BoyzForum! BoyzForum! - forum gay Indonesia www.boyzforum.com

Howdy, Stranger!

It looks like you're new here. If you want to get involved, click one of these buttons!

Selamat datang di situs Boyzforum yang diarsipkan oleh Queer Indonesia Archive. Forum untuk komunitas gay Indonesia yang populer ini didirikan pada tahun 2003, dan ditutup pada tanggal 15 Desember 2020.

Forum ini diabadikan untuk kepentingan sejarah. Tidak akan ada konten baru di forum ini. Silakan menikmati forum ini sebagai potongan dari sejarah queer Indonesia.

Fog (Cerpen) *Tamat*

13567

Comments

  • edited March 2014
    Fog

    (Part 3 dan 4/6)

    ****-****

    T
    ubuhnya bersandar pada pagar halaman. Kedua matanya terpejam sementara kepalanya mendongak ke atas. Napasnya teratur. Tampak sangat damai sebelum beberapa kerutan muncul di dahinya. Di samping kanan dan kiri kami ada dua pohon sirsak yang sudah cukup besar. Aroma buahnya yang matang dapat kucium dengan jelas walaupun aku sedang berbaring di atas rumput jarum yang menggelitik dan menusuk kulit punggungku, menembus kaos tipis yang kupakai. Sinar matahari yang hangat membantuku mengusir dingin. Sepi dan menenteramkan lengkap dengan udara segar, suatu hal yang tidak mudah kudapatkan di Jakarta, di rumahku.

    “Terlalu banyak berharap, benar?”

    Aku membuka mata karena menyadari Danang berucap dengan penuh kekecewaan pada dirinya sendiri, mungkin setelah dia tahu kalau kakaknya tidak datang ke sini, membersihkan rumah atau melakukan apapun yang sudah terbayang dalam benaknya. Ini adalah kali pertama dia bicara semenjak kembali dari kegiatan memastikannya dan bertanya pada orang-orang.

    “Apa dia tidak memberimu sebuah petunjuk kecil?”

    Danang menggeleng lemah. “Dia gadis kecil yang manis. Tapi tidak menyebut apapun soal Mas Herman. Yang dia tahu hanya mendapat uang dari neneknya agar membersihkan rumah ini sebelum kita tiba.”

    Aku bangkit dan duduk bersila. “Mau cerita soal kakakmu itu? Biasanya dengan cerita atau mengenang masa lalu di tempat yang sama, akan membuatmu semakin dekat dengannya. Memang dia tidak ada di sini, tapi pasti kamu akan merasa seolah-olah dia di sini. Lagi pula sebelum ini kamu sudah cerita beberapa hal, jadi kamu tidak perlu menyembunyikan apa-apa dariku lagi. Terlebih sekarang aku tahu namanya dan tahu kalau dia kakakmu. Tapi aku tidak memaksa, semua terserah padamu.”

    “Memangnya aku harus cerita apa?”

    “Terserah kamu, tapi yang menyenangkan saja. Jangan yang sedih-sedih karena pasti akan membuatmu tambah sedih. Aku takut saja nanti kamu jadi lebih tertekan dan tiba-tiba mengiris nadi di kamar mandi.”

    “Aku tidak punya teman bermain saat kecil,” katanya memulai. “Satu-satunya orang yang selalu menghabiskan waktu bersamaku untuk bermain adalah Mas Herman. Sehabis sekolah aku selalu minta ditemani jalan-jalan, kemana saja, ke sungai, ke bukit, atau ke danau. Jika aku kelelahan dan kami pulang sore, dia selalu menggendongku dengan sabar.”

    “Kamu bisa semanja itu?” Aku mengejeknya.

    “Aku hanya ingin bersenang-senang waktu itu! Karena itu sangat menyenangkan. Jadi, bukan karena aku manja,” protesnya tidak terima. Ekspresi kesalnya hanya berlangsung sebentar saat dia hendak melanjutkan ceritanya. “Setelah ayahku meninggal karena longsor, dan seluruh rumah hancur, Mas Herman adalah satu-satunya yang kumiliki. Dia orang yang hebat. Waktu itu dia masih kelas dua SMP, tapi harus berhenti sekolah dan mulai bekerja, menggantikan ayah. Semua pengorbanan yang dia lakukan hanya untukku. Agar aku bisa makan setiap hari, atau agar aku bisa terus sekolah, agar aku jadi orang pintar dan sukses. Tidak seperti dia.”

    “Tidak seperti dia?” selaku di tengah-tengah cerita. “Jadi maksudmu dia... tidak terlalu pintar dan tidak terlalu sukses?” imbuhku.

    “Tapi dia itu tetap hebat walau tidak pintar. Dia memang sering menemaniku belajar. Suatu hari aku kebingungan mengerjakan soal fisika tentang kecepatan dan gaya gravitasi bumi. Ada satu soal menghitung berapa waktu yang diperlukan sebuah mangga untuk menyentuh permukaan tanah saat jatuh. Dia hanya berkomentar seperti ‘mangga jatuh bukan untuk dihitung kecepatan atau berapa lama waktu untuk sampai tanah, tapi mangga jatuh itu untuk dipungut dan dimakan, dijual, atau dibuang kalau memang sudah busuk.’ Jadi, menurutku, dia itu tetap pintar dalam artian yang lain,” belanya mati-matian.

    Aku tidak bisa menahan diri untuk tidak tertawa. Sepertinya aku akan punya banyak bahan untuk melucu saat nanti ‘berduaan’ dengan Herman lagi. Dia benar-benar semakin seksi. “Ayo, Dan. Ceritakan yang lain. Yang banyak!” komentarku semangat.

    Sebenarnya, kalau Danang mau membaca novelku yang diterbitkan dua minggu lalu, semua sifat dan ciri-ciri yang disebutkan dalam novel itu atas nama tokoh Hendri, tidak akan jauh berbeda dengan kakaknya. Atau bisa kubilang persis. Menjadi tulang punggung keluarga di usia muda, walaupun itu hal umum yang ada di desa ini. Atau semua sifat yang lain, kecuali di bagian ‘putus sekolah saat kelas dua SMP’. Tapi, jangankan membaca isinya, sinopsisnya saja dia tidak mau lihat dan tidak mau tau. Jangankan menyentuh, meliriknya saja dia seakan alergi.

    “Aku tidak mau cerita apa-apa lagi kalau menurutmu hanya akan jadi guyonan.”

    Tawaku mereda dan senyumku menghilang seketika. “Jangan salah paham. Aku tertawa bukan karena kakakmu itu punya kejelekan atau... kekurangan. Dari ceritamu kupikir dia cukup unik.”

    “Unik yang aneh menurutmu?”

