BoyzForum! BoyzForum! - forum gay Indonesia www.boyzforum.com

Howdy, Stranger!

It looks like you're new here. If you want to get involved, click one of these buttons!

Selamat datang di situs Boyzforum yang diarsipkan oleh Queer Indonesia Archive. Forum untuk komunitas gay Indonesia yang populer ini didirikan pada tahun 2003, dan ditutup pada tanggal 15 Desember 2020.

Forum ini diabadikan untuk kepentingan sejarah. Tidak akan ada konten baru di forum ini. Silakan menikmati forum ini sebagai potongan dari sejarah queer Indonesia.

Memori Pohon Jambu (My First Kiss) - TAMAT

edited May 2014 in BoyzStories
Hai.. hai..
Ini cerita kedua saya. Cerita ini muncul waktu saya stuck pas nulis cerita ALFI HASSAN ALATAS pas bagian PoV Farel. PoVnya yang rada njelimet itu bikin mood nulis cerita Alfi sedikit terabaikan.
Tapi Mood itu tergantikan dengan ide-ide baru yang tertuang dalam cerita ini. Ditambah ‘obrolan’ saya dengan Aa (muhun nya’ atas dukungannya) yang selalu menyemangati saya. Juga tak bosan-bosan mengkritik EYD saya jika sudah mulai berantakan (Aa.. You know kan kalo kamu yang dimaksud). Thanks Aa’..
Cerita yang saya niatkan berbentuk cerpen ini nyaris berdasar cerita nyata saya sendiri.
So, mari lebih dekat dengan saya melalui cerita pendek ini. Here we go.. Ayo kita kemoooonnn..
******************************************************************************************************

MY FIRST KISS

Hiruk pikuk manusia tumpah ruah di lapangan bulu tangkis ini. Sorak sorai dukungan terdengar dari tiap sudut luar lapangan. Yel—yel pun kian semarak didendangkan untuk setiap pemain yang bertanding.

Pertandingan bulu tangkis antar RT memang telah menjadi kegiatan rutin yang selalu diselenggarakan tiap tahunnya di lingkungan antar warga di daerah kami. Teriakan, nafas tertahan masih terdengar dari setiap pasang mata yang menyaksikan pertandingan yang bisa dibilang seru ini. Malam kian larut tapi manusia yang datang malah semakin mengerubut. Seperti tidak rela melewatkan pertandingan setahun sekali ini.

Namun sayang, aku tidak berada diantara mereka. Tidak ikut menyaksikan pertandingan bulu tangkis yang aku yakin memang seru. Aku sebenarnya ada diantara mereka (teknisnya begitu). Tapi sosokku tidak membaur dan terlindung dari tiap pasang mata.

Aku sedang berada dibalik rimbunnya pohon jambu biji bangkok yang saking rimbunnya menyerupai semak yang seperti membentuk sebuah kubah. Bagaimana aku bisa berada dibalik rimbunnya pohon jambu ini? Well, aku_tepatnya_kami, sengaja bersembunyi disini.

‘Dia’lah yang mengajakku bersembunyi. Entah mengapa. Namanya Dwi Putra Sugiantoro. Umurnya 7 (tujuh) tahun, Sedang aku, Rei, umurku 5 (lima) tahun waktu peristiwa ‘ini’ terjadi.
Dwi (begitu aku memanggilnya) mengajakku masuk kebalik rimbunnya pohon jambu tepat sebelum pertandingan bulu tangkis itu dimulai. Letak pohon itu dengan lapangan bulu tangkis lumayan dekat. Tapi dengan daun-daunnya yang padat merapat, kami terlindung dari mata-mata yang kurang awas. Lagipula siapa yang akan memperhatikan kami? Mereka akan lebih fokus pada jalannya pertandingan bukan?

Kami menonton dari balik daun yang hanya tersibak sedikit. Hanya sedikit. Seolah kami bukan menonton tapi ‘mengintip’. Dwi duduk dibelakangku. Kepalanya sejajar denganku. Pipi kami bertaut berbagi hangat. Kulit pipinya lembut ku rasakan.

Pertandingan bulu tangkis itu terbagi dalam 3 (tiga) babak. Dua pertandingan double dan satu pertandingan single. Urutannya double, single, dan ditutup dengan double lagi.

Sepanjang pertandingan pertama kami masih terus ‘mengintip’ dengan posisi yang sama, tidak berubah. Walau terkadang pipinya selalu bergerak lembut beradu dengan pipiku. Tapi posisi tubuh kami tetap terjaga. Aku di depan dan dia di belakangku. Walau kurasa posisinya makin erat merapat ketubuhku. Pertandingan pertama pun selesai. Wakil dari RT kami menang. Kami pun riang. Walau dengan suara tertahan.

