BoyzForum! BoyzForum! - forum gay Indonesia www.boyzforum.com

Howdy, Stranger!

It looks like you're new here. If you want to get involved, click one of these buttons!

Selamat datang di situs Boyzforum yang diarsipkan oleh Queer Indonesia Archive. Forum untuk komunitas gay Indonesia yang populer ini didirikan pada tahun 2003, dan ditutup pada tanggal 15 Desember 2020.

Forum ini diabadikan untuk kepentingan sejarah. Tidak akan ada konten baru di forum ini. Silakan menikmati forum ini sebagai potongan dari sejarah queer Indonesia.

PITA MERAH DALAM SEBUAH CERITA EDISI CERPEN

1356730

Comments

  • mention meh yah. kalo update
  • mention ea low updeat
    kyknya boggi bkl putus ma rivi nih n jadian ma yoga...
    gmna ea lanjutannya ..boggi kn gak suka ma org ODH
  • @lian25
    @ananda1
    @adinu
    @ramadhani_rizky
    @erickhidayat
    @Ricky89
    @arifinselalusial


    Makasih Semuanya yang sudah baca,, yang belum puasa dengan cerita ini,, aku mohon maaf banget,, hehehehehe
  • edited October 2013
    @Rendesyah, aku sepertinya sudah bisa mengidentifikasi gaya bahasa penggunaan bahasa kedokteran dalam novel bro. (ku gunakan istilah novel karena tingkat bahasa dan ukuran nya sudah masuk ke dalam kategori ini). Berat tapi bermutu, ada warna berbeda.
  • wah seru nih.... next update di mensyen yaaa
  • setuju dengan om bro @erickhidayat om ts..


    pas update lumayan panjang, jg gak akan ada komen "kok dikit banget" :p

    so please jgn lupa mention
  • ENAM

    Boggi sedang berjalan menyusuri bangsal, baru saja Dokter Shani menelponnya, memanggil Boggi ke ruangannya di bangsal penyakit dalam. Boggi tahu, ini pasti sehubungan dengan peristiwa malam minggu kelarin. Boggi menggigit bibirnya, kesal becampur khawatir. Ah, tapi apapun yang akan dikatakan atau dilakukan Dokter Shani, dimarahi atau nilai kelakukan baiknya dikurangi, Boggi tidak peduli. Dari arah berlawanan Boggi melihat Igo sedang berjalan bersama dua orang perawat bangsal , Gina dan Tita. Mereka tertawa-tawa, sepertinya sedang menceritakan pasien mereka di bangsal. Sesaat mata mereka bertemu, namun Boggi segera membuang mukannya melihat taman dan Igo juga seolah-olah tidak melihatnya, meneruskan bercakap-cakap dengan dua perawatnya. Malahan Gina yang menyapa Boggi dan Boggi membalas dengan senyuman.

    Mereka belum berbaikan, kejadian itu baru dua malam yang lalu dan Boggi masih sakit hati dengan ucapan pedas Igo. Boggi mempercepat langkahnya, hari ini Boggi hanya mendapat jatah jaga bayangan, jadi tidak ada kegiatan wajib yang harus dilakukannya. Rencananya, setelah bertemu Dokter Shani Boggi ingin mengisi waktu dengan membaca di perpustakaan. Igo menarik nafas panjang setelah menjauh. Baru kali ini Igo marah dengan Boggi, sebenarnya sangat merugikan Igo, karena Igo kehilangan tempat bertanya dan bantuan mencarikan bahan presentasi. Tapi biarlah, kadang-kadang Boggi harus tahu pikiran orang lain supaya Boggi tidak terlalu sempit memandang sesuatu. Nanti juga akan membaik sendiri, kata Igo dalam hati.

    Boggi sampai di muka pintu ruangan Dokter Shani, mengatur nafasnya sebentar dan mengetuk pintu. Masuk, sahut Dokter Shani dari dalam. Dokter Shani sedang menata beberapa berkas di mejanya. Melihat Boggi masuk, Dokter Shani tersenyum dan menyapa ceria.

    “ Hai Boggi, mari,,,mari,,,” Kata Dokter Shani,,,, “ Aku masih beresin laporan seminar Bali kemarin untuk presentasi bagi ilmu besok. Wah asyik sekali kemarin Gi, banyak dibahas tentang kombinasi ARV, terutama untuk pencegahan pasca pajanan,, “ Ujar Dokter Shani panjang lebar, Boggi hanya tersenyum kecil, kurang mengerti maksud Dokter Shani. Boggi terlihat salah tingkah di tempat duduknya.

