It looks like you're new here. If you want to get involved, click one of these buttons!
Copyright 2021 Queer Indonesia Archive. See our Privacy Policy. Contact us at [email protected]
Dengan menggunakan situs ini berarti Anda setuju dengan Aturan Pakai.
BoyzForum.com adalah situs anti pedofilia!
Comments
Penulisssssssssssssssss maaci anyak udah updit hahahahha , tetep sabar deh nungguin kelajutannya, but keep mention gw ya cipok basah dolo buat penulis sama rio nya
Waaah updatetnya puanjaaaang,tapi masih kurang #Reader maruk Abis suka bgt ma ceritanya
iyeee benerrr beud @3ll0
bentar yaa nanti aku upload kalo sempet, maaf lama
Hari minggu telah berlalu dengan cepat, Eri tak begitu mengingat apa yang ia lakukan pada hari bertanggal merah itu, bahkan mungkin tak banyak yang ia lakukan.
Yang anak itu ingat hanyalah wajah kakaknya , yang selalu menemaninya sepanjang hari libur kemarin. Rio tak pernah mengeluh ketika adiknya minta ditemani, justru mungkin pemuda berkacamata itu malah tampak senang.
Sepanjang hari itu Eri mengabaikan handphone nya, yang tergeletak mati di atas meja belajar. Ia sedang mencoba mengalihkan pikirannya dari apapun yang membuatnya sedih. Dan ia berusaha agar tidak sendirian, karena ketika ia sendiri , pikiran tentang Daniel kembali mengisi otaknya.
Itulah yang membuat Rio berada di kasur Eri hari senin pagi ini. Anak itu dengan cepat langsung terbiasa dengan keberadaan Rio di sampingnya. Bahkan Eri malah bergelung dan menempelkan dahi di bawah leher kakaknya yang tidur menyamping.
Apapun tentang Rio membuatnya nyaman , bahkan dengan mendengar suaranya saja pun bisa membuat Eri tenang. Entah kenapa Eri merasa lebih dekat dengan kakaknya itu.
“kenapa tiba tiba lo jadi manja gini?” tanya Rio ketika ia menyadari posisi Eri, tanpa berusaha menyembunyikan nada geli dalam suaranya.
Muka Eri memerah, walau ia tampak tenang karena mukanya tak terlihat Rio. “kenapa? Gak boleh kak?”
Rio mengacak acak rambut adiknya dengan gemas “boleh lah, boleh banget.”
“udah ah!” Eri menurunkan kakinya dan berdiri di samping kasur. “entar kakak yang keenakan” canda anak itu sambil memakai kacamatanya.
“ck dasar!” seru Rio sambil melempar bantal, yang berhasil dihindari Eri.
Pagi itu kedua orangtuanya tampak sedang mengobrol di meja makan, namun keduanya memperhatikan ketika Eri dan Rio keluar dari kamar.
“apa yang kamu lakukan di kamar Eri?” tanya ibunya kepada Rio, perempuan yang berumur kurang dari setengah abad itu tampak tenang, walau ada nada curiga yang samar di dalam pertanyaannya.
Eri tampak sedikit gelisah ketika mendengar hal itu, tapi kakaknya menjawab dengan mantap. “aku cuma numpang tidur di kamar dia, kenapa?”
Ibunya memandangi Eri dan Rio bergantian, sedangkan ayahnya cuma melirik sekilas dari atas koran. “tidak.. “ jawab ibunya. “tidak apa apa.”
Eri duduk di kursinya, dan Rio duduk di sebrangnya seperti biasa. Sedangkan kedua orang tuanya duduk di ujung meja makan. Adiknya, seperti biasa , tidak terlihat keberadaannya.
Suasana pagi itu tampak hening, suara yang terdengar hanyalah suara dari tv yang memang dibiarkan menyala dan suara dari kedua orang dewasa di meja makan, yang sesekali mengobrol.
Setelah selesai menghabiskan sarapannya – yang terdiri dari nasi goreng dan segelas air putih – Eri beranjak dari meja makan , menuju kamarnya sendiri.
Persiapannya menuju sekolah tak pernah seberat ini Eri rasakan. Biasanya ia selalu semangat menuju sekolah, tapi sekarang rasanya ia lebih memilih untuk tinggal dirumah.
Ia baru saja selesai memakai baju seragamnya, ketika terdengar suara klakson motor di depan rumahnya. Awalnya Eri mengabaikan suara itu , mungkin motor tetangga pikirnya.
Eri meraih dan menyalakan handphonenya , ketika suara klakson kembali terdengar. Suara itu mulai menganggu Eri , dan ia memutuskan untuk mengecek ke depan rumah.
