It looks like you're new here. If you want to get involved, click one of these buttons!
Copyright 2021 Queer Indonesia Archive. See our Privacy Policy. Contact us at [email protected]
Dengan menggunakan situs ini berarti Anda setuju dengan Aturan Pakai.
BoyzForum.com adalah situs anti pedofilia!
Comments
"mereka sibuk karena pekerjaan ya? Papa-mama kamu kerja itu juga buat kamu..."kata diki.
"yaa...tapi kita hidup gak hanya butuh materi kan? Butuh juga kasih sayang dan perhatian..."bela rayan.
"aku yakin mereka sayang banget sama kamu..."
"aku gak meragukan itu...pastilah mereka sayang sama aku...cuma terkadang kita juga butuh suasana yang membuat kita benar-benar seperti keluarga..."
"nggak setiap harikan mereka mengabaikan kamu?"
"paling banterlah saat lebaran atau tanggal merah...itu pun terkadang mereka menghdiri acara ini-itu...ikut arisan..."
"kamu kan bisa berteman dengan orang lain toh..justru ngumpul dengan teman-teman itu lebih menyenangkan...terkadang justru teman2lah yang membuat kita kuat...jadi motivasi..memberi banyak pelajaran pada kita..."
"seperti lu barusan..."timpal rayan.
"hah?"
"iya...kamu dan keluarga kamu memberi banyak pelajaran buat aku...bagaimana kasih sayang itu tak kan bisa tergantikan...materi bahkan tak bisa mengurangi rasa kasih sayang kalian itu..."
"hahaha...yahh..itulah yang keluargaku punya. Kebersamaan itulah yang membuat kami saling menguatkan..."kata diki disertai desah.
"aku kagum sama kalian..."
"aku juga kagum sama kamu. Kaya dan keren tapi gak sombong..."diki balik memuji.
Rayan tersipu malu.
Mereka kemudian tak lagi berbicara. Hanya desau angin malam yang kini terdengar. Tak terasa langkah mereka sudah berada di depan rumah nenek rayan.
"aku anterin sampai sini aja ya..."
"gak mau masuk dulu?"
"gak usah...salam sama wak haji yo..."
rayan mengangguk.
"thanks atas waktunya seharian tadi..."
diki mengangguk disertai senyum manisnya. Setelah itu ia berbalik arah dan melangkah dalam temaram malam.
Rayan terpaku di depan pintu pagar sambil menyaksikan seluruh tubuh diki menghilang di telan malam.
Setelah sosok diki tak ada lagi, ia menghela nafas panjang sambil tersenyum tipis lalu melangkah masuk ke dalam rumah...
...
Keesokan harinya...
Rayan menghabiskan sarapannya dengan tidak sabar. Ia ingin cepat-cepat menemui diki di rumahnya. Ia kebelet ingin menikmati senyum menawan diki yang tersungging di bibir merah muda pucatnya.
"makannya pelan-pelan Yan...cak dikejar setan be nih...(kayak dikejar setan aja...)"tegur neneknya.
Diki nyengir.
"ndak kemano?(mau kemn?)"tanya kakeknya.
"jalan-jalan aja kek..."jawab rayan. "bareng Diki..."
"hehhh...hati-hati...!"pesan kakek.
Rayan mangguk sambil menenggeak segelas air putih. Bertepatan dengan itu pula terdengar ketukan di pintu. Serentak mereka menoleh.
"assalamualaikum...!"
"diki..!"seru rayan pelan sambil bangkit dari kursinya.
"masuk..!!"seru rayan lagi.
Diki melongok ke dalam dan tersenyum.
"hey...barusan aku mau ke rumah kamu..."sapa rayan.
"oh ya?"
rayan mengangguk.
"makan KI...!"Ajak nenek.
"yo Wak. Udah tadi..."tolak rayan.
"gulainyo padek Ki...!!(lauknya bagus Ki...)"timpal kakek.
diki terkekeh.
"di rumah tadi jugo padek Wak...(di rumah tadi lauknya juga bagus Wak...)"balas diki.
Gantian kakek yang terkekeh.
"kita ke teras aja yuk..!"ajak rayan sambil menarik lengan diki.
Diki menurut saja.
"hari ini lu mau ajak gue ke mana?"tanya rayan.
"ada banyak pilihan...ke hutan, cari Umbut, jerat burung, cari siput..."kata diki menawarkan pilihan.
"jerat burung?"
"kamu tertarik? Pernah makan daging burung?"
"pernah...dagingnya empuk tapi kecil...gak puas kalo cuma satu..hehehe..."
"ya udah, kalo gitu kita cari burung aja bagaimana?"
"okee..."
"kalo gitu kita buat jeratnya dulu sekarang..."kata diki. "ayo ke rumahku!"
"eh...oke. Aku pamitan dulu!"kata rayan sambil berlari masuk ke rumah untuk pamitan sama kakek-neneknya.
"bahannya sederhana kok..."kata diki setelah mereka berdua sudah sampai di rumahnya.
"cukup butuh benang atau tali nilon yang udah di simpul...,"terang diki. "bentar ya...aku ambil dulu. Aku punya banyak kok!"
rayan mengangguk.
"kita pasang di pinggir hutan aja ya...banyak jenis burung di sana..."
"kamu sering juga ya jerat burung?"tanya rayan.
Rayan mengangguk.
"aku suka banget sama burung...he..he..."kata rayan dengan maksud tersembunyi.
Diki menoleh dan menatap rayan beberapa detik.
"kenapa?"tanya rayan memancing.
Diki geleng kepala.
"kita pergi sekarang!"katanya sejururs kemudian.
"agar jerat yang kita pasang mengena, kita harus tahu betul jalan yang sering dilalui burung..."terang diki dalam perjalanan.
"caranya?"tanya rayan.
"yaa...kayak di sekitar sumber air, biasanya burung-burung jenis pejalan bakalan sering ke sana untuk minum dan mencari makanan..."
rayan mangguk2. Ia betul-betul terpikat dengan pengetahuan diki yang sederhana tapi sangat berguna.
"gimana kalo di sekitar telaga kemarin? Banyak nggak burung di sana?"usul rayan.
"cocok. Kamu mau ke sana lagi?"
"mau!"
diki mengangguk setuju.
sesampainya di telaga, rayan langsung berlari dan melompat ke atas bebatuan tempatnya memancing kemarin. Telaga indah itu sedikit berkabut pagi ini. Tetumbuhan masih nampak basah diselimuti embun yang belum mengering. Hawa di sekitar telaga jadi terasa lebih dingin.
"i really love this place!!"seru rayan sambil merentangkan kedua lengannya.
Diki geleng-geleng kepala.
"enak kali ya pacaran di tempat ini? Pasti romantis banget..."ucap rayan.
"apa enaknya pacaran di tempat kayak begini? Sepi...kesambet jin penunggu baru tahu rasa..."ujar diki.
Rayan melotot.
"suasananya indah, tenang dan sejuk...asyik pokoknya...! Hmmm...kapan ya aku bisa ke sini bareng pacar??"gumam rayan.
"ajak aja mantan kamu yang pengen balikan itu..."kata diki.
Rayan terdiam sejenak. Selintas tergambar sosok tomy di benaknya. Sosok lelaki tampan yang dicintainya...
Rayan menghela nafas. Entah kenapa tiba-tiba ia merindukan lelaki bejad itu.
"yan..."tegur diki.
rayan menatap diki lekat.
"menurut kamu apa aku mesti terima dia lagi?"tanya rayan tiba-tiba.
"mantan kamu itu?"
rayan mengangguk.
"eng..yah...terserah kamu..."
"dia masih ada di hati aku..."desis rayan.
"tapi diakan udah selingkuh..."kata diki.
Rayan tersentak. Kembali sosok tomy hadir di benaknya. Kali ini ia tak sendiri. Ada seseorang bersamanya. Berpelukan dan tertawa bahagia.
Tomy bersama fandy!
Rahang rayan mengeras. Hatinya kembali merasa sakit.
Rayan turun dari batu dan berjalan menuju sebuah celah di antara rerimbunan semak. Sepertinya itu sebuah jalan menuju ke hutan.
"rayan! Kamu mau ke mana??"seru diki sambil berlari mengejar rayan.
Rayan tak peduli. Bayangan dua penghkianat itu masih bercokol di benaknya.
