It looks like you're new here. If you want to get involved, click one of these buttons!
Copyright 2021 Queer Indonesia Archive. See our Privacy Policy. Contact us at [email protected]
Dengan menggunakan situs ini berarti Anda setuju dengan Aturan Pakai.
BoyzForum.com adalah situs anti pedofilia!
Comments
Part ini bikin penasaran n penuh tanda tanya
lagiiiii><
Kalo' udah kok aku nda' di mentiooon ?
Kalo' belum mentionin yahh !!! ^^
Pagi itu tak ada tanda tanda dari Rio. Kamarnya masih terkunci dan hening seperti tempo hari, sehingga Eri mengurungkan niatnya untuk bertanya.
Ayah dan ibunya pun tak terlihat batang hidungnya. Jika bagi keluarga lain weekend adalah ‘hari keluarga’ maka itu tidak berlaku bagi Eri. Sabtu dan minggu adalah hari dimana biasanya matahari bersinar cerah, seakan menyindir Eri yang hanya bisa berdiam diri di rumah.
Dan sambil mendengus kesal, Eri sedikit berharap pagi itu akan ditutupi awan kelabu.
Handphone nya bergetar ketika ia sedang duduk di meja makan, menandakan sebuah pesan masuk.
-Ri, mau nemenin gue jalan gak sama Rara?
Entah apa yang berada di pikiran Kemal. Kalaupun ada seseorang yang minta ditemani saat sedang berpacaran, itu seharusnya dilakukan oleh Rara dan bukan oleh Kemal. Dan bukannya kalau Eri ikut ia hanya akan mengganggu? Apalagi Rara menyuruh Eri untuk menjauhinya.
Menghela nafas, Eri mengetikkan jawabannya - yang sudah pasti menolak – dan menaruh handphonenya di atas meja makan.
Sambil menggigit rotinya, Eri berjalan ke depan tv dan duduk di atas sofa. Matanya memandang tajam layar berwarna itu, berharap ada acara yang dapat mengisi paginya kali ini. Namun yang ada hanyalah berita berita dan gosip pagi, serta acara musik yang menampilkan sebuah boyband.
“kamu sekarang nonton beginian?” tanya sebuah suara di belakang Eri.
Seketika Eri langsung menoleh kaget, dan langsung bernafas lega ketika ia mengetahui siapa yang berada di belakangnya. “sejak kapan kakak masuk??...” tanya Eri pada Daniel – yang sedikit menahan tawa ketika melihat ekspresi kaget Eri.
“barusan kok, kamu serius banget sih nonton boyband nya..” sindir Daniel . Ia melompati sofa dari belakang, dan duduk di samping Eri.Hari ini ia memakai celana jeans , dengan kaus abu abu sebagai atasannya.
“aku gak nonton itu! kebetulan aja ada di tv..” sanggah Eri dengan muka yang mulai bersemu. “tumben kakak rapi banget..” tanya nya sambil memperhatikan pakaian Daniel.
Bukannya menjawab, Daniel malah menggigit roti yang di pegang Eri , tepat di bekas gigitan Eri.
“i-itu bekas aku kak!” ujar Eri memperingatkan.
“terus kenapa?” sahut Daniel tidak peduli sambil mengunyah rotinya. Dengan muka yang mulai memerah Eri menggelengkan kepala. “kamu nanya apa tadi?” lanjut Daniel.
“eng-engggak aku cuma nanya kenapa kakak rapi banget hari ini..” jawab Eri. Mulutnya menelan potongan roti yang hanya tersisa sedikit, dan mukanya menghangat entah kenapa.
Walau Eri dan Daniel sering berbagi – dalam banyak hal – dan walau mereka juga tidak keberatan menerima bekas makanan atau minuman satu sama lain, entah mengapa muka Eri tetap memerah.
“kakak mau ngajak kamu nonton dek, mau gak?” ajak Daniel sambil menelan roti yang ia makan.
“nonton???” tanya Eri dengan mata berbinar. “mau mau mau!” jawab Eri bersemangat. Terbiasa melewati hari hari yang membosankan, membuat Eri selalu menyambut tawaran yang diajukan padanya – apalagi dari Daniel.
“aku siap-siap dulu ya!” seru Eri sambil berlari masuk ke dalam kamarnya untuk mengambil baju, dan tak lama ia keluar dan berjalan cepat menuju kamar mandi. Senyum lebar terpampang di wajahnya.
