It looks like you're new here. If you want to get involved, click one of these buttons!
Copyright 2021 Queer Indonesia Archive. See our Privacy Policy. Contact us at [email protected]
Dengan menggunakan situs ini berarti Anda setuju dengan Aturan Pakai.
BoyzForum.com adalah situs anti pedofilia!
Comments
Aku terpaksa gitu karena aku updatenya sekarang lewat hape china busukku ini. Setiap post akan aku kasih nomer satu sampe sepuluh.
Dimohon agar tidak komen dulu kalo part sepuluh dari setiap updatean belum keluar. Ditunggu dulu sampe post yang ke sepuluh, baru kalian boleh hujat cerita ku semau kalian. Dihina boleh, di caci maki juga gak papa.
Sekian dari aku.
Semoga Update ini Tidak mengecewakan! Meskipun sebenarnya emang mengecewakan. Aku lagi nggak mood buat nulis. Jadi kalian nikmati aja dulu update ku yang pendek pakek banget ini. Buat yang tanya kok gak nyambung, kalian ke page 5 dulu ya. Ada update kecil yang bisa nyambungin cerita ini. Silahkan:
@Gabriel_Valiant
@masdabudd
@tio_juztalone
@kimo_chie
@cowok_pat1
@Aland_Herland
@asz_2468
@nega
@rifsipelangi
@ularuskasurius
***Lanjut***
Sekarang apa yang harus ku katakan? Verdi pasti bingung dengan apa yang barusan aku lakukan. Untuk apa aku berteriak histeris seperti tadi? Bukankah membuka celana di depan orang yang kelaminnya sejenis adalah hal yang wajar. Kalau bagiku, tentu saja tidak wajar.
“Owh, nggak papa kok Ver. Kamu berenang sendiri aja ya? Aku mau pulang aja.” Aku beranjak menuju ke arah meja belajar dimana kunci motor ku berada. Kuraih kunci tersebut dan berbalik ke tempat Verdi berada.
“Ver, aku pulang dulu ya?” Dengan senyum sedikit terpaksa ku langkahkan kaki ku meninggalkan kamar Verdi yang terlalu besar untuk bisa dibilang kamar ini. Lebih cocok kalau dibilang sebagai lapangan.
“Riz, tunggu!” kuhentikan langkahku seketika dan berbalik menatap Verdi.
“Kapan-kapan main kesini lagi ya?” ada sedikit raut sedih dari wajah Verdi. Kuanggukan kepala ku lalu kembali melangkah ke luar kamar. Waktunya pulang.”
***
“ BRAKKKKKK”
Aku merasa tubuhku melayang beberapa meter ke belakang dan kemudian jatuh terlentang menghempas aspal yang keras ini. Sepeda motor ku sudah tak kupikirkan lagi. Aku tidak merasa sakit sedikitpun. Aku hanya merasa kalau ada sesuatu yang keluar dari belakang kepalaku.
Sayup-sayup aku mendengar teriakan beberapa warga. Ada yang berteriak minta tolong, ada yang hanya menonton dan mengerubungiku. Hingga akhirnya kepala ku pun terasa berat, dan semua menjadi gelap.
***
Rasa sakit menjalari seluruh tubuhku. Mulai dari kepala, badan, tangan, hingga kaki. Aku ternyata masih hidup. Yang aku yakini adalah sebuah keajaiban. Keajaiban yang mungkin tidak semua orang dapat mengalaminya.
Di jalan tadi aku mendapat panggilan dari Rendi. Yang tentu saja sangat bodoh kalau aku mengangkat panggilan tersebut. Mungkin karena dasarnya tanganku dan otak ku sudah tidak sinkron, jadi tetap saja aku mengangkat panggilan tersebut.
Baru saja kurogohkan tangan ku kearah saku celana. Bunyi klakson khas mesin Hino RK 8 R260 alias bus terdengar nyaring di telingaku. Dan semua nya terjadi.
Aku masih belum dapat membuka mataku.
Rasa sakit yang menyerang tubuhku masih melarang otakku agar kelopak mataku tidak terbuka lebih dulu. Samar-samar aku mendengar ada yang membuka pintu dan menutupnya dengan sedikit membanting. Tangisan orang itu seketika pecah. Dan aku tahu, itu suara Verdi.
“Riz, kamu kenapa? Kamu kenapa jadi kayak gini?” Verdi berteriak sedikit histeris sembari memegang tangan kiriku. Genggaman Verdi sangat erat. Dan akhirnya, kedua mataku bisa melaksanakan fungsinya secara sempurna. Ku alihkan pandanganku ke arah kiri dimana Verdi berada. Mataku dan Verdi saling bertumbuk, dan sialnya. Lagi-lagi aku jatuh Cinta padanya.