    “ Gi,, apa pendapatmu kalau kukatakan bahwa aku HIV positif ?? “ Boggi mengangkat wajahnya, nampak terkejut.

    “ Hah,, apa benar mbak ?? “ tanya Boggi tak percaya, dan Dokter Shani menatapnya serius.

    “ Apa pendapat mu ?? apa reaksi mu ?? “,,, Dokter Shani mengulang pertanyaannya. Boggi masih dengan rasa terkejut yang nampak dari mata dan ekspresi wajahnya menatap Dokter Shani lekat-lekat, seniornya ini masih muda, usianya baru sekitar akhir tiga puluhan, cantik, cerdas dan sedang mengambil pendidikan doktoral, seorang aktivis HIV/AIDS, pembicara dimana-mana, kesayangan super seniornya Para Profesor, sudah memiliki tiga anak yang masih kecil, suaminya seorang arsitek sangat menyayanginya.... Dokter Shani terkena HIV ?? Boggi tidak bisa berkata-kata.

    “ kamu masih mau bertemu dengan ku ?? masih mau bicara denganku ?? “,, kejar Dokter Shani. Boggi terdiam. Dokter Shani mengulurkan tangannya.

    “ Ayo kita salaman, aku HIV positif,, “ kata Dokter Shani,, Boggi tergagap. Boggi tidak tahu apa yang harus dilakukan dengan Dokter Shani yang terulur.

    Boggi tidak habis pikir, darimana Dokter Shani bisa tertular ?? Apa karena tertusuk jarum dari pasien ? Mungkin begitu, karena Dokter Shani orang baik-baik. Nah, ini yang membedakan Dokter Shani dengan orang-orang itu. Boggi mengulurkan tangannya untuk menjabat tangan Dokter Shani. Dokter Shani tersenyum lebar.

    “ Gotcha,,!! “ seru Dokter Shani,,,, “ Aku ngerjain kamu,,”

    “ Hah,, maksudnya ?? “ Boggi bertambah bingung.

    “ aku negatif Gi,,hanya mau tahu reaksimu saja terhadap orang-orang yang mengaku HIV positi di depan matamu,, “ terang Dokter Shani sambil tertawa renyah. Boggi jadi paham, barusan Ia dikerjain, dan Dokter Shani dengan sukses sudah membuatnya syok. Boggi ikut tertawa gugup. Dan Dokter Shani menatapnya dalam.

    “ Tadi waktu pertama kali aku bilang aku positif, apa yang kamu pikirkan Gi ?? “ Boggi hanya menunduk menatap jari-jarinya saat Dokter Shani mulai bertanya kembali.

    “ Saya.......... tadi kaget sekali mbak, saya bertanya-tanya, dari mana Mbak Shani bisa tertular, Mbak Shani kan orang baik-baik,, “ Jawab Boggi perlahan-lahan, Dokter Shani hanya tersenyum mendengar jawaban polos Boggi.

    “ Lalu tadi aku melihat, sepertinya kamu ingin langsung lari dari hadapanku....atau Cuma perasaanku ya ?? “ Tanya Dokter Shani seakan-akan bertanya kepada dirinya sendiri, Boggi tersipu malu.

    “ Ehm,,,, saya,,,,saya kemudian berpikir, Mbak tertular dari pasien, jadi bukan karena tindakan....amh.... yang tidak benar, jadi saya mau salaman dengan Mbak,,, “ Dokter Shani menatapnya lekat-lekat.

    “ Ant other reasons ?? “ tanya Dokter Shani lagi, Boggi terdiam.

    “ Dan..........HIV kan tidak tertular lewat sentuhan Mbak,, “ sahut Boggi akhirnya. Dokter Shani menjentikkan tangannya.

    “ Nah kamu tahu HIV tidak menular lewat sentuhan, Lalu....kenapa tadi malam kamu harus pakai handschoen dan facemask untuk memeriksa Jacki ?? “,,, Ah, akhirnya sampai juga ke kejadian malam itu. Pasti si pengantar pasien itu yang mengadu, batin Boggi sebal. Seperti bisa membaca pikirannya, Dokter Shani berbicara lagi.

    “ Iya memang aku tahu kejadian itu dari Yoga,, tidak papa, Yoga sudah seperti adikku sendiri. Kami sama-sama aktivis lembaga yang konsen di HIV/AIDS,, “,,Terang Dokter Shani.

    Jadi cowok tidak sopan itu namanya Yoga, batin Boggi. Boggi menghembuskan nafas panjang.

    “ Saya........saya melindungi diri mbak. Saya takut ketularan. Saya pikir dokter itu rentan tertular, karena itu saya tidak mau ambil resiko sekecil apapun untuk tertular, karena itu saya memakai alat-alat itu,,, “ Jawab Boggi.

