It looks like you're new here. If you want to get involved, click one of these buttons!
Copyright 2021 Queer Indonesia Archive. See our Privacy Policy. Contact us at [email protected]
Dengan menggunakan situs ini berarti Anda setuju dengan Aturan Pakai.
BoyzForum.com adalah situs anti pedofilia!
Comments
tp bkn cm itu sih..
d tgu y End-story nya..
pesen adegan romantisss nya deh jng lupa ya??
@tarry d pertimbangkan.. hihi.. Ooohh si dek Yoga manja yah? unyu bgt y.. hahaayy
@alvaredza ada ga ya adegan ituu.. d liat ajah y End-story nya nnti..
@alfa_centaury pas aku sunat dulu emang gitu.. tp ga bnyk kok. cm ortu sm bbrp org ajah yg liat.. tp seru kok. jd pura2 kuat n berani. malu klo nangis d tonton.. wkwk..
Untuk para readers terkasih..
******************************************************************
THE SEPARATION (PINDAHAN STORY)
Tak terasa hari itu semakin dekat. Hari dimana waktu tak sanggup kudekap. Semakin kugenggam erat, waktu berjalan semakin cepat. Tanpa aba-aba dia datang dengan kecepatan kilat. Aku tercekat. Hatiku melarat.
Euforia acara khitananku sudah lewat lebih dari seminggu. Entah kenapa aku merasakan kesenangan semu. Firasat itu seperti menyapa berbisik sendu. Aku tak tahu. Tapi aku merasakan itu. Ketika akhirnya kabar itu sampai ketelingaku. Aku hanya tergagu. Diam membisu. Tak merasa kakiku yang menjejak layu. Waktu seakan tak ramah padaku. Aku kelu. Hatiku sendu, pilu..
Adalah adiknya Dwi yang mengabarkan berita itu. Toro namanya nakal wajahnya. Senyum liciknya selalu terhias lepas. Dengan urat-urat yang jelas terlihat didahi dan sisi-sisi keningnya, sudah dapat dipastikan Toro anak yang sedikit temperamental. Aku pernah melihatnya marah dan mengamuk. Percayalah, itu seram luar biasa. Urat-uratnya bermunculan dengan tegas, membuat wajahnya kelihatan keras.
Tapi Toro baik padaku. Usianya 1 tahun lebih beberapa bulan dibawahku. Dia selalu mengajakku bermain, ketika Dwi tak sedang denganku. Dia selalu berbagi makanan denganku. Entahlah, terhadap anak-anak lain dia tak sebaik itu. Malah dia pernah berkelahi karena ada anak yang menggangguku. Walau aku melawan tapi Toro ikut membantu. Aku ingat ketika dia memegang batu dan tak segan melemparkannya ke orang-orang yang mengganggu. Aku senang dibantu namun aku (agak) takut dengan tingkah nekadnya itu.
Senja itu, Toro dan aku masih bermain di luar. Kami jalan sedikit jauh untuk bermain didaerah persawahan untuk menangkap capung. Ketika kami hanya bisa menangkap capung hijau dan oranye, kami bosan dan lelah tak jua berhasil menangkap yang biru. Mulailah Toro mengatakan semua itu.
“Rei.. aku sama keluarga mau pindah minggu-minggu ini..” JEDEERRR
Apa? Apa tadi? Aku ga salah dengar kan? Pindah? Minggu-minggu ini? Kok tiba-tiba? Dwi.. bisa-bisanya dia ga ngasih tau..
“Cepet amat. Emang pindah kemana?” Tanyaku sesantai mungkin.
“Katanya masih dikota ini juga. Deket kok. Tapi aku juga belom liat rumahnya”
“Yah.. Kagak bisa main bareng lagi donk kita.. Jadi sedih nih..” aku sengaja tersenyum walau hatiku seketika hampa saat itu.
“Masih bisalah. Kata mama deket kok. Aku kan bisa sering-sering main” Kalo Dwi? Ajak Dwi juga atuh..
Aku hanya mengangguk. Senja itu tak kurasa indah. Kabar itu membuat resah. Membikin hati gundah. Pohon jambu bijiku telah tiada. ‘Monumen’ Ciuman pertamaku seolah sirna. Sekarang kabar ini datang menerpa. Aku gulana, aku merana.
Tapi itu sementara. Esoknya aku lupa kabar itu. Seperti kubilang sebelumnya. Senang sekali ketika kita kecil, begitu mudahnya kita melupakan sesuatu dan tidak larut memikirkannya. Anak kecil itu sederhana. Ketika main dia lupa segalanya. Begitupun aku. Waktu bermain dengan teman-teman aku lupa hal itu.
