BoyzForum! BoyzForum! - forum gay Indonesia www.boyzforum.com

Howdy, Stranger!

It looks like you're new here. If you want to get involved, click one of these buttons!

Selamat datang di situs Boyzforum yang diarsipkan oleh Queer Indonesia Archive. Forum untuk komunitas gay Indonesia yang populer ini didirikan pada tahun 2003, dan ditutup pada tanggal 15 Desember 2020.

Forum ini diabadikan untuk kepentingan sejarah. Tidak akan ada konten baru di forum ini. Silakan menikmati forum ini sebagai potongan dari sejarah queer Indonesia.

Bukan Sekedar Cinta

1565759616297

Comments

  • mention ane yaa
  • mention ane yaa
  • @VeneNara , gak apa-apa kok, kita-kita dengan sabar menunngu dirimu update cerita lagi
  • Kaaaaa Nara kapaaaan updatenya? #ngerengek sambil tarik² baju ka Nara
  • Kangen ❤❤❤
  • tetap menunggu. keep spirit.........................!
  • mana ini penulisnya?? samperin yok.. abis itu gigittttt.. hiahahahahahaa
  • Ts blm lnjut nie..hehe..
    Smga ts bs punya wkt luang utk melanjutkn crt baguuuus bgt ni soalnya sayang kl berhenti ditengah jl..semangtt
  • @VeneNara
    kapan lanjut kak?
  • Misss cerita ini :(
  • Part VIII


    Mobil itu melaju dengan kecepatan sedang, membawa dua orang manusia yang terperangkap dalam kebisuan panjang didalamnya. Si pengemudi hanya fokus pada jalanan basah yang masih setia ditetesi air hujan, Sementara pendampingnya cuma duduk diam dengan pandangan kosong yang menunjukkan kalau dia… terluka.

    Rasa sakit tengah menggerogoti dadanya hingga jangankan untuk bicara, menatap wajah si pengemudi saja dia tidak mampu.

    Tatapan itu... sungguh tidak dia duga akan melihatnya.
    Bukankah kekasihnya sendiri yang menegaskan bahwa sudah tidak ada rasa lagi dihatinya untuk orang itu?

    Lantas mengapa? Mengapa dia harus menyaksikan kejadian
    seperti tadi?

    Entah apa maksud tatapan itu tapi yang jelas dia sadar ada perhatian besar yang tercurah melalui pancaran mata dan kontak tubuh mereka. Amat sangat besar... sehingga sulit untuk diabaikan begitu saja.
    Dan itu menusuknya....



    Menamparnya untuk bangun dan melihat realita...



    Bahwa...



    Dia telah sangat lancang masuk begitu dalam untuk menghancurkan sebuah hubungan.




    Malam telah melewati sepertiga watunya dan mata itu tetap bertahan untuk berjaga. Dengan tenaga yang seolah tidak akan pernah habis, dia duduk tegap pada sebuah kursi yang tidak jauh dari ranjang si sakit. Mengawasinya dengan seksama agar bisa memastikan jika si sakit tertidur dengan nyenyak.

    Tatapan sayu menghiasi wajah lelah yang dia bawa sejak dia datang. Dan raut lelah itu kian kentara saat dia menyaksikan kekalahannya sendiri. Karena dengan kejaidan tadi bukan hanya fisiknya saja yang lelah tapi jiwanya juga ikut lelah. Dan jika sudah demikian terduduk diam menjadi cara terbaik untuk menyampaikan sekaligus meredam apapun yang tengah dia
    rasakan sekarang.

    Benar kata orang bahwa kenyataan itu pahit. Dan sebenarnya dia tahu persis tentang hal itu, sebab pahitnya sebuah kenyataan bukanlah hal yang asing lagi baginya. Cuma dia tidak pernah menyangka akan bertemu kenyataan pahit dalam urusan seperti ini. Dia telah menjadi pemenang nyaris dalam segala hal karena itu sulit baginya untuk menerima bahwa setelah mencoba yang terbaik yang dia bisa, ternyata dia masih bukan siapa-siapa. Padahal dulu dia bahkan tidak perlu melakukan apapun untuk menarik perhatian siapapun itu. Dia bisa menaklukkan siapapun dengan sangat mudah. Amat sangat mudah hingga dia tidak perlu berpikir bagaimana cara melakukannya.

    Sigh!

    Bersamaan dengan helaan nafas itu Dewa memajukan tubuhnya untuk mendekat ke Ian yang tidur dengan pulas. Sentuhan orang itu benar-benar berhasil menenangkannya. Hingga Ian tidak sedikitpun menunjukkan tanda-tanda kalau dia kembali gelisah. Bibir Dewa tertarik membentuk sebuah senyuman tapi dia sama sekali tidak terlihat tersenyum.

    Diperhatikannya dengan teliti wajah yang tertidur itu kemudian menyentuhnya pelan dan berkata setengah berbisik.

    “Kamu harus bertanggung jawab karna sudah membuatku seperti ini”

    Tidak ada ‘kau’dalam kalimatnya melainkan ‘kamu’.

    Tidak ada tatapan dingin mengintimidasi melainkan sendu yang meluluh.

    Tidak ada ketegangan melainkan kehangatan yang semakin mengudara seiring wajah Dewa yang mendekat kewajah Ian.

    Dewa menyentuhkan hidungnya pada hidung Ian, menggeseknya perlahan lalu kembali menatap Ian.

    “Kamu dengar? Kamu harus bertanggung jawab”

    Tidak ada jawaban tapi sebuah kecupan lembut dan lama justru mendarat dikening Ian. “Cepat sembuh!” Bisik Dewa tulus.

    Waktu bergulir merubah detik menjadi menit, menit menjadi jam, dan jam menjadi jam berikutnya, begitu terus-menerus hingga tirai malam tersingkap oleh cahaya gagah sang matahari dari timur. Membangunkan para penerbang yang siap menguasai angkasa raya sambil mendendangkan kicau bahagia selamat pagi.

    Ketenangan Ian terusik oleh suara guyuran air di kamar mandi. Dia yang terbiasa bangun pagi bisa terbangun dengan sendirinya apalagi jika ada suara berisik seperti saat ini. Mata Ian membuka pelan lalu menerawang merasa ada yang janggal dengan sekelilingnya. Butuh waktu beberapa saat bagi Ian untuk menyadari kalau dia sedang berbaring di ranjang rumah sakit.

    ‘Rumah sakit lagi?!’ Batinnya.

    Pada saat kesadarannya sudah terkumpul utuh dia mulai merasakan nyeri dan perih disekujur tubuh. Tidak hanya itu dia juga merasa sangat lemas dan mulutnya kering. Dia haus. Dia butuh air.

    ‘Air?!’