    Boggi kemudian meneruskan perkataannya,,,

    “ Ehmmmm,,,,,, saya tahu kalau HIV itu tidak menular lewat sentuhan. Tapi saling takutnya tertular, kadang hanya membaca atau mengetahui bahwa seseorang HIV postif saja membuat saya berpikir apapun yang ada padanya itu infeksius. Padahal saya juga tahu, penularan HIV tidak mudah,,, hanya lewat darah, cairan kelamin dan air susu ibu,,, “ Boggi menunduk, Dokter Shani memnadang Boggi.

    “ Menurutmu dokter rentan tertular ?? “ tanya Dokter Shani, Boggi mengangguk.

    “ Dokter termasuk high risk person atau low risk person ?? “ tanya Dokter Shani lagi.

    “ Hi....high risk,, “ Jawab Boggi,,, Dokter Shani mengerutkan alisnya.

    “ High risk person, menurutmu siapa saja ?? “ Boggi berpikir sebentar.

    “ Dokter, perawat, dokter gigi, petugas laboratorium....” jawab Boggi. Dokter Shani hanya tersenyum kecil. Juniornya ini memang belum paham.

    “ PSK, pecandu narkoba suntik, homoseksual, pelanggan PSK, pasangan pelanggan PSK masuk kriteria apa donk Gi ?? “,,, kejar Dokter Shani, Boggi menimbang-nimbang.

    “ High risk juga,,, “ Jawab Boggi akhirnya. Dokter Shani menggeleng-gelengkan kepalanya. Boggi menggigit bibir sadar jawabannya salah, lalu mereka berdua terdiam.

    “ Dokter itu termasuk low risk person Gi...termasuk dokter gigi, perawat juga petugas laboratorium,,, “ Ujar Dokter Shani. Alis Boggi bertaut.

    Kok bisa ?? bukannya petugas kesehatan itu akrab dengan cairan tubuh yang infeksius ?? batin Boggi bingung. Seperti mengerti kebingungannya, Dokter Shani menjelaskannya.

    “ Itu karena kita memiliki standar pengamanan kerja tertinggi. Sarung tangan, masker, sepatu, kacamata google, prosedur cuci tangan, pencegahan setelah tidak sengaja terkontaminasi bahan infeksius,,, Kamu tahu itu tidak gi ?? “ Boggi ragu-ragu, untuk yang terakhir ini Boggi tidak begitu paham, tentang pencegahan pasca pajanan.

    “ Sedangkan orang-orang yang kusebut tadi, PSK, Pecandu Narkoba suntik... mereka tidak punya pengamanan standar. Karena mereka tidak tahu, jadi mereka itu lah yang high risk dan kita low risk,, “ Jelas Dokter Shani,,,,,,,,,, “ Lagipula Gi,,,, mungkin kamu sudah lupa ya. Risiko kita tertular HIV kalau kita tidak sengaja tertusuk jarum yang terkontaminasi itu kecil, Cuma 0,03 persen. Justru lebih besar kemungkinan tertular hepatitis,, tiga puluh persen. Hmmm........... memang sih, tergantung jumlah virus si pasien. Tapi jangan khawatir, karena ada pencegahan setelah tertusuk dengan ARV dan segala prosedurnya itu, risiko kita semakin kecil,,, “ jelas Dokter Shani lebih lanjut.

    Boggi hanya mengangguk-angguk. Jadi selama ini ketakutan itu tidak beralasan. Pengetahuan yang tersimpan di memorinya juga tidak tepat.

    “ Hmmm,,, apa sih Gi yang kamu tahu tentang AIDS ?? “,, Tanya Dokter Shani. Boggi mengangkat wajahnya, mencoba mengumpulkan sisa-sisa informasi dari zaman kuliah dulu.

    “ Mm... itu suatu sindrom atau sekumpulan gejala yang disebabkan oleh menurunnya kekebalan tubuh akibat infeksi HIV. Karena HIV menyerang limfosit T-helper (Salah satu jenis sel darah putih), maka penderita akan menjadi sangat rentan dan mengalami infeksi yang timbul saat daya tahan tubuh rendah dari mikro organisme tidak berbahaya pada kondisi yang normal disekitarnya,, “,,,, Jawab Boggi, berharap jawabannya tidak tampak bodoh, Dokter Shani mengangguk.

    “ Gejalanya apa saja Gi ?? Kamu masih ingat stadium satidumnya ?? “ Boggi berusaha mengingat lagi. Searching ke dalam file-file memorinya.