Baru saja setengah jalan ke arah pintu, handphone Eri bergetar berkali kali , menandakan pesan yang baru masuk karena tertunda. Entah berapa kali handphonenya bergetar, dan tiba tiba ada sebuah panggilan masuk. Kemal.
“ha−halo??”
“Akhirnyaaa!!” suara Kemal terdengar sangat lega di sebrang sana. “dek! kakak di luar!”
Eri tercekat, dan ia langsung bergegas keluar dari rumahnya. Tak perlu waktu lama untuk melihat Kemal yang sudah menunggu di depan rumahnya.
“kamu kenapa gak bisa dihubungin???” tanya Kemal panik ketika Eri menghampirinya.
“h−handphone ku mati kemaren kak.. kenapa emangnya?”
Kemal menghela nafas lega. “kemaren kakak bingung, kamu di sms gak bales , di telfon gak bisa. Takutnya kamu kenapa kenapa gitu..”
Muka Eri sedikit menghangat ketika melihat orang di depannya begitu khawatir akan keadaannya. “ohhh.. aku gak pa pa kok kak, maaf udah bikin kakak khawatir..”
“eng−enggak pa pa kok dek” balas Kemal, yang terlihat salah tingkah ketika Eri meminta maaf. “asal kamunya baik baik aja”
Warna merah perlahan merona di pipi Eri. “a−aku masuk lagi ke dalem ya kak..”
“yaudah, sekalian ngambil tas ya dek” jawab Kemal.
“ngambil tas??”
“iyalah, kita kan mau sekolah.”
Eri butuh beberapa mili detik untuk menafsirkan kata kata itu.
∞
Eri turun dari motor ketika anak itu dan Kemal telah sampai di parkiran sekolah. Walau ia telah seringkali diantar oleh orang lain, tapi baru kali ini dia diantar oleh kakak kelas ke sekolah, dan tentu saja membuat mukanya sedikit memerah.
“kamu kenapa?” tanya Kemal ketika melihat Eri menundukkan kepalanya.
Anak itu malah makin menundukkan kepalanya ketika Kemal berusaha mendekat. “a−aku ke kelas duluan ya kak, makasih udah nganterin” ujar Eri, sebelum ia berbalik dan berjalan cepat meninggalkan tempat parkir.
Masih terbayang di kepala Eri ketika ia mengatakan pada Rio bahwa ia akan pergi ke sekolah bersama temannya. Rio tampak sedikit terkejut , namun ia tetap membiarkan adiknya pergi dengan temannya. Walau tanpa sepengetahuan Eri, Rio tampak kecewa menatap punggung adiknya yang perlahan menjauh.
Langkah kaki Eri perlahan melambat, seiring dengan berkurangnya jarak antara ia dan ruang kelas. Entah kenapa kakinya makin terasa berat untuk melangkah, seakan akan takut akan melihat sesuatu di dalam sana – lebih tepatnya , seseorang.
“kenapa gak masuk?”
Eri langsung mengangkat kepalanya begitu mendengar suara yang ia kenal. Arya berdiri tepat di depannya. Pemain basket berambut cepak itu tampak menenteng sesuatu yang seperti buku gambar, hanya saja tidak terlalu besar.
“oh−emm.. g−gak pa pa..” jawab Eri salah tingkah. Ia baru menyadari bahwa ia sudah berdiri di depan pintu, namun tidak kunjung masuk ke dalam kelas. “itu apa??” Eri menunjuk buku gambar di tangan Arya.
“sketch book” jawab Arya sambil masuk ke dalam kelas, dan mau tak mau Eri jadi mengikutinya. “mau liat isinya?”
Pandangan Eri langsung terfokus ke satu tempat begitu ia melangkahkan kaki ke dalam kelas. Dan di sanalah , di samping Bella yang memakai make up bahkan di sekolah , Daniel sedang duduk dan menatap balik ke arahnya.
“Eri??” panggil Arya ketika menyadari bahwa anak itu mengabaikannya.
“i−iya??” Eri mengalihkan pandangannya dari Daniel, tapi pemain basket itu masih tetap memandanginya.
“lo mau liat gambar gue?”
Eri mengangguk sambil duduk di tempatnya, di samping bangku Arya.
Halaman demi halaman terbuka ketika Arya membuka sketch booknya, menampilkan berbagai gambar yang bagaikan sebuah foto. Memang masih terlalu kasar jika dibandingkan dengan foto asli, tapi terlalu bagus jika dibandingkan dengan coretan biasa.
