It looks like you're new here. If you want to get involved, click one of these buttons!
Copyright 2021 Queer Indonesia Archive. See our Privacy Policy. Contact us at [email protected]
Dengan menggunakan situs ini berarti Anda setuju dengan Aturan Pakai.
BoyzForum.com adalah situs anti pedofilia!
Comments
Eri membuka pintu rumahnya, yang menyambutnya dalam diam ketika Eri berjalan melewatinya.
Keheningan memenuhi seisi kediamannya, hanya suara jarum jam yang setia mengisi kekosongan suara. Sinar sang surya menyelinap masuk melalui celah celah jendela yang tak terlindung, berkontribusi khusus terhadap kenaikan suhu ruangan.
“kakak pulang dulu ya, abis itu entar kakak balik lagi” . Pesan Daniel dari beberapa saat yang lalu terngiang di telinganya.
Cahaya memenuhi ruang kamarnya yang bernuansa biru, ketika Eri menekan tombol lampu. Rumahnya sama sepinya seperti biasa, sama kelamnya seperti biasa. Kedua saudara Eri sama sekali tak nampak bayangannya, begitu pula dengan kedua orang tuanya.
Setelah menaruh tas yang sedari tadi bertengger di punggungnya, Eri perlahan melepas seragamnya, dan berganti dengan sebuah kaus lengan panjang dan celana pendek diatas lutut.
Dengan langkah kecil ia berjalan menuju pintu kulkas. Eri tersenyum hampa ketika ternyata ia tidak melihat sesuatu yang ia cari- lebih tepatnya- ia harapkan. ‘toh bukan yang pertama kalinya’ tukas Eri dalam hati.
Baru saja ia menutup pintu kulkas , ketika sebuah suara ketukan terdengar dari arah pagar rumahnya, mengalihkan perhatian Eri.
Dibalik pagar, seorang perempuan muda – yang Eri yakin bukan orang Indonesia , atau setidak nya blasteran eropa – sedang berdiri dengan muka cemas. Ia memakai sebuah sweater coklat yang lebih gelap dari warna rambutnya.
“you’re Eri right???” tanya perempuan berambut coklat itu. Eri langsung menduga bahwa perempuan itu adalah kerabat nenek Paula, dan kenyataan bahwa ia sedang berdiri di depan rumahnya dengan muka pucat pasi, membuat Eri merinding seketika.
“y-yes, who are you?” jawab Eri, heran dengan perempuan bule di depannya yang kira kira berumur 20 tahunan itu.
“no time to explain!!” perempuan itu tiba tiba berseru.
“grandma needs you!!” tambah perempuan itu dengan air mata mulai menggenang, tangannya menunjuk rumah nenek Paula.
Seketika, pikiran Eri langsung penuh dengan mimpi mimpi terburuknya. Mimpi dimana ia tak bisa bertemu dengan nenek Paula lagi.
Dengan sekuat tenaga ia berlari, menjejakkan kaki secepat cepatnya ke arah rumah tetangganya. Eri menerobos pagar yang terbuka, dan ia tercengang ketika melihat melewati pintu yang terbuka. Di depan pintu itu, di sofa ruang tamu , nenek Paula berbaring tak bergerak. Pikirannya langsung buram, dan telinganya seakan kehilangan kemampuan untuk mendengar. Nafasnya menjadi sesak, seakan sesuatu mencekik paru parunya.
Ia berteriak, atau Eri menyangka dirinya berteriak , karena ia tidak bisa mendengar suara yang di keluarkannya sendiri.
“NEK!! NENEKKK!” dengan panik Eri menggoyangkan tubuh di depannya setelah ia berlari dan menerobos masuk. Air mata Eri mulai menggenang memenuhi matanya.
Ketika nenek Paula dengan perlahan membuka matanya, secercah kelegaan langsung memenuhi Eri.
“Cu…..” desah nenek Paula lemah , tangan kanannya terulur.
“nenekkk! Nenek gak boleh pergi, nenek gak boleh ninggalin aku!!” isak Eri seraya menggapai tangan nenek Paula dan menggengamnya erat.
Nenek Paula tersenyum lemah. Wajahnya pucat, dan kemudian ia menunjuk ke arah dapurnya, tempat ia setiap hari memanggang kue.
“kenapa nekk? Nenek mau kesana??” tanya Eri pasrah, ketika melihat raut wajah nenek Paula yang melemah. Ia bahkan tak sadar sejak kapan perempuan berambut coklat tadi telah bergabung di sampingnya.
Nenek Paula menggelengkan kepala pelan, sangat pelan. Kemudian ia menunjuk Eri, dan kembali menunjuk dapur. Eri mendadak mengerti maksud yang ditujukan padanya.
“n-nenek mau aku ke dapur?..” tanya Eri, bingung dengan maksud wanita tua di depannya.
Nenek Paula mengangguk, dan ia tersenyum lemah. Eri menoleh ke arah perempuan berambut coklat, dan perempuan itu menganggukkan kepala. Air mata mengalir di pipinya.
Eri berusaha keras untuk melangkahkan kaki menuju dapur, berkali kali ia menoleh ke arah nenek Paula yang sekarang kembali memejamkan matanya, membuat hatinya seakan tersayat.
Dapur itu sangat gelap, tak ada setitik cahaya pun yang masuk ke dalam. Keadaannya sangat gelap gulita, dan Eri mendadak ragu untuk masuk ke dalam kegelapan yang mengundang itu. Ia tidak suka dengan gelap. Tangannya meraba raba mencari saklar lampu.
Dan ketika lampu menyala, sebuah kotak di atas meja dapur menarik perhatiannya.
Entah kenapa tak ada barang lain di rak dapur selain kotak itu, seakan semua barang merasa tak pantas di sandangkan dengan kotak itu.
Dengan tangan gemetar Eri menghampiri kotak itu.
“Bukalah” . Secarik kertas terletak di atas kotak. Eri membuka kotak itu perlahan. Dan di dalamnya, sebuah kue bundar berwarna putih telah menunggunya. Sebuah tulisan yang dibuat dari krim tertera disana..
“HAPPY BIRTHDAY ERI!!!!!”
Eri terlonjak kaget, dan ia langsung membalikan badannya ke arah sumber suara.
Perempuan berambut coklat itu telah berdiri di belakangnya, dan disampingnya berdiri lah nenek Paula, tampak sehat dan bugar. Semuanya sekarang tampak jelas bagi Eri.
“you’ve tricked me!!!” seru Eri kesal kepada kedua orang di depannya. Dengan tergesa gesa Eri menghapus air matanya yang sempat menggenang, walau matanya masih sembab.
Tiba tiba ia merasa bodoh, sangat bodoh. Ia seharusnya tahu, nenek Paula pasti ingat ulang tahunnya yang bertepatan dengan hari valentine.
“i'm really sorry,” sang perempuan berambut coklat meminta maaf sambil tersenyum. “grandma was behind this all..” tambahnya sambil menunjuk nenek Paula. “oh and by the way, my name is sarah ” perempuan itu mengulurkan tangannya.
Beberapa detik sebelum tangan mereka bersentuhan, mendadak perempuan itu menarik tangannya dan langsung mencubit pipi Eri. “nice to meet you Eri!!” serunya sambil tersenyum lebar.
“it hurts!” protes Eri, seraya menggelengkan kepalanya untuk melepas cubitan di pipinya. Ia merasa kesal pada dua orang di depannya, dan juga kepada dirinya sendiri karena tak menduga ia akan dikerjai seperti ini.
“dan aku pikir nenek sekarat!” ujar Eri, tidak terima dirinya dipermainkan.
“maafin nenek ya cu” balas nenek Paula sambil tersenyum, tangannya mengelus kepala Eri pelan dan membuat mata anak itu kembali basah. “nenek cuman pingin liat reaksi kamu aja kok” tambah nenek Paula.
“ta-tapi gak gini caranya!” Eri melepas kacamata dan mengusap air di kedua matanya. Untuk beberapa saat tadi ia benar benar menyangka bahwa nenek yang disayanginya akan pergi selamanya. Dan itu membuat perasaan Eri campur aduk, lega karena semua ini tidak sungguhan, dan kesal karena ia telah dipermainkan. Entah apa yang harus ia rasakan.
“cup cup maafin nenek dong cu, nenek gak bermaksud bikin kamu sedih..” ujar nenek Paula lembut. “dan Daniel nungguin kamu di depan..”
Ketika mendengar nama Daniel disebut, Eri langsung mengangkat kepalanya. “daniel?..” tanya Eri polos. Dan ketika nenek Paula mengangguk, Eri langsung keluar dari dapur dan berlari ke arah ruang tamu.
Ketika ia melihat sosok tinggi dengan kaos dan celana basket khas nya, Eri langsung berlari dan memeluk sosok itu.
“E-eri?? Kamu kenapa??!” tanya Daniel panik ketika Eri membenamkan wajahnya ke kaos Daniel.
Begitu sadar ia memeluk Daniel, Eri langsung melepaskan tangannya seketika itu juga. Dan Eri bisa merasakan pipinya mulai memanas.
“eng- enggak kok gak pap-pa ..” jawab Eri sambil menundukkan kepalanya karena malu.
“kamu kenapa nangis??” Daniel membungkuk untuk melihat muka Eri lebih jelas, tapi itu malah membuat Eri semakin menundukkan kepalanya.
“a-aku gak nangis kok!” bantah Eri sambil berusaha menghapus sisa sisa air mata di wajahnya. “ka-kakak kok bisa disini?”
“tadi kakak liat kamu lari ke sini” ujar Daniel. “dan tadi kenapa kamu teriak teriak di depan rumah?....” tanya nya bingung.
Muka Eri makin memanas, dan ia lebih memilih di manapun selain berada di rumah nenek Paula saat ini.
“your boyfriend?” tanya Sarah yang sekarang sudah berdiri persis di belakang Eri.
“wh-what?!!” muka Eri langsung memerah padam saat ia berseru. “n-no he isn’t!!”
“good then, cause you’re mine” lanjut Sarah sambil memeluk Eri dari belakang. Tinggi Sarah hampir sama dengan Daniel, membuat Eri terlihat kecil diantara mereka berdua. Tangan Sarah yang satu memeluk leher Eri, dan yang satunya mencubit pipi anak itu.
“could you stop this?!” seru Eri dengan muka yang memerah dan nafas yang terengah engah. Ia butuh waktu untuk mencerna semua yang terjadi….
∞
“jadi, kamu tadi sebenernya nangis gara gara candaan si nenek itu?”
Tanya Daniel ketika Eri selesai menceritakan semua kronologis kejadiannya. Ia dan Daniel sedang duduk bersebelahan di sofa ruang tamu, sedangkan Sarah kembali ke dapur untuk menemani nenek Paula menyiapkan kue.
Eri mengangguk pelan sebagai jawabannya. Kepalanya tertunduk, dan wajahnya masih sedikit merona karena tadi Daniel sempat melihat air matanya menggenang.
“ja-jangan ketawa….” Ujar Eri pelan. Suaranya terdengar agak serak dan sedikit terdengar seperti ratapan.
“siapa yang mau ketawa” bantah Daniel, dan ia menggeser badannya mendekati Eri. “udah udah, itu semua kan gak beneran terjadi..”
