BoyzForum! BoyzForum! - forum gay Indonesia www.boyzforum.com

Howdy, Stranger!

It looks like you're new here. If you want to get involved, click one of these buttons!

Selamat datang di situs Boyzforum yang diarsipkan oleh Queer Indonesia Archive. Forum untuk komunitas gay Indonesia yang populer ini didirikan pada tahun 2003, dan ditutup pada tanggal 15 Desember 2020.

Forum ini diabadikan untuk kepentingan sejarah. Tidak akan ada konten baru di forum ini. Silakan menikmati forum ini sebagai potongan dari sejarah queer Indonesia.

ALFI HASSAN ALATAS (SENYUM YANG HILANG) - UPDATE HAL.126

14849515354133

Comments

  • moga aja cpet diposting.. gw nungguinny ampe lumutan...
    kangen si rei rei rei ... :D :D
  • Kecup basah untuk readers tercinta..

    ************


    CHAPTER 8
    MEET ‘EBONY’


    Ketika aku masuk sekolah esok harinya aku tak menyangka dengan sambutan luar biasa yang kuterima. Baru saja melangkahkan kaki masuk gerbang sekolah, semua mata menatapku resah. Pandangan tajam, kejam, kelam, menghujamku dalam detik-detik abadi menuju kelasku. Ada apa? Apa yang salah denganku? Apa rambutku berantakan? Ada nodakah diwajahku? Atau jangan-jangan retsleting celanaku terbuka?

    Tapi tidak, semua yang kupikirkan tidak terjadi. Rambutku tertata rapih, Wajahku pun bersih tanpa noda (ngaca di spion mobil), retsleting celanaku juga aman terkendali. Lalu apa? Apa yang salah? Mengapa mereka semua memandangku sedemikian rupa?

    “Rei..!!” Suara itu.. suara Robby. Tumben..

    Aku masih berjalan sambil melirik kanan kiri mencari asal suara itu. Aah itu disana. Diparkiran motor dia berada. Kemana mobilnya? Walau harus kuakui motornya itu keren adanya. Honda CBR 250 kalau tidak salah. Warna merah menyala. Sepertinya itu hasil modifikasi. Karena warna merahnya benar-benar menyala. Kereeenn. Motornya, bukan Robby-nya.

    Aku tersenyum padanya. Agak aneh. Kemarin aku masih tidak begitu menyukainya. Tidak.. tidak.. bukan tidak menyukai, hanya sedikit tidak menaruh hormat akan sikapnya. Dan dialah yang jelas tidak menyukaiku. Lebam dibibirku kemarin buktinya. Aku merasa pandangan-pandangan yang kuterima semakin menunjukkan aura tidak suka. Kenapa?

    “Rei, baru sampe?” aku mengangguk. Ya iyalah. Ga liat apa..

    “Yuk bareng ke kelas” ajaknya. Ini ada apa sih. kita beda kelas gitu. Robby kan eh kak Robby kan kelas XI.. bedalah kelasnya sama kelas X-ku..

    “Kan beda kak..” Robby tersenyum mendengar jawabanku.

    “Gapapa. Biar aman terkendali” wait.. wait.. ada yang aneh. Kemana elo gue yang biasa dia pakai? Jangan bilang dia udah tobat dari dunia per-elo gue-an? Itu bukan Robby banget kayaknya. Trus apa-apaan itu aman terkendali?

    Aku hanya mengedikkan bahu. Terserahlah. Toh itu hak dia kan ingin berjalan bersamaku. Pandangan-pandangan mata itu masih terasa. Masih menusuk dan terasa busuk. Jelas sekali ada rasa tidak suka disana. Robby mengedarkan pandangan. Seperti Alfi dulu, sapuan pandangan Robby menyingkirkan aura-aura negatif itu. Hmm.. boleh juga dia. Ternyata dia juga memiliki kharisma yang tak kalah dari Alfi atau kak Farel.

    Aku telah sampai di kelas dengan selamat.

    “Aku duluan ya kak..” Pamitku pada Robby. Sambil tersenyum, diacak-acaknya rambutku.

