It looks like you're new here. If you want to get involved, click one of these buttons!
Copyright 2021 Queer Indonesia Archive. See our Privacy Policy. Contact us at [email protected]
Dengan menggunakan situs ini berarti Anda setuju dengan Aturan Pakai.
BoyzForum.com adalah situs anti pedofilia!
Comments
oke deh kakak~~~
aissshh gemezzz><
updateeee
@rhe.rhe : kak rheeeee:') maaf lama gak update , ini juga belom selese kok kaaak :') lagi nyari motivasii hehe
Page ten – A little flashback
Seorang anak sedang berlari menyusuri jalanan yang beraspal, dengan sebuah es krim cup di tangannya dan sebuah lagi di tangannya yang lain. Suasana sore hari itu tak begitu cerah, matahari bersinar dengan gugup dari balik awan tebal berwarna abu abu. Dan angin bertiup pelan , cukup kencang untuk meniup rumput rumput liar yang tubuh subur di sebuah lapangan tak jauh dari anak tadi.
Setelah sampai di sebuah rumah, ia langsung membuka pagar walaupun itu bukan rumahnya sendiri. Dan seperti perkiraannya, seorang anak yang lebih kecil darinya telah menunggu di balik pagar, tersenyum ketika melihatnya datang.
“adek udah nunggu lama?” Tanya anak itu kepada anak yang lebih kecil, dan anak itu menggelengkan kepala sebagai jawaban.
Sore itu mereka habiskan dengan memakan es krim yang baru saja dibeli sang anak yang lebih besar dari sebuah minimarket. Tak ada kata yang tertukar, namun tak ada maksud yang tak tersampaikan. Tak semua suara itu bermakna, dan keheningan kadang menyimpan suatu makna.
Mereka hanya menghabiskan makanan masing dalam diam, sampai matahari memutuskan untuk mengakhiri waktunya hari itu. Semburat oranye muncul di langit, seakan terlukis dengan latar belakang awan awan yang menambah indahnya panorama langit.
“kakak bakal balik lagi kan besok?” tanya anak yang lebih kecil di depan pagar.
Anak yang lebih besar itu mengangguk, dan memeluknya erat. “kakak bakal dateng lagi besok” ujarnya seraya membersihkan sisa es krim yang menempel di pipi anak yang lebih kecil.
“janji ya…” ujar anak yang lebih kecil, dan ia menjulurkan telunjuknya. Mereka mengaitkan telunjuk masing masing sambil tersenyum. Berbeda dengan kebiasaan orang lain yang mengikat janji dengan jari kelingking.
Anak yang lebih besar itu akan berjalan pelan kembali ke kediamannya. Perjalanan pulangnya tak sesingkat ketika ia datang. Berkali kali ia menengok ke belakang, dan mendapati sebuah tangan melambai padanya, membuatnya tersenyum dan melambaikan tangannya.
Anak yang lebih kecil itu akan terus menunggu di depan pagar, sampai akhirnya sosok yang diperhatikannya menghilang dari pandangan. Setelah itu biasanya ia akan menutup pintu pagar dan kembali ke dalam rumah.
Malamnya anak kecil itu akan tersenyum, pikirannya dipenuhi oleh sosok yang selalu ia tunggu di balik pagar setiap hari. Tak peduli hujan yang turun, terik matahari yang menyengat ataupun angin yang kadang bertiup kencang, ia akan terus menunggu dan terus menunggu.
Tak ada yang lebih membuatnya bahagia daripada kedatangan sosok yang ia tunggu…
Page eleven – Old habit
Eri masih belum percaya bahwa kejadian di UKS tadi benar benar terjadi.
Daniel tadi mengantarkannya pulang seperti biasa, tapi kali ini dia meminta maaf karena tak bisa “mengunjungi” Eri disebabkan oleh suatu hal. Eri yang mukanya bahkan masih memerah mengatakan bahwa itu bukanlah apa apa, tapi Daniel menganggap meninggalkan Eri sendirian bukanlah ide yang baik, walau ia tidak punya jalan lain.
