It looks like you're new here. If you want to get involved, click one of these buttons!
Copyright 2021 Queer Indonesia Archive. See our Privacy Policy. Contact us at [email protected]
Dengan menggunakan situs ini berarti Anda setuju dengan Aturan Pakai.
BoyzForum.com adalah situs anti pedofilia!
Comments
gimna eri?
trs Rio ada rasa sama ama eri?
paket komplet masalahnya?
Semangat yea,,,,!!!
ahhhh gue kecewa sama lu Er*lari dibawah guyuran hujan*
Bella si pengganggu #cekek
Eri terdiam ketika guru olahraganya mulai mengabsen mereka satu per satu di lapangan luar sekolah.
Sebelum nya ia sempat melihat Daniel yang dihukum untuk berdiri di tengah lapangan – lapangan dalam sekolah – oleh pak sarijo. Entah apa yang membuat Bella lepas dari hukuman , dan sekarang berdiri di barisan paling belakang bersama ‘geng’nya.
Setelah selesai mengabsen , guru olahraganya menyuruh semua anak untuk melakukan pemanasan dengan lari keliling lapangan 3 putaran – yang disambut dengan enggan oleh para perempuan.
Eri menghela nafas ketika mendengar keluhan dari barisan perempuan di belakangnya. ‘apa sih susahnya untuk berlari keliling lapangan 3 kali?’ batinnya.
Namun ternyata Eri sudah hampir kehabisan nafas di akhir putaran ke 3. Tak sedikit yang berhenti di putaran ke 2 – khususnya para perempuan – mengingat luas lapangan luar yang lebih lebar daripada lapangan dalam sekolah.
Hanya sebagian kecil – seperti Arya – yang sudah biasa berolahraga, dan bahkan tampak segar untuk melanjutkan beberapa putaran lagi.
“capek?” tanya Arya sambil menghampiri Eri yang sedang mengatur nafas.
Eri tidak langsung menjawab, melainkan mengatur nafasnya yang terengah engah lebih dulu, dan membetulkan letak kacamatanya.
“…. Di-dikit..”
Arya tersenyum kecil dan merangkul Eri yang lebih pendek di sampingnya. “kalo capek istirahat aja dulu, gak usah dipaksain ya,” ujarnya sambil mengacak acak rambut Eri.
Arya melepaskan rangkulannya ketika guru olahraga mereka menyuruh untuk kembali berbaris. Dengan tampang kusut , beberapa murid yang sedang duduk kelelahan memaksakan diri untuk kembali ke dalam barisan.
Olahraga mereka hari ini adalah lompat jauh, yang di lakukan di sebuah kotak berpasir di samping lapangan. Panjangnya hampir 4 meter dan lebarnya sekitar 2 meter, agak terlalu luas jika hanya digunakan untuk lompat jauh.
Giliran di tentukan dari nomor absen teratas sampai terbawah, membuat Eri mendapat kesempatan untuk beristirahat. Ia duduk tak jauh dari kotak berpasir tersebut, walau ia lebih memilih untuk menjauhi kerumunan anak lainnya.
Eri sedang memperhatikan ketika salah satu temannya gagal melakukan start dan harus mengulang, ketika Bella duduk di sampingnya, tersenyum.
“apa?” tanya Eri. Mukanya tampak ramah, walau nada suaranya menyiratkan hal yang berlawanan – hal yang tidak Bella sadari.
“gue gak perlu ngasih tau sesuatu yang udah lo tau.” Jawab Bella ceria dengan muka sama ramahnya dengan muka Eri.
Untuk sekejap Eri bingung, namun otaknya tak pernah mengecewakannya , karena ia langsung tahu kemana tujuan pembicaraan ini.
“coba gue tebak,emmmm masalah perjodohan?” tebak Eri – yang dengan sengaja – menampilkan senyum datar di bibirnya.
Bella tersenyum puas, walau bibirnya lebih bisa disebut ‘menyeringai’ dari pada tersenyum. “dan asal lo tau, orang tua Daniel sendiri udah setuju dengan perjodohan itu” tambah Bella.
“tapi Daniel sendiri belom setuju kan”
Bella memandangi Eri dengan senyum palsu yang membuat Eri merasa dikasihani oleh perempuan itu. Senyum Eri sendiri pun memudar.
“Eri Eri Eri..” Bella menyebut namanya dengan jeda kurang dari satu detik. “mau sampe kapan lo kayak gini? Apa lo gak tau , hubungan lo ama Daniel itu udah mulai dilirik sama semua orang. Mereka semua ngerasa ada yang aneh ama lo berdua, lo berdua terlalu…… ‘deket’ ”
Eri menghela nafas saat ia mulai menjawab. “gue gak peduli apa kata orang, selama gue gak salah – “
“ – gak salah? Lo ngerasa gak salah?” sambar Bella, tetap dengan senyum di bibirnya. “hubungan lo berdua itu salah! Mana ada dua cowok yang kemana mana bareng, dateng ke sekolah bareng, pulang bareng , dan jangan kira gue gak tau Daniel pernah nyium lo.”
“berita tentang lo berdua udah nyebar, dan gue cuma butuh sedikit api untuk menebarkan asap ke seluruh sekolah.” Tambah Bella.
“apa mau lo?” tanya Eri , saat ia menyadari Bella mengancamnya secara tidak langsung. Eri sendiri menikmati kedekatannya dengan Daniel, walau ia menyadari bahwa hubungannya dengan Daniel tidak seperti pertemanan biasa.
“gue mau lo mundur. Jauhin Daniel , karena dia lebih pantes bareng gue daripada ……” Bella menatap Eri dari kaki hingga ujung kepala. “daripada lo”
Eri mendengus menahan tawa. “maksud lo apa? Lagian gue cuman adek-adekannya Daniel, ada atau ga adanya perjodohan lo , gue bakal tetep deket sama Daniel.”
“lo kira orang bakal percaya kalo hubungan lo berdua cuma kakak-adek bohong bohongan itu? apa lo mau Daniel di cap sebagai homo??”
“apapun yang lo bilang, gue sama Daniel cuma kakak-adek doang. Dan lagian gue udah kenal dia lama sejak kita masih kecil, kita berdua udah deket bahkan sebelum lo denger nama dia pertama kali. Dan gue gak pernah maksa Daniel buat deket sama gue, dia yang mau sendiri.” Balas Eri kesal.
“itu karena lo udah ngerusak dia” ujar Bella, membuat kilat sekilas meluncur di mata Eri. “gue yakin dia itu normal, tapi gara gara ke-homoan lo – “ Eri mengepalkan tangannya begitu keras, sehingga ia bisa merasakan kukunya mulai menembus kulit. “ – dia jadi rusak kayak lo , dasar lo sakit jiwa! bisanya ngerusak idup orang doang” lanjut Bella.
Sekilas Bella tampak puas ketika melihat ekspresi shock Eri, dengan air mata yang mulai menggenang di sudut matanya.
Namun Eri langsung memasang muka datar dan tersenyum lebar – giliran Bella yang shock dengan perubahan ekspresi Eri.
“kalo gitu , jangan anggep gue bakal nyerah gitu aja” balas Eri dengan senyum terlebar yang bisa ia berikan, membuat Bella meliriknya ngeri dan beranjak dari sampingnya. Eri sempat mendengar Bella menggumamkan sesuatu seperti – “.. sakit jiwa ..” – ketika perempuan itu menjauh.