    Ketika masuk kelas Alfi menatapku. Aku tersenyum padanya. Tatapannya penuh tanda tanya. Ada apa? Kenapa hari ini banyak sekali pandangan mata tak ramah yang tertuju padaku. Apa salah dan dosaku? Itu pun jika ada..

    Walau pandangan Alfi bukannya tidak ramah. Tapi penuh tanda tanya. Seolah meminta penjelasan. Tapi aku bingung apa.. apa yang harus kujelaskan?

    “Robby..?” nadanya jelas bertanya ketika aku duduk disampingnya.

    Okee.. Jadi Alfi heran kenapa aku bisa sama Robby. Aku sendiri bingung dengan perubahan Robby tadi. Apa mungkin karena pembicaraan tentang Tom kemarin? Haruskah kuceritakan pada Alfi?

    “Rei.. stop thinking. Cerita aja..” ternyata benar dia bisa membaca diriku. Dari bagian mana dia tahu? Apa bibirku tersungging? Atau pupil mataku mengecil? Mungkinkah dari alis mataku yang naik turun? Aku bingung. Dari mana Alfi bisa memperoleh teori-teori itu. Membuatku seperti telanjang. Terlalu mudah dibaca.

    “Istirahat aja ya Fi? Bentar lagi bel..” Alfi mengangguk.

    **

    Dentingan no.7 sampai 12 dari 24 prelude karya Chopin mengalun tersendat dari permainan piano yang kumainkan. Bagian ini memang baru kupelajari. Alfi yang memberikan score booknya untukku berlatih.

    24 prelude karya Chopin ini dibuat berturut-turut. Memainkan satu persatu bagian prelude ini tidak terlalu sulit. Yang menjadi kendala adalah menyatukan satu persatu bagian itu menjadi satu kesatuan sehingga tercipta cantabile juga harmonisasi yang bisa menggambarkan drama lirih sekaligus rapuh yang terkandung di dalamnya.

    Aku telah bercerita kepada Alfi tentang perubahan sikap kak Robby padaku. Alfi hanya mendengarkan ceritaku tanpa sedikit pun berkomentar. Namun ketika sampai pada bagian dimana aku cerita tentang Robby yang kelepasan menyebut nama Tom, Alfi bereaksi. Aku memang tidak bisa membaca Facial Action seperti Alfi, tapi aku tahu ekspresi itu. Alfi terlihat kaget mendengar nama Tom disebut. Kenalkah dia? Kalau begitu siapa Tom? Kenapa seorang Robby sampai berubah sikap seperti itu? Apakah Alfi tahu? Mungkinkah karena Tom, Robby dan Alfi berseteru?

    Aku pusing, berimbas pada prelude-ku yang sedikit kacau. Nada-nadanya lepas, tidak tepat. Aku sedang pusing berat. Sikap Robby yang aneh dan Alfi yang dingin. Aku jadi berpikir sepertinya memang ada hubungannya dengan nama Tom ini. Haruskah aku mencari tahu? Tapi aku tidak ingin mengungkit luka lama yang telah berlalu.

    “Fi..” Alfi menatapku. Dalam tatapan itu nyaliku hilang. Niatku bertanya tentang Tom lenyap seketika.

    “Kemarin di UKS aku dengar kak Robby menyetel Piano concerto.. tapi aku ga tahu yang main siapa. Piano concertonya enak banget. Aku jadi pengen bisa mainin..” Aku alihkan dari niatku semula.

    Alfi terlihat berpikir. “Mungkin itu Piano concerto chopin. Antara no.1 dan no.2”

    “Kenapa cuma antara dua itu Fi? Dan kenapa Chopin?”

    “Karena itu Robby. Pastilah itu Chopin. Juga karena Chopin cuma buat 2 (dua) karya piano concerto yang no.1 dan no.2 itu”

    Nah ini Alfi juga mulai aneh. Dia jarang sekali berkata panjang lebar walaupun denganku, temannya. Tapi sekarang, disini, dia menjawab lumayan panjang. Biasanya dia akan berkata panjang lebar jika perlu saja. Pertanyaanku kurasa tidak sepenting itu. Kuanggap itu sebagai basa basi, namun ternyata pertanyaanku memiliki arti lain untuk seorang Alfi.