Eri memandangi dahinya di depan cermin, tempat dimana Daniel mengecupnya tadi.
Mukanya langsung memanas sendiri, dan Eri mengutuk dalam hati. Ia kesal dengan perubahan warna wajahnya , pun ia masih bingung sebabnya.
Setelah berganti pakaian, Eri langsung mengunjungi rumah di sebelahnya, tempat dimana bau sedap kue yang baru matang sudah menunggunya. Sudah menjadi kebiasannya untuk menceritakan hidupnya pada wanita tua yang baik hati itu.
“neneeeeeeekkkkkk!” panggil Eri seraya berlari ke arah dapur, dan hampir saja ia menabrak nenek Paula yang memegang loyang, kalau saja ia tidak berhenti.
“aduh kamu kenapa lari lari gitu?? Hampir aja kamu kena loyang panas” nenek Paula menaruh loyang itu di rak dapur dan berbalik ke arah Eri. “cu? Muka kamu kenapa merah?”
“justru itu yang mau aku tanyain ke nenek!” balas Eri sambil menunjuk mukanya yang masih memerah.
“loh kok kamu malah tanya sama nenek?” tanya nenek Paula bingung.
Dan setelah itu Eri menjelaskan semuanya, bagaimana mukanya memerah ketika Kemal memanggilnya “dek”.
Bagaimana mukanya memerah saat Daniel menyuapinya.
Bagaimana jantungnya berdegup kencang ketika Daniel mengecup keningnya. Dan bagaimana nafasnya menjadi sesak kalau ia mengingat semua itu.
Nenek Paula hanya diam mendengarkan, ia tentu menyadari gejala apa yang sedang melanda cucu nya itu. Kendati demikian, ia tetap mendengarkan sambil sesekali tersenyum.
“aku gak ngerti nek, mukaku lebih sering jadi merah kalo aku deket Daniel. Tiba tiba aja aku jadi gak berani liat muka dia, dan aku jadi seakan lupa gimana caranya ngomong!” Eri bercerita dengan semangat, seperti ketika ia menceritakan setiap masalahnya kepada wanita tua di depannya. Tak ada yang wanita itu tidak tahu mengenai cucunya yang satu ini.
“dan sekarang ketika kamu lagi gak bareng Daniel, apa yang kamu rasain?” tanya nenek Paula.
“a-aku….. aku ngerasa sedikit lega karena nafasku gak sesek, tapi di lain pihak aku juga.. ngerasa kayak ada sesuatu yang hilang gitu nek.. kayaknya aku kangen dia beneran…” jawab Eri dengan mukanya yang polos dan sedikit merona merah. Nenek Paula hanya tersenyum dan mengelus kepala Eri pelan.
“nek….” Lanjut Eri. “apa perasaan yang aku rasain itu…. salah?” tanya nya dengan muka khawatir.
“kenapa kamu berpikir begitu?” tanya nenek Paula balik, seraya merapikan loyang kue yang tadi ia pakai.
Eri menggelengkan kepala dan mengangkat bahu “aku gak tau.. aku cuma ngerasa gak seharusnya aku punya perasaan kayak gini. Aku sendiri bingung harus gimana…”
Nenek Paula kembali tersenyum. “Selama kamu percaya kalo apa yang kamu rasain itu bukanlah suatu hal yang buruk, gak ada yang namanya salah atau benar dalam memiliki sebuah perasaan. Semuanya kembali ke pada dirimu sendiri, mau menerima atau justru menolak perasaan itu. Tapi yang kamu harus ingat, jangan biarkan pandangan orang lain mengganggumu dalam menentukan perasaanmu sendiri.” Ujar nenek Paula sambil memandang ke dalam mata Eri. Mata polos yang masih belum mengerti bagaimana cara dunia bekerja.
