It looks like you're new here. If you want to get involved, click one of these buttons!
Copyright 2021 Queer Indonesia Archive. See our Privacy Policy. Contact us at [email protected]
Dengan menggunakan situs ini berarti Anda setuju dengan Aturan Pakai.
BoyzForum.com adalah situs anti pedofilia!
Comments
cuma ada sedikit spasi yg berlebihan aja. tp overall bagus.
"Ia sendiri kaget ketika ia melakukan hal gila tadi pagi. Hal yang gila menurut Eri , karena jika pikirannya jernih , ia tidak akan melakukan hal itu."
kyaknya sebelum tanda "koma (,)" ga usah pake spasi mingkin jd lebih rapi deh. hehehe
Ceritanya Kwueren Buanget Dah..[IMG]http://eemoticons.net/Upload/Cool Face 2/cute_smiley9.gif[/IMG]
Rupanya Eri kurang beruntung esok harinya. Ia tidak bisa menemukan Rara dikelasnya. Bertanya pada Lily pun sepertinya percuma, karena walau mukanya sudah bersih dari memar - dia tampak tak ingin bicara. Dan berarti penyelidikannya tentang Rara hari ini tidak bisa berjalan. Karena ia tidak ingin membuntuti kakak kelas yang terlibat.
“waktu lo ga masuk, kita ada tugas kelompok fisika.” Ujar Eri di depan meja perempuan itu. Lily tampak tak memperhatikan, walau Eri tahu ia mendengarkan. “tenang aja semua udah gue kerjain.” Tambah Eri sambil berbalik pergi. Tak ada sepatah kata pun yang keluar dari Lily.
Yah sebenarnya Eri tidak terlalu memikirkan apa yang terjadi pada perempuan gosip itu, karena pikirannya sudah penuh oleh masalah Rara. Sebuah mind map muncul di dalam kepala Eri.
Dimana ada Rara dan Kemal yang dihubungkan sebuah garis, dengan Cecilia dan teman temannya sebagai penghalang.
Dan ketidak-beruntungan Eri tidak habis sampai disitu. Pagi itu entah kenapa wali kelas nya masuk , dan mengatur ulang seluruh tempat duduk murid-murid. Eri tetap berada di tempatnya, namun orang disampingya yang berganti.
“bantuin gue ya ri kalo misalnya ada ulangan!” ujar Arya di sampingnya sambil menepuk kepala Eri pelan. Eri mengangguk pelan, walau hatinya mencelos ketika bukan Daniel yang berada di sampingnya. Mata anak itu sibuk mencari keberadaan Daniel, dan hatinya makin mencelos ketika ia berhasil menemukan apa yang ia cari.
Daniel tampak ragu ketika melihat meja yang akan menjadi tempat duduk barunya. Karena di sampingnya sudah duduk Bella yang tersenyum senyum kecil. Daniel melirik ke arah Eri , yang juga sedang melihat ke arahnya.
Eri tersenyum menanggapi tatapan Daniel dari meja barisan belakang, sebelum ia membalikkan badannya. Hanya Daniel yang tahu kalau senyum itu mengandung kesedihan.
“kenapa Dan? Kok gak duduk?” tanya Bella. Daniel tidak menggubrisnya, dan ia berjalan ke arah mejanya yang lama.
“ya.. “ panggil Daniel kepada Arya, membuat pemuda berambut cepak itu menoleh. “tukeran kursi ya sama gue”
“ah gak mau Dan. Enakan disini, kalo gue gak ngerti bisa langsung nanya Eri” jawab Arya.
“yaelah, lo duduk bareng Bella aja deh. Kan lumayan tuh bisa cuci mata” bujuk Daniel, namun Arya tetap menolak.
“Ada apa Daniel? Tidak suka dengan pengaturan tempat duduk saya?” tanya Bapak Agung yang menjadi wali kelasnya. Wali kelasnya itu termasuk guru yang disukai karena sifatnya yang santai, namun ia paling tidak suka jika perintahnya di langgar atau tidak dikerjakan.
“eeerr, iya pak. Kalo di belakang saya gak bisa ngeliat tulisan di papan tulis..” jawab Daniel beralasan.
Pak Agung menatapnya dengan sebelah alis terangkat. “masa dengan mata yang bisa melihat ring basket dari jauh, kamu tidak bisa melihat papan tulis? Apa perlu bapak pasang ring basket di depan kelas supaya kamu bisa melihat? “
“eee- gak usah pak..” jawab Daniel bingung ketika seisi kelas entah kenapa menahan tawa mendengar ucapan wali kelas mereka. Daniel berjalan memutar melewati meja Eri untuk kembali ke barisan meja belakang.
Saat ia melewati Eri, anak itu menangkap lengannya dan meremasnya sekilas dengan muka memerah. Eri tak berani memandang Daniel, walau tangannya sudah terlanjur menunjukkan perasaannya.
Daniel tersenyum, mukanya sedikit menghangat ketika tangannya diraih oleh Eri. Selama ini Eri tidak pernah memegang tangannya duluan, apalagi di depan umum. Daniel mengusap kepala Eri ketika ia mulai berjalan menjauh.
“udah lo nurut aja ama pak Agung, kan lo tau sendiri dia paling gak suka kalo perintahnya ga di lakuin..” ujar Bella dengan senyum kemenangan di wajahnya. Eri sempat menoleh ke belakang, tepat ke arah Bella. Dan perempuan itu tersenyum menyindir ke arahnya..
∞
“gimana tempat duduk barunya?” tanya Eri ketika ia dan Daniel berjalan berdua ke arah parkiran motor sepulang sekolah.
“kamu sendiri gimana temen sebangkunya?” Daniel menyindir balik.
“Enak kok, Arya kan baik dan dia tadi ngajarin aku ngegambar..” jawab Eri, Arya memang mempunyai bakat dalam bidang seni, khususnya menggambar. “tapi aku tetep lebih suka sebangku sama kakak..” lanjut Eri dengan muka memerah yang memamerkan sebuah senyuman.
Daniel berusaha sekuat tenaga untuk menahan tangannya agar tidak memeluk Eri saat itu juga. Eri pasti akan langsung menolak, karena jalan yang mereka lewati cukup penuh dengan murid murid yang juga menuju parkiran motor. Pemain basket itu hanya bisa puas dengan merangkul Eri.
Sialnya, keberuntungan Eri masih belum pulih. Ban motor Daniel kempes, walau tadi pagi kondisinya baik baik saja. Daniel menunduk untuk mengecek bannya.
“gimana kak?” tanya Eri dibelakangnya.
“kayaknya ada yang iseng dek, bener bener kempes..” keluh Daniel. “kakak harus ke tambal ban nih dek”
“yaudah ayo kak”
“kamu mau ikut? Tempatnya jauh loh dek.” ujar Daniel “kamu mau jalan kaki ke sana?..”
“ya masa kakak nuntun motor sendirian ampe ke tempat tambal ban? Kan setiap hari aku juga yang naik motor ini ..” jawab Eri.
“tapi panas loh dek..” ujar Daniel , mengingatkan akan matahari yang bersinar cerah hari itu. Seakan matahari sedang bebahagia, sinarnya tampak sangat menyengat dan kuat.
“kakak gak usah mikirin aku..” ujar Eri dan ia tampak gugup ketika melanjutkan kata katanya. “sekali sekali , aku yang mikirin kakak..” Eri menempelkan dahinya di bahu Daniel dengan singkat.
“aku temenin ya?” tambah Eri ketika ia melepaskan dahinya.
Senyum mulai muncul di wajah Daniel. Tangannya mengelus kepala Eri dengan lembut, seakan Eri adalah bayi yang rapuh. Di matanya Eri selalu tampak cerah , penuh dengan kerendahan hati dan kepolosan. Ia bersumpah tak akan pernah membuat anak itu bersedih.
“yaudah, tapi kalo kamu capek kasih tau kakak ya..” jawab Daniel sambil tersenyum jahil.
“emang kalo aku capek terus kenapa?”
“entar biar kakak gendong” jawab Daniel sambil berpura pura akan menggendong Eri.
“yeee maunya kakak itumah!” yang akan digendong langsung menghindar dalam tawa, dan ia langsung menundukkan mukanya ketika menyadari beberapa orang di parkiran motor mulai memperhatikan mereka..
∞
“mampir ke rumah kakak dulu yuk” Ujar Daniel di depan tempat tambal ban. Motornya dengan cepat berhasil di tambal , karena memang tak ada pengunjung lain selain mereka.
“b-boleh aja sih…” jawab Eri ragu. Ia sudah mengenal Daniel cukup lama, namun ia jarang mampir ke rumah pemain basket itu,terakhir mungkin saat mereka masih SD. “kok tumben kakak ngajakin?”
“ada orang tua kakak di rumah, sekalian aja biar mereka kenalan sama kamu..”
“lah kan mereka udah kenal aku kak..”
“tapi kan mereka ketemu kamu udah lama banget waktu kita SD dek” ujar Daniel sambil menyalakan mesin motornya.
