BoyzForum! BoyzForum! - forum gay Indonesia www.boyzforum.com

Howdy, Stranger!

It looks like you're new here. If you want to get involved, click one of these buttons!

Selamat datang di situs Boyzforum yang diarsipkan oleh Queer Indonesia Archive. Forum untuk komunitas gay Indonesia yang populer ini didirikan pada tahun 2003, dan ditutup pada tanggal 15 Desember 2020.

Forum ini diabadikan untuk kepentingan sejarah. Tidak akan ada konten baru di forum ini. Silakan menikmati forum ini sebagai potongan dari sejarah queer Indonesia.

PITA MERAH DALAM SEBUAH CERITA EDISI CERPEN

1235730

Comments

  • OH MY GOSH, ADA CERITA SEKEREN INI..

    CERITA.A BAGUS, meskipun ada banyak TYPO-nyee...
  • TUJUH
    Hari – hari Boggi mulai berubah. Sejak bingkisan Yoga itu datang, Boggi mulai membuka-buka catatan kuliahnya lagi. Mencari bahan kuliah HIV/AIDS semester lima dulu, Bunda sampai heran siang itu, sepulang dari Rumah Sakit Boggi sampai membongkar gudang untuk mencari bukunya itu.

    “ Hatsyi,,hatsyi,,hatsyi,,,” Bersin Boggi tak henti-henti di pintu gudang. Lima menit di dalam untuk membongkar bukunya beberapa tahun yang lalu, sudah membangkitkan alerginya. Boggi memeliki alergi debu, Bunda yang memasak didapur dekat gudang melongokkan kepala, ditangannya masih membawa pisau.

    “ Lho tumben nang,, mau membersihkan gudang,,,” kata Bunda.

    “ Hat,,, hat,,, Tidak Bun, Boggi mau mber...Huatsyi,, !! “ Boggib membesit hidungnya.

    “ Pakai masker nang, kamu punya persedian banyak kan, di atas meja belajarmu itu, kemarin Bunda lihat,, “ Uslu Bunda. Oiya, Boggi baru ingat, facemask dari Yoga. Boggi mengambil satu di kamar dan dipakainya lalu kembali ke gudang.

    “ Dokter yang profesional tahu kapan memakainya, Nah ini saat yang tepat untuk memakainya,,” Gumam Boggi, untuk mengehindari debu.

    Setelah satu jam membongkar gudang, Boggi menemukan buku catatan kuliah dan textbook yang dicarinya. Ditepuk-tepuknya buku itu untuk mengusir debu lalu dengan lega Boggi membawanya ke kamar. Boggi mencuci tangan di watafel dan melepas maskernya. Boggi tersenyum sendiri melihat tumpukan masker di meja belajarnya. Universal precaution. Boggi teringat buku dari Yoga, adalah suatu tindakan atau prosedur standar yang sederhana yang digunakan sewaktu penanganan pasien dengan tujuan untuk memimalisasi resiko transmisi (penularan) blood borne virus atau virus yang mulai menular lewat darah. Dan hepatitis B, C dan HIV termasuk blood borne virus. Prosedur itu penting untuk mencegah penularan dari pasien ke tenaga medis, dan sebaliknya dari tenaga medis ke pasien.

    Dari buku itu, Boggi juga jadi tahu bahwa ternyata sifat virus HIV itu serupa dengan virus yang lain. Virus itu mudahmati di lingkuangn luar, dengan pemanasan minimal enampuluh derajat celsius selama minimal tigapuluh menit, dengan peredaman cairan kimia seperti klorin lima persen atau glutaraldehid dua persen selama duapuluh menit, atau dengan radiasi. Hmm,,, ternyata virus ini kalau di luar tubuh lemah juga. Tidak seseram yang dibayangkan Boggi semula. Jadi gosip jarum suntik yang berisi HIV di bioskop beberapa waktu yang lalu itu isapan jempol untuk menakut-nakuti orang saja, Batin Boggi.

    Boggi membuka-buka buku catatan masa kuliahnya, mencari bab tentang HIV/AIDS. Boggi keasyikan membaca sampai tanpa terasa, hari sudah petang.

    “ Nang,, mandu dulu,,,” Bunda mengingatkan dari pintu kamarnya.

    “ Hmm,, Iya Bun,,, “ Boggi meregangkan tubuhnya, melirik jam dinding. Sudah jama setengah enam sore, sudah lama Boggi tidak merasa se semangat ini belajar sesuatu sampai lupa waktu.



    Hari Jumat datang lagi, setelah presentasi kasus, kali ini Dokter Julian bisa menarik nafas lega karena Prof Dahlan pergi ke Jerman untuk mengikuti seminar bedah, Dokter Vita membagikan kertas jatah pasien visite. Minggu ini Boggi mendapat beberapa pasien Bangsal Anggrek, Cempaka dan beberapa pasien di Bangsal Dahlia, Pasien stroke lama. Ada rasa kecewa terbesit di hatinya, ketika mengetahui tidak mendapatkan pasien A1. Perubahan suasana hatinya ini melegakannya. Pelan-pelan Boggi ingin mengurangi jarak yang tertentang antara HIV dan dirinya. Boggi melihat Igo yang sedang asyik menyalin daftar nama pasien ke agendanya. Sudah hampir seminggu mereka saling mendiamkan, dan sekarang waktunya untuk gecetan senjata. Toh Boggi sudah menyadari bahwa semua yang diucapkan Igo dengan keras kemarin itu benar.

    “ Hai,, Bro,, dapat pasien apa ?? “ sapanya ceria. Igo mengangkat wajahnya, sesaat Igo terdiam, tidak menyangka Boggi akan menyapanya duluan setelah hari-hari sepi tanpa candaan mereka.

    “ Dua orang pasien HIV positif di A1,, “ Ujar Igo cuke sambil meneruskan menulis. Paling Boggi akan skeptis seperti biasanya. Boggi mendekatinya.

    “ Mau tukeran dengan pasien Dahliaku ?? “ Ujar Boggi. Igo mengangkat wajahnya terkejut. Pandangan tak percaya nampak dimatanya.

    “ Aku janji akan merawat mereka sebaik kamu merawat mereka. Atau, seperti aku merawat pasienku yang lain..” Lanjut Boggi, melihat keraguan dimata sahabatnya.

    “....swear,,,” Ujarnya Boggi lagi sambil tangannya membentuk V. Igo tersadar, Boggi sudah mulai berubah. Igo nyengir lebar.

    “ Oke,,Brother, with all my pleasure,,” Boggi tersenyum manis.

    “ Deal ?? “ Tanya Boggi.

    “ Deal,,,!! “ Igo menjabat tangannya erat. Ini kebiasaan mereka sewaktu bertukar pasien. Tawa mereka pecah. Dengan ini mereka resmi juga berbaikkan.

    “ Hey kalian ini kayak anak SD aja, salaman segala,, “ Suara Dokter Julian mengalihkan perhatian mereka. Mereka berdua hanya nyengir.

    “ Biarin aja, kita emang masih SD kok. Barusan juga rukun habis berantem,, “ Jawab Boggi. Julian tertawa kecil, mengangsurkan dua amplop cokelat besar pada Boggi.

    “ Ada dilokermu, di ruanga jaga UGD. Sekalian aja kubawakan,, “ Boggi menerima dua amplop itu dengan keheranan. Dibaliknya, tidak ada informasi tentang nama pengirim. Hanya tertulis ‘ Kepada Dokter Boggi ‘, ketikan komputer.

    “ Hmm,,, dari siapa, Ju ?? “ Tanya Boggi. Julian mengangkat bahu.

    “ Mungkin dari detailer yang menjanjikan kau jurnal terbaru, Gi,, “ Ujar Igo. Boggi manggut-manggut. Bisa jadi kadang detailer obat atau medical representative yang datang untuk memperkenalkan obat baru produk pabriknya memberinya ini itu, seperti bolpoint, notes, Kalender, Tas, Jurnal terbaru yang mendukung obatnya, bahkan voucher pulsa dan sejumlah uang. Selama ini Boggi masih memegang pronsip, bahwa dirinya hanya akan meresepkan obat yang Boggi ketahui sudah terbukti secara klinis dan penelitian, bukan karena iming-iming ‘ tanda terima kasih ‘ dari detailer.

    “ Oke, makasih ya,, “ Boggi memasukkan amplop itu ke dalam tasnya.



    Ternyata amplop itu berisi fotokopian jurnal HIV/AIDS terbaru, pedoman pengobatan ARV, dan sekeping CD.

    Yoga pikir Boggi spontan. Ketika Boggi mengeluarkan jurnal itu, sebuah kartu kecil jatuh dari amplop. Dipungutnya kartu itu.

    “ABCDE’S HIV/AIDS : Abstinence, Be Faithful, Condoms, Drug Stop, EDUCATION,, “ Tulisnya.

    EDUCATION ditulis dengan huruf besar dan di-stabilo, Boggi tersenyum.

    ABCDE’s HIV/AIDS adalah kependekan yang mudah diingat yang terkenal untuk merangkum cara pencegahan penularan HIV/AIDS, supaya orang orang mudah mengingatnya. Abstinence artinya tidak melakukan hubungan seksual sebelum menikah. Be Faithful artinya setialah pada pasangan. Condom artinya cegah dengan menggunakan kondom, jika memang sudah tidak tahan lagi atau jika pasangannya terinfeksi HIV. Drug Stop artinya hentikan penggunaan narkoba suntik dengan jarum bergantian. Dan E adalah Safe Equipment yaitu peralatan yang steril atau Education yang artinya dengan membekali diri dengan pengetahuan yang benar, kita bisa melindungi diri dari HIV/AIDS, seperti pesan Dokter Shani kemarin.

    “ senyum,, senyum sendiri dok, paket dari pacarnya ya ?? “ Goda Mbak Ida. Boggi menjulurkan lidahnya. Paket dari Rivi tidak pernah jurnal jumat atau buku. Tapi baju atau perlengkapan lainnya.