Namun itu tak berlangsung lama. Aku ingat lagi ketika emak mengatakannya diwaktu aku sedang makan. Seketika itu lauk terasa hambar. Menelanpun terasa sukar. Piring terpinggirkan, aku naik kekamar.
Ternyata berita itu benar. Kenapa Dwi tidak mengabarkannya padaku? Lagi, aku mulai sendu. Dadaku bergemuruh. Hatiku terasa pilu. Entah mengapa kubegitu. Aku tak tahu. Tak ingin mencari tahu. Hanya ingin menikmati waktu sendiriku dalam sendu. Aku rapuh.
Sudah 2 mingguan lebih sejak aku dikhitan. Aku masih libur. Daftar ulang sudah dilakukan. Namun pertemuanku dengan Dwi semakin berkurang. Pertemuan intens kami, ketika aku dikhitan. Selebihnya hanya tegur sapa, basa basi sopan yang tiada makna. Seolah kami tidak pernah kenal sebelumnya. Tidak ada apa-apa. Walau benar adanya. Kami bukan siapa-siapa. Hanya teman saja.
Hari itu datang juga. Senin pagi kabar itu menyapa. Kabar kepindahan Dwi dan keluarganya tentu saja. Aku bersiap ikut mengantar dan melihat rumah barunya. Sambil bersiap, dalam hati aku menggerutu. Kenapa mereka tidak pindah dihari minggu? Agar ada alasanku untuk membenci hari itu. Tapi tidak. Mereka dengan hebatnya memilih hari senin untuk kepindahan mereka. Hebat. Sungguh hebat. Seakan daftar alasan mengapa aku benci hari senin bisa kutambah. Terima kasih. Banyak-banyak terima kasih untuk mereka. Siaaaallll..
Ternyata mereka pindah dihari senin, karena ayah Dwi yang bekerja di salah satu hotel berbintang dikota kami baru bisa off pada hari itu. Terserahlah. Bukan urusanku. Seakan hari itu adalah hari menggerutu sepanjang waktu untukku. Ada yang bilang begini, aku menggerutu. Ada yang berkata begitu, aku menggerutu. Aku ingin menghentikan waktu.
Kami telah sampai ke rumah tinggal keluarga Dwi yang baru. Lebih luas dari yang dulu dan ada terasnya pula. Pantas saja. Aku membantu melihat-lihat karena Toro segera menarik tanganku melihat kamar yang akan ditempatinya. Dwi melirik sekilas. Huh, weekk.. ngapain lirik-lirik pikirku waktu itu. aku kesal karena dia meninggalkanku. Kesal memang, tapi aku rindu.
Toro mengajakku melihat kamar yang terletak paling ujung didekat dapur. Sepertinya itu akan dijadikan dapur. Karena ada kompor bertengger manis disana. Aku segera duduk diranjang yang lumayan empuk. Dwi ikut masuk. Toro memasang tampang menusuk. aku clingak clinguk.
“Rei bentar aku ambilin minum dulu ya. Tadi udah disiapin air mineral buat yang bantu-bantu pindah” aku mengangguk. Toro gesit sambil melirik Dwi sengit. Aku mengernyit.
Ada apa dengan mereka? Dua bersaudara ini memang tidak selalu akur. Dwi adalah anak kesayangan dan kebanggan ayahnya. Sedang Toro adalah anak emas mamanya. Jadi begitulah, mereka berdua bersaing siapa yang lebih baik dimata orang tua. Sepertinya. Entahlah. Mungkin hanya pikiran naifku saja.
“Rei..” Dwi duduk disebelahku. “Udah lama ga ngobrol berdua..” aku mengangguk.
“Aku..” “Rei nih minumnya”
Kata-kata Dwi tenggelam oleh suara keras Toro. Aku hanya bisa melongo. Menanti kata dari Dwi, tapi kesempatan itu hilang begitu saja. Bad timing Toro.. Bad timing.. Huufth.. Dwi segera beranjak. Keluar setelah Toro masuk ke dalam. Aku terdiam.
Toro berceloteh panjang lebar. Aku mendengar samar-samar. Konsentrasiku buyar. Pikiranku terpencar. Aku gusar
Aku mengajaknya keluar. Toro menurut. Kemana Dwi? Dimana dia? Apa yang tadi ingin dikatakannya? Kenapa dia langsung pergi begitu saja? kenapa tidak langsung mengatakan saja maksudnya? Lagi, Dimana dia? Aku bertanya-tanya.
