Salam buat yang mampir ke trit baruku. Jadi, setelah sebelumnya udah nyelesain beberapa cerbung yang panjangnya ampun-ampunan (20 – 30 chapter) nah, kali ini gak bakal bikin yang kayak gitu lagi (makin lama makin berat, kecuali satu hutang cerbung erfan yang masih bingung eksekusinya sampai sekarang). Udah jenuh banget sama yang panjang2. Sambil nunggu ide muncul, bikin cerpen dah. *gapenting juga.
Oke cerpen ini menurutku ‘cukup ringan’, jadi met baca.
Peringatan keras sebelum membaca:
1. Cerita drama dengan konflik lumayan lebay (gak cuma tentang makan-tidur-ngeseks-dan BAB)
2. Fiksi, ingat! FIKSI banget!
3. Mengandung kata-kata mesum, adegan setengah mesum, dan kata-kata jorok, dan kata-kata yang sangat kasar (tidak dianjurkan dibaca untuk anak di bawah 18 tahun, karena gak mau dibilang enggak mendidik)
4. Ceritanya gak dimaksudkan untuk menyindir apapun dan siapapun.
5. Satu temen deket yang udah baca duluan (karena aslinya ini cerpen s8) tanggapannya: ‘kurang seru dan kurang greget’ (katanya). Jadi jangan heran ya kalo emang bener2 kurang seru. Namanya aja iseng2 bikin yang mini cerbung.
6. Karena awalnya cerita ini cerita s8, kalo ada sesuatu yang ‘terlewat aneh’ karena lepas dari pengamatan dan editanku yang udah kutransform total supaya jadi cerita gay, mohon mangap buat ketidaknyamanannya.
7. Gak ada Erfan di sini, jadi jangan dicari n ditanyain, ya.
Comments
(Part 1/6)
****-****
Aku mengenal Danang sebagai pria yang kuat, tangguh, dan tidak ada hal yang membuatnya jatuh begitu mudah. Tapi, setidaknya dua atau tiga kali dalam setahun, saat kami mengambil liburan pulang ke kampung halamannya, dia akan berubah menjadi bocah kecil yang cengeng hanya karena teringat orang yang paling berharga dalam hidupnya. Walaupun selalu berusaha menyembunyikan air matanya dariku, tapi sampai detik ini isakan tertahannya selalu menjadi teriakan yang menunjukkan kalau luka di hatinya tidak akan pernah sembuh. Lima tahun mungkin memang bukan waktu yang cukup, tapi aku tahu kalau lamanya waktu tidak akan membuatnya menjadi lebih baik. Sampai kapanpun, luka itu akan tetap ada, tidak pernah kering, dan tidak akan bisa hilang.
Jika di hari-hari biasa aku akan senang hati menyindirnya dengan semua kekurangan atau kesalahan yang dia miliki, maka tidak dengan hari ini. Aku akan memberikan sedikit ruang dan privasi agar dia selalu bisa meluapkan emosi dan kesedihannya sendirian. Mungkin, aku hanya perlu diam, menemaninya, atau mendengar sedikit keluhannya. Itupun kalau dia memang benar-benar butuh seseorang untuk membagi beban di pundaknya. Seperti apa yang kulakukan sekarang, selalu mengawasinya dari belakang.
Dia sedang berada di dalam area pemakaman umum sedangkan aku ada di dalam mobil yang terpakir di luar. Tapi, dari tempatku berada sekarang, aku masih bisa melihat dengan jelas semua yang sedang dia lakukan. Awalnya, dia hanya berdiri di tengah-tengah area pemakanan. Mengatur napas dan seperti sedang menguatkan dirinya. Lalu dia mulai berjalan perlahan ke arah tepi pojok area pemakaman. Melihat satu persatu makam dan batu nisan orang-orang yang telah lama dikubur di sini. Dia tidak akan mau melewatkan satupun nama yang ada di sana. Aku tahu dia sedang mencari sesuatu, maksudku, makam seseorang. Tapi aku juga tahu kalau dia tidak akan pernah menemukannya di sini.