“udah kayak calon menantu aja harus dikenalin ke orang tua..” canda Eri sambil menahan tawanya. Ia duduk di belakang Daniel dan dengan refleks tangan Daniel langsung mengarahkan tangan Eri ke pinggangnya.
“kakak mau ngenalin kamu sebagai adek kakak…” ujar Daniel pelan.
“hah a-apa kak?” tanya Eri, namun ia langsung terlonjak ketika Daniel memacu motornya dengan cepat menyusuri jalanan kelabu.
Perjalanan ke rumah Daniel tidak memakan waktu yang lama. Dan Eri sendiri sudah hampir lupa bagaimana rupa rumah Daniel.
Rumahnya besar berwarna putih susu, ruang untuk kebun di perkecil agar bisa memperbesar ukuran rumahnya , dengan pintu garasi yang terbuat dari kayu. Memang tidak sebesar rumah rumah yang sering di gunakan dalam ftv , namun ukuran tidaklah menunjukkan kualitas.
Daniel membuka sendiri pagar rumahnya yang berwarna hitam , ketika Eri turun dan mengamati rumah Daniel. Walau tidak terlalu besar , tetap saja rumah Daniel lebih megah dari rumahnya.
Setelah menaruh motornya di depan pintu garasi , Daniel membuka pintu kayu itu dan merangkul Eri sambil melewatinya.
Ada dua mobil disana , masing masing berwarna hitam. Penerangan di dalam garasi cukup remang , hanya sebuah lampu yang memancarkan cahaya kuning yang menjadi sumbernya.
Eri hanya terdiam sambil memperhatikan isi rumah Daniel ketika pemain basket itu membawanya lebih jauh ke dalam rumah. Seluruh dinding rumah Daniel berwarna putih, sama seperti bagian luarnya. Namun yang membuatnya terkesan mewah adalah penggunaan lampu pijar yang mengeluarkan cahaya kekuningan.
Kombinasi antara warna dinding yang putih dan lampu pijar membuat suasana ruangan menjadi tampak remang sekaligus indah , setidaknya bagi Eri.
Mereka berjalan melewati sofa sofa ruang tamu dan berjalan menaiki tangga kayu ke lantai 2. Tidak banyak ruangan di lantai 2 . Daniel membuka pintu kamarnya, dan karpet langsung menyentuh kaki Eri ketika ia melangkah masuk.
Dinding kamar Daniel berwarna putih , dan di beberapa bagian terpasang poster pemain basket dan band yang Eri tidak tahu namanya. Sebuah spring bed berukuran besar menjadi pusat ruangan. Tv berukuran cukup besar terletak di seberang kasur , layar hitamnya menampilkan refleksi dari tempat tidur tersebut.
Di samping tempat tidur terdapat sebuah meja belajar dengan komputer yang menyatu dengannya. Dan di rak meja itu berbarislah buku buku pelajaran dengan rapi. Rapi tentu saja – karena Daniel jarang menyentuh buku buku tersebut.
Sebuah bola basket berwarna oranye tergeletak di salah satu ruangan, menyender pada lemari yang menyatu dengan dinding. Pintu - yang Eri yakin menuju kamar mandi , terletak di sebelah tv.
Dan yang terakhir sebuah jendela besar yang menampilkan pemandangan kompleks perumahan mereka terpasang di salah satu sisi ruangan.
Daniel melemparkan tasnya ke atas kursi meja belajar , dan langsung merebahkan diri di atas kasur. Ac sudah menyala ketika mereka masuk , membuat suhu ruangan jauh lebih sejuk dari suhu di luar.
“kamu ngapain?” tanya Daniel dengan senyum di wajahnya. Eri rupanya masih takjub dengan kamar Daniel.
“e-enggak gak pa pa, kamar kakak bagus banget..” jawab Eri yang kemudian duduk di samping Daniel. “kamarku gak sampe setengah kamar kakak kayaknya…” lanjutnya sambil meletakkan tas.
“tapi kakak pasti betah di kamar kamu..” ujar Daniel. “selama ada kamu yang nemenin kakak” tambahnya sambil mengelus kepala Eri, membuat anak itu memejamkan matanya sekilas.
Eri bisa merasakan mukanya menghangat, dan ia tersenyum sebagai balasan.
“kakak ganti baju dulu ya” ujar Daniel yang dibalas Eri dengan anggukkan kepala. Perhatian Eri teralih ke arah sebuah komik yang tergeletak di ujung kasur. Komik itu bercerita tentang seorang pemuda yang ingin menjadi raja bajak laut.
“emm.. kakak ganti disini?” tanya Eri salah tingkah ketika Daniel mulai melepas seragam sekolahnya.
“iyalah , emang kenapa dek?” tanya Daniel, sebelah alisnya terangkat.
“eh-em g-gak pa pa kok..” jawab Eri. Ia langsung mengalihkan pandangannya ketika Daniel melepas kaos yang ia pakai dibawah baju seragam. Mukanya bersemu ketika membayangkan Daniel di belakangnya, namun ia berusaha mengalihkan pikirannya dengan membaca komik yang ia pegang.
Eri bisa mendengar bunyi resleting yang diturunkan , dan entah kenapa mukanya makin memerah bersamaan dengan detak jantungnya yang terpacu cepat. Ia makin membenamkan wajahnya ke atas komik, walau ia sendiri tidak membaca isinya.
“kamu serius banget bacanya…” bisik Daniel tepat di telinga Eri, membuat anak itu sedikit terlonjak dan melemparkan komik yang dengan sigap langsung di tangkap Daniel.
“k-kakak ap-apaan sih….” Keluh Eri kesal. Seketika ia langsung mengalihkan mukanya ketika melihat Daniel hanya memakai sebuah celana basket. “p-pake baju dong kak!”
Cengiran muncul di wajah Daniel. “emang kenapa dek?”
“y-ya gak pa pa, entar kakak masuk angin loh” jawab Eri, masih belum memandang Daniel. Setelah mencubit pipi Eri karena gemas, Daniel baru memakai sebuah kaos berwarna putih polos.
Eri mengintip dulu sebelum ia kembali memandang Daniel. “terus orang tua kakak dimana?” tanya Eri.
Daniel kembali duduk di samping Eri, dan merebahkan tubuhnya di atas kasur. “kayaknya mereka lagi di kamar dek, kenalannya nanti aja ya”
Eri menganggukkan kepalanya singkat, dan ikut merebahkan tubuhnya di samping Daniel. Eri melihat langit langit kamar Daniel yang berwarna putih, dengan sebuah lubang kecil di beberapa tempat yang berfungsi sebagai tempat lampu. Suasananya sangat hening, hanya suara mesin Ac yang samar samar terdengar.
Cahaya matahari masuk melalui kaca jendela yang tembus pandang, menyinari seisi ruangan dengan mentarinya.
Karena tak kunjung mendengar suara dari orang di sebelahnya, Eri menolehkan kepala – hanya untuk melihat kalau ternyata Daniel sedang memandanginya.
“em… kenapa kak?” tanya Eri salah tingkah, ekspresi mukanya tak pernah bisa menutupi perasaannya. Mukanya seperti kaca yang menempel pada jendela, apa yang ada di baliknya bisa terlihat dengan jelas.
“gak pa pa” balas Daniel dengan sebuah senyuman. “kalo kamu ada di sini , kakak ngerasa kita kayak keluarga beneran..” tambah Daniel sambil mengelus rambut Eri . Matanya tak lepas dari wajah Eri , memperhatikan detik demi detik ketika muka Eri mulai berubah merah.
Jarak mereka sangat dekat, entah sejak kapan bahu mereka saling berdempetan. Tak ada kata yang keluar dari Eri selama Daniel memainkan rambutnya, seluruh perhatiannya dipusatkan untuk berusaha menurunkan detak jantungnya yang menggila.
Nafas Daniel membelai wajah Eri dengan teratur, seakan membuai nya untuk mendekat.
Namun tepat saat itu terdengar sebuah ketukan dari arah pintu.
“mas, ditunggu tuan sama nyonya di bawah..” ujar sebuah suara wanita dari depan pintu.
“iyaa bi!” jawab Daniel. Sepertinya suara itu adalah suara salah seorang pembantu yang berkerja di rumah Daniel.
“kamu ganti baju juga ya dek” tambah Daniel sambil berjalan ke arah lemarinya.
“ganti baju?”
"iya , kamu pake baju kakak aja”
Daniel menyerahkan sebuah kaos putih dan sebuah celana basket yang berbeda warna dengan yang ia pakai kepada Eri. Menerimanya dengan bingung, Eri langsung berjalan menuju kamar mandi karena tak mungkin ia berganti pakaian di depan Daniel.
Eri memandangi pakaian yang ada di tangannya, biasanya Daniel yang memakai baju ini namun sekarang ia yang memakainya. Mukanya memerah sendiri ketika memakai baju itu.
Memang agak besar untuk ukuran Eri, kaosnya melewati batas pinggang dan ia harus menaikkan celananya sedikit .
