BoyzForum! BoyzForum! - forum gay Indonesia www.boyzforum.com

Howdy, Stranger!

It looks like you're new here. If you want to get involved, click one of these buttons!

Selamat datang di situs Boyzforum yang diarsipkan oleh Queer Indonesia Archive. Forum untuk komunitas gay Indonesia yang populer ini didirikan pada tahun 2003, dan ditutup pada tanggal 15 Desember 2020.

Forum ini diabadikan untuk kepentingan sejarah. Tidak akan ada konten baru di forum ini. Silakan menikmati forum ini sebagai potongan dari sejarah queer Indonesia.

ALFI HASSAN ALATAS (SENYUM YANG HILANG) - UPDATE HAL.126

15960626465133

Comments

  • @Sho_Lee Add FB ku ajah.. Fuuma Reicchi. sering ku cek kok fb itu.

    @RegieAllvano sip. siap2 d kirimin kecupan y..
  • Zhar12 wrote: »
    Hai, aku udah baca nih. Haha..

    Dan ya, begitulah. Aku malah disajikan dengan cerita baru yang isinya itu menerangkan begitu hebatnya alfi, dan kisah-kisah alfi lainnya, dengan orang yang beda. Semua yang ada dalam diri alfi, sebenarnya sudah dijelaskan oleh alfi sendiri, rey bahkan farel. Not bad. Tapi bener kata uda @ularuskasurius, peran ali disini sebenarnya nggak perlu, kalau tujuannya mau seperti itu. Beda lagi kalau misalnya, Ali ini bakal suka sama Rey. Itupun kalau kamu siap sama kritikan orang, kalau cerita kamu ini mainstream banget. Udah cukup kali ya, kamu buat si Alfi dan si Robby suka sama si Rey, nggak harus juga kamu bikin Ali suka sama Rey. Karena kembali lagi ke judul, ini tentang Alfi, dan harusnya yang dibuat lebih banyak POVnya itu Rey atau Alfi.

    Aku nggak bilang si Ali ini jelek, bahkan aku mau muji kamu karena berani nampilin tokoh Ali dicerita ini, walaupun, pas pov rey agak ilfil pas Ali bilang 'kawin' sama rey. Tapi itu juga terserah kamu sih, kamu mungkin lebih tau cerita ini mau dibawa kemana. Oh ya, Ali ini 'agak' bodoh, tapi koq ngerti masalah piano?

    Ada beberapa typo juga. Mau aku sebutkan? Salah satunya di 'Meet The Alatas' 1, pas awal paragraf pertama, “Namaku Ali Hassan Alatas. Aku anak pertama dari dua bersaudara. Aku kakak dari Alfi. Dia, Adik yang SAYANG kusayangi.” Kata sayang ini mungkin harusnya sangat ya?

    Dan juga, aku masih bingung, Ali ini lagi flashback atau lagi nyeritain masa lalunya? Kalau dari yang aku baca, si Ali ini lagi flashback. Coba kamu baca lagi yang part 2nya. Beberapa kali dia menyebutkan sekarang, beberapa hari yang lalu, esok harinya, apalagi pas nelpon glenn. Coba kamu baca lagi.

    Well, kesimpulannya, ini masalh selera lagi, aku nggak suka Pov Ali. Beda sama pas pov Robby, aku langsung suka. But sorry, kalau aku banyak ngomong disini, aku nggak bermaksud apa-apa, aku cuma mau ngasih saran, kenapa? Karena aku suka cerita ini.

    Lanjutkan. Aku tunggu Rey-nya.

    #Noted. Thx ya kritiknya.
    awalnya jg ragu mo nampilin pov nya Ali.. tp ga tau knp malah ngetik begini.. mgkn salahku kali ya postingnya sepotong2..
    akan lbk baik klo postingannya utuh. biar tau fungsi pov ali ini..
    tp pov ali ini mgkn bnyk narasi. jd ada flashback di dalam flashback smbil tetep terkait dengan masa kini.
    klo mslh typo.. iyaaaa.. sorry ya.. ga sempet d edit. itu jg posting buru2. selesai ketik langsung post.

    again.. thx banget lho @Zhar12 udh ksh komen membangun.. d tgu lg komennya..
    seneng deh..
  • edited May 2014
    Kecup mesra dari saya dipagi buta..
    Semoga anda terbangun dari mimpi basah.. eh indah.. hehehe.. :P
    Banguuuunnn.. Baannguuuuunnn.. Baannguuuuunnnn

    ***

    MEET THE ALATAS


    Semua sikap protektifku kulakukan bukan tanpa alasan. Dulu, dimasa-masa tergelap yang pernah dialami Alfi adikku, dia mengunci hati dan pikirannya selama beberapa lama. Setiap malam Alfi selalu berteriak karena mimpi buruk. Yang paling mengejutkan juga fakta bahwa dalam keadaan sadar pun dia selalu dihantui mimpi buruk itu. Entah mimpi-mimpi seperti apa, entah teringat akan suatu peristiwa yang bagaimana. Aku tidak pernah tahu, Alfi tidak pernah bercerita padaku.