“Riz, kamu kenapa bisa kayak gini?” tangisan Verdi sedikit mereda dibanding tadi. Ku balas genggaman tangan Verdi lalu menceritakan semuanya. Verdi mendengar ceritaku dengan sangat khidmat, seakan-akan cerita ku adalah sebuah ceramah.
“Riz, Rendi yang kamu maksud siapa? Gimana dia bisa kenal kamu?” Wajah Verdi sedikit berkerut tidak senang. Kenapa lagi nih anak?
“Itu loh, dia yang mukul aku pas pulang sekolah dulu.” Verdi hanya mengangguk lalu bertanya lagi.
“Kok dia bisa dapet nomer kamu?” aku sudah menduga kalau Verdi akan bertanya seperti itu.
“Aku nggak tahu. Rendi itu udah kenal aku dulu, pas aku lagi mau touring naik bis. Mungkin dia nyuri lihat hapeku dan nyimpen nomer hapeku.” Aku masih mencoba untuk tersenyum di depan Verdi. Namun selalu gagal.
Verdi hanya mengangguk lalu kami berdua larut dalam pikiran masing-masing. Entah apa yang di pikirkan Verdi. Yang jelas aku memikirkan alasan Verdi bisa menangis sampai tersedu-sedu seperti tadi.
Semakin lama aku berfikir, semakin pusing dan sakit pula kepala ku. Kuputuskan untuk memejamkan mata agar sedikit mengusir rasa sakit ini. Tapi sialnya, aku justru malah terbawa ke alam mimpi.
***
Ku buka perlahan-lahan mata dan mulai mengumpulkan nyawaku yang belum sepenuhnya kembali ke ragaku. Setelah yakin tidak ada roh yang telat masuk ke dalam tubuhku. Rasa sakit yang kemarin aku rasakan sudah sedikit berkurang. Dan aku yakin kalau kemarin aku ada di rumah sakit bersama …
Tunggu! Di mana Verdi? Ku edarkan pandangan ke seluruh ruangan putih ini, namun tak jua ku temukan sosok Verdi. Ahhh, mungkin saja dia pulang.
“Rizky, kamu udah bangun?” Pintu kamar seketika terbuka dan menampilkan sosok Verdi dengan membawa sebuah nampan kecil di tangannya. Ku lengkungkan bibirku agar menjadi senyuman dan ternyata berhasil. Verdi yang kini berada di samping kiriku kemudian meletakkan nampan tersebut di meja kecil ala rumah sakit. Pandangan ku masih tertuju pada Verdi.
Sangat sulit untuk mengalihkan pandangan ku kearah lain. Verdi pun membalas tatapan ku. Matanya yang hitam beradu dengan mataku yang coklat agak kekuningan. Lama kami berpandangan hingga akhirnya kepala Verdi mulai mendekat.
Nafasku tercekat, apa yang dia lakukan?
Kepalanya kini berjarak sekitar 15 senti di depan wajahku. Detak jantungku semakin cepat, otakku masih menunggu apa yang akan di lakukan Verdi. Dan akhirnya Verdi menarik kepalaku lalu …
“CUP”
Sebuah ciuman mendarat tepat di keningku. Aku sedikit kecewa karena bukan bibirku yang di cium, tapi juga lega karena ia tidak melakukan hal itu. Alasannya, karena hal itu pasti akan menjadi candu untukku. Ku amati wajah Verdi yang tampan tersebut, dia masih tetap seperti dulu. Tersenyum hangat kepada setiap orang. Termasuk padaku.
“Riz, kamu makan dulu ya?” Verdi mengangkat mangkuk kecil yang ada di atas nampan tersebut dan kemudian mengaduknya sebentar. Saat hendak menyuapkan sesendok bubur tersebut padaku. Cepat-cepat kutahan tangan Verdi.
“Aku bisa makan sendiri!”. Aku berujar dengan nada yang kubuat sedikit kesal. Aku bukannya tidak mau, tapi ya kalian pasti tahulah. Malu.
“Udah deh. Nggak usah pake nolak!” balas Verdi dengan nada yang lebih kesal daripada aku tadi. Yah, aku pun harus mengalah. Kubiarkan Verdi memasukkan sendok demi sendok bubur tersebut ke dalam mulutku. Setelah selesai dangan bubur, Verdi kemudian menyodorkan gelas kecil yang sangat kecil dan ternyata isinya adalah obat.