Ketika pertandingan kedua kami bosan. Dia yang bosan tepatnya. Wajahnya dia tarik ke belakang. Aku meliriknya. Dia tersenyum manja. Entahlah. Tapi itu pikirku kala itu. Ketika aku berbalik ingin ‘mengintip’ pertandingan lagi, tangannya menggapai pipiku. Dialihkannya wajahku menghadap dirinya. Masih dengan senyum manjanya.

Selama beberapa detik yang terasa selamanya, kami hanya saling pandang berhadapan. Senyumnya mulai menerbitkan senyum diwajahku. Walau aku tak ada pikiran apa-apa, tapi aku bingung jika harus menghabiskan waktu hanya dengan pandangan mata saja. Lagi, kucoba mengalihkan wajahku ingin ‘mengintip’ lagi pertandingan yang mulai seru itu. Terdengar dari sorak-sorak dan jeritan-jeritan tertahan para suporter.

Dan lagi, diraihnya kembali wajahku. Sekarang kedua tangannya disamping pipiku. Dia tersenyum. Masih dengan senyum manjanya. Membuat bibirku tergelitik mengembangkan senyumku juga. Dalam detik itu dunia kami terpisah dengan orang-orang lainnya. Seolah hanya ada dia dan aku. hanya ada kami dibalik rimbunnya pohon jambu ini.

Dengan kedua tangannya yang masih diwajahku, tangan kanannya mulai menjelajah. Kali ini diusapnya rambutku pelan. Membuatku nyaman. Dan detik berikutnya nafasku tertahan.
Dalam gerakan kilat dia mencuri ciuman dari bibirku. Tapi tunggu, jangan bayangkan ciuman basah penuh desah. Itu hanya ciuman sekilas pertemuan dua bibir, bibirnya dan bibirku. Kalian tahu, hanya bersentuhan sepersekian detik dan dilepas. Hanya itu. Tapi karena itu nafasku tertahan. Entah karena apa. Aku 5 tahun waktu itu. belum mengerti apa-apa.

Ciuman kilat itu, ciuman pertamaku.

Setelah melakukan ‘ciuman kilat’ itu dia tersenyum dan menatapku sayu. Melihatku yang diam dengan nafas tertahan dia mengelus rambutku dan mendekatkan wajahnya padaku.
“Rei ga papa?” bisiknya lembut ditelingaku. Nafasku terlepas saat itu juga. Segera kuisi paru-paruku didetik berikutnya.

Aku menggeleng. Dia menarik wajahnya dan tersenyum (lagi).

Dalam senyumnya aku mulai tenang kembali. Dia mulai mengangsurkan wajahnya lagi kearahku. Semakin mendekat. Terlalu dekat. Aku memejamkan mataku cepat.

“Aku mau cium Rei lagi. Boleh?” Bisiknya sangat lembut padaku.

Riuh suara penonton diluar arena pertandingan seakan redup. Hanya terdengar dengung yang sedikit senyap. Suara bisikannya ditelingaku malah terdengar nyaring terdengar sampai terngiang. Dia. Mau. Cium. Aku. Diamauciumaku. Diamauciumaku. Lagi? (Okeeee.. Dulu aku tidak begini. Dulu aku hanya diam dan mengangguk saja).

Kami saling berpandangan (lagi). Senyumnya masih terkembang walau kurasa sedikit tegang. Aku balas nyengir kuda tak tahu harus berbuat apa. Wajahnya semakin mendekat, dekat sekali, amat sangat terlalu dekat sekali. Mataku lagi-lagi terpejam. Dalam pejam kurasakan bibirnya menyentuh bibirku lembut. Ditekannya bibirku. Aku bingung tak tahu harus apa. Jadi aku hanya memasang bibir saja. Beberapa saat yang terasa selamanya, bibirnya menekan bibirku. Entah kenapa, tapi kubuka mataku. Dan kulihat dia disana. Ada dia dengan mata yang terpejam berkonsentrasi menekan-nekan bibirnya dengan bibirku. Matanya mulai terbuka dan bibirnya terlepas perlahan dari bibirku. Senyumnya terkembang amat sangat lebar dan terlihat puas sekali. Seolah dia memenangkan medali emas untuk cabang bulutangkis.