Tapi tak ada yang mengalahkan ekspresi Daniel ketika melihat Eri , yang memakai baju mirip dengannya. Seperti ada ikatan di antara mereka hanya dengan memakai baju yang sama.
“gak pa pa aku pake baju kakak?..” tanya Eri sambil memperhatikan pakaian yang ia pakai. Ia tidak bisa mendeskripsikan perasaannya di dalam pakaian tersebut, seakan dari permukaan kulitnya yang bersentuhan dengan kaos itu timbul arus listrik ke arah otak Eri. Arus listrik yang membuat muka Eri tetap memerah.
“gak pa pa lah dekk! Kepunyaan kakak itu punya kamu juga.” Jawab Daniel sambil menyentil ujung hidung Eri dengan telunjuknya. “turun yuk!” ajak Daniel, merangkul Eri yang mengusap ujung hidungnya karena perih…
Page twenty one – Further action
“Daniel” sapa seorang wanita berparas cantik. “kamu kok gak bilang kalo ada temen kamu?” tanya nya. Wanita itu bangkit dari sofa ruang tv di lantai 1 , dan menghampiri anaknya.
“kamu Eri kan?..” tebak Ibu Daniel.
“i-iya tante..” jawab Eri, sambil mengangguk singkat.
“kamu kok jarang main kesini lagi sih..”ujar wanita itu. “tante udah lama gak liat kamu, dan sekarang kamu tambah lucu ya!”
Eri tersenyum salah tingkah , dan sesekali mengangguk menanggapi wanita di depannya.
“tumben mama…” - Daniel mengintip ke arah ayahnya yang duduk di sofa – “sama papa pulang ke rumah, biasanya kan nginep di luar..”
“jadi kamu gak suka kalau kami pulang ke rumah?..” sahut ayahnya dari sofa, tanpa meletakkan koran yang sedang di bacanya.
“ya bukan gitu , tumben aja..”
“nanti bakal ada tamu penting yang mau dateng kesini, jadi papa sama mama harus siap siap dulu” jawab Ibu Daniel, menggantikan suaminya yang serius membaca koran.
“kamu baik baik aja kan di sekolah?” tanya wanita itu ke arah Daniel. Tentu ia merasa bersalah tidak bisa selalu hadir di rumah untuk menemani anaknya.
“tenang aja , aku gak macem macem kok ma” jawab Daniel.
Wanita itu tersenyum dan mengelus pipi anaknya dengan mata penuh rasa bersalah.
Ibu Daniel bernama Dona Prasetya , mengambil nama belakang dari suaminya yaitu Nathaniel Prasetya. Hingga tidak perlu dipikirkan darimana nama “Daniel” berasal. Yang Eri tahu, wanita itu adalah orang yang ‘menguasai’ beberapa majalah wanita di Indonesia. Entah bagaimana majalah yang berbeda dan biasanya akan saling berkompetisi, malah di pimpin oleh seorang wanita yang sama.
Sedangkan untuk ayah Daniel, Eri sendiri kurang tahu pekerjaannya. Yang pasti laki laki yang belum menginjak usia kepala lima tersebut sangat sibuk, dan kenal dengan banyak orang penting. Wibawanya sangat terlihat , seakan orang akan berpikir dua kali dulu sebelum memusuhinya.
“oh iya aku mau ngomong sesuatu ma..” ujar Daniel , bersamaan dengan dering handphone tante Dona.
“tunggu sebentar Daniel ..” wanita itu mengangkat telfonnya.
“Halo? Iya? Ohhh udah di depan? Iya iya nanti saya suruh pembantu saya…… - Maaf Daniel, nanti mama akan dengerin kamu – kenapa? Oh enggak itu tadi anak saya..” Ibu Daniel terus melanjutkan pembicaraan dengan telefon genggamnya seraya berjalan keluar rumah.
Menghela nafas, Daniel mengajak Eri ke ruang makan yang tak jauh dari ruang tv. Ayahnya sendiri sudah beranjak dari sofa , rupanya ikut menyambut tamu yang akan datang.
“kita makan ini yuk dek!” ujar Daniel sambil mengacungkan sebuah kemasan es krim berbentuk silinder yang berukuran cukup besar. ‘Cookies and cream’ tulisan yang tertera di kemasan tersebut. Walau jarang memakan es krim, Eri cukup banyak tahu tentang makanan itu , apalagi media massa sering menampilkannya.
Eri mengangguk dengan semangat, dan senyum langsung merekah di bibirnya.
“makannya sambil nonton tv aja ya” tambah Daniel sambil mengajak Eri kembali ke ruang tv. Daniel duduk di atas sofa, dan menarik Eri untuk duduk di depannya , mengisi celah di antara kedua pahanya.
Eri tampak ragu ketika ia di paksa duduk, namun ia tidak bisa menolak ketika Daniel menariknya sehingga punggungnya menempel dengan Daniel. Kepalanya menyender tepat di tulang rusuk Daniel, dan Eri bisa merasakan dagu pemain basket itu menyentuh kepalanya.
Muka Eri memerah, dan ia bersyukur Daniel tidak bisa melihat mukanya. Namun ia tidak tahu, bahwa muka Daniel juga bersemu di belakangnya. Hidung Daniel tepat berada di atas rambut Eri yang bergelombang. ‘harum..’ batin Daniel.
“kenapa sendoknya cuma satu kak??” tanya Eri , tangan kanan Daniel hanya memegang sebuah sendok sedangkan tangan lainnya memegang es krim.
“kamu kan kakak suapin..” jawab Daniel santai.
“t-tapi kalo orangtua kakak ngeliat g-gimana?..” tanya Eri gugup.
“gak usah khawatirin mereka lah” jawab Daniel sambil mengganti channel televisinya. Pilihannya berhenti di sebuah channel dimana serial ‘Tom & Jerry’ sedang ditayangkan.
Sudah lama Eri tidak melihat kedua tokoh kesukaannya tersebut, dan tidak butuh waktu lama sebelum perhatiannya terpaku pada layar.
“aaaaa..” ujar Daniel sambil mengarahkan sendok ke depan mulut Eri.
“kakkkk!” protes Eri , ia mencoba mengambil sendok dari tangan Daniel, namun pemain basket itu mencegahnya.
“aaaaaaa” ujar Daniel, mengisyaratkan Eri untuk membuka mulutnya. Eri memperhatikan keadaan sekitar untuk mengecek keberadaan orang lain – dan ketika ia tidak menemukan siapa siapa, ia membuka mulutnya dengan pipi yang memerah.
Entah hal yang mana yang lebih disukai Eri, menonton film kesukaannya yang sudah lama ia tidak lihat , makan es krim kesukaannya , atau menghabiskan waktunya bersama Daniel. Yang pasti ia benar benar merasa bahagia sekarang, seakan keberuntungannya sudah kembali.
Hangat tubuh Daniel menyelimuti punggungnya, dan dalam setiap tarikan nafas Daniel, Eri bisa merasakan tempo nya. Tentu senyaman apapun sebuah sofa, Eri akan lebih memilih untuk menyender pada Daniel tanpa ia sadari.
“Danieeelll! Sini sebentar nak!” panggil tante Dona dari ruang tamu.
“kak? dipanggil tuh…” Ujar Eri memberitahu, ketika Daniel tampaknya tidak merespon.
“Daniellll!”
“kakk?” ulang Eri.
“iya maaa!” sahut Daniel. Eri berdiri duluan, agar Daniel bisa beranjak dari kursi. Eri baru saja mau duduk kembali, saat Daniel merangkul lehernya dan berjalan dengan enggan.
“kamu ikut kakak..” ujar Daniel datar ketika Eri akan menolak.
Eri menundukkan mukanya saat Daniel membawanya ke ruang tamu.
“Ini dia anak saya Daniel!” kata tante Dona kepada orang di sebelahnya, seorang wanita yang umurnya tak jauh dari tante Dona.
“wah mirip papa nya waktu masih muda ya” sahut sebuah suara dari pria disamping Om Nathan. Sepertinya ia dan ayah Daniel adalah teman sewaktu masih sekolah dulu.
“ah masa? Kayaknya dia lebih mirip ibu nya” balas tante Dona.
“lebih mirip sama papa nya dong, liat aja gantengnya sama kan?” sambar om Nathan.
“mukanya mirip siapa itu gak penting, tapi mudah mudahan sifatnya tidak mirip sifat kalian yang tidak mau mengalah!” sahut wanita di samping tante Dona, sebelum mereka berempat tertawa.
“om , tante …” sapa Daniel setelah mereka berhenti tertawa.
“ohh itu yang disamping nak Daniel siapa? Adiknya?” tanya wanita di samping tante Dona.
“bukan bukan, itu teman Daniel sejak ia kecil ..” jawab tante Dona.
“ohh pantas mereka tidak mirip” ujar wanita itu yang entah kenapa membuat Daniel tidak nyaman.