Eri terkesima dengan perkataan wanita tua di depannya. Membuatnya tersenyum lebar dan menjawab dengan ceria “kayaknya… aku bakal menerima perasaan ini nek!”
Nenek Paula mengusap kepala Eri pelan “Kalo kamu udah memutuskan begitu, gak ada lagi yang bisa nenek lakukan” ujarnya sambil tersenyum.
“oh iya dan besok keluarga nenek mau dateng, kamu besok kesini ya” pinta nenek Paula.
“hehe pasti aku kesini deh nekk!” jawab Eri sambil mengacungkan jempolnya…..
Page twelve – That day
Keesokan harinya, Eri baru saja menyelesaikan sarapannya ketika sebuah pesan singkat masuk kedalam handphonenya.
- dek? Kakak udah di depan.
Eri segera bergegas meninggalkan meja makan dan berlari ke luar rumah, dan ia menemukan Daniel di depan pagar, tersenyum ke arahnya.
“kamu udah siap?” tanya Daniel.
Eri yang walaupun sudah berseragam lengkap, menggelengkan kepalanya. “lo- errr k-kakak ngapain disini?” tanya eri sambil menundukkan kepalanya, menyembunyikan wajahnya yang memerah.
Daniel tersenyum seakan Eri menanyakan pertanyaan yang bodoh. “jemput kamu lah, emang kakak mau ngapain lagi kesini.” Jawabnya sambil menepuk kepala Eri pelan.
“em eee a-aku ngambil tas dulu ya bentar!” dan sedetik kemudian Eri langsung berlari kembali ke dalam rumah, dan baru berhenti setelah ia memasuki kamarnya.
Jantungnya berdegup cepat, tapi itu bukan karena ia berlari…
Setelah pamit kepada kedua orang tuanya yang tampak tidak terlalu peduli, Eri langsung bergegas menemui Daniel.
“A-aku udah siap..” ujar Eri pelan di samping Daniel.
“kalo udah siap ya naik lah, ngapain kamu berdiri disitu?” tanyanya sambil tersenyum jahil.
Eri bisa merasakan mukanya kembali memanas, dan dengan gugup ia duduk di belakang Daniel, berpegangan kepada motor nya.
Tiba tiba tangan Daniel terjulur ke belakang,meraih tangan Eri, dan mengarahkannya ke pinggang Daniel. Dan sekarang kedua tangan Eri berpegangan pada Daniel, membuat muka anak itu memerah.
“pegangan yang kenceng ya dek” pesan Daniel setelah ia menyalakan motornya. Eri baru mengerti pesan itu ketika Daniel langsung memacu motornya dengan kecepatan tinggi, membuat Eri terpaksa mengencangkan pegangannya. Pipi Eri menempel pada punggung pemboncengnya, dan samar samar tercium bau parfum Daniel yang biasanya tidak Eri perhatikan.
Ia bersyukur karena dirinya lebih kecil dari Daniel. Sehingga walaupun sama sama duduk di atas motor, ujung kepala Eri hanya mencapai telinga Daniel, membuatnya bisa menyembunyikan mukanya yang memerah di punggung Daniel…
∞
Bel istirahat baru saja berbunyi, mengakhiri pelajaran kimia yang menurut Eri –menarik- walau teman sekelasnya lebih memilih menghindari pelajaran itu, termasuk Daniel yang sedari tadi tertidur di mejanya.
“hah? Udah selese pelajarannya?” tanya Daniel sambil mengangkat mukanya yang mengantuk.
“uh –huh” jawab Eri sambil menganggukan kepala. Matanya masih menelusuri reaksi ion yang tertulis di papan tulis.
“masih ngantuk nih…” Ujar Daniel sambil menguap lebar, tanpa ada usaha untuk menutup mulutnya.
“tidur aja lagi…” balas Eri, yang sekarang sedang mencoret coret bukunya, menambah catatannya di sana sini.
“hoaaam” Daniel kembali menguap, dan ia menyandarkan kepalanya di bahu Eri yang lebih pendek, membuat Eri sedikit tertekan ke bawah. Tapi selain itu, juga membuat muka Eri memanas.