Eri hanya bisa memejamkan mata ketika Daniel menarik kepalanya, sehingga kepalanya bersandar ke bahu pemain basket itu. Tangan Daniel membelai rambut Eri perlahan, seakan Eri adalah bayi yang rapuh.
Perlahan Eri merasa mukanya memanas, namun ia segera menarik kepalanya begitu melihat Sarah dan nenek Paula datang membawa kue bundar berwarna putih yang Eri lihat di dapur dan meletakkannya di atas meja di depan sofa. Kue itu tak terlalu besar, dan lapisan luarnya bukanlah krim, tapi semacam fondant berwarna putih. Krim berwarna coklat membentuk tulisan “HAPPY BIRTHDAY ERI” di atasnya berdampingan dengan lilin yang menunjukkan angka 15 . Cukup sederhana tapi sangat berarti bagi Eri.
Sarah adalah salah satu cucu nenek Paula, yang jauh jauh datang ke Indonesia hanya untuk melihat Eri secara langsung.
Ternyata nenek Paula benar benar menceritakan tentang Eri kepada keluarganya, membuat Eri merasa makin sayang dengan nenek itu, walau sekarang ia masih kesal karena dipermainkan.
“you’re 15 years old??” tanya Sarah tak percaya “and I thought you were 12 or younger!”
“ssssst Sarah, don’t talk too much.” Nenek Paula memperingatkan. Perempuan berambut coklat itu hanya bisa tersenyum jahil ketika neneknya memperingatkan. Nenek Paula mengeluarkan korek api yang ia bawa dari dapur, dan menyalakan angka yang berdiri di atas kue itu.
Cahaya lilin berpendar lemah di tengah ruangan. Rapuh namun memberikan kehangatan yang menyelimuti Eri dengan perlahan. Pendar dari lilin membuat kilauan di mata Eri, yang akan membesar ketika melihat sesuatu yang menarik perhatiannya.
Bagi orang lain, cahaya itu hanyalah cahaya biasa. Lilin itu tak berbeda dibandingkan lilin lilin lainnya. Kue itu bahkan tidak terlalu menarik dibandingkan kue kue yang terpajang di etalase toko kue. Namun di mata Eri, semua itu memberinya alasan untuk bersyukur.
“can I blow it now??” tanya Eri tak sabar, matanya terkunci pada secercah kecil cahaya yang menari nari di atas kuenya.
Nenek Paula hanya menggelengkan kepala sambil tersenyum melihat kelakuan cucunya. “you have to make a wish first” nenek Paula mengingatkan. Eri langsung memejamkan matanya, seakan berfikir keras dan setelah itu ia membuka kembali matanya.
“kakak boleh ikutan niup?” tanya Daniel di sampingnya. Eri tak bisa melakukan apapun kecuali mengangguk pelan dengan muka memerah.
“it’s not fair!” seru Sarah ketika melihat Daniel mencodongkan tubuhnya ke depan untuk bersiap meniup lilin. Tapi nenek Paula menempelkan jari telunjuk ke mulutnya sendiri, memberitahu Sarah untuk tetap diam. Dengan muka kesal, Sarah mengeluarkan sebuah kamera digital dari kantongnya, bersiap memfoto Eri ketika ia meniup lilin.
“nenek hitung ya, tiga…..”
Eri menarik nafasnya dalam dalam, dan di sebelahnya Daniel melakukan hal yang sama.
“dua…..”
Daniel mencondongkan badannya mendekati lilin. Dan Eri bisa melihat dari ekor matanya wajah Daniel yang mendekat.
“satu.”
Cup. Eri tertegun tepat setelah ia menghembuskan nafasnya kuat-kuat. Asap kecil yang muncul setelah padamnya lilin menari nari di matanya yang membelalak. Alih alih meniup lilin, Daniel mengecupnya singkat di pipi.
“d-did you just-..?” tanya Eri sambil meraba pipinya, tempat ia merasakan kecupan singkat itu.
Daniel mengalihkan mukanya. Samar samar rona merah mulai menghiasi wajahnya. Namun jika dibandingkan dengan muka Eri sekarang, itu tak ada apa apanya.
Muka Eri memerah drastis, seakan warna merah adalah warna kulitnya sejak lahir. Suaranya tercekat di tenggorokkan.
Nenek Paula hanya tersenyum kecil dan terkikik pelan melihat kejadian barusan, seakan ia sudah tahu itu akan terjadi.
Sedangkan Sarah sempat melotot ketika melihat kejadian tadi. Walau ia baru pertama kali bertemu Eri, namun setelah mendengar cerita-cerita nenek Paula tentang anak yang selalu menemaninya di Indonesia, Sarah seakan sudah lama mengenal Eri. Dan sekarang setelah ia melihat secara langsung anak itu, ia tak tahan untuk tidak memilikinya.
“Happy birthday” kata Daniel lirih, tapi cukup jelas untuk di dengar Eri. Ia masih mengalihkan mukanya, namun tangannya mengelus kepala Eri. “kakak belum ngucapin kan ke kamu..” lanjutnya. Pikirannya tertuju kepada kotak yang ia simpan di bawah sofa tanpa sepengetahuan Eri. Tadi, saat Eri berada di dapur, Daniel sempat menyembunyikan sebuah kotak berwarna biru di bawah sofa, berharap dapat membuat kejutan untuk Eri.
Namun ketika ia melihat kue yang nenek Paula bawa, ternyata ia bukan orang pertama yang mengucapkan selamat kepada Eri. Dan ia megecup pipi Eri secara spontan.
“do you want to see the picture?” tanya Sarah pada Eri. Tangannya yang sudah sangat cekatan dalam urusan fotografi menangkap momen yang hanya berlangsung tak lebih dari sedetik itu. Kameranya menampilkan gambar Eri, yang baru saja meniup lilin namun mukanya mulai memerah karena disamping Eri- Daniel sedang mengecup pipinya.
Eri menundukkan kepalanya dan menggeleng cepat. Suhu wajahnya meningkat, dan Eri sendiri bisa merasakan aliran darah yang mengalir di mukanya dengan cepat. Matanya mulai berair, dan jantungnya berdetak tak karuan.
“now then, do you want to slice the cake?” tanya nenek Paula pada Eri. Eri membalas dengan sebuah anggukkan pelan. “oh tapi nenek lupa bawa pisaunya.. I need to go to the kitchen, and you will come with me.” Nenek Paula menarik tangan Sarah yang tampaknya tak rela meninggalkan Eri dengan Daniel. Sesaat sebelum meninggalkan ruang tamu, nenek Paula mengedipkan sebelah matanya ke arah Daniel.
Melihat kedipan itu, Daniel mengusap bagian belakang kepalanya sendiri , sebelum akhirnya memutuskan untuk mengeluarkan sebuah kotak dari bawah sofa.
“Eri…..” panggil Daniel.
Eri menolehkan kepala, dan jantungnya seakan berhenti ketika melihat sebuah kotak biru disodorkan ke arahnya.
Selama ini Daniel hanya memberikannya coklat – walaupun itu bukan coklat murah – khususnya setelah ia berubah beberapa tahun yang lalu. Teringat hal itu, Eri sendiri tak tahu penyebab celah di antara ia dan Daniel dulu. Namun karena Daniel sudah kembali, Eri tidak peduli dengan masa lalu.
Eri menerima kotak itu dengan tangan sedikit gemetar. “b-boleh dibuka sekarang?” tanya nya lirih.
“gak usah, di rumah aja ya dek bukanya” jawab Daniel seraya mengusap kepala Eri.
“ma…. Makasih kakak.” ujar Eri dengan kepala masih tertunduk. Efek kecupan tadi seakan membuatnya kehilangan kemampuannya untuk berbahasa.
Daniel mengangguk singkat, dan tetap mengelus kepala Eri. Keheningan melanda ruang tamu.
Matahari di langit ternyata sudah bersiap siap untuk mengakhiri aktivitasnya pada hari itu, yang akan digantikan oleh rembulan perak. Sesekali terlihat orang orang berlalu lalang di jalan, sibuk dengan urusannya masing masing.
Eri duduk dengan kotak biru di pangkuannya, serta Daniel disampingnya persis- yang tak pernah bosan mengelus kepalanya. Eri tersenyum kecil memandangi kotak biru di pangkuannya, walau dalam otaknya kebahagiaan yang ia rasakan sedang berlarian mengitari kepalanya….
∞
Eri hanya bisa menganga ketika melihat wujud asli dari kuenya.
Warna merah, jingga , kuning , biru dan hijau menghiasi bagian dalam kue itu secara berurutan dari bagian atasnya. Setiap tingkat warna dibatasi oleh lapisan krim tipis, yang rasanya tidak terlalu manis.
Ketika nenek Paula menyodorkan piring dengan potongan kue itu ke arah Eri, dalam sekejap kue itu langsung habis tak bersisa.
“pelan pelan cu, kamu bisa bawa pulang sisanya kok nanti” ujar nenek Paula , gemas melihat tingkah laku cucunya yang polos.
Sarah rupanya lebih senang memotret Eri daripada melahap kuenya. Ia berpindah pindah, mengambil gambar Eri dari berbagai sudut. Ia tak ingin kelewatan sedetik pun ekspresi Eri yang berubah ubah.
“oh iya…” ujar Eri , teringat akan sesuatu. “katanya keluarga nenek bakalan dateng hari ini?”
Nenek Paula tersenyum sedih, dan kemudian ia menengok ke arah Sarah sekilas sebelum akhirnya menjawab “ mereka gak jadi dateng, Sarah satu satunya yang bisa dateng”
Melihat raut wajah nenek Paula, Eri berusaha tidak menyinggung masalah itu lagi.
“what’s that?” tanya Sarah sambil menunjuk kotak di pangkuan Eri. Dengan sebuah gerakan cepat ia merebut kotak itu dari Eri. “can I open it??” tanya Sarah, tangannya sudah siap merobek bungkusan kado yang menutupi kotak itu.
Eri menggeleng dan mengulurkan tangannya, berusaha merebut kembali kotak hadiahnya. Tapi Sarah mengelak, dan tangannya sudah merobek sedikit bagian dari kertas kado. Kado pertama Eri yang ia dapat dari Daniel.
Seketika seluruh ekspresi hilang dari wajah Eri, meninggalkan raut wajah datar dan aura yang menusuk.
“Give me. Back. My. Present.” Tangan Eri terulur saat ia menatap Sarah dengan pupil matanya yang mengecil seperti kucing.
Seakan terhipnotis, Sarah langsung menyodorkan kado itu ke tangan Eri tanpa membuka mulut. Ketika kado itu menyentuh tangannya, Eri langsung tersenyum lebar. “thank you Sarah” ujarnya pada Sarah yang masih terdiam kaku.
“just now… was he angry?” bisik Sarah kepada nenek Paula.
“he gets angry easily if it’s involved Daniel” jawab nenek Paula dengan berbisik. “if you do anything just to him, he won’t be angry.”
“really? He only gets angry about things that involved the boy beside him?” bisik Sarah heran. “that’s cute! But scary in the same time...”
“what are you two talking about?” tanya Eri, ekspresinya yang polos sudah kembali ke wajahnya.