Pandangan matanya bertatapan dengan mataku. Tatapannya sayu. Hatiku bergemuruh. Aku tak mengerti, tapi aku sangat senang sekali. Tatapannya terlihat penuh binar bahagia. Matanya seolah berkata ‘Terima kasih. Aku senang’. Terdengar mengada-ada memang. Tapi jelas itulah yang kurasakan.

Sorak-sorai pertandingan mulai terdengar kembali. Kali ini jelas dan keras terdengar. Kami masih saling tatap dan kualihkan pandangan tak kuasa ingin ‘mengintip’ pertandingan lagi. Dia paham. Diraihnya tanganku dan digenggamnya. Ditolehkannya wajahku dan disibakkannya sedikit daun untuk ‘mengintip’. Posisi kami kembali seperti awal lagi. Aku di depan dan dia di belakang. Bedanya tangan kanannya menggenggam tanganku erat. Dan pipinya makin terasa hangat dan rapat di pipiku. Dengan itu kami menghabiskan malam sampai pertandingan berakhir.

Dibalik rimbunnya pohon jambu itu bibirku tak lagi perawan. Pipiku hangat bukan buatan. Dan tangan kananku selalu terkepal, teringat genggamannya. Dalam malam itu pikiranku selalu terkenang. Di pohon jambu itu, malam itu, pipi itu, genggaman itu, dan yang pasti ciuman itu.. Hatiku tertawan dan sulit tuk lepas kawan.. Dan dimalam itu mimpi-mimpi kebersamaan kami selalu terulang. Sangat sering sekali terulang. Selalu terngiang-ngiang..
*
«13456731

Comments

  • THE BADMINTON BATTLE

    Mimpi itu masih terulang kini. Bahkan selang beberapa tahun. Aku telah kelas 5 SD kini. Umurku pun telah bertambah. Aku 9 tahun kini. Aku masuk sejak SD ketika usiaku masih 5 tahun. Sedangkan dia masuk SD ketika sudah berumur 7 tahun. Dia harus masuk TK dahulu dan ekstra setahun untuk memperlancar cara membacanya.

    Sedangkan aku telah bisa membaca tanpa seorangpun yang mengajari. Tanpa Playgroup, PAUD, TK dan semacamnya. Ketika melihat huruf aku seolah langsung tahu bagaimana harus membacanya. Waktu melihat angka otakku langsung mengingat bentuknya. Seluruh huruf dan angka seolah sudah tersusun rapih dalam database otakku.

    Tidak begitu halnya dengan pertumbuhan dirinya. Walau Dia mengalami kesulitan dalam belajar. Tapi sepertinya tubuhnya bertumbuh dengan pesat. Walau usianya masih 11 tahun tapi struktur tulang wajahnya mulai terbentuk. Wajahnya rupawan bukan buatan seperti cetakan sang Arjuna dalam dunia pewayangan. Posturnya juga terlihat padat. Tidak besar dan berotot, tapi tegap dan liat seperti atlet bulutangkis. Karena kebetulan itulah olahraga favoritnya juga aku.

    Kami masih sering menghabiskan waktu berdua. Kadang kami berlatih bulu tangkis bersama-sama. Dia jauh lebih jago dibanding aku. pukulannya ketika servis tiada celah, tidak terlalu tinggi tapi pas. Backhand-nya sama keras dengan pukulannya yang biasa. Dropshot-nya tajam bukan buatan. Pukulan smash-nya keras sulit ditahan.

    Ketika kami berlatih (mungkin lebih tepat disebut bermain-main), banyak anak yang menantangnya bertanding. Semua anak itu umurnya di atas umur kami. Tapi dia tidak gentar. Dihadapinya mereka satu persatu.

    Bukan Dwi namanya jika dia tidak bisa melawan setiap lawan yang menghadang. Dengan cepat dia melibas 2 (dua) orang penantang. Gerakan Dwi lincah bagai cheetah. Anggun selaksa kijang. Dropshot-nya membuat lawan susah mengejar. Dan yang paling spektakuler adalah pukulan smash-nya yang benar-benar sulit ditahan. Bahkan dari 2 (dua) orang tadi, satu pun tidak ada yang bisa mengembalikan smash-nya.

    Masih ada 3 (tiga) orang lagi yang menantangnya. Aku mulai menguap. Kantuk menyerang. Dan Dwi melihat. Dia menghampiriku. Wajahnya terlihat menyesal entah kenapa.

    “Rei Ngantuk? Maaf ya aku cuekin kamu. Tapi aku susah nolak tantangan” Raut mukanya mendung.