    “Bukan, tapi... ya... unik. Tahu maksudku, kan? Kenapa kamu selalu curiga padaku?”

    Lengannya kupegang erat saat dia mulai berdiri, membuatnya duduk kembali di depanku. “Ceritakan soal... pacarnya, atau... teman dekat yang ‘dekat’ barangkali? Ada? Atau kriteria orang yang disukainya.”

    Tangannya menepuk pipiku berkali-kali, seperti ingin mengejek atau semacamnya. “Kalau kamu mau mengincarnya untuk dijadikan mainan, langkahi dulu mayatku!” katanya tajam. “Dengar, aku bukannya ingin membuatmu kecewa, tapi Mas Herman itu tidak terlalu ganteng. Terakhir kuingat, dia itu gendut dengan perut buncit yang besar. Punya banyak tahi lalat di wajahnya. Lalu kulitnya hitam, bau dan jarang mandi. Kamu tidak akan suka. Lagipula siapa tahu sekarang dia sudah menikah,” jelasnya. Aku sudah tentu tahu kalau dia sedang berbohong. Tapi yang menarik perhatianku adalah, dia sama sekali tidak membahas masalah ‘gay’ dalam kalimatnya. Apa Danang tidak tahu? Atau belum tahu?

    “Aku mau memancing di telaga untuk makan malam, mau ikut?”


    ****
    Danang sudah menyiapkan semuanya di meja ruang tengah untuk merayakan ulang tahun kakaknya. Di tengah-tengah meja ada kue ulang tahun yang dibelinya di kota sehabis memancing sore tadi. Kue ukuran sedang dengan krim warna biru dan irisan jeruk kalengan yang mengelilingi tepinya. Di permukaan atas kue itu ada gambar dua kepala bocah laki-laki yang tersenyum. Di samping kue, ada nampan minuman besar berisi dua puluh delapan lilin yang masih menyala, di susun dalam susunan rapi melingkar. Cahayanya membuat bayanganku dan bayangan Herman terdiam damai di permukaan dinding di belakang kami sementara lampu ruangan telah kupadamkan. Selain itu ada ikan goreng, dua gelas air rebusan daun sirsak, dan beberapa buah ubi jalar ungu rebus. Menu-menu yang sama setiap tanggal 31 Juli, kecuali air rebusan sirsak.

    “Dia seharusnya tidak perlu melakukan ini,” bibir Herman sedikit bergetar. Mungkin dia memang akan selalu tersentuh dengan apa yang dilakukan adiknya, satu-satunya keluarga yang dia miliki. Sedangkan aku tidak akan pernah meragukan kasih sayang mereka di saat-saat seperti ini. Setidaknya Herman selalu menitipkan beberapa barang padaku untuk hadiah ulang tahun Danang setiap tanggal 20 Desember.

    “Menurutku ini memang kekanak-kanakan. Seperti sesajen. Dia menyiapkan semuanya karena berpikir kamu akan datang ke sini dan melihatnya. Atau meniup lilin-lilin itu. Tapi yang dia tahu hanyalah ‘aku yang menghabiskan semua makanan ini sendirian’. Aku dapat predikat rakus karena hal itu.”

    Aku menoleh ke arah pintu kamar. Setiap malam setelah Danang selesai menyiapkan perayaan kecil untuk kakaknya, dia akan langsung menuju kamar dan menenggak pil tidur. Katanya, kalau beruntung dia ingin bertemu dengan Herman di dalam mimpi lebih cepat dan lebih lama.

    “Iya, sangat kekanak-kanakan,” gumam Herman lirih.

    “Jadi...” aku mengusap kedua tanganku lalu menggenggam erat tangan kanan Herman. “Selamat ulang tahun yang ke dua delapan. Silakan ucapkan keinginanmu dan tiup lilinnya.”

    “Sebelum itu...” Dia menatapku dengan sedih. Cahaya remang dari lilin sepertinya membuat suasana di antara kami berdua jadi lebih melankolis, bukan romantis seperti yang kuharapkan. “Aku akan jelaskan semuanya. Kupikir kamu harus tahu jika setelah ini aku akan minta bantuanmu lagi”

    Nafas yang kukeluarkan berhasil mengusik nyala lilin, membuat beberapa di antaranya nyaris padam. “Jadi, apa ini tentang ‘mengakhiri semuanya’ seperti yang kamu bilang tadi pagi?”

    “Iya,” jawabnya lemah. “Menurutmu apa yang menyebabkan aku berbuat seperti ini? Selain yang kamu sebutkan tadi pagi.”

    Aku mengingat-ingat lagi obrolan konyol tentang tuduhanku pada Herman karena dia ingin Danang melupakannya. Membunuh kucing kesayangan Danang, menghamili pacar Danang, jelas dua alasan itu aku buat-buat. Hanya hal yang besar membuat seseorang berani mengambil langkah yang besar. Sempat terpikir dulu kalau Herman membunuh ayah Danang, tapi setelahnya aku tahu kalau ayah Danang meninggal karena longsor dan aku berimajinasi terlalu jauh.

    “Herman, apa kita sedang main tebak-tebakan?”

    “Kamu bisa menganggapnya seperti itu.”

    Aku bertopang dagu dan memandang Herman dengan teliti. “Pertama, kamu tidak sakit. Apa aku benar?”

    Herman mengangguk dengan ringan. “Apa perlu aku jelaskan? Kamu sudah curiga sejak awal, kan?”

    “Sebenarnya mungkin aku berpikir konyol lagi, tentang kenapa kamu melakukan semua ini. Tapi tadi siang aku sempat berpikir kalau alasanmu adalah karena kamu tidak ingin Danang tahu tentang keadaanmu yang sebenarnya. Kamu merasa takut kalau Danang mengutukmu, mungkin?”

    “Salah,” jawab Herman santai. “Dia tahu aku gay saat dia kelas satu SMA. Bukan saat-saat yang mudah dan butuh waktu yang lama. Tapi kami berhasil melaluinya.”

    Seperti lampu yang menyala tepat di depan mataku, semuanya jadi jelas seketika. “Pantas saja dia tidak marah atau apa saat tahu aku gay. Dan masih santai-santai saja saat aku menunjukkan ketertarikan padamu tadi siang.”

    “Dia sudah tahu?”

    “Iya. Dia menemukan majalah pornoku di laci kamar. Ditambah dia memergokiku saat aku berciuman dengan teman fitnesku di dalam kamar. Oke, kembali ke topik. Sebenarnya, berapa alasan yang kamu punya sehingga memilih berbohong dan mengarang sakitmu?”

    “Banyak,” jawabnya singkat.

    “Kalau begitu sebutkan.”