    “ Yuk, kita garap pasien berikutnya,, “ Ujar Boggi. Pasien Poli siang ini cukup ramai.

    “ Siiaaaappppppp....” Jawab Mbak Ida kocak, dan mempersilakkan seorang Ibu setengah baya masuk. Boggi mengembangkan senyumnya dan mempersilakan Ibu itu duduk didepannya.



    Setelah dua paket itu, amplop-amplop cokelat Yoga secara teratur mampir di loker Boggi di ruang jaga Dokter UGD setiap dua atau tiga hari sekali. Penegakan diagnosis HIV/AIDS, Perawatan ODHA, Infeksi Oportunistik, Artikel-artikel Diskriminasi ODHA di Tempat Kerja Maupun di Fasilitas Umum termasuk Rumah Sakit, dan tak lupa, Pencegahan pasca Pajanan yakni setelah seorang tenaga kesehatan tidak sengaja terpapar benda infeksius seperti tertusuk jarum. Dunia HIV/AIDS semakin menarik untuk Boggi. Luas sekali pengetahuan dan ilmu terkait penyakit ini. Boggi sedikit menyesal karena dia terlambat untuk mempelajari HIV/AIDS secara komprehensif, dan melewatkan banyak pasien HIV Postif yang tidak ditanganinya dengan baik. Yoga mengajak Boggi berpikir tentang PMTCT. PMTCT adalah pencegahan penularan dari Ibu ke Anak, ternyata seorang HIV positif tetap punya kesempatan mempunyai anak dengan HIV Negatif. Jika yang positif ayahnya, kuncinya adalah mencegah Ibu tetap negatif, maka anaknya bisa negatif juga. Jika Ibunya yang HIV Posotif, resiko tertular kepada anaknya bisa diperkecil dengan konsumsi ARV teratur selama hamil, konsumsi ARV yang telaten mampu mencegah infeksi sehingga plasenta atau ari-ari tetap utuh dan darah ibu dan janin tidak tercampur. Istirahat yang cukup dan makan makanan yang bergizi makin memperbesar kemungkinan si janin tetap positif. Proses kelahiran memang harus dengan caesar dan setelah lahir, bayi harus langsung diberi ARV dengan dosis kecil. Semua prosedur itu mengurangi kemungkinan Bayi tertular HIV Positif.

    Saking banyaknya informasi menarik tentang HIV/AIDS dikirimkan Yoga, tidak jarang Boggi mengakhiri bacaan dengan huruf O panjang ditambah senyum simpul di belakangnya.

    Tanpa disadari Boggi selalu menunggu-nunggu datangnya amplop itu. Jika tidak sedang dapat jatah UGD, Boggi selalu menanyakan apakah ada amplop di lokernya kepada rekan sejawatnya yang baru saja jaga.

    “ Siapa sih detailer-nya Gi ?? Rajin kali dia kirim artikel atau jurnal,, “ komentar Igo setelah Boggi menanyakan hal itu. Boggi hanya nyengir. Rahasia, sahutnya.

    Kadang Boggi penasaran, kapan Yoga menaruh amplop itu dilokernya. Rasa penasarannya terjawab pada suatu malam ketika Boggi sendiri yang sedang mendapat jatah jaga UGD. Pak Mo, tukang sapu UGD memasukkan amplop yang kesekian belas itu ke loker Boggi, tepat ketika Boggi memasuki ruang jaga untuk menagmbil buku.

    “ Pa Mo, titipan buat saya ya ?? “Pak Mo agak terkejut.

    “ Dari mas-mas tadi,,, “ Jawabnya. Jantung Boggi berdebar.

    “ Yoga ?? Di mana orangnya sekarang pak ?? “ Pak Mo menggeleng.

    “ Saya tidak tahu namanya Dok, tidak tahu juga orangnya kemana. Tadi dia Cuma nitip waktu saya baru nyapu, ngepel di lantai satu,, “ Jawabnya Polos. Boggi mengucapkan terimakasih dan bergegas turun ke lantai satu, ruang pemeriksaan pasien.

    Ruang pemeriksaan pasien lengang. Hanya ada dua pasien yang sedang menunggu dipindahkan ke bangsal, keluarganya dan perawat jaga yang sedang menonton TV, sebersit kecewa meliputi hati Boggi.

    “ Mas Galih lihat cowok masuk sini barusan ?? “ tanya Boggi pada perawat jaga dan langsung disesalinya karena pertanyaannya terdengar bodoh.

    “ Cowok siapa Dok ?? Ciri-cirinya gimana ?? “ Tanya Mas Galih, Boggi mencoba mengingat.

    “ Tinggi, putih, agak kurus, pakai kacamata,,,” Boggi terdiam sebentar lalu mengibaskan tangannya.

    “ Sudahlah mas, tidak jadi,,, “ Ujar Boggi, mengucapkan terimakasih lalu bergegas naik lagi ke lantai dua. Galih menatapnya heran.

    “ Tinggi, agak kurus..... itu aku,, Tapi aku tidak pakai kacamata, dan tidak terlalu putih juga sih,,, “ Ujar Mas Galih pada dirinya sendiri. Lalu mengedikkan bahunya bingung.

    Di ruang jaga, dengan tak sabar Boggi membuka amplop itu. Jurnal dan artikel yang dikirimkan Yoga selalu menarik. Pengetahuan apa yang sekarang mau dia bagi ?? Ternyata kali ini tentang ‘ harm reduction ‘ pada pecandu, sebagai upaya mencegah penularan HIV. Boggi mengeluarkan artikel itu dan mencari memo singkat yang biasanya menyertai tiap amplop. Dibaliknya amplop itu, dilihat dalamnya, tapi tidak ada memo yang jatuh. Boggi menghembuskan nafas. Lalu tak berapa lama Boggi merasa heran sendiri. Mengapa Boggi harus kecewa karena tidak mendapat pesan singkat Yoga kali ini ?? ,,,,,,,

    Boggi menggelengkan kepalanya kuat-kuat, lalu mencoba membaca artikel itu. Tentang kontroversi pembagian jarum suntik pada para pecandu. Bagi para aktivis HIV/AIDS, cara itu cukup efektif untuk mencegah penularan, karena penularan terbanyak saat ini adalah karenayang biasanya menyertai tiap amplop. Dibaliknya amplop itu, dilihat dalamnya, tapi tidak ada memo yang jatuh. Boggi menghembuskan nafas. Lalu tak berapa lama Boggi merasa heran sendiri. Mengapa Boggi harus kecewa karena tidak mendapat pesan singkat Yoga kali ini ?? ,,,,,,,

    Boggi menggelengkan kepalanya kuat-kuat, lalu mencoba membaca artikel itu. Tentang kontroversi pembagian jarum suntik pada para pecandu. Bagi para aktivis HIV/AIDS, cara itu cukup efektif untuk mencegah penularan, karena penularan terbanyak saat ini adalah karena pecandu itu saling berbagi jarum. Namun bagi kalangan sosialis, mereka itu sama saja dengan mendukung perilaku penyalahgunaan narkoba, khususnya suntik. Namun kali ini Boggi tidak bisa konsen sepenuhnya. Sosok Yoga bermain – main dikepalanya.



    “...Jelek,, Boggi ,,” Panggil Rivi agak keras. Boggi tersentak, diturunkannya lembar artikel yang sedang dibacanya dari wajahnya. Rivi menatapnya sebal. Mereka sedang berada di rumah Rivi, membicarakan tentang persiapan pemberangkatan ke Belanda untuk keluarga besar Rivi dan Boggi.

    “ Eh,, apa sayang ?? “ tanya Boggi, lalu Boggi segera sadar, Rivi sedang mengajaknya bicara tentang persiapan pemberangkatan ke Belanda bagi undangan.

    “ Kok gak konsen kesini ?? Baca jurnal kan bisa di rumah. Apa sih yang baru kamu baca ?? “ Ujuar Rivi kesal. Boggi nyengir meminta maaf.

    “ Maaf sayang, Aku baru minat banget sama HIV/AIDS dan hari ini temanku memberi artikel terbaru tentang penggunaan kondom pada wanita,,, “ Ujar Boggi memberi alasan. Hari ini amplop Yoga yang ke-20 datang, dan sampai detik ini juga Boggi belum berhasil bertemu Yoga. Boggi hanya ingin mengucapkan terimakasih atas jerih payah dan semua artikelnya yang menarik dan membuka pikirannya.

    “ Apapula kondom. Sudah, konsen aja ke sini, tinggal empat bulan lagi acaranya,, “ gerutu Rivi. Boggi mengangguk patuh dan memasukkan artikel ke dalam tasnya. Sambil membicarakan siapa saja yang akan diajak ke Belanda, terbersit pikiran dalam kepala Boggi, setelah mereka menikah mereka tidak perlu kondom untuk melakukannya.
  • asik suer asik. ada bberapa typo its key lah. gak ngaruh apa apa...
    berasa mulai belajar lg ttg hiv/aids.. rindu ngasih penyuluhan hiv/aids
  • Lanjut lagi :D
  • Aku suka.,aku suka jadi mkin banyak tau tentang HIV/aids,,,

    Igo jadi belok jga g ya,,,?

    Mksh mentions nya,semangat trs ya buat ts nya
  • Sepertinya saya bisa membaca upcoming conflict antara rivi dengan bogie
  • DELAPAN

    Boggi menyerahkan kopian laporan kemajuan pasiennya kepada Dokter Shani. Setiap minggu, selain menyerahkan laporan kepada Dokter Vita sebagai koordinator bangsal, Boggi juga harus menyerahkan salinannya kepada Dokter spesialis yang merawat pasien tersebut. Dokter Shani membuka laporannya dan membuka-bukanya sekilas.