“nothing” jawab nenek Paula sambil tersenyum. Eri mengangkat bahunya, dan ia baru menyadari bahwa matahari sudah tenggelam sempurna di luar sana.
“aku harus pulang..” ujar Eri seraya berdiri cepat, dan Daniel mengikuti gerakannya. “aku gak sadar udah jam segini..”
“kalo gitu bawa pulang ya kuenya,” nenek Paula segera merapikan sisa kue itu, dan memasukkannya kembali ke dalam kotak.
“thank you for the cake grandma!” ujar Eri sambil memeluk nenek Paula.
“you’re welcome!” balas nenek Paula “have you thanked Daniel for the present?” lanjutnya sambil melirik kotak di tangan Eri.
“o-of course I have!” Jawab Eri dengan muka memerah. “dadah nenek, bye Sarah!” ujar Eri saat ia keluar melewati pintu, menyusul Daniel yang mengangguk singkat ke arah nenek Paula.
“now I know why you don’t want go back to our home” ujar Sarah. “you already have a cute grandson here..”
Nenek Paula hanya tersenyum kecil mendengar hal itu…
∞
“kakak gak harus nganterin aku pulang kok..” ujar Eri ketika ia membuka pagar rumahnya.
“kakak cuma mau ngeliat kamu lebih lama…” balas Daniel sambil mengangkat bahunya. Muka Eri kembali memerah. Entah berapa kali mukanya memerah hari ini.
“yaudah aku mau masuk dulu, kakak pulang duluan aja..” ujar Eri.
“mending kamu aja yang masuk duluan ke rumah” balas Daniel.
“kakak aja yang pulang duluan..”
“kamu yang masuk ke rumah duluan”
Pipi Eri menggembung ketika tak ada satupun diantara mereka yang mau mengalah. Daniel berusaha menahan tangannya untuk tidak mencubit pipi Eri karena gemas.
“apa yang harus kulakukan supaya kakak mau pulang duluan?” tanya Eri.
“gimana kalo kamu ngebiarin kakak ngelakuin hal yang sama kayak waktu kamu niup lilin tadi?” Daniel bertanya balik.
Eri tercengang dan langsung menutup pagar. “aku duluan aja yang masuk!” seru Eri sambil berlari masuk ke dalam rumahnya, meninggalkan Daniel yang tersenyum geli melihat tingkah laku Eri…
Page fourteen – That Girl
Keesokan paginya. Eri sedang membuka kotak biru yang semalaman ia dekap dalam tidurnya tepat ketika handphone nya bergetar.
Ketika mengetahui isi kotak itu, Eri langsung berlari melewati ruang tamu nya, dan keluar dari rumahnya menghampiri Daniel yang sudah menunggu di balik pagar. Dan disana, Daniel memakai benda yang sama dengan yang dipegang Eri.
“a-aku pikir….” Eri tergagap ketika melihat jaket abu abu yang biasanya di pakai Daniel, sekarang ada juga di tangannya. Ia sempat mengira kalau Daniel memberikan jaketnya, namun ternyata bukan.
“kamu suka gak?..” tanya Daniel sedikit gugup, ketika melihat hadiah yang ia berikan kepada Eri. “k-kakak gak tau mau ngasih apa.. Jadi kakak pikir, kenapa kita gak samaan aja? Dan akhirnya kakak nemuin jaket yang sama persis kayak punya kakak…” ujar Daniel. ” Ta-tapi jaket itu cuma satu ukuran, jadi mungkin agak kegedean di kamu..” lanjutnya seraya turun dari motor dan menghampiri Eri.
Eri tertegun melihat jaket abu abu di tangannya, jaket yang persis sama dengan punya Daniel.
“t-tapi inikan mahal…” balas Eri, tanpa bisa menyembunyikan keterkejutannya. Walaupun ia tak terlalu tahu tentang pakaian, namun ia tahu, ini bukanlah jaket yang bisa ditemui di sembarang tempat.
Daniel mengusap bagian belakang kepalanya karena sedikit gugup. “mau semahal apapun harganya, kalo buat kamu pasti kakak beliin. Kamu gak suka?” Tanya Daniel.
Muka Eri memerah seketika “bu-bu-bukan gitu!” jawabnya . “tapi aku gatau bisa nerima barang semahal ini atau enggak..” lanjut Eri seraya memandang kain kelabu di tangannya. Ini adalah barang kedua termahal yang pernah Eri punya – yang pertama adalah handphone nya, yang ia beli setelah berbulan bulan tak menggunakan uang saku.
Kekecewaan sedikit terlihat di wajah Daniel ketika ia mendengar jawaban Eri. Namun ia berusaha menutupinya.
“emm.. gimana kalo yang baru ini buat kakak, dan aku pake yang lama?” usul Eri.
“h-hah??”
“iya, jadi kakak pake jaket yang baru , biar aku yang pake jaket lama kakak..” ulang Eri. Dalam hatinya ia tidak enak menerima hadiah semahal ini dari Daniel, namun ia tidak mungkin menolaknya atau bahkan mengembalikannya.
“masa kamu pake jaket kakak yang lama??” tanya Daniel tidak percaya.
Eri mengangguk, seakan yang diusulkannya adalah hal yang biasa. “aku gak bisa pake jaket yang baru, dan a-aku…” muka Eri makin memerah ketika ia melanjutkan kata katanya. “aku lebih suka pake jaket kakak yang lama kok..”
Daniel masih memandangnya tak percaya “kamu serius??” tanyanya, yang dibalas Eri dengan sebuah anggukkan kepala lagi.
Walau ia bingung, Daniel tetap melepas jaketnya , dan Eri langsung menyodorkan jaket abu abu yang baru kepadanya.
Muka Daniel sedikit memerah ketika melihat muka bahagia Eri , saat anak itu menerima jaketnya yang lama. Senyumnya yang lucu, matanya yang bundar berbinar di balik lensa kotak nya, ekspresinya yang polos , dan wajahnya yang memerah. Semua hanya karena anak itu menerima sebuah jaket bekas.
Lain halnya dengan Eri, ia bahkan tak percaya dengan hal yang dikatakannya barusan. Namun sekarang jaket Daniel sudah berada di tangannya, jaket yang selalu di pakai pemain basket itu kini berada di dalam genggamannya.
“yaudah, ayo cepetan berangkat, nanti kita telat” ujar Daniel seraya berbalik, dan menyalakan motornya.
“i-iya” jawab Eri sambil memakai jaket itu. Hal yang pertama kali Eri rasakan adalah longgar, karena memang ada perbedaan ukuran di antaranya dan Daniel, bahkan tangannya hampir tenggelam di dalam jaket itu.
Dan hal kedua yang Eri rasakan adalah hangat. Entah karena memang bahan jaket itu menahan panas atau tidak, namun Eri juga merasakan hangat di dalam tubuhnya. Kehangatan yang membuatnya mukanya tak bisa berhenti memerah.
Setelah Eri duduk di atas motor pun, Daniel mengarahkan kedua tangannya agar tangan Eri melingkar di badan Daniel.
“kak….” panggil Eri, ia menyenderkan pipinya di punggung Daniel.
Daniel merasakan pipi Eri di punggungnya, dan itu membuat jantungnya berdetak sedikit lebih cepat. “ya?...” ujar Daniel.
“thanks for the present..” jawab Eri sambil mempererat pelukannya singkat.
Daniel tersenyum kecil, namun karena tangannya tak bisa mencapai Eri, ia menggenggam kedua tangan Eri yang terletak di perutnya. “you’re welcome little brother..”
Untungnya motor segera berjalan, tanpa Daniel menyadari bahwa muka Eri berubah menjadi benar benar merah saat Daniel menggenggam tangannya tadi. Perasaan sesak seperti sesuatu yang menekan dadanya kembali melanda Eri, namun kali ini ia hanya tersenyum kecil dibalik punggung Daniel.
Dan keduanya sama sekali tidak mengetahui, ketika dua pasang mata ternyata memperhatikan mereka….
∞
“Eri! Jaket lo sama kayak punya Daniel kan? Beli dimana sihh??”
“Kok jaket kalian bisa samaan??”
Daniel baru saja pergi ke kantin pada saat jam istirahat, ketika meja Eri di kerubungi anak perempuan penghuni kelasnya. Masing masing menanyakan hal yang tidak jauh berbeda, kenapa jaket Eri dan Daniel bisa persis sama, dimana Eri membeli jaket itu , berapa harga jaket nya , hal hal semacam itu.
“g-gue gak tau , soalnya dibeliin nyokap..” Eri terpaksa berbohong, karena entah apa reaksi para perempuan itu jika tahu bahwa tadinya Daniel memberikan Eri sebuah jaket.
“ahh masa gak tau?? Pasti ini gak murah, merk nya aja merk terkenal!” ujar Bella, salah satu perempuan di kelas Eri yang cukup populer.
“sumpah beneran gue gak tau!” seru Eri ketika kumpulan itu semakin mendesaknya. Dan untungnya di antara wajah wajah itu, Eri tak melihat Lily.
Ketika perempuan di sekelilingnya sama sekali tidak bergerak, Eri memutuskan untuk meninggalkan mejanya, dan berlari keluar kelas dengan terburu buru. Ia berlari menuju kamar mandi, karena tak mungkin ia ada yang mengikutinya jika ia ke tempat itu.
Dengan nafas yang terengah engah, Eri menyandarkan diri di dinding kamar mandi, tepat disamping sebuah bilik. Namun ia langsung menarik punggungnya, khawatir jaket yang ia pakai akan ternoda.
Dan di saat itulah ekor matanya menangkap sebuah makhluk kecil yang merayap di dinding mandi. Warnanya yang coklat – kemerahan , kaki kakinya yang kecil , dan termasuk dalam kelas serangga yang bisa terbang. Salah satu hal yang ditakuti Eri lebih dari ketakutan Ronald Weasley - dalam serial Harry potter - terhadap laba laba. Yaitu kecoa.
Ketika matanya terfokus pada makhluk itu, mukanya pucat seketika. Eri lebih memilih ular , singa , buaya dan berbagai macam binatang buas lainnya dibanding serangga itu.
Eri langsung refleks berlari menuju pintu kamar mandi, ketika ia menabrak seseorang bahkan sebelum menjejakkan kaki di koridor.
Hampir terjengkang, Eri mengusap jidatnya yang terbentur dengan dagu orang yang ditabraknya barusan. “ma-maaf ga sengaja!” ujar Eri panik.
“i-iya gak pa pa, lo kenapa lari lari dek?” jawab orang di depannya, dan Eri mendongak. Di depannya, Kemal sedang mengusap dagunya dan memandang Eri bingung.
Dengan kepala tertunduk karena malu, Eri mengangkat sebelah tangannya dan menunjuk sebuah makhluk yang merayap di dinding kamar mandi.
“kecoa? Lo takut kecoa??” tanya Kemal, hampir tidak percaya.
Muka Eri memerah ketika ia mengangguk singkat. “k-kenapa? Aneh ya?” tanyanya malu.
“eng-enggak pa pa sih, tapi kecoanya sekarang ada di deket kaki lo.” Ujar Kemal. Eri terlonjak, dan langsung meraih lengan Kemal karena refleks.