    Adakah hubungannya dengan Piano concerto itu. Robby pun begitu. Dia bilang hanya piano concerto Chopin itu yang dia suka. Tak ada yang lainnya. Mungkinkah Alfi juga begitu? Lagi-lagi pikiranku tertuju pada satu nama.. Tom. Iya, Tom.

    ***

    Aku sedang menuju rumah Alfi sekarang. Tadi ketika sekolah usai Alfi mengajakku bermain ke rumahnya.

    *

    “Rei langsung pulang?” Aku mengangguk.

    “Sibuk?” Aku menggeleng.

    “Main ke rumahku, mau?” Ajaknya. Aku mengangguk dengan cepat. Terlalu cepat. Seolah sangat menginginkan ajakan itu sejak lama. Walau memang benar adanya.

    Dia mengangguk. “Yuk” Ajaknya. Astaga.. Kenapa posisi kami terbalik sekarang? Alfi yang banyak bicara dan aku yang tidak berkata-kata. Ini mulai terasa aneh kurasa.

    *

    Dan disinilah aku. Di dalam mobilnya. Alfi berkata ingin memperkenalkanku dengan ‘ebony’. Siapa itu ‘ebony’? Aku pun tak tahu. Tapi rasa ingin tahukulah yang membawaku duduk manis di mobil Alfi sekarang.

    Mobil Alfi masuk menuju kawasan perumahan mewah. Semua rumah yang ada disini luar biasa besar dan megah. Mobil Alfi berhenti disalah satu rumah bergaya Victoria yang WAH. Atau mungkin lebih tepat dibilang WOW.

    Rumah itu besar, luar biasa besar. Dengar pilar-pilar tinggi yang menjulang. Terkesan angkuh namun bersahaja. Rumah itu bercat putih dengan sedikit aksen abu-abu yang tidak terlalu pekat. Manis, padanan yang dinamis dan terkesan artistik. Aku hanya bisa terpana ketika melangkahkan kaki keluar dari mobil dan terus saja berdiri disana dengan pintu mobil yang masih kupegang. Aku terperangah.

    Disamping kiriku, kulihat garasi mobil yang sebesar rumahku. Astaga, bahkan sepertinya rumahku muat masuk ke dalam situ. Ada satu mobil digarasi dan motor yang seperti milik Robby tadi, hanya beda merk pasti. Aku melihat ada tulisan huruf B, juga M dan W sepertinya. Motor itu berwarna silver. Ada dorongan kecil dihatiku ingin bisa menaiki motor itu.

    Halaman rumah Alfi luas dengan taman kecil yang asri dan pohon-pohon yang rindang. Dan ada ring basket diletakkan dibagian samping halaman yang lumayan lebar. Jadi terlihat seperti lapangan mini basket. Pantas saja Alfi hebat. Disinikah dia sering berlatih?

    “Rei.. Ayo masuk..” Lamunanku buyar. Aku tersadar.

    Kuikuti Alfi yang sudah menungguku di depan pintu rumahnya. Astaga. Pintunya saja terlihat mempesona. Dengan ukiran yang terbuat dari kayu yang terlihat kokoh (mungkin kayu jati pikirku) dan pegangan pintu berwarna platina yang mulus tanpa cela. Ini masih di Indonesia? Aku tak percaya..

    Alfi menyentuh lenganku. Aku tersadar dan malu. Aku tersipu. Sentuhan itu masih terasa hangat seperti dulu. dengan sentuhan itu dia mengajakku. Mengajakku masuk tentu. Segera, aku merutuki kebodohan dan tingkah kampunganku. Tapi ini bukan salahku. Aku sudah pernah melihat rumah mewah tentu, tapi rumah Alfi ini luar biasa mewah dari segi desain dan arsitekturnya. Entah dengan interior dalamnya, aku tak sabar ingin melihatnya.