"rayan!"seru diki lagi sambil menahan bahu rayan yang terasa turun naik.
Rayan berhenti.
"kamu mau kemana hah? Kamu bisa tersesat!!"
"kita mau pasang jeratkan?"
"kamu marah ya?"tanya diki tanpa menghiraukan pertanyaan rayan barusan.
"gue gak marah!"
"beneran nih? Seharusnya aku gak mengungkit tentang itu..."
"itu hak kamu kok, bro. Lagian aku juga gak bisa selamanya terpuruk karena mereka kan?"
diki memutar tubuh rayan menghadap ke arahnya. Ia tersenyum manis.
"bagus! Kamu memang semestinya begitu! Jangan pernah lemah karena masalah!"kata diki sambil mencengkram bahu rayan kuat. "tujuan kamu ke sini adalah untuk melupakan mereka dan sekarang kita berusaha untuk itu!!"
rayan menatap diki lekat. Air matanya ingin keluar, tapi sekuat tenaga ia tahan. "thanks sob..."desis rayan serak.
"sekarang kita ke rencana semula, okey?"kata diki sambil menepuk pundak rayan.
"jerat burung?"tanya rayan sambil mengedipkan mata.
Diki mengerutkan keningnya.
"let's go!"seru rayan sambil menarik lengan diki masuk semakin jauh ke dalam belukar.
"e..ee..."
"kita mau pasang di mana?"tanya rayan.
"sebentar...aku lihat dulu..."kata diki sambil memeprhatikan sekitar. "nah..di sana aja! Dekat pohon galam itu!"seru diki lagi sambil berjalan cepat mendahului rayan yang mengekor di belakangnya.
"kita ikatkan ujung nilon di sini...dan kamu Yan, potongkan satu ranting buat penyangga sisi nilon yang lain..."perintah diki sambil menyerahkan pisau kecilnya ke rayan.
"segede apa?"
"apanya?"
"ya rantingnya! Emang apaan..?!"
"oohh....yang sedang aja...pokoknya lebih kecil dari Galam ini!"
rayan mengangguk sambil mendekati sebuah perdu beranting banyak. ranting-rantingnya terlihat kuat meskipun ramping.
"gimana kalo yang ini?"tanya rayan sambil berteriak menunjukkan ranting yang dipegangnya.
"pas. Bawa ke sini!"
rayan membawa ranting itu pada diki. Kemudian diki pun mulai memasang jerat. Ia menghubungkan ikatan nilon yang sudah dibentuk sebagai jerat di batang Galam ke ranting pemberian rayan yang ia pancangkan ke tanah.
"selesai..."desisnya.
"gini aja?"tanya rayan.
"yup. Emang kamu pikir sperti apa?"
"aku juga gak tahu, hehehe..."
"makanya jangan cuma jerat cewek aja yang bisa..."ledek diki.
"eits, aku gak pernah jerat cewek..!"
"ups!"diki menutup mulutnya. "he..he...lupa..kamukan..."
"gay!"potong rayan cepat.
Diki mesem2.
"so, sekarang kita mesti ngapain?"tanya rayan.
"kita pasang jerat lagi di tempat lain..."
"heh?"
"iya...biar burung yang terjerat makin banyak...emang kamu mau cuma ngandelin satu jerat ini bae?(bae=saja)"
"oohh..gitu ya...ya udah, nyok!"
"oke!"
mereka berdua pun memasang beberapa jerat lagi di tempat lain.
"kira-kira kapan jeratnya kena?"
diki mengangkat bahu.
"so?"
"kita bakal periksa jerat ini tiap pagi dan sore..."
rayan mangguk2.
"nah...sekarang kita cari buah salak aja yuk?"
"salak? Emang ada kebun salak ya di sini?"
"nggak ada. Salak hutan maksudku..."
"ooo..."
"ayo ikut aku!"ajak rayan sambil berjalan kembali ke arah telaga.
"pohon salaknya kebanyakan gak jauh dari aliran sungai di atas telaga ini..."terang rayan saat mereka melintasi telaga. Saat ini cuaca semakin cerah. Kabut di sekitar telaga sudah hilang dari pandangan. Dedaunan juga mulai kering.
Diki mengajak rayan mendaki tebing di sisi kanan telaga. Tebingnya tak seberapa. Hanya butuh beberapa langkah saja.
Setelah menaiki tebing itu, mereka berbelok masuk ke dalam semak yang kebanyakan berisi ragam pakis.
"pernah makan sayur pakis?"tanya diki.
"pernah."
"sayur pakis ini enak lho dimakan sama ini..."terang diki sambil merobek setangkai daun berbentuk jorong memanjang yang menjulur di pinggir jalan.
"apa ini?"
"ini batang unji (honje/kecombrang)..."jawab diki.
"oh ya? Setahu aku ini sering dicampur lotek deh..."
"lotek juga...kalo di sini juga sering dijadikan lauk...campur ikan saluang...enak banget!"
"ah..minta nenek masakin ah...:"
diki tergelak.
Tak terasa mereka sudah sampai ke daerah yang banyak ditumbuhi rumpun salak. Rumpun salak itu besar-besar. Dari sela-sela ketiak daun serta ditutupi sedikit serabut nampak tandan buah salak yang kulitnya berwarna cokelat muda kekuningan.
"wiihh...kereennn!"seru rayan.
"boleh aku ambil nih?"
"itu buahnya belum masak yan...rasanya sepat...kita cari yang warna kulitnya cokelat kehitaman..."kata diki sambil mengitari rumpun salak yang lain.
Rayan berjalan mengikuti Diki.
"orang lain tahu gak keberadaan salak ini?"tanya rayan.
Diki mengangkat bahunya.
"terus kamu sendiri tahu dari mana?"
"yang tahu cuma aku sama beberapa teman aja yang sering mancing dan menjelahi hutan di sini..."terang diki.
"selain di sini, masih ada lagi nggak?"
"kemunginan sih ada. Tapi yang tumbuhnya berdekatan sih...baru di tempat ini yang kami ketahui..."
"nah...ini yang masak...!"
rayan melihat setandan kecil buah salak yang warnanya lebih hitam. Rayan dengan semangat menghampiri tandan buah yang dikelilingi duri-duri panjang. Diki dengan sigap langsung menahannya.
"biar aku aja yang ambil..nanti tangan kamu luka..."kata diki sambil mengeluarkan pisau kecilnya dari pinggang. Ia lantas menyiangi sekitar tandan buah yang dikelilingi duri serta serabut-serabut yang menutupinya.
Rayan tersenyum sangat manis. Ia kegirangan mendapat perhatian seperti itu dari diki. Ingin sekali rasanya ia memeluk dan menciumi lelaki di sampingnya itu.
"orang yang kayak lu yang gue butuhkan..."kata rayan pelan tapi mantap.
Diki menoleh sejenak dan menatap manik mata rayan.
"nggak dosa toh kalau aku berangan-angan pengen punya pacar kayak kamu?"ujar rayan.
Diki tak menjawab. Ia kembali menebas seluruh duri yang terdapat di pelepah daun.
Rayan menghela nafas. Ia berjalan menjauh dari diki sembari melihat rumpun salak yang lain.
"ini salaknya!"seru diki tak berapa lama kemudian sambil mengangkat setandan salak di tangannya.
Rayan kembali mendekat.
"snake fruit...emang kayak sisik ular ya??"
diki mengangguk.
"buahnya lebih kecil dari yang biasa dijual di pasar..."
"itu sih salak pondoh..."
"ini jenis apa?"
diki geleng kepala. "tahu aku sih salak tok..."
rayan dan diki duduk di sebuah bukaan dekat rumpun salak itu sambil menikmati daging buahnya yang manis.
"tinggal di kampung sangat menyenangkan ya...semuanya sudah disediakan oleh alam..."kata rayan.
"di kota juga lebih canggih lagi. Apa-apa sudah disediakan sama manusia dan mesin..."
"tapi butuh biaya..."
"ini juga butuh tenaga..."
rayan terkekeh.
Mereka kemudian saling terdiam. Terhanyut oleh pikiran masing-masing sambil mengunyah daging buah salak yang segar. Sementara itu di sekeliling mereka desau angin yang mengusik dedaunan terdengar lembut. Sesekali bunyi siamang terdengar dari kejauhan.