Begitu tahu bahwa kecoa itu masih berada di dinding yang cukup jauh darinya, Eri menghela nafas lega. “ah kakak jangan nakut nakutin dong!” protesnya, namun ketika sadar ia memeluk lengan Kemal, ia langsung melepaskan tangannya.
Senyum jahil muncul di wajah Kemal “hahaha canda kali dek” ujarnya sambil mengacak acak rambut Eri, seakan ia tak keberatan Eri memeluk lengannya tadi.
Eri menundukkan mukanya karena malu, pipinya memanas saat kejadian barusan terulang di kepalanya. “gue duluan ya kak” pamitnya dengan kepala tertunduk.
“yaudah, ati ati ya, entar kecoa nya ngikutin loh!” ujar Kemal sambil menggelitik leher Eri, seakan jari jarinya adalah kaki kecoa.
“ah apaansih kak!” protes Eri sambil mengelak dari Kemal dan berjalan keluar kamar mandi, geli karena tangan Kemal menyentuh lehernya.
Kaki Eri berhenti melangkah ketika melihat sosok Rara yang sedang duduk tak jauh dari dirinya. Sosok itu sedang menundukkan kepalanya dengan raut wajah sedih. Tadinya Eri tidak ingin memperdulikannya, tapi apa daya naluri Eri membimbingnya untuk mendekati Rara.
“Ra?” panggil Eri ketika ia berada di depannya. “lo kenapa?”
Rara sedikit terlonjak ketika mendengar suara Eri, namun ketenangannya segera kembali. Dengan sebuah gelengan kepala ia menjawab pertanyaan Eri. Menghela nafas, Eri duduk di samping Rara.
Eri hanya terdiam tanpa suara. Walau Rara telah mengabaikannya sekali, namun bukan berarti mereka tidak berteman lagi. Dan Eri merasa menyesal sudah kesal terhadap Rara tempo hari.
“lo tau? Kalo lo butuh seseorang buat dengerin lo, gue bakal selalu ada kok” ujar Eri tanpa menoleh ke arah Rara. Riuh rendah suara para murid yang sedang beristirahat menjadi latar belakang mereka.
Rara sempat menoleh sekilas ke arah Eri, namun ia langsung mengangkat tubuhnya dari kursi setelah itu.
“lo tau? Mending lo gak usah deket deket gue lagi.” Ujar Rara datar seraya berjalan menjauhi Eri.
Eri menoleh cepat dan memandang punggung Rara yang bergerak menjauh. Deru angin tiba tiba terdengar jelas di telinga Eri, mengalahkan suara riuh rendah para murid yang teredam. Tanaman yang diletakkan secara sistematis di sekitar koridor bergerak gerak seiring dengan tiupan angin.
Uluran tangan Eri seakan ditampar mentah mentah oleh Rara, di depan mukanya sendiri…
∞
“kenapa kamu murung lagi sih abis istirahat?” tanya Daniel bingung ketika melihat Eri yang menundukkan kepalanya di atas meja.
Untungnya ketika Eri masuk kelas tadi, meja meja kayu telah ditinggalkan penghuninya untuk mengisi perut. Sehingga Eri tidak perlu berhadapan dengan pertanyaan pertanyaan yang tak ingin dijawabnya.
Tidak ingin membuat Daniel khawatir, Eri mengangkat kepalanya sambil berusaha tersenyum. “aku gak murung kok!” ujar nya semangat.
“halah gak usah bohong” Daniel mencubit salah satu pipi Eri. “kamu kenapa gak cerita sih sama kakak?” tanya Daniel seraya duduk di samping Eri.
“bukan apa apa kok ..” jawab Eri sambil menyandarkan kepalanya di meja, memakai salah satu lengannya sendiri sebagai bantal.
“kalo bukan apa apa kenapa kamu murung?” tanya Daniel. Tangan kanannya menopang kepalanya saat ia berbicara.
“aku gak murung kok…” elak Eri , namun ia tahu ia gagal ketika melihat ekspresi Daniel yang khawatir. Daniel menghela nafas dan tangan kirinya bergerak untuk mengusap kepala Eri.
Eri memejamkan matanya saat tangan Daniel menyentuh kepalanya. Entah kenapa ia merasa sangat nyaman ketika tangan Daniel menyentuhnya , khususnya di kepala. Matanya bertemu dengan mata Daniel, dan mereka berdua hanya saling memandang. Sampai tiba tiba muka Eri memerah, sehingga ia dengan cepat mengalihkan matanya dari Daniel.
Daniel tersenyum geli ketika melihat muka Eri yang memerah, sampai sampai ia tidak memerhatikan ketika segerombolan anak mulai memasuki kelas , dan Eri langsung menegakkan tubuhnya dengan terburu buru.
Dari salah satu anak yang masuk yaitu Arya – salah satu anggota ekskul basket – datang menghampiri meja Eri. Tingginya sama dengan Daniel, namun kulitnya sedikit lebih gelap , dan rambutnya di potong cepak.
“ri! Bisa ajarin gue mat gak yang trigonometri?” tanya Arya, begitu ia sampai di samping Eri.
“bisa kok , lo gak ngerti yang mananya?” tanya Eri balik.
“susah jelasinnya, gimana kalo nanti pulang sekolah gue ke rumah lo?” usul Arya . Eri berfikir sejenak sambil melirik ke arah Daniel, yang entah kenapa hanya diam memandang papan tulis.
“gue gak bisa pulang sekolah nanti” tolak Eri seraya menggelengkan kepalanya.
Arya menghela nafas pelan “yaudah , nanti deh gue kabarin lagi ya ri” ujar Arya sambil menepuk kepala Eri pelan, membuat anak itu menutup mata karena refleks.
Eri menoleh ketika merasa ada yang memandanginya.
“kenapa?” tanya Daniel.
“kenapa apa?” tanya Eri bingung, menanggapi pertanyaan Daniel.
“kenapa kamu nolak ngajarin si Arya? Bukannya kamu gak pernah nolak kalo ada orang yang minta di ajarin?” ulang Daniel dengan lebih lengkap.
“kalo pas sekolah iya, tapi kalo pas di luar jam sekolah…” muka Eri mulai memerah. “aku pingin ngabisin waktu bersama kakak”
Daniel memandangnya dengan ekspresi antara melongo dan bengong.
“emm.. kenapa? Ga boleh ya ?” tanya Eri murung. Daniel dengan cepat menggelengkan kepala.
“eng-engga , gak pa pa kok!” jawab Daniel terburu buru, sambil mengalihkan pandangannya ke arah papan tulis. Untuk sekilas tadi Eri tampak sangat manis di matanya, dan ia tidak akan bisa menahan tangannya untuk memeluk anak itu jika ia melihat muka polos Eri terlalu lama.
Dengan muka masih sedikit memerah, Eri mengeluarkan buku fisika nya dari dalam tas , pelajarannya setelah istirahat.
Mereka berdua kembali terdiam, dengan meja dan kursi yang menjadi saksi bisu…
∞
Bella , Daniel , Eri dan Lily.
Itulah nama nama yang akan menjadi anggota kelompok belajar, yang telah disusun oleh guru fisika mereka.
Pada saat akhir pelajaran, guru fisika mereka dengan kacamata plus nya itu memberikan masing masing kelompok sebuah fotokopian soal. Tak main main, jumlah soalnya mencapai seratus butir- yang bahkan satu soal saja bisa menggunakan dua rumus atau lebih. Akan tetapi, tenggat waktu yang diberikan cukup lama yaitu seminggu.
Eri menghela nafas lega, walau ia tidak begitu dekat dengan Bella , ada Daniel di kelompoknya dan juga Lily yang menjadi teman dekatnya. Namun berbicara tentang Lily, Eri tidak melihat biang gosip yang satu itu hari ini.
“Lily? Dia gak masuk hari ini” jawab Desi – sekretaris kelas yang bertugas mengangani absen murid – ketika Eri menanyainya. Eri hanya mendesah pelan mendengar hal itu.
Tepat setelah bel pulang sekolah berbunyi, Bella langsung menghampiri meja Daniel.
“Dannnn, kita mau kapan ngerjain tugas fisikanyaa?” tanya Bella dengan nada yang dibuat buat. Jelas sekali ia tampak bahagia bisa sekelompok dengan Daniel, walau ia mendapat tatapan iri dari teman teman perempuannya.
“gimana kalo soalnya kita bagi bagi aja? jadi biar cepet ngerjainnya, masing masing ngerjain 25 soal” usul Daniel. Kekecewaan langsung terpintas di wajah Bella. Tentu saja, ‘apa gunanya bisa sekelompok dengan Daniel tapi tidak bisa bersama dengannya?’ pikir Bella.
“emm tapi gue ada yang gak ngerti nih dan.. Bisa gak lo ngajarin guee?” tanya Bella , bulu matanya yang dilapisi maskara bergerak naik turun ketika ia berkedip.
“gue ga bisa fisika” jawab Daniel singkat.
Eri membuka mulutnya sambil membereskan buku. “yaudah yaudah, gue aja yang ngerjain semuanya. Lagian soalnya gak begitu susah kok..”
“masa kamu sendirian yang ngerjain?” tanya Daniel tidak terima. Bella langsung menolehkan kepala ketika ia mendengar Daniel memanggil Eri dengan panggilan ‘kamu’. Dan Eri rupanya menyadari itu.
“ya gak pa pa, kalian juga pada gak bisa kan sebenernya?” tanya Eri.
“tapi gak bisa gitu dong er, ini kan tugas kelompok!” seru Bella. Walaupun tentu saja, ia hanya tak ingin kesempatannya bersama Daniel kandas begitu saja.
“ya terus maunya gimana? Di kerjain sendiri gak bisa, gue yang ngerjain juga gak terima…” balas Eri, sambil memakai tas nya. Bella hanya terdiam, jelas sekali ia sedang memikirkan berbagai cara agar kesempatannya mendekati Daniel tidak hilang.
“gini aja, entar gue kabarin lagi tentang ini. Masih ada waktu seminggu juga kan?” ujar Eri . Bella berfikir sejenak, namun setelah itu ia mengangguk singkat. “yaudah, tapi entar kabarin gue yaa!” kata Bella, lebih kepada Daniel daripada Eri. Setelah mengatakan itu, ia pergi keluar kelas dengan tas kecilnya – diikuti beberapa temannya.
Eri sendiri bingung, tidak mungkin buku pelajaran bisa muat di dalam tas sekecil itu.
“kamu beneran mau ngerjain sendiri?” tanya Daniel seraya memakai tasnya.
Eri tersenyum jahil ketika ia berdiri dari kursinya. “emang kakak bisa kalo ngerjain sendiri? Ujung ujungnya juga nanya aku kan?”
“halahh kamu tau ajaa!!” seru Daniel sambil menyubit pipi Eri, membuat anak itu meringis.
“kakak ada ekskul hari ini?” tanya Eri sambil berjalan keluar kelas.
“enggak, pelatihnya gak bisa dateng gatau kenapa” jawab Daniel.
Mereka berdua mengobrol seraya menyusuri koridor sekolah yang mulai sepi, tanpa menyadari bahwa awan kelabu sudah bergelung di atas langit, siap menumpahkan isinya.
cuma mau ngasih tau kalo ceritanya update , maaf kelamaan , kalo gak mau di mention kasih tau aja yaaa
next
Sudah mulai muncul para pengganggu kayaknya?