    “ Seingat sayaseperti gejala flu, Mbak. Flu like syndrome, lalu ada diare, tubercolosis, lalu penurunan berat badan.......” Boggi terdiam. Ruangan hening.

    “ Saya tidak begitu ingat lagi mbak,, “ Pengakuan Boggi akhirnya terlontar juga. Dokter Shani tersenyum.

    “ Untuk pengobatannya dengan apa Gi ?? “ kejar Dokter Shani.

    “ Obat antiretroviral, Mbak,, “ jawab Boggi.

    “ Bagaimana cara pemberiannya ?? “,,, Boggi menggeleng.

    “ kapan kita mulai memberikan dan apa alasannya ?? “,, lagi-lagi Boggi menggeleng.

    “ Apa keuntungannya buat pasien ?? apa efek sampingnya ?? “,,, Boggi menggeleng kembali. Dokter Shani menghembuskan nafas panjang sambil mengamati Boggi, yang diamati menundukkan kepala malu dan salah tingkah. Hening sejenak.

    “ Boggi,,,” Kata Dokter Shani akhirnya,,,,,,,,,,,, “ dari pembicaran kita barusan aku menyimpukan bahwa rasa takutmu yang tidak beralasan ketika mengahadapi pasien HIV positif dan AIDS itu bersumer dari dua aspek,, “ Ujar Dokter Shani,, Boggi mengangkat wajahnya, memandang seniornya sambil menyimak tiap kata yang diucapkan Dokter Shani.

    “ Yang pertama... “ ,,, Dokter Shani menunjuk dahinya,,, “.....dari sini,,,”,, wajah Boggi bersemu merah.

    “ Dan yang kedua,,, “ Dokter Shani menunjuk dadanya,,,” .... dari sini,,,,,,, “Boggi tercenung. Hati. Itu yang selama ini Boggi tidak punya.

    “ Kalau dari aspek yang pertama, jalan keluarnya adalah kita membekali diri dengan pengetahuan yang benar. Percayalah Gi, pengetahuan yang setengah-setengah akan membuat kita tidak obyektif memandang suatu kasus,,, “ Dokter Shani tersenyum, Boggi terpekur.

    “ kalau dari aspek kedua,, saranku..... “ Dokter Shani menepuk tangan Boggi hangat.... “ lihat lebih dekat ,,, “ Boggi menatap mata Dokter Shani, nampak kesungguhan dan cinta dimatanya.

    “ Jangan ambil jarak terlalu jauh dengan mereka. Mereka itu membutuhkan bantuan kita lebih dari semua pasien lainnya. Mereka rentan infeksidan seumur hidupnya mereka bergantung pada dukungan medis. Kalau kita sebagai tenaga medis aja tidak mau tahu tentang kondisi mereka, siapa lagi yang mau peduli Gi ?? ini kewajiban yang melekat pada setiap dokter saat mereka mengangkat sumpahnya. Menerima siapapun menjadi pasien tanpa melihat jenis penyakit, jenis kelamin, agama, suku dan ras,,,,, “ Dokter Shani tersenyum.

    “ Kamu pasti masih ingat isi sumpah Hipokrates kita kan ?? “ Boggi mengangguk, teringat Igo yang kemarin menyinggung tentan sumpah dokter mereka. Boggi meresapi semua perkataan Dokter Shani, tersadar bahwa pikirannya selama ini sangat sempit. Boggi menjadi malu.

    “Hmm... oke itu saja sih yang mau aku bicarakan denganmu Gi,,, “ Ujar Dokter Shani, Boggi masih terdiam, sambil menggigit bibirnya.

    “.... Boggi ???? “

    “ Ah,,, iya mbak,,, “ Boggi tersadar lalu tersenyum..

    “ Terimakasih ya mbak,,, untuk semua pandangannya,,, “ Sahut Boggi, Dokter Shani menepuk bahunya lembut. Dokter Shani sangat sayang pada juniornya yang satu ini. Semoga apa yang Dokter Shani sampaikan bisa membuat pencerahan bagi Boggi.

    Boggi beranjak perlahan dari tempat duduknya. Pikirannyamasih agak penuh, mencoba mencerna pembicaraannya dengan Dokter Shani.

    “ Habis ini ke mana, Gi ?? Dapat jatah piket apa ?? “ Boggi menggeleng.

    “ Tidak ada mbak, hari ini dapat jatah bayangan,,, “

    “ Hmm,,, mau gantikan aku monitor pasien hemodialisa ?? Aku harus menyerahkan laporan ini kepada Prof sebentar,, “ Ujar Dokter Shani. Boggi berpikir sebentar. Boleh juga daripada hanya duduk di perpustakaan. Boggi mengangguk.

