It looks like you're new here. If you want to get involved, click one of these buttons!
Copyright 2021 Queer Indonesia Archive. See our Privacy Policy. Contact us at [email protected]
Dengan menggunakan situs ini berarti Anda setuju dengan Aturan Pakai.
BoyzForum.com adalah situs anti pedofilia!
Comments
mention dong @rendesyah
@arieat – hehehehehe,, ya chubbynya kan beda,, heheheehehe
@adinu – makasih mas dengan setia membaca tulisanku,,semua obat yang kita minum memang memiliki efek samping tersendiri,,jangan dilihat kasihannya mas,, tapi bagaimana perjuangannya Dika ya,, hehehehehe
@dhanirizky – tenang aja mas dah di panggil kan,, hehehehe,, yang kemarin sekalilagi maaf ya,,
@tialawliet – kan namanya belajar,,hehehe,, pasti harus ada kemajuan disetiap tulisan,, tapi masih sangat jauh dibandingin tulisan-tulisab teman-teman kita disini,,masih tahap belajar,,
@don92 – waduh terimakasih sangat ya mas,, dari dua tulisan yang terdahulu pasti banyak kekurangannya ya mas ?? semoga bisa memperbaiki ditulisan yang ini.. Harapan itu selalu ada ko mas,, harapan tidak memandang apakah kita gay atau bukan,,
@Flowerboy – hehehehe,, dokter juga manusia ko mas,, jadi mohon pengertiannya,, hehehehe,, tidak semua dokter tidak seperti itu kho,, tuh apa yang dikatakan mas @tio_juztalone sudah tepat mas,, lupus itu tidak bisa disembuhkan,,tapi bisa dikendalikan,,
@tio_juztalone – Makasih ya mas sudah membantu menginformasikan tentang lupus,, banyak orang yang masih salah paham dengan penyakit ini,, Pemerintah belum menetapkan penyakit berbahaya seperti AIDS, padahal walaupun tidak menular pertumbuhan Odapus setiap tahun semakin banyak.. mohon dengan sangat koreksinya kalau nanti ada sesuatu yang salah tentang Lupus.
@alamahuy – siap mas,, kita sama-sama belajar ya
@Syeoull
@totalfreak
@Yogatantra
@erickhidayat
@adinu
@z0ll4_0II4
@the_angel_of_hell
@Dhika_smg
@LordNike
@aii
@Adra_84
@Monic
@the_rainbow
@yuzz
@tialawliet
@Different
@azzakep
@danielsastrawidjaya
@tio_juztalone
@Brendy
@arieat
@dhanirizky
@CL34R_M3NTHOL
@don92
@alamahuy
@jokerz
“ Light Up The World With The Ray Of Our Heart “
KESEHATANKU tak kunjung membaik. Penglihatanku semakin lama semakin kabur. Kepalaku sering sakit. Tubuhku tidak seimbang, dan tak jarang aku muntah-muntah. Di awal tahun 1999, dugaan itu mengantarkan pada pemeriksaan MRI (Magnetic Resonance Images) yang tidak menyenangkan. Aku diharuskan berbaring dan diikat seperti tawanan. Dimasukkan ke sebuah alat beruang sempit yang jarak atapnya tak jauh dari hidungku. Napasku sesak sementara jantungku berdetak kencang menuntut asupan oksigen. Setelah kesunyian yang cukup mencekam, suara cacahan medan magnet ditembakkan bertubi-tubi.
Drudutdutdutdutdut dut dut nguuuuut…… Drudutdutdutd….. nguuuuutt…..Dut
“ Stooopppp!! Stoopppppp “ jeritku tidak tahan.
Dan mesin berhenti. Aku ditarik keluar dari alat ber ruang sempit itu. Ikatanku dilepaskan.
“ Mas tidak boleh bergerak setidaknya setengah jam,,” Ujar petugas rumah sakit.
“ Saya tidak kuat ada ruang sempit ini sendirian, Apa Mas Wira boleh menemani saya disini ?? “ tanyaku
“ Waduh Mas Dika, sebetulnya orang sehat tidak boleh masuk ke ruang pemeriksaan MRI,,” ujar petugas rumah sakit itu lagi.