"eh...boleh aku nanya nggak?"tanya rayan tiba-tiba.
"apa?"
"kamu sudah punya pacar?"
diki terdenyum tipis.
Rayan mengerutkan keningnya. Ia tak tahu apa arti senyuman itu barusan.
"emang kenapa?"tanya diki.
"pengen tahu aja..kitakan sahabat? Lagian apa pacar kamu gak marah karena kamu gak pernah menemuinya?"kilah rayan.
"gimana kamu tahu aku gak pernah menemuinya?"diki balik nanya.
"jadi kamu beneran udah punya pacar?"tanya rayan. Ia sedikit kecewa.
"aku gak bilang gitu.."
"serius dong..."rengek rayan.
"kenapa sih emangnya? Kamu naksir aku?"
"menurut kamu?"pancing rayan.
Diki terkekeh.
"gak usah dibahas ah..."katanya.
"kenapa?"kejar rayan.
Diki geleng kepala. "aku gak mau bahas."
"c'mon...ayolah sob. Kenalin dong pacar kamu ke aku??"
"aku gak punya pacar kok..."
"bohong! Masa sih cowok sekeren kamu gak punya pacar??"
"keren? Dari sisi mana? Aku miskin, gak kuliah, pengangguran..."
"jangan gitulah bro...gak boleh minder lah..! Kamu cakep dan keren gila!"seru rayan memberi semangat.
Diki terkekeh.
"cuma kamu yang bilang gitu..."
"karena mereka iri sama kamu! Mereka gak rela mengakui kalo kamu tuh keren...beda sama aku...aku orangnya jujur..."kata rayan sedikit narsis.
diki kembali terkekeh. Gigi-geliginya yang kecil tersusun rapi. Seharusnya dia jadi bintang iklan odol deh, komentar rayan dalam hati.
"aku gak punya pacar kok. Serius..."
"whaaa...!!! Masa?!"
diki mengangguk.
"uhmm..."desis rayan lantas terkekeh kegirangan.
"kenapa?"
"itu artinya...he..he...gak usah dikeluarin deh!"
diki memutar bola matanya lalu bangkit dari duduknya. Sementara itu rayan masih saja senyam-senyum memikirkan apa yang tergambar di otaknya...
Lu bc ya om? Hmm, tp g pernah komen!!!
Wah hebat kalian @wooyoung dan @kurokuro . Udh brp taon tuh?? *gandeng taec*
beberapa hari telah berlalu...
Tak terasa sudah dua minggu rayan berlibur di kampung Bermani Ulu. Luka hatinya perlahan pulih. Bahkan sekarang secerca harapan mulai menyelubungi hatinya. Harapan berupa cinta yang mulai bersemayam di hatinya pada seseorang sahabat baru yang bersahaja.
Diki.
Rayan senantiasa menyimpan nama itu dalam lubuk hatinya. Perlahan nama Tomy yang dulu sangat dicintainya sekarang mulai tergerus oleh nama baru itu.
Diki tentu saja berbeda dengan tomy. Jika tomy tampan dengan gaya gaul khas remaja kotanya, maka diki membawa pesona tersendiri. Lelaki desa yang tampan dan sederhana serta intin dengan alam. Setiap berada di samping diki, rayan merasa adem dan bahagia. Ia merasakan kenyamanan dan kebebasan tapi terlindungi. Perlakuan diki yang teliti dan cermat senantiasa menambah rasa cinta di lubuk hati rayan. Perhatian diki sekecil apapun itu terasa sangat romantis. Rayan menyukai semua itu. Rayan menyukai semua yang ada di diri diki.
Kebersamaan yang terus terjalin selama seminggu ke belakang, makin membuat rasa cinta rayan bertambah-tambah. Jika isi hati bisa dirontgen, mungkin akan terdeteksi taman bunga bermekaran di hati rayan. Sepetak taman cinta yang segera membutuhkan siraman sebelum keburu layu dan berguguran.
Witing tresno jalaran soko kulino, demikian pepatah Jawa. Cinta karena terbiasa. Pepatah itu benar-benar diamini rayan. Setiap hari melakukan beragam aktivitas dengan diki sebagai upaya penyembuhan luka hatinya akibat penghkianatan cinta, justru ia kembali menemukan cinta. Kegiatan yang mungkin bagi sebagian orang sangat 'kampungan' seperti memancing ke telaga, menjerat burung Punai, mencari buah salak hutan, mencari umbut rotan, menanam padi dan kegiatan khas anak desa lainnya, justru sangat terasa romantis bagi rayan. Ia menemukan sesuatu yang baru. Semangatnya kembali muncul seiring dengan berseminya cinta yang semakin subur.
"gue terpikat sama lu, dik..."desis rayan sembari menerawang saat ia terlentang di atas ranjang.
Wajah tampan nan meduhkan, bibir merah muda pucat yang menggairahkan serta otot-otot tubuhnya yang kokoh tak pernah luput dari lamunan rayan.
"apakah gue bisa memilikinya?"gumam rayan bertanya-tanya.
"dunia gue dan lu sangat jauh berbeda. Bahkan hampir aja gue gak akan pernah mengenal sosok lu...akh! Ini anugerah atau petaka sih sebenarnya? Gue bisa kembali bahagia atau justru terpuruk untuk kedua kalinya karena lu, dik..."desis rayan.
Rayan tak bisa memejamkan matanya. Pikirannya terus mengembara. Berfantasi liar membayangkan dirinya bercinta bersama diki di atas bebatuan besar di tepi telaga yang menjadi favoritnya.
sampai kokok ayam terdengar dari kejauhan, mata rayan tetap nyalang dengan pikiran melayang kemana-mana...
...
***
"eh, kenapa mata kamu merah, Yan?"tanya diki saat ia menjemput rayan ke rumahnya.
Rayan mengucek matanya.
"aku gak tidur semalam."
"lho? Kenapa??"
rayan geleng kepala.
"kamu gak akan percaya kalo aku ceritain penyebabnya..."
"kenapa bs gitu?"
"udahlah, ntar kamu enek dengernya!"pungkas rayan.
"oke deh...mendingan aku gak tahu kalo bisa bikin enek, he..he..."
rayan mangut2.
"sudah mandi belum nih?"tanya diki.
"kenapa?? Kamu mau mandiin aku?"
diki monyongin bibirnya.
Aww...! Jantung rayan langsung berdegup kencang. Bibir merah muda itu sangat menggairahkan.
"kenapa? Pengen dicium? Nih..."kata rayan sambil mendekatkan bibirnya ke diki.
diki langsung menahan mulut rayan dengan telapak tangannya.
"gila kamu ya...!"
rayan terkekeh.
"makin lama makin berani aja...ntar kamu ketahuan homonya..."bisik diki.
"biarin!"
diki geleng-geleng kepala.
rayan terkekeh sambil melompat duduk di samping diki.
"hari ini kita mau kemana?"tanya rayan.
"santai dulu ya? Kamu gak capek tiap hari pergi?"
"nggak tuh! Justru aku happy..."jawab rayan. "tapi kalo kamu pengen santai, yah..kita di rumah aja hari ini..."
"besok kita berpetualang lagi..."
rayan mengangguk.
"kamu capek ya?"
"lumayan..."jawab diki.
"mau aku pijitin?"
"eh?"
rayan langsung memegang pundak diki lalu ditekan-tekannya pelan.
Diki menggeliat.
"gak usah Yan..."
"udah..gak apa2..."kata rayan bersihkeras.
"gak usah, gak usah!"tolak diki sambil melompat bangun dari duduknya.
"kenapa? Kamu canggung atau takut?"tanya rayan sambil mendongak menatap wajah diki.
"gak pantas aja...masa kamu mijitin aku?"
"siapa sih yang menentukan pantas atau nggaknya? Udahlah..."kata rayan sambil menarik lengan diki lagi hingga lelaki itu kembali duduk di sampingnya.
"jarang2 lho aku bersedia mijitin orang..."terang rayan sambil memijit pelan bahu diki. "papa yang minta aja aku gak mau..."sambungnya.
"terus kenapa kalo aku mau?"
"umm...aku juga gak tahu!"
"apa sih yang ada dipikiran kamu?"tanya diki tiba2.
"maksud kamu?"