    Awalnya kami, Umi dan Abi juga aku, menganggap itu semua akan segera berlalu. Namun setelah seminggu pun keadaan Alfi selalu kembali begitu. Dia terkadang masih suka berteriak dalam tidurnya, selalu. Pun ketika sadar, wajahnya seakan menonton adegan horror yang sangat mengerikan, entah apa itu. Pernah sekali waktu, perubahan wajahnya drastis terjadi, padahal kami semua sedang menonton tv saat itu. Namun, perubahan aura muka Alfi terlihat menggelap dan mendung bukan buatan, tak menentu. Kami tersentak. Kami membeku.

    Kami sadar keadaan Alfi tidak baik-baik saja. Alfi butuh penanganan serius. Alfi butuh segera dibawa menemui dokter ahli. Umi dan Abi sudah mempertimbangkan itu. Namun niat itu selalu urung dilakukan. Alfi selalu berhasil menghindar.

    Kalaupun berhasil membawa Alfi ke dokter Ahli, Alfi selalu mementahkan semua teori-teori. Sehingga hasil yang didapat oleh dokter-dokter tersebut bervariasi. Tidak pernah ada yang sama. Tapi mayoritas mengatakan Alfi baik-baik saja, hanya merasa kehilangan sosok seorang sahabat. Hanya itukah? Aku tak percaya. Horror diwajahnya, teriakan-teriakan malam harinya. Pasti ada hal yang lebih dari itu. Tapi apa? Aku tak tahu. Tak pernah tahu. Alfi tak pernah cerita padaku.

    Tak sadarkah dia? Tak melihatkah dia? Bahwa kami, Umi dan Abi juga aku ikut menderita oleh kondisinya. Tapi Alfi tetap saja diam seribu bahasa. Tak ada rahasia terpecah tak ada kata terucap dari bibirnya yang terkatup rapat.

    Walau Alfi tidak mengatakan apa-apa, tapi aku bisa merasakan kesepian dan kesedihannya. Aku ingin sekali berbagi penderitaannya. Aku ingin menyingkirkan semua itu walau hanya sedikit saja. Tapi adikku tidak pernah mengijinkannya. Tidak pernah ingin berbagi semua duka yang dipendamnya.

    Selama beberapa malam, aku diam-diam selalu masuk ke dalam kamar Alfi dan diam disana. Menjaganya sampai pagi tiba. Aku tidak ingin dia tahu, tidak ingin Umi dan Abi tahu. Tapi aku selalu melakukan itu. Walau kami selalu bahu membahu menjaganya, tapi aku tahu mereka lelah. Aku tidak tega. Aku juga tidak bisa melihat Umi dan Abi tersiksa. Aku tahu mereka kurang tidur karena selalu mendengar teriakan Alfi, dan secepat kilat naik ke atas menenangkannya. Karena itu tindakan itu kulakukan. Aku kakaknya. Akulah penjaganya.

    Aku tidak tega melihat adikku yang selalu berteriak itu. Aku ingin menjadi orang pertama yang menenangkannya. Aku ingin bisa menjadi sosok kakak yang bisa diandalkan olehnya dan membuatnya bangga memiliki kakak seperti diriku yang biasa saja. Aku menyayanginya.

    Ketika dia mulai berteriak aku akan segera menenangkannya. Sehingga dia tak perlu bangun dari tidurnya. Aku selalu disisinya setiap malam. Menjadi orang yang menjaganya dari mimpi buruk yang menderanya tanpa jeda. Aku tahu Alfi tersiksa. Aku tak tega.

    Namun satu malam, aku mengantuk dan tertidur sambil terduduk di bawah samping tempat tidur Alfi. Anehnya, selama beberapa malam teriakan Alfi tidak terdengar lagi. Bahkan horror yang terkadang datang menghias roman mukanya sudah jarang terlihat. Keadaan pun seakan kembali seperti sedia kala. Hanya satu saja yang berbeda. Satu itu saja yang tak pernah berhasil kembali padanya. Alfi masih kehilangan senyumnya. Senyum indahnya.