“ Tapi kalau Mas Wira saya tidak menemani, saya yakin saya tidak akan kuat bertahan di sana selama setengah jam, Boleh ya,,” Bujukku.
Petugas Rumah Sakit itu tampak kebingungan, tetapi aku tahu ia mencoba mempertimbangkan permintaanku. Aku menatapnya sungguh-sungguh dan penuh harap. Singkat cerita, akhirnya Mas Wira boleh menemaniku menjalani pemeriksaan MRI. Mas Wira setelah dilindungi baju anti medan magnet, kemudian diperbolehkan berdiri dekat sekali dengan mesin MRI yang mengepungku. Ketika tubuhku didorong memasuki mesin MRI, jantungku masih berdebar. Tetapi perasaanku jauh lebih tenang karena aku tahu, aku tidak sendiri. Mas Wira menyentuh ujung kakiku yang menyembul keluar.
“ Jangan dilepas, ya Mas,, dipegang terus,,” pesanku memastikan.
Mas Wira tidak menjawab. Ia hanya mengusap-u sap kakiku lalu memijat-mijatnya. Aku merasa lebih nyaman. Aku tahu Mas Wira tidak akan pergi ke mana-mana.
Drudutdutdutdutdut dut dut nguuuuut…… Drudutdutdutd….. nguuuuutt…..Dut
Suara terror mesin kembali membabi buta. Namun, kali itu disela-selanya, sayup terdengar suara Mas Wira mengaji. Aku merasa teduh. Suara Mas Wira tak dapat menelan suara tembakan medan magnet yang langsung diarahkan kepadaku. Tetapi telingaku jadi punya pilihan. Ia boleh memilih fokus dan tentu saja, Ia memfokuskan diri pada doa-doa yang dilantunkan merdu oleh Mas Wira.
Aku memejamkan mata. Merasakan aliran darah di kakiku yang menjadi lebih lancer karena dipijat Mas Wira. Di dalam hati, aku ikut mengaji bersama Mas Wira. Pemeriksaan kedua berlangsung dengan lancer. Selanjutnya, kami berdua dipersilakan pulang dan menunggu hasilnya.
*********************************************************************************************************************************
TAK SEPERTI BIASA, sore itu Mas Wira memasuki kamar dengan senyap. Mas Wira duduk di sisi tempat tidur kami membelakangi aku. Mas Wira tidak menyapa. Tak juga sekedar mengecek keadaanku. Aku tahu Mas Wira baru saja pulang dari rumah sakit, mengambil hasil pemeriksaan MRI-ku.
“ Mas,, Bagaimana hasilnya ?? Sudah keluar kan ?? “ tanyaku yang masih berbaring.
Mas Wira tidak menjawab.
“ Masih capek ya Mas ?? “ tanyaku lagi.
Mas Wira masih tidak menjawab.
Aku mulai merasa ada yang tidak beres. Apa yang terjadi ?? Apakah sesuatu yang buruk terjadi dengan kepalaku ?? Aku berusaha untuk duduk, kugeser tubuhku ke dekatnya, kemudian aku menyentuh lengannya hati-hati.
“ Dika,,” kata Mas Wira tanpa menatapku. Suaranya tertahan. Ia seperti berusaha mengumpulkan kekuatan untuk menjelaskan sesuatu.
Jantungku berdetak kencang. Berusaha mempersiapkan mental untuk apa pun yang akan disampaikan Mas Wira.
“ Gambar otak seharusnya bersih, tapi di gambar otak kamu ada noda,,”
Senyap lagi.
“ Dokter belum tahu itu apa,,”
Jeda lagi. Suara detik jam dinding mengambil alih kekosongan.
“ Bisa jadi itu abses otak atau tumor. Masih bisa dioperasi jika ternyata sekedar abses otak karena abses otak buka massa padat, hanya semacam nanah di bawah tengkorak kepala kamu, tetapi jika ternyata Tumor………..”
Aku menunggu lanjutan kalimat Mas Wira. Namun, tak ada lagi. Penjelasannya hanya sampai di situ.