“Lihat itu! Masih berpikir kalau kamu tidak kejam padanya?” kataku lirih setelah menyadari kehadiran seseorang. Dari kaca spion yang ada di dekatku, aku bisa melihat sosok seorang pria sedang bersandar di pintu belakang mobil. Dia melipat kedua tangannya di depan dada. Pandangannya lurus ke bawah, mungkin ke arah kakinya. Baju putihnya cukup lusuh. Celana jeans birunya sudah sedikit compang-camping di bagian lutut. Dan tidak ada yang lebih menarik perhatianku kecuali ekspresinya yang dingin dan penuh kesedihan.
“Aku sudah memberitahumu letak makamku. Lalu kenapa kamu tidak memberitahunya?” Suara beratnya terdengar sedih, sesedih wajahnya.
“Kamu itu payah, tahu tidak?” hardikku. “Aku tadi sudah ke sana sebentar dan melihat apa yang kamu sebut ‘makammu’ itu. Mau dengar pendapatku? Apa kamu tidak bisa melakukan yang lebih baik? ‘Makammu’ bukan apa-apa kecuali gundukan tanah tanggung yang tidak jelas dengan batu nisan yang terbuat dari batu kali. Maksudku, itu benar-benar hanya sebuah batu. Bahkan namamu tidak tertulis di sana. Apa kamu tidak bisa membeli cat atau semacamnya lalu menulis ‘aku sudah tenang berada di sini, sekarang cepat pergi dan lupakan aku’? Atau apapun yang bisa membuat Danang tertawa?”
“Itu tidak penting,” suaranya kali ini bertambah sedikit serak dan semakin tertahan. “Dia akan percaya kalau itu makamku. Kamu lupa? Aku hanya seorang yang terabaikan, tidak punya keluarga. Aku yakin dia bisa cepat paham kalau yang terpenting adalah orang-orang sudah menguburku dengan layak. Karena tidak ada yang menanggung biaya pemakamanku lebih dari yang seharusnya.”
“Oke, tuan misterius, “ ejekku. “Kalau begitu kenapa kamu tidak bilang sendiri padanya? Datang ke sana, bilang semuanya, dan yakinkan dia kalau kamu sudah mati. Kurasa itu lebih baik daripada dia selalu diselimuti ketidakpastian. Kamu hanya butuh kostum hantu.”
Pandangan kami bertemu melalui kaca spion. Dia menatapku sangat tajam. Tapi, tidak ada pengaruhnya untukku. “Kamu tahu kalau aku tidak bisa melakukannya,” jawabnya.
“Yang benar saja! Coba lihat dia sekali lagi! Apa kamu benar-benar tidak kasihan? Di mana perasaanmu itu? Selama tujuh tahun, dia selalu datang ke sini hanya untuk mencarimu. Apa kamu tidak bisa sekali saja menampakkan diri di depannya? Atau masuk ke dalam mimpinya? Memberinya sesuatu untuk kenang-kenangan terakhir seperti... aku tidak tahu, es krim rasa cokelat, mungkin? Aku yakin dia akan senang,” candaku. Tapi dia tidak tertawa, melainkan membuang muka ke arah lain.
“Dia tidak suka rasa cokelat,” ujarnya singkat.
“Apa? Tapi selama ini dia tidak pernah bilang benci cokelat.”
“Dia memang tidak benci cokelat,” katanya mulai jengah. “Hanya saja dia memang tidak suka. Dulu dia lebih suka rasa vanilla. Kecuali kalau cokelat krim atau coklat susu ditambah kismis. Dan biskuit dengan selai kacang atau keju.”
Aku mengangkat tangan kananku untuk menyela. “Dengar! Apa tidak ada hal lain yang lebih penting untuk dibahas? Mumpung aku masih sabar mengobrol denganmu.”
“Jadi, bagaimana perkembangannya? Apa sekarang dia sudah punya... calon istri?” tanyanya lirih. Dari wajahnya aku bisa menebak kalau dia berharap aku menjawab ‘iya’ seperti terakhir kali aku mendengar pertanyaan itu enam bulan lalu darinya. Tapi kalau dia ingin aku jujur, tentu saja jawabannya adalah tidak.
“Jangankan calon istri, teman dekat wanita saja dia tidak punya.”
“Kenapa tidak punya? Kupikir semakin lama dia terlihat semakin... menarik. Benar-benar tidak ada yang meliriknya?”