“k-kakak ngapain??!”tanya Eri panik. Ia bisa merasakan pipi Daniel yang hangat menempel di bahu kirinya, membuat tangan kirinya lemas seketika.
“tidur.” Jawab Daniel santai, seakan Eri menanyakan cuaca hari ini.
“ya tapi gak gini juga!” protes Eri sambil menundukkan kepalanya yang memerah. Ia dapat melihat beberapa anak perempuan di kelasnya melirik ke arah mereka dan entah kenapa tersenyum sambil terkekeh.
Tapi Daniel mengabaikannya, dan tetap menyender pada Eri sampai Ilham – teman sekelas mereka – menepuk bahunya.
“woy dan! Mau ke kantin kagak?” tanya Ilham.
Daniel mengangkat kepalanya dari bahu Eri. “yaudeh entar gue nyusul, lo duluan aja.” jawabnya pada Ilham.
“kamu gak mau ke kantin?” tanya Daniel ketika Ilham telah menghilang di balik pintu kelas.
Eri menggelengkan kepala.
“……..emmm kak?” panggil Eri. “kenapa dek?” jawab Daniel dengan senyum menghiasi wajahnya, membuat Eri langsung menundukkan kepala.
“kalo di sekolah… kita ngomongnya pake gue-lo aja, daripada entar orang orang mikirnya aneh aneh..” ujar Eri.
“gak mau.” Jawab Daniel tegas, membuat Eri langsung mengangkat kepala. “kakak gak peduli orang mau mikir apa, selama mereka gak ngeganggu kamu” lanjutnya sambil menepuk kepala Eri. “kakak ke kantin dulu ya, nanti kakak bawain makanan.” Pamit Daniel sambil berjalan keluar kelas.
Mata Eri menerawang kosong mendengar kata kata Daniel yang barusan terucap. Setelah kepergian Daniel ia langsung bergegas keluar kelas, menuju ke arah kamar mandi terdekat.
Untungnya kelasnya tak terlalu jah dari kamar mandi, dan Eri bisa melihat refleksi dirinya sendiri dari kaca kamar mandi. Mukanya memerah, dan matanya sedikit berair di balik kacamatanya. Ia bahkan bisa mendengar suara nafasnya sendiri. Ia tidak mengerti kenapa mendengar perkataan Daniel saja bisa membuatnya seperti ini, walau begitu ia menikmati sensasi yang ia rasakan sekarang.
Eri meletakkan kacamatanya di samping wastafel, dan kemudian ia mencuci mukanya, berharap air keran bisa mendinginkan mukanya yang memanas. Hasilnya tidak terlalu buruk, setidaknya warna mukanya tak begitu merah sekarang.
Baru saja ia melangkahkan kaki di koridor, ketika Rara keluar dari sebuah kelas tak jauh darinya dan berjalan menuju Eri.
Jarak mereka berdua tinggal selangkah dan Eri sudah mau membuka mulut untuk menyapanya, tapi Rara lewat begitu saja. Bahkan tanpa meliriknya sama sekali.
Hati Eri mencelos. Ia paling tidak suka diabaikan , terutama oleh Rara yang notabene adalah teman dekatnya sendiri.
Baginya ia lebih rela dimusuhi , daripada harus diabaikan seperti tadi. Rara yang biasanya akan menyapanya lebih dahulu, sekarang berjalan melewatinya seakan tak pernah mengenal Eri.
Tangan Eri terkepal, dan mungkin akan meninggalkan bekas di telapaknya. Terbayang di kepalanya ekspresi Rara yang datar dan arogan melewatinya begitu saja, seakan Eri hanyalah sebuah kerikil kecil di jalan.
Bagaimana perasaan seseorang, jika temannya sendiri yang sudah lama ia kenal, berbagi canda dan tawa bersama, sering ia bantu, sekarang tiba tiba mengabaikannya? Seakan mereka tak pernah saling mengenal?