    Kali ini, mulutnya terkunci rapat. Tapi tangannya bergerak meraih sesuatu di dalam saku celananya. Dengan gerakan yang sangat lemas dan pelan, dia menaruh secarik kertas putih di tengah meja, di samping kue ulang tahunnya.

    Aku memandangi kertas itu dan memandang Herman bergantian. Butuh setidaknya beberapa detik agar aku sadar dan meraih kertas itu lalu membukanya dengan tidak sabar. Kertasnya cukup lusuh, dengan pinggiran yang sudah bewarna kecoklatan. Dari situ aku tahu bahwa kertas ini sudah lama Herman simpan.

    Isi kertas itu mirip surat. Terdiri dari tiga paragraf dan ditulis dengan tinta warna biru. Saat aku membaca paragraf pertama, jantungku mulai berdetak tak karuan. Sampai di paragraf kedua, tubuhku berekasi sama, lebih tidak tenang. Dan sampai pada paragraf terakhir, kepalaku menggeleng pelan seolah aku tidak percaya pada apa yang kubaca. Terlebih, saat membaca nama penulis dan penerima surat itu.

    “Herman, jangan bilang padaku kalau ini adalah benar-benar...”

    “Surat cinta yang ditulis Danang untukku saat dia kelas tiga SMA,” potongnya tanpa ragu.

    Suara tawa langsung keluar dari mulutku ketika melihat wajah serius Herman. “Kamu yakin kalau ini tulisan Danang?”

    “Aku sudah membandingkan tulisan itu dengan tulisannya yang lain beratus-ratus kali. Hasilnya sama.”

    “Lalu kamu sudah membahas ini dengan dia?”

    “Surat itu bukan menimbulkan banyak pertanyaan di kepalaku, tapi justru karena surat itu semuanya menjadi jelas. Semua sikapnya dulu padaku.”

    Aku mengangkat kedua tanganku di samping telinga kanan dan kiriku untuk menyelanya. Terlalu banyak yang kulewatkan. “Aku jelas tidak paham. Bisa jelaskan lagi?”

    “Saat dia kelas tiga SMA, dua tahun setelah dia tahu aku gay, aku merasa mulai ada yang salah dengan sikapnya. Tadinya dia anak rajin, pandai, berprestasi dan selalu bilang ingin jadi pengusaha sukses. Tapi suatu hari dia datang padaku dan bilang tidak mau melanjutkan kuliah. Rasa-rasanya saat itu seperti ada batu yang menghantam tubuhku dengan keras, jadi pada akhirnya aku dan dia bertengkar hebat. Aku tahu dia punya kesempatan besar jadi orang yang sukses. Tapi dia memilih untuk terjebak di sini dan membuat perjuangan dan harapanku sia-sia. Kamu tahu apa alasannya saat itu? Dia bilang ingin bersamaku saja. Menemaniku setiap hari. Dia sama sekali tidak tertarik dengan apapun yang penting dia tetap bersamaku. Dan dia benar-benar membuktikannya.”

    Aku menggerakkan tubuhku mendekat ke meja. Tubuhku menegang. “Apa yang dia buktikan?”

    “Setelah pulang sekolah, dia selalu membantuku mengolah ladang orang-orang, atau ikut ke pasar jadi kuli angkut sayuran, atau pergi ke sungai mengangkut pasir dan batu. Dia selalu kelihatan senang bersemangat, tapi aku justru merasa cemas. Di malam yang lain, dia terlihat sangat marah dan cemburu saat aku mengajak teman-temanku jalan-jalan di malam minggu. Sampai-sampai dia mengamuk di rumah saat aku pulang. Dia membanting banyak barang dan berteriak melarangku pergi dengan siapapun. Tidak hanya sekali, tapi beberapa kali dia berbuat seperti itu. Sampai pada akhirnya, aku menemukan surat itu dan semuanya jadi sangat jelas. Ketakutanku terjawab.”

    Spontan aku berdiri, berusaha merenggangkan tubuhku yang kaku. “Aku masih tidak percaya.”

    “Kenapa kamu terlihat kaget?” tanyanya datar.

    “Apa aku harus tidak kaget?” balasku.

    “Dulu, aku memang pantas kaget. Tapi sekarang aku heran kenapa kamu juga bisa kaget. Ingat novelmu? Dosen ekonomimu gay, mahasiswa baru yang kamu tabrak dan kertasnya berjatuhan juga gay, lalu kamu pergi ke kafe dan salah satu pelayan yang kamu temui juga gay. Apa lagi? Pegawai bengkel yang memperbaiki mobilmu, seorang pria di toko buku, petugas bank, satpam kampus, penjual bakso di kantin?”

    “Itu hanya novel fiksi, Herman!” desisku tajam. “Di dunia nyata, tidak semua pria tampan yang kutemui atau kutabrak secara tidak sengaja adalah seorang gay! Jadi jangan mengada-ada! Dan ini tentang Danang!”

    “Dulu aku juga berpikir seperti itu. Selalu berpikir, ‘ini tidak mungkin’, ‘Danang tidak seperti itu’, atau semacamnya. Tapi apa yang bisa kubilang kalau aku memang merasa seperti itu? Apalagi sudah jelas buktinya. Lagi pula kamu pernah bilang dia tidak tertarik pada wanita. Saat mendengarnya aku memang sangat cemas, tapi apa yang bisa kuperbuat?”

    “Lalu apa aku pernah bilang dia tertarik pada pria? Aku bersamanya lima tahun lebih.”

    Alisnya terangkat. “Semua pria?”

    Aku langsung mendesah jengkel. “Kecuali kamu, tentu saja,” jawabku lemah, seolah semuanya terasa mulai masuk akal. “Kupikir tadinya dia aseksual. Jadi aku tidak pernah berani membahas masalah pacar atau semacamnya. Aku berharap dia akan cerita padaku suatu saat nanti. Aku menaruh gay di kemungkinan terakhir karena kupikir dia hanya menyayangimu sebagai kakaknya, tidak lebih.”

    “Sekarang kamu mengerti alasanku, kan? Untuk itu, aku mulai berbohong. Agar dia mau meninggalkanku dan pergi ke Jakarta untuk kuliah sekaligus mencari uang tambahan untuk membeli obatku, juga agar dia mau melupakan perasaannya padaku setelah aku memutuskan menghilang dan membuatnya berhenti memboroskan uangnya untukku. Selain itu juga agar dia punya masa depan seperti orang-orang, agar dia tidak terjebak di sini selamanya bersamaku, agar aku bisa memenuhi janjiku pada ayahnya, agar aku melihat adik yang sangat kusayangi itu sukses dan melihat dunia luar yang luas. Itulah saat di mana aku menghubungimu dan memintamu mengawasinya.”