    **

    Siang ini dikampus aku merasa bosan. Dosen untuk mata kuliah tidak hadir sehingga mahasiswa terbengkalai. Ingin latihan diklub basket pun aku merasa enggan. Entahlah.. Aku ingin cepat-cepat pulang (ralat) aku ingin cepat datang ke sekolah Alfi sekarang. Terlebih tadi Glenn menelpon kalau Alfi bertanding dengan tim inti basket sekolah, Three on two katanya.

    Itu gila. Aku tahu kemampuan Alfi memang luar biasa. Tapi melawan tim inti basket hanya berdua saja? Itu bunuh diri namanya. Terlebih dia tidak pernah mempunyai pasangan yang bisa mengerti permainannya dilapangan. Aku penasaran bagaimana jalannya pertandingan. Masih sempatkah aku melihatnya? Aku penasaran dengan rekan yang dipilihnya.

    Aku sampai disekolah Alfi agak sedikit lebih lama dari yang kuniatkan. Alasan klasik, macet tentu saja. Ketika aku sampai, pertandingan telah berakhir. Glenn memberi laporan kepadaku jika Alfi menang melawan tim inti, berdua saja. Gila.. Alfi memang luar biasa gila. Jeniusnya sungguh kelewatan. Glenn memuji permainan adikku. Dan aku layani basa basi dan laporan darinya. Glenn juga mengatakan Alfi terlihat marah pada salah satu tim inti basket, karena temannya pingsan.

    “Siapa yang pingsan?” tanyaku penasaran.

    “ga tau bang. Tapi dia itu anak beasiswa kalo ga salah” jawab Glenn.

    “Trus Alfi marah dengan siapa tadi?” tanyaku lagi.

    “Robby bang. Robby Hartawan. Mungkin abang ga kenal. Kan abang udah lulus duluan waktu dia masuk kesekolah ini”

    “Hartawan yang itu?”

    “Yup. Konglomerat hartawan yang itu bang..”

    Sial. Hartawan itu keluarga besarnya Tom kalau aku tidak salah ingat. Umi bilang dari pihak ibunya Tom. Tapi kenapa Alfi sampai marah dengan si Robby ini. Bukankah dia kerabat Tom yang dulu akrab sekali dengannya? Haruskah aku menyelidikinya? Aku tidak ingin masa-masa kegelapan Alfi datang lagi dan mulai menghantui. Aku belum lupa dengan teriakan-teriakan malam harinya. Juga horror yang terpampang nyata diwajahnya. Aku tak ingin Alfi melalui itu lagi. Akan kujaga hati dan diri Alfi, dengan segenap hati.

    **

    Aku sudah berpesan pada Glenn untuk menjaga Alfi dan melaporkan jika ada yang macam-macam dengan adikku. Glenn setuju dan aku bisa sedikit tenang sekarang.

    Siang ini, aku kosong mata kuliah. Jadwal hari ini dipindah ke hari sabtu karena dosennya sedang ada acara keluarga. Kenapa tidak diliburkan saja? Membuat weekend-ku nanti mendung saja.

    Aku sedang didapur mengunyah apel yang baru kuambil dari kulkas, ketika kudengar mobil Alfi datang, (eh) pulang. Aku tetap didapur menghabiskan apelku. Lagipula Alfi akan langsung masuk ke kamar dan menghabiskan waktunya disana. Dia anti-sosial sejadi-jadinya.

    Namun betapa kagetnya diriku, ketika mendengar suara piano dimainkan. Piano itu piano Alfi. Dan piano itu sudah tidak pernah lagi disentuh sejak masa kegelapannya itu. Tetapi suara ini, aku yakin tidak sedang membayangkannya. Suara ini nyata. Denting alunan juga bunyi yang dihasilkan pun nyata. Terdengar merdu ditelinga

    Bunyi ini, denting ini, jelas sekali ini permainan Alfi. Aku hapal sekali permainannya. Sejak kecil dulu, akulah yang selalu duduk disampingnya mendengarkan setiap lagu yang dia mainkan untukku. Jika sedang tidak dengan Tom tentu. Kalaupun ada, aku selalu menggoda mereka. Tom terlalu manis untuk dilewatkan.^^