Eri memandangi tangannya ketika seekor kucing memutuskan untuk lewat di dekat kakinya. Kucing itu tampak jinak, dan bahkan tak menolak ketika Eri mengulurkan tangannya untuk mengelus kepala kucing itu.
Sekali lagi, Eri melihat sebuah sisi lain dari seorang manusia. Sisi gelap yang tak pernah dilihat siapapun kecuali orang orang yang menjadi korbannya. Sisi kejam, licik dan picik yang tersembunyi di balik topeng setiap manusia.
Eri mengacak acak rambutnya sendiri karena pusing, membuat kucing di sampingnya lari karena gerakan mendadak itu. Ia mendadak teringat hal yang hampir dilupakannya, alasan yang membuatnya dulu menjadi jauh dari Daniel. Dulu sempat ada perempuan yang berada di sisi pemain basket itu……..
∞
Seharian itu Eri menjauhi Daniel , bukan untuk memenuhi permintaan Bella – yang mengira Eri menyerah – namun karena ia butuh waktu sendiri.
Kepalanya sibuk memikirkan masalah orang lain, dan yang ia putuskan untuk menjadi prioritasnya adalah masalah antara Kemal – Rara. Selain karena ia sudah berjanji pada Kemal akan membantunya, Eri merasa inilah yang paling mudah untuk di selesaikan.
Dan hal itu lah yang membuatnya langsung mencari Rara ketika jam istirahat berbunyi.
Eri langsung melesat keluar kelas ketika bel bahkan baru berbunyi beberapa detik, tak ingin kehilangan waktu untuk mencari Rara.
Ia sudah berada di depan kelas Rara, cuma untuk melihat bahwa Rara tidak ada di sana. Eri memutuskan untuk berkeliling, tapi ketika ia tak menemukannya dimana mana – bahkan Eri sudah menunggu di depan setiap toilet perempuan – Eri menghela nafas kesal.
Nafasnya memburu ketika ia tak kunjung menemukan Rara, ia ingin segera menyelesaikan masalah yang satu ini sehingga ia bisa memfokuskan kepalanya untuk masalah lain. Tanpa arah, Eri berjalan menyusuri kelas kelas kosong yang berada di lantai 3.
Dan di sanalah ia mendengar suara keras yang sedikit teredam.
Kepalanya langsung menoleh ketika mendengar suara keras di salah satu kelas kosong. Suara gebrakan meja, dan seruan seseorang yang Eri. Ia menajamkan telinganya sambil mengikuti arah suara, dan ia sampai di sebuah kelas kosong.
Rara ada di dalamnya, begitu pula Cecilia dan teman temannya. Seorang perempuan yang selalu membentak Rara juga ada di sana, menahan Rara dengan tangannya ke arah tembok.
Ketiga temannya berdiri mengelilingi mereka, sesekali ikut membentak Rara atau bahkan menampar pipinya. Sedangkan Cecilia berada di belakang sang pembentak, ekspresinya tak terbaca.
“udah berapa kali gue bilang hah? Jauhin Kemal! Lo denger gak!?” sang pembentak berseru tepat di depan muka Rara, yang hanya diam di bawah tekanan seperti itu.
“denger gak lo!? Dasar jab***!” sebuah tamparan melayang ke pipi Rara , membuatnya mengernyit merasakan nyeri di wajahnya.
“farah! jangan kenceng kenceng, entar ada guru yang denger.” Keluh Cecil ke arah – pembentak–Rara itu.
“bodo! Disini jarang ada guru lewat!” bantah perempuan itu.
“tapi kayaknya udah cukup, gue males lama lama disini” balas Cecilia , yang jelas enggan – atau bahkan jijik – berada di dalam kelas itu.
“ah cupu lo!” bentak perempuan yang di panggil Farah itu ke arah Cecilia.
Cecilia tampak akan membalas, ketika terdengar suara langkah kaki , dan mereka semua menengok ke arah Eri di depan pintu, ngeri dengan apa yang mereka lihat.
“oh…” ujar Eri sambil melihat para penyerang Rara. “emm haruskah gue keluar sambil pura-pura gak liat, atau gue panggil guru dan mastiin lo semua gak bakal naik kelas?” lanjut Eri, berpura-pura bingung dengan pilihan yang diajukannya sendiri.
“cih. Cabut!” sergah Farah, dan ia bergegas keluar kelas dengan di ikuti ketiga temannya termasuk Cecilia.
Eri dan Cecilia sempat bertatapan di ambang pintu ketika perempuan itu melewati Eri, ekspresi keduanya sama sekali tak terbaca, namun Cecilia tampak lebih lega setelah ia keluar dari ruangan.
“Lo gak pa pa?” tanya Eri sambil menghampiri Rara yang sekarang duduk merosot di tempat ia berdiri tadi.
Rara mengangguk, tempat bekas tamparan yang bersarang di pipinya sekarang mulai memerah, kontras dengan kulitnya yang putih.
Helaan nafas keluar dari mulut Eri, dan anak itu duduk bersila di samping Rara. “mau sampe kapan kayak gini? “ tanya Eri – dan ia kembali membuka mulut ketika tak ada tanggapan dari Rara – “ lo gak capek apa?”
Rara lebih memilih diam, matanya menatap lurus ke arah lantai. Eri tidak akan menyerah, karena ia sudah berjanji akan menyelesaikan masalah ini.
“gue bisa datengin mereka kalo lo mau” tawar Eri, yang tetap membuat Rara bergeming. “atau gue bisa ngikutin lo kemanapun, jadi mereka gak bakal punya kesempatan buat nge-bully lo”
“lily juga bahkan berusaha nolongin supaya lo gak di ancem terus..” ujar Eri. Rara langsung menoleh begitu mendengar nama Lily disebut, membuat Eri puas karena bisa menarik perhatian Rara.
“Lily … lo bilang lily ngapain?” tanya Rara tidak percaya.
“dia berusaha supaya lo ga diancem, gue pernah denger dia dan para pengancem lo ngomong sesuatu tentang imbalan..” jawab Eri.
Rara mendadak mengangkat kedua tangannya menutupi muka, dan sesaat kemudian saat ia menunjukkan mukanya, ia mendengus geli , seakan yang diucapkan Eri barusan adalah hal yang lucu.
“dia.. apakah dia ngebayar kakak kelas itu atau semacamnya supaya mereka gak ngancem gue?” tanya Rara dengan senyum di wajahnya.
Eri mengangguk angguk, mengira suasana hati Rara telah membaik. Setelah melihat reaksi Eri, Rara tertawa, suara tawanya yang renyah mengisi ruang kelas itu.
Eri baru saja mau bertanya kenapa ia tertawa, ketika Rara menepuk bahu anak itu dan berkata dengan nafas tertahan, seakan ia ingin menahan tawa.
“ Justru Lily yang bayar mereka buat ngancem gue!”
∞
Bel pulang sudah berbunyi, namun Eri masih duduk diam di kursinya. Dari siang tadi entah berapa guru yang menegurnya karena melihat pandangan mata Eri yang kosong. Bukan salah Eri jika ia bengong, karena kepalanya penuh dengan percakapan antara ia dan Rara.