    Aku kembali duduk di kursi. Mengusap wajahku pelan. “Hanya satu yang tidak kumengerti. Apa harus dengan cara ini? Apa kamu tidak pernah berpikir kalau apa yang kamu lakukan sangat keterlaluan?”

    “Seorang ayah mengatasi anaknya yang nakal dengan sebuah nasihat yang bijak, ayah yang lain mengatasinya dengan teriakan marah, lalu ada ayah yang lain mengatasi anaknya yang nakal dengan pukulan dan tamparan.”

    “Kamu ini bicara apa?”

    “Bagaimana kamu mengatasi tetanggamu yang menghinamu di depan orang-orang? Memaafkannya? Membalas hinaannya? Menuntutnya di pengadilan? Atau menggorok lehernya sampai putus saat rumahnya sepi? Ayolah, kamu pasti tidak mungkin menutup mata dengan dunia luas di depanmu, kan? Kamu punya televisi besar dan koran setiap hari.”

    Aku mengangguk paham. “Jadi kamu termasuk orang-orang yang mengatasi masalah dengan cara ekstrim dan instan? Dan juga tidak bijak?”

    “Aku sudah berpikir seperti itu dari dulu. Untuk membenarkan apa yang kulakukan. Normal saja, aku hanya manusia biasa.”

    “Kamu bahkan sadar kalau apa yang kamu lakukan sangat keterlaluan dan ekstrim? Lalu kenapa masih kamu lakukan?”

    “Sekarang, kamu sedang bicara dengan pria dua puluh delapan tahun. Bukan bicara pada anak laki-laki dua puluh dua tahun yang punya setumpuk beban berat di kedua pundaknya dan segudang beban pikiran yang memenuhi kepalanya. Apa yang kamu harapkan dariku saat itu? Berpikir jernih, sabar, bijak, dan dewasa? Sayangnya aku tidak punya. Aku akui itu. Sekarang semuanya kepalang tanggung. Aku tidak yakin keadaan akan membaik jika aku kembali bertemu dengan Danang dan aku tidak mau ambil resiko sedikit pun. Jadi, aku lebih memilih sudah saatnya semua ini diselesaikan. Ini keputusanku. Danang harus punya jalan sendiri, begitu juga aku. Oleh karena itu, aku minta bantuanmu untuk yang terakhir kali. Bantu Danang melupakanku. Apapun caranya. Mulai besok, aku benar-benar harus memaksa diriku sendiri untuk tidak peduli. Karena sebentar lagi aku akan menikah.”

    Sudah buruk melihat Danang sedih hari ini, ditambah keterkejutanku melihat surat cinta Danang untuk Herman, dan sekarang apa? Kabar buruk yang lain? Aku bahkan tidak tahu ini kabar buruk atau baik. Biasanya, kabar pernikahan akan membawa sebuah kebahagiaan. Tapi, tentu saja tidak bagiku, jujur saja. Sekarang aku benar-benar paham, bahwa yang dia maksud dengan ‘mengakhiri semua’ ternyata tidak hanya tentang Danang.

    Kalau mau aku bisa saja tersenyum. Tapi aku tidak punya tenaga untuk membuat jantungku berdetak normal. Atau membuat perasaanku sendiri yang terluka menjadi lebih baik dengan menyemangati diri seperti, ‘mungkin aku bisa menemukan yang lebih baik dari Herman’. Aku benar-benar merasa kacau. Bahkan jika biasanya dekat dengan Herman adalah sesuatu yang sangat kuinginkan, maka tidak dengan sekarang ketika dia pindah duduk di sampingku. Rasanya aku ingin menendang dia jauh-jauh. Tapi aku tidak melakukannya dan memilih bersikap tenang daripada bersikap konyol.

    Aku memberikan peringatan dengan tatapan tajam. “Apa ini adalah saat dimana kamu akan menyentuh daguku dengan halus, lalu mendekatkan tubuhku ke arahmu dan kamu akan menciumku untuk yang pertama sekaligus yang terkahir? Lalu diakhiri dengan kata-kata minta maaf dan ‘aku mencintaimu’ padahal beberapa saat lalu kamu bilang mau menikah dengan orang lain dan kita tidak akan pernah bertemu lagi?” sindirku panjang lebar. “Kalau memang seperti itu, lupakan saja. Terlalu klise dan membosankan. Kuharap kamu bisa lebih kreatif lagi.”

    Sepertinya dia benar-benar tertohok. “Dengar, kamu tahu kalau aku tidak terlalu pandai dalam hal menghibur orang. Kupikir tadinya aku mau melakukan beberapa hal yang kamu tulis di novelmu sebagai tanda perpisahan yang berkesan. Tapi kurasa itu juga bukan ide yang baik.”

    “Memang!” potongku seketika. “Dan apa maksudmu dengan perpisahan yang berkesan? Apa kamu sedang mencoba bercanda? Semua perpisahan pasti berakhir menyedihkan.”

    “Tapi kamu pasti bisa menemukan yang jauh lebih baik dariku. Aku tidak punya apa-apa.”

    “Klise lagi! Kamu dulu sudah menggunakan alasan itu,” ejekku kesal. Membuatnya semakin kebingungan. “Kalau kamu terus-terusan seperti ini dan tidak bisa meyakinkanku atau memberi alasan yang cukup agar aku rela melepasmu, jangan heran kalau di hari pernikahanmu nanti aku akan datang dan mengacaukan semuanya. Terdengar gila dan kekanak-kanakan? Ekstrim dan keterlaluan? Masa bodoh! Aku tidak peduli! Aku bisa saja bersikap sepertimu kalau aku mau.”

    “Berhenti memojokkanku,” pintanya. “Selain Danang, kamu juga selalu membuatku pusing. Mungkin sebaiknya aku memang tidak perlu melakukan apa-apa lagi. Aku benar-benar minta maaf.”

    Saat dia bangkit, aku langsung meraih kerah kaos depannya dan menariknya hingga duduk kembali. Lalu, aku menariknya lagi sampai wajah kami berada dalam jarak yang dekat.

    “Apa masih tidak sadar kalau kamu itu memang payah?” Nadaku pasti terdengar lebih kesal. “Ketika aku bilang tidak mau dicium karena alasan klise atau semacamnya, itu hanya kode kalau sebenarnya aku sangat ingin kamu menciumku, hitung-hitung sebagai pengganti obat sakit kepala dan sakit hati. Masa hal seperti ini saja kamu tidak bisa peka? Aku tadi hanya butuh sedikit jual mahal untuk menyelamatkan harga diriku di depan pria yang akan menikah dengan orang lain padahal jelas-jelas dia mencintaiku. Masih kurang jelas? Apa aku butuh menjelaskan dengan kalimat yang lebih detail dan rumit? Kurasa istrimu nanti akan merasa sangat bosan setiap hari kalau kamu tidak bisa romantis sama sekali. Jadi, ingat-ingat pesanku yang terakhir ini. Paham?”