    Nada ini terdengar sendu, penuh haru juga sarat akan rindu menggebu. Terdengar ada suatu kesedihan yang ingin diungkapkan sekaligus rindu yang ingin sekali disampaikan. Aku yakin aku tidak salah, ini memang permainan Alfi. Setelah sempat terdiam sejenak oleh lantunan tuts piano yang menyentak kalbu, aku berjalan ke depan. Ingin memastikan bahwa memang Alfi yang memainkan. Ternyata benar. Alfi terlihat syahdu juga sendu memainkan lagu yang entah apa judulnya itu. Aku terharu

    Terharu karena akhirnya penantian panjang piano Steinway hitam, yang diberi nama Ebony oleh Alfi bisa terdengar lagi, mengalun disetiap sudut rumah ini. Ketika dia selesai, aku langsung bertepuk tangan. Jelas saja, itu semua karena aku gembira. Alfi sudah bisa memainkan pianonya lagi. Padahal dulu, berada didekat Ebony saja dia selalu dihantui horror diwajahnya itu. Tapi lihatlah Alfi sekarang, dia sudah bisa menyentuh, bahkan memainkannya. Itu luar biasa.

    Aku bahkan tidak sadar jika ada orang lain yang duduk bersamanya, jika saja orang itu tidak menampakkan dirinya. Aku kaget. Kaget sekali. Bukan hanya karena orang itu memiliki senyum yang hangat, tapi juga karena ini pertama kalinya Alfi membawa orang lain ke rumah setelah Tom dulu. Dalam hati, aku bertanya-tanya.

    Alfi memperkenalkannya sebagai Rei. Jelas sekali jika Alfi terlihat nyaman bersama dengan Rei ini. Anak itu pun sepertinya hangat, ramah dan manis sekali. Senyumnya tidak pernah lepas dari wajah manisnya itu. Aku jadi teringat Tom. Aku suruh Alfi untuk menyuruhnya makan siang disini. Karena aku ingin lebih mengenalnya. Juga ingin memperkenalkannya pada Umi dan Abi.

    Aku pamit ke atas dan diam-diam menelpon Umi dan Abi. Aku bilang pada mereka berdua jika Alfi tadi sudah memainkan pianonya lagi dan juga sudah mau berteman dan bahkan mengajaknya ke rumah kami. Umi dan Abi terdengar tidak percaya, namun jelas gembira. Pantaslah, karena mereka telah sekian lama ingin agar Alfi bermain seperti anak seumurannya.
    Mereka berkata mereka akan datang dengan segera ke rumah dan mau mengenal Rei secara langsung. Jadi aku harus bisa menahan Rei disini sampai Umi dan Abi datang.

    Ketika aku ke bawah lagi, aku melihat Rei sedang sibuk didapur. Astaga itu kenapa dia yang gantiin bi Imas. Rei terlihat menikmati sekali proses menghangatkan makanan itu. Aaahh.. such an adorable cute boy.. Itu manis sekali. Mata Alfi pun terlihat berbinar bahagia melihat Rei ‘bekerja’. Aku jadi ingin sekali menggodanya.

    Kukagetkan mereka dengan bertanya kemana bi Imas. Tapi Rei bilang tidak usah. Alfi pun hanya diam saja. Ini saatnya aku menggoda mereka. Rei memang terlihat manis sekali senyumnya hangat dan ceria. Aku suka. Ketulusan terpancar disana. Sopan santunnya pun tiada celah. Dan yang penting Alfi nyaman dengannya.

    Ketika kutanya dimana bi Imas. Ini jawaban Rei “Kak.. ga pa pa. Lagian tadi Rei yang minta bibi nerusin nyetrikanya. Ini juga cuma ngangetin doang kok kak..” aku manggut-manggut.

    “Iiihh.. kamu manis banget sih Rei..” kucubit pipinya. Kuelus juga. Alfi melotot melihat kelakuanku. Yes. Bereaksi juga adikku itu, “Udah manis, cakep, baik lagi. Kamu bisa masak?”

    “Sedikit-sedikit kak..”

    “Aaaahhh.. kalo gitu kita nikah yuk.. Kamu jadi istriku..” ini godaanku terakhir untuk melihat reaksi Alfi. Kupeluk Rei dari belakang ketika kukatakan kata-kata itu. Tapi memang Rei luar biasa manis dan hangat.

    Alhasil, Alfi menghadiahkan aku dengan injakan dikaki. Bukan sekali, tapi dua kali. Sekarang jelas sudah, Alfi memang peduli dan nyaman dengan Rei ini. Dengan Tom dulu juga begitu. Aku sering menggoda mereka seperti ini. Dulu Tom hanya tertawa-tawa, dan Alfi yang manyun sejadi-jadinya.