    Aku tersenyum “Ga papah. Maen lagi gih. Aku tunggu disini” Matanya intens menatapku. Digenggamnya tanganku.

    “Beneran?” aku mengangguk.

    “Ya udah, aku selesai in secepatnya ya..” Sambil tersenyum dia pamit.

    Aku memang lelah dan mulai mengantuk. Tapi aku tidak tega meninggalkannya berjuang seorang diri tanpa dukungan dariku. Sebisa mungkin kutahan kantukku. Lawannya kali ini sudah SMP kelas 3. Sedikit (oke. Lumayan) lebih tangguh dibanding dua lawan sebelumnya.

    Perolehan skor pun sedikit tipis. Saling kejar mengejar angka. Mataku susah untuk kompromi. Dwi melihatnya. Aku terbangun. Kaget. Aku tak ingin fokusnya pecah. Tapi percuma. Dia sudah melihat kantukku. Akibatnya shuttlecock berhasil mendarat mulus di area lapangannya. Dwi meminta ijin minum. Sepertinya dia lelah. Dia menuju kearahku. Dan kuangsurkan botol minuman miliknya.

    Ketika sampai diambilnya botol itu lalu “Maaf. Lawannya sedikit lebih kuat. Tapi Rei jangan tidur dulu. Akan cepat-cepat kukalahkan dia. Dan kita pulang bareng. Oke?” Tegasnya seolah perlu kepastian dariku.

    Aku mengangguk. Berapa lama pun akan aku tunggu pikirku. Dia kembali kelapangan dengan tekad yang kian kuat. Terlihat dari pancaran matanya. Dwi memang seperti itu. dia pantang lari dari lawan yang menghadang. Siapapun lawannya, akan dihadapinya apapun hasilnya. Tidak peduli menang atau kalah.

    Pertandingan dilanjutkan. Dwi mulai terlihat gencar menyerang. Kali ini permainannya dikombinasikan dengan netting (permainan di depan net), juga bola silang. Setelah netting dia akan mengangkat bola ke belakang, kadang ke tengah lalu netting lagi. Lawan pun kocar kacir mengejar bola. Kombinasi yang dilakukan oleh Dwi mulai terlihat hasilnya. Lawan terlihat kehabisan nafas. Lagi, Dwi memainkan kombinasinya, setelah lob jauh ke belakang dengan cepat bola diarahkan ke depan dengan net tipis. Sangat tipis. Lawan mengejar dan sliipp.. Lawan melakukan split tiba-tiba. Tapi percuma, bola terlalu tipis. Walaupun bola terangkat tapi masih menyangkut di net. Poin lagi untuk Dwi.

    Sepertinya Dwi memang ingin cepat-cepat menyudahi permainan ini dengan cepat. Sehingga dia mengeluarkan seluruh kemampuannya. Malang untuk lawan ketika tadi dia melakukan split dia menyerah. Kakinya sepertinya kesakitan. Tepatnya paha bagian dalamnnya yang selalu dipegang lawan.

    Pertandingan pun berakhir dengan kemenangan Dwi. Cepat. Terlalu cepat. Lihatlah sahabatku itu. bukankah dia hebat? Aku tersenyum puas. Tapi kantuk mulai menerjangku kembali. Aku menguap.

    Dwi mendatangiku “Yuk” Ajaknya.
    “Woi.. yang laen besok aja ya. Gue capek” Katanya menyudahi pertandingan malam ini.
    *
  • PHOTO-I-DON’T-KNOW-WHAT-THAT-IS

    Aku masih kelas 5 SD kala itu. Ketika bermain dilapangan dekat rumah sepulang sekolah, Dwi menemukan botol aneh didekat tempat sampah. Botol itu seperti botol obat bekas suntikan. Botolnya kecil, seperti botol minyak wangi oplosan ukuran 10ml. Seperti itulah botolnya.

    Yang aneh dari botol itu bukanlah bentuk dari botol itu sendiri. Akan tetapi, isi di dalam botol itu. sepertinya di dalam botol itu ada semacam kertas. Entah kertas apa. Namun jika melihat dari ketebalannya, kertas itu seperti kertas foto.

    Dwi berusaha mengambil isi di dalam botol itu, tapi sulit sekali. Karena lubangnya memang kecil. Tidak muat dilalui oleh jari kami. Lalu dipukulnya botol itu dengan batu namun botol itu tak kunjung pecah. Sepertinya botol itu cukup kuat walaupun ukurannya mini. Amat sangat mini.