Daniel sendiri hanya bisa tersenyum kecil – dan walaupun sangat samar – pipinya sedikit bersemu melihat reaksi Eri.
∞
Lagu Could it be yang dilantunkan seorang penyanyi muda berparas cantik itu menyambut mereka ketika Eri dan Daniel berjalan masuk melewati pintu mall.
Suasana mall cukup ramai, pengunjung yang datang bersama keluarga mereka tampak lalu lalang tanpa sedetikpun melepas perhatian mereka dari anak anak yang mereka bawa. Adapun pengunjung remaja yang datang bersama teman mereka, biasanya dalam kelompok yang terdiri dari beberapa laki laki dan beberapa perempuan.
Para pasangan pun tak ketinggalan meramaikan suasana, asik berpegangan tangan dan saling merangkul seakan tidak ada siapapun di dalam mall itu kecuali mereka berdua. Lain halnya dengan pengunjung yang datang sendiri, biasanya mereka datang hanya untuk keperluan mendadak tanpa ada waktu untuk melihat lihat.
Hal itu membuat Eri berfikir sejenak, dalam kategori apa ia dan Daniel sekarang?.
“wah rame banget dek” ujar Daniel membuyarkan lamunan Eri. Mall memang selalu menjadi sasaran utama ketika hari libur, ketika keluar kota menjadi pilihan yang sedikit merepotkan.
“kita langsung ke bioskop nya aja kak, beli tiketnya dulu” usul Eri sambil berusaha berjalan menerobos kerumunan manusia.
“sip dek” jawab Daniel sambil menyamakan langkahnya dengan Eri. “kamu jangan jauh jauh dari kakak ya” tambahnya sambil meraih tangan Eri dan menggenggamnya erat.
Eri sedikit tersentak ketika Daniel menggenggam tangannya. Tangannya yang sedikit lebih kecil dari tangan Daniel berubah kaku ketika Daniel menyentuhnya.
Namun ketika ia menyadari bahwa tentu tak akan ada yang memperhatikan mereka di tengah keramaian ini, Eri balas menggenggam tangan Daniel. Tentu saja dengan muka yang memerah.
Mereka belum berjalan terlalu jauh dari pintu masuk, ketika seorang perempuan muncul dan langsung mengenali sosok Daniel yang jangkung dari kejauhan…
∞
Why do birds suddenly appear everytime , you are near ~
Speaker di dalam bioskop melantunkan lagu Close to you lengkap dengan melodi yang berasal dari instumen piano. Lagu yang pelan, namun bisa membuai siapa saja yang mendengarnya. Suara sendok yang beradu dengan gelas terdengar dari meja meja yang di gunakan sebagai tempat makan, seakan menyatu dengan suasana.
Ruangan bioskop rupanya tidak terlalu ramai, entah karena sebagian penonton sedang berada di dalam studio dan menikmati film pilihan masing masing, atau karena sedang menunggu waktu sampai film mereka di putar di tempat lain, selain di dalam bioskop lantai 3 ini.
Dan Eri – menyadari kondisi yang tidak terlalu ramai – melepaskan tangannya dari genggaman Daniel. Tentu saja, Eri tidak tahu ketika dalam sedetik tadi raut wajah Daniel berubah kecewa.
Antrian di depan counter pun dengan cepat menipis, membuat Eri dan Daniel sudah berada di depan salah satunya.
“kamu mau nonton apa? Nenek gayung?” tanya Daniel iseng sambil menunjuk ke arah poster yang menampilkan sebuah sosok nenek nenek yang menyeramkan.
Eri dengan cepat menggeleng. “tapi terserah kakak aja..” tambahnya sambil menundukkan kepala. Eri memang anti dengan segala sesuatu yang berbau horror ataupun mistis, membayangkannya pun ia sudah ngeri. Tapi ia tentu tidak bisa menolak jika Daniel memilih film itu, karena biaya nya kali ini pun Daniel yang menganggung.
“ya enggak lah, kakak cuma bercanda!” Ujar Daniel sambil mengelus kepala Eri. Senyuman muncul di wajahnya, membayangkan Eri yang akan menempel erat padanya jika mereka menonton film itu , namun ia mengurungkan niatnya tersebut.