Aku menggenggam tanganku untuk menutupi mulutku agar tawaku tidak pecah. “Percuma punya tampang ganteng atau tubuh besar dengan otot-otot itu kalau dia selalu bersikap dingin pada semua wanita yang ditemuinya. Kupikir dia punya pengalaman buruk, apa aku benar?”
Lagi-lagi pertanyaanku tidak mendapat jawaban. Justru, wajah murungnya sekarang bertambah parah. Tidak banyak yang kuketahui soal dia ataupun Danang di masa lalu. Mereka berdua selalu enggan untuk membahasnya. Kalaupun ada, pasti hanya cerita yang sepotong-potong dalam beberapa versi yang sedikit berbeda satu sama lain. Tentu saja aku tidak punya hak untuk menanyakan apapun pada mereka lebih jauh apalagi kalau semua itu berhubungan dengan hal-hal yang bersifat pribadi, walaupun aku mengenal mereka berdua bertahun-tahun. Tujuh tahun aku mati-matian menahan rasa ingin tahu dan menyuruh diriku sendiri untuk tidak ikut campur terlalu banyak. Aku yakin, kalau sudah waktunya tiba, aku akan tahu semuanya.
“Setelah ini ajak Danang pulang ke Jakarta. Kalau bisa jangan kembali lagi ke sini. Dia hanya melakukan hal yang sia-sia.”
“Kamu tahu kalau itu tidak akan berhasil,” jawabku. “Lagipula dia hanya ingin merayakan ulang tahunmu di rumah kecil kalian yang dulu. Dia masih berharap bisa bertemu denganmu lagi. Atau mungkin dia berharap bisa menemukan makammu di sini. Maksudku, ‘benar-benar makammu yang sebenarnya’.”
Pintu mobil terbuka dan suaranya cukup membuatku kaget. Saat kami saling menatap, aku bisa melihat kedua mata Danang yang sudah memerah. Aku tahu dia pasti sudah menangis, sesuatu yang hanya kulihat darinya kalau kami ada di sini, tidak di Jakarta. Agar membuatnya tidak merasa malu, atau agar tidak membuatnya berpikir kalau aku merasa kasihan, aku hanya bisa mengalihkan pandanganku darinya untuk beberapa saat.
“Apa kamu tadi sedang bicara dengan seseorang?” tanyanya.
Danang melihat sekitar. Tapi pandanganku langsung kutujukan pada kaca spion. Dia sudah tidak ada di sana. Seperti biasa, datang dan pergi seenaknya.
“Aku sedang latihan,” elakku. “Beberapa dialog untuk tokoh antagonis di cerita baruku. Omong-omong, bagaimana hasilnya?”
Dia menghela napas panjang dan menunduk sebentar. “Tidak ada,” katanya sambil berusaha keras seperti ingin tersenyum. “Sebenarnya ada yang baru, beberapa. Tapi hanya satu yang kurang meyakinkan. Makam yang di tepi sebelah kanan paling ujung yang nisannya dari batu biasa. Kupikir itu makam kucing atau sesuatu. Jadi mungkin, dia masih baik-baik saja di luar sana. Sedang tertawa atau sarapan di suatu tempat, tidak di sini. Aku harap begitu.”
Bibirnya sedikit gemetaran. Dia langsung mengigitnya. Di kedua matanya, bening-bening air mata sepertinya sudah terbentuk lagi. Tapi seperti Danang yang kukenal, dia selalu mencoba terlihat tegar seolah matanya hanya sakit dan merah karena debu. “Kuharap dia sehat. Banyak yang sudah sembuh, kan? Leukimia atau kanker yang lain bisa disembuhkan. Bahkan...” Dia mengambil napas panjang lagi. Mungkin untuk mencegah rasa sakit di tenggorokannya yang bisa membuat suaranya serak. “... bahkan mungkin jika dia hanya merebus daun sirsak dan meminum airnya setiap pagi dan sore. Dan juga memakan ubi jalar ungu rebus.”