“Kamu minum obat dulu ya? Habis itu, kamu istirahat lagi! Aku mau pulang sebentar.” Kuanggukan kepalaku lalu meminum obat yang tadi Verdi berikan. Verdi pun beranjak dari kursi dan mengambil sebuah kunci dari atas meja. Verdi tersenyum tipis hingga akhirnya ia menghilang di balik pintu. Kembali kupejamkan mataku dan bersiap untuk mengarungi alam mimpiku lagi.
***To Be Continued***
Buat yang nggak komen nggak apa-apa. Aku sadar kok kalau tulisanku bener-bener menyedihkan. Jadi silahkan Hujat tulisan random ku ini ya?
Rizky
@FransLeonardy_FL
@reenoreno
Buat @reenoreno nih gue update. Ikutan dikit kaya punya lo¿ heheheh
Jangankan readers, aku aja lupa! hehehe
Sehabis UN insya allah bakalan rajin update.
Gak tau gue juga. Nulis panjang nyita otak banget. Si Rendi habis part ini akan muncul dengan kejutan. Kejutan yang gue sendiri sampek sekarang masih nggak percaya.
Ho'oh mbak. Si rendi mah nggak romantis! Dia cuma menang tampang.
*digamparin Rendi
Silahkan dibaca:
@Gabriel_Valiant
@masdabudd
@tio_juztalone
@kimo_chie
@cowok_pat1
@Aland_Herland
@asz_2468
@nega
@rifsipelangi
@FransLeonardy_FL
@ularuskasurius
@reenoreno
Nih buat kalian yang pingin sakit mata, silahkan dibaca. Komen lho ya?
***Lanjut***
6 bulan kemudian
Hari-hariku bersama Verdi terasa semakin indah. Hampir setiap hari aku dan Verdi menghabiskan waktu bersama. Aku semakin mengenal kepribadiannya. Dia sedikit ceroboh sama sepertiku. Dia juga mudah marah ketika disinggung. Ini juga sama seperti ku. Meski tidak separah Verdi. Yang membedakan sifatku dan Verdi adalah, dia rendah hati.
Sedangkan aku, jangan Tanya! Aku adalah orang yang sedikit, eh ralat. Sangat sombong dan kejam. Entah sudah berapa murid yang aku hantam kepalanya dengan kedua tanganku. Tapi mereka semua tidak pernah mengadukan hal ini ke guru BP. Ya iyalah, orang aku mengancam mereka.
Aku tidak mau merubah diriku. TIdak mau.
Dan kini aku sudah kembali berada di sekolah. Sekolah yang
mempertemukan aku dengan Verdi. Sekolah yang mempertemukan aku dengan Rendi. Dua orang itu selalu bergelayut membayangi hatiku. Membayangi hari-hariku.
“Riz, kamu kok ngelamun?” aku sedikit tersentak dengan ucapan Verdi barusan. Kualihkan pandanganku ke arah wajahnya yang tampan tersebut. Kuamati setiap lekuk wajahnya. Begitu sempurna menurutku. Tidak sesempurna Tuhan tentu saja.
“Hah? Aku emang tadi ngelamun ya?” sedikit bersikap bodoh menurutku tidak masalah. Tidak akan membawa pengaruh besar bagi hidupku.
“Masa kamu nggak sadar sih? Aneh deh kamu!” spontan saja kujitak kepalanya. Tidak keras memang, hanya cukup sakit agar dia tidak berani macam-macam lagi padaku. Walaupun justru aku berharap yang”macam-macam” dari dia.
“Aku cuma bingung, kok posisi kita kaya orang pacaran ya? Di taman belakang sekolah lagi.” Kugeser sedikit kepala ku agar tidak lagi bersandar di pundak Verdi. Daritadi aku seperti ini. Duduk di sebuah gundukan tanah kecil yang menghadap ke sawah yang ada di belakang sekolah sambil bersandar di pundak Verdi yang lebar. Romantis.
“Biarin lah.” Nada bicara Verdi berubah tidak senang. Kenapa lagi sih dia? Cepat-cepat aku bangun dan beranjak meninggalkan Verdi tanpa kata.
***
“Jadi, pariental iitu adalah istilah lain dari induk. Dan Filial adalah nama lain dari keturunan.” Bu Siska masih saja berkoar masalah genetika. Aku memang suka pelajaran Biologi, tapi tidak untuk bab ini. Pelajaran hari ini terasa sangat menyebalkan. Aku dan Verdi masih saja tidak bertegur sapa. Kami bahkan saling diam, padahal kami masih se meja.