Jantung Eri berdegup kencang, tapi ia sama sekali tidak menikmati perasaan kali ini…..
∞
“kamu kenapa lesu?..” Tanya Daniel khawatir ketika menemukan Eri di kelas, dengan tangan terlipat di atas meja dan kepala tertunduk. “kamu sakit lagi?”
Eri mendongak, dan menggelengkan kepalanya lesu. Bahkan ia lebih berharap dirinya sakit, daripada harus merasa … kosong seperti ini. Setelah itu Eri menundukkan kepala lagi, mengabaikan ekspresi khawatir orang di depannya.
Daniel berjongkok di depan meja Eri, satu tangannya memegang sebungkus roti “makan dulu gih dek..” ujarnya sambil menaruh bungkusan roti di depan Eri, yang dibalas dengan sebuah gelengan kepala.
“kamu kenapa sih?” tanya Daniel tidak sabar, seraya mengangkat kepala Eri dengan kedua tangannya. Eri bisa merasakan sentuhan dari Daniel memberikan kehangatan di kedua pipinya.
“enggak, gak pa pa..” jawab Eri lesu, walau mukanya kembali memerah.
“jangan murung begitu ah” Tangan Daniel mengusap kepala Eri pelan “kalo gak mau cerita gak pa pa, tapi kakak gak suka lihat muka kamu murung begitu” ujarnya khawatir. Eri tersenyum kecil. Baginya sebuah usapan di kepala dari Daniel, sudah cukup untuk membuatnya merasa lega.
“di makan dong rotinya..” ujar Daniel sambil mendorong bungkusan roti mendekati tangan Eri.
“dibagi dua aja kak, setengah buat aku, setengahnya lagi buat kakak..” balas Eri seraya mendorong kembali bungkusan roti yang berwarna coklat itu.
“kamu yakin mau setengah aja?” tanya Daniel.
Eri membalasnya dengan sebuah anggukkan “kalo aku berbagi sama kakak , makan apapun jadi terasa lebih enak” ujar Eri sambil tersenyum lebar, tanpa berusaha menutupi mukanya yang mulai merona.
Daniel sedikit terkesima mendengar perkataan Eri, dan mukanya sedikit memerah pula, namun sangat samar jika dibandingkan dengan Eri.
“kamu bisa aja dek!” seru Daniel sambil menarik hidung Eri sampai anak itu meringis, dan setelah itu mereka berdua tergelak.
‘masa bodoh dengan Rara, masa bodoh dengan anggapan orang orang di kelas’ batin Eri. Baginya, yang terpenting sekarang adalah Daniel kembali seperti dulu, dan itu cukup untuk membuatnya bahagia.
“oh iya, nanti pas pulang kita ke kantin dulu ya” kata Daniel sambil melahap habis rotinya. Mengerti tatapan bingung yang diajukan Eri, Daniel kembali membuka mulut “udah ikut aja dek, oke?”
Eri menganggukkan kepala sambil tersenyum kecil….
∞
Hari ini sebenarnya tak ada bedanya dengan hari hari sebelumnya. Hanya saja, gairah para pasangan terlihat dari setiap sudut mata.
Hari ini tanggal 14 Februari, hari Valentine. Hari yang identik dengan warna merah dan merah jambu ini membuat euforia tersendiri di antara para pasangan yang sedang dimabuk asmara.
Entah itu sang lelaki yang datang sambil membawakan bunga, atau seorang perempuan yang datang sambil membawa coklat buatan sendiri untuk kekasihnya. Tak ubahnya sebuah wabah penyakit, Valentine seakan menyebarkan virus virus cinta kepada siapapun yang beruntung mempunyai pasangan, ataupun sekedar penggemar.
Dan itulah yang terlihat di SMA Harapan. Walaupun secara tidak langsung pihak sekolah menghimbau untuk tidak mengikuti tradisi ‘luar’ ini, namun sekolah seakan menutup mata terhadap euforia yang terjadi.