Perempuan yang menjaga counter itu entah kenapa tak bisa melepaskan matanya dari Daniel. Sama seperti kebanyakan kaum hawa yang mereka lewati dalam perjalanan menuju bioskop tadi, kebanyakan mata menuju pada Daniel. Bahkan mereka yang sudah punya pasangan pun masih nekat memandangi pemain basket itu.
“emm.. Man in Black aja deh mba” ujar Daniel ke arah perempuan itu.
“oke , Man in Black ya” sahut perempuan itu sambil sesekali tersenyum genit. “untuk yang jam berapa?”
Eri sontak langsung mengecek jam yang kebetulan berada di belakang counter. 10:30 , kurang lebih itulah yang tertera di sana. Sedangkan waktu tersedia untuk film itu hanyalah jam 11:15 yang terdekat.
“yang jam 11:15 aja mba” jawab Daniel.
“yang jam 11:15 ya, untuk berapa orang?” tanya perempuan itu lagi, seakan ingin mengulur waktu. Matanya memandangi Daniel sambil sesekali berkedip.
“2 orang aja mba. Kursinya di pinggir.” Ujar Daniel sambil menunjuk ke layar komputer yang menampilkan denah studio.
“totalnya 50 ribu….”
Daniel dengan segera mengeluarkan selembar uang seratus ribu dari dompetnya dan menaruhnya di atas meja.
“gak ada uang pas aja?” tanya perempuan itu, yang masih berusaha mengulur waktu.
“gak ada mba.” Jawab Daniel. Eri hanya bisa mengintip dari belakang Daniel ketika matanya bertemu dengan mata perempuan itu. Mau tak mau Eri memperhatikan beberapa perempuan penjaga counter lain yang sekarang berbisik bisik tak jauh dari mereka, sambil diam diam memperhatikan Daniel.
Dan ketika mereka berjalan menjauhi counter , perempuan yang berbicara dengan Daniel langsung bergabung dengan penjaga counter lainnya yang menyambut dengan antusias. Eri yang menoleh ke arah counter langsung mengalihkan kepalanya, ketika ia merasa di perhatikan oleh para perempuan itu.
Entah kenapa ia tidak suka ketika perempuan itu dengan gaya genit berbicara pada Daniel. Entah karena gaya nya yang terlalu genit, atau karena ia menjadikan Daniel sebagai sasaran, Eri pun tak tahu.
“kamu kenapa?” tanya Daniel yang rupanya menyadari ketidak-fokusan Eri.
“e-eh , enggak pa pa kok…” Eri yang barusan melirik kembali ke arah counter kembali menolehkan pandangannya.
Daniel mengintip ke arah counter , dan para perempuan di balik sana langsung tersenyum senyum centil. Kemudian Daniel memandang Eri, yang terlihat tidak nyaman di sampingnya. Menangkap apa yang terjadi, Daniel tersenyum lebar sambil menggandeng tangan Eri.
“kita makan dulu yuk! ” ujar Daniel sambil menarik tangan Eri keluar bioskop. Eri yang tidak siap hanya bisa pasrah ketika tangannya di tarik, tanpa memperhatikan kalau perempuan di balik meja panjang sana langsung berbisik bisik menatap mereka.
“kamu mau makan apa dek?” tanya Daniel begitu mereka keluar dari bioskop. Suara riuh rendah pengunjung langsung menyambut mereka kembali, menyatu dengan suara musik yang keluar dari speaker.
“emm aku gak bawa uang tapi..” ujar Eri lesu, ketika Daniel langsung mencubit pipinya.
“kamu ngomong apa sih dek?? Pake duit kakak aja lahh” sahut Daniel yang sedikit kesal dengan jawaban Eri.
“tapi aku gak enak sama kakak, kan kakak udah bayarin aku nonton..” ujar Eri lesu. Sudah menjadi sifatnya untuk merasa bersalah ketika mendapat bantuan dari orang lain. Apalagi Daniel sudah sering membantunya.
“santai aja kali dek!” seru Daniel gemas sambil mengacak acak rambut anak berkacamata di depannya. “kalo buat adek tersayang sih, apa aja kakak kasih” ujar Daniel spontan.