Di halaman depan terdapat gambar gerbang sekolahnya, begitu mendetailnya sampai sampai gambar itu terlihat seperti fotocopy. Lalu ada gambar lapangan basket, dengan matahari senja yang bersinar di ujung barat.
Gambar gedung sekolahnya, ruang kelas , ruang UKS , bahkan sampai toilet pun semuanya membuat mata Eri berbinar karena takjub.
“ini semua lo yang gambar ya?” tanya Eri tanpa ,mengalihkan pandangannya dari gambar Arya.
“iyaa, gimana menurut lo?”
“bagus banget! Kayak bukan gambar..”
Baru saja tangan Eri terjulur untuk membalik ke halaman terakhir, ketika tangan Arya menghadangnya.
“gambar yang itu belum selesai, liatnya nanti aja kalo udah selesai.” Ujar Arya. Ia menutup dan memasukkan buku gambarnya ke dalam tas. Eri mengangkat bahu dan mengangguk pelan.
Tak berapa lama wali kelas mereka masuk ke dalam ruangan. Guru yang baru menginjak usia paruh baya itu memulai dengan mengabsen anak muridnya satu per satu.
Satu satunya murid yang tidak masuk hanya Lily , tapi wali kelasnya sama sekali tak menyinggung ketidak−hadiran perempuan itu, seakan sudah tahu dari awal.
Ketika walas mereka keluar dari ruangan, Eri mendengar suara suara di belakangnya.
“… eh! Lo tau gak kenapa si Lily gak masuk??” ujar sebuah suara perempuan.
“enggak lah! Emang lo tau kenapa??” sahut suara lainnya.
“asal lo tau ya, ternyata orang tua dia tuh lagi mau cerai!”
Eri tertegun mendengarnya.
“hah? Serius lo??”
“Benerann!” sahut suara pertama tak sabar. “gue pernah gak sengaja lewat depan rumahnya, dan disitu gue ngedenger bokap sama nyokapnya Lily lagi berantem hebat! Mereka ngomongin sesuatu tentang pekerjaan, dan sesuatu tentang ruginya punya anak kayak Lily.”
“hah?? Maksud lo?”
“gue juga gak tau! Yang gue denger sih bokapnya kayak dipecat gitu, dan mereka nyalahin Lily atas semua itu. Dan gue denger bokapnya ngomong kayak gini ‘ini semua salah kamu karena ngadopsi dia!!’ . Apa itu berarti Lily itu yatim piatu??”
“kayaknya iya! Gue gak pernah denger dia ngomongin tentang keluarganya sama sekali. Ih amit amit deh gue punya temen anak yatim piatu!”
“iya kan! Males banget deh punya temen kayak gitu, gak level banget”
Eri mendadak merasa jijik dengan orang orang di belakangnya.
Baru saja Eri berdiri dan akan membentak para perempuan di belakangnya yang sedang bergosip, ketika Arya menariknya tangannya , dan membuat Eri kembali terduduk.
“apa??!” Eri menggeram pelan.
Arya tak bersuara dan hanya menggeleng pelan. “gue juga denger apa yang mereka omongin, tapi mending kita pura pura gak denger aja”
“kenapa??! Mereka ngomongin temen gue! Masa gue diem aja!” Eri sendiri bingung ketika sebagian dirinya masih menganggap Lily sebagai teman, bahkan setelah perbuatannya terhadap Rara.
“gak ada yang bisa lo lakuin sekarang ri.” Ujar Arya, masih memegangi tangan Eri di bawah meja.
Helaan nafas keluar dari mulut Eri ketika anak itu memutuskan untuk membiarkan para penggosip di kursi belakang. “arya?”
Pemain basket berambut cepak itu sedikit kaget mendengar Eri memanggil namanya. “iya?”
“tangan gue?....”
Arya seakan baru tersadar, tapi alih alih melepaskan tangannya dengan cepat, ia dengan perlahan menarik tangannya. Sensasi lembut merayap melalui indera peraba di jari Arya , menimbulkan sedikit kekecewaan ketika ia harus melepaskan tangan anak itu.
“ri?” panggil Arya.
“hm? ”
“lo …..” Arya terdiam sesaat sebelum melanjutkan. “lagi ada masalah sama Daniel?”
Jika Eri tampak terkejut, ia tidak bisa menyembunyikan ekspresi itu dari wajahnya. Sebuah pertanyaan muncul di benak Eri, kenapa semua orang seakan tahu isi kepalanya???
“em−enggak kok, e−emangnya kenapa?”
“kan lo biasanya dateng bareng sama dia, sekarang dia selalu dateng sama Bella.” Eri mengepalkan tangannya ketika mendengar nama itu “dan lo gak pernah bareng dia lagi kayaknya, lo berdua kenapa?”