    Segera aku suruh Alfi mengganti baju. Karena aku ingin berbincang secara pribadi dengan Rei. setelah Alfi pergi, aku pun mulai bertanya-tanya kepada Rei. Aku tanya awal pertemuan mereka. Bagaimana reaksi adikku? Yang seperti itu.

    Lalu, aku pegang tangannya “Rei, makasih ya kamu udah mau temenan sama Alfi. Karena sejak temen kecilnya ga tau kemana, Alfi nutup dirinya dari orang-orang disekitarnya”

    “Kak kalo boleh tahu, nama temannya Alfi siapa?” tanya Rei.

    “Tom. Iya Tom. Hutomo Putra Kertanegara itu nama lengkapnya” dan aku pun menceritakan tentang Alfi danTom pada Rei.

    Tentang bagaimana Alfi ceria dulu, tentang senyumnya yang masih selalu menghias juga tentang kedekatan Tom dan Alfi tentu. Mereka tak terpisahkan. Selalu bersama, selalu ceria dan itulah yang menimbulkan luka. Tapi tentang yang terakhir itu, urung kuceritakan. Karena kurasa belum waktunya. Cukuplah tentang keceriaan yang dulu ada, juga tentang Tom dan Alfi yang dulu masih bersama.

    “Rei, kamu yang sabar ya sama tingkahnya si Alfi. Walau dia dingin, tapi kak Ali tau kalo Alfi tuh sebenarnya penuh kehangatan..”

    “Iya kak.. Rei tahu Alfi tuh hangat..” Eeehh.. maniiissnyaaa.. Muka Rei memerah waktu bilang hangat itu.. Jadi pengen meluuukkk..
    “Rei juga tahu kalo Alfi tuh sebenarnya baik dan peduli banget sama orang..” Oke. Sekarang aku benar-benar yakin sekali jika Rei ini memang baik untuk Alfi. Mauu peluuuukkkk..

    “Makasih Rei. Kamu baik banget. Manis deeehhh.. Pacaran yuk? Kak Ali cium yah..” hwahahaha.. Muka Rei syok mendengar kata-kataku.. Aku cubit pipinya kupeluk dia..

    PLETAKK

    Aduh! Siapa yang jitak?!

    Oh no.. Ada adikku, si Ice Prince Alfi datang. Sakiiittt.. Si Alfi beneran ih jitaknya. Kenceng banget. Busyet deh.. Segitu sayangnya sama si Rei.. sampe tahu aja kalo kakaknya lagi godain si Rei..

    “Fiii.. Sakit tau.. Kamu jitak kenceng banget..” kataku sambil mengelus-elus kepala.

    “Kak Ali genit.. Tuh liat, si Rei syok tuh dipeluk kakak..” Eh eh.. itu si Alfi tumben yah, ngomongnya lancar. Biasanya pelit banget.

    “Becanda Fii.. maaf ya Rei.. Kak Ali cuma becanda kok.. Tapi kalo mau beneran hayuuu..” Alfi melotot. Rei tersenyum gugup. Aku terkikik. Melihat tampang Alfi membuatku tergelitik.

    Alfi berkata, “Rei maaf ya. Kak Ali emang kebiasaan..” Rei sudah bisa tersenyum lepas sekarang. Aku ingin mencubit lagi pipinya. Tapi Alfi mendelik galak.

    “Atuuutt.. Umi.. Abi.. Alfi sereeemmm..”

    Alfi bersiap menjitak. Aku mengelak dan terbahak-bahak. “Udah.. Udah dulu Fii.. kamu makan dulu sana sama Rei..” Alfi mengangguk dengan berat hati.. Wajah Rei berseri-seri. Hatiku menari-nari.

    Aku senang. Aku senang adikku bisa bercanda riang. Walau senyum itu belum terbilang. Tapi tidak mengapa, asal Alfi tidak menutup diri itu sudah merupakan progres yang signifikan. Aku pun menemani mereka yang sedang menyantap makan siang.

    Mereka makan dalam diam. Alfi kembali ke Mode bisu. Aku menatap wajah mereka berdua satu persatu. Kutatap Rei sedikit syahdu. Kuletakkan harapanku pada senyum manisnya itu. Bersama Rei bisakah Alfi menjadi ceria seperti sedia kala? Aku sangat berharap begitu. Kehangatan yang dimiliki Rei aku yakin bisa melumerkan dinginnya dinding pembatas yang diciptakan Alfi. Semoga saja. Aku hanya bisa berharap dan berdoa.