Jangan lama2 ya updatenya..
“ma-maaf dek, kakak gak tau kalo bakal ujan” ujar Daniel khawatir di depan rumah Eri.
Mereka berdua dalam perjalanan pulang, ketika hujan mengguyur mereka berdua. Kacamata Eri basah kuyup, membuatnya bahkan tak bisa melihat pintu rumahnya dengan jelas. Air menetes dari pakaian mereka berdua, khususnya dari rambut Daniel yang sedikit panjang.
“g-gak pa pa kali kak, bukan salah kakak juga kokk” jawab Eri sambil memasukkan kunci, dan membuka pintu rumahnya. Eri segera masuk untuk menaruh tas dan mengganti pakaiannya yang benar benar basah.
Eri melepaskan jaket abu abunya dengan lesu. Jaket lama Daniel kini basah kuyup, dan kehilangan bau pemilik lamanya. Eri terpaksa menaruhnya di dekat mesin cuci, berniat untuk langsung mencucinya nanti.
Setelah mengeluarkan seluruh isi dari tasnya yang basah, Eri berganti pakaian dengan sebuah celana pendek dan kaos biru. Tas serta pakaian basahnya sekarang bergabung dengan tumpukan baju kotor lainnya.
Kacamatanya ia lepas, walau terlihat buram , ia tidak terlalu membutuhkan kacamata di dalam rumah. Setelah menggapai handuk pertama yang bisa ia temukan, Eri bergegas ke tempat Daniel untuk memberikan handuk, ketika ia melihat temannya itu sedang memeras bajunya yang basah di teras rumah.
“kak! masuk aja!” panggil Eri dari dalam rumah, seraya melambaikan handuk di tangannya.
Baru ketika Daniel mendekat, Eri menyadari kalau seluruh pakaian yang menutupi bagian atas tubuh pemain basket sudah terlucuti.
“i-ini..” Eri menyodorkan sebuah handuk besar berwarna coklat ke arah Daniel, dan segera mengalihkan pandangannya. Sebagai pemain basket yang sering membawa dan melempar bola, Daniel memiliki tangan yang terbentuk walau ototnya tidak terlalu terlihat. Dan eri berusaha tidak memandangi perut yang mulai terlihat bentuk kotak nya itu.
“makasih dek” jawab Daniel , yang langsung menggunakan handuk tersebut untuk mengeringkan rambutnya. Ia meninggalkan kaos, seragam dan jaket abu abunya di atas motor , yang aman di garasi.
Setelah menutup pintu rumah, Eri bergegas mengambil pel , dan mulai mengepel jejak air yang ia dan Daniel tinggalkan.
“kakak disitu aja..” sambar Eri ketika melihat Daniel berdiri dari sofa tempatnya duduk, berniat membantu Eri. “aku bisa sendiri kokk”
Menghela nafas pelan, Daniel kembali terduduk di sofa depan tv dan mengusapkan handuk ke badannya.
Lantai sudah tidak terlalu basah sekarang, dan Eri bergegas pergi ke dapur untuk membuat teh hangat. Sebenarnya ia hanya menyibukkan diri sendiri, agar ia tidak harus berdekatan dengan Daniel yang sedang topless itu.
“ini kak..” ujar Eri seraya menyodorkan segelas teh manis hangat ke arah Daniel. “ee emm.. aku nyari baju ganti dulu ya buat kakak” tambah Eri sambil membalikkan badan, namun gerakannya berhenti ketika tangannya tertahan.
“dek, kamu gak usah repot repot.” kata Daniel sambil menarik tangan Eri dengan cepat, sehingga Eri terduduk di depan Daniel. “rambut kamu aja masih basah, kalo kamu masuk angin gimana?” lanjut Daniel seraya menggosokkan handuknya ke kepala Eri.
Eri hanya terdiam , namun mukanya yang memerah tak bisa berbohong. Ia bahkan tak berani menatap Daniel. Kedua tangan Eri tiba tiba menjadi lemas, lebih tepatnya – seluruh badannya lemas, menolak untuk bergerak dari posisinya sekarang.
“tapi aku harus nyari baju buat kakak, nanti malah kakak yang masuk angin!” elak Eri sambil berusaha berdiri, namun dua tangan menariknya untuk kembali duduk.
“kamu anget kok dek, jadi kakak gak bakal masuk angin” ujar Daniel seraya melingkarkan kedua tangannya dengan erat di depan dada Eri. Eri sedikit bergidik ketika ia merasakan punggungnya bersentuhan dengan Daniel. Kehangatan langsung mengalir ke kepalanya.
Kedua paha Eri sejajar dengan paha Daniel, membuat kulit Eri bersentuhan dengan celana Daniel yang lembab dan dingin. Menyadari hal itu, Daniel melepaskan tangannya dari Eri dan dengan santai melepas celana abu abunya. Walau masih memakai boxer pendek di bawah celana panjangnya, tetap saja sekarang paha Eri bukan lagi bersentuhan dengan kain..
Tak tahu apa yang harus di lakukan, Eri menggapai sebuah remote tak jauh darinya dan menyalakan tv. Berharap suara tv dapat mengisi suasana.
Kedua tangan Daniel kembali merengkuh Eri, menarik anak itu untuk bersender padanya. Eri kembali bergidik ketika lehernya yang tertutupi apa apa bersentuhan dengan kulit Daniel. Dengan jarak yang begitu dekat, Eri khawatir Daniel akan bisa mendengar detak jantungnya yang berdentum keras.
Daniel, di belakangnya, hanya memakai boxer. Eri bahkan tak berani menoleh.
Sebelah tangan Daniel mengambil gelas yang tadi ia letakkan di lantai , dan menyesap cairan di dalamnya.
“kamu mau?” tanya Daniel sambil mengangkat gelas di depan Eri.
Dengan canggung Eri meraih gelas di depannya dan meminum sedikit isinya. Panas dari cairan yang ia minum langsung turun ke perutnya, membuatnya merasa nyaman, apalagi ada Daniel di belakangnya.
Eri bersandar dengan pasrah , menempelkan punggungnya pada dada bidang Daniel , sedangkan orang dibelakangnya menaruh dagunya di atas kepala Eri. Kedua tangan Eri terkulai lemas, entah kenapa kehilangan tenaga.
Deru hujan masih terdengar di luar sana, kadang kadang bersahutan dengan suara gemuruh petir yang menggelegar di kejauhan. Termometer akan menunjukkan suhu yang cukup rendah saat ini, mengindikasikan suasana yang cukup dingin.
Namun tampaknya hal itu tidak berpengaruh pada dua orang yang sedang duduk di depan sofa. Khususnya Eri. Ia merasa sangat hangat dan nyaman, walau jantungya masih berdegup keras. Eri tidak terlalu suka dengan sensasi seperti sesuatu yang menekan perutnya dari dalam, dan paru parunya yang tiba tiba sesak.
Tapi apa daya, otaknya menolak untuk berpindah dari posisi nyamannya di dalam pelukan Daniel. Sampai terdengar sebuah ketukan pintu yang mengalahkan suara hujan, dan sepasang mata yang mengintip dari balik jendela di samping pintu.
∞
Eri langsung menoleh ketika ia mendengar pintu rumahnya diketuk. Sedikit tidak rela untuk berpindah, Eri terpaksa berdiri dan berjalan menghampiri pintu. Setidaknya jantungnya sekarang tidak berdegup terlalu keras , setelah ia menjauhi Daniel yang tampak sangat tidak rela kehilangan ‘pemanas alami’ – nya.
Eri membuka pintu , dan terlihatlah Sarah , sedang berdiri dengan memegang payung biru basah di sebelah tangannya dan sebuah termos kecil di tangan lainnya.
“Sarah? What are you doing?” tanya Eri sedikit terkejut pada perempuan berambut coklat panjang itu.
“offering you hot chocolate” jawab Sarah sedikit kesal dengan reaksi Eri, seraya mengangkat termos yang ia bawa. “mau?”
“you can speak bahasa??” tanya Eri lagi, masih terkejut.
Sarah menaruh payungnya di samping pintu, dan berusaha agar tidak mencubit kedua pipi Eri. “a little “ jawab Sarah. “so are you letting me in? or you don’t want me in your house?” tanya Sarah ketika Eri masih berdiri di depannya, tanpa ada tanda tanda akan membiarkannya lewat.
“n-n0-no!! it’s not like I don’t want you in my house!” jawab Eri , yang langsung panik mendengar perkataan Sarah.
Tersenyum jahil melihat reaksi Eri, Sarah akhirnya harus puas dengan hanya mengacak acak rambut anak di depannya.
“so??...”
“emmm…” Eri menoleh ke belakang dengan maksud mengecek Daniel, namun Eri langsung terperanjat begitu melihat Daniel sudah persis di sampingnya. “k-kakak??!”
“kamu kelamaan sih, kakak kedinginan..” Ujar Daniel, sambil melingkarkan kedua tangannya di leher Eri dengan santai.
Sarah sedikit terperangah ketika melihat Daniel hanya memakai Boxer berwarna putih dengan motif bola basket.
Seketika ekspresinya seakan mengerti apa yang terjadi. “are you two having …..?” tanya Sarah tanpa melanjutkan kata katanya.
“having what?” tanya Eri polos.
“you know, something like what a couple usually do…..” jawab sarah. “something like se….”
“N-NO! NO!!!” seru Eri mendadak ketika ia mengerti apa yang Sarah maksud. Mukanya langsung memerah seketika ketika ia bersuara “O-of course not! We’re not having s… , something that you mention!!” jawab Eri dengan muka merah padam.
Sarah hanya tertawa melihat reaksi Eri. Dengan sedikit kesal akhirnya Eri mempersilahkannya masuk dan duduk di sofa.
Daniel mengekor Eri kemanapun ia pergi, bahkan ketika Eri ke dapur untuk mengambil gelas.
“kakak bener bener harus pake baju…” protes Eri ketika ia merasakan lengan di sekitar lehernya mendingin.
“hah? Kakak baik baik aja kok..” jawab Daniel cuek, yang anehnya bisa bertahan di cuaca sedingin ini tanpa pakaian lengkap.
“tangan kakak mulai dingin..” ujar Eri. Namun ia sedikit heran, bukan hanya tangan Daniel yang mendingin, namun mendadak ia merasa dingin di seluruh tubuhnya.
“dek.. leher kamu yang mulai anget” balas Daniel , mulai khawatir dengan perubahan suhu Eri.
TEPAT sebelum Eri meraih gelas di atas rak dapur, tangannya yang terangkat langsung terjatuh lemas, dan kepalanya mendadak pusing. Pandangannya menjadi buram, dan hal yang terakhir ia dengar hanyalah suara Daniel yang memanggil manggil namanya…
∞
Gelap. Eri tak bisa melihat dan merasakan apapun kecuali kepalanya yang terasa sangat berat. Ia bisa merasakan badannya terbaring , kepalanya di tempeli sesuatu yang dingin. Suara hujan yang tadinya berderu deru sudah tidak terdengar. Saat ia mencoba membuka mata, ia melihat sebuah sosok di sampingnya yang memegangi tangannya.