.
.
.
“sebaliknya, justru Lily yang bayar mereka buat ngancem gue!” ujar Rara, membuat Eri bengong.
“m-mana mungkin ra, lo yakin?”
“mereka sendiri yang ngomong ke gue, dan nunjukin sms dari nomer Lily yang nyuruh mereka supaya ngancem gue” jawab Rara.
Eri terdiam karena kaget, namun karena melihat reaksi Rara yang aneh – karena teman dekatnya sendiri terbukti mengkhianatinya – Eri tak tahan untuk bertanya.
“kalo gitu kenapa lo ketawa?..”
Rara kembali tersenyum. “karena gue udah tau, semua temen gue itu cuman sampah yang bakal nusuk gue dari belakang!” jawab Rara sambil merapikan roknya seraya ia berdiri.
Rara kembali tertawa, namun Eri sempat melihat sebuah air mata yang menetes jatuh dibalik tawanya yang menggema.
.
.
.
Eri melepas kacamatanya dan memijit pangkal hidungnya, tempat kacamatanya bertengger dan meninggalkan bekas disana. Kepalanya pusing karena informasi yang membuatnya sendiri heran. Informasi yang tak ingin dia percayai.
“er? Eri?”
Eri menoleh ketika mendengar namanya dipanggil.
“gue pulang duluan ya” Arya berdiri dan memakai tasnya. “lo mau bareng?”
Eri ragu sesaat, namun ia menggeleng. Entah kenapa ide bahwa ia akan pulang dengan orang lain membuatnya merasa bersalah pada Daniel, ia sendiri tak tahu kenapa.
“hati hati ya” ujar Eri sambil tersenyum kecil. Arya tampak terpaku sesaat, dan ia memutuskan untuk mengacak acak rambut Eri dulu sebelum akhirnya berjalan keluar kelas.
Eri berusaha merapikan rambutnya ketika Daniel duduk di kursi Arya.
“kamu kenapa?” tanya Daniel khawatir. Ia tampak memakai jaket abu abunya yang sama dengan punya Eri.
Eri menggelengkan kepala, tak ingin menunjukkan kebingungannya kepada Daniel.
“gimana perjodohannya?” tanya Eri dengan cengiran di wajahnya, namun Daniel tetap bisa melihat kegelisahan Eri di mukanya.
Daniel menghela nafas singkat sebelum menjawab. “… kakak udah nolak dek, tapi orang tua kakak maksa supaya kakak seenggaknya ketemu sama calon itu, dan kamu harus tau calonnya siapa..”
“bella?” jawab Eri , dan ia langsung menyesali kecepatannya melontarkan jawaban ketika melihat ekspresi bingung Daniel.
“kok kamu bisa tau dek?”
“n-nebak aja kak..” jawab Eri salah tingkah.
“ohhh…”
Keduanya terdiam ketika tak ada yang melanjutkan pembicaraan.
“kamu kenapa sedih sih dek?” tanya Daniel lagi. Kali ini ia memajukan mukanya untuk melihat wajah Eri lebih dekat. Eri sontak langsung menjauhkan kepalanya ketika hidung Daniel hampir menyentuh hidungnya sendiri.
Untung saja seluruh isi kelas sudah bubar, kalau belum mungkin Eri tidak akan berani sedekat itu dengan Daniel – mengingat apa yang di sampaikan Bella tentang nama baik Daniel.
“e-enggak aku gak sedih kok” jawab Eri. Dan ia mengambil keputusan yang tepat untuk menjauhkan kepalanya, karena sedetik kemudian Bella berderap memasuki kelas.
“Daniel! Anterin gue pulang donggg, gue gak tau pulang naik apa nihh..” pinta Bella dengan nada yang dibuat buat.
“biasanya lo selalu dianterin supir kan?” tanya Daniel.
“supir gue gak bisa jemputt, dan lo lupa apa yang orang tua kita kan bilang, kalo kita harus mengakrabkan diri satu sama lain!” ujar Bella sambil menarik lengan Daniel.
Daniel dan Eri bertatapan. Tentu saja Eri berharap Daniel akan menolak, namun sayangnya ia hanya melihat tampang pasrah pemain basket itu, yang seakan meminta maaf.
“anterin aja dia pulang.” Jawab Eri datar , sambil memakai tasnya dan bergegas keluar ruangan. Entah kenapa ia merasa kesal karena Daniel tidak langsung menolak, dan Eri bahkan sudah menolak tawaran Arya tadi.
‘Daniel tak mengejar..’ batin Eri sambil melihat ke arah pintu kelasnya. Ia menghela nafas , namun sedetik kemudian ia tersadar, kenapa ia harus kesal kalau Daniel tidak mengejarnya?..
Seraya menggigit bibirnya sendiri, Eri berjalan cepat keluar sekolahnya dan tanpa sadar ia sudah sampai di gerbang ketika ia melihat sosok yang ia kenal.
Rio sedang duduk di atas motornya, memandang lurus ke arah sekolah ketika ia melihat Eri keluar dari sana dengan air mata yang sudah menggenang di matanya.
Eri tidak memikirkan kenapa Rio bisa berada di sini, ia sendiri tidak peduli apapun alasannya.
Sejenak mereka berdua berpandangan, Eri kaget melihat Rio di gerbang sekolah, dan Rio kaget melihat Eri yang tampaknya akan menangis. Tak ada yang tampaknya bisa berkata kata duluan.
Namun Rio lah yang mengambil tindakan duluan, ia menghampiri Eri dan langsung memeluknya. Perasaan nyaman yang memenuhi Eri membuat air matanya malah mengalir, dan ia menangis di dalam dekapan Rio.
“udah udah…” hibur Rio sambil mengelus bagian belakang rambut Eri dengan lembut. Beberapa anak yang pulang terlambat memperhatikan mereka saat melewati gerbang, namun Rio tidak peduli apapun pendapat mereka.
Eri menempelkan mukanya di bawah dagu Rio, dan sekali lagi ia mencium bau manis coklat dari tubuh kakaknya.
“kita pulang, ya?” ujar Rio, dan itu adalah pernyataan , bukan pertanyaan.
Page twenty five – Truth
Alih-alih membawa Eri pulang ke rumah seperti yang ia janjikan, Rio malah memacu motornya ke arah ruko ruko yang cukup jauh dari sekolahnya. Tempat salah satu restoran yang menjadi favorit masyarakat sekitar.
Suara riuh rendah pengunjung memenuhi seisi ruangan restoran itu. Restoran cepat saji dengan maskot badut berambut merah dan memakai baju berwarna kuning. Restoran itu identik dengan anak-anak muda, pasangan pasangan , namun sesekali juga terlihat keluarga kecil di salah satu sudutnya.
Eri dan Rio duduk di sebuah meja putih yang di desain memang hanya untuk dua orang, di samping mereka terdapat kaca besar yang menampilkan jalan raya di depan restoran. Kendaraan bermotor berlalu-lalang di sana, tidak memikirkan apapun selain urusan masing-masing.
Meja di sekeliling mereka penuh dengan pengunjung, karena memang banyak yang memilih untuk duduk di dekat jendela tersebut.