    “ Wow lengkap sekali Gi,, “ Komentar Dokter Shani. Pasiennya minggu lalu adalah pasien kandungan, seorang wanita duapuluh lima tahun yang hamil empat bulan dan HIV Positif. Dirawat bersama dokter spesialis kandungan dan dokter Shani sebagai konsultan HIV/AIDS. Boggi tersenyum tersipu-sipu.

    “ Dasar teorinya banyak juga tentang pencegahan penularan dari ibu ke anak sejak dalam kandungan (PMTCT),,”,, Dokter Shani tersenyum sayang memandang Boggi.

    “ Kamu banyak belajar rupanya,, “ Ujar Dokter Shani lanjut.

    “ Mmm,, belum sebanyak Mbak Shani, saya tahunya masih ujung-ujungnya aja,, ‘ Jawab Boggi, Dokter Shani terdiam sebentar sambil membaca laporan itu, sesekali manggut-manggut setuju. Lalu Dokter Shani mengangkat wajahnya dari laporan Boggi.

    “ Gi,,, !! “

    “ Ya,, Mbak,, “

    Dokter Shani memandangnya.

    “ Tertarik mendalami bidang HIV/AIDS ?? “ Tanya Dokter Shani. Boggi membuka mulutnya hendak menjawab lalu dikatupkannya lagi. Boggi mau menjawab, bahwa dirinya tertarik, tapi tidak tahu caranya untuk menuju kesana, dan sekarang Boggi masih gamang karena keluarga calon pasangan hidupnya memintanya mengambil bidang spesialis kulit dan kelamin, bidang yang tidak terlalu diminatinya.

    “ Belum banyak Dokter yang konsen di bidang ini, sekarang pun, kadang aku kewalahan menangani pasien-pasien HIV/AIDS, kalau kamu tertarik, ayo kita rawat mereka bersama,,” Lanjut Dokter Shani sambil menebarkan senyum cerianya, Boggi tersenyum.

    “ Hmm,, iya mbak,, akan saya bantu sebisa saya,, “ Jawab Boggi, hanya itu yang sekarang bisa dikatakannya. Dokter Shani menepuk pundaknya hangat.

    “ Oke pertanyaan ku tadi tidak usah terburu-buru dijawab, perdalam ketertarikan mu. Tanya hatimu apa kamu rela dan ikhlas mendalami bidang HIV/AIDS. Kadang kalau sudah terjun di bidang ini, tidak jarang kita tidak punya waktu untuk diri kita sendiri... “ Kata Dokter Shani,,,,,,,,,,,,,, “ Makannya itu tidak bisa kalau tidak pakai ini,,, “ Dokter Shani menunjuk dada Boggi,,, “ Supaya tetap bertahan melayani mereka,,,”

    Boggi mengangguk setuju. Hal itu sudah dialaminya beberapa minggu ini. Merawat pasien HIV/AIDS tanpa hati hanya akan menimbulkan perasaan terbeban seperti yang Boggi rasakan dulu-dulu sebelum bertemu Yoga.

    Oh iya, Yoga,, Boggi teringat.

    Dokter Shani sudah pernah bilang bahwa Yoga sudah dianggap seperti adiknya sendiri dan mereka adalah sesama aktivis di LSM peduli ODHA. Ingin Boggi menanyakan kabar Yoga atau nomor handphone-nya, tapi segera diurungkan karena pasti ada pertanyaan-pertanyaan dari Dokter Shani yang mungkin Boggi tidak bisa menjawabnya, sehubungan dengan Yoga.

    Mereka berjalan beriringan menyesuri lorong. Di persimpangan menuju UGD, Boggi melambaikan tangannya kepada seniornya. Hari ini Boggi piket pagi UGD, sampai jam dua. Ketika sampai pintu UGD, handphonenya berbunyi. Mama.

    “ Ya,, halo Ma,,” terdengar suara Mama di seberang sana.

    “ Jam tiga ?? baik Ma, sampai bertemu di sana,, “ Boggi menutup teleponnya, termenung sebentar. Mama mengajaknya makan siang, ada yang ingin dibicarakan.



    Mama sudah menunggu disalah satu restoran di Hotel daerah Kemang. Boggi menyapa mama, tersenyum dan duduk.

    “ Sudah lama nunggu, Ma ?? maaf tadi waktu sudah jam pergantian ada kecelakaan dengan korban yang banyak, lima orang. Jadi Boggi bantuin teman dulu untuk menangani mereka,, “ Ujuar Boggi, Mama melambaikan tangannya dan menyodorkan menu.

    “ Tidak papa Gi, baru juga sepuluh menit, nah langsung pesan makanan aja ya,, “

    Sambil menunggu pesanan makanan, Boggi dan Mama membicarakan pernak-pernik pernikahan. Beberapa sudah dipesan atau dibeli, hotel di Belanda juga sudah dipesan, seragam keluarga dan souvenir.

    Pesanan mereka datang. Pembicaraan berhenti sejenak dengan aktivitas makan.

    “ Gi kemarin Rivi sudah bilang ke kamu ya ,, “ kata Mama sambil menyendok nasi ke piring.

    “ Tentang apa ya ma ?? “

    “ Tentang spesialis kulit dan kelamin,, kamu bisa milih mau mengambil di UI atau di luar negeri ?? “ tanya Mama. Oh,, ini alasan Mama mengajak Boggi makan siang kali ini. Boggi menghembuskan nafas panjang sembunyi-sembunyi. Boggi berpura-pura menyibukkan diri dengan mengambil beberapa potong gurameh, sambal terasi dan lalapan.

    “ Emhh,, sudah Ma. Tapi Boggi belum ada gambaran,, “ mereka mulai makan.

    “ Belum ada gambaran gimana, Gi ?? Itu kan sudah jelas. Seperti teman mama itu, Dokter umum yang mengambil spesialis kulit sambil kursus kecantikan di perancis, Dia cowok juga ko kaya kamu. Hebat Dia Gi bisa meracik sendiri krim pagi, krim malam, pembersih muka, fondation,,, “ Mama berhenti sebentar, menelan makanan.

    “... kemarin yang mama dengar istrinya, mereka baru mau merambah ke perawatan rambut juga. Jadi mereka mau produksi shampoo dan conditioner. Wah, omset mereka sebulan milyaran Gi. Konsumennya banyak, remaja putri, ibu-ibu,, teman mama senuanya juga kesana,, ‘ kata Mama panjang, penuh semangat.

    Mama juga kesana, batin Boggi. Kulit Mama masih sangat kencang, putih dan berkilat diusianya yang menjelang lima puluh lima tahun. Biaya perawatan khusus bulanan untuk kulit Mama bisa dijadikan Boggi untuk membuat perpustakaan pribadi textbook – textbook kedokterannya. Boggi masih terdiam, mendengarkan Mama. Selera makannya sudah mulai turun, tapi rasa lapar tetap membuatnya menikmati makan siang di depannya.

    “ Jadi Mama punya ide. Kita punya modal yang cukup kan Gi, dari segi sumber daya manusianya, ada kamu. Kamu dokter yang cerdas Gi, Kamu juga sangan tampan, ramah dan suka mengobrol. Pasti nanti konsumen kita betah. Yang penting ya Gi, orang-orang yang pingin semakin cantik dan tampan kan bukan orang sakit. Jadi mereka ingin kenyamanan dan keramahan. Mama lihat kamu punya modal bagus untuk itu. Lalu soal biaya, jangan khawatir, nanti Mama yang bayarkan spesialis mu dan kursus setelah itu kita membuka klinik kulit dan kecantikan bersama,,, “ terang Mama panjang lebar, bersemangat.

    Boggi mengakui naluri bisnis Mama memang tajam. Kalau Mama berkata peluang usaha ini atau itu bagus, maka begitulah nanti yang terjadi. Mama juga ambisus. Boggi tidak meragukan kalau rencana Mama ini akan berhasil.

    “ Terus lagi gi, nanti kita bisa buka cabang di jaringan hotel papa, untuk memperluas market krem kulit dan lainnya yang kamu buat. Bisa juga nanti kita buka outlet di supermarket Mama. Untuk proses produksinya, kamu jangan khawatir, mama sudah memiliki teman apoteker yang mau kerja sama,,, “ lanjut Mama, Boggi mencuci tangannya di mangkuk, lalu menyesap es kelapa mudanya perlahan.

    “ Gimana gi ?? Bagus sekali kan ?? “ Wajah Mama tampak berbinar puas. Boggi manggut-manggut.

    “ Bagus sekali Ma. Tapi ... Boggi sebenarnya ingin mengambil bidang ilmu lain yang bukan spesialis Kulit dan kelamin apalagi ditambah kursus kecantikan,, “ Sahut Boggi. Seperti dugaannya wajah Mama langsung berubah.

    “ Bidang apa yang mau kamu ambil ?? “ Kegiatan Mama menikmati es kelapa muda berhenti sejenak.

    “ Ehmm,, Ilmu penyakit dalam,, “ ujar Boggi spontan dan Boggi terkejut sendiri. Selama ini dia masih bingung untuk memilih-milih bidang spesialisasi yang Boggi inginkan dan siang ini spontan ide itu terlontar. Ada suatu bisikan hatinya yang mengarahkan mulutnya mengucapkan itu. Kening Mama berkerut. Sesaat, tampak tanda penuaan di wajahnya.

    “ Penyakit dalam ?? kenapa kamu tertarik ke situ ?? “ tanya Mama lebih lanjut.

    Akhirnya Boggi menemukan pilihan hatinya tanpa sengaja, saat kondisinya terdesak.

    “ Tuhan apakah memang ini yang kuinginkan atau karena aku tidak berminat jadi spesialis kulit dan kelamin seperti yang Mama sarankan ?? “ Boggi membatin

    Boggi berdoa dalam hati, mohon dikuatkan dan mohon petunjuk. Dalam bayangannya, Boggi menjadi ahli kulit dan kelamin yang lebih banyak mngurusi kulit pasiennya. Hatinya datar, lalu Boggi membayangkan menjadi Dokter penyakit dalam seperti Dokter Shani, memberi penyuluhan pada orang-orang dengan risiko tinggi, mengajak mereka tes, mendampingi mereka konsumsi ARV, dan merawat mereka saat terserang infeksi oportunistik. Hatinya merasa hangat. Ya ini yang kumau, batinnya mantap. Boggi mengangkat wajahnya dan tersenyum.