Eri terdiam, entah apa yang dipikirkan anak itu , namun ia menoleh dan tersenyum kepada Arya. “gak tau, mungkin.. dia udah nemuin sesuatu yang lebih baik dari gue? Haha ” ujar Eri sambil bercanda.
Arya sedikit tertegun ketika melihat senyum Eri. Seluruh wajah termasuk mulutnya bekerja sama menunjukan senyum, tapi matanya seakan memberontak dan menampilkan sebuah ekspresi yang benar benar berbeda.
Kesedihan yang terpancar dari mata itu membuat siapapun yang melihat jadi ingin melindungi sang pemilik mata, tak terkecuali Arya. Pemain basket berambut cepak itu mengangkat tangannya untuk meraih Eri, tapi ia menurunkannya kembali.
“em ya?..” panggil Eri. “bisa.. elus kepala gue gak?...” Eri sendiri terkejut dengan kata kata yang keluar dari mulutnya, dan muka anak itu langsung memerah.
Arya juga tampak terkejut, dan tak ada yang keluar dari mulutnya.
“em−eh lu−lupain aja yang gue bilang barusan!” seru Eri salah tingkah. Mukanya benar benar memanas ketika ia menyadari permintaannya yang sedikit aneh itu. Ia baru saja meminta teman sekelasnya untuk mengelus kepalanya. Berapa kali pun Eri mengulang ide itu di kepalanya, tetap saja terdengar aneh.
DEG.
Perut Eri seakan tersentak ketika ia merasakan sentuhan di atas kepalanya. Ia menoleh dan menyadari bahwa Arya−dengan muka yang tak bisa ditebak− sedang mengelus kepalanya dengan lembut.
Tekanan yang khas terasa di kepala Eri, membuatnya nyaman dan selalu bisa menenangkannya. Saat ia kecil memang banyak orang yang mengusap kepalanya, tapi kegiatan itu berhenti seiring dengan bertambahnya umur anak itu.
Arya memasang ekspresi yang tidak bisa ditebak, walau ia sendiri merasa salah tingkah ketika tangannya menyentuh helai demi helai rambut Eri yang bergelombang. Kepala Eri terasa sedikit mendorong tangannya ke atas, seolah olah meminta untuk terus di sentuh.
Arya teringat pada kucing dirumahnya. Kucing itu akan menjulurkan kepalanya, dan mendorong dorong telapak tangan Arya dengan kepala hewan itu.
Entah kenapa sebuah bayangan Eri yang memakai telinga kucing terbersit di kepala Arya , membuat pemain basket itu tersenyum menahan tawa.
Arya menoleh ke arah Eri, tepat saat Eri memandang lurus ke arah mata pemain basket itu. Dan keduanya langsung mengalihkan pandangan masing masing, walaupun tangan Arya masih tetap mengelus kepala Eri.
Eri menoleh ke kiri dan kanan , bernafas lega ketika tak ada yang memperhatikan mereka. Namun anak itu lupa untuk menoleh ke belakang, tempat sepasang mata tengah memperhatikan mereka dengan seksama.
Sepasang mata? Koreksi. Rupanya dua pasang mata.
Berita tentang Lily rupanya menyebar dengan cepat, lebih cepat dari api menyambar minyak. Ketika bel istirahat berbunyi pun hampir seluruh sekolah tahu tentang berita itu. Memang Lily bukan termasuk perempuan yang populer seperti Bella, namun sebagai salah satu dari ‘gossip girl’ , perempuan bersuara nyaring itu cukup dikenal.
Eri sedang duduk bersama Rara di koridor sekolah, ketika beberapa anak yang lewat membicarakan berita itu dengan antusias.
Tiba tiba Eri tergoda untuk melirik Rara, penasaran dengan reaksi cewek tomboy itu ketika mendengar teman atau mungkin ‘mantan’ temannya di bicarakan.
Rara tak menunjukkan ekspresi apapun, bahkan ia tampak santai saja seperti tak ada apa apa.
“Ra?”
“hmm?” sahut Rara tanpa menoleh dari buku novel di pangkuannya.
“lo masih marah sama Lily?”
“kagak.”
Jawaban itu datang sedikit lebih cepat dari perkiraan Eri. “kalo gitu lo udah maafin dia?”
“kagak lah!” jawab Rara.
“loh kok lo jadi labil gini??” tanya Eri heran.
Rara akhirnya mengangkat wajahnya dari sebuah novel berjudul ‘Selamanya cinta’ itu. “Mau marah atau enggak, mau maafin Lily atau enggak , semua terserah gue kan?” Eri terpaksa setuju dengan Rara. “lagian mending lo urusin masalah lo dulu..”