    Walaupun Herman tidak menanggapi, tapi tatapan matanya begitu hidup, seolah-olah aku bisa bicara dengannya hanya dengan menatapnya saja. Aku merasakan tangan kasar tapi hangatnya menyentuh pipiku perlahan dan pada akhirnya berakhir di daguku. Pada saat inilah, aku merasakan puncaknya rasa sakit di dadaku. Menyadari kalau setelah satu ciuman pertama dan terakhir kami, aku harus berhenti berharap dan menghargai pilihannya. Hubungan kami mungkin memang tidak akan berhasil, sama seperti Herman dengan Danang.

    Tapi, jauh di dalam hatiku, harapan itu tidak akan pernah hilang sampai aku benar-benar melihat Herman menikah dengan wanita pilihannya. Harapan itu akan seperti nyala lilin yang tidak akan pernah padam selama aku belum melihat Herman mematikannya sendiri dengan yakin.
  • edited March 2014
    Catatan:

    *aseksual di situ bukan berarti membelah diri ya. tapi orang-orang yang gak punya ketertarikan seksual alias gak punya nafsu untuk kegiatan2 seksual. gak ada hasrat, dorongan atau semacamnya (buat yang belom tahu aja). tapi kayaknya udah pada tahu, kan?
  • gila, jadi karena alasan itu dia menjauhi adiknya sendiri.
    keren bang...
    ini masih lanjutkan bang?
  • Ohhh, si Herman masih hidup toh. Aku kira dia dah metong. :D
  • Masih bingung, Herman meninggal atau hanya sembunyi...
  • Keren .. Pas di tengah si ketebak tapi pas kata2 debat'a gw suka.
    Mendalami banget.
    Dan semoga pas lg cipokan danang blom bangun. Hehehe
  • @yuzz @masdabudd sungguh tega, nggak kasih tau penulis ini bikin lapak. Karatan nunggu cerbung yg itu, yg ini pelepas dahaga sementara.. Oke, nanti ya ulasan lebih lanjutnya. Mau baca dulu..
  • wkwkwk gomen mas @adam08 , pasalnya ane jg kagak baca :D
  • eh bentar. 31 juni itu gak ada ya?

    *tepok jidat
  • emang,yg sampe' 31 kan Januari,Maret,Mei,Juli,Agustus,Oktober,sma Desember...hehe

    ehmm,pasti berat banget ya jadi tokoh 'aku' di sini yg harus menyembunyikan kebenaran tentang Herman dan menyimpan cinta serta sakit hati seorang diri,huhuhu

    ini masih ada lanjutannya kan mas @totalfreak ?titip mention ya,hehehe
  • Surprise bangetttttt bang fliki..
  • edited March 2014
    Fog

    (Part 5/6)

    ****-****

    S
    aat aku sedang santai mendengar beberapa lagu sambil tiduran, Danang masih terlihat sibuk menggeledah laci bawah lemari pakaian yang ada di pojok kamar. Kemarin malam, aku memang memindahkan beberapa barang seperti dompet, persediaan obat, minyak wangi, dan beberapa barang lain sehingga bercampur dengan semua barang-barang yang berhubungan dengan masa lalu Danang yang dia simpan di sana. Tentu saja aku melakukan itu bukan tanpa alasan. Setidaknya aku memang perlu merasa yakin seratus persen sebelum mengambil sebuah keputusan meskipun Herman tidak memberiku pilihan.

    Aku mengamati gerak-gerik Danang ketika dia berhasil menarik sapu tangannya dari dalam laci yang penuh dengan barang-barang berantakan itu. Tapi saat itu juga aku tahu kalau secarik kertas putih tertarik bersama sapu tangannya dan jatuh di atas tumpukan barang-barang. Danang terlihat menaruh minat pada kertas kumal itu karena dia langsung memungut dan membukanya.

    Alisnya yang pada dasarnya hampir menyatu di dahinya, terangkat seketika. Berbeda dari yang kuperkirakan, senyum terlukis di bibirnya saat dia selesai membaca surat itu sebelum berdiri sambil meremas-remasnya.

    “Apa itu?” tanyaku menyela saat menyadari kalau Danang akan membuang kertas itu ke luar melalui jendela. Pada akhirnya dia melemparkannya padaku.

    “Bukan sesuatu yang penting.”

    Aku membaca dengan serius sebelum memasang ekspresi pura-pura terkejut. “Ini surat cinta? Kamu yang menulis, Dan?”

    Dia mengangguk enteng, menunjukkan padaku kalau surat ini benar-benar tidak penting, sesuai yang dibilangnya beberapa saat lalu. Padahal, bagi Herman, surat ini bukan apa-apa kecuali puncak dari sebuah bencana besar yang mengacaukan perasaaan dan pikirannya. Tentu saja aku merasa heran kenapa reaksi Danang seolah tidak peduli.

    “Aku memang yang menulis. Tapi, sebenarnya itu bukan surat cinta,” katanya sambil duduk di ranjang, bersandar pada dinding di sampingku. “Itu puisi,” lanjutnya.

    Aku mengernyit. “Puisi? Kamu tahu apa yang salah dengan puisimu?”

    “Kenapa? Diksinya tidak bagus?”

    “Persetan dengan diksimu yang memang norak dan ketinggalan jaman!” kataku meninggi. “Seharusnya puisi itu berbait, bukan berparagraf seperti surat, cerita, atau dongeng. Itu yang paling umum.”

    “Oh ya?” tanyanya polos sembari melirik lagi kertas yang kupegang. “Seharusnya aku tahu itu. Tapi aku memang tidak pernah peduli dengan semua bentuk sastra. Matematika dan Fisika bagiku sejuta kali lebih mudah dulu.”

    “Oke, jadi ini adalah puisi yang kamu tulis untuk Herman? Dan itu artinya kamu juga gay? Sama sepertiku? Kenapa tidak bilang dari dulu?”

    “Aku gay?” tanyanya dengan wajah serius sambil menunjuk hidungnya sendiri dengan telunjuknya. “Jangan gila! Darimana kamu dapat pikiran aneh seperti itu?”

    “Pertama, karena kamu selalu bersikap dingin pada wanita, seperti tidak tertarik selama lima tahun lebih. Sama sepertiku,” jawabku.

    “Kalau aku bilang tidak tertarik, itu artinya aku memang tidak tertarik. Tapi bukan berarti kamu bisa berpikir kalau aku gay. Memangnya kamu pernah lihat aku menaruh perhatian lebih pada pria di luar sana? Aku tidak sepertimu yang selalu jelalatan kalau sudah di tempat fitnes atau mall. Lagi pula kalau aku benar-benar gay, aku sudah bilang padamu dari dulu dan kita bisa pacaran.”