Sontak muka Eri langsung memerah ketika ia mendengar hal itu. Pandangannya lurus ke arah lantai, mencoba menyembunyikan mukanya yang memerah. “a-ap-apaan sih kak..” protes Eri, walau mukanya tak bisa berbohong.
“muka kamu merah tuh, berarti seneng dong dipanggil adek tersayang??” seru Daniel dengan senyum usil di wajahnya. “eh kita makan di situ aja yuk!” Daniel menarik Eri ke arah sebuah restoran, sebelum Eri bisa menjawab.
2 patung lucu menyambut mereka ketika Eri dan Daniel berjalan melewati pintu masuk. Patung dengan kepala besar yang bisa bergerak-gerak itu menjadi ciri khas restoran yang satu ini.
Restoran dengan interior khas kayu ini untungnya tidak terlalu penuh, karena memang belum masuk ‘jam makan’. Para pengunjung sedang antri menyamping dengan nampan masing masing di depan mereka. Disini para pengunjung memilih langsung makanan dan minuman yang akan di konsumsi, dan membayarnya langsung di kasir.
Kebanyakan makanannya berciri khas dari negeri sakura di Asia, dan walaupun sebagian besar makanannya cukup mudah untuk dibuat sendiri , restoran ini tidak pernah sepi pengunjung.
“kamu mau makan apa?” tanya Daniel kepada Eri, di depan mereka telah nampak berbagai jenis makanan yang berada di balik kaca.
“k-kakak aja yang makan..” tolak Eri , masih menundukkan kepala. Menghela nafas, Daniel langsung memesan.
“emm yang itu mba, dua ya” tunjuk Daniel ke arah makanan yang berbahan dasar ayam, seperti chicken katsu. “sama beef teriyaki nya ya mba satu.” Tambah Daniel yang memang tidak akan kenyang dengan satu jenis makanan.
“kan aku bilang aku gak makan..” ujar Eri seraya menarik pelan kaos Daniel.
“udah terlanjur di ambil dek!” sahut Daniel sambil tersenyum, tangannya sibuk mengangkat piring ke atas nampan.
Eri masih berusaha memprotes, bahkan ketika mereka bergeser ke kasir.
“kamu makan ya dek. Kakak gak mau kamu sakit…” ucap Daniel dengan tatapan lembut, tangannya mengelus kepala Eri.
Mata mereka bertemu, membuat Eri langsung mengalihkan mukanya yang memerah.
“makan ya?...” pinta Daniel – masih dengan nada bicara yang lembut. Nada yang membuat Eri tidak bisa menolak lagi, dan akhirnya mengangguk pelan karena antrian sudah mulai menumpuk, bahkan beberapa pengunjung berbisik sambil melirik ke arah mereka.
Setelah Daniel membayar makanan mereka, plus 2 botol air mineral dan pudding coklat (Eri tampak memperhatikan makanan itu, sehingga Daniel langsung membelinya) , mereka mengangkat nampan dan memilih untuk duduk di salah satu sisi ruangan.
Daniel langsung sibuk dengan makanannya, sedangkan Eri di sebrangnya menyempatkan diri untuk memperhatikan seisi ruangan.
Tak jauh dari mereka ada sebuah keluarga dengan 3 orang anak, 1 masih balita , yang satunya lagi anak perempuan yang kira kira berumur 7-9 tahun , dan yang tertua adalah anak laki laki yang berumur sekitar 17-19 tahun.
Terlihat sekali rentang umur di antara mereka, sang kakak yang mungkin sudah kuliah , anak kedua yang menginjak bangku SD dan anak balita yang paling paling berumur 1-2 tahun.
Di samping mereka ada pasangan yang sedang asik makan sambil mengobrol , entah apa yang dibicarakan si perempuan , namun pasangannya hanya bisa mengangguk sesekali – terlihat jelas kalau ia bosan.
Tapi rata-rata yang mengisi ruangan adalah pengunjung berkeluarga, dan beberapa kelompok remaja yang membuat suasana menjadi sedikit ribut karena mereka tak pernah berhenti berbicara.
“kenapa gak dimakan?..” tanya Daniel dengan mulut penuh dengan nasi.
“ini baru mau makan kak” jawab Eri , mengalihkan pandangannya dari keluarga yang berada tak jauh dari mereka.
Eri dan Daniel makan dalam diam, karena memang tak ada yang perlu dibicarakan. Mereka memang lebih sering menghabiskan waktu dalam kesunyian, karena kehadiran satu sama lain sudah cukup bagi mereka.