"temanan sama orang yang sama sekali berbeda latar belakang..."
"menyenangkan! Kalo aku tahu bakalan menemukan sahabat sebaik kamu, dari dulu aku liburan ke kampung, he..he..."
diki tersenyum simpul.
"eh, gimana rasa pijitan aku?"tanya rayan.
"lumayan...aku kasih skor lima."
"aakkhh...itu mah kalo ujian gak lulus, bro!"seru rayan sambil menepuk pundak diki.
"kenyataannya begitu..."
"hehhh...tapi lu menikmatikan??"
"nggak ada yang laen sih..."
"ngeles aja..."gerutu rayan.
Diki menyunggingkan senyum manisnya.
"ntar sore kita jalan2 pake sepeda lagi ya?"ajak rayan.
"oke..oke..."
"umm...tapi kita boncengan..."
"buat apa? Ohh...kamu malu ya karena aku pake sepeda ontel?"
"iihh, nih anak. Gue gak bilang apa2! Suka banget deh negative thinking..."gerutu rayan. "justru aku pengennya pake sepeda kamu tauukk..."
"aneh seleranya..."gumam diki.
"yahh...aku memang aneh..."
"bercanda.."
"aku serius!"
diki mesem-mesem.
sore harinya...
Rayan dan diki berjalan gontai menuju ke rumah Diki untuk mengambil sepeda ontel.
"kamu atau aku yang bawa?"tanya diki sambil membimbing sepedanya dari belakang rumah.
"kamu aja deh...aku yang bonceng!"pilih rayan.
"kita mau kemana?"
"kita jalan aja sepanjang jalan raya..."
"oke! Ayo!"ajak diki memeprsilahkan rayan duduk di Back Rack sepedanya.
Rayan langsung naik dan duduk. "let's go!"serunya sambil menepuk punggung diki.
Diki mengayuh sepedanya dengan kencang.
"whaoooo...!!!"seru rayan sambil merentangkan tangannya kegirangan.
"berasa di film-film zaman dulu ya Dik..!"kata rayan.
Diki terkekeh.
"kring..kring..kring...bunyi sepeda...
Sepedaku roda dua..."senandung rayan.
"itu lagu pertama kali yang aku hafal waktu kecil..."terang diki.
"oh ya?"
"iya. Waktu itu Bak baru beli sepeda. Aku baru berumur 5 tahun. Aku demen banget dengar suara kring2nya. Makanya setiap kali ikut Bak pergi ke pekan, aku minta Beliau buat bunyiin suaranya terus..hehehe..."
"gak marah orang2 ya? Kringannya itukan sama kayak klakson gitu...dibunyiin pas penting aja..."
"namanya juga anak kecil...kalo permintaanku gak dituruti, aku bisa nangis..."
"he..he..he..."
"oh ya Dik, waktu aku datang ke Kampung, mobil yaang bawa aku ke sini melewati kamu. Emang kamu dari mana waktu itu??"tanya rayan tiba2 saja mengingat saat itu.
"aku dari mana ya? Dari rumah teman kalo nggak salah..."jawab diki ragu.
"ooo..."
"aku pake sepeda biasanya kalo bukan ke pekan atau ke rumah teman..."
"kalo ke sekolah?"
"aku jalan kaki bareng teman2 yang lain..."
"sekolah kamu dulu jauh nggak?"
"setengah jam dari rumah..."
"jauh juga menurutku..."
"lumayan. Apalagi kalo cuaca jelek. Kalo panas, ya..sepanjang jalan kita kepanasan. Makanya kulitku gosong..nggak kayak kamu terawat sekali..."
"kulit kamu bagus kok! Seksi!!"puji rayan tulus.
"haha..seksi dari mana??"
"lihat apa tuh para bule berlomba-lomba pengen punya kulit kecokelatan kayak kamu..."
"itu sih bule...kita kan bukan bule..."
"udah, kamu cakep banget kok! Tipe cowok jantan yang natural...seksinya dari hati..hehehe..."
"selalu aja menggoda..."kata diki sambil geleng-geleng kepala.
Rayan terkekeh.
"masih tentang jalan ke sekolah nih ya.., itu tadi kalo cuaca terik. Kalo hari hujan...biasanya kita basah kuyup..."terang diki lagi.
"nggak bawa payung?"
"idak setiap hari lah kita sedia payung...kalo hujannya dari pagi sih iya kita pakai payung. Kalo cuacanya terik, males lah bawa payung...kayak cewek aja...jadinya kalo hujan turun waktu jam pulang sekolah, kita terpaksa nunggu berjam-jam dulu di sekolah nunggu hujan reda..."
"kalo nggak reda2 gimana?"kejar rayan.
"biasanya kita lepas baju seragam dan sepatu. Terus kita masukin ke dalam plastik bersama buku2 biar gak kebasahan..."
"lepas seragam? Ehmmm..."
"cuma baju aja lah Yan. Kamu pikir telanjang apa??!"
"hehehe...tahu kok. Gak mungkin juga kali...kalau emang kayak gitu, udah dari dulu kali aku sekolah di sana, wkwkwkw.."
"huh, pikiranmu kotor!"
"hahahaha..."
"tapi ada juga kita yang pake daun keladi besar atau daun pisang sebagai pengganti payung..."
"kalo tiap hari hujan lama2 daun2 itu pada gundul dong?"
"iya...hehehe.."
"wah...aku salut banget sama perjuangan kalian...betapa susahnya orang2 kampung buat menuntut ilmu ya...gue malu banget kalo ingat gimana gue sekolah dulu. Aku sering malas2an, bolos...padahal pulang pergi naik mobil...punya duit jajan...gak pernah kehujanan..."
"orang kota mana tahu kesusahan orang kampung..."
"kalian luar biasa! Aku gak heran kalo banyak banget orang sukses yang dulunya berasal dari kampung. Kegigigan mereka lah yang membuat mereka sukses..."kata rayan. "dan aku harap kamu jadi salah satu dari mereka kelak, sob."
"aminnnn..."
mereka berdua terus saja mengobrol sambil berboncengan sepeda melintasi sepanjang jalan raya. Sesekali mobil atau kendaraan berdoa dua lainnya melintasi mereka. Beberapa dari pengendaranya ada yang bertanya ke diki atau cuma sekedar mengklakson. Mereka semua adalah penduduk desa yang dikenal diki.
"penduduk di sini semuanya ramah-ramah ya..."puji rayan.
"iya...hehe..kayak aku..."
"kalo kamu mah super baik..."
diki tersenyum lebar.
"tampan pula!"tambah rayan.
diki mesem-mesem.
"perfecto!"sambung rayan lagi.
"udah ah!"pungkas diki.
"Ge-Er nih pasti..."
"gak kok. Udah biasa dipuji begitu..."
"narsis!"
diki tergelak.
"gue gak nyangka lu bisa narsis juga..."kata rayan sambil menggelitik pinggang diki.
Diki meliukkan pinggangnya sedikit.
"emang lu pikir cuma orang kota aja ya? Kita-kita di kampung juga suka narsis!"
"what?! Kamu tadi barusan ngomong apa? "LU"!? Wow...makin banyak perubahan ya..."
pipi diki bersemu merah.
"waktu di sekolah kita sering nyebut gue-elu buat gaya-gayaan..."terang diki.
"korban sinetron tuh..."
"iya...hehehe..."
"demen nonton sinetron yaaaa...."goda rayan sambil menggelitik pinggang diki lagi.
"gak kok..."
"aahh...masa siihh?? Tadinya bilang iya..."kata rayan kembali menggelitiki diki.
"udah Yan...ntar kita jatuh lho..."
"ngaku dulu..."kata rayan tanpa menghentikan aksinya.
"udah Yan...bahaya nih..."pinta diki.
"benarkan kamu suka sinetron?"
"idak...."
"boong...gue gelitik lagi nih..."
"gelitik aja! Aku gak suka sinetron. Sukanya film action..."
"oh yaaahh..??"seru rayan sambil menggelitiki pinggang diki lebih kuat.
"yan..yaan...udah...banyak kendaraan nih..."
rayan terkekeh dan justru senang menyaksikan diki yang meliuk-liuk untuk menjaga keseimbangannya.
"rayaann..."
