kasih banyak Kang atas nasihatnya!" Kulayangkan senyumanku padanya.

    "Akang bukan memberi nasihat. Akang cuma memberi motivasi aja!" Kang Triko pun membalas senyumanku.

    Wah, bahagia rasanya bisa sedekat ini dengan Kang Triko. Ia lalu bercerita banyak tentang masa lalunya padaku dan membuatku semakin kagum kepadanya.

    "Kang Triko, teruslah berada di dekatku Kang! Walau kutahu aku takkan mungkin bisa memilikimu! Setidaknya Akang bisa menjadi seorang kakak bagiku!" Harapku dalam hati.

    Kami berjalan berdampingan menuju kelas. Tangan Kang Triko sama sekali tak pernah lepas dari pundakku.

    "Abi, Umi kan gak pernah ngelarang Abi cukur rambut. Kenapa tadi pagi Abi bilang sama Kang Demy kalau Umi sudah melarang Abi potong rambut?" Terdengar suara Fitri tengah berbicara kepada Fahrul, beberapa meter di depan kami.

    What? Fahrul dan Fitri memanggil diri mereka sebagai pasangan Abi dan Umi? Berasa lucu sekali sekaligus ketuaan.

    "Maafin Abi, Umi. Tapi seingat Abi, Umi kan memang tidak suka Abi potong rambut cepak!" Fahrul merasa tak mau disalahkan.

    "Iya Abi, Umi memang tidak suka Abi dicukur cepak. Tapi bukan berarti Umi melarang Abi kan?" Fitri terus memberengut.

    "Hihihi... Lucu ya mereka?" Kang Triko cekikikan.

    "Iya Kang. Aneh-aneh mereka itu!" Kugeleng-gelengkan kepalaku.

    Hari-hari MOS-ku berlalu begitu cepat. Rasanya aku tak sabar ingin segera menyambut hari-hari baruku memakai seragam putih abu-abu. Mulai saat ini aku bertekad ingin mengubah kepribadianku. Bila dulu aku termasuk anak yang pemalu dan tak pernah bergaul ke luar kelas, maka mulai sekarang aku ingin menjadi pribadi yang super gaul. Aku ingin menikmati hari-hari indahku selama di SMA.

    ---G---

    "Sayang, sekolah lu gimana hari ini? Pasti banyak yang bening ya?" Ary melingkarkan tangannya di bahuku.

    "Tahu aja lu! Di sekolah lu juga kan?" Aku balas menggodanya.

    "Cowoknya sih biasa-biasa aja. Malahan kayanya gue satu-satunya yang cakep di sana. Kalo ceweknya, beuh kinclong semua kaya keramik yang baru dipel!" Cerocos Ary mengada-ada.

    "Kepeleset dong!" Responku sedikit cuek.

    "Lu udah kenalan sama temennya si Ryan yang namanya Fredy? Dia satu sekolah sama elu," Ary menengadahkan pandangannya menentang langit.

    Malam ini langit tampak cerah. Bintang-bintang bertaburan membentuk kubu gugusannya masing-masing. Bulan separuh turut bertahta di angkasa gelap nan pekat menerangi keadaan di sekitarnya.

    "Apa urusannya?" Kuhabiskan jagung bakar di tanganku.

    Baru saja kami pulang siaran dari RRI. Akan tetapi rasanya kami belum ingin pulang ke rumah. Kami ingin menikmati angin malam sambil makan jagung bakar di Air Mancur, kawasan jajanan yang sangat ramai di kota kami.

    "Dia kan lumayan ganteng, ya walaupun masih gantengan gue sih. Tapi gue takut kalo elu bakal tergoda sama dia. Gimana kalo elu berpaling naksir dia dan ninggalin gue gitu aja?" Ary memandangi bintang-bintang dengan tatapan hampa.

    "Kayanya gue gak bakal tergoda deh sama siapa tadi namanya itu?" Aku mengingat-ingat.

    "Fredy!" Ucap Ary.

    "Nah itu, Fredy! Gue gak mungkin tergoda sama si Fredy itu! Soalnya gue lagi tergoda sama kakak kelas yang jadi pendamping MOS di kelas gue! Hehehe..." Senyumku cengengesan.

    "Hah? Dasar buaya lu? Lu dah gak suka ya sama gue?" Ary mulai geram.

    "Tenang dulu atuh! Si Akangnya juga kayanya udah punya cewek, kok! Mana mungkin dia mau sama gue, meskipun guenya ngarep. Tapi boleh dong, kalo gue kepengen dia jadi kakak angkat gue yang sama baeknya kaya Anton?" Kuangkat sebelah alisku menatapnya.

    "Pokoknya awas lu kalo lu sampe ninggalin gue cuma gara-gara cowok laen!" Ancam Ary padaku sedikit ngambek.

    "Ih, kok gitu sih? Gue kan cintanya sama elu! Lagian belum tentu kan si Fredy yang elu bilang tadi sama kaya kita?" Kucolek hidung kekasihku itu membuat senyumnya mengembang.

    "Woy, masih lama nggak nih nongkrongnya?" Teriak Anton dari dalam mobil.

    Yup! Malam ini benar-benar spesial untukku. Tidak ada panas tidak ada hujan, tiba-tiba saja Anton bersedia mengantarku siaran di RRI. Kami pergi bertiga bersama Ary.

    "Sabar atuh, bayarin dulu gih jagung bakarnya!" Candaku padanya.