“tapi Daniel udah nganggep dia kayak adik kandung sendiri” sahut Daniel santai sambil merangkul Eri lebih erat. Muka Eri memerah ketika Daniel mengatakan hal itu, seakan Daniel telah membelanya dari sebuah tuduhan yang berat. Bahkan di depan orang tuanya.
“tuh makanya seharusnya kamu nambah anak lagi nat!” ujar pria disamping om Nathan.
“maunya sih begitu. Tapi si Dona gak mau nambah lagi…” balas om Nathan sambil melirik ke arah istrinya.
“laki laki mah tau enaknya aja, kita perempuan yang kesusahan!” sambar tante Dona sebelum mereka kembali tenggelam dalam gelak tawa.
“aku balik ke dalem ya ma , pa ..” pamit Daniel yang dibalas kedua orang tuanya dengan sebuah anggukkan singkat.
Daniel membawa Eri kembali ke ruang tv , ke atas sofa tempat ia meninggalkan es krimnya.
“emm makasih ya kak..” ujar Eri menghilangkan kesunyian.
“buat apa?”
“udah bilang aku sebagai adek ..” jawab Eri dengan pipinya yang memerah. Ia sama sekali tidak bisa mengeluarkan suaranya tadi, karena memang suaranya tidak di harapkan.
Daniel tidak membuka mulutnya, melainkan ia membalas Eri dengan mengelus kepalanya lembut. Eri selalu menutup matanya sekilas ketika tangan Daniel menyentuh kepalanya, yang membuat Daniel tidak pernah bosan mengelus kepalanya.
Tapi benarkah itu yang Daniel inginkan, peran seperti yang mereka jalani sekarang?
Eri kemudian mengambil sendiri sendok dan es krim, dan menyuap untuk dirinya sendiri beberapa suapan.
“dek , aaaaa” ujar Daniel, kali ini ia mengisyaratkan agar Eri menyuapinya.
Eri tampak salah tingkah sambil memandangi kemasan es krim di tangannya, namun ia tetap mengangkat sendok penuh es krim ke arah Daniel – walau mukanya tampak kembali memerah.
Muka Eri tertunduk ketika Daniel melahap es krim yang ia suapkan, tepatnya ketika mulut Daniel mulai menyentuh sendok.
Untuk menutupi rasa malunya, Eri melahap beberapa sendok es krim lagi dengan agak terburu buru.
“emm – dek , kamu kalo makan itu selalu deh” Daniel menggelengkan kepalanya dan kemudian ia menyeka tak hanya ujung, namun seluruh bibir Eri yang belepotan es krim dengan ibu jarinya.
“kenapa?” tanya Daniel dengan ibu jari di dalam mulutnya. Pandangan Eri barusan tampak kosong, namun ia langsung tersadar kembali dengan muka sedikit panik.
“eng-enggak pa pa kok!” jawab Eri. Entah berapa kali mukanya memerah sedari tadi….
∞
Daniel pergi mengantarkan Eri pulang ketika matahari mulai kembali ke peraduannya, meninggalkan corak oranye di pantaran langit. Di tempat lain – lebih tepatnya di rumah Daniel – tante Dona dan suaminya sedang membicarakan sesuatu di sofa ruang tamu.
“ma , kamu serius mau melakukan hal itu?” tanya om Nathan kepada istrinya. Kedua tamu mereka sudah pulang sebelum matahari tenggelam.
“iya pa, lagipula mama yakin ini yang terbaik” jawab tante Dona.
“terbaik buat siapa? Pekerjaan kita atau anak kita?”
Tante Dona sedikit tak siap mendapat pertanyaan itu, ia terdiam sesaat sebelum akhirnya menjawab. “……….. kedua duanya pa, kedua duanya…”
“Tapi belum tentu Daniel setuju dengan keputusan kamu” balas om Nathan.
“keputusan ku?” tanya tante Dona tak percaya. “ini keputusan kita! Kamu bahkan tidak menolak waktu usulan ini diajukan!”
“tidak menolak itu bukan berarti setuju ma!” om Nathan membela diri.
“terserah papa! Yang pasti kamu tadi bahkan tak bisa berkata apa apa saat temen kamu mengusulkan ide itu.” bantah tante Dona, sebelum keduanya terdiam.
Kesunyian mendera mereka, bahkan ketika Daniel hadir di antara mereka tak lama kemudian.
“ma? Pa? kalian berantem?’ tanya Daniel yang muncul dari balik pintu. “suara kalian kedengeran sampe luar..”
“k-kamu denger ??” tanya tante Dona gugup.
“sesuatu tentang keputusan, dan bahwa aku belum pasti setuju dengan keputusan itu.” jawab Daniel. “memangnya apa yang kalian putuskan?”
Kedua orang tuanya saling berpandangan, sebelum akhirnya tante Dona menghela nafas.
.
.
.
“kamu… akan di jodohkan.”
∞
“di ancem? Apa maksud lo dia di ancem dek?” suara Kemal terdengar dari seberang telfon , ketika malam itu Eri memberinya sebuah pesan singkat. Eri memberitahu nya kalau ia mempunyai sebuah petunjuk tentang Rara, dan nama Kemal langsung terpampang di layar handphone Eri.
“yaa diancem kak, ada yang ngancem dia supaya jauh jauh dari kakak.” Jawab Eri. Tadinya ia berencana untuk belajar matematika setelah mengirimkan pesan, namun tak mungkin ia bisa menyerap pelajaran jika konsentrasinya terpecah.
“siapa yang ngancem dia dek?” tanya Kemal dari seberang sana.
Eri belum siap mendapat pertanyaan itu, walau ia sudah tahu cepat atau lambat Kemal akan menanyakannya.
“ada beberapa cewe kelas 11 kak, em…. gue gak kenal”
“ohhh oke, kasih tau gue ya kalo ada apa apa lagi dek!”
“siap kak !” balas Eri, yang otomatis tersenyum sendiri. Ia baru saja mengira Kemal akan menutup telfonnya, ketika ternyata telfonnya masih tersambung.
“……… lo lagi ngapain dek?” tanya Kemal , membuat Eri memandang handphone di telinganya karena heran.
“e-enggak lagi ngapa ngapain kok kak..” jawab Eri sambil menutup buku matematika di depannya.
“ohh kirain lagi mau belajar, haha” balas Kemal.
“em -eeee enggak lah aku –eh– gue kan gak belajar terus kak” jawab Eri gugup.
“oohhh , eh dek pake aku-kamu juga gak pa pa kokk”
“i-itu gue keceplosan doang kok kak , hehe”
“seriusan kalo pake juga gak pa pa , kamu gak usah terlalu kaku lah dekk” balas Kemal dari seberang sana, disusul suara gelak tawa.
“beneran gak pa pa?” tanya Eri kurang yakin.
“Tutttt……”
“Kak? kakk?” panggil Eri dan ia mengecek handphonenya hanya untuk melihat bahwa telfonnya sudah terputus. Eri mencoba untuk menghubungi Kemal, namun usahanya sia sia ketika telfonnya tak kunjung tersambung. Menghela nafas, ia mengambil salah satu buku novel dari seri ‘The hunger games’ dan mulai membacanya sambil memikirkan Rara.
Di tempat lain, Kemal mengumpat ketika mengetahui handphonenya mati karena lowbatt.
…
“kakak? Di jodohin?....” tanya Eri tidak percaya saat Daniel menjemputnya esok hari. Daniel mengangguk sambil menghela nafas, sedangkan Eri di depannya tampak bersusah payah menahan tawa.
“kok kamu malah ketawaaa!” ujar Daniel sambil menarik kedua pipi Eri karena gemas.
“a-abisnya ini lucu kak” balas Eri dengan mata yang mulai berair karena ia masih berusaha menahan tawanya. “kakak…. Di jodohin….. hahahaha!!” seketika tawa Eri tak terbendung lagi.
Daniel terdiam sejenak memperhatikan Eri di depannya, jarang jarang ia melihat Eri sebahagia ini. Dan hanya dengan melihat Eri di depannya tertawa , entah kenapa bekas pertengkaran Daniel dengan orang tuanya kemarin perlahan sirna.
“eh-em ma-maaf kak..” ujar Eri ketika melihat Daniel hanya diam memperhatikannya. “a-abis aku gak nyangka jaman sekarang masih ada yang kayak begituan..”
“kakak juga gak nyangka dek..” ujar Daniel sambil mengelus kepala Eri dengan lembut.
“terus kakak di jodohin sama siapa?” tanya Eri sambil menghapus air mata tawa nya, walau dalam hatinya mulai muncul rasa penasaran.
“kakak sendiri belon tahu dek” jawab Daniel lesu, tangannya masih mengelus kepala Eri , walau tatapan matanya terlihat menerawang lebih dalam dari yang terlihat.
“kak? kakak kenapa?” tanya Eri yang menyadari adanya keanehan pada Daniel.
“hah? Gak kenapa kenapa kok dek” jawab Daniel, menyingkirkan ekspresi ingin tahu Eri. “cabut yuk, entar kita telat ke sekolah loh.”
Eri memandangi Daniel untuk beberapa saat sebelum ia akhirnya menghela nafas, dan naik ke atas motor.