Pandangan Eri tertuju pada jari jarinya sendiri yang sedang memegang minumannya, entah berapa lama ia telah memegang minuman itu namun tak kunjung meminumnya.
Rio duduk di depannya sambil memandang Eri sesekali, berjaga jaga kalau Eri akan menangis lagi. Kedua tangan Rio terletak di atas meja, bersisian dan bertumpu pada sikunya.
“kamu mau?” tawar Rio sambil mengacungkan sebuah burger daging keju. Rio memakai kemeja kotak kotak berwarna merah dengan jeans sebagai bawahan, pakaian yang biasa ia pakai untuk kuliah. Lengan kemejanya yang panjang ia gulung sampai siku, menunjukkan kulitnya yang cerah.
Eri mengangkat kepalanya, terlihat ragu namun akhirnya ia menggelengkan kepala.
Rio menaruh burger itu di depannya, tampak resah ketika Eri menolak tawarannya.
Kepala Eri terlalu penuh untuk memikirkan hal yang lain. Lily – sahabat dekatnya – mengkhianati Rara , yang juga sahabat dekatnya. Hubungan Rara dan Lily baik baik saja selama ini, dan Eri tidak terpikirkan alasan apapun kenapa hubungan mereka memburuk.
Sedangkan Daniel, seluruh tubuh Eri tiba tiba kaku jika mengingat masalah itu. Ia tidak mempermasalahkan Daniel di jodohkan, tapi kenyataan bahwa Daniel bahkan tidak berpihak padanya membuat Eri sedih – lebih tepatnya, kecewa.
Namun kenapa ia harus kecewa? Bukannya terserah Daniel ia mau melakukan apa? Bukankah itu semua keputusan Daniel, dan Eri tidak boleh mencampurinya?
Tapi tetap saja Eri merasakan sesak yang tak kunjung hilang di dalam dada nya. Ia tahu Daniel sayang kepada kedua orang tuanya, walau sesekali ia mengeluh tentang mereka. Dan Daniel tak pernah berfikir untuk menentang orang yang telah melahirkan dan mengasuhnya.
Eri menghela nafas, dan ia menempelkan sisi kepalanya di atas lengan, menggunakan lengannya sebagai bantal saat ia menatap menembus jendela restoran.
Angin membuat pohon pohon di pinggir jalan seakan melambai, dan daun daun yang berguguran seakan menari di udara ketika melayang di hadapan Eri.
Rio memandang Eri dalam diam. Ia baru sadar bahwa ada sesuatu pada adiknya yang membuatnya tak akan bosan memperhatikan anak itu, setiap senti kulitnya , matanya yang kecoklatan seperti matanya , hidungnya yang mengambil bentuk hidung Rio , rambutnya yang bergelombang membuat Rio ingin membenamkan tangannya dan merasakan tiap helai rambut Eri.
“kenapa?” tanya Eri dengan kepala yang kembali tegak. Ia merasa Rio memperhatikannya, dan entah kenapa ada perasaan menggelitik pada kulitnya yang membuatnya tidak nyaman.
“gue baru sadar kalo kita mirip..” jawab Rio , yang tampak tak terganggu saat ia ketahuan memperhatikan adiknya.
Eri mencibir “kakak baru sadar sekarang?” dan sebuah senyum simpul muncul di bibirnya. Sebuah pertanyaan tiba tiba terlintas di pikiran Eri , pertanyaan yang langsung keluar dari mulutnya begitu saja.
“kak... kenapa kakak dulu ngejauhin aku?”
Rio tampak tersentak ketika mendapat pertanyaan yang tidak terduga itu – Rio sudah menyadari cepat atau lambat ia akan mendapat pertanyaan ini, tapi ia tidak menyangka akan secepat ini dan dalam kondisi begini.
“dulu kakak gak pernah ngomong sama aku, jangankan ngomong , ngeliat aku aja kayaknya gak pernah. Aku selalu mikir, emang aku pernah salah apa ke kakak sampe kakak jauhin aku. Kalo aku emang ada salah tolong maafin aku kak..” ujar Eri, perasaan lega langsung memenuhi dadanya , seakan ada beban berat terangkat dari paru parunya.
Memang ini bukan saat yang tepat karena pikirannya justru sedang penuh karena hal lain, tapi kalau dalam keadaan biasa, Eri tak mungkin berani mengatakannya.
Keheningan melanda sebelum Rio membuka mulutnya. “….. lo mungkin udah lupa, tapi gue masih inget seakan kejadian itu baru kejadian kemaren..”
“kejadian itu?”
Rio mengangguk.
“kejadian itu terjadi udah lama, waktu lo masih kecil. Kalo lo gak inget, dulu tuh kita deket banget , sebelom lo kenal sama temen lo itu…” Rio ragu ketika akan melanjutkan, namun Eri sudah terlanjur tertarik dengan ceritanya.
“dan dulu… “ Rio tampak salah tingkah dan sesekali ia melihat ke arah lain selain Eri. “dulu gue pernah nyium lo, pas di bibir.”
Seakan waktu berhenti sedetik, semua kerja dalam tubuh Eri ikut berhenti. Nafasnya tercekat, detak jantungnya seakan berhenti sekejap , dan matanya melebar.
Eri bisa merasakan mukanya memanas, dan ia segera mengalihkan pandangannya. ‘kalo misalnya apa yang dikatakannya itu bener, berarti itu pasti terjadi dulu sekali..’ batin Eri. Tapi kalau begitu, kenapa mukanya memerah?
“t-terus apa masalahnya?” tanya Eri dengan muka memerah. “kalopun itu beneran, itu kan udah lama banget pas kita kecil, pas kita belum tau apa apa”
Rio tersenyum , baru pertama kali Eri melihat kakaknya tersenyum setulus itu.
“lo gak tau dulu orang tua kita kayak gimana, mereka ngamuk. Gue gak tau kenapa mereka bisa semarah itu, dan akhir akhir ini gue baru tau kalo ternyata mereka takut ada apa apa di antara kita. Mereka takut kita jadi suka satu sama lain. Mereka terlalu paranoid dengan masalah itu.” ujar Rio, senyum sudah menghilang di wajahnya, digantikan ekspresi tegang.
“t-tapi waktu itu kita masih kecil kan…” ujar Eri heran.
“mereka ga peduli soal itu. yang gue tau mereka benci segala ‘hubungan’ yang tidak sesuai dengan apa yang mereka sebut sebagai norma masyarakat. Makanya sejak saat itu gue di larang ngedeketin lo , dan mereka nyuruh gue ngehindarin lo supaya lo benci sama gue.”
Eri mengerutkan kening. Ia tidak heran dengan cara berpikir orang tuanya – karena Eri sendiri tidak tahu isi pikiran mereka – namun ia tidak suka dengan ide orangtuanya yang membuat ia dan Rio menjauh.
“t-tapi bukannya itu – “
“ –berlebihan ?” potong Rio. Eri menganggukan kepala. “mereka paranoid dek. gue gak tau kenapa mereka bisa kayak gitu. Mereka ngelakuin segala cara supaya kita berdua sibuk. Makanya lo selalu disuruh belajar kan?”
“t-tapi ini semua – “
“gak masuk akal?” potong Rio sekali lagi. Kali ini Eri menatapnya heran.