    "Om udah bayarin semuanya tadi!" Gaya Anton sok tua.

    "Wah, terima kasih banyak ya Om!" Candaku lagi.

    "Sama-sama!" Anton pun cengar-cengir turun dari mobil.

    "Lagi pada ngomongin apa sih kalian berdua? Dari tadi kayanya berantem terus, ngeributin si Ryan ya?" Goda Anton duduk di sebelah Ary.

    "Ehem! Ngapain bahas si Pangeran China-Papua itu? Mendingan kita bahas tanggal berapa kita kawin, terus bulan madu ke mana?" Cerocosku asal bicara.

    "Mana ada cowok kawin sama cowok!" Tukas Anton. "Kecuali lu berdua pindah ke Amrik!"

    Aku memainkan alisku menghadap Ary, "Yuk kita pindah ke Amrik, yuk!"

    "Mau! Mau! Mau!" Sahut Ary penuh semangat.

    "Nabung yang banyak biar bisa pindah ke sana!" Lagak Anton sok menasehati.

    "Lu belum tahu Gie, si Ryan ada ngomong sesuatu sama Ary?" Anton menepuk bahuku pelan.

    "Emangnya si Ryan ngomong apa, Ry?" Kupandangi wajah Ary yang berpaling menoleh pada Anton. Sepertinya Ary tengah memberi sebuah isyarat kepada Anton agar Anton jangan kelewat banyak bicara.

    Kutarik kepalanya agar menatap padaku. "Si Ryan ngomong apa?"

    "Udah, bilang aja napa sih? Punya masalah jangan ditutup-tutupi lama-lama bisa bau bangke!" Anton meyakinkan Ary yang tampak ragu berbicara padaku.

    "Ryan... Katanya kepengen nantangin elu kelahi, Gie!" Ungkap Ary.

    "Buat apa?" Aku mulai serius. "Buat ngerebutin elu?"

    Ary mendesah. Suasana mendadak hening seketika.

    "Gue bukan barang taruhan yang pantas buat direbutin!" Ucap Ary setelah terdiam beberapa lama.

    Anton memperbaiki posisi kacamatanya. Sementara aku melepaskan kacamata yang kupakai.

    "Gue emang nggak bisa bela diri kaya si Ryan, tapi gue akan berusaha ngeladenin dia kalo emang buat mempertahankan hubungan kita!" Kataku mantap.

    "Jangan Gie! Lu nggak pernah ikut karate sama taekwondo atau judo kaya si Ryan. Lu bisa babak belur ngelawan dia!" Cegah Ary cemas.

    "Demi elu, gue rela ngelakuin apa aja asal hubungan kita tetap bisa dipertahankan!" Ikrarku padanya.

    "Satu-satunya jalan lu emang harus ngelawan dia! Katanya dia rela mundur dan ngejauhin Ary kalo dia berhasil elu kalahin!" Saran Anton padaku.

    "Tapi kalo sampe elu kalah dan Ary masih nggak mau sama dia, dia mau bunuh diri katanya!" Tandas Anton lagi memberiku informasi selengkapnya.

    "Hah? Gila tuh si Ryan, nekad bener! Kagak punya iman ya dia?" Aku benar-benar terkejut mendengar penuturan Anton.

    "Emangnya hubungan cowok sama cowok itu masih digolongkan orang beriman?" Celetuk Anton berhasil menyindirku.

    "Ya, walaupun gue abnormal sih, gue masih tetap mau shalat kok! Gue masih ingat sama Tuhan! Lha, si Ryan pake mau bunuh diri segala apa dia enggak ingat sama Tuhan?" Elakku.

    "Sorry deh sorry, nggak maksud nyinggung perasaan lu berdua!" Anton mengulurkan tangannya meminta maaf.

    "Udah lupain aja!" Kutepis tangan Anton di hadapanku.

    "Gie, lu marah ya?" Anton berusaha mencuri perhatianku.

    "ENGGAK!" Kutepiskan pandanganku ke arah lain.

    Wajah Ary berubah murung, namun tangannya menggenggam tanganku erat.

    "Aku tahu Ry, kamu sedang dilema. Di satu sisi kamu ingin mempertahankan cinta kita. Namun di sisi lain kamu tidak ingin melukai perasaan Ryan. Karena kalian berdua sudah bersahabat lama sejak kecil!" Batinku lirih.

    "Ryan, semoga aja lu bener nepatin janji elu. Kalo gue menang kelahi lawan elu, elu harus berhenti maksa Ary buat jadi pacar elu!" Pikiranku terus bergelut. Kedua tanganku mengepal kuat.

    "Adaw!" Ary memekik kesakitan.

    "Ups! Sorry sayang, gue nggak inget kalo kita lagi pegangan. Tadi gue lagi geram sama si Ryan, sih!" Kataku mengusap-usap tangan Ary.

    "Udah yuk, kita balik sekarang!" Ajak Ary membantuku bangun.

    Malam itu kami bermalam di rumah Anton dan tidur seranjang bertiga. Pukul setengah empat subuh aku terbangun oleh suara alarm weker di atas meja kamar Anton. Segera kubangunkan Ary dengan mengecup pipinya. Dan kubangunkan Anton dengan mengelitiki selangkangannya.

    "Woy bangun! Mau pada MOS enggak?" Teriakku di antara kuping mereka.