    “ Boleh mbak,, “ sahut Boggi.

    “ Thanks, Gi,,,”



    Kamar Jacki sudah mulai ramai, Bapak, Ibu dan Tama, keponakan Jacki datang menunggunya. Jacki mulai bisa tertawa-tawa, mual muntahnya mulai berkurang banyak, namun kata Dokter Shani Jacki masih perlu dirawat barang beberapa hari lagi untuk pemulihannya dan melakukan beberapa tes darah. Yoga juga masih menunggui di kamar. Nanti selepas tengah hari, Yoga ada janji dengan Dokter Shani membahas sosialisasi HIV/AIDS dan Narkoba untuk anak SMU di ruang kerjannya, bangsal penyakit dalam. Daripasa bolak-balik, lebih baik Boggi tinggal sebentar di rumah sakit.

    “ Hai Jack, gimana keadaanmu ?? “ terdengar suara dari pintu, beberapa teman sesama ODHA-nya menjenguknya.

    “ Haha... gini nih, dah enakan kok,,” sahut Jacki ceria. Mereka berbincang-bincang ramai. Ruangan menjadi terasa sesak, karena mereka datang berombongan. Yoga memtuskan untuk duduk di luar saja.

    Yoga duduk diteras sambil mengamati orang yang melintas di lorong itu, ada seorang pasien yang sangat romantis, seorang laki-laki sedang mendorong seorang laki-laki lain yang duduk diatas kursi roda. Pasangan itu seperti pasangan gay. Yoga tertawa kecil, baginya peran itu hanya mimpi baginya, menjadi seseorang yang memiliki pendamping hidup seorang laki-laki seperti dirinya. “ Entah kapan aku bisa,,” batin Yoga,, “ Atau mungkin mimpi itu tetap saja mimpi bagiku,, “

    Dalam lamunannya itu Yoga melihat sosok itu. Boggi sedang berjalan mendampingi pasien yang didorong di tempat tidur. Pasien ini nampaknya hendak menuju unit hemodialisa. Dua orang perawat mendorong tempat tidur beroda itu, didepan dan di belakang. Boggi tampak bercakap-cakap dengan pasien di atas tempat tidur dengan ramah. Yoga memandanginya. Tanpa sengaja pandangan mereka bertemu.

    Sial, dia lagi,, batin Boggi.

    Ternyata temannya menginap di paviliun ini. Pamtas namanya tidak muncul didaftar pasien bangsal. Boggi mengiRA Dokter Shani memulangkannya. Boggi cepat-cepat menunduk, mengalihkan pandangannya dan mencoba bercakap-cakap dengan pasiennya. Ingin rasanya cepat cepat berlari masuk ke ruangan hemodialisa, tapi Boggi harus mendampingi pasiennya. Perasaan Boggi padanya masih tidak karuan, antara marah, sebal dan malu juga.

    Dokter Boggi,, batin Yoga.

    Ternyata Dokter Boggi jaga hari ini, seperti kemarin malam, hari ini penampilannya begitu tampan dengan jas putihnya. Yoga jadi teringat tekadnya untuk menyadarkan Dokter Boggi tentang kekurangpantasan tindaknnya terhadap Jacki kemarin,, Hmmm,,,, bagaimana caranya ?? .........

    Boggi sedang duduk di ruang perawat, sambil menunggu pasien Dokter Shani yang dititpkannya cuci darah. Boggi duduk seorang diri. Masing-masing perawat sedang menanganai pasiennya. Pikirannya melayang pada pembicaran dengan Dokter Shani tadi. Boggi tidak menyangka bahwa pembicarannya tadi akan seperti itu. Yang Boggi bayangkan Dokter Shani akan memarahinya dan memberi tugas atau hukuman karena kelakuannya yang tidak pantas terhadap pasiennya. Nyatanya Dokter Shani membuka pikirannya perlahan-lahan, bahwa tindakannya itu dipicu oleh ketidakpahaman Boggi terhadap HIV dan AIDS.

    Boggi menarik nafas panjang. Ya,, Boggi mengakui. Karena pandangan skeptisnya terhadap penderita itu, Boggi menjadi malas untuk mengetahui perihal HIV dan AIDS, akibatnya, kekurangpahamannya menambah parah sikap skeptisnya, seperti lingkaran setan yang tidak ada ujungnya.

    Kepala dan Hati,,, itu kata Dokter Shani.

    Boggi menutup mukanya,,

    Ya Tuhan, selama ini apa yang telah aku lakukan ?? Batin Boggi menelangsa.