Sarah sedang duduk di sampingnya, dan rupanya Eri sedang berbaring di atas sofa. Sedikit kecewa, Eri menolehkan kepala mencari keberadaan Daniel. “W-where is he?”
Mengerti siapa yang Eri maksud, Sarah langsung membuka mulut “he was searching for medicine.” Jawab Sarah seraya meraih lap kecil di dahi Eri, merendamnya di air dingin , dan menaruh nya di dahi Eri lagi setelah memerasnya. “there’s no medicine in this house..”
Tentu saja ada obat dirumah itu, namun semuanya terletak di kamar orang tua Eri. Eri menghela nafas kecewa, dan tangan Sarah menahannya ketika ia berusaha berdiri.
“I know you’re not feeling well” ujar Sarah sambil menempelkan punggung tangannya di leher Eri, dan merasakan panas mengalir ke tangannya. “and you’re not going anywhere” larang Sarah.
Eri lupa akan kelemahannya akan hujan, sedikit saja ia terpapar di bawah hujan maka kondisi badannya akan langsung menurun. Apalagi jika ia benar benar basah kuyup seperti tadi.
Cuaca di luar sudah mereda, angin dan hujan sudah menghilang seakan puas setelah mengeluarkan seluruh isinya. Tetesan tetesan air menetes dari ujung daun daun hijau, dan akhirnya jatuh ke rerumputan yang lembab. Sinar matahari bersinar lemah dari arah barat, kali ini minus semburat semburat oranye.
“aku lihat kalian tadi pagi” ujar Sarah dalam bahasa Indonesianya yang masih terpengaruh aksen asing.
“he gave you a jacket, right? The same one like his jacket..” lanjut Sarah. “but you refused, and you asked for his old jacket to be traded” Sarah kembali memeras lap di dahi Eri. “it’s kinda cute..” ujar Sarah sambil tersenyum tulus.
Senyum yang bahkan membuat muka Eri makin memerah, padahal mukanya daritadi sudah memerah karena demam. Mata Sarah yang berwarna coklat muda menatapnya damai, entah kenapa membuat Eri merasa sangat nyaman dan membalas tersenyum.
“I just can’t accept an expensive things like that..” ujar Eri pelan. “especially something from Daniel. I owed him too much”
“it’s exactly what I thought!” Balas Sarah cepat.
“what ??” tanya Eri heran.
“you’re too kind!” jawab Sarah.
“r-really?”
Sarah mengangguk antusias. “do you like him?” tanya Sarah ingin tahu.
Biasanya Eri tak akan menjawab jika orang asing yang menanyainya, apalagi orang yang baru kemarin ia temui. Namun Sarah adalah cucu nenek Paula, sehingga ia terasa tak asing bahkan Eri sendiri langsung merasa terbiasa dengan kehadiran perempuan itu.
“ ‘like’ like what??” tanya Eri menanyakan maksud dari pertanyaan Sarah.
Baru saja Sarah mau membuka mulut, ketika pintu rumah Eri terbanting terbuka dan Daniel menghampiri sofa dengan terburu buru. “k-kamu gak pa pa???” kepanikan tercetak jelas di wajahnya saat ia duduk di tempat yang ditinggalkan Sarah - yang sekarang berdiri- untuknya.
“ma-maaf banget kakak lupa kalo kamu gak bisa keujanan sama sekali dek..” ujar Daniel khawatir. Tangannya membawa sebuah plastik yang berlogokan sebuah apotik di ruko tak jauh dari kompleks perumahan mereka. Dan Eri baru menyadari kalau Daniel hanya memakai pakaiannya yang masih basah tadi, menandakan kalau ia sangat terburu buru hanya untuk Eri.
“g-gak pa pa kok kak, you’re sweating..” balas Eri sambil menyeka bulir keringat di pelipis Daniel. Eri juga baru menyadari kalau nafas Daniel sedikit terengah engah. “kakak lari ke ruko??” tanya Eri terkejut.
“iya, ta-tadi motor kakak gak mau nyala” jawab Daniel sambil menggenggam tangan Eri, membuat jantung anak itu langsung berdegup kencang. “untung ujannya udah agak reda tadi, jadi kakak lari ke ruko” lanjut Daniel.
Walau bisa dibilang ‘tak jauh’ , jarak ke ruko itu tetap saja memakan waktu, apalagi jika berjalan kaki. Eri benar benar tak tahu harus merespon apa atas kebaikan Daniel…
“M-makasih kakak..” ujar Eri sambil melihat ke arah lain, tapi tangannya menggenggam tangan Daniel dengan erat di depan dadanya. Eri bersyukur karena saat demam,perubahan warna mukanya tidak akan terlalu kentara.
Daniel sedikit terperangah. Eri yang mukanya memerah saja sudah tampak sangat lucu di matanya, apalagi ditambah dengan tingkah lakunya, dan karena Eri tidak memakai kacamata , matanya terlihat lebih bulat dari biasanya. Kalau saja Eri tidak sedang sakit, maka Daniel mungkin akan langsung memeluk anak itu dan mengacak acak rambutnya karena gemas.
“ini kakak bawain obat..” Daniel mengeluarkan sebuah botol kecil dari dalam plastik yang ia bawa, tanpa melepaskan genggamannya pada tangan Eri. Jenis obat yang bisa diminum sebelum makan – untung bagi Eri yang sedang tidak nafsu makan.
Sarah yang sedari tadi diam , sekarang maju dan menggantikan Daniel membuka botol obat. Setelah menakarnya memakai sebuah wadah kecil yang dijual bersama dengan botol obat, Sarah menyuapkan obat berwarna hijau kental itu ke dalam mulut Eri.
Eri memejamkan mata ketika rasa pahit khas obat mengecap di lidahnya.
“kamu ngerasa gimana?” tanya Daniel , nadanya melembut.
“lemes… dan dingin. Tapi pas kakak pegang tanganku, aku ngerasa baikan” jawab Eri sambil tersenyum selebar yang ia bisa. Daniel terkekeh kecil, mengingat Eri juga mengatakan hal yang sama ketika di UKS tempo hari, dan juga dulu, saat mereka berdua masih kecil.
Sarah yang sedikit mengerti bahasa Indonesia, juga tersenyum mendengar perkataan Eri. Ternyata hal yang dikatakan neneknya selama ini benar, bahwa neneknya punya cucu baru yang lucu, baik , dan adorable kalau kata nenek Paula.
“well.. I guess I must going home now” ujar Sarah. “remember to drink this!” tambahnya sambil menunjuk termos yang ia bawa, yang isinya berisi coklat panas.
“wait, Sarah!” panggil Eri. “th-thanks a lot !” ujar Eri sambil tersenyum lebar. Dan Sarah baru mengerti kenapa neneknya menyebut Eri ‘adorable’ .
Setelah mengelus pipi Eri (Sarah menahan diri untuk tidak mencubit pipi yang ‘mengundang’ itu) , Sarah pamit dan menghilang dari balik pintu.
Saat berjalan melewati pagar, Sarah melihat sebuah motor berhenti di depan rumah Eri. Wajahnya tertutupi helm, tapi Sarah yakin orang itu adalah laki laki. Entah apa yang dilihat orang itu ketika berhenti sejenak di depan rumah Eri, tapi apapun itu membuat ia kembali memacu motornya…
“kamu tidur aja, biar cepet sembuh..” ujar Daniel sambil mengelus dahi Eri.
“Sakit kayak gini gak parah kok kak..” balas Eri. “kakak masih pake baju yang basah tadi?”
Daniel tersenyum kecil dan mencubit pelan hidung Eri yang memerah. “kamu ini lagi sakit juga, masih sempet sempetnya aja mikirin orang lain. Tidur gih dek..” ujar Daniel.
“tapi.. kakak tetep nemenin kan?” pinta Eri memelas, tubuhnya sangat lemas untuk digerakkan bahkan untuk berdiri sekalipun sudah sangat susah.
Daniel mengangguk, dan karena sofa itu tidak terlalu besar, Daniel berbaring menyamping menghadap Eri. Dengan sebelah tangan menyangga kepalanya, tangan Daniel yang lain tetap mengelus dahi Eri.
Eri memejamkan mata , dan ia langsung tertidur pulas karena kehadiran Daniel di sampingnya.
“get well soon…” bisik Daniel sambil mengecup dahi Eri……
Page sixteen – Change
Pagi itu Eri terbangun dengan sedikit pusing. Sisa demamnya kemarin masih tertinggal sedikit, membuatnya bangun dari kasur dengan kepala pening.
Saat ia duduk di meja makan, di salah satu sudutnya sedang duduk ke dua orang tua Eri. Entah apa yang mereka bicarakan, namun mereka tampak santai. Ayah Eri sedang membaca koran di temani segelas kopi hitam. Dan disampingnya, ada ibu Eri yang sedang berbicara. Segelas teh hangat berada di depannya.
Eri duduk di salah satu sudut meja persegi panjang itu , dan mengambil sepotong roti tawar tak jauh darinya. Kebiasannya adalah memakan roti tawar gandum utuh dengan selai coklat, namun tanpa kehadiran selai di meja makan, eri menggigit roti tawarnya begitu saja.
Walau pandangan Eri buram tanpa kacamata, dan matanya belum terlalu fokus karena ia baru terbangun, ia tetap melihat sebuah sosok yang keluar dari ruangan dekat meja makan. Sosok itu sekarang duduk diseberangnya.
“tumben kamu ikut sarapan.” Tegur ibu Eri ketika melihat Rio – kakak Eri – duduk di meja makan.
Entah sudah berapa lama Eri tidak melihat kakaknya itu. Kakaknya yang menginjak semester 1 bangku kuliah itu lebih sering menghabiskan waktunya di luar rumah, atau di kosan temannya.
Sedikit tentang Rio, ia adalah versi Eri yang dewasa. Dengan tubuh tinggi, rambut yang gondrong namun sedikit bergelombang, kulit yang cerah seperti Eri, lengkap dengan kacamata berlensa kotak yang menghiasi wajahnya yang bersih. Bibirnya berwarna cukup cerah seperti Eri, karena ia tidak pernah menyentuh nikotin sedikitpun . Walaupun tidak berotot, badannya termasuk ‘terbentuk’ karena Rio mempunyai banyak kegiatan outdoor .
“hm..” Rio membalas teguran ibunya singkat. Sama seperti Eri, ia mengambil sepotong roti dan memakannya begitu saja.
Eri mengunyah makanannya sambil menundukkan kepala. Hubungannya dengan Rio tidak terlalu baik – entah sejak kapan, atau memang hubungan mereka seperti itu sejak Eri kecil.
Setelah menghabiskan makanannya, Eri segera bersiap siap untuk sekolah.
Tepat saat Eri selesai memakai kaos kakinya, pesan singkat masuk ke dalam handphonenya , dan tanpa perlu membaca Eri langsung tersenyum kecil dan mengangkat tasnya.
“aku pergi ya ma , pa .” pamit Eri sambil lalu ketika melewati meja makan. Rio masih ada disana.
“ya..” jawab ibu Eri singkat, sedangkan Ayah Eri cuma melirikkan matanya sekilas. “mama gak nganterin Eri?..” tanya Rio ketika Eri telah jauh dari meja makan.