Bagi Eri ini hari yang biasa biasa saja, toh dia tidak punya penggemar ataupun pasangan, sehingga baginya hari valentine tidak berbeda dengan hari hari lainnya.
Eri berjalan bersama dengan Daniel setelah bel pulang sekolah berbunyi, menyusuri lorong sekolah menuju ke arah kantin. Salah satu hal yang membuatnya nyaman berada di dekat Daniel, adalah karena Daniel lebih tinggi darinya. Berada di sekitar orang yang lebih tua atau lebih tinggi memberikan Eri perasaan seakan ‘terlindungi’ , perasaan yang tak akan pernah rela ia tukarkan dengan apapun.
“emang kita mau ngapain ke kantin?” tanya Eri saat mereka berjalan melewati sebuah kelas kosong.
“kan tadi kakak udah bilang, kamu ikut aja pokoknya” jawab Daniel sambil mengacak acak rambut Eri dengan sebelah tangan. Sesekali tangannya yang bebas meraba raba sebuah kotak di dalam tasnya, seakan takut barang itu tiba tiba menghilang.
Perjalanan mereka ternyata menemui banyak hambatan. Hampir setiap perempuan yang terlihat memberikan coklat pada Daniel, membuatnya kewalahan membawa bertumpuk tumpuk coklat di tangannya.
“gimana rasanya?....” tanya Eri seraya meringankan beban Daniel dengan membawa beberapa bungkus coklat.
“rasanya apa?” tanya Daniel bingung.
“rasanya dapet coklat hampir dari setiap cewek di sekolah..” jawab Eri datar.
“emmm… biasa aja” ujar Daniel santai sambil mengangkat bahu. “soalnya bukan kamu yang ngasih ke kakak” tambahnya sambil tersenyum jahil. Eri tidak bisa melakukan apapun kecuali berusaha menutupi mukanya yang memerah.
Dalam hati Eri juga mengakui ke-populeran Daniel. Sebagai pemain basket ia memiliki badan dengan postur hampir sempurna. Kulitnya tidak gelap, walaupun tidak secerah kulit Eri. Rambutnya selalu ia biarkan berantakan, yang entah kenapa menambah daya tariknya.
Mereka baru saja menginjakkan kaki di kantin, ketika Eri melihat sebuah sosok yang ia kenali sedang berusaha menghindar dari sekelompok kecil perempuan yang mengitarinya.
“m-maaf gue gak bisa nerima coklat lo semua, gue udah punya pacar!” tolak Kemal , yang disambut desahan kecewa dari kumpulan yang mengitarinya. Satu persatu dari mereka mulai berbalik pergi dengan tampang lesu. Namun beberapa masih tetap mendesaknya.
“kak kemal!!” panggil Eri ketika ia melihat kakak kelasnya itu makin terpojok. Mendengar namanya disebut, Kemal yang sudah mempunyai alasan untuk pergi dari para perempuan itu tak menyia-nyiakan kesempatannya.
Entah apa yang ia ucapkan pada perempuan di sekitarnya, karena ketika ia berjalan cepat ke arah Eri, para perempuan itu terlihat sangat kecewa.
“woahh dek, makasih ya!” ujar Kemal sambil menepuk nepuk kepala Eri. “gue gak tau harus ngapain lagi buat lari dari mereka!”
Eri tersenyum kecil ketika merasa sentuhan di kepalanya. “hehe sama sama kaak!” balas Eri.
“oh iya , lo juga dikasih coklat dek? Banyak banget!” seru Kemal ketika melihat tangan Eri yang membawa bungkusan bungkusan coklat.
Eri membalas dengan sebuah gelengan kepala “Bukan kak. Ini semua punya Daniel, orang biasa kayak gue mah mana mungkin dapet coklat, haha” jawab Eri sambil tersenyum sedih.