    Tak hilang akal Dwi beranjak dari lapangan dengan terburu-buru. Dan ketika kembali, digenggamnya palu. Sambil menyeringai puas kearahku, dia memintaku mengangsurkan botol itu padanya. Ditaruhnya botol itu dan dihantamnya kuat-kuat. Botol itu retak. Dan beling kacanya mulai berserak. Disingkirkanya kaca-kaca itu dengan hati-hati. Lalu dengan sigap diambilnya kertas itu.

    Ternyata benar. itu kertas foto. Karena didalamnya terdapat gambar. Ih ih ih.. Foto apaaa ituuu.. Di dalamnya ada wajah seorang wanita yang menjulurkan lidahnya. Ekspresi wanita itu antara ingin terpejam tapi terbangun, mudahnya ekspresi merem melek (bahasa bakunya apa ya?? Hahay). Wanita itu menjulurkan lidahnya dengan pose menjilat. Menjilat suatu benda ditangannya. Tepatnya benda yang digenggam ditangannya. Benda itu sepertii..

    Dwi intens memandangi foto itu. Lalu dia merebutnya untuk dirinya sendiri. Tidak ingin berbagi denganku.

    “Rei masih kecil. Ga boleh ya” katanya padaku. Hah? #Apalah. Sama-sama kelas 5 ugh.

    Dengan sigap disimpannya foto-yang-aku-masih-tak-tahu-apa-itu di dalam kantong celana pendeknya. Aku merengut, dia tersenyum riang. Tangannya membelai dan mengacak-acak rambutku. Aku manyun. Bibirku minta dicium #Eeehh (ralat) Bibirku manyun bukan buatan. Hahaha..

    “Kita pulang. Laper” Ditariknya tanganku dan dibawanya aku beranjak dari tempat itu.

    Aku mengangguk. Aku memang sudah mulai lapar. Jadi aku setuju. Foto itu sementara terpinggirkan. Diganti oleh kukuruyuk perutku yang minta diisi sesuap nasi.

    Kami makan dengan lahap. Dia makan dirumahku tapi membawa piring dan lauk pauk dari rumahnya. Dia memang tetangga sebelah rumah. Ketika makan, tangan kirinya memegang sesuatu. Diam-diam kulirik kearahnya. Ternyata dia memegangi foto itu. matanya terlalu fokus menatapi foto-yang-entah-apa-itu..

    Rasa penasaranku yang tadi hilang, kini mulai naik lagi kepermukaan. Aku memutuskan untuk bertanya kembali.

    “Dwi.. itu foto apa? Kok..”

    Ditutupnya bibirku dengan jari telunjuknya “Ssstt.. Rei masih kecil. Ga boleh tau dulu. Nanti kalo udah waktunya aku kasih tau” Aku terdiam. Merengut. Dia tersenyum. Mengacak-acak rambutku.

    Hmmppttthh.. pipiku menggelembung.

    “Rei, aku janji. Tapi nanti. Oke?” Aku mengangguk.
    Dengan kata-katanya aku lemah. Dalam tatapannya aku percaya. Foto-yang-entah-apa-itu pun terlupakan. Tapi tidak bertahan lama. Sampai satu kejadian membawanya kembali untuk suatu penjelasan..
    *
  • THE ‘SUNATAN’

    Akhir Juni masih ditahun itu ada undangan datang ke rumahku. Undangan sunatan tepatnya. Undangan sunatan dari seorang Dwi Putra Sugiantoro. Seminggu setelah pembagian Rapot, undangan itu sampai ke rumahku.

    Ketika hari H tiba, dari pagi-pagi aku sudah datang ke rumahnya, melepas kepergiannya untuk berangkat ke dokter. Tapi dia belum pulang dari rumah sakit setelah lama kumenunggu. Aku bosan. Dan aku pamit pulang. Masuk ke kamar dan guling-gulingan ditempat tidur mengusir bosan. Tanpa sadar, aku tertidur.

    Ketika bangun dia ada disana. Disampingku. Lengkap dengan kain sarung birunya. Biru adalah warna kesukaannya. Dia merengut manja menatapku yang baru bangun tidur. Sudah siang ternyata. Tidurku lelap juga..

    “Rei, kok ga nunggu dirumahku?”

    “Aku bosan. Kamu lama pulangnya. Sakit ga?”

    Dia menggeleng “Ga. Kayak digigit semut”

    “Liat dong..” Pintaku penuh harap.

    Lagi-lagi, dia menggeleng “Ga boleh. Kalo mau dikamarku aja” jawabnya.