TIIITTTT....!!
rayan dan diki sontak terkejut mendengar jeritan klakson di belakang mereka. Keduanya langsung menoleh ke belakang dengan wajah pias. Sebuah Kijang warna hitam metalik hanya beberapa centi saja lagi dari buntut sepeda ontel diki.
rayan langsung turun dan diki buru-buru menepikan sepedanya.
"ayo!"bisik diki pelan ke telinga rayan.
"kemana?"
diki tak menggubris pertanyaan rayan. Ia justru menarik lengan lelaki itu menuju Kijang yang masih berhenti di belakang mereka.
"eh, lu mau ngapain??!"tahan rayan.
"kita mesti minta maaf. Kelakuan kita tadi bisa bikin orang celaka..."
rayan melongo.
"ayo!"tarik diki.
"gila...gak perlu kali..."gerutu rayan sambil menarik lengannya dr genggaman diki.
Tok..tok..
"permisi..."seru diki sambil mengetuk kaca pintu mobil terdekat.
Sang pengemudi menurunkan kaca mobilnya.
"maaf...kita sudah mengganggu kenyaman Mas..."ucap diki.
sang pengemudi yang mengenakan kaca mata hitam itu berusaha tersenyum.
"gak apa2 kok...tapi lu berdua ngapain becanda di jalanan kek begini??"sesalnya.
diki tersenyum tipis dengan malu2.
"maaf..."ucap diki lagi.
"gak apa2 lah...karena lu udah memberhentiin perjalanan gue, sekalian aja gue mau nanya ama lu..."kata lelaki yang jika dilihat dari perawakannya masih sebaya dengan rayan dan diki.
"boleh...boleh... Mau nanya apa mas?"tanya diki dengan antusias.
rayan yang berdiri di dekat sepeda segera datang menghampiri setelah mendengar percakapan mereka.
"kenapa Dik? Dia mau ganti rugi ya?"tebak rayan asal sambil menatap ke pengemudi sinis.
Melihat wajah rayan, sang pengemudi itu langsung melepas kaca mata hitamnya.
"RAYAN..?!"serunya kemudian yang tentu saja membuat rayan dan diki terkejut.
"HAH..??? TOMMY?! Kok lu di sini?!"balas rayan masih dengan keterkejutannya.
Sang pengemudi Kijang yang ternyata tomy, yang tak lain adalah mantan rayan itu langsung mengumbar senyum manisnya.
"he..he...kamu gak nyangka kan kalo aku bakal nekat ke sini?"
rahang rayan mengeras.
"siapa yang mengutus lu ke sini?"tanya rayan dingin.
Tomy mengaitkan kaca mata hitamnya ke lipitan saku lalu membuka pintu mobil dan turun serta berdiri di antara rayan yang tegang dan diki yang kebingungan.
"rasa cinta yang membawaku ke sini..."jawab tomy santai sambil melirik diki.
rayan mengusap mukanya kuat.
"jadi kamu mengasingkan diri di sini, honey?"tanya tomy bermonolog sambil melihat pemandangan sekelilingnya.
"umm...emang keren. Suasana pedesaannya kental banget..."
"mau ngapain lu ke sini?"tanya rayan lagi dengan nada yang sama dinginnya dengan yang tadi.
"ketemu kamulah beib..."
"cuih!"rayan membuang ludah.
"aku kan udah bilang itu khilaf. Aku masih sayang sama kamu..."kata tomy sambil menyentuh pundak rayan.
Diki yang terjebak di antara mereka menghela nafas kuat.
Tomy kembali menoleh ke arah diki.
"ini teman kamu ya, beib?"tanya tomy ke rayan.
Rayan tak menggubrisnya.
"iya, aku teman rayan..."jawab diki sambil tersenyum.
"gue tomy!"kata tomy sambil mengulurkan tangannya yang langsung disambut diki membalas menyebut namanya.
"jadi setiap hari lu berdua boncengan pake sepeda ontel itu ya?"tanya tomy dengan pandangan sedikit merendahkan.
"gak juga...baru hari ini kok kita jalan2 lagi pake sepeda..."
"kamu gak takut hitam, sayang?"tanya tomy sambil memandang rayan tanpa menggubris ucapan diki barusan.
"udah deh! Berhenti lu manggil gue sayang segala! Gue gak mau ada orang yang denger!!"
"ups...jadi teman kamu juga belum tau?"sambil menunjuk diki.
"aku udah tahu..."
"dari mana? Wah...lu berdua kayaknya udah intim banget ya...sampai2 baru dua mingguan aja rayan udah berani cerita masalah ini ke lu..."
diki tersenyum tipis.
"gak sengaja kok...itu juga karena kamu..."kata diki.
"karena gue?"
"iya. Karena lu udah nelpon2 gue! Lu gak tau kalo yang angkat waktu itu si Diki, heh?!"semprot rayan.
"ckckck...ampe tukeran Handpone segala..."
"jangan salah paham, tom. Aku gak punya hubungan apa2 sama Rayan..."terang diki.
"seharusnya sih emang mesti kek begitu, coz rayan milik gue!"sambar tomy sambil merangkul rayan mesra.
Rayan yang kesal langsung saja menurunkan lengan tomy dari bahunya.
Diki tersenyum.
"sekarang lu udah ketemu gue, so?"tanya rayan.
"so...? Yaa...aku mau kamu maafin aku dan kita kayak dulu lagi..."
"waoww..!! mudah banget lu ngebacot!"semprot rayan. "lu kira gue hotel yang bisa kapan aja lu check in-chek out, heh?!"
"beib...aku kan udah bilang...sungguh! Ini semua karena rayuan Fandi..."kata tomy dengan wajah memelas.
"bullshit! kalo lu emang setia, lu gak mungkin semudah itu tergoda! Kalo cuma satu kali sih okey ya..but, ini lu udah nikam gue dari belakang! Kalo gue gak mergokin lu berdua, lu bakalan tetap jalan kan sama dia??"cerca rayan.
Tomy terdiam.
"omongan lu tuh gak bisa dipercaya. Gue gak bakalan mau ketipu lagi. Sekarang mendingan lu pulang!!"teriak rayan sambil mendekati sepeda ontel diki.
"Yan..! Plisss...."
rayan tak peduli. Ia malah mengajak diki pulang.
"yan...! Kamu kok tega banget sih? Aku udah capek2 datang ke sini...kasih aku kesempatan dong....aku serius..."ujar tomy sambil menghampiri rayan lagi.
"udahlah Tom...gue gak mau lagi. Mendingan lu cari aja yang lain deh..atau terusin hubungan lu sama Fandi...gue dukung lu berdua..!"kata rayan dengan nafas sesak.
"aku cintanya sama kamu..."
rayan menghela nafas.
"aku maunya kamu, bukan fandi...dia itu gak ada apa2nya dibandingkan kamu..."
"kalo dari dulu lu mikirnya gitu, kenapa lu selingkuh sama dia?!"
"maafin aku Beib..."desah tomy sambil menggenggam lengan rayan.
"mendingan lu pulang aja deh...gue udah maafin lu...tapi bukan berarti gue bakal terima lu kembali.."kata rayan dingin.
"yan..."
"kita pulang yuk Dik!"ajak rayan sambil menoleh diki yang nampak kebingungan dengan situasi yang menjebaknya.
"yan...kamu kok tega banget sih? Masa kamu ngusir aku di jalanan kek gini? Sampai aja belum ke rumah kamu...seenggaknya kamu ajak aku ke rumah kamu dulu..."
"banyak maunya lu ya!"semprot rayan geram.
"tomy bener yan. Gak sopan ngusir orang yang udah jauh2 pengen ketemu kamu..."timpal diki.
rayan berdecak kesal.
"thanks bro!"kata tomy sambil mengedipkan mata ke diki.
"ya udah!"pungkas rayan. "mampir aja sebentar terus pulang! eneg lama2 lihat muka lu!!"gerutunya.
"kalo gitu silahkan masuk ke mobil sayang..."kata tomy sambil membukakan pintu mobil untuk rayan.
"gue naik sepeda aja bareng diki!"tolak rayan.
"kok gitu? Aku gak tahu rumah kamu, beib..."
"ikutin kita dong..."
"Kijang disuruh ngikutin Ontel? Hahaha...becanda aja kamu sayang..."ujar tomy sambil tergelak.