Meski jantungku berdetak cepat, tubuhku yang sempat tegang mendadak lemas. Aku tak dapat menahan emosiku yang mendesak keluar, mendorong kesedihan sampai ke tenggorokan, kemudian luruh menjadi air mata. Aku menyekannya dengan punggung tangan.
“ Kita belum tahu itu apa, mungkin saja bukan sesuatu yang gawat,,” Mas Wira mencoba menyalakan harapan dengan bekal apa pun yang masih ada. Tapi baru saat itu kuperhatikan kalau mata pasangan hidupku pun agak merah. Ada sisa air mata yang masih menggenang di sana. Aku hanya mengangguk. Air mataku menetes lagi. Dan aku menyekanya lagi. Mas Wira memelukku. Nyaman sekali. Rasanya aku ingin terbenam di sana selama – lamanya.
AKU mengucek-ngucek mataku. Huruf-huruf di kitab suci membayang samar dan membaur tak menentu. Aku tak bisa membacanya. Bagaimana ini?? Padahal sore itu, di awal April 1999, aku bertugas membacakan saritilawah di pernikahan adikku. Agar semuanya berjalan lancar dan mulus, pagi itu aku merasa perlu berlatih dulu. Kubuka mataku selebar-lebarnya, lalu kembali kukucek-kucek hingga berair. Tapi percuma huruf-huruf itu tetap tak terbaca.
“ Kenapa Dik?? “ tegur ibu ketika melihatku sibuk mengucek-ngucek mata.
“ Nggak tahu, nih Bu. Kok huruf-huruf di kutub suci ini jadi bayang-bayang begini ya?? “ tanyaku.
Ibu menghampiri ak. Ia duduk di sebelahku sambil ikut mengamati huruf-huruf yang terbentang di hadapanku.
“ Hurufnya tidak apa-apa, mungkin Cuma terlalu kecil-kecil buat kamu,,” duga Ibu.
“ Tapi semalam tulisannya masih jelas ko Bu, belum begini,,” sahutku
Ibu tak berkata apa-apa. Ia beranjak sejenak untuk mengambil kitab suci yang lebih besar, kemudian meletakkannya di hadapanku. “ Coba pakai yang ini,,”sarannya.
Ketika Ibu meninggalkan aku, kuraih kitab suci yang diberikannya. Hari-hari aku membuka lembarannya lalu mencoba membaca huruf-huruf yang tersusun di sini. Ternyata percuma, yang dapat kulihat hanya bayang-bayang samar yang membaur tak beraturan. Aku menutup kitab suci sambil bertanya-tanya dalam hati. Ada apa sebetulnya dengan pengelihatanku??
*********************************************************************************************************************************
HARI itu adalah hari yang istimewa bagi adikku. Seluruh keluarga termasuk Aku dan Mas Wira ingin semuanya berlangsung khidmat dan sempurna. Pertanyaan tentang penglihatanku sendiri segera terlupakan, tertumpuk oleh berbagai kesibukan menjelang persiapan. Aku pun memutuskan untuk tetap membaca saritilawah walau tanpa berlatih.
“ Sudah siap sayang?? “ tanya Mas Wira yang sore itu bertugas membacakan ayat suci Al-Quran.
“ Insya Allah, Mas,,” sahutku
Kami berdua masuk ke dalam mobil dan segera berangkat ke masjid. Sepanjang jalan, aku mengamati gedung-gedung yang kulewati. Aneh. Seperti huruf-huruf yang berusaha kubaca di kitab suci pagi itu, yang dapat kulihat hanya bayang-bayang samar. Aku mengucek-ngucek mataku. Tapi percuma. Hatiku mulai waswas. Pertanyaan yang sepanjang hari tertumpuk oleh berbagai kesibukan, menyembul kembali di permukaan.
“ Kenapa Dika?? “ Tanya Mas Wira yang memperhatikanku sibuk mengucek-ngucek mata.
“ Mas, sepertinya ada yang kurang beres dengan pengelihatanku. Nanti, kalau pada waktunya aku tidak bisa membaca saritilawah, Mas tolong lanjutkan pembacaan ayat sucinya dengan saritilawah ya,,” Pesanku.
Mas Wira tidak banyak bertanya. Ia hanya mengangguk.