    Ary bangkit duduk tersenyum-senyum nakal. Kemudian ia membantuku mengelitiki selangkangan Anton agar ia segera bangun.

    "Woy, geli tahu gak sih!" Protes Anton tertawa-tawa menggelinjang kegelian.

    Diraihnya bantal guna menepukku dan Ary. "Katanya panitia MOS? Dibangunkan aja susah gimana pesertanya ya?" Ledekku.

    "Iya-iya, nih gue bangun!" Anton mengucek-ngucek kedua matanya.

    Ia bangkit duduk di antara aku dan Ary. Direngkuhnya kepalaku dan Ary bersama-sama. Kepala kami mendekat satu sama lain. Tiba-tiba...

    JEDUG!

    "Adaaw..." Aku dan Ary sama-sama memekik.

    "Sialan lu, Ton!" Umpat Ary kesal.

    "Iya nih, sakit tahu! Gimana kalo kepala kita pada benjol?" Cecarku turut mengumpat.

    "Emangnya buah kelapa? Maen dibenturin gitu aja!" Sungut Ary lagi.

    "Rasain! Suruh siapa lu berdua ngerangsang gua?" Anton mencebik berlari menyambar handuk dan keluar meninggalkan kamar.

    "Udah yuk, kita pulang! Entar kesiangan lagi MOS-nya!" Kataku mengajak Ary.

    Aku dan Ary sama-sama masih sedang menjalani MOS di sekolah kami masing-masing. Sementara Anton terlibat menjadi ketua panitia MOS karena dia termasuk salah satu anggota Dewan Kehormatan OSIS di sekolahnya, SMUN 2.

    ♡♥♡

    MOS terakhir...

    Entah mengapa hari ini banyak teman-teman sekelasku yang datang terlambat ke sekolah. Padahal hari ini merupakan hari terakhir MOS di sekolah kami. Seharusnya mereka semakin bersemangat agar datang lebih awal.

    "Kalian ini sudah datang terlambat, eh ID card kalian sengaja pake acara ketinggalan di rumah segala lagi. Mana sikap disiplin yang mau kalian tanamkan?" Omel Kang Gatot meluap-luap.

    "Ayo, jongkok baris yang rapi di situ! Nanti kalau saya suruh maju, kalian harus jalan sambil nyanyi lagu Potong Bebek Angsa secara berulang-ulang sampai ruang logistik! Tapi bunyi vokalnya diganti menjadi vokal E semua! Kalian semua mengerti?" Teriak Kang Gatot kece menghukum teman-teman sekelasku.

    "Mengerti Kang!" Chairani berjongkok di paling depan, kedua tangannya dilipat di belakang kepala.

    "Maju... Jalan!" Kang Gatot memberikan instruksi.

    Chairani dan kawan-kawan mulai bernyanyi.

    Peteng bebek engse mesek de kewele
    Nene mente dense, dense empet kele
    Dereng ke kere, dereng ke kenen
    Lelelelelelelelelelelele...

    "Lagi Dek! Yang keras!" Sentak Kang Gatot.

    Sekali lagi mereka mengulangi lagunya. Aduh, kasihan juga melihat mereka dihukum seperti itu. Sementara itu Kang Gatot tersenyum culas di atas penderitaan teman-temanku.

    "Makanya masuk SMUN 5 itu harus disiplin! Contoh nih Akang, jam 4 subuh sudah berada di sekolah!" Caci-maki Kang Gatot lagi.

    Hari masih pagi tatkala kakak panitia MOS menyuruh kami berpencar untuk mendapatkan sejumlah tanda tangan kakak pendamping MOS dari setiap kelas, kakak pengurus OSIS, kakak Dewan Kehormatan OSIS, dan termasuk para dewan guru yang ada di sekolah.

    "Pak, Bu, kasihanilah kami. Tanda tanganilah buku MOS kami, agar kami terbebas dari siksaan para panitia MOS yang kejam terhadap kami!" Aku memelas, memohon, dan mengiba kepada sejumlah dewan guru yang kutemui di kantor.

    "Sini Ibu tanda tangani!" Kata para ibu guru yang berbaik hati kepadaku.

    "Wah, terima kasih ya, Bu. Ibu semua baik-baik deh. Semoga amal kebaikan Ibu semua dibalas Allah dengan pahala yang berlipat ganda!" Kataku penuh syukur.

    "Amin! Amin! Amin ya Allah Amin!" Timpal para ibu guru yang baik-baik itu bersamaan.

    "Kang Demy... Tanda tangani buku MOS kami dong, Kang!" Sejumlah temanku mencoba membujuk sang ketua umum OSIS.

    Kang Demy hanya diam, cuek, acuh tak acuh. Urgh, kalau aku jadi mereka, aku paling malas menghampiri makhluk yang satu itu. Benar-benar too cool (baca : tukul!)

    "Ayo dong, Kang! Kang Demy baiiiik deh!" Bujuk mereka sekali lagi.

    Kang Demy berpura-pura buang muka tak memperhatikan mereka.

    "Kang Demy capek ya? Sini kami pijitin!" Mereka tak henti-hentinya berusaha, namun sama sekali tak membuahkan hasil.

    "Ih, paling susah ngadepin ketua umum OSIS! Kaya ngomong sama batu!" Keluh Dwie Putri dengan ekspresi cemberut.

    "Makanya gue paling males nyamperin orang kaya gitu! Mending gue nyariin Kang Triko, dijamin langsung dikasih sama dia mah!" Kataku mengajaknya pergi dari tempat sang ketua umum OSIS tadi.