    Dengan tubuh yang terasa lemah Ian lantas menoleh pada nakas yang ada dikiri dan kanan ranjang berharap menemukan air disana. Namun ternyata tidak ada. Dia kemudian mengedarkan pandangannya kearah lain dan menemukan sebuah dispenser yang berada cukup jauh untuk dicapai oleh orang sakit sepertinya.

    Ian mengernyit ragu, tubuhnya terlalu lemah dan sakit untuk digerakkan tapi rasa haus mendorongnya untuk mencoba bangun dan melawan semua itu. Gerakan pertama Ian merasa baik-baik saja meskipun dia sangat kesulitan melakukannya. Berhasil mengangkat kepala, Ian melanjutkan aksinya.

    “Apa yang kau lakukan?”

    Suara menusuk itu tiba-tiba muncul yang mau tidak mau menghentikan gerakan Ian. Dewa baru saja keluar dari kamar mandi, berdiri tegap memperhatikan Ian dengan raut wajah bingung bercampur tidak percaya.

    “Aku tanya apa yang sedang kau lakukan?”

    Ian sedikit tersentak dengan pertanyaan kedua yang terdengar seperti bentakan itu. Dia terdiam pada posisi setengah duduknya dan segera menunduk. Dewa marah padanya, bahkan disaat kondisinya seperti ini.

    Pada saat bersamaan entah mengapa tiba-tiba Ian mulai merasakan pusing yang seakan menikam setiap inci kepalanya. Ian menyerah, dia kembali berbaring sambil memejam mata rapat-rapat berharap rasa sakit itu cepat menghilang.

    “Jawab aku, apa yang sedang kau lakukan? Kau tidak tau kau itu sedang sakit?” Tanya Dewa lagi dengan geram.

    “Saya...”

    “Bicara yang jelas” Kejar Dewa

    Ian menelan ludah sementara matanya masih tertutup rapat. Semarah itukah Dewa padanya hanya karena dia menyebut nama Gugun? Hingga tidak ada lagi toleransi terhadap Ian meski kondisinya sedang tidak memungkinkan seperti ini. Ian tidak tahu mengapa tiba-tiba merasa begitu sedih.

    “Saya mau minum” Kata Ian akhirnya dengan suara bergetar.

    “Minum?”

    Dewa reflek mengalihkan pandangannya pada dispenser yang berada dekat pintu masuk lalu beralih lagi pada Ian. Dia mendengus kasar seperti orang kesal lalu berjalan mengambilkan air tersebut.

    Dengan mata yang masih terpejam Ian mengernyit gusar. Matanya panas diikuti dadanya yang terasa sesak. Dan itu bukan karena ucapan Dewa, tapi karena dia sadar bahwa kesalahannya lah yang membuat Dewa bersikap demikian.


    ‘Maafkan aku!’



    ‘Aku begitu bodoh’



    ‘Seharusnya aku tidak menyebut nama Gugun’



    “Ini minumnya” Suara Dewa mulai melunak begitu dia datang dengan segelas air.

    Ian membuka mata menahan pusing dan menatap wajah Dewa dengan seksama. Ingin sekali dia mengucapkan ‘maaf’ tapi mulutnya terkunci rapat. Hanya matanya yang perlahan terlihat berair karena berusaha menyampaikan kata tersebut.

    Dewa melihat perubahan Ian dan mendekat.

    “Kenapa? Ada yang sakit?” Tanyanya mulai khawatir.
    Ian tidak menjawab dan malah menatap lebih seksama wajah Dewa.

    “Hey?!” Tegur Dewa lagi. Dia menyentuh pelan kening, pipi dan leher Ian secara bergantian untuk mengecek apakah suhu badan Ian kembali tinggi atau tidak. Dan Ian tanpa sadar malah menikmati sentuhan itu.

    “Minumlah dulu!”

    Dewa membantu mengangkat sedikit tubuh Ian lalu menyangganya agar tidak jatuh. Dengan hati-hati dia meminumkan air di tangannya. Ian minum dengan cepat, dia benar-benar kehausan. Sebentar saja gelas itu sudah tandas isinya.

    “Terima kasih”

    “......”

    Dewa membaringkan kembali tubuh Ian dengan hati-hati lalu meletakkan sembarang gelas di nakas sebelah ranjang.

    “Ada yang sakit?” Sekali lagi Dewa bertanya pertanyaan yang
    sama. Dia sebenarnya tahu pertanyaannya terdengar bodoh karena jela-jelas Ian sedang sakit tapi masih juga bertanya.
    Ian menggeleng pelan untuk menjawab pertanyaan Dewa.

    “Katakan sesuatu” Pinta Dewa halus sambil tangannya menyentuh pipi Ian. “Kupanggilkan dokter ya”

    Ian cepat mencegah “Tidak perlu, saya tidak apa-apa”

    “Kau tidak mungkin tidak apa-apa” Bantah Dewa. Dia sudah hendak pergi namun cepat dicegah Ian.

    “Cuma sakit kepala. Bukan masalah besar”

    “Sakit kepala? Di bagian mana?” Dewa meraba kepala Ian seolah sedang mencari apapun yang menjadi penyebab Ian sakit kepala. “Tapi dia tidak bilang kalau kepalamu terbentur” Gumamnya diantara tangan yang aktif meraba namun dirasakan Ian seperti sedang mengelus.

    “……”

    “Bagian mana yang sakit? Dokter perlu tau tentang ini”

    “……”

    “Ian?”

    “…….Maksud anda siapa?”

    “Siapa apanya?” Dewa bingung pertanyaannya dijawab pertanyaan yang acak seperti itu.

    “Siapa yang bilang kalau kepala saya tidak terbentur”
    Dewa seketika terdiam, gerak tanganya berhenti. Raut khawatirnya lenyap berubah menjadi datar. Dia tidak terlihat marah tapi lebih kepada enggan, malas atau tidak suka.

    1 detik



    2 detik



    3 detik.......


    “Orang yang membawamu kemari yang bilang” Jawab Dewa akhirnya.

    “Siapa..?” Suara Ian terdengar pelan.

    “Apa aku harus menyebutnya?” Tanya Dewa tidak suka.

    “……”

    Dewa mendengus sebal, “Gugun, dia yang membawamu kemari dan dia juga yang mengabariku” Dia menjawab juga pertanyaan Ian.

    Ian mengernyit bingung. Bagaimana bisa Gugun mengabari Dewa sementara mereka baru sekali bertemu? Dan lagi Gugun tidak punya nomor handphone Dewa.

    “Bagaimana bisa…?”

    Seperti orang bodoh Ian malah terus bertanya dan mengabaikan perubahan sikap Dewa yang sangat jelas menunjukkan kalau dia tidak menyukai pembahasan ini. Ian sepertinya lupa tentang kemarahan Dewa sebelumnya. Hanya dengan menyebut nama Gugun saja dia bisa semarah itu apalagi kalau sampai membahas.