    Kemudian kudengar suara mobil diluar. Itu berarti Umi dan Abi sudah datang. Segera aku mohon diri ke depan. Alfi menatapku heran. Rei tetap saja lanjut makan. Ekspresi makannya itu lucu. Wajahnya seolah bahagia dan ceria dengan lauk yang disantapnya. Seakan sedang menimbang rasa sekaligus menilainya. Maniiisss.. Cubit lagi aahh..

    Aku gemas sekali melihatnya. Segera kucubit pipinya. Alfi tersedak dan melotot. Rei tetap saja mengunyah. Aku tertawa sambil berlalu dari hadapan mereka.

    “Kak Ali ke depan dulu Fii.. mau liat siapa yang datang.. Rei sayang.. kak Ali tinggal sebentar yah.. muuacch..” Ku monyongkan bibirku. Alfi membeku melihat kelakuanku. Rei hanya mengangguk-angguk seru. Sambil mengunyah dia lakukan itu. Lucunya Rei.

    **

    Benar saja Umi dan Abi sudah datang. Kusambut dan kucium tangan mereka. Segera saja aku diberondong pertanyaan oleh mereka.

    “Li.. Kamu ga bohong sama Umi kan? Bener si Alfi tadi udah mau main piano lagi?”

    “Kamu juga ga bohong sama Abi kan Li.. Masa iya Alfi bawa teman ke rumah. Sejak Tom dulu kan..” Abi urung menyelesaikan kalimatnya.

    “Umi.. Abi.. Ali kan ga pernah bohong sama Umi sama Abi. Udah yuk masuk. Lihat sendiri kalo Umi sama Abi ga percaya..” Mereka mengangguk-angguk. Aku mengajak mereka masuk.

    Alfi dan Rei masih asyik makan. Tepatnya Rei yang sepertinya sangat menikmati makanannya. Wajahnya terlalu jelas menunjukkan itu. Binar bahagia terpancar ketika Rei mengunyah..

    “Rei.. pelan-pelan, nanti tersedak” nasehat Alfi. Rei hanya mengangguk dan tetap mengunyah.

    Astaga si Rei. Lucu sekali. Aku tak percaya dengan tubuh kecil itu, dia bisa melahap makanan sebanyak itu..

    “Assalamu’alaikum..” Kata Umi dan Abi berbarengan.

    Alfi dan Rei menengok.

    “Wa’alaikum salam..” Jawab Alfi. Dia segera bangkit dan mencium tangan Umi dan Abi. Kemudian kembali melanjutkan makan.

    “Hmpth.. Uhukk Uhuukk..” ini Rei. Sepertinya dia kesulitan untuk menelan dengan cepat dan usahanya untuk menjawab salam. Alhasil, Rei tersedak. Mukanya merah padam. Mungkin campuran antara malu dan nafas tertahan. Senang sekali melihatnya. Rei itu lucu. Sangat menggemaskan. Bolehlah kubungkus dan kubawa pulang?

    “Wa’alaikum salam..” kata Rei akhirnya. Dia juga bangkit untuk mencium tangan Umi dan Abi.

    Umi dan Abi menahan tawa. Gemas melihat tingkah Rei. Sepertinya Rei sudah mengambil hati mereka.

    “Minum dulu nak..” Umi tertawa sebentar. Tidak kuasa menahannya. “Harusnya tadi kamu habisin dulu makannya baru jawab salam..” Abi mengangguk dengan senyum dikulum.

    “Hehehe.. Maaf tante, habis masakan bi Imas enak banget. Ga kalah sama masakan ibu dirumah. Jadi Rei keasyikan makan deh..” aku heran. Bagaimana bisa dia menjawab semua itu dengan senyum yang selalu terpasang. Umi agaknya langsung jatuh cinta dengan kepribadian Rei.

    “Bukan tante Rei.. panggil Umi aja ya.. Teman Alfi berarti anak Umi juga..” tuh kan benar. Umi udah terpikat sama senyumnya si Rei..

    “Umi sama Abi kok udah pulang?” tanya Alfi. Dia menatapku penuh selidik. Aku membuang pandang sedikit terusik. Alfi selalu tahu segala gerak gerik.

    “Oh itu, Umi.. ga enak badan. Iya, ga enak badan. Makanya minta Abi jemput. Biar pulang cepat” Alfi menatap Umi, menerawang. Umi gelisah menengok Abi minta pertolongan.

    “Oh iya.. kamu kok ga kenalin teman kamu Fi” Abi mengalihkan pembicaraan.