    "Tuh dia Gie, orangnya!" Tunjuk Dwie Putri ke arah pojokan sekolah.

    "Ayo, ayo, cepetan! Mumpung belum disamber sama anak-anak kelas laen!" Kutarik tangan Dwie Putri agar mempercepat langkahnya.

    "Kang, minta tanda tangannya dong!" Kusodorkan buku panduan MOS-ku.

    "Tapi ada syaratnya!" Timpal Kang Triko seraya tersenyum.

    "Kok pake syarat segala?" Protesku.

    "Gampang kok, enggak susah!" Kang Triko sumringah.

    "Memang syaratnya apa Kang?" Sela Dwie Putri.

    "Buat Ugie, rayu Teh Irene pake kembang ini! Berani nggak?" Tantang Kang Triko.

    "Ih, si Akang mah! Entar aku malah diomelin lagi!" Gugatku.

    "Ya udah kalo gak mau. Enggak Akang tanda tangani nih bukunya!" Balas Kang Triko tak mau peduli.

    "Nah, buat Dwie Putri. Cukup kasih minuman es ini aja ke Kang Demy! Suruh diminum esnya, bilang aja kamu disuruh Akang!" Perintah Kang Triko lagi.

    Dwie Putri melonjak, "What? Oh, NO! Ngebujuk dia aja susahnya minta ampun setengah mati. Eh, ini disuruh nganterin minuman es ke dia? Entar kalo Kang Demy nggak mau minum esnya gimana?"

    "Ya udah deh kalo kalian berdua pada nggak mau!" Kang Triko bersiap-siap pergi meninggalkan kami.

    "E..eh, iya, iya, iya deh Kang! Aku rayu Teh Irene sekarang juga. Tapi Akang tanda tangani buku MOS aku ya! Sekalian buku agendaku yang ini juga buat kenang-kenangan!" Aku tersenyum nyengir.

    "Ya, Ugie... Terus gue gimana nih?" Dwie Putri mengguncang-guncang badannya manja.

    "Berusaha dong, Dwie! Cuma tinggal nganterin es aja kan gampang, pasti diminum sama Kang Demy. Kelihatannya dia kehausan tuh, makanya dia cuekin kalian tadi," Aku mengepalkan tanganku ke udara memberinya semangat.

    Ternyata tugas merayu Teh Irene itu tidak terlalu sulit bagiku.

    "Teh Irene cantik!" Salamku padanya diiringi senyuman manis sok imut.

    "Apa sayang?" Aw, Teh Irene mencubit pipiku dengan gemasnya.

    "Wajah Teteh cantik sekali bagaikan pesona bintang yang memancarkan cahayanya! Senyuman Teteh indah sekali bagaikan cahaya purnama dalam larutnya kegelapan malam! Tutur kata Teteh lembut sekali bagaikan suara biduanita yang bernyanyi merdu! Tatapan mata Teteh teduh sekali bagaikan aurora di kutub bumi!" Kulontarkan kalimat-kalimat gombalan kepada Teh Irene.

    Teh Irene terbuai oleh kata-kata yang kuucapkan, "Aaw... So sweet! Kamu manis sekali!" Dicoleknya hidungku dengan ujung jarinya yang lentik.

    "Untuk itu, izinkanlah aku menyematkan bunga ini di telinga Teteh! Karena dengan bunga inilah kecantikan Teteh akan kian terpancar secara alami bagaikan bidadari nirwana dari langit ke-7!"

    Teh Irene merendahkan posisi badannya setengah membungkuk dan memberiku izin untuk menyematkan bunga cempaka yang kubawa ke telinganya.

    Kang Triko tersenyum mengacungkan jempolnya padaku.

    "Mana buku MOS kamu, biar Teteh tanda tangani!" Ucapnya ramah.

    Yes! Sekali mendayung, dua-tiga pulau terlampaui!

    "Sebentar ya Teh, kuambil dulu buku MOS-ku!"

    Akupun segera berlari menghampiri Kang Triko guna mengambil 2 buku yang kutitipkan padanya tadi.

    "Hebat kamu, Gie! Jarang-jarang lho orang bisa menaklukkan hatinya Teh Irene!" Puji Kang Triko mengusap-usap kepalaku.

    "Ah, masak sih Kang?" Responku tak percaya.

    "Kata-kata kamu ada peletnya pasti tuh!" Canda Kang Triko menyerahkan buku MOS dan buku agendaku.

    "Tulisan kamu bagus banget, maaf tadi Akang sempat baca-baca sebagian agenda kamu!" Pujinya lagi.

    "Ah, biasa aja kok!" Aku benar-benar geer dipuji Kang Triko berkali-kali.

    "Terima kasih ya, Kang!" Pamitku berlari kembali menghampiri Teh Irene.

    Cukup banyak tanda tangan yang berhasil kukumpulkan. Rasanya puas dan bangga karena aku tidak terlalu mengalami banyak kesulitan.

    Siang ini adalah acara pendaftaran anggota baru seluruh ekstrakurikuler di sekolahku. Acara berlangsung di lapangan. Masing-masing organisasi membuka stan berderet dan melingkar mengelilingi lapangan. Kurang lebih 25 jenis ekstrakurikuler bersaing memperebutkan pelamar yang ingin bergabung bersama mereka. Atas permintaan Bu Isti, Kang Adam, dan Teh Dewi, aku ikut berjaga di stan LIMIT, organisasi English Club kami. Aku bertugas mempromosikan LIMIT kepada teman-teman seangkatanku agar mereka tertarik bergabung dengan organisasi kami.