    “Oh, ya? Mungkin memang tidak semua pria. Tapi, bagaimana dengan Herman?”

    “Dia itu kakakku yang aku sendiri tidak tahu keadaan dan dimana dia sekarang! Tentu saja karena itu sampai sekarang aku tidak bisa berhenti memikirkannya. Aku tidak akan pernah tenang sampai bisa melihatnya berdiri di depanku. Aku sangat menyayanginya.”

    “Rasa sayang biasa, huh? Kalau begitu...” aku melanjutkan dengan bukti yang tengah kupegang. “Bagaimana dengan ini? Puisi picisan khas anak-anak remaja labil dan aneh yang kamu buat untuk Herman? ‘Aku selalu ingin bersamanya, melewati hari-hariku dengannya, tidak bisa hidup tanpanya, dia adalah nafasku, dia adalah belahan jiwaku, dia adalah segalanya, aku mencintainya’ dan bla bla bla bla. Kamu bisa jelaskan?”

    “Kamu salah paham,” katanya setelah merebut kembali kertas dari tanganku. “Seperti yang kubilang, aku tidak pandai dalam hal sastra dan paling benci puisi, syair, novel, atau sejenisnya. Saat aku kelas tiga SMA, aku dapat tugas membuat puisi yang ditujukan untuk orang yang dekat denganku, atau untuk orang yang paling kusayangi, untuk nilai tambahan di pelajaran Bahasa Indonesia. Nah, karena aku payah, sampai sepuluh menit sebelum dikumpulkan, kertasku masih kosong. Jadi, aku menyontek puisi milik teman di belakangku dan menyalin beberapa kata dengan banyak improvisasi yang kubuat sendiri dengan iming-iming memberi contekan matematika saat ujian semester. Tapi pada akhirnya puisi ini tidak jadi dikumpulkan karena kami harus mengerjakan kuis singkat di lima menit terakhir. Kenapa? Puisi ini memang benar-benar jelek, ya?”

    “Biar kutebak,” kataku sambil menahan nafas. Berusaha tenang. “Kamu mencontek puisi ini dari teman perempuanmu? Seorang, teman, perempuanmu, yang, centil?”

    Danang diam dan terlihat mengingat-ingat. “Sebenarnya, aku tidak terlalu ingat. Tapi bisa jadi.”

    “Biar kutebak lagi. Dia sedang kasmaran dan puisi itu ditujukan untuk pacarnya?”

    Dia mendecak sebal. “Mana aku tahu dan apa peduliku?” keluhnya sambil kembali membaca puisinya. “Tapi sepertinya iya, kalau dilihat dari kata-katanya. Aku ingat dia pacaran dengan ketua kelasku. Tapi aku tidak tahu kalau sampai sekarang puisi ini masih ada di laci itu. Sudah lama sekali. Seharusnya kertas ini ikut terbuang dengan sampah-sampah yang lain.”

    “Kamu tidak aneh dengan belasan kata cinta di dalamnya?”

    “Apa aku akan jadi orang aneh kalau bilang ‘aku cinta pekerjaanku’? Atau ‘aku cinta kucing peliharaanku?’ Tapi dipikir-pikir memang agak berlebihan kalau kubaca lagi kalimat-kalimatnya. Kenapa dulu aku tidak menyadarinya, ya? Aku benar-benar benci membuat puisi.”

    Kedua tanganku mengepal keras. “Dan kamu tidak cemas kalau-kalau dulu Herman sempat menemukan dan membacanya?”

    Decakannya kali ini terdengar lebih keras. “Apa yang perlu kucemaskan? Ini hanya tugas sekolah pelajaran Bahasa Indonesia hasil contekan yang bahkan tidak jadi dikumpulkan dan tidak dinilai. Sudah kubilang, ini bukan sesuatu yang penting karena aku membuatnya juga dalam keadaan tertekan, panik, dan terburu-buru.”

    Saat ini, aku tidak hanya ingin mencekik Danang dengan kelakuan konyolnya. Tapi aku juga ingin memukul Herman karena sifat penakut yang membuatnya berpikir aneh-aneh lengkap dengan keputusan sembrononya hanya karena sebuah puisi bodoh ini tanpa konfirmasi yang jelas. Tapi, ada satu hal yang masih mengganjal.

    “Kalau begitu, ingat saat malam di mana kamu dan Herman bertengkar? Kamu mengamuk karena Herman pergi keluar dengan temannya di malam minggu, kan?”

    “Oh soal itu. Iya, aku mengamuk dan marah besar,” katanya dengan semangat. “Aku sudah menabung berminggu-minggu untuk membeli tiket nonton film berdua di bioskop kota, untukku dan untuk Mas Herman. Juga uang sisanya untuk makan malam enak dan biaya naik kendaraan umum. Rencanaku sangat sempurna waktu itu. Tapi tiba-tiba malam itu Mas Herman keluar begitu saja tanpa memberitahuku lebih awal, bahkan sebelum aku memberitahu tentang kejutan yang kusiapkan. Tentu saja aku marah. Bayangkan saja, aku puasa selama beberapa minggu hanya untuk acara kejutan jalan-jalan yang menyenangkan, karena Mas Herman jarang bersenang-senang. Tapi pada akhirnya batal begitu saja. Jadi saat itu aku melarangnya pergi dengan orang lain kalau-kalau aku punya rencana seperti itu lain kali. Apa menurutmu aku berlebihan lagi? Sepertinya iya.”

    Kurasakan dadaku mulai memanas. “Lalu kenapa kamu tidak jelaskan pada Herman kalau kamu marah karena rencana kejutanmu untuknya yang batal? Bukan karena kamu... cemburu karena dia menghabiskan waktunya dengan orang lain, mungkin?”

    “Cemburu bagaimana? Aku hanya sedih saja saat melihat tiket nonton yang terbuang sia-sia. Aku jadi selalu ingat dengan betapa kerasnya Mas Herman bekerja untuk uang jajanku. Luka di kaki, tangan terjepit, persendian yang keseleo, dan keringat yang banyak. Sedangkan kalau aku bilang di awal, pasti Mas Herman akan melarangku membeli tiket nonton atau yang lainnya. Pada akhirnya, ya, aku memilih diam saja. Tapi memang rencana itu gagal berkali-kali karena Mas Herman sering pergi tanpa pamit, jadi aku memang sering marah-marah.”