    Dengan bekal perasaan subjekttif tidak suka terhadap orang-orang beresiko tinggi yang akhirnyatertular HIV, PSK, Pecandu Narkoba Suntik, Boggi mengingkari sumpah Dokternya. Boggi membedakan mereka dan menganggapnya sebagai pasien isolasi yang menyebalkan. Boggi ingat pasien-pasien HIV yang tidak pernah dirawatnya dengan sepenuh hati. “ Betapa bodohnya aku,,” Pkir Boggi,,, “ Cuma bukan bodoh, tapi picik sekaligus,,” Padahal Boggi tahu virus itu tidak terbang-terbang dengan bebas seperti nyamuk. Atau mudah menular seperi virus influenca. Tapi ketakutan yang salah itu membuatnya berlaku demikian overprotected.

    “ Aku bertindak dengan perasaan dan kesanku, bukan atas dasar pengetahuanku,, “, gumam Boggi. Boggi baru menyadari bahwa apa yang dikatakan Igo kemarin itu benar. Tugasnya adalah Dokter, bukan seorang ahli agama yang memutuskan seorang berdosa atau tidak, lalu menghakimi mereka atas perbuatannyadengan tidak memberikan pertolongan yang sepantasnya. Ah... Boggi merasa malu,, sungguh malu. Boggi seakan – akan lupa bahwa dirinya pernah dihakimi akibat Ia memilih menjadi gay oleh kakaknya. Boggi tahu rasa tidak enak diperlakukan seperti itu, tapi untuk seseorang yang terkena HIV dan AIDS Boggi masih ragu.

    Pasien titipan Dokter Shani telah selesai melakukan cuci darah, Boggi kembali mengatarkannya ke kamarnya. Sebelum berjalan di lorong, Boggi mengintip teras pavilliun tempat Yoga tadi duduk. Aman, Yoga sudah tidak ada. Setelah selesai mengatar pasien ke kamarnya, Boggi memutuskan untuk duduk sebentar di taman sebelah lorong, dibawah pohon, depan air mancur mini.

    “ Pak Dokter,,,” sebentuk suara anak kecil membuyarkan lamunannya. Boggi menoleh, di sampingnya berdiri seorang anak laki-laki, berusia sekitar sepuluh tahun. Boggi tersenyum.

    “ Halo adek,, lagi nungguin saudaranya ya ?? “ anak kecil itu nyengir, mengangguk lalu menyerahkan sebuah kado untuk Boggi.

    “ Pak Dokter dapat titipan ini,,, “ Boggi menatap bingung.

    “ Dari siapa adek ?? Pak Dokter tidak ulang tahun tuh, tidak salah alamat ?? “

    “ Tidak,,,” Anak itu menggeleng untuk memperkuat pernyataannya,,, “ Om itu bilang untuk Pak Dokter kok,,, “ dahi Boggi semakin berkerut.

    “ Om siapa ?? “ selidik Boggi. Anak kecil itu menggeleng lagi.

    “ Tama tidak boleh bilang namanya, katanya nanti Pak Dokter pasti tahu. Udah ya Pak Dokter, Tama maun nungguin saudara,, “ Pamit anak kecil itu, Tama lalu berlari ke balik semak-semak. Boggi ingin mengikutinya, tapi kado itu lebih mengusik rasa penasarannya. Perlahan Boggi membuka kertas kado yang bermotif batik itu.



    “ Tadi aku sudah bicara dengan Boggi tentang kejadian malam itu Ga,, “ Kata Dokter Shani .

    “ Terus gimana kometarnya ?? “ tanya Yoga.

    “ Aku jadi tahu sumber sikap over protektifnya itu. Itu karena dia takut tertular, nah rasa takutnya itu bersumber dari kekurangan paham Boggi terhadap HIV/AIDS. Kekurangpahaman Boggi itu berasal dari pandangan subjektif skeptisnya Boggi terhadap penderita HIV/AIDS,, “ terang Dokter Shani. Alis Yoga bertaut.

    “ Pandangan subjektif skeptis ?? maksudnya ?? “ tanya Boggi.

    “ Begini, awalnya tadi aku brainstorming Boggi, aku katakan bahwa aku HIV postif dan mengajaknya salaman. Awalnya Boggi ragu, tapi akhirnya Boggi mau salaman denganku. Kutanyakan, kok dia mau salaman ?? Jawabnya yang pertama adalah karena mungkin Mbak ketularan dari pasien, bukan karena tindakan mbak yang tidak benar. Lalu ketika kutanya lagi apa ada alasan lain, Boggi baru bilang bahwa HIV tidak nular lewat sentuhan,, “ Dokter Shani mengedikkan bahu.