    "Ayo, teman-teman bergabung bersama kami! Nanti ada bulenya juga lho!" Teriakku memancing para peminat.

    "Wah, bule dari mana Gie? Keren-keren enggak?" Sekelompok para gadis datang menghampiri stan kami.

    "Iya, keren-keren dong. Ada Bu Lemi, Bu Lenong, Bu Leisya, Bu Lendra, Bu Lesno, ah pokoknya banyak deh!" Candaku pada mereka.

    "Iih, elu mah! Kirain beneran!" Sesal mereka berbalik meninggalkanku.

    "Insya Allah! Kami akan berkoordinasi dengan Radio English Club di RRI. Rencananya akan ada beberapa bule dari Amrik, Aussie, sama Inggris yang bakal jadi native speaker di klub kami!" Kataku berhasil membuat mereka kembali tertarik.

    "Beneran lho, Gie! Awas kalo bohong, gue kurung lu di kandang ayam bokap gue!" Ancam salah seorang dari mereka.

    Akupun terkekeh mendengarnya. Tak disangka meski baru pertama berdiri, English Club kami berhasil menjaring seratus orang lebih calon anggota. Dan ini memecahkan rekor di sekolah kami sebagai organisasi beranggota terbanyak, menandingi organisasi KIR (Karya Ilmiah Remaja) yang merekrut 90 orang anggota.

    "Wow, well done Sugih! You did such a great job!" Puji Bu Isti padaku seraya memberi selamat. Inilah kalimat Bahasa Inggris terpanjang pertama beliau yang kudengar sejak perkenalan kami tempo hari lalu.

    Aku benar-benar bangga. Ternyata jiwa dagang yang kumiliki dalam membujuk para pembeli agar membeli daganganku dapat kukembangkan dalam berorganisasi untuk perekrutan anggota.

    Begitu acara pendaftaran ekstrakurikuler usai, tibalah saatnya puncak acara, pentas seni yang akan kembali digelar di lapangan. Aku dan teman-teman sekelasku bersiap untuk menampilkan apresiasi seni. Rencananya kami sekelas akan membawakan sebuah operet. Aku dan Chairani mendapat jatah pemeran utama.

    Ceritanya aku dan Chairani duduk bersila berhadapan sambil menopang dagu di tengah lapangan. Kami bernyanyi melantunkan lagu Jamrud yang berjudul Pelangi di Matamu. Musik pun mengalun merdu mengiringi suara kami.

    "Tiga puluh menit kita di sini... Tanpa suara... Dan aku resah, harus menunggu lama... Kata darimu..." Chairani mulai menggemakan suaranya.

    "Cie... Sweet! Sweet!" Seantero sekolah menyorakiku dan Chairani.

    Jujur aku sangat nervous! Inilah pertama kalinya aku memberanikan diri unjuk gigi di hadapan ratusan pasang mata yang menyaksikan kami.

    Baris demi baris telah berhasil Chairani lantunkan. Tiba giliranku mengeluarkan suara.

    "Mungkin butuh kursus merangkai kata... Untuk bicara... Dan aku benci... Harus jujur padamu, tentang semua ini..." Senandungku.

    "Ugie... I love You! I love You!" Teriak teman-teman laki-laki yang pernah satu sekolah denganku sangat histeris. Mereka sengaja mengolokku karena belum pernah melihatku bernyanyi di depan banyak orang.

    "Sweet sweet!" Makbul dan Ichsan bersiul di kejauhan.

    Mereka menggodaku yang duduk berhadapan dengan Chairani. Jarang-jarang mereka melihatku dekat dengan perempuan secantik Chairani.

    Di tengah-tengah lagu yang aku lantunkan, tiba-tiba Ule masuk ke tengah lapangan menggodaku. Penampilannya telah diubah menjadi perempuan jadi-jadian. Jujur aku ingin tertawa melihatnya karena Ule dimake-up sangat cantik dengan dandanannya yang memakai daster khusus untuk ibu-ibu hamil. Namun terpaksa kutahan tawaku dalam hati karena kami memang sedang menghibur penonton. Para penonton pun tergelak sampai terpingkal-pingkal melihat kelucuan akting Ule. Tak henti-hentinya Ule beraksi memonyongkan bibirnya hendak menciumku. Aku pun berlari menghindar mengitari lapangan sambil terus melanjutkan lagu kami.

    "Gila, gak mau lagi ah gue dapat peran ginian. Malu tahu!" Sungut Ule melepas wig yang dipakainya begitu penampilan kami selesai.

    "Tapi elu kan keren banget tadi, Le. Lu kelihatan cantik kaya cewek beneran. Gue aja sampai naksir ngeliat penampilan elu!" Goda Wahyu mengedipkan matanya pada Ule.

    "Edan lu! Gak waras lu ya!" Ule merengut.

    "Gue kan emang pindahan dari RSJ sebelah!" Wahyu terkekeh terus mencandai Ule.

    Satu-persatu setiap kelas telah menampilkan apresiasi kelasnya masing-masing. Sempat kulihat tadi kelasnya Makbul (1-4) mempersembahkan paduan suara menyanyikan lagu-lagu Dewa 19. Dan kelasnya Ichsan (1-5) mempersembahkan sebuah drama komedi yang cukup lucu dan juga sedikit menguras air mata mengharukan.