    Alfi membukakan pintu dan melebarkannya. Mataku pun segera terpana (lagi) dan jelalatan tak tentu arah. Kusapu seluruh ruangan yang terlihat dengan masih diam di depan pintu. Alfi berdeham dan aku tersipu. Udiknya aku.

    Interior rumah Alfi mempesona. Jika dari luar rumah ini terkesan angkuh, namun di dalamnya tidaklah begiitu. Rumah ini luas dan banyak space yang nyaman. Tidak terlalu menumpuk dan tertata sesuai porsi dan fungsi. Paduan minimalis dan ergonomis juga naturalis terlihat ramah dan memberi kesan damai. Rumah ini seperti Alfi. Dingin di luar tapi hangat di dalam. Sepertinya aku bisa menilai bagaimana keluarga ini. kemungkinan mereka sama hangat dengan Alfi.

    Bunyi gemericik air terdengar sekilas. Tapi aku tidak tahu dari mana asal suara itu. Ruang tamu ini luas. Dengan sofa yang terlihat nyaman dan meja yang ditata apik. Alfi terus melangkah ke dalam. Ruang tamu kutinggalkan. Ini Ruang keluarga kata Alfi. Ruang ini nyaman tapi seperti sudah lama tidak ada kegiatan disini. Ada karpet berbulu halus disana. Oh iya. Aku lupa menyebut tadi aku langsung melepas sepatuku sebelum Alfi membuka pintu. Alfi bilang tidak usah, tapi aku bersikeras. Dan dia menyerah. Kutaruh sepatuku di pintu depan tadi.

    Aku senang aku buka sepatu tadi. Jadi aku bisa merasakan dinginnya lantai marmer di ruang tamu tadi dan liatnya lantai kayu diruang keluarga ini. seperti kubilang tadi. Ada unsur naturalis dalam rumah Alfi. Karena itu lantai ini menggunakan kayu yang kini kurasa nyaman dikaki. Entah mengapa aku merasa nyaman disini. Kulayangkan pandang mengelilingi ruang. Kulihat Alfi telah berdiri bersisian dengan piano hitam pekat yang berkilau. Aku terpukau.

    Kudekati Alfi. Dan dia terlihat menaruh tangan diatas piano itu penuh haru, penuh rindu. Seolah sudah lama sekali tidak bertemu. Tampang menjadi sendu.

    “Rei.. kenalkan.. ini adalah ‘Ebony’ pianoku..” kata Alfi sambil mengelus penuh rindu pada piano yang bernama ‘ebony’ tadi.

    Aku hanya bisa terdiam. Aku tidak menyangka kalau Alfi begitu.. begituu tidak tertebak. Bagaimana bisa, sosok sedingin es itu menamakan pianonya? Itu.. itu.. terlaluuu.. ‘manis’.. Bukankah itu manis? Hanya seseorang berhati lembut yang menamakan barang kesayangannya bukan? Aku yakin Ebony ini piano kesayangan Alfi.

    “Halo Ebony.. aku Rei sahabat Alfi. Salam kenal. Mohon bimbingannya” kata-kata itu meluncur keluar dengan sendirinya dari bibirku.. Sambil kuelus piano itu seperti Alfi mengelusnya. Ebony mulus. Aku suka menyentuhnya. Kuedarkan elusanku sekeliling Ebony. Aku merasa hangat, aku merasa nyaman. Seolah ada perasaan rindu ingin segera memainkannya.

    “Fi.. aku boleh..” Alfi mengangguk dengan segera..

    “Tentu Rei. Kamu boleh main sama Ebony..”

    “Bukan Fi.. bukan itu.. Justru aku mau kamu mainin satu lagu buat aku..” Alfi terdiam. Auranya segera saja suram. Ada apa? Terlalu beratkah permintaanku? Aku menjadi tidak tega. Merasa bersalah.

    “Kalo ga bisa gapapa kok Fi.. Aku aja deh yang main ya..?” Kualihkan permintaanku. Aku tidak ingin melihat tampang sendunya itu. Hatiku seolah tidak rela Alfi begitu.