“masalah gue??” tanya Eri , yang sekali lagi heran.
“iyaa, masalah lo.” Jawab Rara. Entah kenapa setelah ia menceritakan semua isi kepalanya kepada Eri beberapa hari yang lalu , sifatnya sudah kembali seperti biasa.
“masalah apa??”
“mana gue tau! Tapi setiap gue liat muka lo , entah kenapa ada yang beda , ada yang aneh.. OH! Mata lo!..”
“ma−mata gue emangnya kenapa?”
Rara memandangi Eri untuk beberapa saat, sebelum perempuan itu menghela nafas.
“gue juga gak tau, tapi mata lo gak secerah biasanya. Walau lo berusaha nutupin , tapi mata lo gak bisa bohong ri. Lo kenapa emangnya?”
Mata gue? Apa karena itu semua orang tahu gue lagi ada masalah?, imbuh Eri dalam hati. Merasa tidak enak karena Rara sudah menceritakan semua masalahnya kepada Eri, anak itu memutuskan untuk menceritakan masalahnya juga.
Tentu saja tidak menyebutkan bahwa ia sebenarnya ‘sayang’ kepada Daniel, melainkan ia hanya merasa ‘terbuang’ setelah Daniel dekat dengan Bella. Rara tampak sedikit mengernyit setiap ia mendengar nama Bella, namun ia tidak memperlihatkan lebih dari sebuah ekspresi datar.
“dan sejak Daniel deket sama Bella, lo jadi ngejauhin dia?” tanya Rara setelah Eri selesai bercerita.
Eri membalas dengan sebuah anggukkan singkat.
“bodoh.”
“Lo sendiri juga!” seru Eri, mengingatkan Rara saat perempuan itu menjauhi Kemal.
“itu masalah gue, sekarang kan lagi ngomongin masalah lo. Lagian kenapa lo ngejauhin dia coba, apa dia ngejauhin lo duluan?”
Eri mengangguk pelan, tapi ragu. Setidaknya Daniel lebih mementingkan perempuan itu daripada Eri, apalagi yang bisa membuatnya lebih terluka dari itu?
“kayaknya dia bukan tipe orang yang kayak gitu deh” ujar Rara, walau ia sendiri tak terdengar yakin dengan pendapatnya.
“tapi emang gitu Ra! Daniel jadi berubah setelah dia di jodohin sama Bella!”
“ehm. Ada yang ngomongin gue?”
Eri dan Rara langsung terlonjak ketika Bella muncul entah darimana.
“ngapain lo disini?!” sambar Rara ketika melihat perempuan dengan make up tebal itu.
“hah? Gue gak salah denger? Emang ini sekolah nenek moyang lo apa? Suka suka gue dong mau ada dimana aja”
Entah pernah ada masalah atau tidak antara Rara dan Bella, tapi dari dulu ia memang tidak suka dengan perilaku perempuan ber−muka make up itu.
“denger denger …. Lo bilang Daniel jadi berubah setelah dia di jodohin ama gue?” tanya Bella dengan nada menantang.
“a−apa urusan lo? Gue udah gak ngedeketin Daniel lagi kan?” ujar Eri , emosinya sedikit naik.
“haha tenang tenang, bukan itu yang mau gue omongin..” sahut Bella, yang dengan tenang memamerkan senyum liciknya.
Dua orang yang duduk di kursi itu sedikit menjauhkan diri mereka dari sosok Bella yang berdiri di salah satu ujung kursi. Tangannya bersedekap di perutnya, dan bibir merah itu menyunggingkan senyum palsu.
“terus apaan??!” seru Rara tak sabar.
“biasa dong woy” sahut Bella. “gue rasa .. lo berdua udah denger kan tentang anak yatim piatu di sekolah kita?”
Tangan Eri menegang, dan tak hanya anak itu, otot leher Rara bahkan ikut menegang.
“apa maksud lo ngomong gitu??” tanya Rara, berusaha menyembunyikan nada mengancam dalam suaranya.
Namun Bella malah mendengus geli. “ gue gak ada maksud apa apa.. Tapi anggep aja gue tau siapa orang tua angkatnya, dan kebetulan mereka kerja dibawah orang tua gue. Gimana kalo secara gak sengaja, orang tua anak yatim itu gak punya kerjaan lagi , dan mereka ngemis ngemis minta pekerjaannya dibalikin??”
“Anj*ng!!! apa jangan jangan elo yang jadi penyebab itu semua?!” Rara berdiri dengan cepat dari kursi dan hampir saja ia melabrak Bella kalau Eri tidak menghadangnya.