    “ Boggi ingin menjadi Dokter spesialis penyakit dalam lalu konsen di bidang HIV/AIDS Ma,, “



    “ Dok belum pulang nih ?? “ sapa pak Mardi penjaga perpustakaan Rumah Sakit melihat Boggi masuk. Boggi tersenyum kecil.

    “ Tadi sudah pak,, Tapi ini mau cari koneksi internet sebentar yang gratisan... Jadi saya balik lagi kemari,, “ Sahut Boggi.

    Perpustakaan sudah sepi , tinggal beberapa siswa perawat yang mengerjakan tugas. Boggi naik ke lantai dua, ke ruang baca. Disana lebih lapang dan koneksi internetnya bagus. Ruang baca itu berisi meja-meja dengan sekat supaya masing-masing pengunjung mempunyai privasi. Boggi mengambil tempat di dekat jendela. Dubukanya laptop miliknya sambil melirik ponsel yang tergeletak dimejanya. Sudah hampir setengah tujuh malam, satu jam lagi perpustakaan tutup.

    Titt. Ups, baterai ponselnya sudah hampir habis. Semoga Rivi tidak menelepon. Atau justru itu alasan bagus untuk tidak menerima teleponnya. Baterai lemah, dan tidak bawa charger. Boggi menyandarkan punggungnya di kursi, menunggu google siap. Boggi teringat pembicaraanya dengan Mama.

    “ Dokter spesialis Penyakit Dalam dan konsen di bidang HIV/AIDS ?? Apa Mama tidak salah dengar Gi ?? HIV/AIDS kan penyakit menular yang mematikan dan tidak ada obatnya ?? Ngapain kamu repot-repot ngurusin itu ?? Sepertinya tidak bonafid, tidak membanggakan,, “ Komentar Mama sengit, Boggi menyesap lagi es kelapanya untuk menenangkan hatinya.

    “ HIV/AIDS memang penyakit menular Ma. Tapi penularannya juga tidak mudah. Memang belum ada obatnya yang bisa menyembuhkan, tapi sekarang sudah ada obat antiretroviral yang bisa menekan pertumbuhan virusnya sehingga orang HIV Positif tetap bisa hidup normal dan tidak jauh ke stadium AIDS,, “ terangnya lembut.

    “ HIV/AIDS sekarang dianggap penyakit kronis yang perlu obat seumur hidup, Ma. Bukan lagi penyakit mematikan. Toh orang yang terkena kencing manis juga tetap harus mengkonsumsi obat seumur hidup, dan kalau mereka lepas obat, kencing manisnya bisa mematikan. Sama saja, kan,, “ Lanjut Boggi perlahan-lahan, mencoba membuat Mama mengerti. Mama mengerucutkan bibirnya, jengkel.

    “ Ah !! Mama tidak paham omonganmu. Yang Mama tahu, bidang yang kamu pilih itu sepertinya tidak menjanjikan materi. Apa kamu bisa buka klinik khusus orang AIDS ?? Tidak kan ?? “ Kejar Mama, Boggi tersenyum.

    “ Memang secara materi terdengar tidak menjanjikan dibandingkan dengan klinik kulit dan kecantikan yang Mama usulkan. Tapi buat saya, Ma, ada yang lebih penting daripada materi, yaitu kepuasaan batin. Saya merasa puas, kalau saya membayangkan saya boleh mendampingi orang-orang yang hidup dengan HIV/AIDS, yang masih banyak dapat padangan sebelah mata dari orang lain,,, “ Seperti mama,, dan aku dulu, lanjut Boggi dalam hati. Mulut mama semakin mengecil. Tandanya Mama semakin marah.

    “ Kepuasan batin ?? Apa itu bisa untuk hidup ?? Boggi, Mama beritahu Ya. UnTUK HIDUP ORANG ITU BUTUH UANG. Uang itulah yang menimbulakn kepuasan. Mama tahu kamu masih muda, masih idealis, masih banyak cita-cita. Karena itu kamu belum bisa realistis untuk melihat betapa pentingnya materi untuk kelangsungan hidup mu,, “ Sergah Mama.

    “ Coba kamu tidak punya uang, apa bisa kamu makan di rstoran begini, pakai baju bagus begitu, punya ponsel. Bawa mobil,,,, apa dengan kepuasaan batin kamu bisa beli semua barang itu ?? “ lanjut Mama lagi. Boggi menggelengkan dan tersenyum dengan sabar.

    “ Boggi tahu, kita tidak bisa membeli barang tanpa sesuatu selain uang. Tapi dalam hidup ini kita tidak bisa fokus hanya dengan uang kan Ma ?? Dan akhirnya, kebahagian kita dalam hidup ini dilihat dari puas atau tidaknya, nyaman tidaknya kita dengan sesuatu yang kita lakukan , Dan bagi Boggi........” Boggi terdiam sebentar,,,,

    “ Dengan menjadi ahli kulit dan kecantikan , Boggi tidak akan puas dan nyaman dalam hidup, karena bukan itu yang sebenarnya Boggi ingin lakukan,,”

    Mama kelihatan sudah tidak berselera lagi meneruskan acara makan siangnya. Dia mencuci tangannya dengan gusar di mangkuk dan meminum es selasihnya.

    “ Mama sudah mengira, kalau kamu sebenarnya tidak sepenurut yang Mama bayangkan,, “ gerutunya,,

    “ Kalau karena bukan Rivi, dari kemarin bawaannya Mama sudah pingin marah aja sama kamu. Tidak nurut orang tua, dikasih yang terbaik tidak mau,,, “ Boggi hanya mengangkat alisnya. Yang terbaik menurut siapa, Ma ?? Bisiknya.

    “ Ya sudah terserah kamu !! Tapi coba kamun pikirkan, sebentar lagi kamu masuk ke dalam keluarga kami. Kamu sudah tahu dalam keluarga besar kami tidak mempersalahkan hubungan kalian berdua sebagi gay, jadi setidaknya segala yang kamu lakukkan sudah tidak bisa lagi sekehendak dirimu sendiri. Kamu juga harus menyesuaikan tuntutan dan irama keluarga kami,, “ tandas Mama, memanggil waiter lalu membayar makan siang mereka.

    Boggi tertawa kecil, perdebatannya dengan Mama tadi siang di luar perkiraannya, sangat melegakan hatinya. Walaupun dia berkonflik dengan calon mertuanya, sesuatu yang selama ini Boggi hindari, tapi tanpa dugaannya, Boggi jadi menemukan ketertarikan bidang ilmu yang ingin didalaminya. Selama dua tahun terakhir Boggi mengira-ngira, Mencari-cari di Ilmu kedokteran bagian mana Boggi bisa berperan. Dan sekarang Boggi sudah dapat jawabannya. Boggi sangat lega dan puas. Masalah dengan Mama pasti nanti ada jalan keluarnya. Boggi percaya bahwa apapun yang terjadi ini sebenarnya sudah diatur oleh Tuhan. Dan perdebatan siang ini dengan Mama justru membuat hati Boggi terbuka dan mampu membuat keputusan. Jadi Boggi yakin ending dari kejadian tadi siang juga sudah digariskan oleh Tuhan. Boggi tinggal menunggu pertanda saja, rela dan siap menjalaninya.

    Lembar searching Google sudah siap di laptopnya, Malam ini menanggapi hatinya yang meluap dan penuh semangat, Boggi ingin mencari informasi tentang kursus HIV/AIDS untuk pemula. Hmm......... tiba-tiba Boggi teringat Yoga. Dengan iseng diketiknya “ YOGA “,, Paling tidak ada, batinnya geli, memijat tombol enter Tanpa diduganya, hasil pencariannya banyak dan beberapa diataranya menyebutkanseorang aktivis LSM dan juga seorang ODHA,, “ Sahala Yoga “ Boggi membeku menatap layar laptopnya.

    Yoga yang itu ?? Seorang ODHA ??

    Dengan berdebar Boggi membuka website yang memuat berita tentang Yoga. Dalam berita itu ditulis bahwa Sahala Yoga mempresentasikan makalah karya tulisnya tentang diskriminasi ODHA di tempat kerja, di hadapan sejumlah direktur perusahaan. Sayangnya, tidak ada foto yang di cantumkan, Boggi semakin penasaran.

    “ Sahala Yoga,,,, “ Gumamnya sambil mengetikkan nama itu untuk pencarian lebih lanjut. Khusus gambar, Boggi memejamkan mata, menekan tombol enter.

    Jika Yoga memang ODHA, maka tidak heran Yoga begitu marah ketika Boggi memakai sarung tangan dan facemask waktu memeriksa Jacki, rekan sesam ODHA-nya. Jika Yoga memang ODHA, darimana dia bisa tertular ?? Tampaknya wajah cool, bukan tampang anak nakal atau berandalan. Masih seingat Boggi, tampangnya cerdas dan seperti anak baik-baik. Cepat-cepat Boggi menepis pikirannya. Sekarang bukan zamannya lagi menilai seseorang dari wajahnya, Boggi ,, dia memperingatkan dirinya sendiri.

    Apa yang Yoga rasakan waktu mengetahui status HIV-nya postif ??

    Boggi membuka matanya. Hasil pencariannya sudah tertayang. Dan memang Yoga yang itu.

    Boggi berdebar-debar. Sekarang Boggi tidak dapat mendefinisikan perasaannya. Rasa iba, rasa kagum, rasa terkejut... Tapi tidak ada rasa jijik atau tidak senang. Boggi semakin bersemangat mencari berita tentang Yoga lewat laptopnya.