Aaahh.. dia di luar. Ternyata banyak anak tetangga (yang mayoritas perempuan. Great!) mulai mengerubunginya. Mengajak berkenalan dengannya. Menyambutnya sebagai tetangga baru mereka. Mengerubunginya. Mendekatinya. Berlama-lama didekatnya. Aku gerah.
Dasar gadis-gadis kecentilan. Tidak bisa melihat cowok bening sedikit. langsung pada menjerit-jerit. Dwi memang tampan. Luar biasa tampan. Usianya yang sepertinya sudah akil baligh makin menegaskan aura memikat bukan buatan. Pantas saja gadis-gadis itu pecicilan. Mereka mengajaknya bermain, mengerubunginya, memegangnya, mendekatinya, yah semacam itulah. Sudah. Aku semakin gerah. #KipasPlease
Aku memanggilnya tiba-tiba. Tak terencana. Aku pun terperangah. Tak percaya dengan mulut yang melepas suara tanpa aba-aba. Dwi memandangku. Toro memandangnya tidak suka. Aku hanya bisa senyum-senyum saja. Masih heran dengan mulutku yang tanpa permisi itu. Tapi aku suka. Karena Dwi bisa lepas dari gadis-gadis agresif itu.
Dwi beralih pergi dari kungkungan ‘fans-fansnya’ itu. Dia segera menuju tempatku dan Toro. Namun sial, gadis-gadis sok akrab itu menyusul. Uuurrgghh.. Aku gerah. Mau marah, pada siapa? Bukan salah mereka, tapi Dwi dan segala pesonanya memang terlalu mubazir untuk disia-sia. Sial.
Gadis-gadis tetangga baru Dwi mengajaknya main petak umpet. Aku tidak dianggap. Toro pun hanya diajak kenalan dan bicara singkat. Aku gigit jari tidak diajak main. Toro dan Dwi ikut bermain. Aku duduk dipinggiran melihat mereka asyik bercengkrama.
Lucunya (kesal untukku) ketika salah satu gadis jaga, dia jelas-jelas melihat Dwi yang sepertinya enggan bersembunyi agar cepat ditemukan, namun gadis itu malah mengabaikannya. Padahal antara Dwi dan dirinya seperti berhadap-hadapan bahkan tatap mata. Gadis itu membiarkan Dwi sambil senyum-senyum manja. What was that?! Gadis genit. #TamparNih.
Aku gerah. Aku ikut bukan untuk melihatnya beramahtamah dengan fans-fansnya, yang belum sehari saja sudah banyak luar biasa. Tambah gerah, ketika dia bahkan melayani mereka. Aku menyerah. Aku tak suka. Aku segera undur diri dari tempat itu tanpa permisi. Aku jalan kedepan dan bermaksud naik ojek yang ada didepan.
Jarak rumahku dan rumah baru Dwi ternyata tidak seberapa jauh. Hanya beda beberapa blok saja. Tapi tetap lumayan jauh sekali jika berjalan kaki. Karena itu ketika aku kesal dengan situasi yang sama sekali tidak kusangka itu aku berniat pulang saja. Aku sudah sangat gerah.
Dwi mengejarku. Aku tetap berlalu. Dia menjangkau langkahku. Aku tetap saja berlalu. Dia menghalangi langkahku. Aku berhenti. Kulirik dia tajam. Dia tersenyum lebar. Aku kalah. Sial. Dengan senyumnya gerahku hilang seketika. Aku tidak pernah bisa marah padanya. Senyumnya terlalu indah. Membuatku betah berlama-lama dengannya. Aku gembira.
“Rei mau kemana?” Tanyanya heran.
“Pulang. Capek juga ga ngapa-ngapain..” Sindirku halus.
“Main yuk..”
“Sama orang-orang tadi..?” tanyaku lagi sambil menggeleng keras.
“Bukanlah. Sapa juga yang mau main sama mereka. Kita main ke taman. Kemarin aku liat ada taman dekat rumahku. Jaraknya juga deket kok.. Yuk..” Ajaknya. Aku mengangguk setuju.
Akhirnya aku bisa juga berdua saja dengan Dwi tanpa pengganggu-pengganggu itu. Tak lama, taman itu sudah terlihat. Ada tempat main untuk anak seperti perosotan dan balok-balok tiang kubus yang membentuk tangga-tangga. Tamannya terlihat nyaman.
