PROLOG
“ Bayang – bayang tak pernah hadir tanpa ada cahaya “
Ini cerita tentang matahari pagi. Namun, untuk melihat bagaimana ia terbit, cerita ini kita mulai ketika langit masih gulita. Ketika dingin dan suara menjadi runcing menusuk kulit dan telinga. Ketika yang kita miliki hanya janji dan cahaya dan keteguhan untuk mempercayainya. Saat itu kita menanam hidup pada sebuah kata sederhana : HARAPAN.
“ Semoga ada kabar baik disana,,” harap Mas Wira.
Aku mengangguk.
Ambulans mengantar kami menuju Rumah Sakit Mata Aini. Di sela – sela perawatan sakit lupusku, kami membawa harapan lain untuk pengobatan low vision yang kualami. Kadang harapan tumbuh begitu saja, Ia seperti tanaman yang menyusup dari sela-sela paving block. Tak ada yang dengan sengaja menanamnya, dan tak ada pula yang berjanji merawatnya. Namun, ia cukup tanggap menyambut hujan, tumbuh menjadi bunga. Dan kami berusaha membuatnya tetap hidup.
“ Kita sampai, dika,,” kata Mas Wira.
Aku mendengar pintu ambulans dibuka. Dengan fungsi penglihatanku yang tinggal lima persen saja, aku masih bisa merasakan sergapan cahaya. Jantungku berdetak sangat cepat ketika tempat tidurku didorong keluar dari dalam ambulans. Bunyi roda tempat tidur yang menggilas lantai rumah sakit terdengar bergemuruh lebih kuat dibandingkan seharusnya. Perjalanan dengan lift terasa seperti perjalanan ke luar angkasa, jauh dan asing. Mas Wira membantu paramedis mendorong tempat tidur ku. Meski tidak banyak mengatakan kata – kata manis, aku tahu dengan caranya sendiri Mas Wira menjaga harapan kami dalam hangat dan aman.
Roda tempat tidurku berderak lebih perlahan, tapi jantungku tidak. Sebuah pintu dibuka. Dingin yang terkurung dalam ruang tersebut menghambur keluar. Aku merasa tidak nyaman.
“ Mas Dika, silakan periksa,,” terdengar suara seorang lelaki. Beku.
“ Buka matanya ya mas !! “ perintah seorang juru rawat.
Belum sempat aku membuka mataku sepenuhnya, sang juru rawat sudah meneteskan cairan. TES !! Minta ampun perihnya, sebelum aku sempat mengenali rasa perih itu dengan baik, tanpa banyak bertanya, sekali lagi sang juru rawat meneteskan cairan itu ke mata ku.
“ Untuk membuat mata mas membelalak,,” jelasnya ,,, “ supaya lebih mudah diperiksa,,”
Pupil mataku memang melebar. Aku merasakannya. Namun, tetesan tiba-tiba itu juga meninggalkan kaget dan perih yang cukup lama efeknya.
“ Sudah ?? “ Aku mendengar suara beku sang dokter.
Selanjutnya, aku mendengar langkah kakinya mendekat, ia lalu memeriksaku tanpa bicara apa-apa. Akhirnya ia menuntaskan rangkaian pemeriksaan itu dengan simpulan tertutup,, “ Saraf mata Anda sudah pucat. Tidak ada harapan,,”
Tempat tidur dorongku dibawa keluar ruang praktek. Kali ini rodanya tidak terdengar seperti bergemuruh lagi. Ia menggilas lantai rumah sakit tanpa rasa percaya diri . Begitu kami memasuki ambulans kembali, air mata menetes dari mata Mas Wira dan aku. Harapan – harapan yang kami pelihara seperti mati diserbu bencana alam. Warna bukan milikmu, ia dapat dengan mudah diambil dari mu. Beberapa waktu lalu aku adalah Pradika Batara Adibrata yang dianugerahi mata yang dapat melihat segala warna. Sekejap kemudian, penyakit lupus yang berujung pada abses kotak menghapus warna-warna. Aku menerima terlalu banyak asupan kortikosteroid, obat lupus utama ku. Akibatnya, nanah membuncah dari otakku seperti gunung meletus. Saraf penglihatanku semakin dan semakin pudar, kemudian pada suatu titik aku tak bisa melihat apa-apa lagi.