    Sahala Yoga memperoleh penghargaan atas perannya dalam mensosialisasikan HIV/AIDS untuk anak-anak SMU di Papua.

    Sahala Yoga dalam judul makalahnya “ Bayangkanlah Jika Anda yang mengidap HIV “,,”

    Sahala Yoga menjadi pemicara tamu pada Annual Conference HIV/AIDS Toronto.

    Sahala Yoga.........

    Boggi semakin terlarut dalam semangat Yoga. Ternyata Yoga sudah berkeliling Indonesia dan beberapa negara di dunia untuk menyuarakan pentingnya pengetahuan untuk antistigma dan diskriminasi. Kekaguman semakin bertunas di hati Boggi. Yoga bukan orang sembarangan, bukan sekedar orang tidak sopan yang menegurnya di UGD, bukan orang sok tahu yang memarahinya. Yoga memiliki pengalaman pribadi, Yoga memiliki kepedulian. Apalagi ketika membaca makalahnya “ Bayangkanlah Jika Anda yang Mengidap HIV “, Boggi mengunduh dan menyimpan di hardisknya.

    Semangan Yoga itu... dari mana datangnya ?? Orang yang sehat pun mungkin tidak seproduktif Yoga dalam melakukan banyak ceramah dan menulis banyak karya tulis. Beberapa artikel yang dikirimkan kepada Boggi ternyata hasil karyanya, S.Yoga. Boggi geleng-geleng kepala, dan di samping Yoga, ternyata banyak rekan ODHA-nya yang penuh semangat juga. Boggi jadi malu, karena dulu pernah mendiskreditkan mereka.

    Sekilas Boggi melirik jam tangannya dan serta merta terperanjat. Sudah jam setengah sembilan !! Perpustakaan ditutup Jam jam tujuh malam, satu setengah jam yang lalu. Dan Boggi lupa memberitahu Pak Mardi bahwa dirinya di ruang baca di atas. Dengan berdebar-debar Boggi menuruni tangga. Benar pikirannya, perpustakaan sudah sepi. Dan lebih parahnya lagi semua pintu sudah dikunci. Lampu memang masih menyala, karena lampu perpustakaan dinyalakan dari sore hingga pagi. Boggi mencoba membuka semua pintu, berharap Pak Mardi lupa mengunci satu pintu. Nihil, semua pintu terkunci.



    Yoga mengangkat ponselnya dalam deringan ketiga.

    “ Ya, Pal, “ Jawab Yoga. Jacki meneleponnya.

    “ Ga, Herman masuk rumah sakit,, tadi muntah darah,,” Yoga mendecak sebal.

    “ Sudah kusangka, lama-lama parunya jebol, dari awal aku bilang ke Herman harus konsumsi obat TBC itu teratur, bandel Herman,,, “ Gerutu Yoga,, Sementara Jacki menggumam tak jelas,,,, “ Dimana sekarang si Herman ?? “

    “ Di Fatmawati Ga, tolong temani ya, Gua lagi ada cara nih,, “ ,, Yoga mematikan rokoknya.

    “ Oke boss... “ sahut Yoga. Yoga segera meraih jaket, mematikan lampu kamar kosnya, mengunci pintu dan memacu mobilnya.

    Sementara di dalam perpustakaan Boggi memuta pintu dengan putus asa, Boggi benar-benar terkunci. Diraihnya ponsel di saku celananya, indikator batereinya kosong, Boggi berdoa semoga masih bisa untuk menelepon seseorang. Oh,, Iya,, Igo jaga UGD malam ini. Dengan penuh harap, Boggi memencet nomor telepon Igo.

    Tit.. Mati.. Boggi memandang tak percaya pada ponselnya yang sekarang baginya seperti batu bata.

    “No,,no,,no,,no,,no,,come on,, not now,, please,,” Boggi mulai panik. Lalu Boggi teringat telepon di meja Pak Mardi, diraihnya gagang... tidak ada nada,,

    “ God,, kenapa harus malam ini semua telepon mati !! “,, Keluh Boggi. Boggi terduduk lemas di kursi, dan tiba-tiba Boggi melihat ke arah jendela.

    “ Ketika pintu Tertutup, Tuhan membuka jendela,, “ Boggi ingat itu, semangatnya bangkit kembali. Bergegas diseretnya kursi mendekati jedela dekat rak-rak buku di lantai satu itu. Jendela itu jaraknya satu setengah meter dari lantai. Boggi harus memanjat kursi untuk membukanya. Dicobanya satu-satu, bukan terkunci tapi macet. Boggi mengerahkan tenaga untuk mendorong Jendela itu. “ Krek “,, terbuka sedikit, Boggi semakin bersemangat,, “ Krek “ ,, terbuka sedikit lebih lebar, tangan bisa terjulur keluar. Tapi setelah itu tidak terjadi apa-apa pada jendela itu. Boggi turun dari kursinya, memandang putus asa pada jendela yang terbuka duapuluh centimeter.

    Lalu Boggi teringat , dilantai dua tadi, didekat mejanya, ada satu jendela terbuka. Begegas Boggi menaiki tangga, sampai kakinya terpeleset di tangga. Meringis, Boggi bangkit lagi, melepas sepatunya, lalu mendaki tangga sisanya, berlari memasuki ruang baca. Boggi mendekati mejanya, laptop masih menyela, tas masih ada dikursi dan........Jendela terbuka.

    “ Thanks God,,,” Bisiknya penuh syukur. Lalu bergegas memberesi laptopnya. Setelah tas siap, Boggi menjengukkan kepalanya keluar jendela. Aman, ada teras di bawah jendela. Boggi mengeluarkan tasnya hati-hati, lalu menyusul dengan mengangkat badannya melewati jendela. Hup, Boggi sudah berada di teras kecil itu. Tapi Boggi lupa ini lantai dua, dan jaraknya ke tanah ada sekitar empat meter. Boggi mencari pohon terdekat, tidak ada. Situasi diluar pun sepi, perpustakaan ini terletak di jalan yang jarang dilalui orang. Gedung terdekat adalah gedung operasi sentral , dan kalau malam gedung itu tutup. Jika ada operasi emergensi biasanya dilakukan di ruang operasi UGD, Kecuali jika ada orang yang memarkir mobilnya di jalan ini. Boggi berkomat – kamit berdoa, berharap ada orang yang datang memarkir mobil sehingga Boggi bisa minta pertolongannya. Tangan Boggi sudah dingin, panik dan terus berdoa.

    Sementara itu ditempat lain, Yoga membelokkan mobilnya memasuki Rumah Sakit.

    “ Parkiran di depan UGD penuh pak, silakan parkir di sebelah gedung operasi sentral ya,, “ ,, Ujar petugas parkir, Yoga tersenyum dan mengucapkan terimakasih.

    Malam apa sih ini, kenapa UGD penuh ?? pikir Yoga dan menjalankan mobilnya menuju gedung operasi sentral.

    Di perpustakaan, Boggi berdiri dari posisi duduknya, memandang lagi ke bawah,, tinggi juga,,, Boggi memperhitugkan jaraknya, kalau nekat melompat yang ada adalah patah kaki. Syukur-syukur Cuma patah kaki, kalau kepalanya terantuk dan jadi gegar otak, Boggi akan menyesal seumur hidup.

    “ God,,, send me your angel,, “ Bisik Boggi ketakutan.

    Dan saat itulah doanya dijawab.

    Yoga membelokkan mobilnya ke jalan di samping gedung operasi sentral. Hmm... serem juga gedung ini kalau malam, batinnya dalam hati. Sial, berarti nanti aku harus jalan sendirian dalam gelap. Sepi lagi. Bergegas Yoga turun mobil.

    Ada orang !! sepertinya laki-laki, Boggi harap- harap cemas. Jaraknya dengan mobil yang baru saja dimatikan itu sekitar sepuluh meter, Boggi harus berteriak.

    “ Halo Pak !! Mas !! Tolong ke sini !! “ seru Boggi, berusaha supaya suaranya tidak kedengaran bergetar.

    Boggi merasa ada suara dibelakangnya, bulu kuduknya meremang . Rumah sakit ini aslinya Rumah sakit sejak zaman Belanda yang dipugar besar-besaran. Gedungnya sekarang sih sudah terlihat baru. Namun begitu, cerita-cerita seram seputar rumah sakit tetap saja ada. Yoga mempercepat langkahnya.

    Oh Tidak !! Pria itu semakin menjauh, Boggi semakin keras berteriak.

    “ Pak !! Mas !! Tolong bantuin saya turun dari sini !! Saya tadi terkunci di perpustakaan !! “ seru Boggi sekuat tenaga, berharap pria itu tidak meninggalkannya.

    Yoga mendengar suara itu lagi, suara orang, bukan suara imajinatif, pikirnya. Terkunci di perpustakaan ?? Kalau Yoga tidak salah ingat, perpustakaan ada di sebelah gedung operasi central ini. Mengabaikan rasa takutnya, Yoga kemudian berbalik menyusuri jalanan gelap di samping gedung operasi sentral, tempat mobilnya terparkir.

    Boggi menarik nafas lega melihat orang itu membalikkan badan menuju tempatnya. Tuhan,, terimakasih... doanya betul-betul dijawab.

    “ Mas, terimakasih,,, tolong saya turun dari sini,,, “ Boggi tidak menyelesaikan kalimatnya karena terpotong suara Pria yang berbalik kearahnya,,

    “ Dokter Boggi ?? Ngapain nongkrong disitu ?? “

    Boggi memandang kebawah, untuk mengetahui siapa pria itu, dan Boggi tidak percaya. Sahala Yoga. Tanpa dikomandoi, dadanya berdebar-debar dan seketika, Boggi tidak tahu apa yang harus dikatakannya. Terimakasih atas jurnal dan artikelnya, terimakasih atas handscoen dan facemask-nya, kekaguman terhadap semangatnya.... Boggi hanya terpaku sambil menatap ke bawah.