"barengan tomy aja Yan. Biar aku sendiri yang pake sepeda. Sekalian aku juga mau pulang kok..udah sore nih..."timpal diki.
"tapi dik..."
"udaaahh..."potong diki sambil menaiki sepedanya.
Rayan menghela nafas lalu masuk ke mobil tomy.
"aku duluan ya..."pamit diki.
"yoi bro! Ntar juga kesusul, hehehe..."kata tomy.
"balik arah! Gang rumah nenek gue udah lu lewati tadi!"perintah rayan.
"wah..berarti udah kelewat ya?"ujar tomy sambil menghidupkan mobilnya.
"makanya kalo gak tahu jangan sok2an. Nyasar baru tahu rasa!"
"papa kamu sih ngasih alamatnya kurang jelas..."
"ooo..jadi papa yang ngasih tahu kamu ya? Kenapa sih dia ngasih tau..."gerutu rayan.
"pastilah dia kasih tahu. Dia tahu kan kalo aku ini sahabat terbaik kamu..."terang tomy sambil membunyikan klakson saat melewati diki dengan sepeda ontelnya.
"duluan Dik! Ntar malem ke rumah aku ya!!"seru rayan.
Diki mengangguk.
"nyesel gue bilangin itu dulu sama keluarga!"gerutu rayan melanjutkan pembahasan antara ia dan tomy yang sempat terpotong.
tomy terkekeh.
"lu jangan ngomong macem2 sama nenek-kakek gue ntar!"kata rayan memeperingatkan.
"kamu tenang aja...aku bakalan jadi teman terbaik bagi cucu kesayangannya..."
rayan merengut.
"setelah gue kasih minum, terus pulang!"
tomy tak menjawab.
"denger gak lu?!"
"sampai juga belum..."kilah tomy.
"syukur gue masih berbaik hati sama lu! Seharusnya gue langsung ngacir pas lihat tampang lu!!"
"ehmm...ngomong2, kok kamu bisa lengket sama anak kampung itu?"
"siapa? Diki?"
"siapa lagi..."
"karena dia teman yang baik. Tinggal boleh di kampung, tapi dia gak kampungan kayak lu!"semprot rayan.
"sadis amat..."
"heh..sadis mana sama perselingkuhan sama teman pacar sendiri??"sindir rayan.
"yan...plis deh..."
rayan mencibir.
"masuk di gang depan!"perintah rayan kemudian.
"teman kamu itu kerjanya apa? Mahasiswa juga?"
"gak ada!"
"hari gini gak kuliah? Mau jadi apa?? Sarjana aja banyak yang jadi pengangguran, apalagi gak kuliah..."
"eh pendidikan bukan barometer penentu kesuksesan seseorang. Lu baca noh profil bill gates, steve jobs, james cameron de-el-el, mereka bisa sukses kok meski gak lulus kuliah...jadi lu jangan suka ngeremehin orang deh!"bela rayan.
"wahh...segitunya. Aku gak percaya kalo kamu dan diki gak ada apa2nya..."tuduh tomy.
"apa urusannya dengan lu? terserah gue dong!"tantang rayan.
"jadi dugaan aku benar dong? kamu dan dia pacaran? Atau seenggaknya kamu punya rasa sama dia?"tebak tomy.
Rayan terdiam. Jujur, tebakan tomy yang terakhir sepenuhnya benar.
om? sejak kapan elu manggil gw om?
*senyum licik
Rayan buru-buru turun dengan gerakan setengah ngacir.
"Hey!"teriak Tomy.
Rayan pura-pura tak mendengar.
"Neeeeekkkk...!!!"seru Rayan sambil memasuki pintu samping rumah dengan setengah berlari.
"Ngapo seh Yan, kau nih?! Teriak-teriak...(Kenapa sih Yan?! Teriak-teriak...)"omel sang Nenek sambil tergopoh keluar.
"Ado kawan Rayan datang Nek,"jawab Rayan sambil menunjuk Tomy yang baru keluar dari mobilnya.
"dari Kota?"
Rayan mengangguk.
"Ajak masuk..."
"Tom! Masuk!!"teriak Rayan.
"Ay, apo dio kau nih...mano ado orang yang ndak masuk kalau cak itu caronyo...(Duh, apaan sih kamu...mana ada tamu yang mau masuk caranya seperti itu...)"omel sang Nenek.
Rayan menghela nafas.
"Lu gak tau sih Nek, dia itu siapa..."gerutu Rayan dalam hati.
"Baik-baiklah. Nyo la jauh-jauh datang..."nasehat Sang Nenek sambil berjalan menghampiri Tomy.
"Hadeehh..."desis Rayan sambil berjalan membuntuti neneknya.
"Kawan kuliah Rayan yo, Nak?"tanya Nenek sambil tersenyum ramah pada Tomy.
"Iya, Nek..."jawab Tomy serta merta meraih dan mencium lengan Nenek.
Rayan yang menyaksikan itu langsung monyongin bibir.
"Ayo masuk...masuk...pasti capek sekali kan..."ajak Nenek ramah.
Tomy mengangguk-anggukkan kepalanya.
"Cuma sendiri?"tanya Nenek.
"Ya Nek..."
"Nyetir dewean artinyo yo?"
Tomy mengerutkan keningnya.
Rayan terkikik geli melihat kebingungan Tomy yang tidak mengerti arti bahasa yang digunakan Neneknya.
"Sudah makan belum? Kalau belum, makanlah dulu..."ujar Nenek lagi tanpa menunggu jawaban atas pertanyaan sebelumnya.
"Sudah Nek! Dia makan di jalan..."jawab Rayan cepat.
"Ooo...yo udah...mandi be lah. Pasti lengket nian badan sudem bejalan jauh...(ooo..ya sudah...mandi saja. Pasti badan terasa lengket setelah berjalan jauh..."saran Nenek.
Tomy melirik Rayan.
"Mandi aja! Tuh muka udah kucel banget. Mana bau terasi lagi!!"ujar Rayan ketus.
"Hesh..."tegur Nenek.
"Becandaan kita memang kayak gitu, Nek..."kata Tomy.
"Kenapa bercanda cak itu..."gumam Nenek sambil geleng-geleng kepala.
"Kalo yang barusan tadi dari hati kok..."timpal Rayan.
Tomy tak menggubris.
"Bawaklah kawan kau-eh, sapo namanyo Yan?-ajak mandi..."kata Nenek.
"Namanyo Tomy Nek..."
"Haa...Tomy yo,"ulang Nenek sambil mengangguk-anggukkan kepalanya. "mandilah dulu...kalau sudah mandi kan kalau ndak makan silahkan, mau istirahat enak, jalan-jalan jugo nyaman..."terang Nenek.
"Ayo! Gak usah banyak basa-basi!!"seru Rayan sambil menarik lengan Tomy menuju kamarnya.
...
sesampainya di kamar, Rayan langsung mengultimatum Tomy.
"Jangan suka caper ya di sini!"
Tomy seolah-olah tak mendengar makian Rayan. Matanya justru jelalatan kemana-mana memperhatikan tiap detail kamar yang ditempati Rayan.
"Semuanya serba Jadul ya..."komentar Tomy.
Rayan melotot.
"Tapi aku suka banget lho...berasa dijaman 45-an..."sambung Tomy buru-buru.
Rayan tak menggubris ucapan Tomy barusan. Ia justru menarik handuk yang terhampar di tempat jemuran dan melemparkannya tepat ke muka Tomy.
"Mandi sana!"perintah Rayan lalu keluar kamar dengan debaman pintu.
Tomy geleng-geleng kepala.
"Kenapa dia jadi sensi gitu ya...??"gumam Tomy sambil mengacak-acak rambutnya.
***
Rayan gondok setengah mati pada Tomy. Pasalnya tuh anak tak menunjukkan tanda-tanda bakal segera angkat kaki dari rumah neneknya. Dianya justru malah makin larut dalam obrolan yang 'nggak penting' bersama kakek dan Neneknya.
Rayan mengatupkan mulutnya rapat-rapat sambil melotot menyaksikan muka 'sok polos dan ramah'-nya Tomy yang ditampilkan lelaki itu dengan sempurna di hadapan Kakek dan Neneknya.
"Dasar penjahat kelamin!"umpat Rayan dalam hati.