Untuk mencari kegiatan, Eri sesekali melirik ke arah keluarga dengan tiga orang anak itu. Sang ibu sedang menyuapi anak balita nya dengan sejenis bubur bayi, dan sang kakak sesekali menyuapi adik perempuannya sambil berbicara dengan sang ayah.
Eri mendadak teringat keluarganya sendiri. Dan entah kenapa pemandangan tadi terasa berat untuk dilihat, sehingga Eri kembali memalingkan mukanya.
Daniel rupanya sadar, dan langsung menoleh sekilas ke arah keluarga - tiga anak itu.
Sebagai anak tunggal dengan orang tua yang super sibuk, Daniel lebih banyak menghabiskan waktu sendirian atau menemani Eri yang bernasib sama. Sehingga Daniel sedikit banyak tahu apa yang di rasakan Eri.
Tersenyum, Daniel mengelus kepala Eri pelan dengan sebelah tangannya. Piringnya sudah bersih bahkan ketika Eri Baru menghabiskan setengah makanannya.
“kenapa??..” tanya Eri, karena Daniel tiba tiba mengelus kepalanya sambil tersenyum.
“gak …. Gak pa pa kok …” jawab Daniel dengan tersenyum, dan walau ia sudah melepaskan tangannya dari kepala Eri, senyum Daniel sudah cukup untuk membuat muka anak itu menghangat.
Ckrek. Terdengar bunyi khas kamera handphone dari belakang Eri, membuat keduanya langsung menoleh. 4 orang perempuan yang duduk di meja belakang Eri sambil cekikikan, salah satunya tampak salah tingkah sambil memegang handphone Blackberry nya. Jelas sekali kalau ia baru saja memfoto Daniel.
“maaf , boleh minta fotonya sekali lagi gak??” pinta seorang perempuan yang tampaknya paling berani di antara mereka, tanpa tahu malu.
“boleh kok!” sahut Daniel sambil mencondongkan badannya ke depan, hampir sejajar dengan Eri di depannya. Entah kenapa ketika Daniel menjawab , perut Eri seperti tertekan , seakan sesuatu yang berat jatuh di dalam perutnya.
Jawaban Daniel sontak membuat para perempuan yang masih SMA itu kegirangan, dan bahkan sekarang masing masing langsung mengeluarkan handphone. Eri yang membelakangi mereka, berusaha untuk tidak merasa tidak terganggu dan melanjutkan kegiatan makannya.
Salah seorang perempuan dengan cardigan hitam memberikan aba aba. “tigaa…. Dua… satu…”
Ckrek. Para perempuan itu melongo. Eri juga melongo.
Pada saat hitungan terakhir, Daniel mengecup pipi Eri.
∞
“kakak ngapain sihh??” protes Eri ketika mereka berjalan keluar dari restoran.
“emang kenapa?” tanya Daniel dengan senyum jahilnya.
“ya masa kakak nyium aku, di depan umum pula!” seru Eri. Ia kehabisan kata kata saat Daniel mengecup pipinya tadi. Begitu juga dengan para perempuan yang memfoto mereka. Untungnya Eri membelakangi kamera, sehingga mukanya tidak terlihat di dalam foto tersebut.
“kamu gak protes waktu di rumah si nenek itu” ujar Daniel , mengingatkan Eri akan kejadian saat hari ulang tahunnya.
“ya kan waktu itu gak di depan umum..” jawab Eri membela diri, mukanya masih memerah padam dengan kedua pipi yang menggembung dan kaki yang berhenti melangkah.
“berarti kalo gak di depan umum kamu mau?..” tanya Daniel iseng, langkahnya juga terhenti. Mukanya seakan penuh kemenangan karena terlah berhasil membuat muka Eri memerah, atau karena telah mengecupnya?
“ah kakak mahhh!!” mata Eri mulai berair dan pipinya bergetar. Entah kenapa ia ingin menangis. Namun bukan karena sedih, melainkan karena ada sebuah luapan perasaan yang Eri sendiri tidak mengerti bagaimana cara mengungkapkannya. Bahkan ia tidak tahu apa yang dirasakannya. Seperti ada yang menggebu gebu di dalam dirinya, membuat denyut nadinya bergejolak dan nafasnya tidak beraturan.