    Yoga menatap keatas tak percaya. Dikerjap-kerjapkannya matanya, takut yang dilihat bukan Dokter Boggi.

    “ Ehmm... Anda dokter Boggi kan ?? “ Tanya Yoga memastikan diri. Siapa tahu arwah gentayangan yang menyamar menjadi Dokter Boggi.

    “ I... Iya mas,, Mas Yoga kan ?? “ Yoga mengerutkan keningnya, rupanya Boggi tahu namanya. Pasti dari Mbak Shani, karena seingat Yoga mereka belum pernah berkenalan dan dalam setiap amplop yang Yoga kirim, Yoga tidak mencantumkan namanya.

    “ Iya. Ngapain disitu malam-malam Dok ?? Bersihan ilalangatau betulin genteng ?? “,, tanya Yoga bercanda. Boggi tertawa. Lega rasanya bisa tertawa dengan orang, walaupun sayangnya orang itu Yoga. Sayangnya ?? Iya. Boggi berharap ketika dia bertemu dengan Yoga untuk mengucapkan terimakasih atas kirimannya selama ini, situasinya tidak seperti ini.

    “ Ehmm,, tadi saya keasyikan browsing di perpustakaan sampai lupa waktu, waktu sadar, perpus sudah tutup,, “ Jelas Boggi. Yoga memandangnya tak percaya dan tertawa geli.

    “ Buka situs apa sih Dok, sampai keasyikan ?? situs yang gituan ya ?? “ Tanya Yoga di sela tawanya. Boggi mengerut.

    Keasyikan baca berita tentang kamu, dodol,, batin Boggi.

    “ Tidak penting, yang penting sekarang bantuin saya turun dari sini,, “ Pinta Boggi, Yoga berhenti tertawa.

    “ Dokter minta tolong saya ?? nggak salah tuh ?? “ Tanya Yoga, Boggi terkejut.

    “... apa yang salah ?? “ Boggi balas bertanya... “ Disini Cuma ada mas Yoga dan saya minta tolong mas Yoga ,, apa salah ?? “ Ujarnya Boggi lagi. Yoga terdiam, memandangi Boggi. Seketika Boggi tersadar . Mungkin Yoga masih marah saat kejadian jacki sebulan yang lalu. Boggi salah tingkah. Apa yang harus dikatakannya ?? Keheningan menggantung diantara mereka.

    “ Dokter Boggi,,, “ Kata Yoga memecah keheningan. Boggi menatapnya.

    “ Kalau misalnya..... dokter sedang membutuhkan pertolongan seperti sekarang ini dan yang ada di depan dokter hanya ada satu orang............ “ Yoga berhenti sejenak,,,,,,,,,,,,, “ .... dan dia ODHA, apa dokter tetap mau menerima bantuannya ?? Padahal dokter juga tidak membawa sarung tangan atau masker,,, “ Tanya Yoga serius.

    Boggi terhenyak, Yoga masih mengiranya sama dengan sebulan yang lalu. Apakah Yoga tidak mengira bahwa semua jurnal, buku dan artikel yang dikirimnya untuk Boggi secara teratur telah membuka pikiran dan hatinya ?? Boggi menghembuskan nafas panjang dan menjawab mantap.

    “ Tetap dan sekarang saya minta bantuan Mas Yoga, walau saya tahu Mas Yoga ODHA,, “ Jawab Boggi. Yoga terdiam menatapnya. Jadi Boggi sudah tahu status HIV-nya. Pasti dari Mbak Shani lagi.

    Boggi menatap Yoga dengan berani.

    Sekarang aku tidak senaif dulu. Dan itu karena kamu Ren,, bisiknya dalam hati,,

    “ Tahu dari siapa ?? “ Tanya Yoga dari bawah. Boggi tersenyum, dan Yoga terpaku menatap senyumannya. Yoga sudah tahu senyuman Boggi manis, seperti yang sering terbayang, tapi kali ini senyumannya sangat manis,, dan begitu tulus.......

    “ Dari angin dan udara,,, “ Kata Boggi,,, “ Bukan dari manusia, tapi dari internet,,” Jawaban Boggi, Yoga terdiam sebentar, lalu tertawa kecil, menggeleng-gelengkan kepalanya.

    “ Aku sudah menduga dari awal, dokter ini pinter ngeles,,” Boggi hanya nyengir lebar.

    “ Oke mari kita pikirkan cara supaya pak dokter yang banyak penggemarnya bisa turun dari situ,,, “ LaluYoga berjalan di sekitar gedung untuk mencari tangga atau kursi dan meja yang bisa dipakainnya sebagai panjatan, atau sebagai pinjakan Boggi turun dari teras itu.

    Hasil pencariannya nol.

    Gedung operasi sentral terkunci, tidak ada apapun yang ditinggalkan satpam diluar untuk pijakannya. Yoga ke bawah teras tempat Boggi berlutut.

    “ Tidak ada tangga, gimana kalau aku ke pos satpam depan untuk minta kunci perpustakaan, nanti pak dokter masuk lagi dan turun dari lantai satu ?? Usul Yoga,,

    “ Jangan !! “ seru Boggi cepat. Boggi tidak mau lagi ditinggal sendirian dalam kegelapan. Yoga memandang ke atas.

    “ Kenapa ?? “

    “ Saya,,,,saya,,,takut gelap,,” Boggi berkata jujur akhirnya. Yoga tertawa kecil, lalu mereka terdiam meimikirkan cara Boggi turun.

    “ Saya ada ide,, “ Ujar Boggi akhirnya, Yoga menatap Boggi.

    “ Tas ini akan saya lempar ke bawah duluan, lalu saya lompat, Mas Yoga tolong tangkap tasnya, lalu tangkap saya,,” Usul Boggi nekat, sementara Yoga menimbang-nimbang.

    Ketinggian empat meter lumayan juga, salah-salah mereka bisa cedera. Dan kalau mereka sama-sama luka dan mengeluarkan darah , bisa bahaya lagi. Walaupun Yoga tahu Jumlah virus dalam darahnya (Viral Load) sudah tidak terdeteksi lagi berkat konsumsi ARV teratur tiga tahun ini, dan itu berarti tidak infeksius.

    “ Itu bahaya,, “ sahut Yoga,,, “ Kalau aku tidak bisa nangkap dokter, atau kita sama-sama jatuh dan luka berdarah, sudah siap tanggung resikonya ??”,, Yoga berbicara, Boggi hanya terdiam. Ya, kejadian itu bisa terjadi. Tapi, Boggi menuruti instingnya.

    “ Tidak akan, saya percaya mas Yoga bisa nangkep saya dan kita baik-baik saja,,” Ujar Boggi mantap.

    “ Yakin ?? “ Tanya Boggi. Boggi mengangguk,dan Yoga mengedikkan bahu.

    “ Oke,, let’s do our best,,” kata Yoga,, lalu merentangkan tangannya. Boggi menjatuhkan tasnya yang berisi laptop.

    Hap. Nice catch, seru Yoga dan mengamankan tasnya. Dan sekarang giliran Boggi. Boggi menurunkan kakinya, dan posisinya sekarang duduk di pinggir teras dengan kaki tergantung dan tangan berpegangan di pinggiran teras. Boggi menatap ke bawah, sedikit keraguan terbersit di hatinya. Yoga seperti merasakan keraguan Boggi.

    “ I’m a best catcher, Dulu aku pemain Baseball Dok,,” Ujuar Yoga sambil nyengir lebar, menenangkan Boggi. Yoga merentangkan tangannya, siap menangkap Boggi. Boggi melihat kebawah, Yoga dan kedua tangannya yang terentang. Lalu entah bagaimana, Boggi yakin Yoga akan memenuhi janjinya.

    Yoga memeluk Boggi, dan merasa dadanya berdebar dengan kencang. Bukan saatnya, geramnya pada dirinya sendiri. Tapi pelukan itu terasa pas, seperti yang Yoga bayangkan ketika memeluk pasangan hidupnya.

    “ Emhh,, terimakasih ya,,” Ujar Boggi lemah, menyandarkan Yoga. Yoga segera melepaskan Boggi dan membantunya berdiri. Ya seperti keyakinan Boggi, mereka tidak cedera. Yoga mengambil tas Boggi, mengulurkannya, dan langsung mengalihkan mukanya.

    “ Ya ampun Dok, celananya robel tuh,,”

    “ Aduh,, “ spontan Boggi langsung menutup pahanya,,, “ Oh my God,,,” Kata Boggi lagi. Mukanya sudah memerah. Yoga segera melepas jaketnya dan mengangsurkan pada Boggi cepat-cepat, Boggi menalikan jaket itu disekitar pinggangnya.

    “ Terimakasih,,, “ Ujar Boggi,,,,,,,,,” Untuk semuanya,,,” Boggi tersenyum, Yoga membalas senyumannya. Debar itu datang lagi di dada.

    “ Sama-sama dok, Lain kali rambutnya dipotong aja Dok, perih kena mata saya,,” Kata Yoga,, Boggi hanya tersenyum simpul kepadanya.

    “ Ini jaket saya pinjem dulu ya. Nanti kapan-kapan saya kembalikan,,,,, “ Boggi berpikir untuk menitipkan pada Mbak Shani, tapi pasti akan memicu pertanyaan.

    Yoga memang bermaksud meminjamkan jaket itu kepada Boggi, tapi bagaimana mengembalikannya ya ?? Jangan dititipkan Mbak Shani !! Yang ada nanti serentetan pertanyaan dan olok-olok.

    “...aku nanti ke sini aja,,,” Sahut Yoga cepat.... “ Kapan Dokter jaga UGD lagi ?? “,,, Boggi mengingat-ingat lusa dirinya dapat jatah jaga malam UGD.

    “ Lusa saya jaga malam di UGD,,” Jawab Boggi. Yoga mengangguk.

    “ Okeh,, lusa aku ke UGD,,,” Yoga berkata, dan Boggi tersenyum.