“ra! Tahan Ra!!”
“lepasin gue Eri!!”
“Salah apa Lily sama lo Bell? Kenapa lo ngelakuin itu ke dia??” tanya Eri , mewakili Rara.
“Ahaha , jangan salah paham dulu lo berdua. Gue gak ngapa ngapain, cuman gue kebetulan tau kalo orang tua palsu dari anak YATIM itu udah nyelundupin uang perusahaan bokap gue. Udah sepantesnya mereka di pecat”
“Tapi lo gak perlu nyebarin berita bohong tentang anak yatim itu kan?!” seru Rara dari balik Eri.
Bella kembali tertawa. “gue? Nyebarin berita itu? ngapain?? Gue juga baru tau tadi pagi kalo ternyata cewe centil itu anak yatim! Gak usah sok peduli deh sama dia, gue tau lo putus gara gara dia kan??”
“masa bodo!!” seru Rara. “masih lebih baik temenan sama dia daripada cewe jalang kayak lo!”
“cewek jalang??” Bella maju beberapa langkah sampai ke depan Eri, dan Rara di belakang anak itu bahkan mencoba mendorong Eri ke samping. “jaga omongan lo setan. Sadar diri dong, elo tuh temen buangan. Temen yang paling sering dibuang kesana kemari.”
“EH JAB*AY!!”
Bella baru saja membangkitkan kemurkaan dari Rara. Perempuan berkulit putih itu memang paling sensitif dengan masalah itu. Tapi entah kenapa Rara bisa semurka ini sampai mukanya berwarna merah karena marah.
Eri harus benar benar sekuat tenaga menahan Rara , karena kalau ia menyerah sedetik saja , perempuan di belakangnya sudah pasti akan menyerbu Bella. Dan jika itu terjadi, skorsing pun sudah di depan mata.
“gue cuman mau ngingetin posisi kalian aja. Yaitu. Di bawah. Gue.” Ujar Bella sambil tersenyum lebar. “khususnya lo, bitch .” Bella menunjuk Rara tepat di depan mukanya sebelum berbalik pergi.
Eri mengerang ketika merasakan Rara meremas lengannya dengan keras, yang pasti akan meninggalkan bekas disana.
“ck. TA*!” umpat Rara. Ia membanting dirinya sendiri ke atas kursi kayu di tengah koridor sekolah.
“lo kebanyakan ngomong kotor, dibanding cewek biasanya……” Eri langsung terdiam ketika Rara meliriknya tajam. “maaf…”
Rara masih saja murka ketika Eri duduk di sampingnya. Beberapa orang yang lewat – yang pastinya mendengar suara Rara barusan− diam diam melirik ke arah mereka sambil lalu.
“kenapa lo semarah itu?” tanya Eri, baru pertama kali ini ia melihat Rara semurka itu.
Yang ditanya menghela nafas, dan memandang ke lantai ketika ia menjawab. “yang dulu bikin gue gak punya temen adalah dia. Selalu cewe sialan itu.”
∞
Setelah kejadian saat istirahat tadi, secara resmi Eri dan Rara memusuhi Bella. Atau mungkin sebaliknya pun begitu.
Sejak istirahat sampai pulang sekolah , Eri hanya terdiam tanpa sepatah kata pun keluar dari mulutnya. Diamnya Eri tak luput dari perhatian Arya, yang sesekali mengecek keadaan Eri.
Daniel pun sepertinya menyadari kondisi Eri yang anehnya selalu lesu setelah istirahat.
Saat bel pulang sekolah mulai berbunyi, anak anak seisi kelas langsung berhamburan keluar kelas. Tak butuh waktu lama sampai kelas itu kosong, menyisakan Eri , Arya , Daniel , serta Bella dan teman temannya.
“eri?....” panggil Arya. Eri tidak menyahut.
Arya memandangi sosok yang sedikit lebih kecil di sampingnya. Rambut Eri yang bergelombang menutupi sedikit bagian telinganya, dan sebagian besar dahinya. Hidungnya tidak terlalu mancung, seperti layaknya hidung orang Asia. Bibir anak itu berwarna cerah , dengan proporsi yang sangat pas dengan bentuk mukanya.
Ketika Arya akan memanggil anak itu lagi, ia mengurungkan niatnya , dan malah menjulurkan tangannya ke arah kepala Eri.
Eri seakan tersadar dari lamunannya ketika Arya kembali mengusap kepalanya dengan lembut. Anak itu menoleh kepada Arya, dan tersenyum untuk berterima kasih.
Senyum itu lagi, pikir Arya.