    Aku memejamkan mataku kuat-kuat. Jadi semua masalah antara Herman dan Danang yang tidak selesai selama bertahun-tahun disebabkan karena hal konyol seperti ini? Kesalah pahaman? Sikap tertutup? Keputusan berdasarkan prasangka buruk? Sempurna! Keren! Aku benar-benar ingin berteriak di depan mereka berdua dan membuat mereka semakin sadar tentang betapa menyedihkannya hidup mereka yang selama tujuh tahun terbuang sia-sia karena memikirkan satu sama lain dalam kesedihan. Memikirkan hal yang sebenarnya tidak perlu sama sekali.

    “Apa kamu dan kakakmu tidak mengenal diskusi atau tukar pendapat atau keterbukaan atau saling percaya atau apapun saat kalian menyelesaikan masalah berdua? Kalian lebih memilih diam dengan pikiran kalian masing-masing?” tanyaku lemas, menarik sebuah kesimpulan. Tapi hanya disambut dengan kedikan bahu Danang, cuek.

    “Dan terakhir,” kataku kembali dengan nada tajam. “Kamu tidak ingin kuliah karena tidak mau jauh-jauh dari Herman, kan? Kenapa?”

    Danang mendesah malas. “Aku pernah ikut lomba matematika tingkat propinsi. Pergi dari rumah selama satu minggu. Tepat di malam saat aku pulang, rumah hancur tertimbun tanah longsor. Ayahku meninggal dan Mas Herman terluka parah. Beruntung orang-orang masih bisa menyelamatkannya. Kamu pikir setelah hari itu aku akan bisa tenang kalau harus jauh-jauh dari Mas Herman? Itulah kenapa aku tidak mau kuliah di Jakarta. Kupikir menemaninya di sini akan membuatku tenang. Setidaknya aku selalu tahu kalau dia baik-baik saja.”

    Kebenaran yang baru saja kuketahui ini, membuatku semakin merasa kasihan pada mereka berdua. “Lalu kenapa kamu tidak bilang seperti itu pada Herman?”

    “Bilang apa? Bilang padanya kalau aku tidak mau kuliah karena mencemaskannya? Kalau dia tahu, dia tidak hanya akan marah padaku, dia pasti tidak akan menerima alasan seperti itu dan menyalahkan dirinya sendiri. Jadi lebih baik dia hanya tahu kalau aku memang seorang anak yang keras kepala dan terlanjur nyaman dengan dunianya, nyaman berada di sini, nyaman berada di dekatnya. Mengolah ladang, mengangkat pasir dan batu di sungai.”

    “Tapi pada akhirnya kamu pergi setelah tahu dia terkena kanker, kan?”

    “Itu pilihan yang sulit. Tentu saja aku mau dia sembuh. Jadi, aku mengambil beasiswaku, lalu kuliah di Jakarta dan berjanji padanya untuk mengirimkan obat setiap bulan dan pulang ke sini dua kali setahun pada liburan akhir semester. Setidaknya uang yang kudapatkan di sana jauh lebih banyak dibanding di sini. Dan beruntung, aku bertemu denganmu. Kamu banyak membantuku, kan?”

    “Sudah cukup!” teriakku keras-keras, membuat Danang semakin keheranan.

    Aku berdiri seketika saat teringat kata-kata Herman kemarin malam. Bukan tentang dia akan menikah atau hal menyakitkan lainnya. Tapi tentang semuanya yang akan berakhir hari ini, hubungannya dengan Danang. Jika aku tidak bisa mendapatkan Herman, aku tidak akan membiarkan Danang kehilangan kakaknya di saat aku sudah mengetahui semua kebenarannya.

    “Ikut aku!” teriakku tak sabaran.

    “Tunggu dulu!” serunya dengan wajah terkejut. Sesaat setelahnya aku menyadari kedua lenganku berada dalam cengkeraman tangannya yang kuat. “Darimana kamu tahu soal pertengkaranku dengan Mas Herman yang dulu? Aku tidak pernah cerita, kan?”

    Aku menepis tangannya. Lalu, kuraih lengannya dengan erat. Tidak lupa aku memberi tatapan paling murka yang kumiliki. Ada sedikit keraguan di wajah Danang. Tapi aku tidak peduli.

    “Kubilang, ikut aku!” desisku tajam.

    ****-****

    Dulu, aku sempat membayangkan kalau pertemuan Danang dan Herman akan dipenuhi haru dan kebahagiaan. Tapi, kenyataannya sungguh berbeda. Hanya ada ketegangan yang pekat, kemarahan Danang, dan juga kebingungan Herman. Mereka berdua seperti berada di dalam situasi yang mereka sendiri tidak tahu harus berkata atau melakukan apa.

    Mereka saling berhadapan. Herman berdiri di samping gundukan tanah yang sebelumnya dia bilang kalau itu adalah makamnya. Dia berdiri sambil memegang batu besar, mungkin itu batu nisannya yang dulu. Di samping kakinya ada skop dan ember kecil yang di dalamnya ada sisa-sisa tanah. Ada juga cat warna putih dan kuas. Tanah di sekitarnya berantakan, seperti baru saja ditumpuk untuk menambah tinggi dan memperbesar ‘makamnya’.

    Sementara itu, Danang hanya berdiri dengan kedua kakinya yang kokoh. Bergeming. Kedua tangannya mengepal dengan keras. Aku tidak bisa melihat bagaimana ekspresinya sekarang karena dia memunggungiku. Aku hanya melihat wajah sedih Herman dan semua kebingungannya yang bertambah besar.

    Danang mulai bersuara. “Jadi, selain kanker, sekarang ada lagi yang baru?” Suaranya bergetar hebat, dengan nada yang semakin hilang di akhir kalimat. “Sekarang apa? Mas juga mengidap Sindrom Cotard?”

    Herman melirik ke arahku, masih dengan wajah bingungnya. Kalau saja suasananya tidak setegang ini, aku akan senang hati menjelaskan padanya jika dia benar-benar tidak tahu apa itu Sindrom Cotard. Tapi aku yakin itu bukan masalah yang penting untuk dibahas sekarang.

    “Aku sudah selesai kuliah,” lanjutnya. Kali ini dengan nada sedih yang menyayat hatiku sendiri. Aku tidak bisa membayangkan betapa sakitnya dada Herman karena ini. “Aku sudah punya usaha sendiri. Warnet, rental, kursus, toko komputer dan laptop juga semua aksesorisnya. Aku selalu pulang ke sini membawa banyak uang. Aku bisa menyuruh orang untuk menggali liang kubur yang besar atau membeli batu nisan yang lebih bagus jika Mas mau aku melakukannya.”

    “Dan, jangan aneh-aneh.” Aku mencoba menenangkan Danang sebisaku agar dia tidak bicara sembarangan. Tapi mungkin sekarang apapun yang keluar dari mulutnya hanya sebagai pelampiasan kekecewaan saja. Jadi sepertinya aku akan membiarkannya kalau pada akhirnya itu bisa membuatnya lega.