    “ Jadi dia bersikap malam itu karena tahu Jackie pecandu, ditambah karena ketakutannya yang berlebihan, dia kurang paham HIV/AIDS,, “ Ujar Dokter Shani, dan Yoga hanya mengangguk-angguk paham.

    “ so,,,,” Dokter Shani memandang Yoga,,, “ Kamu jadi memasukkan artikel tentang Boggi ke koran ?? “ Yoga tertawa kecil.

    “ Tidak, aku sudah menemukan cara yang lebih smooth dan bermanfaat,,” Jawab Yoga, Dokter Shani berusaha menebak, namun Yoga menanggapinya dengan tawa jahilnya.

    “ Rahasilah mbak,, Dia kan junior mu yang tersayang, nanti bocor dong rencanaku,,” Jawab Yoga mengelak. Dokter Shani mengerucutkan bibirnya sebal.

    “ Awas kamu ya, kalau nanti ada apa-apa aku tidak mau nanganin,,” ,, Ancam Dokter Shani. Maksudnya, kalau Yoga mengalami masalah kesehatan berkaitan dengan HIV-nya. Tapi ancaman itu hanya canda dan Yoga pun tahu itu. Justru kalau ada apa-apa yang menimpa Yoga, Dokter Shanilah yang jauh lebih khawatir daripada orang tuanya.

    “ Iya,,,iya,,, nanti aku kasih tahu,, sekarang gimana rencana kita untuk sosialisasi ke SMU-SMU minggu depan ?? Materi apa saja yang mau diberikan kepada mereka ?? “ tanya Yoga mengalihkan perhatian. Dokter Shani menatapnya sebal, tahu kalau Yoga sedang mencari topik bahasan lain. Boggi masih penasaran akan apa yang akan dilakukkan Yoga pada Boggi, tapi sekarang mereka memang harus membicarakan masalah sosialisasi untuk anak SMU ini. Dokter Shani membuka laptopnya.

    “ Kalau ini aja gimana, banyak gambar nanti kita berikan kepada mereka,,,”



    Boggi terpana mengetahui isi bingkisan itu, sekotak sarung tangan disposabel dan sekotak facemask. Boggi mengehembuskan nafas sebal. Pasti dari orang itu, entah Yoga, entah Jacki. Tapi Boggi lebih curiga ke Yoga. Di atas kotak itu ada kartu ucapan, Boggi membukanya.

    “ Dokter yang profesional tahu kapan saat menggunakan, kapan saat melepaskan,,, “

    Boggi tercenung, Yoga tidak sedang mengolok-oloknya. Boggi sedang ingin mengatakan hal yang sama seperti yang disampaikan Dokter Shani tadi pagi. Boggi mengangkat kotak itu, ternyata dibawahnya ada buku kecil berjudul UNIVERSAL PRECAUTION,, Standar Pengamanan Di Pelayanan Kesehatan. Boggi membuka-buka buku itu, disampul paling depan tertulis satu kalimat,,,

    “ Maaf kemarin membentak pak Dokter,,,”

    Boggi tersenyum kecil, menggeleng-gelengkan kepalanya. Yoga kamu, sedikit kumaafkan.

    Boggi membaca buku dari Yoga ketika Rivi menjemputnya di depan pintu UGD. Mobilnya sedang diservis dan lagi mereka berencana mencari sebuah souvenir pernikahan untuk di Belanda. Jadi Boggi meminta Rivi menjemputnya di rumah sakit selepas Boggi selesai jaga bayangan.

    “ Halo sayang,,,” sapa Boggi sambil masuk mobil. Rivi tersenyum manis.

    “ Hai jelek,, cape ?? “ tanyanya. Boggi berpikir sebentar.

    “ Mmm,, sedikit, tapi lumayanlah dibanding kalau dapat jatah jaga UGD pagi, pasien banyak banget. Tadi jaga bayangan doank,, ‘ Jawab Boggi.

    “ Oh,,, “ Rivi menjawabnya singkat, Musik host terdengar dari speaker mobil, Namun Boggi langsung mematikannya.

    “ Musik begini bikin pusing, kayak di diskotik, yang slow aja yang,, ‘ Rivi hanya mengangkat bahu. Segera, musik pop yang lembut terdengar, mengganti musik host tadi. Mereka berdiam sejenak.

    “ Oh iya jelek,, “ Ujar Rivi..... ‘ kamu tidak bosan kerja di rumah sakit itu ?? jaga bangsal, UGD, praktik di poliklinik....” tanya Rivi, dan Boggi mengerutkan keningnya heran.