“ Tidak akan Cuma begini, Dika, kita cari pilihan kedua,,” ujar Mas Wira.
Ambulans membawa kami kembali menuju Rumah Sakit Pertamina, tempat lupus ku dirawat. Harapan pengobatan untuk low vision kami simpan dulu untuk ditabur lagi di tempat yang tepat.
Cerita ini berangkat dari sebuah malam yang gelap. Ketika kita hanya bisa mempercayai janji cahaya dan menanam hidup pada sebuah kata sederhana harapan.
Ini cerita tentang matahari pagi. Di sinilah ia terbit dan belajar menjadi satu mata yang memandang semuanya. Satu mata yang ingin selalu belajar memandang kebaikan hidup dan menceritakannya kembali.
Cerita ini dipersembahkan bagi siapa saja yang ingin menjadikan hidupnya lebih bermakna. Mencoba memanfaatkan setiap detik hidupnya untuk bermanfaat bagi Tuhan dan bagi sesama. Ikhtiar dan harapan menjadi dua kata kunci yang selalu memompa semangat “ Mentari Pagi “,,, Yang kidungnya terasa lebih Indah……. Selamat Membaca,, Silakan Saran dan Kritiknya,,,
Comments
“ Di dalam kegelapan genggamlah lentara harapan,, Iman menuntun kita selangkah – selangkah,,,”
HARI ini suasana kantor seperti biasa, tidak ada yang berbeda dengan kesibukan dikantor ini. Ketika aku memasuki meeting room salah satu teman ku langsung menyambutku dengan nada prihatin, “ Dika, are you okay ?? “
“ I’m fine,, maaf ya terlambat, ada urusan sedikit tadi,,” sahutku sambil meletakkan map dan catatan-catatan di meja.
“ Bukan masalah terlambatnya. Loe kok kelihatan pucat sekali ?? “ Tanya temanku lagi sambil mengamatiku dengan saksama.
“ Masa ?? “ Aku balik bertanya.
“ Iya. Bukan Cuma gua lho yang bilang begitu. Ingat nggak waktu rapat kemarin banyak yang bilang kamu tambah pucat kan ?? Remember ?? Are you sure you are fine ?? “ Sekali lagi temanku mencoba meyakinkan dirinya.
Kata beberapa rekan kerjaku, belakangan aku memang terlihat agak pucat. Namun karena merasa baik-baik saja, semua ucapan itu hanya kutanggapi selintas.
“ Ka,, Dika,,!! Temanku masih menunggu jawabanku.
“ Gua baik – baik aja ko, tenang aja,,” sahutku sambil tersenyum. “ Oke, mana run down acaranya, coba aku lihat.. “ Aku mengalihkan pembicaraan seputar kesehatanku.
Ternyata perkataan teman-teman sekantorku cukup berpengaruh. Malam itu sebelum tidur aku jadi memperhatikan pantulan wajahku sendiri di cermin. Mungkin mereka betul. Aku terlihat agak pucat. Mataku sedikit berkantung, bibirku kering dan semu, pipiku tampak lebih cekung. Aku menyentuh tulang pipiku yang agak menonjol dengan telapak tangan. Baru kusadari bintik-bintik merah itu tersebar diseluruh lengan. Tak hanya di lengan, ternyata bintik-bintik itu terdapat juga di bagian-bagian bawah kulitku.
“ Mas, ini kenapa ya ?? “ tanyaku sambil masih bercermin mencermati wajah pucat dan bagian-bagian kulitku yang berbintik-bintik merah .
“ Apanya yang kenapa ?? “ Mas Wira yang sedang berbaring sambil membaca buku menurunkan buku dihadapannya.
“ Ini….” Aku membalikkan tubuhku membelakangi cermin, menunjukkan bintik-bintik merah di lenganku kepada Mas Wira.
“ Kamu ada alergi ?? rasanya enggak kan ya ?? “ Tanya Mas Wira.
Aku menggeleng
“ Gatal ?? “ Tanyanya lagi.
Aku menggeleng lagi
“ Ya sudah. Nanti kalau sudah sempat kita periksa ke dokter kulit,,” kata Mas Wira akhirnya. Ia lalu kembali membaca, sementara aku kembali menghadap cermin.