“jangan ngomong gitu dek!” potong Kemal seraya menyentil dahi Eri dengan jari telunjuknya. “lo cuma kurang promosi aja, padahal lo itu lucu kok” ujarnya seraya mengelus kepala Eri.
Daniel hanya bisa melirik datar ketika ia melihat warna merah sedikit merona di wajah Eri.
“eh gue harus nyari rara dulu nih, sekali lagi makasih ya udah nolongin gue!” pamit Kemal dengan sebuah senyuman menghiasi wajahnya. Eri menganggukkan kepala nya dan mengalihkan pandangannya ke arah Daniel ketika Kemal sudah hilang dari jarak pandang mereka.
“gimana rasanya?..” tanya Daniel. Kakinya kembali melangkah, dan Eri mengiringinya.
“rasanya apa?” tanya Eri sambil menoleh ke arah Daniel. Mereka berhenti di sebuah meja di tengah kantin, dan masing masing saling menaruh barang bawaannya di atas meja.
“rasanya dibilang lucu sama seorang kakak kelas..” jawab Daniel datar, ia melepas tasnya ketika ia duduk di kursi kantin.
“oh.. biasa aja” jawab Eri santai, ia duduk di seberang Daniel.
“abis bukan kakak sih yang bilang kayak gitu” tambah Eri sambil berpura pura mengalihkan pandangan.
Tersadar Eri baru saja meniru gayanya tadi, Daniel mencubit kedua pipi Eri gemas dengan kedua tangannya. “enak aja kamu niru gaya kakak!” protesnya sambil tersenyum jahil.
“aaaaah ampun ampun!” seru Eri sambil menggeleng gelengkan kepalanya, berusaha melepaskan tangan Daniel. Muka Eri langsung memerah ketika tingkah lakunya dengan Daniel menarik beberapa mata ke arah mereka.
“terus kita mau ngapain disini..? a-aku kan jarang ke kantin..” tanya Eri sambil mengusap pipinya yang bukan hanya memerah karena malu, tapi juga karena cubitan Daniel.
“ERIIIIIIIIII!!” baru saja Daniel mau membuka tasnya, ketika suara yang khas itu memecah keheningan kantin. Lily baru saja bergabung dengan mereka.
“li, udah berapa kali gue bilang kalo lo gak perlu teriak kayak gitu…” protes Eri. Ulah Lily barusan menarik perhatian hampir seisi kantin, dan Eri tak terlalu suka dengan itu.
“maaf ri, cuma mau nyapa doang kok!!” ujar Lily, masih dengan suaranya yang khas dan senyum jahil yang muncul di wajahnya. Setelah itu ia kembali ke arah teman temannya yang eri kenali sebagai – gossip girls – yang ternyata menetap di meja sebelah mereka.
Kumpulan itu terdiri dari orang orang dengan sifat yang hampir sama dengan Lily, minus suaranya yang khas.
Suara mereka terdengar sangat jelas, bahkan di tengah tengah riuh rendah suasana kantin. Ceria dan semangat, itulah yang Eri lihat, walau sebagian orang melihat mereka sebagai kelompok yang cerewet dan banyak omong.
Contohnya seperti barusan, tak ada orang yang mau repot repot hanya datang menghampiri untuk menyapa selain Lily, dan itu yang membuatnya mendapat nilai tambah dari Eri.
“jadi… kita mau ngapain disini?” ulang Eri kepada Daniel, ia sedikit mengencangkan suaranya agar tidak kalah dengan suara Lily dan teman temannya.
“em.. kita pulang aja yuk.” Ujar Daniel datar. Dan Eri hanya bisa mengikutinya berjalan meninggalkan kantin dengan bingung. Tangan Eri penuh dengan bungkusan coklat Daniel yang ia abaikan di meja kantin.
Tangan Daniel meraba tasnya lagi , merasakan sebuah kotak di dasarnya. Saatnya sudah pas tadi bagi Daniel, kalau saja Lily tak datang……………
uuh,romantisnya daniel makin suka deh :X
next