“kenapa kakak bisa tau apa yang bakal aku omongin?” ujar Eri bingung.
Rio tertawa, membuatnya tampak lebih tampan dan bahkan Eri menyadari beberapa perempuan di sekitar mereka memperhatikan Rio sekarang.
“semua kebaca dari muka lo yang polos itu. dan tentang masuk akal atau enggak, memang itulah kenyataan yang terjadi , terserah lo mau percaya atau enggak.”
Merasa bahwa otaknya terlalu penuh untuk mencerna masalah lain, Eri menerima semua yang Rio katakan begitu saja.
Aneh memang, mengingat orang tuanya yang tampaknya tidak peduli dengan anak anaknya ternyata menyimpan ketakutan yang berlebih di balik tampang mereka yang tenang.
Entah kenapa ada perasaan senang dalam Eri. Ternyata selama ini kakaknya bukan secara sengaja menjauhinya, melainkan karena paksaan orang tuanya , dan mengetahui itu saja membuat jantung Eri berdetak gembira. Namun ada yang mengganjal lagi di dalam kepala Eri.
“kalo gitu kenapa akhir akhir ini ….” Eri sengaja tidak melanjutkan kata katanya.
“kenapa akhir akhir ini gue ber-interaksi sama lo?” tanya Rio. Dan Eri mengangguk.
Rio tampak salah tingkah, dan pipinya bersemu , persis seperti Eri ketika ia malu. “karena….. gue gak rela liat lo terlalu deket ama temen lo itu.”
“daniel?” tanya Eri.
“gue gak perlu tau namanya.” Sambar Rio dengan pipi memerah. “gue gak rela lo manggil dia kakak, dan gue gak rela dia manggil lo adek….”
Muka Eri makin memerah mendengar perkataan Rio. Mereka berdua berhadapan hadapan dengan muka yang sama sama merah, dan masing masing tak berani menatap satu sama lain.
“t-terus … kakak maunya apa?..” ujar Eri hati hati.
“lo.. gue mau lo jadi adek gue..” jawab Rio.
“tapi aku emang adek kakak kan..”
“gue mau lo bener bener nganggep gue kakak, lebih dari temen lo itu.” ujar Rio sambil menatap lurus ke mata Eri, membuat anak itu langsung mengalihkan pandangannya.
“a-aku gak tau.. Daniel selalu ada di saat.. di saat kakak gak ada.”
“tapi gue kakak kandung lo, ikatan kita harusnya lebih deket daripada lo sama temen lo itu. Gue bisa ngelakuin lebih daripada yang temen lo itu lakuin. Gue sayang sama lo dek.”
DEG.
Eri bisa merasakan perasaan menggelitik di wajahnya, yang berarti aliran darah mengalir lebih cepat ke kepalanya.
Seketika kemampuannya untuk bernafas seakan menurun, membuat paru paru nya mengembang dan mengempis dengan cepat , dalam usaha mencari udara.
Tangannya tiba tiba saja kehilangan tenaga, dan terkulai lemas di atas meja. Entah kenapa lima kata terakhir dari Rio seakan menusuk telinganya, menembus otaknya dan menari nari liar di alam bawah sadar Eri.
Menggigit bibirnya sendiri, Eri berusaha menenangkan diri.
Daniel saja butuh waktu bertahun tahun supaya bisa menjadi orang yang paling berharga bagi Eri, namun sekarang Rio melewati tahap bertahun tahun itu hanya dalam beberapa hari. Eri mau tak mau mengakui bahwa sebagai saudara kandung, memang ada ikatan yang tak terlihat di antara mereka.
Air mata menggenang di mata Eri, dan ia menutupi mukanya dengan tangan.
“k-kenapa nangis??” tanya Rio panik, sambil mencondongkan tubuh ke arah Eri.
Eri terisak saat ia membuka mulut untuk menjawab.
“g-gak pa pa kak, s-selama bertahun tahun aku kira kakak benci aku.. tapi ternyata enggak, dan a-aku gak tau mau jawab apa…”isak Eri , yang sekarang melepas kacamatanya dan mengelap kedua matanya dengan tangan.
Rio terkesima begitu mendengar jawaban Eri, dan kemudian ia tersenyum dan menyingkirkan tangan Eri dari muka anak itu. Rio menggunakan ibu jarinya untuk menghapus air mata di sudut mata Eri yang kecoklatan.
“maafin kakak kalo kamu sampe mikir selama ini kakak benci sama kamu..” ujar Rio , dan dengan kedua tangannya ia menarik kepala Eri dan mencium keningnya dengan lembut.
Jantung Eri berdebar keras ketika merasakan sesuatu yang lembut menyentuh keningnya. Setelah Rio melepaskan kepalanya, Eri benar benar menahan diri untuk tidak lari keluar restoran.
“k-kak.. orang orang ngeliatin..” ujar Eri pelan, ketika menyadari orang orang di sekitar mereka mulai berbisik bisik. Bahkan beberapa di antaranya dengan terang terangan menunjuk ke arah Rio dan Eri.
“terus kenapa?” balas Rio, yang anehnya terdengar bahagia. “biarin aja orang orang mikir sesuai khayalan mereka, toh gak ada ngaruhnya sama kita”
“k-kakak gak takut kalo mereka mikir yang enggak enggak?” ujar Eri, masih dengan muka yang memerah.
Rio tersenyum dan mengelus kepala Eri. “bahagia itu kita yang bikin, bukan mereka dek” kutip Rio. “terserah masyarakat mau mikir apa, kakak gak peduli selama kamu ada di sisi kakak”
Eri terhenyak ketika merasakan déjà vu, seakan ia pernah mendengar kata kata itu. Namun dengan cepat ia menyingkirkan perasaan itu.
“lo tau gak kenapa kita gak jadi pulang, dan malah ke tempat ini?” tanya Rio.
Eri menggelengkan kepalanya.
“karena disini, tempat gue nyium lo dulu. Tempat first kiss kita.” Rio seperti setengah tertawa ketika mengucapkan itu.
Muka Eri benar benar merah ketika mendengar kata yang terdengar agak cheesy, ‘first kiss’?
“first kiss? Norak tau kak! lagian kan aku gak inget apa apa dulu...”
“apa kita harus ngulang kejadian itu supaya kamu inget?” tanya Rio sambil menaikkan alis.
Dan Eri langsung menjauhkan kepalanya dari Rio.
Keduanya tertawa setelah itu, mengabaikan tatapan dari orang orang di sekitar mereka. Tiba tiba saja dunia menjadi lebih cerah bagi Eri, seakan seseorang telah mengangkat tirai yang menutupi pandangannya. Matahari yang mulai terbenam membuat curahan cahaya oranye menyebar bagai lukisan dengan kanvas berupa langit.
Eri memandangi kakaknya , baru kali ini ia merasa sedekat itu dengan saudaranya. Walau masalah Daniel , Rara dan juga Lily masih memusingkannya, masalah itu tak sebanding dengan kebahagiaannya sekarang.
Setelah menghabiskan makanan di atas meja (Rio menyuapi Eri yang tak bisa menolak) , mereka berjalan keluar dari pintu restoran ke arah tempat motor Rio terparkir.