“ Mungkin kamu memang terlalu lelah, Dika ,,” kataku pada pantulan wajahku sendiri di cermin. Aku kemudian mematikan lampu dan naik ke tempat tidur. Malam itu aku memberikan istirahat paling nyaman yang kurasa memang dibutuhkan oleh tubuhku.
*********************************************************************************************************************************
DOKTER kulitku, dokter Dharma, tak butuh waktu lama untuk memeriksa bintik-bintik merah di kulitku. Hanya dengan sekilas mengamati, dokter Dharma langsung tahu bahwa bintik-bintik itu bukan penyakit kulit biasa.
“ Kemungkinan kamu kena demam berdarah, Dika, sebaiknya kamu segera cek darah ke laboratorium,,” saran dokter yang sebaya ayahku, yang memang sudah lama kukenal.
Jika memang demam berdarah, berarti itulah penyakit terberat yang kualami dalam dua puluh delapan tahun masa hidupku. Namun, aku percaya tubuhku mampu mengatasinya. Maka, setelah selesai berkonsultasi dengan dokter Dharma, Mas Wira dan aku pergi memeriksakan darahku ke laboratorium tanpa rasa khawatir.
Kami tinggal menunggu hasilnya.
KAMI sedang menonton televisi sambil menunggu kantuk menjemput ketika telepon bordering sekitar pukul sepuluh malam.
Kriiiiing..
Aku meringkuk. Enggan beranjak dari sofa.
Kriiiiiiing,, Kriiiiiiiiiing,, Kriiiiiiiiiing,,,,,
Telepon berdering tanpa putus asa. Aku melirik Mas Wira yang duduk disebelahku. Sepertinya ia pun enggan meninggalkan kenyamanan sofa.
“ Tolong dong Mas,,” pintaku sambil mengusap bahunya lembut, setengah membujuk.
Mas Wira mengalah. Akhirnya ia pergi juga mengangkat telepon yang berseru-seru dengan gigih itu.
“ Halo,,” sapa Mas Wira
Lalu sunyi
Aku memperkecil volume televisi lalu beralih menatap Mas Wira yang terlihat serius menyimak si Penelepon. Mas Wira tidak banyak menjawab, hanya sesekali ia mengatakan “ ya “ dan “ tidak “,, mencatat, lalu akhirnya mengucapkan terimakasih sebagai penutup.
“ Siapa, Mas ?? “ tanyaku ingin tahu.
“ Laboratorium,,” sahut Mas Wira sambil memencet nomor telepon yang sepertinya didapatkannya dari petugas laboratorium.
“ Apa katanya ?? tanyaku lagi.
Mas Wira mengisyaratkan aku untuk menunggu. Jadi aku berhenti bertanya, tapi tak berhenti memperhatikan Mas Wira dengan penuh tanda Tanya. Apa kata Laboratorium ?? Mengapa ia harus menghubungi malam-malam begini dan bukan yang sedang ditelepon Mas Wira ??
“ Halo dengan Dokter Surya ?? Ini dengan Wira, Rahagi Wirasena, dokter saya baru dapat informasi dari laboratorium kalau trombosit Dika drop sampai tiga puluh ribu……
Deg !!!!
Tiga puluh ribu !! Yang aku tahu, jumlah rata-rata trombosit normal manusia sekitar 150.000-200.000. Artinya, trombositku merosot jauh sekali. Ada apa dengan tubuhku ?? Tiba-tiba aku merasa tidak lagi mengenalinya. Sepanjang hidupku, baru kali itu ada berita seputar kesehatanku yang membuat aku benar-benar cemas.
Setelah Mas Wira menutup telepon, aku langsung beranjak dari sofa, menghampirinya.
“ Aku, kenapa Mas ?? “ tanyaku sambil mencengkeram lengan Mas Wira.
“ Trombosit kamu drop sekali , Dika,,” Jawab Mas Wira. Ia berusaha tenang meskipun suaranya sedikit bergetar.
“ Terus apa kata dokter ?? “ tanyaku lagi tanpa melepaskan cengkeramanku.