    Alfi menggeleng. “Gapapa. Kalo buat Rei.. Aku bisa” kata terakhirnya itu sepertinya ditujukan lebih kepada dirinya sendiri. Seakan ingin menguatkan tekadnya.

    Segera saja Alfi duduk di depan Ebony. Dilemaskannya jari jemarinya. Dipejamkannya matanya. Alfi mengatur pernafasannya. Jari jemarinya sudah siap. Jarinya menelusuri tuts piano penuh syahdu. Kemudian jari itu berhenti dan mulai bersiap memegang kendali. Permainan itu pun dimulai.

    Denting pertama terdengar kaku dan menghentak tegas. Segera saja atmosfer ruangan ini berubah dingin, beku sejadi-jadinya. Nada permainan ini dingin. Denting yang mengalun pun terdengar penuh dendam sekaligus rindu menggebu. Passage yang menggelora ini, melodi yang terdengar meratapi sesuatu ini.

    Meskipun begitu, tetap saja.. setiap aku mendengar permainan piano Alfi ada segumpal perasaan rindu yang menggebu. Ada hasrat ingin larut dalam permainannya itu. Aku merasa ada setangkup asa yang disematkan Alfi dalam setiap denting nada yang mengalun indah. Tapi apa?

    Permainan Alfi berlanjut. Ini polonaise kan? Alfi memang hebat. Polonaise yang biasanya terdengar datar bisa dimainkannya dengan penuh perasaan dan semangat seperti ini. Nada terakhir sepertinya berganti cepat. Atmosfer yang terasa pun kini menghangat. Ini.. perasaan bersahabat. Permainan ini.. benar.. ini permainan sebelum permainan bersejarah itu dulu. Permainan piano yang terasa indah dan membuat yang mendengar merasa bahagia.

    Seandainya cuaca bisa berubah hanya dengan sebuah nada. Dan perasaan bisa beralih secepat nada berganti. Maka kesedihan yang sempat mendera dapat segera berganti hangatnya hati penuh cinta. Penuh rasa. Penuh asa. Permainan piano Alfi sungguh indah..

    Astaga. Bukankah ini.. Benarkah ini.. Iya, memang inilah denting suara piano yang kurindu dulu. Mungkinkah Alfi orang yang dulu memainkan permainan yang bersejarah buatku itu?

    Segera saja denting terakhir menggema. Menyisakan rindu berat didada. Hebat.. itu permainan yang luar biasa. Tanpa sadar aku tepuk tangan bersemangat.

    Prookk Prookk Prookkk..

    Hanya saja bukan aku saja yang melakukan itu. Tepuk tangan pun terdengar dari arah dapur. Dari arah kiri Alfi. Tampak seseorang yang berbadan tinggi tegap. Kulit putih. Bermata tajam namun terlihat jenaka. Sepertinya ramah. Seseorang itu mendekat. Kontur mukanya dan bentuk rahangnya mirip sekali dengan Alfi. Mungkin itu kakaknya.

    “Fi.. Kamu..”

    “Kak kenalin ini temanku..” dengan cepat Alfi memotong kata-kata kakaknya.

    Aku segera berdiri dan menampakkan diri. Sepertinya kakak Alfi ini tidak melihat aku duduk disebelah kanan Alfi tadi. Sekecil itukah diriku hingga tertutup tubuh Alfi? Hufth..

    Aku tersenyum dan mengulurkan tangan pada kakaknya itu. Kakaknya menatapku heran.

    “Kamu..” kakaknya Alfi menatap Alfi. “Itu Rei kak” kakaknya mengangguk. Tampak masih terheran. Ada apa?

    “Rei ini kak Ali”

    “Rei..”

    “Ali..”

    Kami pun berjabat tangan dan masih dengan senyum termanisku kukenalkan diriku. Kak Ali makin terperangah melihatku. Alfi berdeham. Kak Ali tersadar. Dan segera melepas jabatan tangan kami.

    “Welcome Rei. Udah makan blom? Makan dulu yuk. Fi kamu ajak Rei makan yah. Kak Ali mau ke atas dulu” Alfi mengangguk.

    “Rei ayo makan..” Alfi mengajakku ke ruang makan.