Eri naik di belakang Rio , dan dengan otomatis melingkarkan tangannya di pinggang kakaknya itu. Dan sesaat sebelum motor berjalan, Eri berbisik dengan sangat pelan di punggung Rio. Mukanya memerah ketika ia menyadari satu hal.
“kakak tau? Sebenernya aku inget tempat ini…..”
Page twenty six – Hollow
“apa maksud kakak ‘lupain aja masalah itu’ ?” tanya Eri ke hape nya, ketika malam itu nama Kemal muncul di layar handphonenya.
Lagu instrumental menggema di seluruh ruangan, bersumber dari sebuah radio kecil di sudut ruangan. Dari jendela kamar Eri terlihat bulan , yang tampak bundar berkilauan dengan aura perak di sekelilingnya.
4 dinding dalam kamar Eri masing masing mewakili warna biru yang berbeda beda bagai langit, membuat anak itu tak pernah bosan untuk memandanginya. Rak buku yang lebih tinggi 10 senti dari Eri berdiri di samping kasurnya, menempel di sudut kamar.
Rak itu berwarna coklat kayu, senada dengan warna meja belajarnya. Buku buku mengisi celah di dalam rak itu, walau tidak sampai memenuhinya.
Eri duduk di ujung kasurnya, menatap keluar jendela walau perhatiannya mengarah pada handphone di telinganya.
“…. ya lupain aja, kamu gak usah capek capek mikirin masalah itu. kasian kamunya dek.” jawab Kemal dari sebrang sana.
“aku udah tau masalahnya kak, dan ini ternyata masalahku juga” balas Eri sambil melipat kedua kakinya yang tadi ia biarkan menggantung ke lantai.
“percuma dek , kamu gak usah musingin masalah ini lagi deh”
“ma-maksud kakak apa?” tanya Eri heran.
“…. gak pa pa, udah kamu gak usah mikirin masalah itu lagi dek pokoknya.” Jawab Kemal.
“gak bisa gini dong kak, masa kakak mau Rara kayak gini terus?”
Kemal terdiam sesaat. “…. Itu masalahnya dek. Rara udah mutusin kakak tadi siang.”
Eri tersentak sesaat dan menatap hapenya seakan tidak percaya. “se-seriusan kak??!”
“ iya, dan ….. kakak setuju sama dia.”
“kok kakak bisa setuju? A-atau kakak udah bosen sama Rara?” tebak Eri asal.
“gak gitu dek, kakak kasian liat Rara lemes terus setiap hari. Dia gak mau cerita yang ngancem siapa, dia bilang dia udah capek di ancem terus”
Eri mendadak lesu mendengarnya, seakan energi meninggalkan tubuhnya setiap kali ia bernafas. Ia sudah begitu dekat dengan inti permasalahannya, dan semua sekarang lepas dari genggamannya. Tadinya Daniel, sekarang Rara dan mungkin Lily juga.
“dek? kamu masih disana?” tanya Kemal ketika Eri tak kunjung menjawab.
“i-iya kak masih!” jawab Eri kaget, bangun dari lamunannya sendiri.
“maaf ya dek, usaha kamu selama ini jadi sia sia..” ujar Kemal, dari nadanya terdengar rasa bersalah yang membuat Eri merasa tidak enak.
“kenapa minta maaf sih kak, gak pa pa kok bukan salah kakak juga kan..” jawab Eri sambil tersenyum kecil, walau ia tahu Kemal tak mungkin bisa melihatnya.
“iya deh dek..... kamu lagi ngapain?” tanya Kemal, walau ia sudah beberapa kali mendapat pertanyaan ini, Eri masih belum terbiasa mendengarnya.
“gak lagi ngapa-ngapain kak , kalo kakak?” Eri bertanya balik, karena menurutnya akan tidak sopan jika tidak begitu. Di saat Eri mengakhiri kalimatnya, Rio membuka pintu dan melongokkan kepala ke dalam kamar , meminta persetujuan Eri untuk masuk.
Eri mengangguk dalam diam, karena telfonnya masih tersambung dengan Kemal. “ooh, kakak kira kamu lagi belajar. Sama nih dek, kaga ngapa ngapain juga haha.” Jawab Kemal dari sebrang sana.
“ohh.. eh ternyata aku ada pr kak, aku ngerjain dulu ya..” ujar Eri ketika Rio duduk di sampingnya, hanya berjarak tak sampai dua senti.
“hmm , yaudah kamu kerjain dulu aja prnya. Maaf ya ngeganggu kamu dek” jawab Kemal, terdengar sedikit lesu.
“i-iya gak apa apa kok, udah ya kak”
Klik. Eri memutuskan sambungan.
Eri menghela nafas lesu. Masalahnya kini kian bertambah rumit. Ia sebenarnya merasa kehilangan Rara, karena perempuan berambut panjang itu telah menjadi temannya dari awal semester. Lily juga begitu, walau sebenarnya Eri tak terlalu mengenal Lily sebelum Rara megenalkannya.
“lo nelfon siapa?” tanya Rio di sampingnya. Kakaknya itu memakai kaos berwarna putih polos, dan celana pendek di atas lutut.
“aku yang di telfon, dan tadi itu kakak kelasku..” jawab Eri sambil menaruh handphonenya di atas kasur.
“akrab banget kayaknya..” ujar Rio di sampingnya, tanpa bisa menyembunyikan keingin-tahuannya.
“e-enggak kok kak..” Perasaan seperti déjà vu kembali menyerang Eri, rasanya pernah ada yang menyindirnya seperti barusan.. Daniel?
“kakak kelas atau 'kakak kelas' nih?” sindir Rio, tersenyum sambil menatap Eri.
Eri mendengus menahan tawa “mau tau banget kak?”
“dih songong lo yaa!” seru Rio sambil mengacak acak rambut Eri. Rambut Eri terasa lembut di tangannya, membuat Rio sedikit kecewa ketika Eri menghindar.
“iya iya ampun kak, hahaha” Eri menjauhkan kepalanya dari jangkauan Rio.”kenapa kakak kesini?” tanya Eri begitu ia lepas dari kakaknya.
“…. dek gue tidur di kamar lo ya.” pinta Rio sambil menepuk kasur Eri.
Lambung Eri seakan naik beberapa senti saat ia tersentak kaget. “ti-tidur disini???”
Rio menganggukan kepala.
Muka Eri langsung memerah ketika ia membayangkan Rio berada di sampingnya semalaman. Apalagi kasurnya memang cukup besar untuk dia sendiri, namun untuk ukuran dua orang , kasur itu sama sekali tidak besar.
“g-gak ada! Kakak kan p-punya kamar sendiri..” tolak Eri sambil menggelengkan kepalanya kuat kuat.
Setelah berdebat beberapa saat, Eri berhasil mengeluarkan Rio dari kamarnya. Dan begitu ia menutup pintu , Eri langsung memutar kunci di gagangnya. Walau ia tahu kakaknya tidak bermaksud apa apa, tetap saja jantungnya berdegup kencang.
∞
Keesokan paginya , awan mendung menghiasi langit dengan warna kelabunya yang suram. Sampai di kaki langit pun yang terlihat hanya warna kelabu tebal yang menutupi mentari pagi.
Eri telah menunggu di depan pagar rumahnya, walau ia tidak terlalu berharap Daniel akan muncul dari ujung jalan. Lebih tepatnya Eri sedang menunggu Rio, yang bangun agak telat pagi itu.