    Alfi masih menatap kami (Umi dan Abi juga aku), Rei makan dengan kikuk sekarang, setengah malu-malu, lalu Alfi menjawab, “ini Rei. Teman Alfi..” Rei menggeleng-geleng kaya orang celeng. Kami terheran.

    “Bukan teman Fi.. Sahabat..” Ralat Rei. kami bernafas lega.

    “Rei..”

    “Fi.. mulai sekarang kita sahabat..” Senyumnya menegaskan maksud Rei. Alfi menimbang dan sedetik kemudian mengangguk. Aku senang. Umi dan Abi juga begitu..

    “Rei manis sekali yah.. senyum kamu itu mirip sekali dengan..” Alfi mendelik. Umi tersadar.
    “Oiya, Sekarang waktunya pencuci mulut. Rei, kamu ikut Umi yuk..” Segera saja Rei sudah diseret-seret Umi.

    Umi memang seperti itu. Jika sudah suka dengan seseorang dia akan menganggap orang itu bagian dari keluarga. Abi pun hanya tersenyum melihat tingkah Umi. Banyak yang bilang Alfi mirip sekali dengan Abi dan aku mengambil sifat Umi.

    TAADDDAAAAA..

    “Strawberry cheesecake sama blue velvet.. Siapa yang mau..?” Umi langsung menawarkan kue yang terlihat menggiurkan itu. Umi dan Aku suka segala yang manis-manis. Tidak demikian dengan Alfi dan Abi. Mereka tidak begitu menyukai kue-kue.

    “Rei.. kamu mau yang mana? Kalo Alfi mah ga usah. Dia ga suka makanan manis” Tawar Umi.

    “Hmm.. yang ini.. Ehh yang itu.. aduuuhh.. susah.. yang mana ya.. dua-duanya keliatan enak. Kalo dua-duanya boleh tante.. eh Umi..?”

    “Boleh dong sayang. Kamu cobain yang blue velvet deh.. yummy banget yang itu..” rekomendasi Umi. Rei berbinar. Alfi dan Abi duduk sambil lekat memandang. Dan aku sudah siap dengan piring dan garpu ditangan.

    “Umi pilih kasih nih.. mentang-mentang ayang Rei manis, Ali ga ditawarin..” kataku manja sambil mengedip pada Rei. Dengan Umi aku selalu begitu. Selalu bermanja-manja. Alfi melotot lagi melihat tingkahku. Senangnya bisa membuat dia sewot begitu. Abi hanya geleng-geleng dengan kelakuanku.

    “Umi ga lupa kok sayang..” sambil mengelus pipiku dengan tangannya yang bebas. “sini piringnya”

    “Nah ini buat Rei. Ini buat Ali.. kalo yang ini untuk Alfi sama Abi.. Dimakan. Habisin” perintah Umi galak ke arah Abi dan Alfi.

    Rei mulai makan mencicipi blue velvetnya. Tuh kaaannn.. cara makan Rei itu manis banget.. minta dicium deh si Rei.. Sekarang coba kalian bayangkan, anak SMU makan kue dengan riang gembira. Senyum terhias kedua tangan dikedua sisi wajah dan kepala menggeram gemas sambil menggeleng kepala, mata berbinar terus dia berkata “Enaaaaakkkkk..” dengan wajah imut polosnya juga senyum yang membuat gemas. Tidakkah itu lucu, imut dan manis?

    Ketika tersadar dia mengucap kata enak itu terlalu keras dia malu. Dia tersipu melihat kami yang terdiam membeku menatap caranya memakan kue itu.

    “Iiiihhh.. Rei imut bangeettt.. kamu maniiss dehh.. Bi ini positif. Rei jadi anak kita sekarang” kata Umi sambil mencubit-cubit pipi Rei. Alfi menaikkan alisnya. Abi geleng-geleng. Aku tersadar. Aku sekarang tahu dari mana kelakuanku berasal.

    Rei hanya nyengir saja sambil tetap mengunyah kuenya. Doyan makan juga si Rei ternyata. Mulutnya tidak berhenti mengunyah.

    Setelah selesai makan kami bercengkrama di ruang keluarga. Dalam diam hanya Umi yang sibuk bertanya-tanya dengan Rei dan tanpa henti mengacak rambut atau mencubit pipi Rei. Sebelum pulang, Alfi meminta Rei memainkan lagu yang entah apa judulnya, tapi aku pernah mendengar Alfi memainkannya dulu. Ada kata-kata Puppy kalau tidak salah. Setelah selesai, Rei pamit dan Alfi mohon ijin pada Umi dan Abi untuk mengantarnya.