“enggak, beberapa hari ini dia selalu dianterin temennya.” Ujar Ibu Eri, yang sekarang beranjak untuk membangunkan anak terkecilnya yang duduk di bangku SD.
Rio memandang sosok Eri melewati pintu rumah yang terbuka, dengan muka cerah Eri memakai sepatunya. Dan , pintu ditutup oleh Eri, menghalangi Rio untuk melihat lebih jauh.
∞
“Lily????? Muka lo kenapa?” Tanya Eri kaget, ketika melihat temannya itu datang ke kelas dengan bekas memar yang samar di muka nya.
Lily menggeleng pelan, dan diam diam ia menyesali pilihannya untuk masuk sekolah hari itu. Lebam lebam itu ternyata hilangnya sangat lambat dibanding lebam di dalam film film aksi.
“Se-seriusan?? Kok muka lo bisa kayak gitu??” Eri yang belum menyerah, mengulurkan tangannya ke arah pipi Lily.
Plak. Dengan cukup kencang, tangan Eri yang terulur langsung di tangkis oleh Lily. “lo gak usah deket deket gue mulai sekarang…” ujar Lily ketus, sambil menghampiri mejanya dan duduk dengan tenang.
Tak hanya Rara, sekarang Lily ikut ikutan memusuhinya. Sebanding dengan kata kata orang ‘Sudah jatuh , ketimpa tangga pula’ , kira kira seperti itulah yang dirasakan Eri ketika kedua teman dekatnya tiba tiba menjauhinya.
Namun ia masih penasaran dengan lebam di muka Lily. Ia teringat dengan Rara , yang cubitannya bisa sampai membuat memar. Tapi ia yakin , bekas ungu kebiruan di wajah Lily bukanlah karena cubitan, ataupun karena Rara.
Tapi pikiran itu harus menunggu, karena pak Djoko – guru matematikanya- telah masuk ke dalam kelas. Membuat suasana yang tadinya riuh rendah langsung sepi senyap, tanpa ada yang berani membuat suara sedikitpun.
Anak anak langsung bergegas kembali ke mejanya masing masing, duduk manis dengan posisi tegak. Tak ada yang berani dengan guru matematika yang terkenal galak itu. Tak terkecuali Eri, yang langsung duduk di mejanya.
Setelah menaruh alat belajarnya di meja guru, Pak Djoko melirik ke arah meja Eri dan langsung menghampirinya dengan segera. Seketika adrenalin Eri langsung mengalir deras di pembuluh darahnya. Detak jantungnya berdebar keras, karena takut.
“mana teman sebangku kamu? Si Daniel??” tanya pak Djoko galak. Selain terkenal di antara murid murid, rupanya Daniel juga terkenal diantara guru guru. Bukan karena kelihaiannya dalam bermain basket, namun karena ia sering tertangkap melamun , atau karena lupa mengerjakan tugas.
“g-gak tahu pak…” Kepala Eri tertunduk , tanpa berani menatap guru matematikanya. Eri masuk ke kelas bersama Daniel tadi pagi, namun ia pergi keluar kelas setelahnya sampai bel masuk berbunyi pun ia belum kembali.
Kalau guru lain, mungkin hanya akan mencatat kelakuan Daniel , bahkan mengabaikannya. Tapi berbeda dengan pak Djoko. “sekarang kamu keluar, cari dia sampai ketemu! Jangan kembali kalau belum ketemu!” sembur pak Djoko di depan Eri.
“i-i-iya pak..” jawab Eri lirih sambil melangkah dari kursinya, dan berlari kecil meninggalkan ruang kelas.
Eri baru bisa bernafas lega setelah keluar dari kelas. Ia bahkan sempat melihat tatapan iri teman sekelasnya tadi. Tentu mereka akan memilih untuk berada dimanapun kecuali di kelas bersama pak Djoko.
Koridor sekolah tampak senyap. Di jam pelajaran seperti ini, tak ada satupun murid yang terlihat berkeliaran di koridor. Kalau membolos pun, mereka pasti sudah berada di tempat tongkrongan masing masing.
Bunyi langkah kaki Eri samar-samar terdengar ketika ia menyusuri lorong sekolah untuk mencari Daniel. Walau Daniel pernah sekali-dua kali membolos, ia akan selalu hadir di pelajaran pak Djoko. Begitupun semua anak, tak ada yang berani dengan guru matematika sekaligus guru yang menjaga kedisiplinan sekolah itu.
Lapangan dan kantin menjadi pilihan terakhir Eri untuk dicek. Logikanya, tak mungkin ada anak yang berani membolos untuk bermain basket ataupun nongkrong di kantin yang tempatnya sangat mudah terjangkau dan terlihat oleh mata guru-guru.
Setelah mengecek seluruh kamar mandi, Eri melangkahkan kakinya menuju UKS yang terletak di pojok sekolah. SMA Harapan memiliki 3 lantai , di karenakan lahan yang tidak terlalu besar , sekolah ini harus ‘meluas’ secara vertikal. Anak anak kelas 1 dan setengah anak kelas 2 akan menempati lantai 1 . Anak kelas 2 yang setengahnya lagi akan menempati lantai 2 bersama anak-anak kelas 3. Sedangkan lantai 3 berisi lab lab dan ruang praktik. Perpustakaan berada di lantai 2, dan UKS berada di lantai 1 serta ruang guru yang berada di lantai 1 dan 2.
Entah kenapa langkah Eri makin memelan saat ia makin mendekati ruang UKS. Dan begitu sampai di depan pintu UKS yang tertutup, ia menghentikan langkahnya.
Ia memutuskan untuk membuka pintu UKS dengan perlahan, dan menjulurkan kepalanya ke dalam. Disanalah sosok yang ia cari, sedang duduk di atas kasur. Dan di samping Daniel, Bella sedang terbaring dan memegang tangan pemain basket itu erat. Walau wajahnya menampilkan ekspresi seakan memelas, Bella tidak bisa menyembunyikan rasa puasnya.
Eri memutuskan untuk memperhatikan sejenak, sebelum akhirnya ia berdeham. Entah mengapa suara yang dihasilkan Eri ternyata terdengar lebih keras dari yang ia rencanakan.
“ehem… permisi…” Eri membuka pintu UKS lebih lebar dan mendorong tubuhnya masuk ke dalam ruangan.
Keduanya langsung menoleh ke arah Eri. Daniel yang sedari tadi tampak sedikit terganggu, langsung menarik tangannya lepas dari genggaman Bella. Raut kekecewaan muncul di wajah perempuan itu.
Eri baru sadar kalau Bella juga tak berada di kelas. Namun ia tidak terlalu memperdulikan kenapa Pak Djoko hanya menyuruhnya mencari Daniel.
“Pak Djoko nyariin tuh..” ujar Eri datar. “lagi ngapain disini?”
Daniel langsung berdiri dari kasur dan menghampiri Eri. “Tadi kakak gak sengaja tabrakan sama Bella, dan kakinya keseleo. Jadi kakak anterin sampe UKS” jawab Daniel , khawatir dengan ekspresi Eri yang walaupun terlihat biasa namun terkesan dingin. “terus waktu kakak mau balik ke kelas, dia narik tangan kakak minta ditemenin.”
“ohh..” jawab Eri asal. “yaudah temenin aja Bella nya ..” Eri berbalik dan ia sudah menggapai gagang pintu ketika Daniel menahan bahunya. Dengan lembut Eri menggenggam tangan Daniel, dan menyingkirkannya dari bahu Eri.
“kamu marah dek?” tanya Daniel lembut.
Eri berbalik dan menggelengkan kepalanya sambil tersenyum. Suara dan ekspresinya sudah kembali seperti biasa. “enggak kok, udah temenin aja Bella nya. Masa kakak yang bikin keseleo tapi gak mau tanggung jawab!” canda nya. Setelah mengatakan itu Eri berbalik dan keluar menghilang di balik pintu.
Daniel mengenali senyum itu. Senyum yang dilakukan Eri ketika ia menyembunyikan sesuatu.
“gue duluan ya” pamit Daniel ke arah Bella, yang tampak tidak rela momen momennya bersama Daniel di ganggu. Setelah Daniel ikut menghilang di balik pintu, Bella turun dari kasur. Tak ada gunanya lagi berpura pura keseleo jika Daniel tak ada di dekatnya.
Ia melangkahkan kakinya yang sehat-sehat saja ke arah pintu yang terbuka sedikit dan mengintip dari celah nya. Daniel sedang berjalan di samping Eri sambil menepuk-nepuk kepala anak itu. Tak sampai disitu, Daniel juga merangkul sosok di sampingnya sehingga mereka berjalan berdempetan.
Mau tak mau ini membuat Bella berfikir. Daniel selalu memakai ‘aku-kamu’ jika berbicara dengan Eri. Eri memakai jaket yang sama dengan Daniel kemarin. Dan Bella merasa perlu untuk menyelidiki mereka berdua .
∞
Eri bingung sendiri dengan hubungan antara ia dan Daniel. Mereka lebih dari teman – tentu , karena mereka adalah kakak-adik. Hanya sebatas itu.
Namun, kenapa Eri merasa dirinya tak nyaman ketika ia melihat ‘kakak’ nya berada di UKS dan sedang berpegangan tangan dengan Bella pun, Eri sendiri tidak tahu.
Yang ia tahu tiba tiba ia ingin berada di manapun kecuali berada di UKS, sesuatu seperti mencengkram erat paru parunya dan menonjok ulu hatinya dari dalam. Apapun itu benar benar membuat Eri tidak nyaman.
Eri lebih banyak diam seharian ini. Bahkan saat ia teringat tugas fisika yang harus di kerjakan, tiba tiba ia menjadi malas untuk memberitahu Lily bahwa mereka sekelompok. Selain karena Lily tak akan banyak membantu, Lily menyuruh Eri untuk tidak mendekatinya lagi.
Dan disinilah Eri sekarang, di samping nenek Paula yang sedang mengaduk adonan kue.
Eri tetap membiarkan Daniel mengantarkannya pulang tadi, dan ia berjanji akan menemani Eri sore itu untuk mengerjakan tugas fisika mereka. Setelah sampai di rumah, Eri langsung berganti baju dan bergegas menuju rumah nenek Paula yang selalu menyambutnya dengan aroma manis kue hangat.
Nenek Paula menyimak setiap kata yang Eri ucapkan, walau tangannya sibuk mengaduk adonan yang berwarna coklat muda. Tak jauh dari mereka ada Sarah , yang sedang membuat krim berbagai warna.
Mulai dari Rara dan Lily yang tiba tiba menjauhinya, perasaan anehnya saat di UKS , sampai dengan pak Djoko yang galak , semuanya di tumpahkan Eri di dapur yang hangat itu.
“menurut nenek gimana??” tanya Eri.
“yang mana dulu cu? Kamu cerita banyak loh..” tanya nenek Paula.
“yang Rara sama Lily duluuu”
“kalau menurut nenek, kamu jangan langsung berprasangka buruk terhadap mereka.” Jawab nenek Paula bijak. “pasti ada suatu hal yang membuat mereka kayak gitu, suatu hal di luar kehendak mereka.”
Eri menyipitkan matanya sambil berusaha mencerna perkataan nenek Paula. “suatu hal kayak apa?” tanya Eri dengan ekspresi bingung.