Sedih ? Tidak, gejala ini sangat jauh dari sedih. Kesal? Ya ada sebagian dari dirinya yang merasakan itu. Senang? Sepertinya lebih dari itu.
“eh-eh maaf, kakak cuma bercanda..” Ujar Daniel panik saat melihat mata Eri yang mulai basah. “jangan nangis dong dek..” kedua tangannya memegang pipi Eri, merasakan hangatnya suhu tubuh anak itu. Eri memalingkan mukanya yang memerah dari pandangan Daniel.
“nanti kakak beliin coklat deh di bioskop…” ujar Daniel, teringat pudding coklat yang tadi tidak Eri makan, karena ia terburu buru meninggalkan meja. “jangan ngambek ya…” Daniel menundukkan kepalanya dan menempelkan dahinya ke dahi Eri , membuat ujung hidung mereka bersentuhan.
“iya iyaaaaa” ujar Eri sambil mendorong Daniel , merasa terganggu ketika orang orang yang lewat mulai memperhatikan mereka.
Eri langsung mengusap kedua matanya dengan tangannya, menghilangkan sisa sisa air mata yang menggenang.
“udah gak ngambek kan ?....” tanya Daniel iseng. Eri menggelengkan kepala, dan langsung berlari ke arah bioskop yang tak jauh dari restoran tempat mereka makan barusan. Daniel mengikuti di belakangnya, sambil tersenyum kecil melihat tingkah laku Eri.
Eri sendiri berlari bukan karena ingin, tapi ia bingung. Ketika hidung mereka bersentuhan tadi, entah kenapa Eri tiba tiba tergoda untuk mempersempit jarak di antaranya dan Daniel. Dan ia dapat merasakan detak jantungnya yang menggebu gebu..
∞
“kalian nonton juga?..”
Eri tertegun ketika sebuah suara yang ia kenal menyapanya dan Daniel. Bella baru saja bergabung dengan mereka di depan pintu bioskop.
Daniel langsung mengangguk, dan menyadari kalau Bella ternyata tidak datang sendiri, melainkan bersama seorang perempuan yang mirip dengannya walau tampak sedikit lebih dewasa.
“Kenalin ini kakak gue-“
“Cecilia?” sambar Daniel.
Perempuan di samping Bella tersenyum. “Hai Daniel” balasnya.
“lo berdua udah saling kenal?” tanya Bella heran, seingatnya Daniel dan kakaknya yang menginjak bangku kelas 11 belum pernah bertemu.
“siapa sih yang gak kenal Daniel, pemain basket paling jago dan ganteng satu sekolahan?” ujar Cecilia. Eri baru memperhatikan mukanya yang menakutkan. Bukan menakutkan dalam arti seram, justru Cecilia sangat cantik dan mukanya penuh dengan riasan. Yang menakutkan adalah bagaimana riasan sebanyak itu justru membuatnya terlihat makin menarik.
“siapa juga yang gak kenal Cecilia, orang yang paling sering gonta-ganti pacar satu sekolahan?” sindir Daniel yang menaikkan sebelah alisnya.
Cecilia tertawa – tawa yang anggun, namun sayangnya dibuat buat. “dan gue belom tau nama temen lo yang satu lagi..” tanya Cecil , lebih ke arah Daniel daripada Bella , walaupun perempuan itu tetap menjawab.
“yang itu namanya Eri , temen deketnya Daniel..” ujar Bella. Entah kenapa suaranya terdengar aneh saat ia mengatakan ‘temen deketnya’ .
Eri mundur sedikit ke belakang Daniel, ketika mata Cecilia mulai menatapnya dari bawah hingga atas seakan menilainya. “lumayan, temen lo lucu juga…” ujar Cecil sambil tersenyum tipis.
Eri berusaha mengabaikan kata kata itu, namun ia mencengkram baju Daniel dari belakang. Sesuatu di dalam dirinya langsung merasa tidak nyaman dengan gerak gerik perempuan itu.
“gue kira lo ngincer yang lebih… apa namanya? ‘gaul’ ?” tanya Daniel dengan senyum di wajahnya.
Cecilia ikut tersenyum. “tenang aja , temen lo gak termasuk kategori inceran gue kok” balasnya sambil menatap lurus ke arah Daniel.