Dengan cepat, dia mengalihkan pandangannya ke luar jendela mobil, membelakangiku. Aku tahu menghibur dan menyemangati diri sendiri adalah hal yang sering dia lakukan di sini. Dia selalu berpikir positif. Walaupun kenyataannya tidak sesederhana itu. Kanker memang bisa disembuhkan, tapi tentu saja tidak sembuh dengan sendirinya. Setahuku, pengobatan dan uang adalah nomor satu. Sudah tujuh tahun sejak dia meninggalkan kampung halamannya, jadi pasti pikirannya sudah kemana-mana. Aku yakin hal yang paling mengganggu pikirannya selama ini adalah tentang berapa lama waktu yang dimiliki oleh seseorang yang terkena leukimia tanpa uang untuk berobat dan hanya mengandalkan air rebusan daun sirsak untuk sembuh, walaupun sel kankernya memang bisa dijinakkan dengan itu. Cukup menyedihkan dan aku tidak berencana memberitahunya kalau aku punya niat mengangkat cerita hidupnya dalam sebuah novelku yang paling baru.
Aku mencoba menghiburnya. “Jika kamu yakin dia baik-baik saja, lain kali jangan pernah lagi pergi ke tempat pemakaman seperti ini. Kamu tahu kalau sejak tiga bulan setelah kepindahanmu ke Jakarta, dia sudah tidak ada di desa ini. Dia sudah pindah ke suatu tempat yang bahkan kamu sendiri tidak tahu. Mungkin hanya Tuhan yang tahu.”
“Aku hanya ingin memastikan saja. Kurasa itu akan membuatku merasa lebih baik.”
Aku menepuk pundak dan memukul dadanya dengan punggung tanganku. “Sudah jangan menangis. Malu sama badanmu yang besar itu! Jangan membuatku ikut sedih.”
Dia masih tidak mau menatapku. Kebingungan adalah sesuatu yang bisa menggambarkan situasinya sekarang. Mungkin di satu sisi dia merasa lega karena tidak ada nama orang yang dicarinya di deretan batu-batu nisan itu. Tapi di sisi yang lain aku tahu kalau rasa leganya itu selalu membuat rasa cemasnya bertambah besar hari demi hari.
“Apa kamu butuh pelukan?” tawarku.
“Lakukan saja kalau berani. Akan kuremukkan semua tulangmu!” ancamnya. Dia menatapku tajam kali ini. Aku tahu dia tidak menyukai suasana lembut, walaupun yang kutawarkan hanyalah pelukan sahabat seperti yang orang-orang lakukan.
“Kenapa kamu semakin sensitif? Aku hanya ingin menghiburmu. Yang penting sekarang kamu tidak menemukan makam kakakmu itu di sini. Jadi terus saja berpikir kalau sampai sekarang Herman memang baik-baik saja. Sehat dan hidup bahagia. Lalu kalian akan bertemu si suatu tempat. Kurasa itu yang terbaik.”
Danang diam dan menerawang, kemudian mengangguk pelan sebelum menyalakan mobil dan menjalankannya. Tapi, begitu kami baru berjalan beberapa meter, dia menepikan mobil dengan tiba-tiba dan menghentikannya tanpa memperingatkanku.
“Kenapa kamu tiba-tiba berhenti seperti ini, ha? Membuatku kaget saja!”
Kedua alisnya terangkat dan perlahan-lahan menolehkan kepalanya ke arahku.
“Ada apa? Kenapa kamu menatapku seperti itu, Dan?” tanyaku.
“Berapa lama kita saling mengenal?”
Aku merasa mulai tidak tenang. “Sejak kamu pindah ke Jakarta. Tujuh tahun, kenapa?”
“Dan sudah berapa lama kita akrab? Atau kapan pertama kali aku mengajakmu ke sini?”
“Enam tahun yang lalu. Sebenarnya ada apa? Kenapa bertanya berputar-putar seperti itu?”
“Apa aku pernah menyebut atau cerita kalau ‘orang yang kucari’ adalah kakakku? Apa aku pernah bilang kalau makam yang kucari dan kuharap tidak akan pernah ada adalah makam kakakku?”
Rasanya seperti ada seember air dingin yang menyiram wajahku. Aku bahkan tidak sadar kalau sudah kelepasan bicara. “Kamu tidak pernah cerita? Masa? Lalu bagaimana aku bisa tahu, ya? Apa kamu pikir aku punya bakat meramal?” tanyaku gugup. Perlahan, tangan kiriku bergerak-gerak berusaha untuk membuka pintu mobil dan berharap bisa segera lari menjauh darinya. Tapi, Danang langsung menguncinya secara otomatis.
