It looks like you're new here. If you want to get involved, click one of these buttons!
Copyright 2021 Queer Indonesia Archive. See our Privacy Policy. Contact us at [email protected]
Dengan menggunakan situs ini berarti Anda setuju dengan Aturan Pakai.
BoyzForum.com adalah situs anti pedofilia!
Comments
bang @locky yaaa mati suri, abis mati gegara baca updatean baru, trz idup lagi...
“Alll…!” terdengar suara samar dan perlahan-lahan makin jelas di telinga gw.
Gw membuka mata dan menggeliat.
“Alll…!”
“Yaaa…” jawab gw dengan suara berat dan serak.
“Kamu tidur ya? Ada yang mau ketemu sama kamu nih.”
Hah?
“Siapa?” gw langsung bangun.
“Lihat aja sendiri di ruang tamu.”
Hhh, apa susahnya sih tinggal bilang namanya.
“Buruan. Dia nggak bisa nunggu lama,” terang Mbak Alina.
“Siapa sih??? Dia yang mau ketemu, kok dia yang ngatur…” gerutu gw.
Gw langsung menuju kamar mandi, cuci muka dan gosok gigi. Lap muka dan nyisir rambut, terus menuju ruang tamu.
Sesampainya di ruang tamu, gw lihat Mbak Alina lagi ngobrol sama cowok. Tumben Mbak Alina bawa teman cowok ke rumah. Biasanya Cuma teman cewek. Kalo pun ada yang cowok, biasanya rame-rame nggak satu orang kayak sekarang. Pengecualiannya untuk Mas Geri, pacar Mbak Alina yang udah 5 tahun dipacarinya. Atau ini pacar barunya Mbak Alina? Emang dia udah putus sama Mas Geri? Setahu gw hubungan mereka baik-baik aja.
“Hm,” gw berdehem.
Sontak Mbak Alina dan tuh cowok menoleh ke gw sehingga gw bisa melihat dengan jelas muka tuh cowok.
Manis. Aura kedewasaannya kentara sekali.
“Mana teman gw, Mbak?’ Tanya gw ke Mbak Alina. “Udah pulang ya?”
“Ini,” Mbak Alina mengarahkan telunjuk ke cowok di sampingnya.
Hah?
“To, ini adikku, Almer. Al, ini Vito.”
Cowok itu berdiri dan menyalami gw. Gw dan dia bergantian menyebut nama.
“Jadi Mas Vito ini yang mau ketemu sama gw? Emang ada apa?”
“Vito ini temannya Mbak,” Mbak Alina yang jawab.
Gw mangguk-mangguk meski belum ngerti apa maksud pertemuan ini.
‘Oke, ngobrol aja dulu ya. Mbak buatin minum dulu. Mau minum apa, Vit?” Tanya Mbak Alina.
“Apa aja deh.”
“Oke deh. Sebentar ya…”
Mas Vito mengangguk.
“Beruntung ya Al, kamu punya kakak kayak Alin,” Mas Vito memulai percakapan.
Gw tersenyum.
“Gw pasti bangga punya Mbak kayak dia, tapi coba Tanya dia, bangga nggak punya adek kayak gw, hehehe…” gw terkekeh.
“Dia support kamu, itu tandanya dia menganggap kamu berarti buat dia.”
‘Kita emang saling support kok…”
“Tapi untuk kamu dia mau mengenal dunia yang selama ini nggak terpikirkan sama dia.”
Gw mengernyitkan kening. Gw nggak ngerti maksud kata-katanya barusan.
“Dunia kita, dunia abu-abu.”
Deg!
Jantung gw berdetak tak karuan. Dunia abu-abu?
“Mbak Alina ngomong apa aja?” gw berusaha meredam emosi gw.
“Dia bilang punya adik yang sama kayak aku.”
“Lu gay?”
“Ya.”
“Bisa kenal sama Mbak Alina dari mana?”
“Mbak kamu banyak cari tahu tentang dunia kita. Dari internet dan komunitas-komunitas pendukung LGBT.”
Jadi selama ini Mbak Alina diam-diam terus nyari tahu tentang dunia gay?
“Oh. Oke. Gw ke kamar dulu. Ambil handphone,” pamit gw.
Mas Vito mengangguk.
Gw berjalan cepat menuju dapur dengan dada berkecamuk.
Bisa-bisanya Mbak Alina nyeritain tentang gw ke orang lain. Orang yang nggak dikenal!