Daniel langsung bangkit dari kursinya ketika ia melihat Arya mengusap kepala Eri. Entah apa yang membuatnya merasa tidak nyaman ketika melihat adegan itu.
“dek!” panggil Daniel dari arah belakang Eri.
Ketika mendengar suara itu , kedua bahu Eri langsung menegang ,namun ia sama sekali tak berani menoleh.
“eh Daniel!” Bella menyela Daniel yang baru saja akan menghampiri Eri. “kita pulang yuk, udah jam segini nih..”
“iya bentar. Gue mau ke Eri dulu” jawab Daniel datar.
“ih ngapain sih ngurusin anak itu. Udah kita pulang aja yuk sekarang, kita kan harus makin deket mulai sekarang!” seru Bella dengan volume yang sengaja di keraskan agar terdengar sampai tempat Eri.
Eri mengatupkan kedua giginya menahan emosi. Dengan sekali sentakan, anak itu menarik tasnya dan berjalan cepat meninggalkan ruang kelas.
“ERI!!” Arya dan Daniel memanggil bersamaan.
Kedua pemain basket itu berpandangan sejenak, namun Arya langsung berlari mengejar Eri keluar kelas…
.
.
.
“Ri! Eri!!”
Eri tak memelankan langkah kakinya walaupun berkali kali ia mendengar suara yang memanggil namanya. Seolah olah yang ada di kepalanya hanya perintah untuk berjalan. Berjalan sejauh mungkin dari orang itu .
Eri baru berhenti ketika Arya telah berhasil mengejarnya, dan menahan bahu anak itu.
“RI? Lo kenapa??” tanya Arya khawatir. Tak ada ekspresi apapun di wajah Eri. Tak ada tanda tanda kesedihan, maupun ekspresi lainnya. Semuanya datar, seakan akan Arya sedang menatap ke arah sesuatu yang tak bernyawa.
Namun sedetik kemudian, muncul ekspresi Eri yang terlihat salah tingkah, seakan baru tersadar dengan apa yang ia lakukan.
“enggak… gak pa pa..” jawab Eri sambil memandang lantai koridor sekolah di bawahnya.
“gak pa pa apanya?? Lo langsung lari keluar kelas gitu aja tiba tiba! Lo kenapa sih??”
“se−seriusan gue gak apa apa kok..”
Arya mendekatkan wajahnya ke wajah Eri untuk memperhatikan muka anak itu dengan lebih jelas. Namun Eri malah menjauh, dan menciptakan jarak di antara mereka.
“lo bisa cerita semuanya ke gue ri , gue bakal nemenin dan dengerin lo..” balas Arya. Pemain basket itu menatap lurus ke arah mata Eri, dan untuk sesaat mereka berpandangan.
Eri menatap lurus ke arah mata Arya , dan begitu juga sebaliknya. Perbedaan tinggi diantara mereka membuat Eri harus sedikit mengangkat kepalanya, dan Arya harus menundukkan kepalanya.
Waktu seakan terhenti , dan entah apa yang mendorong Arya bergerak mendekati Eri tanpa memutuskan kontak mata mereka.
Perlahan makin dekat… Tak ada orang di sekitar mereka, tak ada satupun yang akan menghalangi.
Lebih dekat lagi… Bayangan tubuh Arya yang lebih tinggi mulai membayangi Eri saat jarak di antara mereka berdua mengecil.
Sangat dekat… Arya sedikit membungkuk agar tingginya bisa sejajar dengan Eri, dan perlahan ia mendekatkan mukanya, sampai sampai Eri bisa merasakan nafas membelai wajahnya. Tinggal beberapa senti lagi.. Eri bisa mencium bau Arya , yang mirip sebuah sample parfum di sebuah supermarket..
Arya sudah membuka sedikit mulutnya ketika ia terhenti. Tangan Eri menahan tubuhnya dengan kuat, bahkan pemain basket berambut cepak itu tak bisa mendekat semili pun ke arah Eri.
“gue gak apa apa kok.”
Sambil berkata begitu, Eri perlahan mendorong Arya menjauh dengan sebelah tangan. Mukanya kembali datar tanpa ekspresi apapun .
“tapi..” muka Eri perlahan memerah. “makasih udah nanyain” . Ekspresi anak itu tetap datar, namun rona merah di wajahnya menyebar. Ia sepertinya tak menyadari apa yang baru saja akan terjadi.
Arya sedikit mencelos ketika melihat reaksi Eri, namun ia hanya mengusap bagian belakang kepalanya karena salah tingkah. “em−sama sama..”