    Setelah apresiasi seni usai, para anggota Dewan Kehormatan OSIS kembali masuk ke lapangan dan memaki-maki seluruh peserta MOS tidak jelas.

    "Dek duduk, Dek! Duduk!" Perintah mereka kasar.

    Kami pun segera duduk bersila di rerumputan berbaris memanjang sesuai kelas kami masing-masing.

    "Kenapa kamu nggak mau duduk?" Teriak salah seorang anggota Dewan Kehormatan OSIS kepada salah seorang peserta MOS dari kelas sebelah, 1-8.

    "Huh, memang anak-anak 1-8 tuh pembangkang semua Kang!" Hasut Teh Irene kepada kakak yang tadi, yang ternyata bernama Kang Jimmy setelah kuperhatikan name tag yang dipakainya.

    "Kita hukum aja sekelas ini!" Tunjuk Kang Jimmy.

    "Nunduk gak kamu!" Hardiknya lagi.

    Anak laki-laki itupun langsung duduk dan menundukkan kepala bersama teman-temannya yang lain.

    "Hari ini Akang benar-benar kecewa sama kalian. Hari ke hari mengikuti MOS bukannya semakin disiplin mengikuti tata tertib yang berlaku di sekolah ini, malah semakin membangkang terus kepada kami!" Seru Kang Demy mencaci-maki kami.

    DUNG!

    Ditendangnya sebuah tong sampah oleh Kang Demy dan sukses membuat kami terkejut menengadahkan kepala untuk melihatnya.

    "Kenapa itu mendongak? Teteh bilang kan NUNDUK!" Emosi Teh Irene berapi-api. Ekspresi wajahnya berubah 180 derajat dibandingkan saat aku merayunya tadi.

    Kami pun kembali menundukkan kepala. Takut.

    "Kelas ini nih, Kang. Seharian ini paling banyak melakukan pelanggaran!" Tunjuk Kang Gatot ke arah barisan kelasku.

    "Alamak! Apa sih maunya dia?" Rutukku dalam hati.

    "Udah panggil aja pembina dampingnya ke sini! Biar kita hukum sekalian!" Teriak Kang Demy memberi perintah.

    Tidak berapa lama, Kang Triko datang menemui Kang Demy di tengah lapangan.

    "Ada apa Kang?" Tanya Kang Triko dengan suara rendah.

    "Itu tuh anak buah kamu bikin banyak pelanggaran hari ini!" Tunjuk Kang Demy pada barisan kelasku.

    "Masak sih, Kang?" Kang Triko tak percaya.

    "Udah, gak pake lama Kang! Langsung aja hukum akangnya, biar anak buahnya pada tahu rasa!" Pancing Teh Irene begitu emosi.

    "Sekarang kami hukum kamu push up 50 kali karena gak bisa membimbing anak buah kamu sendiri!" Titah Kang Demy menyuruh Kang Triko mengambil posisi push up di rerumputan.

    Kami semua terdiam ketakutan. Dari suara-suara yang mereka teriakkan sepertinya tidak hanya Kang Triko yang dihukum oleh Kang Demy. Para kakak pembina damping dari kelas lain pun turut mendapat hukuman dari para anggota Dewan Kehormatan, satu-satunya organisasi tertinggi di sekolah kami.

    "Gimana nih, Ntan?" Desisku pada Intan yang duduk di sebelahku.

    "Iya, Intan juga bingung. Kemaren kata Teh Rita kan kita harus membela Kang Triko seumpama dia dihukum!" Balas Intan berdesis padaku.

    "Ini kan gara-gara kita!" Sesal Harry dalam keadaan tertunduk.

    "Apa ini bisik-bisik?" Teriak Kang Jimmy kepada kami.

    Tak seorangpun menjawab pertanyaannya. Kami semua benar-benar takut. Entah aura apa yang dimiliki oleh para kakak Dewan Kehormatan, sehingga tak ada yang berani membantah mereka.

    "Mana nih kelas 1-7 yang katanya dibilang kelas paling kompak? Senang ya melihat Kang Triko-nya dihukum?" Pancing Kang Gatot membentak-bentak.

    "Dek, bela Dek, Akang Triko-nya!" Tunjuk Teh Irene ke arah Kang Triko yang telah melakukan 15 kali hitungan push up.

    "Ayo, bela Kang Triko-nya, Dek!" Teriak Teh Irene lagi. "Kalian suka melihat Kang Triko tersiksa seperti itu? Kelas apaan kalian itu?"

    "Kang Demy, tambahin 50 kali lagi buat Kang Triko push up-nya!" Tandas Teh Irene pada Kang Demy.

    "Siap Teh!" Sahut Kang Demy di kejauhan mengantungi kedua tangannya di saku celananya.

    Wahyu yang duduk di depanku mendongakkan kepalanya memandang lurus menghadap Kang Triko yang push up di depan barisan kami.

    "Ngapain itu mendongak? Akang bilang NUNDUK ya NUNDUK!" Maki Kang Jimmy kepada Wahyu.

    "Huuh, maunya mereka apa sih? Tadi katanya kami disuruh membela Kang Triko? Lha, si Wahyu mau membela kok disuruh nunduk lagi?" Umpatku dalam hati geram.