“Mbak!” seru gw dari ambang pintu dapur.
Mbak Alina yang tengah menyiapkan minuman menoleh.
“Kok kesini? Bentar lagi minumannya diantar…”
“Maksud Mbak apa ngenalin gw ke orang itu?”
“Kenapa?” Tanya Mbak Alina santai sambil mencicipi minuman dingin racikannya.
“Dia gay kan?”
“Wah, cepat juga obrolan kalian udah sampai kesana.”
“Mbak, gw nggak suka ya Mbak ngusik-ngusik privasi gw, apalagi ngasih tau ke orang lain!”
“Kamu Cuma salah paham, Al” kata Mbak Alina masih dengan nada lembutnya.
“Wajar kalo gw salah paham. Nyatanya gw benar-benar nggak ngerti maksud Mbak Alina itu apa!”
“Mbak---semua ini buat kamu,” kata Mbak Alina sambil membawa nampan berisi minuman. “Ayo!’
‘NGGAK!”
“Nanti kita bicara.”
Gw tetap mematung di tempat dengan dada bergemuruh.
Buat gw? WTF!
“Hei, ayo keluar,” Mbak Alina kembali menemui gw seusai mengantar minuman ke ruang tamu.
‘Kasih tahu gw dulu maksudnya apa?”
‘Nanti kita bicara.”
Gw menghembuskan nafas kesal. “Oke!” gw berjalan mendahului Mbak Alina.
Melihat kemunculan gw, Mas Vito langsung tersenyum.
‘Silahkan diminum, Vit,” kata Mbak Alina.
Mas Vito tersenyum.
“Al nggak nyangka kalo kamu itu gay,” kata Mbak Alina.
“Oh ya? Hehe…”
“Kayaknya kalian bisa cocok,” kata Mbak Alina.
“Maksudnya?” timpal gw cepat.
“Kalian sama-sama gay, dan saya rasa kalian bisa saling mengerti satu sama lain. Biasanya kalo orang yang punya background yang sama, maka bakal cepat kliknya…”
“Semoga begitu…” Mas Vito mengamini.
“Kalo sama keluarga mungkin kamu nggak bebas buat ngomong. Kamu sungkan untuk curhat. Jadi mungkin Vito bisa jadi teman curhat kamu,” kata Mbak Alina.
Oh, jadi ini tujuannya.
“Semoga aja…” jawab gw.
“Ya udah. Aku tinggal lagi ya? Udah sore. Saatnya para perempuan di dapur, hehehe…” kata Mbak Alina.
“Oh, iya.iya…” kata Mas Vito.
Sekarang kami berdua lagi.
“Selain keluarga, siapa aja yang tahu keadaan kamu?” tanya Mas Vito.
“Teman chatting aja…”
“Oohh… jadi masih sangat sebatas keluarga ya?”
“Emang kalo Mas sendiri udah open banget ya?”
“Nggak juga. Tapi ada beberapa teman yang udah aku kasih tahu… dan tentunya para mantan juga, hehehe…”
“Udah sering BF-an ya, Mas?”
“Baru tiga kali.”
‘Udah ngapain aja?” gw mulai tertarik buat ngobrol.
“Biasa aja sih….” Ia bermain aman.
“Biasa aja itu kalo dalam dunia gay kan maksudnya udah biasa ngeseks…” kata gw.
Ia memilih tertawa.
‘Jadi Mas udah dong?”
‘Ya begitulah…”
“Sama semua mantannya pernah semua?”
“Cuma mantan kedua dan ketiga.”
Gw sebenarnya tergelitik buat nanyain role-nya apa. Tapi gw tahan. Kayaknya belum tepat deh. Lagian buat apa juga gw tanya-tanya. Gw juga nggak ada niatan untuk ML kalo seandainya nanti punya BF.
“Kalo kamu?”
“Gw masih hijau banget, Mas…”
“Hijau usianya apa pengalamannya? Aku pernah ketemu sama gay yang dari segi usia masih hijau banget. Kelas dua SMA. Tapi pengalamannya jangan ditanya. Komplit!”
“Dari segi usia dan pengalaman, gw termasuk hijau dua-duanya,” gw mempertegas.
“Kalo bisa jangan sampai nyobain deh, Al.”
“Kenapa?”
“Ya sayang aja…”
Gw mangut-mangut.
“Nggak ada yang bisa kamu dapetin dari pengalaman itu.”