    Dewa lagi-lagi mendengus sebal dan membuang pandangan ke arah lain. Dia terlihat benar-benar tidak mau membahas masalah ini. Tapi tampaknya seseorang butuh sebuah cerita kronologi.

    “Aku menelpon mu berkali-kali tadi malam karna waktu sudah larut sementara kau belum juga pulang. Tapi tidak satupun dari panggilanku mendapat jawaban. Dan sekali dijawab malah orang itu yang melakukannya. Lalu dia bilang kau kecelakaan dan menolak memberitahu bagaimana kondisimu. Dia menyuruhku datang langsung kemari jika memang ingin tau tentang keadaanmu. ” Jelas Dewa.

    “…..”

    Meskipun Dewa menyampaikan penjelasannya secara ogah-ogahan tapi Ian bisa menangkap jelas maksud Dewa yang khawatir karena Ian tidak kunjung pulang semalam.

    “Tadinya aku bertanya-tanya kemana kau semalam. Tapi sekarang tidak lagi” Dewa menutup kalimatnya dengan tatapan yang amat menusuk dada Ian.

    “Maaf” Gumam Ian.

    “Kau pergi bertemu dengannya?”

    “……” Kali ini Ian yang membuang pandangan ke arah lain.

    “Kupikir hubungan kalian sudah selesai”

    “…..”

    “Atau aku salah? Kalian… masih menjalin hubungan?”

    “Tidak…sama sekali tidak” Ian bahkan tidak sadar akan betapa cepatnya dia membantah dugaan Dewa. Dia hanya ingin Dewa tahu kalau sudah tidak ada hubungan apa-apa antara dia dan Gugun.

    “Lalu kenapa kau masih bertemu dengannya? Ah.. aku lupa,
    kau ingin tetap berhubungan baik dengannya. Benar begitu?”

    “…..” Ian terdiam tidak bisa menjawab. Matanya bergerak gelisah.

    “Kau tidak lupa kan aku memintamu menjadi kekasihku?”

    “…..”

    “…..”

    “…..”

    Sigh!

    Dewa menghela nafas lelah. Dia tidak percaya sudah membawa dirinya serendah ini di hadapan Ian.

    “Istirahatlah! Aku akan pergi sekarang”

    Dewa berbalik bertepatan saat tangan Ian hendak terangkat untuk menggapainya. Jika saja Ian tidak merasa kesakitan dia pasti sudah berhasil meraih lengan Dewa dan mencegah orang itu pergi. Tapi rasa sakit menghambatnya. Dia ingin bersuara namun mulutnya kembali terkunci rapat.

    Pada saat itu pintu tiba-tiba dibuka dari luar. Reflek Ian menolehkan pandangannya ke arah pintu, begitu pula Dewa, langkahnya terhenti menunggu siapa yang masuk. Gugun diikuti mama dan papa menjadi jawaban bagi mereka tentang siapa orang yang membuka pintu barusan.
    Ian melebarkan matanya terkejut melihat siapa yang datang.

    “Ian... Ya Tuhan!” Mama berseru pelan sambil bergegas masuk mendekati Ian.

    Wajah mama terlihat sangat khawatir. Beliau hendak menyentuh tapi urung karena takut sentuhannya malah akan menyakiti Ian.

    “Kenapa bisa seperti ini?” Pertanyaan mama terdengar pilu.
    Ian tidak langsung merespon sebab dia sedang kebingungan mengapa mama bisa berada disini, sepagi ini. Bagaimana beliau bisa tahu? Padahal Ian sangat berharap beliau tidak sampai tahu perihal dia kecelakaan. Ian tidak mau melihat mama kesusahan seperti sekarang.

    “Mama? Mama kenapa bisa disini?” Tanya Ian hati-hati.
    Mama menghela nafas berat, wajah khawatirnya masih belum hilang tapi beliau merasa sedikit lega karena mengetahui Ian bisa bicara dengan lancar.

    “Gugun yang bilang. Dia menelpon mama berkali-kali tadi malam. Tapi mama tidak lihat karna terlalu nyenyak tidur”
    Mama menunjukkan wajah menyesalnya, amat sangat menyesal. “Mama baru lihat pesan yang dikirim Gugun subuh tadi dan langsung bilang sama papa supaya kita bisa segera kemari. Ya Tuhan, seharusnya mama bisa tau lebih cepat”

    Wajah mama tertunduk lemah berusaha menahan isak tangis. Beliau tampak sangat menyesalkan keterlambatan mengetahui perihal tentang Ian.

    Reflek Ian menolehkan pandanganya melihat orang yang disebut mama sebagai pengantar berita, berita yang membuat tubuh renta itu memaksakan diri melakukan perjalanan jauh disubuh buta untuk mengunjunginya yang hanya luka ringan.

    Bagaimana bisa? Bagaimana bisa dia melakukannya?

    “Kata Gugun kamu juga demam tinggi semalam. Sekarang bagaimana?” Mama yang berhasil mengendalikan diri kembali bersuara. Kali ini beliau memberanikan diri menyentuh pipi Ian hati-hati mencoba mengecek suhu tubuhnya. “Kamu masih merasa badanmu panas?”

    Ian menggeleng kaku setelah diam sejenak. Dia masih tidak habis pikir dengan Gugun.

    “Terima kasih sudah menjaga Ian semalam” Suara Gugun tiba-tiba menyela pembicaraan mama dan Ian. Tentu saja ucapan itu dia tujukan kepada Dewa, orang yang mengusirnya secara frontal tadi malam.

    Dewa tidak menghiraukan Gugun sama sekali. Melihat wajahnya saja sudah cukup membuat Dewa naik darah. Sesaat lalu dia sudah hendak pergi dari sana karena Ian membahas tentang orang itu, dan sekarang orang itu malah berusaha bicara dengannya. Berhenti disitu, itu tidak akan terjadi.

    “Anda berdua orang tua Ian?” Dewa bertanya sopan. Pertanyaan yang dia tujukan pada mama dan papa.

    “Mereka orang tuaku. Tapi Ian adalah bagian dari keluarga kami karena mama dan papa sudah menganggapnya sebagai anak sendiri”

    Gigi Dewa bergemelutuk menahan geram. Bukan karena jawaban Gugun yang cukup mengejutkan tapi lebih karena ‘kenapa harus Gugun yang menjawabnya?’. Dan lagi, jawaban itu terdengar seperti ultimatum ditelinga Dewa yang menyuruhnya ‘Berhenti bersikap sok karena kau bukan siapa-siapa’. Tapi mau seberapapun geramnya Dewa, dia tidak bisa membalas, tidak di depan orang tuanya. Apalagi jika ucapan Gugun benar maka mereka juga orang tua Ian.