Yang kusadari setelahnya, dia menarik lenganku ke arahnya dengan cepat. “Ingat pelajaran manajemen emosi dan pengendalian diri, Dan? Salah satunya adalah, selalu bersikap ramah dan menyenangkan di depan sahabat baikmu. Sekarang, berikan senyum itu padaku,” kataku membela diri sebisa mungkin.
Dia seperti tidak menghiraukanku. “Ditambah lagi, apa aku pernah menyebut namanya? Bagaimana kamu pikir aku tidak curiga?” tuduhnya tajam. Rahangnya mengeras. “Kamu tahu kalau semua hal yang berhubungan dengannya bukan masalah sepele bagiku, kan? Aku tidak punya fotonya, aku tidak punya barang apapun yang berhubungan dengan kakakku. Jadi, katakan! Darimana kamu tahu?”
Bukan hal yang sulit kalau aku memang terpaksa berbohong dan cari alasan. Danang kadang terlewat bodoh dalam beberapa hal. Walaupun dia memang pintar dalam hampir semua hal.
“Ingat tiga bulan lalu saat kamu sakit? Demam tinggi dan aku menunggumu seharian?”
“Iya, lalu?” tanyanya masih dengan ekspresi penuh amarah.
“Kamu tidur malam itu dan mengigau menyebut nama ‘Mas Herman’ lima belas kali. Jadi, sebagai orang yang pintar, aku pasti bisa menyimpulkan sendiri siapa Herman yang kamu maksud itu. Apa itu sudah cukup jadi jawaban?”
Tatapan matanya kembali tenang, seperti nyala api lilin yang mulai meredup. Kedua tangannya merenggang dan pada akhirnya kami kembali ke posisi kami sebelumnya.
“Maaf, mungkin kamu benar. Aku selalu sensitif kalau membahasnya,” katanya kemudian.
“Memangnya tadi apa yang kamu pikirkan? Sampai marah dan tidak sabaran seperti itu!”
Dia mengusap-usap wajahnya. Menyandarkan kedua sikunya pada kemudi. “Entahlah, mungkin aku ingin kamu menjawab pertanyaanku tadi seperti, ‘Kita sedang jalan-jalan berdua di suatu tempat. Mall, bioskop, atau di manapun. Lalu ada seorang pria datang menemuimu dan menanyakan apa aku bernama Danang dan beberapa pertanyaan lain. Lalu pria itu mengaku sebagai kakakku dan berpesan padamu untuk selalu mengawasiku dan merahasiakan kedatangannya.’ Kupikir kalau kamu memang benar-benar menjawab seperti itu, aku akan dapat petunjuk kecil. Apa menurutmu aku sudah berpikir macam-macam?”
“Tidak juga, itu artinya imajinasimu bagus,” hiburku.
Aku paling tidak suka suasana sepi dan menyedihkan seperti ini. Akan lebih menyenangkan jika kami selalu menghabiskan waktu bertengkar, berteriak dan menjelekkan satu sama lain seperti yang biasa kami lakukan setiap hari. Melihatnya murung, tidak bersemangat, dan sedih hanya akan semakin menunjukkan kalau aku adalah sahabat yang gagal. Menghiburnya di saat-saat seperti ini jelas bukan perkara mudah. Kecuali jika aku berhasil menyeret Herman ke hadapannya. Sayangnya itu tidak mungkin, setidaknya untuk sekarang.
Aku menyenggol lengannya. “Kita pulang, Dan?”
“Ya, sebaiknya kita segera ‘pulang’.”
Aku menoleh lagi ke samping kiriku, saat Herman menampakkan dirinya di antara semak-semak, tepat di depan pohon mangga besar yang daunnya lebat. Aku menggerakkan mulutku dengan pelan untuk menyampaikan sebuah pesan padanya, ‘Kami menunggumu di rumah’.
biasa.a cerita bang priky bikin panas nih .. hhee. SKsD..
@totalfreak,, ohh,, gitu ya? lama ga nongol, bikin cerita ga kabar2!! #asah_golok
#panggil bala kurawa tante @yuzz unni @silverrain abang @idhe_sama
nuhun jenong @leehan_kim .
mention saya cinnn..
.
Mention Mention ya Om Fliky
klo update mention yah.