Daniel sendiri bukannya tidak menyadari keanehan pada dirinya barusan. Ia sedikit kecewa ketika melihat Eri tertawa, setidaknya ia berharap Eri akan terlihat sedikit sedih mendengarnya. Namun rupanya harapannya tidak terkabul.
Daniel tidak terlalu menyadari ketika ia mengendarai motor, bahwa Eri di belakangnya sedang menempelkan mukanya di punggung pemain basket itu. Berharap ini bukan terakhir kalinya mereka berangkat sekolah bersama.
@zeva_21 @d_cetya @alfa_centaury @ddonid @dafaZartin
@yuzz @ updated, maaf lama
sekalian summon @master_ofsun
“Tenang aja ra, gue bakal selalu jadi temen lo dan ada kapan pun lo butuh.”
.
“Temen? Haha! Lo gak sadar kalo selama ini kita cuman manfaatin lo doang?”
.
“Maaf ra gue terpaksa ngelakuin ini, kalo enggak gue bakal di keluarin dari geng mereka..”
.
“Rara?..”
Sebuah suara mengejutkan perempuan berambut panjang itu, membuat perempuan itu sedikit tersentak ketika menyadari kehadiran seseorang di sampingnya.
Eri telah duduk di samping Rara , di atas sebuah kursi di koridor sekolah ketika jam istirahat.
Keterkejutan perlahan menghilang dari wajah Rara , menyisakan ekspresi datar yang biasa menghiasi wajah cantiknya. Kesunyian menemani mereka berdua, ketika tak ada satu pun yang memulai pembicaraan.
“Ra-“
“udah gue bilang kan jangan deketin gue lagi” potong Rara ketika Eri hendak berbicara.
“gue gak peduli kalo gue bakal ikut di ancem sama mereka, kalo itu yang lo khawatirin.” Tebak Eri , yang rupanya tepat sasaran. Ekspresi Rara tampak mengeras untuk sesaat. “mungkin lo lupa, tapi dari awal kita temenan gue udah bilang kalo gue bakal selalu ada kapan pun lo butuh.”
Eri membutuhkan waktu semalaman untuk memprediksi isi pikiran Rara. Layaknya kura kura, perempuan itu akan menunjukkan sisinya yang “keras” hanya untuk melindungi hatinya yang lunak. Setidaknya Eri mencapai pemikiran seperti itu, yang kurang lebih tepat sasaran.
“lo-lo gak tau apa apa tentang gue!” sergah Rara ketika ia menemukan kekuatan untuk menjawab.
“emang!” jawab Eri, yang membuat Rara terkesiap. “emang gue gak tau apa apa tentang lo, tapi itu bukan berarti gue gak pantes buat jadi temen lo kan?”
Rara tampak menundukkan kepalanya. “enggak, Eri lo gak tau masalahnya..”
“Lo bukan Rara.” Tuduh Eri, membuat perempuan itu mengangkat kepalanya. “Rara yang gue kenal gak bakal terpuruk cuma karena masalah kayak gini. Rara yang gue kenal gak selembek ini”
Eri sengaja memprovokasi Rara , agar ia bisa kembali seperti dirinya yang dulu. Ekspresi Rara kembali mengeras ketika ia membalas. “udah gue bilang , lo gak tau masalahnya.”
Dan Eri hanya bisa memandangi punggung Rara yang berjalan menjauh. Rambutnya bergerak seiring tiupan angin yang berhembus, seakan menegur tindakannya barusan.
Untuk kali ini, Eri benar benar mencapai kebuntuan.
∞
Bel masuk telah berbunyi, di iringi protes dari murid murid yang belum puas beristirahat. Langkah langkah kaki yang diseret bergerak pelan memasuki kelas masing masing, tak terkecuali Daniel yang langsung menuju ke meja Eri ketika melihat anak itu tenggelam di atas mejanya.
Eri melipat kedua tangannya di atas meja, dan menundukkan kepalanya hingga dahinya menempel pada salah satu tangannya. Merasa ada yang memperhatikan, ia mengangkat kepalanya hanya untuk melihat Daniel yang sedang menatapnya tajam.
Eri balas menatap Daniel dengan ekspresi yang seakan bertanya ‘kenapa?’.
Daniel menghela nafas di depannya, dan menggelengkan kepalanya dalam diam. Daniel tidak mengetahui kenapa Eri selalu tampak lesu setelah jam istirahat, dan Eri sendiri enggan menceritakan alasannya.
Daniel yang berjongkok di depan meja Eri mencondongkan kepalanya ke depan, tinggal beberapa senti udara yang memisahkan wajahnya dengan wajah Eri.
“kalo kamu gak mau cerita gak pa pa…” bisik Daniel. “tapi kakak gak mau ngeliat kamu lesu terus”
Dan di akhir kalimatnya, Daniel mengecup dahi Eri singkat dan beranjak dari tempatnya. Eri langsung memandang sekelilingnya untuk memastikan kalau tidak ada yang memperhatikan kejadian barusan. Ketika merasa aman, ia mengusap dahinya dengan muka memerah.
Memang tidak ada yang melihat, tapi itu tak termasuk Bella yang selalu memperhatikan Daniel setiap saat.
…
Untungnya ekskul basket mengadakan latihan siang itu, membuat Eri memiliki banyak waktu menyelidiki Rara. Baru saja ia melewati beberapa kelas, ketika ia melihat Lily dipaksa masuk ke dalam salah satu toilet oleh orang orang yang Eri kenali sebagai pengancam Rara. Cecilia terlihat di antara mereka.
Merasakan amarah yang membuncah, Eri segera berlari menuju toilet itu. Sejenak ia bertekad untuk menerobos ke dalam, walaupun itu toilet wanita , namun akal sehatnya menang dan ia hanya bisa mengendap ngendap di luar toilet.
“…………… jadi mana imbalannya?” tanya sebuah suara yang Eri kenali sebagai pembentak Rara tempo hari.
Tak ada suara apapun–atau siapapun–yang menyahut.
“gue cuma mau bilang, kita semua gak ngelakuin yang lo minta dengan cuma cuma. Inget itu.” tambah suara itu. Dan ketika mulai terdengar langkah kaki yang bergerak keluar , Eri segera memasuki toilet laki laki yang berada di sebelah.
Ia mengintip dengan hati hati dari dalam toilet, dan setelah melihat gerombolan itu lewat, ia keluar dari toilet seakan tidak terjadi apa apa.
Lily keluar tak berapa lama kemudian, tampak tak menyadari kehadiran Eri , dan pergi dengan tergesa gesa. Eri menyangka gerombolan itu berbicara pada orang lain di dalam toilet, tapi ketika ia tidak mendapati siapapun keluar dari sana setelah Lily, tak ada yang memenuhi pikirannya kecuali pertanyaan pertanyaan baru.
Sebuah kursi kayu panjang di koridor menjadi pilihan Eri sementara kepalanya sibuk memikirkan hal yang baru saja terjadi.
‘Lily membuat kakak kelas itu melakukan sesuatu , tapi apa? Apa ia membayar kakak kelas itu agar menjauhi Rara? Ya, mungkin itu yang sebenarnya terjadi makanya Lily tampak tertekan ketika mereka meminta imbalan. Dan mungkin itu menjawab memar Lily dulu, siapa tahu gerombolan itu penyebabnya.’
Eri terlalu sibuk dengan pikirannya sehingga ia tidak menyadari ketika sebuah sosok menghampiri dirinya, duduk tepat di sampingnya. “eri?” panggil suara itu.
Eri sedikit tersentak ketika menyadari ia tidak sendiri. Entah kenapa ia terbayang kejadian saat istirahat tadi, dimana Rara sedikit terkejut dengan kehadirannya.
“k-kak Kemal? Kakak ngapain?” tanya Eri sambil membetulkan letak kacamatanya, yang rupanya terlalu turun.
Kemal mendengus “ seharusnya pertanyaan itu buat kamu dek , kamu ngapain coba disini sendirian?” tanya nya, tampak bingung.
Eri tampak salah tingkah ketika menyadari persetujuan tidak tertulis diantara mereka tentang penggunaan kata ganti aku-kamu.
“a-aku gak ngapa ngapain kok kak.. tapi kakak ngapain coba disini?” Eri bertanya balik.
Kemal mengangkat kedua bahunya sebelum menjawab “ kalo gitu kakak juga gak ngapa ngapain”
Eri tidak puas dengan jawaban Kemal, namun ia hanya diam – mengingat ia juga menjawab persis seperti itu. Eri menunduk memandang sepatunya sendiri , sepatu berwarna putih dengan corak kebiruan yang terasa nyaman di kakinya.
“kamu mau?” tanya Kemal sambil mengacungkan sebuah wafer bulat yang berisi pasta coklat , ketika Eri mengangkat kepalanya.
Tanpa membuka mulutnya Eri mengangguk antusias , dan langsung mengulurkan tangannya menyambut tangan Kemal. Bibirnya refleks tersenyum ketika cemilan itu sudah berada di tangannya , membukanya dengan gembira.