Eri menengadah ke langit, dimana awan awan tebal bergerombol di atasnya dan sejauh mata memandang tak ada tanda tanda matahari akan muncul.
Badan Eri menggigil ketika angin dingin membelai kulit tangannya yang tak tertutupi apa apa, membuatnya berniat masuk ke dalam untuk mengambil jaket abu abu pemberian Daniel.
“nih” ujar sebuah suara, tepat sebelum Eri membalikkan badan. Sebuah jaket jeans mendarat di bahunya, menutupi punggungnya.
“lo kedinginan kan? Pake aja.” ujar Rio yang sedari tadi memperhatikan Eri menggigil.
“t-tapi kakak??”
“udah pake aja.” jawab Rio datar sambil mengeluarkan motornya.
Eri dengan ragu memakai jaket yang terasa agak berat itu di tubuhnya, yang –tepat seperti dugaan Eri – agak besar untuk ukurannya. Ujung jaket itu melebihi pinggangnya, dan tangannya menghilang di balik jaket itu.
“kakak gak pa pa?” tanya Eri khawatir ketika melihat Rio cuma memakai kaos berbalut kemeja sebagai atasan.
Rio melirik Eri sekilas, dan ia tak bisa menahan senyum ketika melihat ekspresi khawatir di wajah adiknya tersebut.
“gak apa apa dek, udah cepetan naik!”
Tanpa memprotes lebih lanjut, Eri duduk di belakang Rio dan menempelkan pipinya di punggung Rio , berusaha untuk mentransfer panas sebanyak yang bisa ia berikan.
Muka Rio sedikit bersemu ketika ia merasakan kehangatan mulai menyelimuti punggungnya, membuat pipinya sesaat berwarna kemerahan.
Saat motor berjalan pun Eri bisa merasakan angin yang menyayat kulit mukanya, seakan pisau yang terbuat dari es menari-nari di atas kulitnya. Tapi Eri hanya mengkhawatirkan kondisi Rio , dan ia semakin mengeratkan tangannya di perut Rio dalam usahanya mentransfer panas.
Tak terasa mereka sampai di depan gerbang SMA Harapan, dan Eri langsung melepaskan jaketnya.
“ini kak, kakak aja yang pake” ujarnya saat ia turun dari motor, seraya mengulurkan jaket itu ke arah Rio.
“udah gue bilang lo aja yang pake!” tolak Rio, mengabaikan kenyataan bahwa dirinya sendiri tak kuat menahan angin dingin yang menerpa tubuhnya.
“kakak lebih butuh ini daripada aku..” ujar Eri lembut, ia tidak tega memikirkan kakaknya yang akan menempuh perjalanan jauh untuk kuliah, di tengah cuaca seperti ini , dan tanpa jaket.
Warna di kulit Rio memudar, meninggalkan sisa sisa pucat yang membuat Eri makin khawatir. Tangan Eri terjulur untuk menyentuh tangan Rio yang sedari tadi sedikit gemetar karena menahan terpaan angin dingin.
“k−kakak dingin banget!” seru Eri , walau ia tidak melepaskan tangannya dan malah menggenggam tangan kakaknya itu lebih erat dengan kedua tangannya.
Hangat mulai menyebar dari jemari Eri , dan mengembalikan syaraf di tangan Rio yang sedikit mati rasa. Jemari adiknya terasa lembut dan hangat di tangan Rio, membuatnya secara naluriah ingin terus menggenggamnya.
Hanya saja bel sekolah tiba tiba berbunyi, seiring dengan sebersit rasa kecewa yang muncul di dalam kepala Rio.
“aku harus masuk,” ujar Eri , kepalanya menoleh cepat ke arah pintu sekolah , dimana anak anak berlarian masuk karena takut di cap terlambat.
Rasa kecewa Rio semakin besar ketika Eri melepas genggamannya, dan bersiap siap masuk ke dalam sekolah.
“jangan lupa pake jaketnya kak” Eri mengingatkan, seraya menaruh jaket itu ke atas paha Rio.
Eri kembali menggenggam tangan Rio , dan menempelkan telapak tangan Rio di pipinya , membiarkan tangan itu menyerap panas dari wajah Eri.
“dan hati-hati di jalan..” tambah Eri dengan senyum di wajahnya.
Rio sudah tidak lagi merasa dingin walaupun Eri sekarang tengah berlari ke arah sekolah, karena sesuatu di dalam tubuhnya membuat Rio merasa hangat, hangat yang membuatnya merasa nyaman lebih dari apapun.
∞
“Eri? tumben lo dateng jam segini” ujar Arya ketika Eri duduk di sampingnya. Ada nada heran di dalam kata katanya, namun mukanya menunjukkan hal lain.
Eri hanya tersenyum kecil menanggapi Arya. Tak mungkin ia bilang bahwa ia sudah datang daritadi, namun ia menghabiskan waktunya di depan gerbang.
“lo gak pa pa? muka lo agak merah,” tanya Arya , dibalik nada ingin tahunya ekspresi wajah Arya semakin jelas, ia khawatir.
“g−gak pa pa kok..” jawab Eri saat guru walasnya masuk ke dalam kelas, dan mulai mengabsen muridnya satu per satu.
Arya tampak tidak puas, namun ia tidak lagi bertanya walau sesekali ia melirik khawatir ke arah Eri.
Satu per satu murid yang namanya di panggil mengacungkan tangannya, kecuali Daniel dan Lily , yang belum hadir bahkan sampai murid terakhir selesai di absen.
Eri menolehkan kepala ke arah bangku Daniel, yang tentu saja kosong tanpa kehadiran pemain basket itu. Di samping bangku Daniel, Bella tampak sibuk mengobrol dengan orang di depannya. Ia dan Eri sempat bertatapan , namun Bella langsung melanjutkan pembicaraan seakan ia tidak melihat apapun.
Eri sedikit menyesali kata katanya kepada Daniel kemarin, tidak seharusnya ia kesal kepada Daniel hanya karena ia tidak bisa menolak keinginan orang tuanya.
Tapi sampai jam pertama berakhir pun, Daniel tidak hadir…
.
.
.
Pandangan Eri tertuju ke arah papan tulis, walau jelas sekali ia tidak menyadari apapun yang terjadi di sekitarnya. Suhu di dalam ruangan anehnya tidak dingin, bertolak belakang dengan cuaca di luar. Namun kepalanya terasa tidak nyaman, dan beberapa kali penglihatannya mengabur.
Arya yang dari tadi mengawasi Eri makin khawatir dengan kondisi anak itu.
“Kamu yang disana!” seru guru biologi yang sedang mengajar, menunjuk pada Eri yang langsung menoleh kaget. “Kalau kamu sakit lebih baik kamu ke UKS, saya tidak nyaman melihat kamu di kelas dengan kondisi seperti itu!”
Dari nadanya memang terdengar kasar, namun wanita paruh baya yang mengajar biologi itu sebenarnya tidak tega melihat Eri yang lesu.
“saya ikut nganter ya bu” ujar Arya sambil mengangkat tangannya.