Ada yang aneh dengan Daniel dan Cecilia. Bibir mereka menunjukkan senyuman, namun di mata Eri wajah mereka terlihat dingin. Seakan senyum malah membuat mereka semakin terlihat meng-intimidasi.
“lo nonton apaan Dan?” tanya Bella , yang tidak terlalu peka terhadap suasana.
“Men in Black bel “ Jawab Daniel, mengalihkan tatapannya dari Cecilia – yang melakukan hal serupa.
“wahh sama dong, kita barengan yuk!” ujar Bella berseri seri.
Eri baru mengerti maksudnya ketika mereka berjalan memasuki studio bioskop. Tak seperti Daniel dan Eri yang harus memberikan tiket terlebih dahulu, kakak-beradik itu bisa langsung masuk begitu saja. Bahkan pemeriksa tiket yang berjaga di depan pintu sampai membungkuk begitu tahu siapa yang datang.
Ternyata desas desus yang beredar tidak begitu salah, mengenai orang tua Bella yang turut berperan dalam pembangunan Mall ini. Tidak mengherankan kalau keluarga mereka adalah keluarga yang sangat berlimpah dalam kategori harta.
Kursi VIP sudah menunggu kedua perempuan itu , kursi tanpa nomer yang di siapkan khusus untuk orang orang tertentu.Letaknya sangat strategis , yaitu di barisan tengah dan jaraknya tidak begitu jauh dan tidak terlalu dekat ke arah layar.
Sedangkan Eri dan Daniel berada di barisan sebelah kiri. Kursi Daniel bersisian dengan tangga, membuatnya harus merapatkan kakinya setiap ada orang yang lewat. Untungnya deretan kursi di samping kiri Eri sudah penuh terisi dengan penonton lain, karena tadi Bella sempat melirik deretan kursi di sampingnya itu.
“kamu mau?..” tanya Daniel, menunjuk seorang pegawai bioskop yang lewat sambil membawa popcorn serta daftar makanan dan minuman.
“coklat nya jangan lupa!” bisik Eri pelan. Daniel terkekeh kecil, dan langsung memanggil sang pegawai.
Daniel membeli popcorn karamel berukuran besar untuknya dan Eri, sebungkus coklat silver queen , dan ia memesan 2 Lemon tea . Film tepat dimulai ketika minuman mereka datang, bersamaan dengan redupnya lampu di langit langit studio.
∞
Entah sejak kapan film sudah mulai memasuki bagian akhir, bagian dimana sang pemeran utama akhirnya mengetahui bahwa ternyata ayahnya meninggal karena nyawanya di renggut oleh alien. Entah sejak kapan juga Eri menyenderkan kepalanya di bahu Daniel, dengan mata sedikit memerah karena adegan yang sedikit menyedihkan.
Tak berapa lama kredit film muncul di layar, bersamaan dengan menyalanya lampu studio. Eri langsung menegakkan badannya, membuat Daniel menghela nafas dalam diam. Para penonton mulai beranjak dari kursi masing masing keluar bioskop, dengan antusias membicarakan film yang baru saja mereka tonton.
Barusan sudut mata Eri menangkap sosok Rara dalam sekejap, namun ia mengabaikan pikiran itu karena sosok perempuan berkulit cerah itu sudah tak terlihat lagi. ‘cewek kulit putih kan bukan Rara doang’ , pikir Eri.
Sambil meregangkan tangannya, Eri menoleh ke arah Daniel. “kita mau kemana lagi abis ini?”
“kamu maunya ke mana dek?” Daniel balik bertanya sambil meminum sisa lemon tea nya.
Salah jika bertanya kepada Eri, karena ia jarang sekali pergi keluar rumah dan ia pun tidak tahu tempat yang layak untuk di kunjungi di Mall ini. Namun matanya langsung berbinar ketika ingat sebuah tempat.
“e-em.. k-kalo ke toko buku mau gak kak?..” tanya Eri takut takut. Entah kenapa sikap rendah diri sudah menjadi bagian dari Eri, bahkan untuk meminta sesuatu pun ia terkadang tak bisa.
“ya mau lah, kamu nanya nya kenapa takut takut gitu sih.” Jawab Daniel seraya menarik hidung Eri, membuat hidung anak itu memerah namun dengan senyuman di wajahnya.