    “ Oke,,, “ Jawab Boggi, lalu masuk mobilnya dan memacu perlahan. Boggi menoleh ke arah Yoga sebelum berbelok menuju jalan keluar. Yoga masih ditempat ia memarkir mobil.

    Yoga memandangi sampai lampu mobil Boggi keluar ke jalan raya. Meredam debaran hatinya karena senyuman Boggi dan janji temu mereka dua hari lagi.

    Boggi tersenyum-senyum di dalam mobilnya, menuju ke rumah. Entah mengapa hatinya berbunga-bunga. Kejadian malam ini sungguh luar biasa. Siapa saja bisa lewat jalan itu untuk menolongnya. Tapi Tuhan mengirimkan Yoga. Boggi geleng-geleng kepala. Kejadian Tuhan memang ajaib. Dan mereka akan bertemu dua hari lagi. Boggi heran mengapa hatinya berdebar0debar mengingat itu.
  • @Rendesyah. Plot cerita ini rumit, dari terpanggilnya boggie ke penyakit hiv, mebawa konflik ama calon mertua dan calon partner, lalu perkenalan dg yoga. Ini plotnya ku akui super rapih... Ini memang sudah kelasnya roman. Ku salut.
  • wahaha,seruu . Eh yg prnah ML sma rivi wktu itu gk dikeluarin lg ya? Biar ketauan gitu kalo rivi slingkuh,haha ditunggu update slanjutnya :D
  • Eaaa boggi mulai senyum senyum sendiri wkwkwkwk
  • @erickhidayat - Aduh mas,, ini kan cerita yang terinspirasi dari orang lain,, jadi gimana ya,, hahahahahahaha,,

    @dhanirizky ,, hehehehe,, nanti pasti keluar,, tapi lagi cari waktu yang pas,,

    @jokerz - hehehehehehe,, iya nie udah senyum - senyum sendiri,,
  • @erickhidayat
    @Ricky89
    @lian25
    @shuda2001
    @dhanirizky
    @Zhar12
    @jokerz

    Maaf cuma sedikit sebelum libur,, hehehehe,, karena besok libur panjang mau liburan ke solo dulu ya,,sambil mau ke makam Arya,,
  • edited October 2013
    SEMBILAN

    Keesokan harinya, di rumah Rivi.

    Beberapa pembantu menyiapkan sarapan di meja makan dengan kapasitas delapan orang. Walaupun meja makan sebesar itu, tiap hari meja itu hanya berisi maksimal dua orang, Mama dan Rivi. Papa lebih sering berangkat awal mengurus perusahaannya, sedangkan kedua kakak Rivi ada di Bali dan Australia. Menu pagi ini nasi goreng, telur mata sapi, ayam goreng dan roti panggang lengkap dengan segala macam isi. Rivi mengoles roti panggangnya dengan selai. Penampilannya sudah rapi karena pukul delapan ini Rivi ada janji membahas pembangunan lapangan Golf resortnya.

    “ Dah siap berangkat, Nak ?? “ Mama keluar kamar dan duduk disampingnya.

    “ Pagi Ma. Sudah. Habis sarapan ini Rivi dan Pak Wi mau bertemu dengan Pak Gunadi ngomongin rencana lapangan golf,, “ Sahut Rivi sambil menggigit ratinya. Mama menuangkan orange juice ke gelasnya.

    “ Riv, kemarin Mama sudah bicara dengan Boggi tentang rencana klinik kulit dan kecantikan itu,,, “ Kata Mama.

    “ lalu pendapat Boggi gimana Ma ?? “ tanyanya. Mama menghembuskan nafas panjang.

    “ Seperti katamu Riv, Boggi tidak tertarik ke arah sana. Katanya Boggi mau menjadi dokter spesialis penyakit dalam, dan mengurus orang HIV/AIDS,, “ Mama bergidik. Rivi tampak terkejut.

    “ Boggi bilang begitu Ma ?? Ko Dia tidak bilang apa-apa sama Boggi tentang ini ?? “

    Mama mengangkat bahu . meminum orange juice dengan kening berkerut Rivi mengunyah sarapannya.

    “ Boggi itu tidak bukan pria selembut yang kamu kira lho Riv, tidak seperti yang Mama kira juga. Boggi anak yang pintar, dan biasanya orang pintar itu pembangkang. Awalnya aja dia kelihatan manis dan nurut, tapi lama-lama kelihatan juga kan aslinya,, “ Kata Mama, Rivi hanya diam.

    “ Tapi nanti kalau Boggi sudah masuk ke keluarga kita, Boggi sudah tidak bisa semaunya sesuai dirinya sendiri. Harus ada aturan yang mau tidak mau harus Boggi ikuti. Termasuk pilihan karirnya itu. Kan profesia kalian harus bersesuaian. Masa, kamu manager resort, pendamping mu malah ngurusin orang-orang HIV/AIDS ?? Tidak lucu kan,, Bagusnya, Boggi jadi dokter yang tampan dan menawan dan bergaul dengan kalangan kita,, “

    Rivi meminum susunya dan beranjak dari kursi. Dipakainya jas yang tersampir di kepala kursi, lalu mengambil tasnya.

    “ Nanti Rivi bicarakan dengan Boggi. Rivi pergi, Ma,, “ Pamit Rivi sambil mencium pipi mama sekilas. Mama melambai dari kursinya.

    Sepanjang perjalanan menuju resort, Rivi memikirkan Boggi. Mereka sudah berpacaran empat tahun dan butuh waktu dua tahun untuk menjajaki hingga akhirnya mereka jadian, Total enam tahun Rivi dan Boggi saling mengenal. Rivi mencintai Boggi. Boggi tampan, rupawan, pintar, ramah, baik dan dokter pula. Hmmm,,, tapi kalau mau jujur, Rivi memilih Boggi dan melamarnya karena predikat dokter yang disandang Boggi. Banyak Pria – pria disekelilingnya yang lebih tampan, lebih ramah, lebih seksi dibandingkan Boggi, tapi mereka bukan dokter. Bagi Rivi yang hidup dikeluarga dimana gay merupakan suatu kewajaran, karena di keluarga besarnya ada 3 orang yang telah hidup bersama dengan pasangan gay-nya, maka Rivi berani mengakui bahwa dirinya adalah gay, dan sosok Boggi menurutnya sungguh ideal untuk profil seorang pendamping pengusaha, bisa menunjang karir Rivi.,

    Selama empat tahun Rivi berhasil mencetak Boggi sebagai sosok yang ideal sebagai pendamping pengusaha denga membelikan baju, kemeja, celana, sepatu yang Rivi inginkan, supaya Boggi menjadi seperti bayangannya seorang dokter yang tampan dan cerdas. Karene itu selama empat tahun ini, Rivi berusaha merebut hati Boggi dan keluarganya dengan bersikap sopan dan alim, menutupi dirinya yang sesungguhnya.

    Rivi menggelengkan kepalanya. Kalau betul kata Mama bahwa Boggi ingin menjadi dokter penyakit dalam yang akan mengurusi pasien HIV/AIDS, berantakanlah rencana dan bayangannya tentang sosok ideal pendamping pengusaha yang seharusnya diwujudkan Boggi, Dan Rivi tidak bisa tinggal diam.



    Boggi keluar kamar, menyapa Bunda dan Bapak yang sudah lebih dahulu duduk di meja makan untuk sarapan, Bunda membalas sapaannya, dan terpaku melihat putra bungsunya.

    “ Nang,, sudah lama Bunda tidak melihat penampilanmu seperti ini,, “ Komentar Bunda, Bapak ikut memperhatikan penampilan putranya.

    “ Hmm,, iya biasanya jambang itu tidak pernah dicukur ,,,” ujar Bapak. Boggi tersenyum manis, mengambil piring dan mengisi piringnya dengan nasi goreng terasi spesial Bunda dan telur setengah matang kesukaannya.

    “ Boggi rasa keren sekali, anak mu inidengan jambang dipotong, terlihat rapi,,, “ Sahut Boggi.

    Memang selama satu tahun ini, semenjak Boggi jadi dokter tidak pernah mencukur jambang hingga habis. Alasannya klarena Rivi suka melihatnya tampil tampan dengan jambang, dan bagi Boggi itu tidak masalah. Mereka selesai sarapan. Boggi membersihkan piring kotor ke dapur, mencuci tangannya dan memberesi tas yang akan dibawanya. Lalu Boggi mencium tangan Bapak dan Bunda, pamit.

    “ Hati-hati di Jalan Nang, Oh iya jaket yang sudah kamu cuci dan baru kamu rendam pelangi itu mau Bibik bilaskan ?? “ Tanya Bunda. Boggi langsung teringat.

    “ Tidak usah Bun. Terimakasih diingtakan,, “ Boggi meletakkan tasnya dan masuk lagi.

    Beberapa saat kemudian Boggi keluar dan mencium tangan Bundanya lagi.

    “ Bonus,, “ cengir Boggi,,,, “ Sudah Boggi jemur, nanti kalau hujan titip Bibik ambilkan ya Bun,, “,, Kata Boggi lalu masuk mobil dan melambai ceria pada Bapak dan Bunda yang mengantarkan kepergiannya dari teras.

    “ Perubahan bagus Pak, biasanya anak bontot kita malas kalau urusan cuci mencuci,, “ Komentar Bunda sambil masuk rumah.

    “ Sudah mau jadi pendamping orang Bu, walaupun Bapak masih berharap Boggi menjadi suami seorang wanita,, jadi wajarlah kalau belajar mencuci,, “ Jawab bapak. Walaupun mereka tahu, ketika sudah jadi pendamping Rivi, Boggi tidak ada kesempatan mencuci karena pembantu di rumah Rivi ada banyak.

    Boggi sedang mencuci tangannya di wastafel poliklinik, ketika Rivi masuk ruang tunggu pasien. Poliklinik sudah sepi hanya tinggal Mbak Ida yang sedang membereskan rekam medis pasien hari ini. Melihat kedatangan Rivi, Boggi ijin pamit keluar dan menuju ruanga Boggi.