Darah Kemal tiba tiba berdesir ketika melihat muka Eri , muka anak itu selalu bisa menunjukkan ekspresi yang membuat orang gemas terhadapnya. Dan tanpa sadar Kemal menyentuh pipi Eri dengan telunjuknya , merasakan kenyalnya wajah Eri.
“kenapa kak?” tanya Eri sambil mengunyah, mengira Kemal memanggil dirinya.
“g-gak gak pa pa , ada yang nempel di pipi kamu tadi” elak Kemal. Setelah menarik tangannya , ia mengusap rambutnya sendiri.
Sejenak mereka terdiam ketika Eri melahap makanannya. Kemal terdiam memikirkan reaksinya sendiri dengan tatapan menerawang , yang Eri salah tafsirkan.
“kakak tenang aja!” kata Eri ketika Kemal hanya terdiam. “aku pasti bakal nyelesein masalah kakak sama Rara, setelah itu aku minta janji kakak.”
“janji? Janji apa?” tanya Kemal bingung.
“silverqueen , dark chocolate. Aku tetep bakal nagih itu!” ujar Eri dengan senyum lebarnya, menunjukkan deretan giginya yang rata.
Kemal tampak salah tingkah , karena ia sendiri telah lupa akan janjinya sendiri – walau itu bukan satu satunya alasan yang membuatnya salah tingkah. “kamu masih inget aja dek” ujar nya sambil tersenyum kecil.
Eri tersenyum lagi untuk membalasnya, sebelum ia menghabiskan makanannya dan membuang bungkusnya ke tempat sampah terdekat.
“kayaknya aku harus ke lapangan sekarang..” ujar Eri sambil memperhatikan matahari yang mulai bergeser ke arah barat, walau cahayanya masih agak jauh dari peraduan. “bentar lagi ekskul basket selesai”
“boleh tanya satu hal?” tanya Kemal sambil memandang Eri yang berdiri tak jauh darinya. Eri membalas dengan sebuah anggukkan kecil. “kenapa lo selalu pulang bareng anak basket itu?”
Ekspresi Eri tidak terbaca ketika mendengar pertanyaan Kemal tentang Daniel, namun seulas senyum jail muncul di wajahnya ketika ia menjawab. “lumayan kan , daripada harus keluar biaya lagi buat naik ojek?” Eri terkekeh kecil ketika mengakhiri jawabannya.
“tapi gimana.. gimana kalo misalnya ada orang lain yang mau nganterin kamu pulang?” tanya Kemal lagi.
“maka aku harus menolak tawaran itu” jawab Eri dengan ekspresi yang kembali tak-terbaca dan tampaknya ia tidak berniat melanjutkan jawabannya.
“kalo gitu..” Kemal tampak berhati hati ketika melanjutkan pertanyaannya. “ini bukan cuma tentang biaya ojek kan?”
Kali ini Eri terdiam sesaat sebelum menjawab, ia sendiri ragu harus menjawab apa. Ia sudah terbiasa dengan kehadiran Daniel , sehingga ia tidak bisa membayangkan pulang ke rumah tanpa bersama pemain basket itu.
Namun kewajibannya untuk menjawab telah sirna ketika sebuah tangan merangkul leher Eri, menariknya lebih dekat ke arah pemilik tangan.
“kamu disini rupanya dek!” ujar Daniel di dalam balutan seragam basketnya yang tanpa lengan, lengkap dengan celana pendeknya. “kakak kira kamu dimana.”
“maaf banget kak, aku baru aja mau ke lapangan” Eri meminta maaf dengan raut wajah menyesal, walau Daniel tahu alasan yang menahan anak itu ketika melihat Kemal disana.
“yaudah gak pa pa, pulang yuk. Udah mau sore nih dek” ajak Daniel dengan mengeratkan rangkulannya. Kemal beranjak dari kursi, berdiri di depan Eri dan Daniel.
“kakak pulang dulu ya, dek.” pamit Kemal ke arah Eri, ia menekankan kata katanya saat ia mengatakan ‘dek’ – yang entah kenapa mengundang lirikan tajam dari Daniel – dan tanpa memperdulikan itu, Kemal mengusap rambut Eri sesaat sebelum ia melangkahkan kaki menjauh.
“cuma perasaan kakak aja , atau kalian emang makin deket?” ujar Daniel ketika Kemal sudah cukup jauh untuk mendengar pembicaraan mereka – anehnya ada nada seperti menuduh dalam kata katanya.
“gak makin deket juga, tapi dia bilang gak pa pa kalo mau ngomong pake aku-kamu , itu aja kok kak.” jawab Eri.
Daniel mendengus, tanpa menyuarakan ke-engganannya. Namun ia tetap diam saat mereka berjalan menuju parkiran motor, bahkan ketika mereka berhenti di depan rumah Eri.
“kakak kenapa?” tanya Eri ketika melihat ekspresi Daniel yang tampak melamun. Daniel hanya menggeleng di atas motornya, dan Eri merasa ia tidak akan bisa memaksa Daniel untuk menjawab , mengingat Eri sendiri tidak memberitahu kenapa ia selalu lesu setiap akhir istirahat.
“kakak mau masuk dulu?” ajak Eri sambil membuka pagar. Daniel menggeleng, membuat Eri sedikit terkejut –walau keterkejutan itu hampir tidak tampak di wajahnya.
Dengan perlahan Eri berjalan menghampiri pemain basket itu ketika Daniel menyalakan mesin motornya.
Eri mengangkat tangan kanannya dan menaruh nya hati hati di atas lengan Daniel, menyentuh lengan yang terasa kekar di tangan Eri. “hati hati di jalan kak” ujar Eri dengan senyum di bibir, walau kedua alisnya menekuk sedih.
Daniel mengacak acak rambut Eri pelan, seakan ingin menghilangkan kekhawatiran anak itu. Eri kembali tersenyum, dan ia membalikkan badan - berlalu melalui pagar rumahnya. Eri baru saja membuka pintu rumahnya ketika suara motor mulai terdengar menjauh.
Ia terdiam ketika hanya keheningan yang menyambutnya di dalam rumah itu. Seakan terputus dari dunia luar, ia seketika merasa suram ketika pintu tertutup di belakangnya.
Eri tidak tahu apa yang terjadi dengan Daniel, pikirannya sibuk dengan Rara , Kemal , Lily , dan para perempuan kakak kelasnya yang mengancam Rara. Semuanya bergabung menjadi satu, menganggu pikiran Eri layaknya sakit kepala yang tak kunjung hilang.
Ia tidak sabar untuk melanjutkan membaca novelnya. Hanya itu yang bisa dilakukannya untuk kabur dari dunia nyata, khususnya jika ia tak bersama Daniel. Bagi Eri, sebuah novel adalah pintu menuju dunia yang benar benar berbeda, dunia lain tempat ia bisa melupakan segala masalahnya.
Kadang ia ingin masuk kedalam salah satu novel fiksi kepunyaannya. Tak jarang kehidupan sang tokoh utama tampak lebih seru daripada hidupnya, dimana bahaya yang dihadapinya adalah bahaya yang bisa merenggut nyawa sang tokoh – alih alih kehilangan sebuah persahabatan.
Tak perlu memikirkan masa depan, keluarga , atau bahkan sekolah. Hanya ada petualangan yang menunggu untuk di jelajahi di depannya. Itu kenapa Eri sangat menyukai membaca buku.
Namun rupanya kejutan lain menunggunya ketika ia membuka pintu kamar. Sebungkus besar coklat cadbury sudah menunggu nya di atas meja belajar.
Menghela nafas, Eri memutuskan kepalanya sudah terlalu penuh untuk memikirkan tingkah aneh kakak kandungya.
Page twenty three – Sibling
Bau kue kering yang baru matang berputar-putar di udara, cukup kuat untuk membuai siapapun yang tanpa sengaja menciumya. Bau itu pula lah yang menyambut Eri ketika ia memasuki dapur nenek Paula.
Anak itu sedang duduk di atas kursi dapur, mengamati jari jarinya sendiri ketika ia menceritakan semua yang ia alami beberapa hari terakhir kepada wanita tua yang duduk di depannya.
Setumpuk loyang loyang kotor menunggu untuk di cuci di dalam bak cucian, dan diatasnya terdapat mangkok besar yang digunakan untuk mengaduk adonan. Oven yang berada di bawah rak dapur masih terasa hangat , karena baru saja digunakan untuk memanggang.
Di salah satu sudut dapur terdapat kulkas dua pintu, yang Eri tahu isinya tak pernah kosong. Dapur itu tidak terlalu besar, namun dengan sebuah jendela besar yang menjadi akses masuknya cahaya , dapur itu terasa lengang.
“… tapi nenek seneng kamu datang ke sini” ujar nenek Paula seraya menyusun kue kue kering ke dalam toples. “Sarah mulai khawatir saat kamu jarang muncul beberapa hari ini.”