“a−apaan sih ya, gue gak pa pa!” bisik Eri salah tingkah ketika seisi kelas menolehkan kepala ke arahnya. Namun ketika guru biologi nya memberikan persetujuan, Arya langsung memaksa Eri untuk keluar dari kelas.
“gue gak pa pa ya! Gue gak perlu ke UKS” ujar Eri kesal, ketika Arya memegangi lengannya dan menariknya menuju UKS.
“siapapun yang liat muka lo gabakal percaya ri”
“e−emang muka gue kenapa??!” tanya Eri panik sambil meraba mukanya sendiri dengan tangan yang bebas.
Arya menahan tawa nya ketika melihat Eri meraba−raba mukanya sendiri. “bukan gitu, muka lo tuh lesu banget! Terus pucet juga. Lo sakit?”
Eri sendiri memang mengakui bahwa kepalanya sedikit pusing , sedikit menurut Eri. Tapi ia tidak menyadari bahwa mukanya selalu menunjukkan kondisi aslinya.
“enggak kok, pusing doang dikit” jawab Eri jujur.
Arya langsung menghentikan langkahnya, yang membuat langkah Eri otomatis berhenti. Arya mendesaknya ke arah dinding dan dengan perlahan ia mendekatkan mukanya ke muka Eri.
“A−arya??” ujar Eri ketika muka Arya semakin dekat. Eri berusaha menghindar, namun tangannya tertahan oleh tangan kekar Arya , dan di belakangnya ada tembok yang menghalangi.
Eri melihat sekeliling, namun koridor di dekat UKS itu sangat sepi , tak ada tanda tanda kehidupan.
Putus asa, Eri mengernyit ketika mukanya dengan muka Arya hanya berjarak beberapa senti lagi. Eri bisa merasakan nafas pemain−basket−berambut−cepak itu di mukanya.
Saat tinggal beberapa mili lagi jarak di antara mereka, Eri menutup kedua matanya , tidak berani melihat Arya.
DEG.
Eri bisa merasakan dahi Arya menempel pada dahinya sendiri, dan ujung hidung mereka bersentuhan.
“lo agak anget ri” bisik Arya, yang terdengar sangat jelas di telinga Eri.
Eri mencoba membuka matanya sedikit, namun mata Arya memandangnya balik , membuat Eri buru buru memejamkan matanya lagi.
“em.. ngukur suhunya udah?” tanya Eri ketika Arya tak kunjung melepaskan dahinya. Pikiran yang yang tadi sempat melintas di dalam kepalanya langsung ia buang jauh jauh, bodoh sekali kalau ia berfikir bahwa Arya akan melakukan hal lain.
“hm? Kenapa?”
“ngukur suhunya udah belom?” ulang Eri.
“o−oh udah kok” jawab Arya sambil melepaskan dahinya dari dahi Eri.
“gue masih harus ke UKS?” tanya Eri, berusaha menenangkan diri sendiri karena tadi ia sempat panik.
Arya mengangguk. “lo harus istirahat ri, daripada entar tambah parah.”
Eri hanya bisa menghela nafas ketika Arya kembali menarik tangannya. Dari dekat tadi Eri sempat memperhatikan Arya, sebenarnya pemain basket berambut cepak itu cukup keren , namun ketika disandangkan dengan Daniel , tentu saja ia kalah.
Ruangan UKS tampak sepi, entah kemana guru yang seharusnya setiap saat berjaga di sana.
“gak ada orang ya” lapor Eri ketika ia mengintip ke dalam ruang yang beraroma obat obatan itu.
“tapi lo harus tetep istirahat di dalem” ujar Arya sambil membawa Eri masuk ke dalam ruangan.
Ruangan itu tampak sama seperti terakhir kali Eri berada di sana, membuat Eri teringat ketika Daniel menggendongnya ke UKS.
Eri langsung menggigit bibirnya sendiri begitu mengingat Daniel. Tanpa kehadiran pemain basket yang satu itu, beban berat seperti menimpa seluruh tubuh Eri , membuatnya lemas. Ia seperti berada di tempat asing tanpa Daniel di dekatnya.
“eri? lo kenapa?” tanya Arya ketika melihat ekspresi Eri.
“gak , gak pa pa” jawab Eri , walau setelah itu ia menghela nafas pelan. “lo bener, kayaknya gue emang butuh istirahat.”
Sambil tersenyum kecil, Eri melepaskan sepatunya dan merangkak naik ke ranjang UKS. Ia duduk bersandar dengan punggung menempel di dinding, kedua tangannya terkulai lemas di atas pahanya.
“lo butuh sesuatu ri?” tanya Arya sambil menarik kursi ke samping ranjang Eri.
Eri menggelengkan kepalanya singkat “makasih ya udah nganterin gue”
“i−iya sama sama ri” jawab Arya dengan senyum di wajahnya, tangan Arya mengusap bagian belakang kepalanya saat ia berbicara – walau Eri tidak tahu – yang berarti Arya sedang salah tingkah.
“lo gak balik ke kelas?” tanya Eri sambil melepas kacamatanya, melepas beban dari hidungnya.
“emang lo berani disini sendiri?” Arya bertanya balik.
Eri memperhatikan sekelilingnya, dan mukanya memerah ketika menyadari bahwa Arya benar, ia tidak berani berada di sana sendirian.
“…. Hehe..” Eri tersenyum kecil, pipinya yang memerah terlihat jelas di bawah cahaya lampu.
Arya tampak tertegun sesaat, membuat Eri menatapnya heran. “lo kenapa?”
“h−hah? G−gak pa pa kok ri..” ujar Arya sambil mengusap bagian belakang kepalanya lagi.
“ooh..”
Tak ada yang bersuara lagi setelah itu.
Eri menatap ke arah jendela UKS yang tertutup , menampilkan cuaca suram di luar sana. Awan kelabu masih bergantung di langit, seakan enggan membiarkan matahari bersinar. Sedangkan Arya tampak tertarik mengamati isi UKS.
Entah darimana tiba−tiba dua ekor burung kecil hinggap di ambang jendela. Masing masing hanya berdiam diri disana, berdiri bersebelahan sebelum akhirnya mereka memutuskan untuk terbang kembali melawan angin yang bertiup.
Tak lama kemudian datang burung ketiga, ia berdiri sendiri di ambang jendela sambil menatap langit. Kemudian tanpa peringatan apapun, makhluk bersayap itu mengembangkan sayapnya dan terbang menerobos angin. Namun usahanya sia sia, karena ia tak kuat melawan tekanan angin dan akhirnya ia jatuh entah dimana.
Akankah Eri seperti itu, terbawa oleh tekanan masyarakat dan akhirnya jatuh sesaat setelah mencoba?
Ataukah dirinya akan seperti pasangan burung yang pertama? Berdua mereka berhasil melawan tekanan, dan akhirnya melesat menuju hari yang baru.
Namun Eri tersenyum pahit begitu menyadari satu hal. Dibutuhkan dua untuk bisa bertahan melewati tekanan yang menghadang.
@zeva_21 @d_cetya @alfa_centaury @ddonid @dafaZartin
@yuzz @master_ofsun @Adityaa_okk @Mr_Makassar @Needu @arifinselalusial @cee_gee @Tsunami @uci
updated, maaf lama sekali lagi.....
*bantuin mention @dafaZartin n @uci
lanjuuttt^^/
makasih kaaak