“lo yakin gak mau cerita ke gue? Siapa tau gue bisa bantuin lo?” tanya Arya, masih dengan nada khawatir di dalam suaranya.
Eri menggeleng pelan. “gak apa apa ya, dengan tau niat lo buat bantuin gue aja itu udah cukup kok”
Deretan gigi Eri terlihat rapi ketika anak itu tersenyum lebar pada Arya. Memang tidak sebahagia senyumnya yang biasa, tapi ini sudah cukup untuk membuat Arya terpaku sesaat. Bagian mata Eri yang berwarna kecoklatan lebih besar dari orang pada umumnya, membuat siapapun betah menatapnya berlama lama, termasuk Arya.
Pemain basket bambut cepak itu tampak membuka mulut, tapi menutupnya kembali ketika tak ada suara yang keluar. Entah Eri menyadarinya atau tidak , muka Arya memerah sesaat tadi.
“kayaknya gue harus pulang, mungkin kakak gue udah nungguin..” ujar Eri. Ia teringat Rio menawarkan akan menjemputnya tadi pagi.
“g−gue anterin ya?” tawar Arya, yang dibalas Eri dengan anggukkan singkat.
Suasana koridor di sekitar mereka sudah sangat sepi, karena entah kenapa Eri membawa dirinya melangkah ke bagian sekolah yang jarang dilewati orang. Yang terdengar hanya suara langkah kaki mereka berdua, dan sesekali suara pengurus sekolah yang sedang bekerja.
Eri berjalan sedikit di depan, dan Arya menikmati posisinya yang berada di ‘blind spot’ Eri. Dengan begini, ia bisa memandangi anak itu tanpa takut ketahuan , kecuali Eri mempunyai mata di belakang kepalanya.
Tanpa mereka sadari gerbang sekolah hanya tinggal beberapa meter di depan mereka, namun tidak ada siapa siapa disana.
“kayaknya kakak gue belum dateng..” ujar Eri.
“mungkin dia lupa kali, mau gue anterin??” tawar Arya, sambil berharap Eri akan mengiyakannya.
Tak seperti harapan Arya, anak di depannya menggelengkan kepala. “enggak, makasih. Dia pasti dateng kok.” Eri menjawab sambil tetap memandangi gerbang sekolah, seakan Rio bisa datang kapan saja.
“ohh…..” Arya kehabisan kata kata.
Tak ada siapapun kecuali mereka berdua di sana, kecuali angin yang kadang kadang bertiup pelan , seakan menggoda Arya karena tak berani mengambil tindakan. Tindakan apapun itu, pemain basket itu sendiri belum tahu.
Aliran darah mengalir deras ke tangan Arya, ia tak tahan ingin menyentuh Eri , tapi otaknya menahan diri agar ia tak melakukan hal yang bodoh.
Tapi ia tak tahan lagi.
Arya langsung mengangkat kedua tangannya dan menangkap kepala Eri, seakan ia sedang memegang bola basket yang sangat mahal.
“A−Arya??”
CUP.
Sebuah kecupan mendarat di dahi Eri. Anak itu mengenal sensasinya, seperti sesuatu yang lembut menyentuh kulitnya dan membuat daerah yang tersentuh menjadi sedikit terasa geli.
Sontak saja muka Eri langsung memerah, seluruh badannya tak bisa diajak bekerja sama saat perlahan tenaga mulai menguap dari setiap ototnya.
Arya mengakhiri kecupannya, dan ia menyesali apa yang baru saja ia lakukan. “ma−maafin gue ri! g−gue bener bener− ah!”
Eri tak tahu kelanjutan dari kata kata Arya karena pemain basket itu langsung berlari meninggalkannya. Keterkejutan masih memenuhi anak itu, namun karena pikirannya sedang dipenuhi hal lain, ia tidak terlalu memusingkan masalah ini.
Entah benar benar polos atau bodoh, Eri menganggap hal yang barusan terjadi itu hal yang biasa. Karena entah kenapa, jantungnya sama sekali tidak berdebar keras , ataupun berdetak kencang.
“TIINNNNNN..”
Eri menoleh ke arah suara klakson motor itu berasal, dan melihat kakaknya duduk di atas motor. Entah sejak kapan….
Buat yang masih mau baca, udah di update yaa maaf kelamaan @Gabriel_Valiant @Tsu_no_YanYan @mustaja84465148
@zeva_21 @d_cetya @alfa_centaury @ddonid @dafaZartin
@yuzz @master_ofsun @Adityaa_okk @Mr_Makassar @Needu @arifinselalusial @cee_gee @uci @ananda1 @cee_gee
Thx dah mention~ #walaupungakmasuk
@dafaZartin @uci