Aku sendiri memutuskan untuk tidak bercerita banyak dulu. Aku tak ingin suasana pernikahan adikku terganggu oleh apa pun, termasuk oleh masalah penglihatanku sendiri. Kubuang pandanganku keluar jendela. Gedung-gedung itu masih berjajar, sebagai bayang-bayang yang membayangi. Kecemasan mulai menghantuiku, aku berusaha menepisnya dengan berdoa tak putus-putus.
Mas Wira membacakan ayat suci Al Quran dengan lirih dan merdu. Aku duduk di sisinya dengan perasaan waswas. Mataku terpusat pada kitab suci di hadapanku, mencoba ikut membaca apa yang dibaca Mas Wira, tapi gagal. Yang dapat kulakukan adalah menyimak dalam hati sambil mengikuti ayat-ayat surat An Nissa yang dibacakannya. Ketika Mas Wira hampir rampung, aku tak tahu jantungku berdebar lebih kencang atau justru akan berhenti berdegup. Napasku tertahan. Apa yang akan terjadi?? Akan mampukah aku membacakan bagianku??
“ shadaqallahul azim.....” Mas Wira menutup pembacaannya. Tiba-tiba huruf-huruf yang hanya bayang buram menjelma terang. Hatiku melompat penuh syukur. Segera saja kubacakan terjemahan ayat-ayat suci hingga selesai. Lancar. Penglihatanku jelas dan terganggu sedikit pun. Seperti doa kami semua, hari penting adikku berlangsung lancar dan khidmat.
*********************************************************************************************************************************
SETELAH saat itu dan seterusnya, duniaku kembali bayang-bayang samar. Terjemahan ayat suci adalah hal terakhir yang dapat kulihat jelas. Kondisi fifikku pun merosot cepat. Nyeri menggigitku semakin menjadi nyaris tanpa henti. Aku semakin sering kejang-kejang. Bahkan pingsan. Seluruh keluarga, terutama ayahku sangat prihatin melihat kondisiku.
“ Coba bawa Dika ke RSCM, itu tempat berkumpul dokter-dokter ahli,,” saran ayahku melihat kondisiku yang kian hari kian buruk.
Mas Wira menurut. Di titik itu, kami tahu aku tak mungkin lagi dirawat di rumah. Kami tak ingin membuang-buang waktu. Secepatnya aku dilarikan ke RSCM, Di RSCM, aku dirawat oleh dokter-dokter lintas disiplin. Mulai dari hematolog sampai ahli bedah syaraf. Disanalah misteri noda di gambar otakku terpecahkan. Ternyata flek tersebut adalah abses otak, bukan tumor seperti yang kami khawatirkan. Ada rasa sedikit lega, meski misteri apa persisnya bercak noda di gambar otakku masih belum terjawab dengan jelas. Di rumah sakit ini pula kuketahui bahwa Prof Adi, dokter yang sempat menitipkan memo kepada dokter Rheina adalah dokter senior yang sempat mengajar dokter Rheina. Jadi jika dilihat dari segi pengalaman, Prof Adi tentu sudah lebih banyak mengecap asam garam di dunia kedokteran ketimbang dokter Rheina. Itu otomatis. Meski dokter Rheina sempat menolak saran yang diberikan Prof Adi, seharusnya jam terbang dokter menjadi pertimbanganku dalam mengambil keputusan
Ah, ada rasa sesal yang menyisip. Namun, kutepis cepat-cepat karena kusadari penyesalan tak memberi manfaat apa-apa. Mungkin ini memang sudah kehendak Yang Maha Kuasa, apa pun tujuan-Nya terhadap hidupku. Jumlah tablet prednison yang kukonsumsi otomatis dikurangi. Perawat lupusku kemudian dialihkandari dokter Rheina kepada seorang dokter. Dokter Heru namanya. Aku dirawat di rumah sakit sementara para dokter yang menanganiku berunding membicarakan tindakan apa yang tepat untukku. Satu hari, dua hari, satu minggu, sepuluh hari belum ada keputusan tindakan apapun terhadapku, Penanganan yang berlarut-larut menyeretku kepada kondisi yang semakin di ambang batas.