    Hei tunggu!

    Seberapa dekat mereka sebenarnya?

    Mengapa Ian bisa menjadi bagian dari keluarga mereka sampai dianggap anak segala?

    Jangan bilang kalau sudah ada ikatan diantara Gugun dan Ian, seperti sebuah pernikahan misalnya?

    Tidak, itu tidak mungkin. Masih banyak kemungkinan lain yang bisa menjadikan Ian dianggap sebagai anak sendiri. Dan diantara semua itu pasti yang terlintas di benak Dewa barusan berada diurutan terakhir kemungkinan.

    Dewa sama sekali tidak sadar kalau dia telah membuat praduga yang berujung menggelisahkan diri sendiri.

    “Ini siapa?” Suara mama mengalun pelan ketika bertanya. Menarik kembali perhatian Dewa ke alam sadar.

    “Saya Dewa” Jawabnya lugas.

    Mama tidak menjawab tapi terlihat menunggu lanjutan perkenalan diri Dewa, hal serupa juga dilakukan papa, beliau menunggu.

    “Saya… teman Ian” Jawab Dewa pelan sengaja melirik sekilas pada Ian. Yang sedang terlihat gelisah tidak nyaman.

    “Oh!” Mama berseru pelan. Beliau memang tidak mengenal Dewa tapi sangat berterimakasih padanya. “Terimakasih sudah menunggui Ian semalaman” Kata beliau diikuti dengusan kecil Gugun. Tidak begitu jelas tapi dia mendengus.

    Mama masih terlalu khawatir untuk mengabaikan Ian, karena itu, hanya begitu saja kalimat basa-basi dari beliau. Papa lantas berbaik hati bertanya beberapa hal seperti dimana Dewa bekerja dan tinggal dimana. Namun setelah itu, semua kembali canggung, dan parahnya kecanggungan itu hanya berlaku pada Dewa seorang. Papa sepertinya lupa mengajak Dewa duduk lantas bicara dengan santai. Beliau sama khawatirnya dengan mama, jadi lebih memilih mendampingi sang istri sambil sesekali menepuk pundaknya mencoba menenangkan.

    Disaat seperti itu, Dewa amat menyesali tindakannya. Untuk apa pula dia melihat ke arah Gugun. Jika saja dia tidak melakukannya, maka dia tidak akan melihat orang itu sedang tersenyum pelan padanya. Senyum yang membuat dada Dewa ingin meledak. Sekali lagi, sekali lagi Gugun seakan ingin menunjukkan kalau dia lah pemenangnya.

    Sudah terlanjur, sekarang Dewa tidak bisa lagi mengalihkan pandangannya dari pria yang tengah berjalan mendekati ranjang Ian, bergabung bersama kedua orang tuanya. Amarah menghentak-hentak dada Dewa, tak mengizinkan matanya berkedip untuk waktu yang lama.

    Seisi ruangan seperti sedang menari mentertawakan Dewa. Dia mematung menyaksikan keakraban keluaga itu dengan Ian berada di dalamnya. Untuk kedua kalinya Dewa amat menyesal, menyesal karena mengetahui bahwa tidak ada tempat untuknya, setidaknya tidak untuk saat ini.

    Dewa terkekeh pelan ikut mentertawakan diri sendiri. Dia berbalik arah, bergerak pelan menuju pintu.

    “Mau pulang sekarang?” Suara Papa menghentikan langkahnya.
    Dia berbalik, ekspresinya datar. “Maaf, mungkin lain kali kita bisa ngobrol santai. Sekali lagi terima kasih!” Lanjut papa.

    Dewa mengangguk sedikit lalu benar-benar berjalan keluar. Sambil berjalan dewa mengusap wajahnya berkali-kali. Berharap perasaan berkecamuk di dalam dadanya segera pergi dan meninggalkanya dalam ketenangan seperti sebelumnya, sebelum dia bertemu Ian.

    ----



    Ian meneliti satu persatu wajah yang sekarang tertidur. Papa berbaring di sofa sementara mama sepertinya bersikeras duduk menemani Ian, sehingga tidak ada yang bisa mencegah beliau tertidur dalam posisi duduk.

    Tadi teman-teman Ian dari restoran sempat membesuk. Mereka mengetahui Ian sakit dari pak Rudi. Mereka memang tidak membesuk lama, tapi kedatangan mereka cukup untuk menunjukkan kalau mereka peduli pada Ian, dan sudah seharusnya begitu. Dari semua yang datang cuma Reza yang bersikap sedikit berlebihan. Anak itu sampai menangis melihat Ian terbaring dengan tubuh di perban. Berulang kali Ian harus menegaskan kalau dia baik-baik saja supaya anak itu berhenti menangis. Mereka lalu berbincang sebentar. Mama dan papa sempat bergabung bersama mereka sebelum akhirnya mereka pamit unuk pulang. Mereka tahu Ian butuh istirahat, karena itu mereka tidak lama disana

    Setelah kunjungan dari teman-temannya itu Ian sempat tertidur selama beberapa jam. Dan sekarang dia terbangun saat mama dan papa sudah terlelap. Jam menunjukkan pukul satu dini hari. Waktu yang sudah semestinya digunakan untuk beristirahat. Walaupun begitu, mata Ian justru malah enggan kembali terpejam. Bagaimana pula dia hendak kembali tidur, jika disampingnya mama terlelap dalam posisi yang tidak nyaman. Belum lagi raut wajah lelah serta khawatir yang entah kapan baru akan pergi dari sana. Semua itu mengganggu Ian. Dia menyayangi wanita ini, seperti halnya dia menyayangi keluarga ini, akan tetapi, justu kesusahan yang terus saja dia beri sebagai wujud rasa sayangnya.

    “Ma…” Panggi Ian nyaris tak bersuara.
    Tak ada jawaban.

    Ian menarik nafas, ragu untuk meneruskan tindakannya. Tapi melihat posisi mama tertidur.

    “Ma…” Ulang Ian dengan volume sama. Namun kali ini dia mengelus lembut lengan mama sebagai ganti menggoyangkan tubuh renta itu.

    Masih tidak ada jawaban.

    Ian mengulang sekali lagi memanggil dan mengelus pelan tangan mama. Beliau bergerak. Mata beliau terbuka perlahan, dan segera bangkit duduk begitu melihat Ian.

    “Kenapa? Ada yang sakit? Mana… mana yang sakit?” Tanya mama agak panik.

    Ian menyentuh tangan mama yang hendak menggapai entah kemana karena panik tersebut. Dia menggeleng tegas “Ian tidak apa-apa ma. Mama kenapa tidur disini?”