    “Li.. kamu udah bilang sama Rei tentang Tom?” Umi langsung menembakku dengan pertanyaan. Umi mulai serius. Abi menyimak khusyuk.

    Aku mengangguk, “udah Mi.. Ali udah cerita sama Rei tentang Tom. Tapi ga semua. Cuma tentang Tom yang dulu teman akrab Alfi. Kalo soal masa-masa gelapnya Alfi belom Mi..”

    “Bagus. Lebih baik begitu. Tapi.. kalian merasa ga kalo si Rei itu mirip banget sama Tom?” Aku terdiam. Abi berpandang-pandangan dengan Umi.

    “Beda ah Mi.. mungkin senyumnya sama kehangatannya aja yang mirip” jawabku. Umi dan Abi mengangguk.

    “Iya. Mungkin. Tapi Umi cuma ga mau kalo Alfi terluka lagi kayak dulu..” Umi meraih telapak tangan Abi dan meremasnya. Umi sedih, Abi menguatkan.

    “Sstt.. udah Umi ga usah khawatir. Ali yakin kok kalo Rei itu anak baik dan dari keluarga baik-baik. Umi juga udah liat kan Rei itu kayak gimana. Oke, mungkin sedikit banyak dia mirip sama Tom. Tapi Ali yakin Mi, Bi, kalo Rei bisa bikin Alfi senyum lagi kayak dulu..”

    Umi menatapku penuh harap. Aku mengangguk menguatkan harapannya. Abi meremas pundak Umi.

    “Umi.. percaya aja sama kata-katanya Ali. Abi juga percaya sama Rei. Dia ceria, tulus dan hangat. Lagipula Alfi udah gede Mi.. Udah bisa menata hidupnya. Kita amati dari belakang layar aja ya.. Kan ada Ali yang selalu jaga Alfi” itu kata-kata Abi. Seperti Alfi, Abi hanya berkata jika memang ada yang ingin dikatakannya. Jarang sekali Abi banyak berbicara.

    Umi mengangguk. Sudah sedikit lega sekarang. Begitu pun aku. Mudah-mudahan saja harapan yang kutaruh pada senyum Rei yang teduh tidak salah. Semoga semua penilaianku padanya benar adanya. Dan masa-masa terggelap Alfi tidak kembali datang menyapa. Semoga saja..

    **

    CUUUUUUTTTTTT....

    PoV Ali selesai sampai disini.
    Maaf kalo ada typo. ini juga baru selesai ngetik yang sempet tertunda tadi karena ngantuk. jadi no editan.
    Mohon saran dan kritik.

    Dan untuk SR.. C'mon guys.. let me know klo mau d mention. ku tunggu lho komen kalian sebenarnya..^^

    So, Happy Reading guys..^^
  • bagusssss.....aku jd suka rei lewat kacamata ali. caramu gambarin tingkah gemas n kagumnya ali ke rei itu terlihat normal. aku suka... aku suka.. aku suka
  • *silent reader yg masih bertanya tanya,ada apa dengan Tom
  • @topeng_kaca hatur nuhun.. wah pp_nya maya sama pak masumi tuh.. jd kangen masa2 baca komik itu.. :D

    @pujakusuma_rudi finally.. welcome my dear SR.. kecup hangat dulu buat kamu. d tgu y part Tom-nya.. thx akhirnya muncul jg..
  • Aduh rei. Imut bnget sih. Pengen cubit deh kyak kak ali. :3
    masa kelam ny blum d buka ya kak? Can't wait!
  • Aduh rei. Imut bnget sih. Pengen cubit deh kyak kak ali. :3
    masa kelam ny blum d buka ya kak? Can't wait!
  • bang @Fuumareicchi fb.a gag bisa d.add
  • @Zazu_faghag‌ masa kelam mgkn tugu pov Alfi kali y Zazu.. which is stlh pov Ali ini..
    so, d tgu aja y.. :D
  • kuaaa pagi pagi dah di bangunin ada apa rei, ich reicchi makin cute and sweeet deh kamu ekekekeke
  • syukurlah alfi sudah bisa mengeluarkan beberapa ekspresi wajahnya dan mulai gk irit bicaranya,,thx ya dah dimention.

    ditunggu part selnjutnya...ganbate
  • hmmm makin suka^^

    kangen pov-nya Rei^^

    ntar di POV-nya Rei diulang lagi kah percakapannya sama Ali n umi? hmmm kalo baca percakapan yg diulang biasanya aku skip^^ hihi

    lagihhhhhhhh><
Sign In or Register to comment.