    "Sst... Ayo kita belain Kang Triko!" Aku memberi isyarat kepada teman-temanku begitu para algojo itu menjauhi barisan kelas kami. Tak sedikitpun kepalaku bergerak, takut ketahuan para Dewan Kehormatan.

    "Udah biarin aja napa sih? Cuma push up aja kok!" Dwie Putri mencegahku.

    "Kok elu ngomong gitu sih? Ini kan kesalahan elu juga! Tadi pagi lu datang terlambat kan?" Tudingku pada Dwie Putri.

    "Maksud dia itu Gie, gak apa-apa Kang Triko disuruh push up. Biar bodynya kelihatan lebih bagus! Jadi lebih berotot nantinya!" Sentil Chairani membela kawan di sebelahnya itu.

    "Kalian ini gimana sih? Kelas kita kan selalu kompak! Salah satu salah semua! Ayo buruan, pokoknya kita belain Kang Triko habis-habisan!" Harry beranjak bangkit dari duduknya diikuti olehku, Wahyu, Ule, Intan, Wiwin, dan Indra.

    "Ayo, semuanya bangun!" Panggil Intan memberi semangat kepada teman-teman kami yang lain.

    Serentak pasukan kelas 1-7 pun berdiri berbaris rapi. Rasa solidaritas kelas kami mulai terbit.

    "Ngapain kalian semua pada berdiri? Berani ngelawan Dewan Kehormatan?" Cecar Kang Jimmy menyolot tajam.

    "Kami mau membela Kang Triko, Kang!" Wahyu memimpin kami untuk maju ke depan.

    "Akang bilang balik ke tempat kalian! Mau Akang tamparkah?" Maki Kang Jimmy lagi dengan mata melotot.

    "Wow, rupanya ada pemberontakan di sini!" Ejek Kang Gatot kepada kami.

    Kami tak gentar dicaci-maki oleh mereka.

    "Hebat! Hebat! Punya nyali juga kelas ini ya?" Kang Demy memandang tajam ke arah kami.

    "Kang, bebaskan Kang Triko, Kang! Ini semua kesalahan kami, tak seharusnya Kang Triko yang dihukum!" Indra membuka suara.

    "Biar kami saja yang dihukum, Kang!" Wiwin menambahkan.

    "Tolong bebaskan Kang Triko dari hukumannya, Kang!" Ratapku pada Kang Demy.

    "Kalian mau disuruh push up menggantikan Kang Triko?" Ucap Teh Irene menyangsikan pembelaan kami.

    Peluh Kang Triko bercucuran di tengah push up yang dilakukannya. Benar-benar tak tega melihatnya ditendang-tendang oleh Kang Demy. Perlakuan Kang Demy sungguh kejam dan tak berperikemanusiaan. Rasa solidaritas kami semakin memuncak untuk terus melakukan pembelaan terhadap Kang Triko.

    "Ayo, mana buktinya kalau kalian memang mau membela Kang Triko?" Tantang Teh Irene.

    Kulihat Wiwin menangis melihat Kang Triko tak henti-hentinya disepak oleh Kang Demy. Buru-buru aku merebahkan tubuhku di sebelah Kang Triko bermaksud menggantikan hukuman yang diterimanya. Para teman lelaki turut berderet memanjang di sebelahku. Tak kalah para anak perempuan mengambil posisi berjongkok bersiap untuk skot jump.

    "Satu... Dua... Tiga..." Kami mulai menghitung turun naik melakukan push up.

    Melihat kesungguhan kami, Kang Triko terus melanjutkan hukumannya. "Susah senang kita tanggung bersama!" Ucapnya tulus.

    Akhirnya para kakak Dewan Kehormatan tak tega melihat keseriusan kami menjalani hukuman. Begitu push up yang kami lakukan berakhir pada hitungan ke-30, Kang Demy meminta kami untuk berhenti. Lantas kami disuruh kembali ke tempat barisan kami semula.

    "Nunduk lagi, Dek! Jangan ada yang berani tolah-toleh kalau enggak mau Akang tampar!" Hardik Kang Jimmy lagi mengancam.

    "Pejamkan mata kalian rapat-rapat!" Perintah Kang Jimmy sekali lagi.

    Kembali suasana mendadak hening. Suasana berubah menjadi sendu tatkala Kang Gatot mengajak kami untuk merenung. Tak kusangka si jutek ganteng itu pandai juga mengubek-ubek perasaan kami. Dia berhasil membuat perasaan kami trenyuh, sedih, dan terharu sampai termehek-mehek. Puluhan anak menangis mendengarkan tutur katanya yang berhasil menyentuh perasaan kami. Dia memaparkan tentang keadaan anak-anak miskin, gelandangan di jalanan yang tidak bisa mengenyam pendidikan seperti kami, anak-anak yatim piatu yang tidak mempunyai orang tua, dan anak-anak terlantar yang didera oleh para preman jalanan di kota kami. Benar-benar meluluhkan perasaan kami.

    "Coba bayangkan, seandainya kalian menjadi mereka! Kelaparan di jalanan, tidak mempunyai tempat tinggal, kehausan, kepanasan, kedinginan, dan rasa sakit yang mereka alami! Tak seorangpun yang peduli kepada mereka! Tak jarang mereka dihina, dicaci, dimaki, diludahi, bahkan dipukuli!" Tutur Kang Gatot begitu lemah.

    "Udah Kang, jangan diterusin!" Perasaan Wiwin benar-benar sensitif. Air matanya bercucuran mengalir deras.