Melalui pintu masuk koper di pesawat terbang, tempat tidurku didorong menembus ke kabin pesawat. Aku hanya bisa berbaring, karenanya aku tak bisa masuk melalui pintu biasa. Aku pun dipasangi stretcher, tempat duduk khusus yang mirip tempat tidur. Keberangkatan menuju Singapura cukup merepotkan, tetapi keluargaku melakukan apa saja untuk dapat menyelamatkan nyawaku. Ketika itu belum sampai pertengahan tahun 1999, belum sampai enam bulan semenjak vonis lupus dijatuhkan kepadaku di awal tahun. Penglihatanku sudah parah sekali, tapi telingaku justru menjadi lebih tajam. Suara pesawat terbang di bandara berdesing lebih kuat daripada biasanya. Seakan pesawat itu yakin pada udara yang akan mengantarnya memintas angkasa. Di dalam hati, aku mencoba menanamkan harapan serupa.
Kondisiku yang tak lagi bisa menunggu hasil perundingan antar dokter di RSCM yang tak kunjung cair, membuat Mas Wira terpaksa mengambil tindakan. Mas Wira berinisiatif membawaku keluar Rumah Sakit Nasional dan memindahkanku ke Rumah Sakit Pondok Indah, sebuah rumah sakit yang saat itu memiliki kerjasama dengan organisasi internasional dan mempunyai akses ke beberapa jumlah rumah sakit di luar negeri. Kebetulan Rumah Sakit Pondok Indah pun cukup sigap melayani pasien. Dalam waktu singkat, mereka berhasil menemukan rumah sakit yang tepat untuk direkomendasikan kepada keluargaku.
“ Kita akan ke Singapur, Dika, ke Rumah Sakit Gleneagles. Sepertinya rumah sakit itu bagus dan cukup lengkap. Aku sudah browsing dari internet,,” Ujar Mas Wira dalam pesawat.
Aku mendengarkan meskipun terlalu lemah untuk menanggapi. Sepertinya Mas Wira pun tidak meminta tanggapanku, Mas Wira hanya ingin menyampaikan informasi dan mengajakku terus berbicara agar kesadaranku tetap terjaga.
“ Dika aku memilih Singapura karena pertimbangan jarak, badan kamu pasti protes kalau harus naik pesawat terbang sampai Australia, apalagi Eropa. Tapi jangan khawatir. Bukan berarti rumah sakit yang kupilihkan kalah bermutu ya. Di Gleneagles, kamu akan sembuh. Kamu pasti akan dirawat dengan baik sayang,,” Papar Mas Wira.
Biasanya Mas Wira bukan orang yang suka berbicara banyak, namun di perjalanan dalam tempo singkat itu, kata-katanya tiba-tiba mengalir lancer seperti air terjun. Aku hanya sanggup tersenyum menanggapi seluruh ucapannya. Ucapan yang pasti tak hanya di tujukan kepadaku, tapi juga untuk menguatkan dirinya sendiri. Begitu sampai di Rumah Sakit Gleneagles, aku segera menjalani rangkaian pemeriksaan dan diminta berpuasa. Malamnya, Mas Wira menggenggam tanganku.
“ Kamu siap ya, kita tidak akan buang-buang waktu lagi. Besok kamu bakal langsung dioperasi,,”
Aku hanya mengangguk lemah. Nyawaku yang berdiri di ambang batas berpacu melawan waktu. Waktu dan diriku kini menjadi ajang taruhan. Segala upaya akan kulakukan untuk menyusul lajunya.
Lorong yang panjang. Morfin mengirimku pada halusinasi dan mimpi-mimpi. Menyembunyikan rasa sakit luar biasa yang sesungguhnya sedang menderaku saat itu. Aku tak bisa diatasi hanya dengan satu kali operasi. Tak ada yang menduga bahwa ada sequel – sequel lain dari operasi ini. Setelah pengaruh morfin hilang, aku tak kuasa menolak rasa sakit akibat abses otak yang mendesak tengkorak kepala. Kepalaku seperti diiris dan dibenturkan sekaligus. Aku kadang menangis, kadang mengerang, bahkan sering kali sampai kejang dan akhirnya tak sadarkan diri karena pingsan, cara tubuh membebaskan dirinya dari rasa sakit. Ayahku kerap menangis. Ia tak dapat menahan luapan emosi ketika melihat aku begitu kesakitan. Sebaliknya Ibuku. Tak sekalipun aku melihatnya menangis. Ketenangannya diatas rata-rata. Dalam situasi sekalut itu, kejernihan pikirannya tetap tidak terganggu.