Kami pun menaiki perosotan dan memanjat-manjat tangga. Sebenarnya aku yang lebih riang. Dwi hanya mengikutiku sambil geleng-geleng saja. Mungkin dia berpikir aku terlalu kekanak-kanakan. Tapi aku suka taman bermain. Terserah orang mau bilang apa. Aku masih saja asyik bermain. Setelah puas kami duduk diatas balok tangga itu. Berjajaran. Berdua saja. Hari ini indah.
“Rei kita udah ga tetanggaan lagi..”
“Rumah kita udah agak jauh..”
“Sekolah kita juga ga sama lagi. Padahal aku udah belajar biar bisa dapat nilai tinggi..” aku hanya mengangguk-angguk saja dengan semua kata-katanya. Untuk yang terakhir itu, aku berhenti mengangguk. Apa maksudnya?
Mungkinkah dia selama ini giat belajar seorang diri agar bisa meraih nilai tinggi dan kami bisa satu sekolahan bareng? Aku tak percaya. Sangat tidak menyangka. Jadi selama ini...
“Dwi payah ya Rei..?” aku menggeleng kali ini.
“Ga papa kok ga satu sekolah juga. Yang pentingkan kita masih bisa main bareng. Dwi bisa main ketempat Rei, atau sebaliknya..” Kali ini dia yang mengangguk.
Dwi menatapku. Intens. Lekat. Amat lekat. “Rei.. Aku... ...”
“HAAAIIII.. HOOOIII...” teriakan siapa tuh? Ganggu deh.. bete bete bete...
Kualihkan pandangan. Dwi pun melakukan hal yang sama. “Yaelaahh” samar-samar kudengar gumamannya. Kata Dwi tadi sungguh tepat ditujukan kepada orang yang berteriak tadi. Gadis-gadis itu muncul lagi saudara-saudara. Tak dijemput tak diantar. Mereka datang dengan bingar.
“Kok ga bilang-bilang mau kesini sih..?” itu gadis centil yang senyum-senyum pada Dwi waktu main petak umpet tadi.
Dwi hanya mengedikkan bahunya. Dia mengajakku turun dari tempat kami berada sekarang. Sigap dan cepat, kami turun sudah. Dwi segera mempercepat langkahnya, menyingkir dari gadis yang bahkan baru beberapa saat saja dikenalnya.
Gadis centil itu dan teman-temannya mengikuti kami. “Mau kemana?” tanyanya. Helloooo.. Situ siapaaa..?!
Astaga. What’s with the girls zaman sekarang? Agresifnya itu lhoo.. Padahal melihat postur dan wajahnya dia terlihat lebih tua dari Dwi. Paling tidak kelas IX atau X. Gadis itu menatapku tak suka, karena aku berjalan bersisian dengan Dwi. Pandangannya menyiratkan ‘menyingkir dari pangeranku’ tajam kepadaku. Aku tak gentar. Kugamit lengan Dwi dan kuajak dia berlari denganku. Sebelumnya kuberi tatapan meremehkan pada gadis itu. dia tersenyum sinis aku tertawa penuh kemenangan. Aku dan Dwi, kami berlari dengan cepat meninggalkan para pengganggu.
“Rei.. makan dulu yuk..” ajak Dwi setelah kami balik kerumah barunya. Karena ternyata memang sudah disediakan nasi padang bungkus untuk yang mengantar. Aku mengangguk.
Aku makan dengan lahap. Aku suka nasi padang. Porsinya pas untukku. Walau kadang ketika aku sangat lapar, porsiku bisa lebih dari 1. Kami makan dalam diam. Aku senang. Dia terlihat mulai riang. Toro menatap kami dan ikut tersenyum. Walau senyumnya sedikit kaku.
Aku kembali kerumah ketika sore tiba bersama beberapa orang yang memang ikut mengantar. Aku merebahkan diri dikamar dengan hati lapang. Senang, riang berkumandang diseluruh penjuru ruang. Aku tertidur karena rasa nyaman yang datang.
Sebelum pulang tadi, kami berjanji akan tetap saling mengunjungi. Karena persahabatan yang telah terjalin sulit untuk hilang begitu saja. walau jarak menjadi pemisah. Hari-hariku setelahnya akan tanpa Dwi menyapa. Tapi tak apa, asal kenangan dan janji ini masih terpelihara. . .
(To be continue..)
****
Ookeeeee.. sampai sini dulu yaaahhh..
Next update would be my last update about memori first kiss ini..
Enjoy..
Happy Reading^^