    “ Tumben kesini tidak ngabarin dulu,, “ Boggi berbicara ketika menuju ruang kerjanya. Sesaat Rivi terpaku melihat penampilan Boggi, mengapa Boggi memotong jambangnya ?? Rivi menghembuskan nafas sebal.

    “ Kamu sudah selesai kan Gi ?? Ayo kita keluar saja,, “ Ajak Rivi ketus.

    Wajah Rivi tidak begitu cerah, batin Boggi. Pasti ada hubungannya dengan pembicaraan dengan Mama waktu makan siang kemarin. Boggi tersenyum kecil, Boggi siap mempertanggungjawabkan keputusan yang telah diucapkan kemarin.

    Mereka akhirnya pergi keluar berdua, namun sebelum menuju ke mobil, Boggi pamit terlebih dahulu kepada Mbak Ida.

    Pelayan datang membawakan cappuccino ice pesanan Boggi dan black coffe pesanan Rivi. Mereka duduk di dekat kaca baur yang meretaskan air hujan buatan di kedai Kopi langganan mereka. Boggi membuka pembicaraan, karena Boggi tahu sebenarnya hal itulah yang akan mereka bahas siang ini.

    “ Sayang aku mau bilang sesuatu ,, “ Kata Boggi, Rivi meniup kopinya dan mencicipi sedikit. Masih terlalu panas, diletakkannya lagi cangkirnya,, “ Tentang pilihan profesi yang pernah kita bicarakan kemarin..... Rasanya perlu kita bicarakan sekarang karena menyangkut kehidupan kita sebagai pasangan hidup nantinya... “

    “ Aku sudah dengar dari Mama jelek,, Kamu ingin jadi dokter spesialis penyakit dalam kan ?? “ Potong Rivi.. Boggi mengangguk, menatap Rivi, mencari petunjuk ketidaksetujuan atau kesetujuan Rivi tentang pilihannya, namun wajah Rivi datar.

    “ Iya, dan nantinya aku ingin mendalami bidang HIV/AIDS serta segala permasalahannya,,, “ Boggi berkata

    “ Aku tidak setuju,,”,, sahut Rivi cepat, Boggi mengerutkan keningnya.

    “ Kenapa sayang ?? “

    “ Karena penyakit itu berbahaya, karena kamu calon pendamping hidupku hingga maut memisahkan. Ingat kamu akan mendampingi seorang manajer. Pilihlah profesi yang prestise dan santai,,, “ Rivi menjawab dengan cepat. Boggi sampai hampir tidak mengerti maksudnya.

    “ Berbahaya ?? Prestise ?? Calon pendamping manajer ?? ,, “ Boggi menggeleng-gelengkan kepalanya.,,,,,,,,,,,,,,,, “ Penyakit ini tidak berbahaya asal kita tahu yang benar sayang. Tentang penularannya, pencegahannya, gejalanya, dan obatnya. Dan lagi aku Dokter. Semua pekerjaan yang menyangkut itu adalah prestise buat ku. Dan aku calon pendamping Rivi, bukan seorang manajer,, “ Tandas Boggi. Rivi membuang muka, memandang keluar. Jalan ramai dengan anak SMU yang baru saja keluar.

    “ Kamu memang calon pendamping hidup ku, tapi aku seorang manajer, pengusaha muda, dan kamu juga. Pilihlan profesi yang mendukung karir pendamping hidup mu,, Tidak bisa kita jalan sendiri – sendiri,, “ Ujar Rivi,, dan Boggi memandang tak percaya pada Rivi.

    “ Profesi ku Dokter Riv. Kamu tahu itu dari semula kan ?? Pekerjaanku akan banyak berurusan dengan orang sakit. Apa aku harus mengubah profesiku, menjadi sekretarismu atau akuntanmu, begitu ??,, “ Boggi berkata dengan penuh heran, sementara Rivi menggelengkan kepalanya gusar.

    “ Bukan, bukan itu Gi,,” Ujar Rivi, mereka berdua sudah saling memanggil nama.

    “ Kamu tetaplah dokter, tapi kamu punya pilihan profesi yang bermacam-macam, jadi dokter umum, dokter mata, dokter kulit, dokter khusus kosmetik,... Kan bisa kamu pilih salah satu spesialisasi yang mendukung karirku ,,, “ Ujar Rivi.

    “ ...mendukung karir mu tapi menyiksa diriku ?? “ mereka bertatapan.

    “ Aku tidak berminat dibidang spesialis kulit apalagi dokter khusus kecantikan yang dapat mendukung karir mu, Vi. Aku akan tersiksa kalau terpaksa menjalaninya. Memang benar, pilihan profesi ku banyak. Karena itu aku memilih yang sesuai dengan minat ku. Dan kamu sudah tahu apa itu,,, “ Boggi merasa tidak bisa menahan emosinya, Rivi membuka mulutnya tapi segera dikatupkannya lagi. Mereka terdiam.

    “ Mana yang lebih penting Gi ?? “ tanya Rivi kemudian..... “ Aku atau impian karir mu ?? “



    Boggi terbaring menatap langit-langit kamar. Boggi sangat tahu bila dirinya mengikuti keinginan Rivi dan Mamanya, hidupnya tidak akan bahagia. Boggi bangkit dari tidurnya, menuju rak bukunya. Ditariknya sebuah album foto. Itu kumpulan foto mereka, Boggi dan Rivi, selama enam tahun. Sejak mereka bertemu, jadian, lalu ketika mereka pergi ke resort Rivi, di Bali, Eropa, ketika berlibur dengan keluarga Rivi, waktu makan bersama di rumah Boggi, wisuda magister Rivi, pesta di hotel Papa Rivi, Fota bersama Bunda dan Bapak di depan rumah..........

    Memang sudah banyak momen yang mereka lewatkan bersama dua tahun ini. Dan sebelum kejadian ini, sepertinya semua berjalan dengan mulus. Apa yang mereka lakukkan di jalur masing – masing nampaknya masih seiring sejalan. Boggi dengan dokternya, Rivi dengan manajernya. Mereka sepertinya bila saling mengisi, sering berbagi cerita, tertawa bersama, berjuang untuk mendapatkan pengakuan dari keluarga Boggi, saling mencintai,, hingga mereka memutuskan untuk hidup bersama. Menjelang hari – hari semakin dekat, percik – percik kecil ketidakcocokan mulai nampak. Dimulai dari perasaan Boggi akan kedangkalan komunikasi mereka, masalah undangan, jurang perbedaan gaya hidup mereka yang sekarang terasa lebih dalam, dan yang paling besar adalah masalah saat ini. Memutuskan pilihan peminatan profesi Boggi.

    Undangan, pencantuman gelar, pilihan tempat makan di Belanda, pilihan baju adalah sesuatu yang bisa di tolerir sejauh ini. Boggi masih memiliki kerendahan hati untuk mengalah. Tapi masalah pilihan peminatan profesi ini adalah hal penting yang akan mengubah seluruh hidupnya. Ketika Boggi memutuskan menjadi ahli kulit dan kecantikan, maka seumur hidupnya Boggi akan berkutat dengan itu. Dan ketika Boggi memutuskan memilih menjadi dokter penyakit dalam dan konsen di bidang HIV/AIDS maka akibatnya adalah komitmen seumur hidupnya mengabdi ke situ. Boggi tahu bahwa semua pilihan membawa konsekuensi. Dan konsekuensi itu akan lebih ringan ditanggung jika sesuai dengan pilihan hatinya. Jika konsekuensi yang ditanggungnya adalah karena pilihan orang lain, Boggi tidak dapat membayangkan betapa tersiksa hidupnya.

    “ lebih penting aku atau impian karir mu ?? “ tanya Rivi tadi.

    Impian Boggi sebenarnya adalah hidup bersama dengan Rivi, lelaki yang dicintainya, namun juga tetap mendapat kepuasan hati dalam pekerjaannya. Baginya Rivi dan profesinya bukanlah sesuatu yang harus dipilih atau diputuskan mana yang penting. Mengambil yang lain dan meninggalkan yang satu. Yang Boggi inginkan adalah keduanya bisa sejalan, berdampingan, karena keduanya sama-sama penting. Tapi bagaimana jika salah satu tidak mau sejalan dengan yang lain ?? Boggi mengehela nafas panjang, mengedarkan pandangan ke sekeliling kamarnya. Di pegangan lemari tergantung contoh pakaian pernikahan Boggi untuk di Belanda. Persiapan sudah sejauh ini. Boggi meraih tasnya, ia mengeluarkan contoh undangan rancangan Mama. Merah marun, ungu dan cokelat. Boggi membuka kotak undangan dari kayu, mengeluarkan undangan dan membacanya perlahan – lahan.

    “ Indah saat Tuhan mempertemukan, indah saat Tuhan menyatukan,,, “ bisikBoggi.

    Huruf – huruf mengabur, dan tetes air mata Boggi menjatuhi foto mereka yang penuh senyum.



    Dua hari ini Bunda cemas melihat wajah mendung yang menghiasi wajah putranya. Selera makannya pun berkurang. Kadang Bunda melihat bekas-bekas air mata di pipinya. Atau mendengar isakan di suatu malam. Masalah pekerjaannya di rumah sakit, atau masalah pernikahannya dengan Rivi ?? Bisik Bunda dalam hati. Bapak pun ikut bingung melihat perubahan putranya yang kurang ceria dan semangat. Tapi saat ini Bunda belum berani untuk bertanya. Biasanya kalau Boggi sudah siap, Boggi yang akan datang ke kamar Bunda dan bercerita. Bunda akan menunggu sambil membuka pintu kamarnya, dan selama itu pula Boggi akan mendoakan putranya supaya selalu diberi kesabaran dan keteguhan.
Sign In or Register to comment.