    “Tidak apa mama tidur dimana. Kamu benar tidak apa-apa?”
    Ian menggeleng untuk kedua kalinya. “Disana masih ada sofa kosong. Mama tidur disana saja”

    “Tidak usah, mama…”

    “Ma…” Potong Ian hati-hati. “Mama butuh istirahat”

    Mama memandang lekat wajah Ian dan menyentuhnya hati-hati. “Yang butuh istirahat itu kamu. Kamu yang sedang sakit sekarang”

    Ian tidak langsung menjawab. Dia tahu tidak akan mudah melawan mama disaat seperti ini. Tapi mama butuh istirahat. Ian harus melakukan sesuatu.

    “Tapi kalau mama tidak istiirahat mama bisa ikutan sakit”

    “…….”

    “Ian janji akan panggil mama kalau nanti perlu sesuatu”

    Tidak mudah, namun pada akhirnya mama menyerah. Beliau berjalan mendekati sofa yang masih tersisa dan berbaring disana. Satu jam berlalu. Mama sepertinya sudah dijemput mimpi tapi tidak dengan Ian. Matanya semakin terbuka lebar dan terasa sulit untuk dipejamkan. Dan di saat seperti itu bayangan Dewa meninggalkan rumah sakit tadi pagi malah menari dikepalanya.

    Pintu kamar terbuka tiba-tiba. Ian reflek melihat ke arah pintu melihat siapa yang masuk. Ada sedikit harapan dalam dada Ian kalau yang membuka pintu adalah Dewa. Namun ternyata Gugun lah yang melakukannya. Tidak bisa Ian hindari, sedikit rasa kecewa menyusup dalam hatinya. Raut wajah Dewa tadi pagi sebelum pergi masih melekat jelas di kepala Ian.
    membuat ian tidak tenang jadinya. Membuat ian ingin bertemu
    Dewa. Untuk memastikan apakah orang itu baik-baik saja.

    ‘Mungkin dia akan datang besok’ Batin Ian.

    “Kenapa belum tidur?” merupakan kalimat pertama yang Gugun tanyakan begitu dia sudah dekat ke ranjang Ian. Sebelumnya dia sempat memperhatikan sekitar. Matanya tertuju pada sofa yang dipakai mama dan papa.

    “Aku terbangun dan tidak bisa tidur lagi” Jawab Ian pelan.

    “Kenapa? Ada yang sakit?” Tanya Gugun mulai khawatir.

    “Tidak, aku baik-baik saja. Hanya tidak bisa tidur”

    “……”

    “……”

    “Istirahatlah, kamu butuh banyak istirahat supaya cepat sembuh”

    “Jika istirahat yang kamu maksud adalah tidur, aku sudah tidur beberapa jam tadi. Mungkin karena itu aku tidak bisa tidur lagi sekarang”

    “……”

    Gugun tidak menjawab lagi. Dia menarik kursi dan mengambil posisi duduk dekat dengan Ian. Untuk beberapa saat mereka saling diam dan menatap satu sama lain.

    “Kamu tidak pulang? Kamu sendiri juga butuh istirahat” Pertanyaan Ian memecah kebisuan.

    “Jangan pikirkan tentangku. Yang penting kamu sembuh dulu. Yang lain tidak perlu dipikirkan”. Ian terdiam mendengar kalimat Gugun yang begitu yakin dengan ucapannya. “Jangan terlalu banyak mencemaskan orang lain. Cemaskan juga dirimu sendiri”. Ian semakin lekat menatap wajah mantan kekasihnya. Gugun kembali menambahkan “Aku akan baik-baik saja”

    “Lalu bagaimana dengan mama? Bagaimana dengan papa?”

    Gugun bingung dengan pertanyaan Ian. Dia sungguh tidak mengerti mengapa tiba-tiba bertanya tentang mama dan papa. Karena masih tidak paham, Gugun menjawab asal saja yang menurutnya benar.

    “Mama dan papa juga akan sama. Kamu lihat sendiri kan? Mereka sedang istirahat dengan nyenyak”

    “Akan lebih nyenyak kalau saja mereka beristirahat dirumah” Kata Ian menatap lurus ke dalam mata Gugun.

    Gugun tertegun dengan ucapan Ian. Dia jelas tidak mengerti maksud Ian. Seperti halnya dia tidak mengerti kemana arah pembicaraan ini.

    “Itu tidak mungkin Ian. Kamu lihat sendiri bagaimana khawatirnya mama dan papa melihat kondisi mu. Bagaimana bisa mereka tidur nyenyak dirumah sementara mereka tau kamu sedang sakit? Kecelakaan!”

    “Kalau begitu jangan sampai mereka tau” Ucap Ian dengan suara semakin melemah menjelang akhir kalimat.

    “Apa?” Gugun tertawa gugup “Ian, kamu sadar kan apa yang baru saja kamu ucapkan?”

    “.......”

    “Itu tidak mungkin. Tidak mungkin membiarkan mama dan papa tidak tau. Mereka akan kecewa kalau mengetaui kita menutupi kecelakaanmu pada mereka”

    Ian menatap Gugun dengan mulut terkatup rapat. Pandangannya lalu beralih pada sofa dimana mama dan papa berbaring. Gugun benar, mama bisa sangat kecewa jika mengetahui Ian menutupi kecelakaannya sendiri. Jika melihat sikap beliau selama ini terhadap Ian, tentu saja beliau lebih rela lelah seperti saat ini dari pada dibiarkan tidak tahu mengenai kecelakaan Ian, orang yang sudah dianggap anak sendiri.

    Pada titik itu Ian tahu kalau dia sudah salah. Tapi dia tetap tidak suka cara Gugun yang memberangkatkan orangtuanya dipagi buta hanya untuk menjenguknya yang bisa dibilang tidak apa-apa.

    “ Maaf, aku terus membuat keluargamu dalam kesusahan. Seharusnya aku lebih hati-hati, supaya mama tidak perlu bersusah payah datang kemari”

    “Ian... Kamu bicara apa sih?”

    “Aku tidak tau berapa banyak lagi masalah yang akan kubawa untuk keluargamu”

    “Ian...”

    Mata Ian masih tertuju pada sofa saat dia mulai bicara panjang lebar. “Kamu ingat saat aku pertama kali datang kerumahmu? Aku masih ingat. Hari itu mas Yuda mengajakku kerumah temannya untuk acara barbeque-an. Aku dengan senang hati ikut. Karena kupikir aku akan mendapat banyak teman baru disana. Tapi dari pada dapat teman aku justru mendapat sesuatu yang lebih berharga malam itu. Sesuatu yang tidak pernah aku miliki sebelumnya. Kamu tau apa itu? orang tua, aku mendapat orang tua.