“ Katanya kamu harus masuk rumah sakit secepatnya sayang,,”
Aku mendadak lemas.
“ Tapi jangan panik dulu. Kita coba telepon Bapak sama Ibu kamu di Bandung. Mereka dokter juga, jadi pasti bisa memberi pandangan yang lebih jernih,,” Mas Wira menenangkan aku.
Sementara Mas Wira memencet nomor telepon Bapak dan Ibu, aku berpegangan limbung pada lengannya. Pikiranku tersumbat oleh kebingungan, kecemasan dan perasaan tidak percaya. Mas Wira berbicara sebentar, entah dengan Ibu atau Bapak, kemudian menyerahkan telepon padaku.
“ Halo Dika,,” Rupanya dengan ibu
“ Bu trombosit Dika drop sekali, Dika gak tahu kenapa,,” Aku hampir menangis seperti anak kecil ketika mengadu. Rasanya saat itu aku ingin cepat-cepat memeluk Ibu.
“ Iya Ibu sudah dengar dari Wira, kamu jangan panik ya, Dika coba cari second opinion. Hasil tes laboratorium belum tentu selalu tepat, kamu coba cross check ke laboratorium lainnya,,” saran Ibu dengan tenang.
Segera setelah ditutup telepon , Mas Wira dan Aku bersiap-siap mencari laboratorium lainnya yang dapat memeriksa darahku lagi saat itu juga. Kantuk tidak jadi menjemput, justru pergi jauh-jauh diusir kabar mengenai trombositku.
*********************************************************************************************************************************
Aku keluar dari laboratorium sambil memegangi lenganku. Kapas yang dilekatkan dengan plester putih transparan menutupi bagian lenganku itu. Di tempat itulah tadi petugas laboratorium mengambil darahku. Prosedurnya tidak berbeda dengan pemeriksaan pertama, namun informasi yang melatarbelakangi membuat jarum terasa lebih tajam dan menggigit. Udara seperti beku dan sulit dihirup. Waktu seperti bergerak mengendap-endap, lambat dan mencekam. Menunggu menjadi sesuatu yang sangat meresahkan. Padahal dengan sito (prosedur pemeriksaan darah, darah langsung diproses sesaat setelah diambil), aku hanya menanti satu jam untuk laporan hasil pemeriksaan.
“ kita tunggu di mobil saja ya, supaya bisa sambil tiduran,,” Kata Mas Wira.
Aku mengangguk setuju.
Karena sudah lewat dini hari, laboratorium rumah sakit memang sudah sepi. Suara computer dan peralatan elektronik yang masih menyala terdengar lebih nyaring dipantulkan dinding dinding. Suara langkah kaki petugas laboratorium yang tak banyak bercakap-cakap justru mempertegas kesunyian. Menembus seluruh suasana itu membuat perjalanan menuju mobil terasa jauh, sejauh jarak rumah sakit dengan rumahku yang memang lumayan.
Begutu tiba di mobil, kami segera bersandar senyaman mungkin dan menarik napas seakan oksigen hanya tersedia saat itu saja. Kami mencoba mengendurkan bahu dan membuang sejenak beban-beban yang dalam tempo beberapa jam saja seperti bertambah dan bertambah berat.
“ Putar radio mas,,” kataku
“ Sudah tidak ada jam segini, putar CD saja,,” sahut Mas Wira.
Sudah sangat gelap saat itu dan aku merasa lelah, bahkan untuk menyalakan lampu di dalam mobil. Jadi aku mengambil sembarang CD dan memutarnya. Suara gitar yang lincah dan ceria kontras dengan suasana dini hari itu, berkumandang lagu “ Here Comes The Sun “ The Beattles terbit di sela-sela kegelapan. Aku menyimaknya.
Little darling, it’s been a long cold lonely winter
Little darling, it feels like years since it’s been here
Here comes the sun, here comes the sun
And I say, it’s all right……
Lagi itu membuatku tersenyum sedikit. Kegelapan yang mencengkeram hari itu akan dikalahkan oleh cahaya matahari yang membawa hari esok. Harapan berjalan menempuh segala hal yang tak kumengerti, aku hanya perlu mengikuti tuntunannya dengan sabar dan percaya.