    Ternyata bunyi gemericik air tadi adalah suara air terjun buatan yang berada di halaman belakang yang terletak dekat dengan dapur. Ada kolam ikan kecil di sana dengan bonsai-bonsai rumit yang tertata apik juga tanaman lainnya yang menaungi kolam itu. Indah. Aku suka.

    “Bi imaass..” Alfi memanggil seseorang. Mungkin pembantunya.

    Segera saja muncul perempuan paruh baya yang terlihat bersahaja tergopoh-gopoh menghampiri kami. Aku tidak tega.

    “Siapin makanan ya Bi.. Aku sama Rei mau makan siang..” Bi imas mengangguk.

    “Eehhh.. si Aden tumben-tumbenan bawa temen ke rumah.. Terakhir itu..” Alfi memelototinya dengan tatapan menusuk.

    “Okeh.. Okeh.. Ampun boss. Udah siap kok den.. Sebentar bibi keluarin dari lemari makan. Apa mau dihangatin dulu?” Bi imas bertanya. Alfi mengangguk.

    Bi imas segera menuju lemari makan yang dia sebut tadi dan mulai mengeluarkan beberapa piring berisi makanan yang telah siap sedia. Aku tidak tega. Aku ingat ibuku dirumah. Karena itu kuhampiri bi Imas dan berniat membantunya.

    “Bi.. Rei bantu ya.. Kasian si bibi kayaknya capek. Tadi lagi ngapain emang Bibi sampe lari-larian gitu..? Kataku mencoba sok akrab dengan Bi Imas.

    “Ulah atuh den kasep.. biar si bibi aja.. si bibi mah biasa atuh.. Tadi bibi teh lagi nyetrika, makanya lari-larian. Habis den Alfi teh tumben-tumbenan manggil bibi buat makan siang. Biasana mah teu pernah lagi.. sejaakk..”

    “Bi Imas..” Potong Alfi tegas.

    “Ehh.. Iya Den. Puntennya’..” Aku makin tidak enak. Aku terbiasa menghormati orang yang lebih tua.

    Tapi tadi sikap Alfi aneh. Pertama dia memelototi Bi Imas. Lalu yang kedua, dia memotong kata-kata Bi Imas. Ada apa? Apa yang sebenarnya ingin dikatakan oleh Bi Imas?

    “Udah Bi, tinggal aja. Biar Rei yang hangatin makanannya. Bibi nyetrika lagi ajah..” Bi Imas melirik Alfi sekilas. Aku menatap Alfi tegas. Dan dia pun menganggukkan kepalanya ke arah Bi Imas.

    “Hatur nuhun nya’ den kasep. Da kasep da bager.. Bibi Lope yu dah..” Bi Imas memonyongkan bibirnya. Aku tertawa. Alfi menatap datar seperti biasa.

    Tiba-tiba “Lho Fi.. Itu kok temen kamu yang masak. Bi Imas mana? Ish si bibi nih kebiasaan. Pasti lagi nonton sinetron deh dia.. Biii.. Bii Imaass..” Suara kak Ali mengagetkanku yang tengah asyik memanaskan lauk pauk ini.

    Aku memotong, “Kak.. ga pa pa. Lagian tadi Rei yang minta bibi nerusin nyetrikanya. Ini juga cuma ngangetin doang kok kak..” kak Ali Manggut-manggut.

    “Iiihh.. kamu manis banget sih Rei..” Dicubitnya pipiku. Dielusnya pipiku. Alfi melotot melihat kelakuan kakaknya. “Udah manis, cakep, baik lagi. Kamu bisa masak?”

    “Sedikit-sedikit kak..”

    “Aaaahhh.. kalo gitu kita nikah yuk.. Kamu jadi istriku..” HAH? APAAN?

    Dengan tampang tidak berdosa kak Ali mengatakan itu sambil memeluk tubuhku dari belakang.

    “Aaawww.. Sakiiittt.. kenapa kamu nginjek kaki kakak, Fi?” Alfi memasang wajah datar dan pandangan tajam.