    “Mama memang belum mengucapkannya secara langsung saat itu. Tapi kehangatan mereka, cara mereka berbicara, berinteraksi, membuat aku tau ‘Seperti inilah rasanya memiliki orang tua’. Aku merasa nyaman, hanya dalam satu malam aku merasa benar-benar memiliki sebuah keluarga.

    “Aku pun jadi sering datang berkunjung kerumahmu. Sekedar untuk menyapa mama dan papa atau bercengkerama denganmu. Aku begitu menikmati semua itu sampai aku tidak tau kapan persisnya kita mulai menjadi dekat, begitu dekat hingga perasaan itu muncul tanpa bisa ku cegah. Dan semua kekacauan terjadi setelahnya. Kita memulai hubungan dengan menyakiti mama dan papa. Kita melakukan hal yang sama saat hubungan kita berakhir. Bahkan hingga sekarang, mereka tetap kena imbas hubungan kita.”

    Ian menghela nafas panjang. Gugun yang duduk mendengarkannya tidak sedikitpun berani menyanggah atau memotong perkataan Ian.

    “Ini semata-mata karena kecelakaanku. Aku terlalu gegabah. Mama dan papa lagi-lagi kena imbasnya. Aku menyesalkan tidak bisa mengendalikan diri. Aku kehilangan fokus karena merasa tidak nyaman berada di dekatmu. Maaf”

    “Tidak nyaman? Apa maksudmu tidak nyaman?”
    Mata Ian akhirnya beralih menatap Gugun.

    “Ya, aku tidak nyaman di dekatmu. Tidak bisa kujelaskan seperti apa. Semua bercampur, aku sampai tidak mengenali perasaan apa yang muncul saat kita berdekatan. Ketidakjelasan perasaankulah yang membuatku tidak nyaman. Karena itu kita perlu membuatnya menjadi jelas”

    Gugun mengerutkan kening menunggu dengan gugup kelanjutan kalimat ian.

    “Hubungan kita sebagai kekasih sudah berakhir. Kamu tau betul hal itu. Kita berdua tau. Kita berdua sudah sepakat untuk mengakhirinya. Gun, aku tidak mungkin kembali kesana. Ke rumah dimana hampir semua kenangan selama kita menjalin hubungan tercipta. Aku hargai niat baikmu. Tapi tidak di rumah itu. lagi pula aku sudah punya tempat tinggal layak sekarang. Jadi jangan khawatirkan tentang tempat tinggalku.

    “Rumah itu sangat indah, seindah kenangan ketika bersama. Hanya saja aku tetap harus melepaskannya tidak peduli seberapapun indanya tempat itu. [sigh].... melepaskanmu saja sudah sangat sulit dan sekarang aku harus melepaskan yang lainnya. Tapi aku harus, aku harus melakukannya”
    Gugun menatap nanar mata Ian.

    “Aku tidak menyesal sudah menghabiskan waktu bersamamu. Aku justru berterimakasih kamu mau melakukannya. Hanya saja... sepertinya kita memang tidak untuk hubungan seperti itu. Kita lebih pantas dengan hubungan sebelum rasa itu ada, keluarga. Itupun jika kamu tidak keberatan. Karena terus terang aku sangat menyayangi kalian. Aku sudah sangat kesulitan saat melepaskanmu, aku tidak mau melepaskan mama dan papa juga. Maaf jika aku terdengar egois. Tapi kalian satu-satunya keluarga yang kumiliki. Walaupun aku hanya bisa membawa masalah pada keluarga kalian. Aku ingin tetap bersama kalian” Ian menutup kalimat panjangnya dengan susah payah menahan isak tangis.

    Gugun terduduk lemas dikursinya. Dia tidak mampu mengucapkan sepatah kata pun. Tentu saja, setelah mendengar semua pengakuan Ian, apa pula yang mau dia katakan.

    Butir air mata mengalir dari mata mama. Beliau yang sejak tadi belum tertidur mendengar jelas pembicaraan itu. Mendengar pengakuan Ian mengenai apa yang dia rasakan selama ini. Mereka semua melewati masa yang berat hanya karena satu masalah.

    ---



    Pintu ruang kerja Dewa diketuk dari luar oleh seseorang. Dewa tidak menggubrisnya. Dia masih saja berdiri menatap keluar jendela. Membiarkan siapapun itu agar lelah sendiri lalu pergi dari depan pintunya. Kala itu malam sudah lebih dari pada larut sementara Dewa belum menunjukkan tanda-tanda kalau dia akan pulang.

    Suara ketukan kembali terdengar. Dewa tetap bergeming. Si pengetuk pun menjadi tidak sabar membuka pintu dengan hati-hati. Dia tahu Dewa ada di dalam jadi karena itu dia ragu untuk masuk.

    “Kau membuat Marisa khawatir sampai harus menelponku segala untuk bicara denganmu. Apa yang terjadi? Apa ini cara barumu mengatasi masalah? Dengan mengurung diri di kantor?” Kalimat sapaan tidak biasa Toni hanya ditanggapi sambil lalu oleh Dewa. Matanya kembali fokus pada jalanan. Entah apa yang menarik disana.

    Toni mengambil posisi duduk di salah satu sofa yang ada disana. Matanya lalu tertuju pada Dewa yang seakan menganggapnya tidak ada.

    “Kau tidak kerumah sakit?”

    “Untuk apa?” Di luar dugaan, Dewa menjawab begitu cepat pertanyaan itu.

    “Menjenguk Ian tentu saja. Kalian tinggal bersama kan?”

    Dan pertanyaan kali ini berhasil mengalihkan pandangan Dewa untuk menatap Toni. Toni mengangkat alis menunggu.

    “Tidak perlu. Sudah ada yang menungguinya disana. Dan kami tidak tinggal bersama dengan cara yang kau pikirkan?”

    Mendengar jawaban Dewa, Toni akhirnya paham apa sebenarnya yang membuat Dewa menjadi begitu kusut. Bahkan Marisa ikut khawatir dengan tingkah dewa hari ini di kantor. Wanita cantik itu buru-buru menghubungi Toni. ‘Temui dia dan bicara dengannya. Aku yakin masalah ini bukan bagianku tapi bagianmu’ Begitu kata Marisa saat menghubungi Toni tadi. Dan benarlah marisa, ini memanga bagian Toni. Dewa tengah mengalami konflik hati.

    Tapi, meskipun sudah mengetahui apa duduk masalahnya Toni tidak berencana langsung pada pokok masalah tersebut. Dia ingin sedikit menggoda Dewa. Seperti yang sering dia lakukan sebelumnya.

    “Benarkah? Ian juga bilang hal yang sama. Tapi aku punya pendapat lain. Kau tidak mungkin mengajak orang tinggal seatap kalau tidak apa-apa diantara kalian. Benarkan? Atau cara berpikirmu berubah sejak kau bertemu Ian?”