“Rizky! Proses pembuahan sel telur oleh sel sperma disebut apa? Dan dari pembuahan tersebut dihasilkan?” Nah lho, gara-gara sering ngelamun jadi ditegur guru kan?
“Emmm, prosesnya disebut Fertilisasi. Sedangkan yang dihasilkan adalah Zigot. Zigot ini sendiri nantinya akan terus membelah diri hingga akhirnya membentuk individu baru.” Kujawab pertanyaan tersebut dengan suara sedikit sombong.
Aku memang suka bersombong ria. Karena itu adalah jati diriku. Lebih baik jahat tapi menjadi diri sendiri. Daripada baik tapi munafik.
Verdi yang ada di samping kananku hanya memandangku sebentar kemudian kembali membuang muka. Sesuatu di dalam hatiku tiba-tiba menguap. Entah apa namanya, yang jelas aku merasa sedikit sedih. Ingat, “sedikit”.
***
Ting-ting. Ting-Ting.
Bel sekolah ini ternyata sangat mengerikan. Emangnya masih jaman ya? Bel pakek besi Velg mobil yang digantung terus dipukul-pukul. That’s so Old. Poor school.
Kumasukkan semua barang-barangku dan buku-buku menyebalkan ini kedalam tas. Kulirik sekilas kearah Verdi yang sedang menatap ku tajam. Bibirnya sedikit tertekuk. Masalah apa lagi ini?
“Riz, gue mau bicara berdua sama lo!” Heh, apa dia bilang tadi? Gue? Lo? Apa sih yang salah sama aku?
“Emang kamu mau ngomong apa? Emang disina aja nggak bisa” aku masih berniat mempertahankan bahasa ku. Aku dan kamu. Meskipun itu hanya untuk Verdi.
“Nggak. Ikut gue sekarang!” Verdi menyentak tanganku lalu menggenggamnya erat. Aku punya firasat buruk tentang ini.
Verdi terus membawa ku ke arah yang sangat aku hafal. Taman belakang sekolah. Verdi membuka pintu yang terbuat dari besi tersebut dengan sekali sentak.
Sampai di dalam, Verdi mendorongku ke arah tembok pembatas taman ini. Ia mengeluarkan sesuatu dari saku celananya dan itu adalah sebuah handphone. Tunggu! Bukankah itu milikku?
Jari jemari Verdi menari-nari diatas layar hapeku beberapa saat dan kemudian menunjukkan layar tersebut ke arahku.
Nafasku tercekat. Kedua kaki ku sudah benar-benar lemas. Aku benar-benar ceroboh. Bagaimana mungkin handphone ku lupa kubawa saat kesini tadi. Dan Handphone tersebut kini berada di tangan Verdi. Dan tepat di layar tersebut terpampang sebuah Video koleksi ku. Video gay.
“Gue minta penjelasan?” Verdi berdesis tajam ke arahku. Tatapan nya yang tajam menembus tepat ke kedua mataku. Aku harus memberikan dia penjelasan seperti apa?
“Anu, itu?” Yah, terlalu klasik. Ketika gugup kalian pasti kalian akan merasa gagap kan? Jangan menyebut ini drama! Meskipun aku benar-benar menyukainya. Tapi tidak, ini benar benar terjadi.
“BUG, BUG, BUG”
Ketiga tendangan tadi tepat menghantam ulu hatiku. Tak pelak, paru-paruku seperti tidak berfungsi lagi. Rasa sakit menyerang seluruh badanku. Detak jantungku nyaris berhenti.
Dan semua kembali gelap……
***
Lagi-lagi aku harus masuk rumah sakit. Sejak mengenal Verdi aku sering masuk rumah sakit. Bukan! Bukan berarti dia penyebab semuanya. Hanya sedikit saja. Pandangan ku masih tertuju pada seseorang. Verdi.
Wajahnya kini berada di samping kananku. Dia masih sedikit takut-takut untuk melirik ke arahku. Apa lagi nih maksudnya? Ku perhatikan seluruh badan ku. Tidak ada perban sama sekali. Hanya ada selang infus yang menancap di pergelangan tangan kiriku.
Kupandangi sekali lagi wajah Verdi, dan tepat saat dia juga memandangku. Lama kami beradu pandang. Ada sedikit aura kesedihan yang menguar dari pandangan matanya. Apakah dia merasa bersalah? Tentu tidak kan? Disini kan aku yang salah. Iya kan?