    Apa bedanya dikamarku atau dikamarnya? Tapi aku terlalu kenal dengan wataknya. Jika dia bilang kamarnya, maka kamarnyalah jawabannya. Dia nyaris tidak pernah menarik kata-katanya.

    “Oke. Yuk” aku bangkit dari tempat tidur dan menarik tangannya bergegas.

    Ssshhh.. Desisnya.. “Rei. Pelan..”

    “Maaf. Lupa. Hehe..” Nyengirku sambil menjulurkan lidah.

    Dijalan menuju rumahnya kami bertemu abang tetangga sebelah. Bang ucok dia biasa dipanggil. Bang ucok memanggil kami. Memanggil Dwi tepatnya untuk datang kearahnya.

    “Nah ini dia yang udah jadi laki. Nih ambil” Disorongnya amplop putih kearah Dwi. Didaerah kami memang ada kebiasaan seperti itu. Memberi amplop dengan sejumlah uang kepada anak yang baru disunat.

    “Sini abang liat” Dwi mendekat. Tangannya menepis tubuhku menjauh. Tetap. Dwi melarangku melirik juniornya. Pandangan matanya menyiratkan itu. aku tertunduk lesu.

    “Hm.. bagus bentuknya. Biar cepet sembuh sering-sering diliat cewek yang disuka. Biar bangun. Trus jahitannya lepas sendiri. Awas jangan ngelangkahin tai ayam.. bisa bengkak burung kau..” Kata Bang Ucok cepat.

    Dwi manggut-manggut lalu mohon diri. Kami lanjut melangkah ke rumahnya. Yang ternyata sudah tidak begitu banyak tamu yang datang. Orangtuanya menyambut kami. Tapi Dwi membawaku langsung menuju kamarnya. Ditutupnya pintunya.

    “Rei.. Sini” Diajaknya aku duduk bersisian dengannya ditempat tidur.

    Aku menurut. kutaruh bokongku disebelahnya. Digenggamnya tanganku. Seolah ingin memastikan kesiapanku melihat juniornya yang telah dikhitan. Aku yang tadi biasa saja, menjadi gugup karena tingkahnya.

    Dilepasnya tanganku. Dan dialihkan fokusnya pada sarung birunya. Disingkapkannya sarung biru tersebut. Kepalanya mengundangku melirik isi sarungnya. Aku dekatkan kepalaku. Dengan perlahan. Maju. Semakin maju. Yup. Sudah mulai terlihat. Makin terlihat. Amat sangat jelas terlihat. Juniornya ternyata sakit parah (itu pikirku waktu itu). Junior Dwi dibebat perban dan diberi banyak betadine (sepertinya).

    Penasaran. Aku turun dari ranjang. Kepalaku sejajar dengan selangkangannya. Aku berlutut diantara kakinya. Kudekatkan lagi kepalaku. Kuturunkan sarung birunya. Kedua tanganku kuletakkan diatas paha kokoh miliknya. Kudengar suaranya sedikit terkesiap.

    Kepalaku makin mendekat ke arah selangkangannya. Amat sangat dekat sekali. Mengamati junior miliknya. Apa yang menyebabkan dia ‘terluka parah’ seperti itu. Badan Dwi kurasakan menegang. Dengan jarak wajahku hanya beberapa centimeter dari perkakas miliknya, yang entah mengapa makin lama makin mengembang dan membesar. Aku mengangkat kepalaku dengan kedua tangan masih diatas pahanya. Menatap matanya.

    “Kamu sakit?” Dia menggeleng. Wajahnya tegang.

    “Kok diperban gini kalo ga sakit. Dokternya salah motong ya?” Dia melongo (#JawDrop) tak percaya dengan pertanyaanku. Yang entah polos atau bodoh pikirnya (mungkin).

    Dia membuang nafas. Wajahnya tidak lagi tegang. Malah dia tertawa. Iya. Tertawa. Tertawa dengan amat sangat lepas. Seolah seluruh ketegangan yang dia rasakan tadi lenyap. Aku garuk-garuk kepala tak mengerti. Sambil tertawa dia menggeleng-gelengkan kepalanya.

    “Rei.. Rei.. Hahaha.. aduh.. aduh.. sakit..” Dia mengaduh. Tapi entah mengapa masih terus tertawa.

    “Gara-gara Rei nih. Aduh. Rei lucu” Aku manyun mendengar kata-katanya.

    Kulihat lagi juniornya. Sudah tegang sempurna sekarang. Itu kan yang namanya ‘ngaceng’.. pikirku. Kenapa Dwi ngaceng? Kata bang Ucok bisa ‘bangun’ kalo dilihat sama cewek yang disuka. Tapi aku bukan cewek? Bang Ucok ngaco tuh..