    Dewa menoleh dengan tatapan malas namun juga memelas. Tatapannya seolah berkata ‘Ayolah’, yang berati dia menyuruh sekaligus memohon agar Toni tidak mengganggunya. Sebagai orang yang selalu menunjukkan ekspresi dingin, ternyata dia juga bisa terlihat menggemaskan dengan perpaduan ekspresi tadi.

    “Ayo katakana padaku kenapa kalian tinggal bersama. Aku sampai terkejut Ian yang membuka pintu waktu aku berkunjung tempo hari. Kalian sudah jadian kan?”

    “Hentikan!”

    Toni terkekeh pelan.

    “Semua masih dalam proses dan semuanya terganggu sekarang”

    Sebenarnya Toni masih ingin mengganggu Dewa, tapi sepertinya dia tidak bisa melanjutkan aksi tersebut.

    “Tadi aku dan yang lain sempat datang ke rumah sakit...”

    “Oya? Bagaimana keadaannya”

    “Aku bahkan belum selesai bicara”

    Dewa berdecak sebal.

    “Kalau kau penasaran kenapa tidak datang sendiri ke rumah sakit?”

    “Aku tidak diperlukan disana” Jawab Dewa cepat. Ada sedikit emosi yang terbawa dalam ucapannya.

    Toni diam sebentar menimang apa tanggapan yang sebaiknya dia berikan. “Oya? Dari mana kau tau? Lagi pula disana cuma ada orang tuanya. Tidak ada...”

    “Mereka bukan orang tua Ian” Dewa menjawab cepat. Dia bahkan sengaja melihat langsung Toni saat mengucapkannya. Berusaha menyampaikan segala kecamuk yang dia bawa sejak tadi pagi. “Itu orang tua mantannya. Tapi mantannya bilang Ian sudah menjadi bagian dari keluarga mereka. Ian sudah dianggap anak dan yang ada dirumah sakit itu adalah reuni sebuah keluarga. Jadi bagaimana kau berpikir aku memiliki tempat disana?”

    “Oh!” Toni berseru pelan. ‘Begitu rupanya’ batin Toni.

    Toni kembali diam untuk berpikir apa yang sebainya dia katakana.

    “Bukannya reauni keluarga itu bagus?”

    Dewa langsung melempar tatapan paling mematikannya pada Toni. Yang ditatap malah lanjut berkata “Tapi sayangnya aku tidak melihat ada rasa semacam senang diwajah Ian tadi”

    “Apa maksudmu?” Mendengar itu Dewa segera melunak
    Toni mengangkat bahu.

    Dewa kembali berdecak sebal.

    “Lagi pula aku memang belum pernah melihat wajah ‘benar-benar senang’ Ian sejak kami bertemu”

    Dewa mulai tertarik dengan arah pembahasan ini.

    “Dia memang selalu tersenyum. Tapi sayangnya senyum itu tidak mampu menutupi beban yang berat yang dia pikul. Dia sering melamun, tidak fokus, melewatkan waktu makan, atau kalaupun dia makan itu hanya sedikit sekali. Kesehatannya juga sempat terganggu. Kau ingat kejadian dia menumpahkan minuman ke atas mu kan? Aku tidak tau apa yang sedang dia alami saat itu. Tapi apapun itu pasti sangat berat untuknya. Sampai sekarang pun aku belum pernah melihtanya yang benar-benar terlihat bahagia”

    “......”

    Dewa sekali lagi melihat keluar jendela.

    “Dia tidak akan mudah untuk dilumpuhkan. Dia tidak sama dengan mereka yang ada dimasa lalu mu. Kau perlu berusaha lebih keras”

    “......”

    “Kau banyak berubah sejak bertemu dengannya”

    “Darimana kau tau aku banyak berubah?” Tanya Dewa mencemooh.

    “Dari Marisa tentu saja. Dia yang terus mengawasimu disini sementara aku direstoran”

    “Kalian menguntitku?” Dewa bertanya tidak percaya.

    “Bukan menguntit tapi mengawasimu”

    “Sama saja”

    “.......”

    “......”

    “Mungkin akan lebih baik jika kau membesuknya besok”
    Dewa tidak menjawab.

    “Kau tidak pulang?” Tanya Toni

    “Sebentar lagi” Jawab Dewa.

    “Baik, kalau begitu aku duluan. Pastikan kau pulang. Jangan
    bermalam disini”

    “Hmmm”

    Selepas Toni pergi Dewa masih bertahan di dekat jendela selama beberapa waktu. Tentu saja dia ingin bertemu Ian tapi saat mengingat dia akan bertemu Gugun juga disana, dia pun mengurungkan niat.






    “Kamu yakin mau pulang hari ini? Kamu belum sembuh betul”

    Itu merupakan pertanyaan mama yang kesekian kalinya. Bgaimana tidak mama bertanya terus? Tadi malam secara mengejutkan Ian mengatakan bahwa dia ingin pulang. Dia bersikeras keadaannya sudah membaik. Dia juga menolak ajakan mama pulang ke rumah dengan alasan akan merepotkan mama. Padahal mama sendiri sangat berharap Ian setuju. Karena bila mengingat keadaan Ian yang belum benar-benar sehat, maka akan lebih baik jika Ian di dekat beliau, dengan begitu beliau bisa memastikan apakah Ian baik-baik saja atau tidak.

    “Ian sudah sehat ma. Dari awal luka Ian memang tidak terlalu parah kan? Lagi pula bosan juga lama-lama di rumah sakit” Ian tetap memberikan jawaban yang nyaris sama dengan semalam.

    “Tapi ini baru empat hari”

    Ian tesenyum dan meraih tangan mama. “Mama percaya ya sama Ian. Ian udah sehat”

    “Sehat dari mana?”

    Ian tidak lagi menjawab, dia hanya tersenyum dan selanjutnya diam.

    Pintu terbuka dan Ian segera menoleh untuk melihat siapa yang masuk. Harapannya masih sama seperti beberapa hari lalu. Dia berharap Dewa lah yang datang. Tapi dia harus menelan kecawa karena yang masuk bukan orang yang ditunggunya. Gugun datang dengan dua perawat setelah mengurus sisa administrasi.

    “Semuanya sudah beres. Kita bisa pergi sekarang”

    Mama menatap tidak yakin pada Ian dengan keputusan itu. Tapi Ian justru sebaliknya. Dia terlihat sangat yakin dengan keputusan itu. Dia bahkan terlihat bersemangat.

    Perjalanan ke apartemen Dewa berlangsung dalam diam. Masing-masing dari mereka sibuk dengan pemikiran sendiri. Ian sendiri terus bertanya-tanya pada diri sendiri bagaimana Dewa selama dia tidak ada.