Eri hanya menghela nafas , matanya mengikuti satu per satu kue yang masuk ke dalam toples. “banyak yang terjadi nek – maksudku , sedikit yang terjadi , tapi aku kepikiran terus…” jawab Eri dengan rasa bersalah.
“nenek nggak nyalahin kamu. Tapi mungkin kamu harus tinggal sampai Sarah pulang , atau mungkin dia akan menerobos ke dalam rumahmu hanya untuk bertatap muka” canda nenek Paula.
Sambil tersenyum kecil, pandangan Eri terarah menembus jendela dapur , ke arah langit yang mulai berwarna jingga. Senyumnya memudar ketika ia kembali berbicara, nadanya seakan ia sudah lelah dengan hidupnya.
“aku jarang mendapat masalah” Eri kembali menghela nafas. “namun sekarang aku di jepit berbagai masalah dalam waktu bersamaan”
Sekilas terlihat segerombolan burung yang terbang membentuk formasi v terbalik, namun mereka segera hilang dari pandangan.
“di mulai dari masalah Kemal – Rara , Lily juga menjauhiku. Sampai kakakku yang bertingkah aneh. Bahkan Daniel akan dijodohkan oleh orang tuanya.”
“apa yang membuat kamu khawatir?” tanya nenek Paula.
Eri memandang wanita tua di depannya seakan akan kata katanya kurang jelas. “Semuanya tentu. Aku tak mau kehilangan Rara dan Lily , Kemal juga sudah baik kepadaku sehingga aku tak mau melihatnya sedih. Dan aku tak mengerti apa yang di pikirkan kakakku……..”
Nenek Paula memandangnya tajam, ketika Eri sengaja tak melanjutkan kata katanya.
“….. oke oke!” lanjut Eri dibawah tatapan tajam nenek Paula. “aku khawatir kalau Daniel benar benar di jodohkan!” mukanya menjadi merah ketika Eri selesai dengan kata katanya. Nenek Paula tersenyum puas, sambil kembali menata kue.
“kenapa kamu khawatir? Ia tetap akan sekolah seperti biasa , dan ia akan menemanimu seperti biasa kan?”
Eri terdiam. Kenapa ia khawatir?
“a-aku tak tahu…” Eri menjawab dengan bingung. Ia tentu saja tak bisa mengatakan bahwa ia khawatir Daniel akan melupakan dirinya , jika perjodohan itu berjalan dengan lancar. Namun kalau semua lancar dan Daniel bahagia, kenapa ia harus khawatir?
“Daniel tidak akan melupakanmu, kalau itu yang kamu takutkan.” Balas nenek Paula tepat sasaran – membuat Eri langsung menatapnya dengan heran.
“a-aku tidak berpikir begitu!” sambar Eri tak jujur. Mukanya telah memerah dan matanya berusaha memandang objek apapun selain nenek Paula di depannya.
Wanita tua itu menghela nafas panjang , dan ia menghentikan kegiatannya. “kamu harus lebih jujur kepada dirimu” ujar nenek Paula. “lebih baik mempercayai sesuatu yang tidak nyata, daripada menyangkal sesuatu yang jelas jelas ada.”
“m-maksud nenek??”
“nenek yakin kamu mengerti apa maksudnya” jawab nenek Paula sambil tersenyum penuh arti.
Beranjak meninggalkan meja, nenek Paula menjejerkan toples toples yang berisi kue kue kering -dari cookies coklat– sampai kue tipis yang Eri kenali sebagai ‘lidah kucing’.
“buat apa kue kue itu?” tanya Eri heran. “dan aku juga tak pernah melihat nenek memakan atau memajang kue kue yang pernah nenek bikin, sejauh yang ku ingat..”
“kalau kamu punya waktu akhir pekan ini, kamu akan tahu alasannya. Sebelum saat itu lebih baik kamu simpan pertanyaan kamu cu” jawab wanita tua itu sambil tersenyum.
Tak lama berselang ketika terdengar suara mobil dan Sarah muncul di pintu dapur, ketika wanita muda itu melihat Eri , ia langsung memeluknya erat sampai Eri kehabisan nafas.
“i-i'm gonna die here…” kata kata Eri teredam di dalam pelukan Sarah.
“I don’t care!” seru Sarah. “Where have you been??!” tanya Sarah sambil mempererat pelukannya.
“l-let me go first…” ujar Eri dengan suara yang makin melemah. Saat Sarah melepaskan pelukannya, sekilas Eri melihat sesuatu yang mengilap di bawah lehernya. Dan ternyata disana menggantung liontin perak berinisial ‘L’.
Eri menghabiskan beberapa saat berikutnya untuk bercerita pada Sarah, namun sekali sekali ia tersendat ketika tidak menemukan terjemahan yang pas untuk kata katanya. Selain itu, Eri bercerita dengan sangat lancar.
Puas setelah mendengar penjelasan Eri, Sarah pergi keluar dapur menuju kamarnya setelah sebelumnya mencubit kedua pipi Eri terlebih dahulu.
“dia selalu bersemangat..” ujar Eri sambil mengusap kedua pipinya. Nenek Paula hanya tersenyum geli melihat tingkah laku cucunya. Eri berniat bertanya tentang inisial ‘L’ di leher Sarah,namun Eri memutuskan itu bukan urusannya.
∞
Setelah matahari tenggelam di ufuk barat, cahaya remang remang yang bersumber dari lampu jalan menerangi Eri saat ia berjalan menuju rumahnya sendiri.
Ia selalu suka ketika bulan mulai terlihat jelas di langit, karena suasananya sangat berbeda jika mentari yang berada di atas sana. Jantungnya berdebar debar ketika suasana yang remang menyelimuti bumi, seakan ia berada di dunia yang benar benar berbeda dari tadi siang.
Namun memang benar, semua tampak berbeda. Lampu lampu jalan yang memang di desain tidak terlalu terang berbaris dengan rapi setiap beberapa meter. Suasana terdengar lebih sunyi, hanya ada beberapa kendaraan yang lewat dan kadang bisa terdengar suara obrolan dari salah satu rumah.
Kadang kadang lampu merah yang berkelap kelip lewat nan jauh di atas langit, menandakan adanya pesawat yang lewat. Jika tak ada awan , maka bisa terlihat banyak bintang bintang yang bertebaran di langit, seakan tidak ingin kalah dengan keindahan bulan.
Dan Eri bisa betah berlama-lama di bawah langit malam, hanya untuk menatap bintang bintang.
Eri menjulurkan tangannya ke atas, seakan bisa meraih bintang. Ia selalu takjub dengan benda benda langit, karena luasnya luar angkasa yang tak terhingga selalu membuatnya sadar akan kedudukannya sebagai makhluk kecil yang tak berdaya.
Angin malam bertiup membelai lengannya, membuat tubuh Eri refleks menggigil untuk mempertahankan suhu tubuh. Sambil melipat tangannya di depan dada, Eri meneruskan langkahnya menyusuri jalan.
Eri baru saja menutup pagar rumahnya, ketika ia melihat sosok yang duduk di depan teras. Sosok itu duduk dengan kepala mendongak ke arah langit malam. Walau dalam keadaan remang, Eri tahu itu adalah kakaknya.
Langkahnya membawa Eri melewati teras dan langsung ke depan pintu, namun sedetik kemudian Eri berbalik dan duduk agak jauh di samping Rio. Ia juga mendongak untuk menatap langit yang dipenuhi bintang, yang lebih banyak dari biasanya.
Mereka berdua terdiam tanpa bicara, masing masing tampaknya terpukau dengan pemandangan di atas mereka. Eri kurang mengerti tentang bentuk rasi bintang, jadi ia selalu menggabungkan bintang bintang di langit dan membentuknya sesuka hati.
Samar samar terdengar suara jangkrik yang bernyanyi, seakan bertugas sebagai musik pengiring malam. Angin kembali bertiup, membuat Eri duduk sambil memeluk lututnya sendiri untuk mengusir dingin.
Baru saja Eri memutuskan untuk masuk ke dalam rumah, ketika sebuah sweater jatuh ke tangannya. Di sampingnya, Rio baru saja melepaskan sweater nya yang berwarna hitam , rupanya ia memakai baju kaos yang sama hitamnya.
Entah sejak kapan jarak di antara mereka menipis, dan Eri bisa melihat muka kakaknya dengan lebih jelas sekarang.
Alih alih memakai sweater – Eri malah memeluk sweater itu di depan dadanya – dan hanya dengan begitu, ia sudah bisa merasakan hangatnya. Wangi samar tercium dari sweater itu , bau seperti coklat.
Mereka berdua kembali diam tanpa bergerak, hanya bintang bintang yang tampak berkali kali mengedip ke arah mereka.
“maaf ….” Bisik Eri, tidak lebih keras dari suara jangkrik yang mengisi kesunyian malam.
Rio menoleh, hanya untuk memastikan suara yang ia dengar berasal dari Eri.
“maaf..” ujar Eri, kali ini lebih keras , tanpa mengalihkan pandangannya dari langit.
“buat apa?”