"Lu bisa bohongin semua orang, tapi gak lagi dengan gue! Cukup sekali ya kejebak dengan silat lidah lu itu!"
Tomy melirik Rayan yang sedari tadi tak ikut nimbrung dalam percakapan hangatnya bersama kakek dan neneknya sendiri.
"Kok diam aja Yan? Kamu baik-baik aja kan?"tanya Tomy lembut.
Kakek dan Nenek Rayan ikut-ikutan melirik Rayan.
"Kau dak apo-apo Yan?"tanya sang Nenek sambil mengusap kening Rayan.
Rayan geleng kepala.
"Apa ada masalah? Cerita dong....biasanya kamu cerita..."kata Tomy.
"mulai deh carmuk..."gerutu Rayan dalam hati.
"Yo, ado masalah? (benar ada masalah?)"tanya Sang Kakek.
"Idak!"jawab Rayan bete.
Tomy tersenyum manis.
"Rayan ini teman terbaik aku lho, Nek...kemana-mana kita sering berdua..."terang Tomy tanpa diminta.
"Oh, Yo?"
"Yo...(Rayan kepengen muntah ketika mendengar Tomy mulai menyisipkan bahasa daerah dalam percakapannya) Rayan selalu mengarahkan aku ke hal-hal positif...kita sering belajar bersama...ya kan, Yan?"terang Tomy sambil menoleh ke Rayan meminta dukungan.
"Maybeeee...."ujar Rayan.
"Heh...?"gumam Nenek tak mengerti dengan ucapan Rayan barusan.
Tomy terkekeh.
"Kamu gimana sih Sob, ngomong sama orangtua pake bahasa barat...eh, tapi mungkin nenek bisa bahasa Inggris yo?"tanya Tomy sambil menoleh ke Nenek.
"hehehe...mano tahu lah, Nak...baso Indonesya ajo idak lancar...(hehehe...mana bisa, Nak...bahasa Indonesia saja nggak lancar...)"jawab Nenek sambil tersenyum geli.
"Mungkin Kakek yang pacak?"tanya Tomy sambil mengalihkan pandangan ke arah Kakek.
"It's a stupid question..."gerutu Rayan. "Heh...Rayan ndak ke Kamar dulu Nek..."kata Rayan sambil bangkit dari duduknya.
Sang Nenek tak menggubris, justru kembali bercengkrama dengan si brengsek Tomy.
Sesampainya di Kamar...
Rayan langsung melompat ke atas ranjang dan menggigit guling kuat-kuat.
"Arrrgghhhh...."seru Rayan tertahan sambil memukuli bantal gulingnya dengan kesal. Paru-parunya serasa ingin meledak karena marah.
"Lama-lama dekat tuh orang bisa bikin gue step deh! Oh Diki-ku, pliisss...free meee..."ceracau Rayan tak jelas.
???
Rayan berhenti sejenak dan pikirannya sedikit kalem.
Diki?
Rayan menghembuskan nafas lega. Hatinya terasa plong sekarang.
"Yep...lu bisa bikin gue gondok setengah mati, Tom. But...gue juga bisa bikin lu muntah darah di sini...uhmmm...silahkan pacari Nenek gue, dan gue bakalan berduaan sama Diki..wkwkwkw...!!"seru Rayan dalam hati sambil melompat bangun dari tempat tidurnya...
Rayan melangkah gontai melewati tiga orang yang bikin dia bete setengah hidup (Tomy yang tak pulang-pulang dan Kakek-Neneknya yang tak melakukan pengusiran). Kakek, Nenek dan Tomy masih terlibat obrolan yang entahlah, Rayan sendiri sudah tak tahu topiknya apa lagi.
Suka-suka mereka dah..., gumam Rayan.
"Mau kemana Yan?"tegur Tomy saat Rayan melintas.
"Toilet! Mau ikut?!"timpal Rayan ketus.
Tomy tersenyum.
"Kayaknya ngobrol di jamban lebih asyik tuh..."sindir Rayan sambil berlalu.
Sang Nenek geleng-geleng kepala.
"Oh yo, kerjo orangtuo Tomy apo? (oh ya, kerjaan orangtua Tomy apa?)"tanya Nenek terdengar samar-samar saat Rayan memasuki dapur.
Rayan tidak mendengarkan lagi jawaban dari si Tomy.
"Gak penting...gak penting...!!"seru Rayan dari dapur.
"Apo Yaaaannn??? Ngapo teriak-teriak...??"seru Neneknya dari luar.
Rayan tak menjawab. Ia malah menyelinap dari pintu belakang rumah dan mengambil sepedanya di dalam gudang. Dengan hati-hati ia mengayuh sepeda itu agar tidak ketahuan.
"Ngobrol Noh sepuas-puasnya...!!"teriak Rayan setelah jauh dari rumah Neneknya.
***
"Rayan...?!"seru Diki saat melihat Rayan datang dengan sepedanya dengan muka masih nampak cemberut.
Rayan tak langsung menjawab. Ia memarkirkan sepedanya di dekat teras lalu duduk di samping Diki.
"Kenapa?"Tanya Diki.
"Tomy! Dia benar-benar bikin aku kesel!!"seru Rayan.
"Dia masih di sini?"
Rayan mengangguk.
"Sekarang jam berapa?"tanya Diki sambil melihat jam di dinding ruang tamu dari balik jendela kaca.
"Jam lima lewat...kapan dia pulangnya??"tanya Diki lagi sambil menatap Rayan.
Rayan mengangkat bahunya.
"Apakah dia bermalam di rumah kamu?"
Mata Rayan langsung melotot.
"Nggak boleh!"teriak Rayan sedikit histeris. "gue gak sudi semalam sama dia!"
Diki diam saja.
"Tapi...kalo dia benar-benar menginap di rumah Nenek gimana ya?"tanya Rayan.
"Yaaa...emang seharusnya begitukan? Emang dia harus tidur di mana lagi selain di rumah kamu?"
"Kita bakal tidur seranjang lagi..."gumam Rayan.
"Kesempatan yang bagus buat memperbaiki kesalahan masing-masing..."kata Diki.
Rayan sontak menoleh.
"Maksud lu apaan sih?"tanya Rayan tak suka.
"Kalian bisa gunakan waktu itu untuk saling bicara empat mata..."terang Diki.
"BiCara? Perasaan aku udah cukup jelas ngomongin masalahku sama dia! Kamu juga udah sedikit tahu kan sifatnya dia kayak gimana?? Jadi buat apa aku ngomong lagi sama dia? Kamu mau aku balikan lagi sama orang kayak Tomy??!"cecar Rayan dengan nada kecewa.
"Itu semua tergantung kamunya Yan... Tanyakan sama hati kecil kamu..."
Rayan menekuk mukanya. Ia tak menyangka Diki akan mengutarakan pendapat seperti itu. Seolah-olah dia tak peduli dan menutup mata sama masalah dan sakit hati yang Rayan terima selama ini. Seharusnya Diki bersihkukuh meminta Rayan mengusir Tomy, itu yang ia harapkan. Bukan justru sebaliknya. Rayan benar-benar terluka.
"Kalo aku masih mau membuka hati buat dia..., aku gak bakalan liburan ke sini. Gue dan Lu juga gak bakalan ketemu!"kata Rayan ketus sambil bangkit berdiri.
Diki mendongak menatap wajah Rayan yang penuh amarah. Tapi ia tak berbuat apa-apa. Ia menyesali apa yang sudah ia lontarkan pada Rayan.
"Gue ke sini karena gue pikir lu bisa menenangkan gue..."desis Rayan.
"Maaf Yan. Aku gak tahu bagaimana bersikap terhadap masalah kalian..."gumam Diki dengan nada menyesal.
"Aku mungkin selalu datang dengan membawa masalah yang seharusnya gak kamu alami...aku minta maaf... Sebagai teman, mungkin aku bukanlah teman yang baik... Aku selalu merepotkan kamu..."kata Rayan sambil berjalan menuju sepedanya.
"Aku gak merasa direpotkan kok, Yan... Kamu teman yang menyenangkan..."bantah Diki.
Rayan tersenyum kecut sambil memutar pedal sepedanya.
"Gue pulang ya. Mungkin Tomy dan Nenek lagi cari gue sekarang,"pamit Rayan dengan nada dingin.
Diki mengangguk tanpa suara.