    Apa yang sedang Dewa lakukan?


    Apa Dewa makan dengan baik?


    Bagaimana keadaannya?


    Pertanyaan-pertanyaan itu sudah menari-nari di kepala Ian sejak dia masih di rumah sakit. Semakin dia larut memikirkan pertanyaan-pertanyaan itu semakin dia merasa khawatir tanpa sebab. Dia ingin segera sampai. Dia ingin bertemu Dewa. Namun Setiba disana aparteman itu terlihat lengang. Tentu saja, sang pemilik pasti sedang berada di kantor saat ini. Ini hari kerja bukan hari libur.

    ‘Sepertinya aku berharap terlalu banyak. Mana mungkin dia tiba-tiba ada disini menyambut kedatanganku yang mendadak. Dia bahkan tidak menjengukku di rumah sakit’

    Ian sibuk mengeluh dalam hati, sampai dia tidak punya waktu untuk menyadari apa yang baru saja dia keluhkan.

    Matanya lalu meneliti setiap penjuru apartemen. Seperti biasa, tempat itu selalu bersih dan rapi. Bahkan Ian bisa mencium aroma Dewa yang tertinggal disana. Saat dia melewati dapur untuk menuju ke kamarnya, dia melihat tempat itu juga bersih. Ian berhenti sebentar. Langkah tertatihnya lalu mendekat ke dapur. Sampai disana dia melihat kesana-kemari. Tidak ada bekas yang menunjukkan dapur itu pernah dipakai untuk memasak. Semuanya bersih.

    ‘Apa dia sudah membersihkannya?’

    Ian lalu menuju kulkas, membukanya, dan melihat isi di dalamnya. Ada banyak persediaan untuk dimasak disana. Ian sedikit lega. Karena setidaknya sekarang dia tahu kalau Dewa memiliki sesuatu untuk dia makan. Ian lupa kalau selama ini Dewa tinggal seorang diri dan selalu memasak untuk dirinya sendiri. Untuk orang yang selalu memasak, sudah pasti dia menjaga isi kulkasnya agar selalu terisi.

    Mama dan Gugun yang sedari tadi hanya mengawasi tingkah Ian, akhirnya tidak bisa menahan diri untuk tidak bertanya.

    “Kamu cari Ian? Kamu lapar?”

    “Huh? Tidak. Aku hanya mengecek isi kulkas”

    Mama mengerutkan kening heran dengan sikap Ian yang menurutnya agak sedikit aneh.

    “Mama mau minum?” Ian segera mengambil beberapa gelas untuk menyiapkan minuman. Dia ingin menunjukkan pada mama bahwa dia baik-baik saja walaupun sebenarnya terlihat jelas kalau dia kesusahan melakukan pekerjaan tersebut.
    Mama mendekati Ian lalu mengelus punggungnya pelan.

    “Mama bisa minum nanti. Yang mama mau sekarang, Ian istirahat”

    Ian terdiam sebentar, namun kemudian dia meletekkan kembali gelas-gelas tersebut dan berjalan menuju kamarnya diikuti mama.

    “Tempat ini bagus” Puji mama lega. Tadinya beliau mengira kalau Ian masih tinggal di kos-an yang dulu. Makanya beliau sangat khawatir saat Ian minta pulang. “Kamu tinggal sendiri?”

    “Tidak. Aku tinggal dengan temanku. Sebenarnya ini apartemennya tapi dia mengizinkan aku tinggal disini”

    “Oh begitu rupanya.”

    Gugun yang duduk tidak jauh dari mereka hanya diam tak berkomentar. Jika diingat dia sudah begitu sejak dalam perjalan kemari tadi.

    “Mama jadi ingin bertemu dengan temanmu itu”

    “Dia orang yang mama temui di rumah sakit. Dewa”
    “Dewa?”

    Mama mencoba mengingat orang bernama Dewa dan begitu beliau ingat beliau segera berseru “Ooo Dewa yang itu!”
    Ian mengangguk mantap tidak melihat Gugun yang menatapnya dengan rahang mengeras.

    “Ma, kita balik sekarang” Ajak Gugun. Dia akhirnya bersuara juga.

    “Sekarang? Bagaimana dengan Ian? Lagi pula mama perlu bertemu Dewa dulu. Mama mau berterima kasih”

    “Terlalu lama kalau menunggu dia pulang. Iya kan Ian?” Gugun bertanya pada Ian untuk mendapat dukungan. Mata mereka beradu sebentar tapi Gugun cepat mengalihkannya ke arah lain. Sejak pembicaraan malam itu Gugun jadi sering menghindari kontak mata dengan Ian. Tidak hanya itu, dia juga jadi sedikit sekali bicara.

    “Iya ma. Dewa biasanya pulang malam. Terlalu lama kalau mama menunggu dia”

    Mama mendesah pelan. Beliau lalu menoleh pada Ian.

    “Kamu baik-baik ya sendiri. Jangan lupa kabari mama”

    Belum sempat Ian menjawab mama sudah memelukanya dengan erat. Mama lalu berbisik pelan agar hanya mereka berdua saja yang mendengarnya. “Mama juga ingin selalu bersama Ian. Tidak peduli apa yang terjadi diantara kita, mama mau kita selalu bersama. Karena kita keluarga. Selamanya kita keluarga”

    Mama melepaskan pelukannya, menatap Ian penuh sayang lalu mengecup lembut kening Ian. “Jangan lupa kabari mama”
    Ian yang masih agak bingung dengan ucapan mama mengikuti beliau kedepan untuk mengantar. Sebelum pergi mama memeluk Ian sekali lagi serta mengucapkan beberapa kalimat perpisahan dan nasehat khas orang tua. Ian tersenyum mengangguk untuk mengiyakan.

    Selepas mama pergi kesunyian mulai menyerang Ian. Dengan tertatih dia menyusuri setiap ruangan seolah dia sudah sangat lama tidak melihat tempat itu. Dari semua ruangan hanya kamar Dewa yang tidak berani Ian masuki. Padahal keninginannya untuk masuk sangat besar. Tapi jika dia berani melakukannya, Dewa bisa sangat marah.

    Sebaiknya dia menunggu, menunggu sampai Dewa pulang.













    Halo,
    Nara kembali....
    maaf lama. lappi rusak, kerjaan numpuk, mood ilang.
    hadeeehhh....

    maaf kalau tidak sesuai harapan,banyak tipo dan lain2. udah gak sanggup cek. mana listrik mati pas mau update.


    Aku tau ini tidak cukup bagus tapi semoga bisa menghibur dan kalian menikmatinya.

    Note: sengaja tidak mention siapapun (Malu udah kelamaan)
Sign In or Register to comment.