“ Jadi bagaimana?? Kamu masih mau lanjut?? “ Tanya Mas Wira ketika pada suatu kali aku akan menjalani operasi berikutnya.
“ sudah, dibawa pulang sajalah, Dikanya sudah kesakitan begitu,,” kata Ayahku tidak tega. Sebagai seorang dokter, ia tahu persis seperti apa prosesi bedah otak. Ia tahu kepalaku dibongkar pasang seperti mesin mobil hingga bentuknya sudah tak karuan lagi.
“ kalau dibawa pulang terus mau diapakan, Pak?? “ Tanya ibu ku.
“ Ya…disuruh istirahat di rumah. Kita yang rawat,,” jawab Ayah.
“ Kalau kita yang rawat, apa keadaannya akan jadi lebih baik?? “ Tanya ibuku lagi.
“ Kita tidak pernah tahu. Tapi setidaknya kan bisa kita coba. Aku tidak tega melihat Dika kesakitan seperti itu,,” ujar Ayah dengan suara yang mulai bergetar.
“ Kita Tanya saja ya sama Dikanya, dia pasti tahu yang lebih baik untuk dirinya sendiri,,” kata Mas Wira dengan suara yang santun, tetapi tanpa keraguan.
“ Aku mau terus,,” cetusku. Meski sakit karena operasi yang bertubi-tubi begitu menyiksa, aku ingin sembuh. Aku setuju dengan ibu. Dirawat di rumah belum tentu membuat kondisiku lebih baik. Di tangan para dokter Gleneagles lah harapanku dapat kutitipkan
Karena pandanganku sudah begitu buruk, aku tak dapat melihat ekspresi Ayah ketika itu. Tetapi ketika ia menyentuh tanganku, dapat kurasakan emosinya yang mengalir. Tangannya dingin tapi kasih sayangnya hangat. Rasa yang sama kurasakan ketika Ayah mengetahui aku adalah seorang Gay dan mengenalkan Mas Wira kepadanya.
Aku berada dalam keadaan sadar tak sadar, maka pada masa ini, aku hanya dapat mengingat sekuen yang putus-putus. Aku masih dapat mengingat beberapa perawat yang paling sering masuk ke kamarku. Mereka berbicara dalam Bahasa Inggris-Melayu yang khas. Butuh upaya lebih untuk mengerti dan berkomunikasi dengan mereka, apalagi dengan otakku yang tak dapat bekerja maksimal ketika itu. Ruang operasi selalu dingin. Sangat dingin. Keheningan membuat suara mesin disana terdengar lebih lantang. Aku juga masih bisa membayangkan sosok Ayah, Ibu dan Mas Wira, yang tak putus-putus mengingatkanku untuk berdoa, terutama sebelum memasuki ruang operasi. Dan setiap kali aku siuman selepas operasi, orang pertama yang kutahu pasti ada di sisiku adalah pasangan hidupku, Mas Wira. Kata-katanya selalu sama, tetapi kekuatan yang ditiupkannya tak pernah menjadi basi.
“ Sudah selesai operasinya Dika, Alhamdulillah,,”
Namanya dokter Huang. Ia adalah dokter spesialis infeksi di Rumah Sakit Gleneagles yang bertugas menangani aku. Suaranya empuk dan nyaman. Dari caranya memeriksa, kesabarannya bertanya, serta ketekunannya mendengarkan, terasa betul bahwa Ia dokter yang telaten. Kondisiku yang antara sadar dan tak sadar membuatku tak banyak bercakap-cakap dengannya. Namun, ia meninggalkan kesan yang baik. Pada suatu hari, ketika kondisiku sedang cukup baik untuk diajak bicara serius, Mas Wira duduk disebelah tempat tidurku.