    Dwi masih tertawa sambil mengaduh. Kenapa dia aduh-aduhan gitu sih. kuelus pahanya dengan kedua tanganku untuk meredakan rasa sakitnya. Dia malah gelagapan. Apa salahku? Aku bingung.

    “Rei.. Rei.. Udah.. Stop” Apa elusanku tidak enak? Aku melongo tidak mengerti.

    “Masih sakit?” kataku “kok tadi aduh-aduhan?”

    “Gara-gara kamu tuh Rei. Lagian kamu ngeliatinnya sampe begitu. Kan bikin tegang” aku masih tak mengerti. Bagaimana mungkin hanya dilihat bikin tegang. Aku biasa saja ketika dia melihatku waktu kami mandi bersama.

    Dengan manyun aku berkata “kok aku.. huufth”

    “Rei..” dielusnya kepalaku. Dibelainya rambutku.

    “Kamu masih inget foto yang waktu itu kita temuin Rei?” Aku mengangguk.

    Bagaimana aku bisa lupa? Aku kadang masih terngiang dengan apa isi foto-yang-entah-apa-itu.

    “Waktu kamu ngeliat ‘anu-ku’ tadi itu persis banget sama pose yang ada difoto waktu itu. Karena itu aku jadi tegang” Aku manggut-manggut walau tetap tak mengerti. Pose? Pose apa? Beda kali. Kan aku ga ngejulurin lidah kayak yang difoto-yang-entah-apa-itu..

    “Beda ah” Dia menggeleng

    “Sama Rei..” Aku tidak membantahnya. Percuma.

    "Beda.."

    Dia menggelengkan kepalanya “Sebentar. Ini Fotonya..”

    Dimasukkannya tangan ke bawah kasurnya. Dan diambilnya sesuatu dari bawah sana. Tadaaaaa.. Foto itu ternyata bersembunyi disana.

    “Mungkin udah waktunya kamu liat.. Biar kamu lebih dewasa. Ga kayak sekarang.. hahaha” Dia mengejekku. Jelas sekali, dia mengejekku.

    Lagi-lagi, entah untuk yang ke berapa kali, aku merengut.

    “Mana?” kataku akhirnya.

    “Ini..”

    Akan kuteliti foto-yang-entah-apa-itu degan seksama dan cermat secermat-cermatnya. Tidak akan kulewatkan satu bagianku. Ku ambil foto itu, Kudekatkan kebawah wajahku. Kuamati, kuteliti dengan seksama. Sangat cermat.

    Wajah itu wajah wanita. Ekspresi merek meleknya (masih belum tahu EYD yang tepat apa ya?) tersirat disana. Ada ekspresi nikmat seolah.. seolah.. hmm.. makan es krim? Seperti itulah. Tangannya yang menggenggam sesuatu.. sesuatu itu.. tunggu jangan ketangan dulu. Itu paha? Paha siapa? Tidak mungkin paha wanita itu. Paha itu berambut soalnya. Kepalaku agak pening melihat foto itu. Entah kenapa.

    Balik lagi ketangan yang menggenggam tadi.. itu.. itu.. itu apa sih.. aku menengok ke arah Dwi, mata kami bertemu lalu dia mengalihkan pandangan sambil bersiul. Aku balik lagi ke foto itu. sebelum balik mataku tertuju kearah sarung biru milik Dwi. Seolah tersadar. Itu.. ituu.. Jangan-jangan yang digenggam tangan itu.. Huuwwaaaaaaaa... Emmaaaaakkkk.. Tuluuunngg.. tuulluuuunngg..

    Kulempar Foto-yang-kini-terjawab-itu-apa secara tiba-tiba. Namun dengan cepat Dwi menangkapnya. Seolah sudah mengantisipasi reaksiku yang sedikit berlebihan. Tapi.. tapiii.. Foto-yang-sudah-terjawab-apa-itu.. iyuuuuhh.. itu foto dewasaaa.. emaaaakkk.. attuuuttt..

    Badanku memanas, mukaku memerah. Keringat mengucur deras dari wajahku. Dwi panik.

    “Rei.. Rei.. aduh.. gawat nih.. Tuh kan udah kubilang kamu masih kecil..” Nada suaranya panik namun jelas sekali ada senyum yang ditahan disana.

    “Dwi.. Dwi.. Ituu.. ituu..”

    “Itu stensilan..” Jelasnya menjawab pertanyaanku yang sulit kuucapkan.