“Masa? Yang namanya pengalaman pasti memberi kita pelajaran.”
“Pelajarannya Cuma satu. Bikin kamu makin jago buat memuaskan nafsu kamu sama partner aja. Cuma itu aja.”
“Itu pun pelajaran…”
“Nggak usah dipelajari sih kalo yang itu. Setiap makhluk hidup punya insting untuk berhubungan seksual. Kamu bakal bisa dengan sendirinya.”
“Bisa. Tapi nggak bakal jago.”
“Buat apa jago? Toh setelah kamu muasin mereka sampai tuntas, kalian nggak bakal bareng dengan dia selamanya…”
“Namanya juga dalam rangka memuaskan pasangan. Itu Salah satu cara supaya dia tetap sayang dan terikat dengan kita kan?”
“Kamu percaya kalo BF kamu bakal terikat selamanya dengan kamu? Cinta kaum gay itu nggak abadi.”
‘Kenapa nggak? Kita bisa hidup dengan orang yang kita cinta dengan syarat bahwa kita sama-sama menjaga cinta itu. Menurut gw nggak ada beda antara cinta cowok ke cewek sama cinta cowok ke cowok. Selama cinta yang terjalin itu tulus, nggak ada yang nggak mungkin.”
“Okelah. Cuma hubungan gay itu sangat rentan, Al. kebanyakan habis manis sepah dibuang. Setelah dia bosan sama pasangannya, dan dia ketemu sama cowok baru, maka dengan gampangnya berpindah kelain hati.”
“Di dalam percintaan kamu straight juga gitu.”
‘Tapi seenggaknya antara cowok-cewek itu ada yang ingin mereka gapai, Al. hubungan mereka ada muaranya, yaitu pernikahan, membangun keluarga dan memiliki keturunan. Tapi di hubungan gay sendiri bagaimana? Apa akhir dari hubungan gay selain kencan diam-diam dan berakhir di tempat tidur? Sampai berapa lama kita bisa bertahan dalam hubungan yang nggak punya goal? Apa kita bisa mempertahankan kehangatan dalam hubungan seperti itu? Jika pun bisa itu sangat sulit. Berbeda dengan pasangan straight yang bisa menikah dan punya anak. Tali pernikahan dan keturunan bisa mengikat mereka. Tapi dalam kasus kita? Sulit untuk bisa berbesar hati selama puluhan tahun menikmati tubuh yang sama sementara lu bisa meninggalkan dia dengan begitu mudahnya tanpa ada ikatan.”
“Gak semua gay pikirannya kayak gitu. Teman chat gw bilang, temannya ada yang udah BF-an sampai sepuluh tahun dan mereka tetap happy. Tetap saling menyayangi satu satu sama lain, bahkan cinta mereka makin bertambah tiap harinya, meskipun mereka nggakmenikah, nggak punya anak. Tapi mereka tinggal seatap.”
“Bisa dihitung dengan kelima jari aja berapa banyak pasangan sejenis yang begitu.”
‘Iya. Gw Cuma mau ngasih contoh bahwa kekuatan cinta bisa merubah segalanya. Kalo kita ketemu sama Mr.Right, apa yang kelihatannya nggak mungkin, bisa jadi mungkin.”
‘Dan kamu percaya Mr. Right itu benar-benar ada buat kamu?”
“Uhmmm…semoga.”
“Hanya harapan saja kan? Faktanya, hanya 0,00000001 % yang beruntung kebagian jatah Mr.Right. selebihnya Cuma dapat tiga atau empat kali pakai, buang.”
“Kita aja yang nggak tahu. Di luar sana, khususnya di Negara yang udah melegalkan pernikahan sejenis, gw rasa banyak kok pasangan sejenis yang hidup bahagia selama puluhan tahun, bahkan sampai maut memisahkan. Mereka menikah, punya anak dan kehidupan mereka selayaknya kehidupan pasangan straight pada umumnya. Bahkan bisa lebih bahagia dari pasangan straight.”
“Dan kita bukan hidup di Negara yang melegalkan pernikahan sejeniskan? Jadi itu hanya sekedar mimpi bagi kita.”
“Kita bisa menikah di luar negeri, seperti halnya pasangan beda agama, dan membangun keluarga disini.”
“Bagaimana dengan lingkungan? Bagaimana dengan keluarga besar? Teman-teman? Masyarakat? Dan kalo kita mengadopsi anak, bagaimana perasaan anak kita saat gede nanti pas sadar ortu mereka nggak seperti ortu teman-temannya yang punya ibu dan ayah?”