“Ver, Aku mau minta maaf.” Suara ku sedikit bergetar. Dan sepertinya keadaan berbalik. Aku menjadi sedikit takut melihat wajah Verdi. Aku takut dia akan menghajarku lagi. Meskipun aku yakin dia tidak akan melakukannya. Verdi melirik sekilas ke arahku. Wajahnya berubah sendu. Cukup lama ia memandangku.
“Riz, harusnya gue yang minta maaf. Gue terlalu emosi tadi. Gue bener-bener nyesel Riz.” Aku kaget dengan perkataan Verdi barusan. Dia meminta maaf padaku? Itu hal langka. Hampir tidak pernah ia minta maaf meskipun dia yang salah.
Dan kini, semuanya berubah.
“Ver, nggak papa. Aku tahu kamu pasti kaget. Aku tahu kamu pasti marah sama aku. Jadi nggak usah minta maaf.” Air mata sukses membelai kedua belah pipiku. Rasa takut langsung menyeruak ke dalam dadaku. Aku menangis. Menangis dalam diam.
“Riz, tapi nggak seharusnya gue kaya begitu. Lo sahabat gue Riz. Gue bener-bener nyesel. Please, maafin gue!” air mata yang sudah berusaha ku tahan, ternyata malah semakin deras saja.
“Ver, aku maafin kamu.” Aku hanya dapat berujar lirih. Suara ku benar-benar hilang. Aku tidak sanggup kehilangan Verdi. Aku tidak akan pernah sanggup.
“Tapi Ver, kalo kamu berniat menjauh dari aku. Aku nggak masalah. Aku tahu, hampir semua orang pasti akan ngelakuin hal yang sama. Aku bakalan berusaha buat jaga jarak dari kamu.” Tangisan yang berusaha ku tahan akhirnya pecah juga.
Berulang kali aku mencoba menahannya. Tapi Nihil.
“Apa maksud kamu?” Verdi sedikit mengerutkan kening. Di matanya masih jelas terlihat kalau ia masih marah padaku. Matanya juga sedikit basah. Perasaan takut kembali menyerang hatiku. Aku tidak mau! Aku tidak mau kehilangan Verdi.
“Ver, kalo ini emang jadi akhir persahabatan kita. Aku ikhlas Ver. Aku rela kalo kamu beneran jauhin aku dan benci sama aku. Aku tahu apa yang kamu pikirin tentang aku. Seorang gay di mata orang straight pasti akan terlihat hina. Tapi satu hal yang perlu kamu tahu. Aku akan selamanya inget sama kamu. Selamanya.” Ada kebohongan di kalimat ku tadi. Tentu saja! Aku tidak akan rela jika ini memang menjadi akhir cerita ku dan Verdi.
6 bulan bukan waktu yang singkat menurutku. Dan dalam waktu itu, sudah cukup membuat ku untuk menyayangi Verdi luar dalam. Aku mencintainya. Dan akan selalu begitu. Verdi kemudian memandangku lagi… Dia bangkit dari duduknya dan kemudian menghilang di balik pintu.
Baiklah, aku akan berusaha.
***To Be Continued***
Jangan Lupa Komen!!!
Ternyata ngetik itu capek. Banget!!!! Baru segini aja udah pegel. Gimana yang penulis besar disini? Part ini kayaknya drama banget ya? BIarin! Aku kan emang suka drama! . Tapi kejadian pas aku masuk rumah sakit itu beneran loh. 1 minggu aku di rumah sakit. Dan adegan terakhir aku nangis itu juga beneran.
Aku berani bilang kalo part ini 98% asli. Palsunya dimana? Pas adegan aku ditarik sma Verdi. Itu sebenernya Cuma disuruh ngikut aja dari belakang.
Udah ya? Tunggu aja lanjutannya! 2 minggu lagi. Heheheh
*melangkah anggun ala miss world
*ditimpuk Obama
#LOL
Aduh, lo nggak baca judulnya? Actually is my real life story.
Ceritanya nyata, tokoh nya juga, alur nya juga. Cuma gue tambahin aja biar seru.
Tapi, sengaja gue nulis cerita ini kaya novel biar nggak jenuh. Lo pasti baca story ni, kayak baca novel kan @reenoreno?
Sengaja.
Ehhh, mau tanya nih? Mention ku masuk nggak sih?
Mention ku itu selalu bermakna. Bisa update, bisa juga balesin komen. Jadi kalo ada notif dari ku, Dibaca!