    “ Bosen ?? Ya kan aku baru satu tahun lewat dikit kerja di rumah sakit itu, justru aku sedang beradaptasi, dan sekarang aku mulai menikmatinya,, Kenapa ?? “

    “ Tidak, kemarin Mamah mengusulkan sesuatu yang brilian dan aku setuju juga dengan usulnya,, “ Jawab Rivi. Kerutan di kening Boggi semakin dalam.

    “ Usul apa ?? “ Rivi menatap Boggi sesaat.

    “ Kamu ambil spesialis kulit dan kelamin di UI atau diluar negeri sekalian. Lalu setelah itu buka klinik khusus kulit dan kelamin, nanti kita buka cabang diseluruh hotel Papah, termasuk di resort kepulauan seribu, Gimana, brilian kan idenya ?? “ Ujar Rivi, Boggi melipat bibirnya.

    “ Spesialis Kulit dan kelamin sayang ?? “ Sepertinya kurang sesuai dengan minatku deh, semenjak aku jado Dokter, aku pingin ketemu orang dan membantu orang di rumah sakit. Kalua jadi spesialis kulit dan kelamin di Hotel papahmu kayanya aku akan lebih banyak ketemu orang sehat yang mau mempercantik atau memperganteng dirinya,,, “ Jawab Boggi, Boggi tidak berpikir mengambil spesialis kulit dan kelamin dan nantinya malah menjadi ahli kecantikan itu tidak baik, hanya itu tidak sesuai dengan minatnya saja.

    “ Apa salahnya dengan itu sayang ?? Kamu toh nolong orang yang butuh bantuan, supaya kulit mereka lebih baik, wajahnya mereka lebih cantik atau tampan, supaya lebih menarik........ itu kan juga fungsi dokter,,,, “ Boggi menghembuskan nafasnya.

    “ Iya memang, tapi tidak sesuai dengan minatku sayang,,,” Jawab Boggi.

    “ Memang minat mu apa jelek ?? “ Kejar Rivi. Boggi terdiam sejenak. Hmm,,, Boggi memang belum tahu pasti minat spesialisnya. Masih ada beberapa pilihan bidang ilmu, tapi itu pun Boggi belum yakin benar. Sekarang Boggi masih mencari-cari keterkaitannyasambil menikmati dunia dokter umum.

    “ Mmm,, masih banyak pilihan juga sih, Mungkin saraf. Mungkin bedah, atau mungkin Spesialis Jiwa/Psikiatri, tapi yang pasti buka Kulit dan Kelamin,, “ Jawab Boggi, Rivi menghembuskan nafas kecewa.

    “ Semua keluarga besarku dan beberapa sahabat dan teman ku sudah tahu orintasi ku sejak lama sayang, aku memilih kamu jadi pendamping aku, jadi kamu tidak usah cape-cape kerja tau praktik jelek. Semua sudah ada. Kamu cukup bekerja sebagai dokter, tapi jangan terlalu ngoyo. Kamu kan pendamping dari manajer resort. Cukup hanya memikirkan gimana bisa jadi pendampingku yang ideal, Tampil menawan, tampan menemaniku,,, ‘ Ujar Rivi lagi.

    Boggi terdiam. Begitukah perjanjiannya ?? Kenapa Rivi baru tahu ?? ternyata selama ini kelakuan Rivi suka membelikannya baju bagus, karena alasan itu. Boggi tercenung. Rasa gamang akan rencana pernikahan di Belanda dengan Rivi tiba-tiba muncul lagi. Padahal, tinggal lima bulan lagi mereka memutuskan menikah dan hidup bersama.
  • Kok ku ngerasa bener yah ama yg ku tulis kemarin... Sikap boggi yang harus di benahi... Kalo mau jadi dokter...
  • baru selese baca part 6... jd ingat penyuluhan dulu pas jadi relawan KPA... sampai skrng bnyk masyarakat awam tau beda hiv/aids dan penularanya dr apa aja #plak ngomong apa coba gw
  • @Ricky89, bertemu lagi dengan bro disini. Percayalah aku, karya @Rendesyah xlalu bermutu. Ku jadi ingat bacaan ku 1 literatur gay, patrick more, iowa dan ha jin, the waiting.
  • Kelanjur g suka ma rivi,,,,,skippp bagian rivi
  • nongkrong disini kita om bro @erickhidayat genre nya aku suka om bro, not just sekitar itu lah... u know me so well lah om bro
  • ikut nongkrongin
  • hoo,nice ! Lanjut yak.
    Kpan si rivi ketauan kalo dia itu prnah main dngan cwok laen?
Sign In or Register to comment.