    Herman masih membatu, sama seperti batu yang ada di tangannya.

    “Omong-omong, Mas sudah berhasil kalau memang yang Mas inginkan hanyalah membuatku kuliah di Jakarta sampai aku hidup sukses. Tapi kenapa setelah itu Mas menghilang? Bukannya bilang kalau keadaan Mas mulai membaik karena obat yang kukirim? Atau bilang padaku kalau ada keajaiban yang membuat penyakit mas sembuh total atau apa saja aku tidak peduli! Aku bisa terima semua kebohongan itu asalkan Mas memang masih baik-baik saja. Bukannya membuatku mulai menganggap kalau Mas benar-benar sudah mati!”

    Danang meraih kertas yang ada di saku celananya, memandang puisi anehnya sebentar sebelum membuangnya di depan kakinya. “Hanya karena sampah ini, kan?”

    Herman lagi-lagi melirik ke arahku. Kali ini, aku hanya bisa mengangguk sebagai pertanda kalau Danang sudah tahu semuanya, semoga dia mengerti isyaratku. Herman memang tidak tampak terkejut. Bibirnya terkatup rapat dan tubuhnya kian mematung, tidak bergerak sedikit pun.

    “Mas sudah membacanya, kan? Lalu apa? Kita bisa menikah, hidup berdua, bahagia selama-lamanya dan bercinta setiap malam?”

    Kuakui, itu adalah sindiran yang bagus. Aku yakin Herman mulai menyadari tentang kekonyolan dari buah kecemasan yang dia simpan selama ini. Boleh saja selama ini dia berprasangka buruk atau berpikir yang tidak-tidak terhadap adiknya sendiri. Tapi, kebenaran tidak akan dia dapat selama dia memilih diam sehingga membiarkan kecemasan menguasai pikiran dan perasaannya sementara dia memang tidak tahu apa-apa.

    Tangan kanan Danang bertopangkan lututnya saat dia membungkuk. Aku bisa melihat dia mengambil napas sebanyak yang dia bisa sebelum berbalik padaku, “kita pulang sekarang. Urusanku di sini sudah selesai.”

    Itu adalah kata-kata terakhir Danang sebelum dia benar-benar meninggalkan kami berdua. Kemarahannya seperti belum sirna karena pintu mobil dibantingnya dengan keras.

    Aku beralih pada Herman. “Dengar, dia sudah kuberitahu semuanya,” kataku memulai. “Aku minta maaf karena mengambil keputusan lain yang kuanggap benar. Bagaimana pun dia itu adikmu, jadi dia berhak tahu kalau satu-satunya keluarga yang dia miliki masih hidup dan selalu berada di dekatnya. Kamu perlu tahu yang sebenarnya dan bisa kamu turunkan dulu batu nisanmu itu? Karena jujur saja aku sedikit risih.”

    Aku seperti menamparnya karena dia seakan tersadar begitu saja. Lalu dengan gugup menaruh batu itu di ujung gundukan tanah dan mengaturnya beberapa kali dengan serius. Spontan, aku menendang batu itu menjauh.

    “Kamu ini terlewat lugu atau apa?” kataku setengah berteriak. “Adikmu baru saja memarahimu habis-habisan karena sikap konyolmu dan sekarang kamu masih bisa sibuk mengurus kuburan dan batu nisanmu yang jelek itu? Beruntung kita berdua di pemakaman dan bukan di atas tempat tidur! Kalau tidak, pasti aku sudah...”

    Aku mendekat ke arahnya dengan gemas. Tapi berhenti seketika saat Herman mundur agak ketakutan.

    “Aku minta maaf,” katanya lirih.

    Erangan keras keluar dari mulutku karena sikapnya yang semakin konyol. “Kenapa minta maaf padaku? Memangnya kamu salah apa padaku, ha? Yang sedang ada masalah itu kalian! Kamu dan Danang! Bukan aku!”

    “Kurasa jika aku minta maaf padanya, itu tidak akan membuat keadaan menjadi lebih baik. Dan...”

    Aku langsung mengangkat tanganku. “Sebaiknya kamu tidak membantah kali ini. Karena setiap kali kamu kebingungan dan kita berdebat, aku merasa sesuatu yang buruk pasti akan terjadi. Turuti saja kata-kataku dan datang ke rumah nanti untuk minta maaf. Sekalian kalau kamu ingin tahu detailnya. Paham?”

    Herman melirik ke belakang, ke arah mobil. Alisnya masih terangkat, dahinya berkerut. Ekspresi cemasnya masih awet sampai sekarang.

    “Dia sedang senang dan lega!” kataku mencoba menghiburnya kali ini. “Dia tadi memang marah. Tapi aku tahu sebenarnya dia sangat bersyukur bisa melihatmu hidup-hidup, sehat, dan baik-baik saja. Meskipun kebohonganmu itu memang sangat keterlaluan tapi kalau itu memang gayamu ya aku harus bilang apa?”

    Suara klakson mobil tiba-tiba menggema berkali-kali. Aku mengumpat kesal karena rasa terkejut. Mungkin kurang bijak jika aku berlama-lama dengan Herman sementara Danang sudah bilang tidak sabar untuk cepat pulang.

    “Dengar baik-baik!” Aku menggerakkan ujung telunjukku tepat di tengah dadanya untuk memberinya peringatan. Rasanya sangat keras, tapi kenyal, membuatku menyesal telah melakukan itu. Aku memejamkan mataku keras-keras untuk mengembalikan akal sehatku.

    “Danang pasti menunggumu di rumah setelah ini. Jadi, datang saja dan minta maaf! Setelah itu, aku jamin masalah kalian selesai!”

    Aku menepuk bahunya beberapa kali sebelum meninggalkannya. “Oh ya, lain kalau kamu ingin melihat cahaya, buka saja pintu rumahmu lebar-lebar. Karena cahaya matahari jauh lebih terang daripada lampu di atas kepalamu. Hanya saja kamu memang perlu memiliki sedikit keberanian karena siapa tahu saat mematikan lampu dan membuka pintu rumahmu, kamu justru mendapatkan badai yang dingin atau langit yang gelap. Tapi setidaknya itu jauh lebih baik daripada kamu sembunyi selamanya dalam rasa amanmu sehingga kamu tidak tahu apa yang sebenarnya kamu hadapi.”

  • Pertamax dulu.. Oke, next, baca.
  • Kereen, suka sama dialognya, yeee.. Fliki emang cetdas kalo urusan yang kayak ginian..
  • Kira2 jadi nikah kgk ya?? Hehe
Sign In or Register to comment.