Eri untuk sesaat lupa keberadaan Bella, sampai ketika perempuan itu muncul di samping Daniel.
“hai! Kalian mau kemana abis ini?” tanya Bella sambil tersenyum, rambutnya tergerai menyentuh bahu Daniel.
“mau ke toko buku bell” jawab Eri , dengan mata yang masih sedikit berbinar.
“ohhh, gue boleh ikut gak?” pinta Bella, dengan nada manja – yang pasti ditujukan untuk Daniel.
Sebelum Eri bisa menjawab , Daniel sudah memotongnya dan bertanya pada Bella. “kakak lo gimana bell?”
“Dia mah bisa jalan sendiri kok” jawab Bella santai. Dan memang Cecilia tidak terlihat batang hidungnya di dalam studio, maupun di luar bioskop ketika mereka berjalan keluar.
Daniel terpaksa membiarkan Bella mengikutinya dan Eri , sedangkan Eri tidak terlalu peduli selama ia bisa menuju ke toko buku. Bella sendiri tak tertarik untuk dekat dekat dengan tempat yang penuh dengan kertas itu, ia hanya tertarik pada pemain basket yang sedang berjalan di sampingnya.
“lo udah punya pacar belom Dan?” tanya Bella tiba tiba.
“kenapa emangnya?” tanya Daniel, wajahnya sedikit menoleh ke arah Bella di samping kanannya , walau sudut matanya tetap memperhatikan Eri yang berada si samping kirinya.
“nanya ajaa, masa cowo se-keren lo nggak punya pacar…” balas Bella, masih belum menyerah.
“gue lagi gak pengen punya pacar ” jawab Daniel datar. Kedua alis Bella langsung tertekuk.
Tapi Bella tak akan menyerah, lahir sebagai anak dari keluarga yang lebih dari berkecukupan, membuatnya selalu mendapatkan apa yang ia mau. Dan ia tidak terbiasa untuk tidak mendapatkan apa yang ia inginkan.
Eri langsung melesat begitu melihat salah satu toko buku ternama tak jauh dari mereka, buku buku yang terlihat dari kejauhan seakan memanggil nya, menyemangatinya untuk semakin mendekat. Namun gerakan Eri tertahan ketika Daniel menangkap tangannya.
“gak usah lari lari, entar kamu jatoh dek” ujar Daniel sambil menepuk kepala Eri , yang sekarang tampak sedikit terganggu karena kesenangannya tertahan.
Entah Bella harus memperhatikan apa, nada bicara Daniel yang melembut jika berbicara pada Eri , tatapan yang sangat perhatian dibanding biasanya , ataukah kata ganti aku-kamu yang dipakai Daniel pada Eri. Yang pasti ketika Eri kembali melesat entah kemana ketika mereka masuk ke toko buku – meninggalkan Daniel dan Bella – perempuan itu kembali berbicara.
“lo deket banget ya sama Eri” ujar Bella, ia sengaja membuat perkataannya terdengar seperti pernyataan, dibanding pertanyaan.
“kalo iya, emang kenapa?” tanya Daniel .
“y-ya gak pa pa sihh…” Bella tergagap ketika Daniel menjawabnya langsung.
Pemain basket itu menatapnya sekilas, sebelum akhirnya beranjak untuk menyusul Eri. Bella memandangi punggung yang makin menjauh itu, dan akhirnya hilang tertutupi kerumunan. Ia menggigit bibirnya karena kesal , baru pertama kalinya ada cowok yang tak tertarik padanya.
Dan ia memutuskan untuk mengganti strategi.
@3ll0 : Bakal tau kenapa kok , ditunggu yaa.
@Tsu_no_YanYan : jiaaah wakakak XD
@yuzz : thankss
@dafaZartin : maaf kayaknya salah aku dah
@zeva_21 : bakal tambah curiga abis ini .__.
@mustaja84465148 @Gabriel_Valiant @ddonid @ularuskasurius @alfa_centaury
sampe minggu depan gak bisa update karena ada acara, jadi updatenya sekarangg
Bella kau mengganggu saja [IMG]http://eemoticons.net/Upload/Onion Head/yakuza2.gif[/IMG]
hiyaaaa manis bgt sih Daniel-Eri>///<
Daniel terang-terangan banget ya! *salut
awas j ntar kalau sampai berani ngancam+ nyakitin eri.