Eri terdiam sejenak sebelum menjawab “ buat terakhir kali pas kakak nanya ke aku, kalo kakak benci aku atau enggak.” Eri menolehkan kepalanya. “ aku gak bermaksud jawab kayak waktu itu..”
Dari jarak dekat , Eri baru menyadari bahwa mereka berdua memiliki wajah yang mirip. Sehingga Eri bisa membayangkan beberapa tahun kedepan ia akan mempunyai muka yang hampir sama dengan kakaknya sekarang.
Kulitnya coklat muda – yang jika dibandingkan dengan orang lain akan terlihat lebih putih – rambutnya tidak terlalu bergelombang seperti Eri. Hidungnya tidak mancung, namun proporsional dengan mukanya. Dan bahkan terlihat pas dengan bibirnya yang berwarna cerah.
“oh..”
Rio kembali memalingkan wajahnya ke langit , namun entah Eri berkhayal atau tidak – terlihat sebuah senyuman tipis di bibirnya untuk sekilas tadi.
Kesunyian mereka di pecahkan oleh sebuah alunan ringtone yang menunjukkan adanya panggilan masuk ke dalam handphone Rio. Eri kembali sibuk memandangi langit, dengan sweater hangat dalam dekapannya.
Rio mengangkat handphonenya, dan kemudian mengatakan sesuatu dalam bisikan. Entah apa yang ia biacarakan, namun sekilas tadi ia melirik Eri dan kemudian mengakhiri percakapan. Pandangan Rio kembali terarah ke langit, namun pandangannya tampak menerawang.
Eri memutuskan sudah saatnya ia masuk ke dalam, dan dengan bertumpu pada tangannya ia beranjak dari teras.
“m-makasih sweaternya” ujar Eri sambil menjulurkan sweater hitam di tangannya. Rio mengambilnya dari tangan Eri , dan masih memperhatikan Eri ketika anak itu tidak kunjung masuk ke dalam rumah.
“d-dan buat buku novelnya” ujar Eri pelan dengan muka yang bersemu. Dari kemarin ia sudah mencari kesempatan untuk mengatakannya.
“gue gak beliin buku itu buat lo tadinya” ujar Rio datar dengan ekspresi yang tidak terbaca. Eri sedikit terkejut ketika mendengar itu. “tapi baguslah kalo lo suka” lanjutnya, membuat Eri menarik nafas lega.
“m-makasih , kakakku” ujar Eri , yang hanya terdengar tidak lebih keras dari sebuah bisikan , namun kata kata itu terdengar jelas di telinga Rio. Muka Eri sedikit memerah, dan matanya terlihat bulat dan berkaca kaca – atau yang sering dibilang orang – puppy eyes.
Eri langsung masuk ke dalam rumah setelah mengatakan hal yang nenek Paula sarankan. Ia tidak mengerti kenapa nenek itu menyarankannya untuk mengatakan hal itu.
Ketika pintu sudah menutup di belakangnya , Rio mendekap sweaternya dan tercium bau Eri yang samar samar. Bau parfum coklatnya bercampur dengan bau Eri – entah itu parfum atau bukan – yang tercium seperti bau almond.
Coklat dan kacang, pasangan yang cocok. Dalam hati Rio tersenyum sambil kembali menatap bintang bintang yang balas menatapnya…
∞
Pagi harinya, Eri sedang menunggu di depan rumahnya ketika cahaya mentari mulai menguat. Biasanya Daniel yang akan menunggunya, alih alih ia yang menunggu di depan rumah. Tatapannya terarah ke ujung jalan, tempat Daniel biasanya akan muncul.
Namun kali ini sia sia saja karena sebentar lagi bel masuk akan berdering, dan Eri takkan sempat mencari ojek sekarang.
“jemputan lo mana?” tanya Rio dari belakangnya, membuat Eri sedikit terlonjak ketika ia berbalik.
Eri menghela nafas dan ia menggelengkan kepalanya pasrah.
“naik” ujar Rio datar.
Eri mengerjap dan memandangnya bingung.
“naik! mau masuk sekolah gak?” ulang Rio sambil menepuk kursi motor di belakangnya.
Eri naik dengan kikuk di belakangnya, bingung dengan kelakuan Rio. Kakaknya itu tak pernah mengajaknya kemanapun , apalagi memboncengnya.
Tanpa menunggu Eri siap, Rio langsung memacu kuda besinya di atas aspal , membuat Eri sedikit terlonjak ke belakang. Dalam usahanya mencari tumpuan, Eri mengalungkan tangannya di pinggang Rio – hal yang tak akan mungkin di lakukannya dalam keadaan biasa.
Dengan kelihaian Rio dalam memacu motornya, Eri bisa tiba beberapa saat sebelum bel masuk berbunyi. “m-m-makasih kak!” ujar Eri sambil buru buru turun dari atas motor dan berlari menuju kelasnya.
Rio memandangi punggung adiknya dan setelah sosok itu menghilang di kejauhan, ia kembali memacu motornya.
Nafas Eri sedikit terengah engah ketika ia mencapai kelasnya – yang ternyata sudah ramai pagi itu – namun ia tak melihat sosok Daniel disana. Beberapa orang menyapa ketika Eri berjalan menuju tempat duduknya.
Sebuah ukiran berbentuk garuda yang menjadi dasar negaranya terpaku di atas papan tulis, dengan kepala menghadap kanan yang mengandung filosofi tersendiri. Foto presiden dan wakil presiden mengapit garuda dengan pita bertuliskan bhineka tunggal ika terjepit di kakinya itu.
Dan di bawah garuda itu , beberapa anak sedang berdiri di depan papan tulis sambil bermain bola yang tampaknya sudah sedikit lusuh. Eri tidak terlalu memperhatikan ketika salah satu dari anak itu – tepatnya Arya – menghampirinya .
“eri! tumben lo telat!” ledek Arya dengan nada yang jauh dari kesan tidak ramah.
Tanpa menjawab , Eri hanya memandang Arya dan menarik senyum sebisanya untuk formalitas. Namun rupanya Arya tidak puas dengan respon seadanya itu.
“lo kenapa? Kok lesu? Belom sarapan? Atau sakit?”
Eri lagi lagi hanya tersenyum ketika Arya membombardirnya dengan pertanyaan pertanyaan, yang justru malah membuatnya makin gencar melontarkan pertanyaan.
“enggak gue gak pa pa kok!” jawab Eri ketika Arya tak berhenti bertanya. Arya tersenyum, tampak puas setelah bisa membuat Eri membuka mulut.
“yaudah, kalo misalnya gak enak badan atau kenapa napa entar kasih tau gue aja” ujar Arya – yang setelah menepuk kepala Eri – sekarang bergabung dengan teman temannya.
Helaan nafas keluar dari mulut Eri. Dengan anehnya sifat semua orang akhir akhir ini, ia bersumpah tak akan heran jika melihat gurunya yang paling killer sekalipun datang dan membagikan bunga.
Perhatiannya teralih ketika bel berbunyi nyaring, menandakan masuknya jam pelajaran pertama , yaitu olahraga.
Beberapa anak langsung bergegas menuju kamar mandi dengan seragam olahraga di tangan, sedangkan yang lainnya tampak mengikuti dengan antusiasme yang sama. Olahraga selalu menjadi pelajaran yang ditunggu, satu satunya pelajaran yang bisa mengistirahatkan otak di luar ruangan.
Eri merogoh ke dalam tasnya dan mengeluarkan seragam olahraganya sendiri, sebelum berjalan keluar dari ruang kelas.
Hal yang menjadi kekurangan dari pelajaran olah raga bagi Eri, hanyalah bagian dimana ia harus mengganti baju. Walau ia sendiri selalu memakai kaus dibawah seragamnya, lain dengan beberapa cowok di kelasnya yang akan melepas kausnya ketika memakai seragam olahraga.
Dan Eri tidak pernah betah lama lama berada di dalam kamar mandi – tempat satu satunya untuk berganti baju – apalagi berdesakan dengan anak anak kelasnya di dalam ruangan yang tidak terlalu besar itu.
Ia lebih memilih untuk menunggu di luar kamar mandi sampai keadaannya lebih sepi. Dan ketika itu lah matanya menangkap sebuah sosok yang sudah sangat familiar.
Di SMA harapan dimana peraturan dijunjung tinggi, siswa yang telat bahkan hanya beberapa saat setelah bel berbunyi, akan tetap mendapat peringatan jika mereka kurang beruntung dan berhadapan dengan guru piket yang ‘menyusahkan’ .
Tak jauh dari pintu masuk sekolahnya, Daniel berdiri di depan pak Sarijo – guru piketnya hari ini. Eri baru saja akan menghampirinya, ketika ia melihat Bella di samping Daniel.
Perempuan itu tampak tak terganggu dengan ocehan guru piket di depannya, namun ia jelas betah berlama lama di sana.
N jangan bilang kalau bella yg bakalan dijodohin ma daniel? kalau iya gak setuju, gak rela, n gak ridho kalau daniel jadi ma makhluk astral satu itu