“ Dika, aku tadi mengobrol dengan dokter Huang,,”
“ Terus?? “
“ Dia sudah screening. Strain yang menginfeksi otak kamu itu sudah diketahui, namanya nocardia,,”
Mas Wira berdehem. Aku pasang telinga lebih tajam untuk mendengarkan kelanjutannya.
“ Nocardia ini termasuk bakteri jenis langka. Infeksinya disebut nocardiosis. Tetapi setelah kita tahu persis, kita jadi tahu cara menyembuhkannya,,”
“ Bagaimana mas?? “ harapanku terbit seperti matahari pagi.
“ Kamu harus menjalani rangkaian operasi untuk menyelamatkan jiwa dan diberi antibiotik yang tepat,,” Ada kesungguhan yang sangat di nada suara Mas Wira ketika mengatakan itu. “ Obat kamu namanya augmentin, diminum. Ini long therm therapy, kamu harus kuat, tekun dan sabar ya....”
Aku mengangguk.
Aku ingin sembuh. Bagaimanapun caranya. Operasi dan terapi jangka panjang yang menanti di depanku kupandang sebagai jalan menuju kesembuhan yang kuharapkan. Aku harus berani menempuhnya. Atau aku akan berakhir di tempatku berdiri saat itu tanpa menjadi apa-apa.
*********************************************************************************************************************************
Pesawat terbang membawaku kembali ke tanah air untuk melanjutkan perawatan di Rumah Sakit Pondok Indah. Kali itu aku duduk tanpa stretcher dan naik melalui pintu penumpang selayaknya penumpang-penumpang lainnya. Untuk kenyamanan dan keamanan aku didudukkan di kelas utama. Meski begitu, kepalaku yang masih sensitif setelah menjalani enam kali bedah otak dalam sebulan masih saja terasa tak nyaman. Ya aku dirawat selama sebulan di Rumah Sakit Gleneagles.
“ Sakit Mbak,,seperti diiris-iris,,” keluhku pada Mbak Mila, Kakak dari Mas Wira, yang menjemputku ke Singapura untuk menemaniku di dalam pesawat.
“ Ini sudah kelas utama lho Dika, kita nggak bisa dapat tempat duduk yang lebih enak lagi. Tahan sebentar ya, perjalanannya tidak terlalu lama kok,,” Mbak Mila menenangkan.
Aku mengangguk. Dia betul. Tak seharusnya aku mengeluh. Justru seharusnya aku bersyukur karena nyawaku terselamatkan, meski abses otak yang terlanjur menjalar kemana-mana telah berefek merenggut penglihatanku. Aku menyandarkan punggungku di bangku pesawat. Seperti apa awan-awan yang diluar jendela?? Seperti apa penumpang lain di sekitarku?? Bagaimana mereka menatap aku?? Aku tak tahu. Tetapi ayahku berkata ,, “ Jika mata kamu tidak bisa melihat lagi, maka fungsinya akan digantikan dengan indra yang lain,,”
Dan aku percaya.
Telingaku memilih berbagai suara di dalam pesawat dengan cermat dan teliti. Suara laki-laki, suara perempuan. Suara anak-anak. Suara yang berat dan dalam. Suara yang nyaring. Bahasa Inggris, Bahasa Melayu, Bahasa India. Sambil tersenyum aku mencoba membayangkan sosok setiap pemilik suara tersebut. Desau pesawat terdengar lebih tajam di telingaku. Dengan berani ia memintas angkasa meski kadang penglihatannya terhalang kabut dan awan-awan.
@CL34R_M3NTHOL - wih hebat,, heheheehhe,, aku aja gak pernah dapat dokter,, heheheehhe,,
@dhanirizky - makasih mas,,
@erickhidayat - ohhhh begitu toh,, aku belum sempat baca lagi tulisan mu mas,, nanti malam ah pas lagi longgar dikit,, heheheheehe,, terimakasih ya mas,,
@tio_juztalone - tenang mas,, ceritanya masih panjang,, apa yang mas bilang tentang gejala, obatnya, efek sampingnya, cara pengecekan,, nanti ada semuanya,, abses otak adalah bagian dari penggunaan obat lupus yang nantinya menyebabkan low vision pada penderita,, terimakasih sarannya,,
Lanjutkan
ninggalin jejak.. ikut di mention yah