‘Persetan sama orang-orang. Kita berhak bahagia. Hanya kita yang bisa mencari kebahagiaan kita sendiri.”
“Kita nggak mungkin bahagia jika semesta tidak mendukung.”
“Terus gimana??? Kita menyangkal ke-gay-an kita? Terus kita kawin sama cewek demi menuruti norma masyarakat? Apa itu bisa membuat kita bahagia? Gw rasa itu bukan solusinya.”
“Sebenarnya topic kita udah terlalu melenceng. Semuanya kan kembali ke individu masing-masing. Kan yang kita bahas pada awalnya, Mas menyarankan supaya kamu jangan sampai terjerumus ke kehidupan gay sex. Itu aja.”
“Iya, sih… hehehe…”
“Sekali udah masuk, maka kalo nggak bisa ngontrol diri, bisa ketagihan. Main sembarangan, akhirnya kena penyakit…”
“Mas sendiri kenapa main, hayooo?’ goda gw.
“Itu dia akibat gak ada yang nasehatin. Mas mengenal dunia gay ini dengan meraba-raba. Banyak baca cerita dan dengar pengalaman-pengalam seks orang yang kedengarannya seru banget, akhirnya tertarik buat nyobain. Tapi pacar pertama Mas nggak mau. Karena waktu itu dia dan Mas sama-sama masih baru. Jadi masih bersih banget. Karena dia nggak mau, jadinya Mas selingkuh deh sama pacar kedua itu. Dari dia Mas dapat pengalaman seks pertama.”
“Terus?”
“Bisa ditebaklah akhirnya Mas lebih milih yang mana. Mas merasa selingkuhan lebih sayang Mas ketimbang pacar. Jadi Mas minta putus. Sekarang baru nyesal. Mas udah menukar berlian dengan tembaga. Jelas-jelas Pacar mengajak kearah kebaikan malah ditolak.”
“Terus kenapa putus sama pacar kedua?”
“Kalo kita selingkuh, maka siap-siap juga diselingkuhin. Bosan sama Mas dia nyari mangsa lain…”
“Kayaknya pacar Ma situ udah malang melintang di dunia gay ya…”
‘Banget. Dia jago banget ngerayu. Mainnya juga jago karena udah berpengalaman.”
“Pertama kali main gimana? Sakit nggak?”
“Kebetulan Mas yang top, jadi nggak ngerasa sakitlah…”
Akhirnya tahu juga role dia apa, hahaha.
“Ohhh…”
‘Mainnya liar banget. Justru dia yang minta gaya ini, gaya itu. Mas yang baru mengenal seks merasa luar biasa bangetlah. Mas sayang banget sama dia karena ngerasa dia udah ngasih apa yang Mas mau.”
“Ketahuan dia selingkuh dari mana?”
“Mas mergoki dia di kost-annya lagi main. Ternyata dia nggak puas main sam Mas.”
‘Hiper ya?”
“Iya. Udah sering dimasukin, jadi pas main sama Mas yang baru dan awam jadi nggak asyik kali. Makanya cari tambahan diluaran.”
“Mas tau selingkuhannya itu siapa?”
‘Gigolo. Jadi dia main sama gigolo. Yang namanya gigolo pastilah mainnya jago, iya nggak?”
‘Bener-bener hiper berarti…”
‘Iya. Makanya Mas minta putus. Meskipun Dianya nggak mau. Dia sayang sama Mas katanya. Cuma dia nggak bisa nahan nafsu seks-nya. Makanya dia jajan.”
“Oh… dia jajan? Main hati nggak?”
“Nggak pake perasaan. Cuma seks doang. Tapi Mas mikir buat apa pertahanin dia kalo dia ngerasa masih butuh orang lain? Lagi pula Mas takut kena penyakit kalo dia suka jajan.”
“Yup. Pilihan Mas udah tepat sih…”
“Makanya kamu jangan coba-coba. Pertahanin diri kamu yang sekarang…”
Gw mangguk-mangguk.
Nggak kerasa sore sebentar lagi menjelang malam. Dari masjid udah terdengar suara lantunan kitab suci. Mas Vito pamit pulang.
“Thanks ya Mas, atas cerita dan s arannya…” kata gw.
Mas Vito mengangguk.
***
Pengen punya sodara kyk Mba Alina..
albert pengen gw lempar ke kolam piranha....!!!!