Kedua bahu nenek Paula terangkat, tanda bahwa ia juga tidak tahu. “pokoknya kamu jangan mikir yang buruk buruk tentang mereka. Perempuan terkadang berbeda antara isi hatinya dengan yang keluar dari mulutnya..”
“hmmm… kalo yang di UKS nek?”
Nenek Paula tersenyum usil ketika topiknya berganti. Sarah tak terkecuali, ia menguping pembicaraan Eri dan walaupun bahasa Indonesianya tak terlalu bagus, ia mengerti beberapa hal.
“kalo itu bukannya kamu cemburu?” Ujar nenek Paula dengan senyum di wajahnya. Adonan yang sudah cukup mengembang itu sekarang ia tuang ke dalam loyang bundar.
“cemburu??...” bahkan kata itu terdengar aneh di kepala Eri.
“masa a-aku cemburu?..” tanya nya dengan muka yang mulai memerah.
“mungkin aja kan??...” tanya Nenek Paula balik, sambil memasukkan loyang ke dalam oven.
Cemburu? Muka Eri semakin memerah ketika ia mengulang kata itu di kepalanya.
“it’s alright young boy,” ujar Nenek Paula sambil mengelus kepala Eri pelan. “jealousy is a sign that you’re a human.. semua manusia pasti pernah cemburu , termasuk nenek…”
“nenek juga pernah cemburu?? Sama siapa??” tanya Eri teralihkan.
Nenek Paula tersenyum sedih. “nenek cemburu sama tuhan. Karena sekarang kakek pasti sedang berada di sisi-Nya…”
ujar Nenek Paula. Ia menyebut suaminya dengan panggilan ‘kakek’ dan ini pertama kalinya ia membicarakan masalah nya.
“o-oh i'm sorry..” Eri gelagapan setelah mendengar hal itu.
“gak pa pa kok cu, nenek cuma mau ngasih tau kamu kalo cemburu itu gak salah, apalagi kalo itu berkaitan dengan orang yang kamu sayang..” nenek Paula kembali tersenyum usil.
Eri mengangguk, dan kemudian ia baru tersadar. “ma-maksud nenek orang yang disayang???” tanya nya bingung.
“Daniel of course!” Sarah menyahut, pertanyaan yang kemarin ingin ia tanyakan pada Eri seakan terjawab.
“you like him aren’t you? Like a couple?” Tanya Sarah yang menaruh pekerjaannya, dan berjalan menghampiri Eri. Entah kenapa dari Sarah terlihat antusiasme yang sedikit berlebihan, membuat Eri langsung mundur beberapa langkah.
‘Tok tok….’ Terdengar bunyi ketukan dari arah pintu depan , dan Eri langsung menawarkan diri untuk memeriksa. “aku aja…” ujarnya sambil menghela nafas lega, dan ia bergegas keluar dari dapur.
“damn! He already cornered back then” umpat Sarah, sedikit kesal karena Eri tak pernah menjawab pertanyaannya secara langsung.
“watch your mouth! And it’s your own fault cause you ask something like that to him” balas Nenek Paula sambil sesekali memeriksa kuenya di dalam oven, yang mulai mengembang.
“am I wrong? I just want to know what Eri feels about Daniel… They seem pretty close” Ujar sarah sedikit kesal.
“not exactly wrong, thought. But you don’t want to know what Daniel feels?” tanya nenek Paula dengan senyum jahilnya.
Sarah langsung terkekeh mendengar pertanyaan neneknya. “nope!” ia langsung menjawab. “it’s already clear that HE loved Eri.”
∞
Daniel mengetuk pintu rumah nenek Paula.
Walau tak terlalu yakin, ia bisa merasakan kalau Eri berada di rumah manula yang gemar membuat kue ini. Dan hal itu lah yang membuatnya berada di depan pintu rumah nenek itu.
Pintu terbuka, dan terlihatlah Eri dengan kacamata kotaknya. Daniel baru saja mau menyapa, ketika melihat muka Eri yang memerah. Selama ini ia selalu menganggap Eri yang sedang memerah itu ‘lucu’. Tapi kali ini ia harus menahan tangannya agar tidak langsung mencubit pipi Eri.
“eh k-kakak. kok tau aku disini?” Tanya Eri heran sambil menatap Daniel dengan muka polosnya.
“emang kamu biasanya disini.” Dan itu pernyataan dari Daniel, bukan pertanyaan. “kakak bawain coklat buat kamu..” tambahnya seraya mengeluarkan sebungkus cadbury dari kantong celananya.
Sedikit meleset dari perkiraan, awalnya Daniel mengira Eri akan langsung meraih coklat itu dengan mata berbinar karena bahagia. Namun kenyataannya, mata Eri hanya berbinar sekilas dan ia langsung tampak gugup dengan muka makin memerah – yang membuat Daniel harus bersusah payah menahan tubuhnya agar tidak memeluk Eri .
Eri sendiri masih teringat perkataan nenek Paula dan Sarah barusan. Dan setiap ingat itu, ia seakan tak bisa menatap Daniel secara langsung.
“makasih kak…” ujar Eri sambil menundukkan kepala, namun tetap meraih coklat yang disodorkan Daniel. Aliran listrik seperti menyambar tangannya ketika jemari Eri bersentuhan dengan tangan Daniel, membuat Eri dengan cepat langsung menarik tangannya.
“k-kenapa???” tanya Daniel khawatir, yang langsung maju mendekati Eri.
“eng-enggak! Gak pa pa koook!” ujar Eri. “a-aku ke dapur dulu ya bentar, kakak duduk aja dulu..”
Daniel mengangguk pelan, dan berjalan menuju sofa saat Eri bergegas kembali ke dapur. Sarah yang sedari tadi mencoba mengintip, langsung menarik kepalanya saat melihat Eri mendekat.
“grandmaaa, I need to go home now” pamit Eri. “aku ada pr yang harus dikerjain…” tambahnya lagi.
Nenek Paula berbalik dari ovennya dan menghampiri Eri. “kamu gak mau nungguin kue nenek mateng dulu?” tanyanya sambil menunjuk oven.
Eri menggelengkan kepala “pr ku ada seratus soal , banyak banget nekk” keluh Eri , mengingat lembar demi lembar soal fisikanya.
“yaudah , nanti kalo udah mateng nenek simpenin buat kamu” senyum nenek Paula menghiasi wajahnya. Eri sudah siap menerima keluhan dari Sarah ketika mendengar ia akan pulang, namun ternyata perempuan berambut coklat itu sedang sibuk dengan handphonenya.
“I gotta go too!” serunya dengan muka yang berbinar binar. Entah siapa yang menghubunginya , namun siapapun itu benar benar membuat Sarah tersenyum bahagia.
Nenek Paula tersenyum, mengerti maksud dari Sarah.
Eri pun baru mengerti ketika sebuah mobil berwarna hitam telah menunggu di depan pagar. Menunggu Sarah tepatnya. Karena setelah perempuan itu pamit pergi – setelah sempat mencubit kedua pipi Eri – dan masuk ke dalam mobil, kendaraan itu langsung bergerak pergi.
Kaca mobil yang gelap membuat Eri tidak bisa melihat dengan jelas siapa pengemudi mobil itu.
“who is it? Sarah’s friend?” tanya Eri pada nenek Paula yang mengangguk sebagai jawaban.
“she has friends all over the world, especially here” tambah nenek Paula. Eri hanya bisa takjub mendengarnya.
Setelah lebih dulu berpamitan dengan nenek Paula, Eri dan Daniel melangkahkan kaki keluar pagar. Angin sepoi sepoi menyambut mereka, seakan ingin menghilangkan kesunyian yang mendera. Suara daun yang tertiup angin samar samar terdengar, seakan tak ingin ketinggalan meramaikan suasana.
“adek….” Suara Daniel memanggil, mengalahkan suara angin.
Eri bisa merasakan mukanya menjadi hangat hanya karena Daniel memanggilnya ‘adik’. Hal yang bagi sebagian orang bukanlah sesuatu yang penting, namun itu adalah sumber kebahagiaan terbesar bagi Eri.
“y-ya kak?..” Eri menolehkan kepalanya.
“gak pa pa… cuma mau manggil kamu aja..” ujar Daniel sambil tersenyum kecil. Sejuknya angin yang membelai wajah Eri rupanya tak sanggup mengalahkan suhu tubuhnya yang menghangat.
Eri berjalan lebih cepat, sehingga ia sekarang berada di depan Daniel. Ia tak ingin Daniel melihat mukanya yang memerah.
Daniel hanya terkekeh melihat sosok di depannya yang berusaha membuka pagar dengan terburu buru. Suasana rumah Eri tampak lengang seperti biasa, entah dimana keberadaan keluarganya. Orang tuanya mungkin bekerja, dan kedua saudaranya mungkin sedang bermain di luar rumah. Mungkin.
Daniel segera merebahkan badannya di atas sofa, sedangkan Eri langsung masuk ke dalam kamarnya. Daniel tak pernah di persilakan masuk ke dalam kamar Eri - “gak ada apa apa isinya” , begitulah alasan Eri ketika Daniel bertanya.
“aneh….” Eri keluar dari kamarnya dengan muka bingung. Tangannya memegang sebuah fotokopian berlembar lembar.
“kenapa?” Tanya Daniel , yang ikut heran melihat muka Eri.
“semuanya…. Udah dikerjain.” Jawab Eri sambil menyodorkan soal soal , yang semuanya sudah dikerjakan lengkap dengan caranya.
Saat Daniel sibuk melihat lihat soal, Eri duduk di lantai dan menyender pada kaki Daniel seraya membuka bungkusan coklatnya. Kepala Eri bersandar pada paha Daniel saat ia menggigit sebagian kecil coklat bermerk mahal itu.
“tulisannya mirip tulisan kamu..” tebak Daniel. Dan pelakunya langsung terbayang di kepala Eri.
“kak rio…” bisik Eri pelan. Tulisan mereka memang tak berbeda jauh, walau tulisan Eri masih lebih rapi.
“kakak mu??” tanya Daniel. Ia sendiri heran dengan kata katanya yang terdengar dingin.
Eri mengangguk, tidak memperhatikan muka Daniel. Tapi apa alasannya sampai kakaknya itu mengerjakan pr nya? Mereka bahkan tidak pernah bertukar sapa sekalipun.
Beranjak dari tempatnya, Eri berjalan menghampiri kamar Rio yang ternyata terkunci dan hening. Artinya sang penghuni kamar sedang tidak berada di dalam sana.
“ada?” tanya Daniel begitu Eri kembali.
Eri menggelengkan kepala, dan ia merebahkan dirinya di atas sofa. Masih menggunakan paha Daniel sebagai bantal.
Pikirannya masih sibuk bekerja, sehingga Eri tidak memperhatikan ketika Daniel diam diam melirik mulutnya yang mengemut coklat batangan itu. Dan baru ketika Eri merasa diperhatikan, Daniel buru buru mengalihkan pandangannya…
@d_cetya @mustaja84465148 @Tsu_no_YanYan @yuzz @Gabriel_Valiant @ddonid @ularuskasurius @zeva_21 @3ll0 @alfa_centaury
updateeee