    "Sekarang buka mata kalian dan tatap lurus ke depan!" Perintah Teh Irene mengakhiri renungan yang dibawakan oleh Kang Gatot.

    Begitu kami membuka mata dan menatap lurus ke depan. Kami dibuat terkejut dengan hadirnya sosok seorang gadis yang sedang berdiri menangis menghadap kami. Penampilannya sangat kacau berantakan. Rambutnya mengembang tanpa ikatan rafia seperti para peserta MOS perempuan lainnya. Wajahnya cemong-cemong dipenuhi goresan lipstik. Kakinya sebelah kanan memakai sandal bakiak, sementara kaki kirinya memakai sepatu dengan kaus kaki setinggi lutut. Kemeja seragam yang dipakainya dikeluarkan sebelah.

    Gadis itu memegang sebuah mic dan berkata dengan suara terisak menahan tangisnya, "Hari ini, tepat enam belas tahun yang lalu, ibu saya telah melahirkan saya di sekolah ini!"

    Seluruh peserta MOS mendadak geger menyimak ucapan gadis itu.

    "Anak kelas mana sih itu?" Kamipun berdesas-desus.

    Teh Rita datang mengantarkan sebuah kue tart ke hadapan gadis itu.

    "Happy birthday, happy birthday, happy birthday to you!" Para kakak Dewan Kehormatan bernyanyi bersama-sama.

    Gadis itu meniup lilin pada kue tartnya penuh rasa haru. Para panitia MOS memberi ucapan selamat kepadanya.

    "Kami selaku panitia penyelenggara kegiatan MOS memohon maaf kepada adek-adek semua atas tindakan-tindakan kami yang kelewat kasar pada adek-adek semua selama menjalani kegiatan MOS di sekolah kita satu minggu ini. Tolong dimaafkan ya Dek, karena apa yang kami lakukan ini hanya untuk menggembleng kalian agar mampu bersikap lebih dewasa, mandiri, dan disiplin daripada sebelumnya!" Ucap Teh Irene begitu tulus.

    "Tolong jangan menyimpan dendam kepada kami. Karena kami sangat menyayangi kalian semua. Ingat mulai sekarang kita semua adalah saudara. Kita semua satu keluarga. Keluarga besar SMUN 5!" Kata Kang Demy menambahkan.

    Bapak Kepala Sekolah hadir di tengah-tengah kami dan menutup acara kegiatan MOS angkatan kami.

    "Dengan mengucap rasa syukur dan penuh khidmat, maka pada hari ini, Sabtu, 21 Juli 2001, kegiatan MOS SMUN 5, saya nyatakan resmi ditutup!" Ucap Bapak Kepala Sekolah dan disambut tepuk tangan yang begitu meriah.

    Seluruh peserta MOS langsung melepaskan segala macam atribut yang melekat di badan kami, dan memasukkannya ke dalam plastik yang kami bawa.

    "Ayo Dek, kita bersalam-salaman saling memaafkan sambil menyanyikan lagu Merah Putih bersama-sama!" Titah Teh Irene lembut.

    Serentak kami pun berbaris mengantri menyalami para kakak panitia MOS sambil menyanyikan lagu Merah Putih bersama-sama. MOS berakhir penuh rasa haru, kami semua bersalaman, berpelukan, saling memaafkan diiringi air mata kebahagiaan.

    Merah Putih
    By Gombloh


    Berkibarlah bendera negeriku
    Berkibarlah engaku di dadaku
    Tunjukkanlah kepada dunia
    Semangatmu yang panas membara

    Daku ingin jiwa raga ini
    Selaras dan keanggunan
    Daku ingin jemariku ini
    Menuliskan kharismamu

    Berkibarlah bendera negeriku
    Berkibarlah di luas nuansamu
    Tunjukkanlah kepada dunia
    Ramah tamah budi bahasamu

    Daku ingin kepal tangan ini
    Menunaikan kewajiban oh..
    Putera bangsa yang mengemban cita
    Hidup dalam kesatuan


    Yiihaa... Berakhir sudah kegiatan MOS di sekolahku. Aku melonjak girang tak terkira. Mulai detik ini aku sudah resmi menjadi siswa SMU. Rasanya benar-benar seperti mimpi. Aku tak menyangka kalau akhirnya aku dapat melanjutkan sekolah.

    "Terima kasih, Bu Sjahandari!" Ucapku dalam hati memandang langit yang begitu luas. "Alhamdulillah ya Allah, aku bersyukur kepada-Mu!"

    Akan kusongsong hari esok jauh lebih baik dari hari-hariku sebelumnya. "Itu pasti!" Yakinku.


    Terima kasih terus mengikuti kisah perjalan hidupku ini. Mohon tinggalkan komentar dan klik suka, bila kalian menyukainya :)  ♥♥♥

    Salam,

    ♔HidingPrince♔

    ♬♪♬♪♬♪♬♪♬♪♬♪♬♪♬♪♬♪♬♪♬♪


  • edited July 2014
    Typo berhasil diedit :)
  • Kang Triko, 29 tahun. Sekarang bekerja sebagai manager di Bank Mizuho Jepang. Sudah tidak seganteng dulu lagi.
  • ampun bang, aku nyesek bacanya :'(
    sudah sekian lama abang mention tapi baru sempet baca. tapi belum selesai baca semua sih.

    sabar ya bang hidup itu memang keras.
Sign In or Register to comment.