    Stensilan? Apaan tuh? Hadeeuuuhh..

    “Itu foto dewasa kaliii.. masa itu stensilan. Mangnya stensilan itu apaan?”

    Tangan Dwi menepuk menutupi mukanya. What?! Apa yang salah? Pertanyaanku?

    “Udah. Jangan dibahas. Ini rahasia. Oke?” Katanya. Aku mengangguk. Tentu saja. Aku gila jika menceritakannya pada orang lain. That’s a big no no gituu..

    “Sama kan?” Apa yang sama pikirku..

    Lalu pemahaman tiba-tiba menghantamku. Pose itu. Foto-yang-sudah-terjawab-apa-itu. Lalu posisiku yang berada diantara kedua pahanya, tepat di depan selangkangannya. Huuuwwaaaaaaaa...

    “Nah kan. Ngaku juga.. Hwahahaha..” Tawanya berderai puas. Sangat puas. Mukaku memerah. Malu bukan kepalang.

    Huuuwwwaaaaaaaaaa.. Eemmaaaaaaakkkkk...
    *
  • edited April 2014
    Jilat leher jilat telinga jilat-jilat yang lainnya..
    Banguunn.. Banguuunn.. Baanngguuuunn...

    @octavfelix‌
    @bayumukti‌
    @titit
    @tarry
    @angelsndemons‌
    @alvaredza
    @TigerGirlz‌
    @Zazu_faghag‌
    @arifinselalusial‌
    @FransLeonardy_FL‌
    @haha5
    @fadjar
    @zeva_21‌
    @YogaDwiAnggara‌
    @inlove‌
    @raka rahadian
    @Chy_Mon‌
    @Cruiser79‌
    @san1204‌
    @dafaZartin‌
    @kimsyhenjuren‌
    @3ll0‌
    @ularuskasurius‌
    @Zhar12‌
    @jujunaidi‌
    @edogawa_lupin‌
    @rickyAza‌
    @rebelicious‌
    @rizky_27
    @greenbubles‌
    @alfa_centaury‌
    @root92‌
    @arya404‌
    @4ndh0‌
    @Angello‌
    @boybrownis‌
    @jony94‌
    @Sho_Lee‌
    @ddonid‌
    @catalysto1‌
    @Dhika_smg‌

    Guys.. Maaf ya.. Bangunin sambil jilat-jilat tengah malam..
    Sambil menunggu cerita Alfi (yang lagi saya ketik), saya kasih cerpen ini buat kalian..
    Hope you guys love it. karena cerita ini based on true story Author nih..
    Happy Reading guys^^
  • Guys..
    cerita ini udah hampir selesai saya ketik.
    butuh waktu 2 jam lebih dikit buat ngetiknya.
    tapi karena ide buat nulis memori ini mengalir deras, jadi cepet banget kelarnya..

    Mohon komentar dari kalian..
    Perlukah cerita ini dilanjut atau berhenti sampai di bagian ini ajah.. krn itu baru 10 halaman word yang aku post..
    masih ada sekitar belasan halaman lagi..

    komen kalian yang nentuin lanjut atau tidaknya cerita ini..
    so.. Spit it guys..

    LOve you All.. Muuuaaacchhh.. #CipokBasah
  • Sukaaa! Lanjuuut kak. Rei itu yg d alfi ato kebetulan nmany sma yo?
  • @Zazu_faghag‌ itu namaku. nama panggilanku. sesuai nick.. fuuma itu slh satu karakter fav. d x-clamp. rei itu dr namaku..
  • tp beda kok sm yg d Alfi @Zazu_faghag‌ ..
  • Oo gtu. Lanjoot yg cpet y kak..
  • Aduhh ciuman pertamanya umur 5 taun eaaaa...
    Gmna rasanya msh kcl gtu,, :))

    lanjut bangg...,, gemess,
  • mau dong dijilat beneran, hehehehe
  • @Zazu_faghag klo yg ini udh kelar d ketik kok. kn cm cerpen dg si jagoan bulu tangkis itu..

    @boybrownis *Maluuuu* #NgumpetdiBelakangDwi
  • @san1204 *Sllrruuuppp* #Jilatnih
  • anjrit pagi pagi dah bikin gw ketawa gagak gini dasar rei wkwkwkkwkwkwkkwkkwkwkwkkwkwkwkkwkwkk REI gimana asik yach ngeliatin anu nya aa dwi #jitakREI
  • LANJUT REI TP GW KANGEN ALFI
Sign In or Register to comment.