Lagu “ Here Comes The Sun “ sudah berganti dengan lagu lain yang tak terlalu kuperhatikan lagi. Mas Wira sudah lelap di sebelahku. Aku pun berusaha untuk beristirahat sejenak sambil mengucapkan doa dalam hati, kiranya Tuhan memelihara harapan dalam hatiku sampai cahaya itu datang, kiranya Tuhan menjaga langkahku menempuh jalan yang sedang gelap saat itu. Dan hari itu langit gulita. Entah berbintang, entah tidak. Aku tidak sempat memperhatikan.
*********************************************************************************************************************************
“ SAYANG, bangun, ayo kita ambil hasil tesnya,,” Mas Wira mengguncang bahuku. Aku yang baru saja pulas terpaksa membuka mata. Sementara Mas Wira mematikan CD, aku menggeliat mengembalikan seluruh kesadaranku. Selanjutnya kami berdua mengambil hasil tes darahku. Ternyata hasil yang kami peroleh justru jauh dari harapan. Bukannya lebih baik, trombositku malah turun hingga 15.000. Artinya tinggal sepuluh persen dari jumlah trombosit normal. Secepatnya aku harus dilarikan ke rumah sakit dan masuk melalui Unit Gawat Darurat.
Di Rumah Sakit, lagi-lagi trombositku merosot. Kali itu tinggal 9000 saja. Aku segera mendapat tranfusi trombosit.
Waktu seperti mempermainkan aku. Ia terasa panjang ketika aku harus menunggu, tetapi begitu cepat melompat-lompat saat hasil hadir. Tak sampai satu hari, aku yang seumur hidup belum pernah dirawat di rumah sakit sudah terbaring dengan tranfusi trombosit. Sebelum sempat memilih perasaan kaget , takut, bingung dan keteguhan pada keyakinanku, aku sudah harus menghadapi penyakit yang awalnya kuduga sebagai demam berdarah. Semuanya harus kutelan tanpa sempat kucerna.
@Syeoull
@totalfreak
@Yogatantra
@erickhidayat
@adinu
@z0ll4_0II4
@the_angel_of_hell
@Dhika_smg
@LordNike
@aii
@Adra_84
@Monic
@the_rainbow
@yuzz
@tialawliet
@Different
@azzakep
@danielsastrawidjaya
@tio_juztalone
@Brendy
Typo dikit tp gak mengganggu. Kayaknya mas edit dulu ya? Penggunaan tanda baca seperti tanda tanya, tanda petik dan lainnya jgn dispasi, hrs menyatu dgn kata sebelumnya (sebagian dgn kata sesudahnya). Untuk sementara itu aja masukan dariku. Semangat ya mas supaya cepet update. Mas dah jadi salah satu penulis terproduktif di bf.
Pertamax gak ya?
update mention ya
A good start, thats all i can say. Really good, sangat senang sekali dengan penuturan kata-kata, the flow was right in the place, phrase by phrase. what i like the most? theres no cliche intro if you know what i mean. there's no like "namaku adra, umur ku bla bla bla...., yeah, sekarang kerja sebagai..., di firma blalalal..." & thats boring to me
keep writing n keep up the good job
Tandain ah..
Btw, mention yah klo udah update
@arieat - Ikut Nyimak Juga Dah,,hahahahahahahahahaha,,
@tio_juztalone - wah saya harus banyak belajar dari mas,,posisi mas dimana ??
@danielsastrawidjaya - hehehehehe,, apanya yang produktif ?? hahahahaahahahaha,, iya mas nanti aku coba berusaha mengedit sebelum di lempar ke forum,,
@don92 - hore cerita ku ada yang baca,, hehehehe,, makasih mas sudah mau membaca
@jokerz - okeh mas
@tialawliet - Ada yang berbeda ko dengan cerita kanker
@Adra_84 - wah saya takutnya malah dipertengahan atau akhir malah membuat bosan,, hehehehehe,, makasih mas saran dan masukannya,,
@Flowerboy - Siap Mas,,
@dhanirizky - okeh-okeh mas
@CL34R_M3NTHOL - wah ada senior datang,, hehehehe,,iya mas nanti bisa dikoreksi ya kalau ada beberapa yang salah info tentang lupus