    “Lagi juga kamu Fi. Malah ngebiarin temennya masak gini..” Diacak-acaknya rambut Alfi.

    Alfi berontak. “Cerewet. Si Rei yang mau..” Balas Alfi datar.

    “Tapi Fi..” Alfi menatap kak Ali tajam, mematikan. “Ampun Fi.. Ampun.. Ya udah, kamu ganti baju dulu baru makan. Rei mau ganti baju juga, yuk kakak gantiin di kamar?” Tawar kak Ali. Aku menggeleng. Alfi beranjak dan menginjak.
    Aaaawww.. kak Ali tertunduk lesu..
    Lagi, kak Ali mengaduh kesakitan. Kakinya sukses diinjak Alfi untuk kedua kali. Aku hanya tersenyum-senyum melihat kelakuan dua kakak beradik ini.

    “Rei, aku ganti baju dulu ya..” aku mengangguk. Alfi segera berlalu menuju kamarnya.

    Makanan segera siap. Tinggal menunggu sebentar dan matikan api, lalu selesai.

    “Rei.. udah lama temenan sama Alfi?” tiba-tiba kak Ali bertanya seperti itu padaku.

    “Belum kak. Baru beberapa bulan. Dari sejak minggu-minggu pertama masuk sekolah” kak Ali mengangguk.

    “Reaksi pertama Alfi gimana?” Hmm.. kok jadi serius banget gini ya..

    Dan lalu aku ceritakan pertemuan pertamaku dan Alfi. Tentang permainan piano di ruang musik, juga usaha-usahaku mendekati Alfi. Semua aku ceritakan.

    Tiba-tiba kak Ali memegang tanganku “Rei, makasih ya kamu udah mau temenan sama Alfi. Karena sejak temen kecilnya ga tau kemana, Alfi nutup dirinya dari orang-orang disekitarnya”

    Oohh panteess.. Pantesan Alfi kesannya menghindar waktu pertama kami bertemu. Mungkinkah dia takut terluka ditinggal sahabat lagi? Sekarang aku sedikit memahami Alfi. Tapi aku penasaran siapa temannya Alfi?

    “Kak kalo boleh tahu, nama temannya Alfi siapa?” aku tak bisa menahan rasa penasaranku.

    “Tom. Iya Tom. Hutomo Putra Kertanegara itu nama lengkapnya” TOM?! Kok mirip sama nama yang disebut kak Robby. Jangan-jangan emang sama.. Haaaahhh.. Pusing.
  • @Zhar12‌ @boybrownis‌ tah eta tah.. silakeun di baca..^^
  • Ciee yg udah d bawa kerumah. Naik satu tingkatan dong ya.
  • @Zazu_faghag ciee ciee si Rei.. bikin zazu iri tuh Rei.. #TarikRei hehe.. *pagi zazu*
  • mention me, please
  • edited May 2014
    wah, tanpa diminta ternyata sdh di-mention duluan. love u, love the story
  • I lope lope deh ama ceritannya kak @fuumareicchi :* <3
  • bangun pagi2 lgsg dpet kecupan... ahayyy :D :D
  • @topeng_kaca pastilah d mention.. kn komik kesukaan kamu jg slh satu favoritku.. but thx eniweiy.. pujiannya.. #KecupHangat buat kamu..

    @dafaZartin thx lop lop nyah.. btw cerita km apa kbr? aku setia kok tgu kecupanmu..

    @boybrownis uhuuyy.. sekali lg klo gitu.. #kecupBasah muuaacchh.. :-*
  • Ceritaku kabar buruk !
  • @dafaZartin kok bisa? knp gitu?
  • @Fuumareicchi hmm, berarti dulu rumah rei sma alfi sebelahan ya?

    tp kok bsa ya alfi ga kenal sma rei?
  • eh ada kemungkinan yang tinggal dekat rumahnya rei dulu si-tom2 yaa-yang sering rei dengar suara dentingan pianonya-
    kayaknya tom2 masih hidup & tinggal diluar negri- tapi kok robby gak tahu kan aneh tuh, secara dia keluarganya---?!!
Sign In or Register to comment.