Rayan membawa sepedanya menuju jalan sepi. Sebutir air matanya hampir keluar dari sudut mata ditengah cahaya mentari sore yang semakin berkurang.
***
Angin malam berhembus lembut membelai kulit. Sinar bulan yang pucat nampak keemasan di permukaan dedaunan bambu kuning yang bergoyang pelan.
Rayan duduk berselonjor di dinding teras yang tingginya selutut sambil bersandar di pilar yang terbuat dari kayu jati berukir.Pandangannya menerawang dengan pikiran melayang. Di sampingnya Tomy juga duduk sambil memainkan Ponsel.
Mereka dari tadi tak berucap sepatah katapun. Hanya koor jangkrik dari kejauhan lah yang menjadi peramai suasana.
Rayan masih kesal dengan keadaan yang dialaminya sore tadi. Pertama dengan kedatangan Tomy yang tanpa diundang dan yang kedua karena pernyataan Diki yang mengecewakan petang tadi.
Rayan marah. Ia marah pada dirinya sendiri yang selalu dirundung masalah. Ia juga kesal pada orang-orang yang tak bisa mengerti dirinya. Terlebih-lebih si Diki yang baru-baru ini ia pikir bisa Menjadi 'sang Pencerah' baginya, tapi ternyata mengecewakan.
"Sampai kapan kita bakalan di sini?"tanya Tomy memecah kebisuan.
Rayan tak menjawab. Matanya masih menatap lurus ke depan.
"Masuk yuk?"ajak Tomy.
Rayan tetap membisu.
"Hhh...sampai kapan juga kamu bakal diam kayak gini?"tanya Tomy lagi.
"Ntar Kakek-Nenek kamu curiga lho..."
"Apa kamu gak suka aku ada di sini?"
"Atau...kami lagi mikirin cowok kampung itu?"
"Kamu..."
"Shut up!"potong Rayan cepat dan tegas sambil memandangi Tomy dengan pandangan galak. "Kapan sih lu bisa diam?!"
"Gue capek dengar ocehan lu itu! Kalo mau ngomong ajak Nenek gue sana!!" bentak Rayan kasar sambil berjalan masuk ke dalam.
Kekesalan Rayan makin menumpuk. Ia betul-betul benci melihat Tomy. Ingin sekali rasanya ia mencabik-cabik tubuh lelaki itu.
"Ugh...!"desis Rayan sambil menendang daun pintu kamarnya.
Ia kemudian menghempaskan tubuhnya di ranjang. Kepalanya serasa mau meledak. Apa yang ia alami malam ini terasa benar-benar buruk. Celakanya, ia tak tahu harus pada siapa bisa menumpahkan kemarahan ini.
Rayan akhirnya menangis tertahan sambil memeluk bantal guling erat-erat.
KREEKK...!
Pintu kamar terdengar dibuka. Rayan buru-buru mengelap air matanya lalu menoleh. Ternyata Tomy yang datang. Ia pun memasang wajah super cemberut.
"Jangan ganggu gue!"ultimatum Rayan langsung.
"Tenaangg...aku-eh, kamu habis nangis ya?"tanya Tomy sambil menyentuh pipi Rayan yang lembab.
"Akh!"desis Rayan sambil menepis tangan Tomy. "Gue udah bilang jangan ganggu gue!"
"Kamu kok nangis sih, Beib?"tanya Tomy lagi.
"Sok tahu Lu!"bantah Rayan. "Gak usah sok perhatian..."
"Aku udah kenal kamu dari lama, Say. Kalo bawah mata kamu udah kemerahan dan bibir ditekuk ke bawah kayak gini, pasti habis nangis..."
Rayan mengerjap-kerjapkan matanya. Ia akui uraian Tomy barusan itu benar. Hampir dua tahun menjalin hubungan dan selalu tiap hari ketemu dengan Tomy, pastilah tuh anak tahu banyak soal Rayan.
"Gue nangis karena lu!"ucap Rayan mengaku juga akhirnya. "Kenapa lu masih di sini, heh?!"semprot Rayan.
Tomy tiba-tiba mendekap kepala Rayan dengan paksa ke bawah ketiaknya.
"Ughh...lu apaan sih?!"seru Rayan sambil berontak.
"Sayaaangg...Biasanya kamu tidur di bawah ketiak aku kalo lagi galau..."terang Tomy.
"Itu dulu! Sekarang gue gak mau..!"tolak Rayan. "Oh ya, btw, gue mesti ngomong ini ke lu, bau ketek lu itu asem banget tau!!"
"Hah? Masa..."gumam Tomy sambil mengangkat ketiaknya sedikit dan membauinya.
"Nggak kok..."ujarnya kemudian.
"Orang yang harusnya menilai, bukan lu..."
"Alaa...kamu bohong kan? Dulu kamu selalu suka sama bau tubuh aku...kamu bilang sexy..."
"Namanya juga orang pacaran...kotoran aja rasa cokelat!"
Tomy terkekeh lalu mentowel dagu Rayan.
"Ish, jangan coba-coba goda gue!"bentak Rayan. "Gue bukan keledai yang bakal jatuh ke lubang yang sama dua kali!!"
"Kalo gitu biar aku aja yang jadi keledainya..."kata Tomy. "Karena aku udah jatuh cinta sama kamu berkali-kali..."sambung Tomy gombal.
Rayan sumringah.
"Aku mau kok jadi keledai kamu..."kata Tomy lagi dengan tatapan lembut.
Rayan buru-buru melempar pandangan ke arah lain. Ia tak mau tergoda dengan wajah malaikat yang tengah ditunjukkan Tomy.
"Cuma kamu yang bisa buat aku sampai pengemis cinta kayak sekarang...biasanya aku yang nyuekin orang..."terang Tomy.
"Semakin aku pengen melupakan kamu, semakin dalam perasaanku gak ingin kehilangan kamu, Yan..."kata Tomy lagi dengan nada berbisik sambil meraih jari-jemari Rayan yang lunglai di atas pahanya.
"Aku sungguh-sungguh pengen kamu kembali, Yan..."
Rayan menahan nafas beberapa detik. Ia tak berani bergerak sama sekali, terlebih saat ini jemarinya digenggam erat oleh Tomy.
"Ucapakan kata apa aja untuk aku Yan, agar aku merasa gak sia-sia menemui kamu di sini..."
Rayan memejamkan matanya. Ia berusaha menguatkan hatinya agar tidak terjebak pada ucapan manis Tomy yang memabukkan dan mengandung belas kasihan.
"Wake up Yan..pliiisss...lu jangan sampai tersihir kata-kata rayuan si Brengsek yang mengandung magis itu..!! Dia itu penjahat ke-la-min!!"jerit hati kecil Rayan.
Rayan serta merta membuka matanya. Ia terkaget saat melihat muka Tomy tinggal beberapa centi dari wajahnya.
"Beib..."desis Tomy dengan bibir bergetar.
Rayan mematung menatap bibir merah menggairahkan itu. Getaran dua tangkup bibir basah itu sanggup mengguncang relung kalbunya. Bibir itu pernah menyulutkan api keseluruh tubuhnya.
"Kamu sejujurnya masih sayangkan sama aku?"tanya Tomy sambil menatap bola mata Rayan tajam. Mimik wajahnya sungguh meyakinkan.
Rayan terdiam. Ia masih sibuk membuka hatinya, mengais di setiap sisi demi mencari jawaban atas pertanyaan Tomy barusan.
"Jujur dan tanyakan pada hati kecilmu, Sayang..."ucap Tomy lagi sehingga Rayan semakin kalut.
Tomy...percik-percik cinta itu masih ada di hati Rayan. Kembali muncul ke permukaan setelah wajah mereka saling bertemu dengan jarak kian dekat di malam hening ini. Entah dari mana datangnya, hanya saja secara tiba-tiba perasaan bergairah kembali membuncah di dalam hati Rayan.
Hatinya secara terang-terangan mengkhianati perasaan Rayan. Hati itu ternyata masih menyimpan bibit cinta di lubuk hati yang tersembunyi.
"Katakanlah..."desis Tomy dengan hembusan nafas menyapu dagu Rayan.
IYA!
"TIDAK!!"jerit sebuah suara dalam hati Rayan yang lain. "Katakan kalau lu akan membenci dia sampai kapanpun!"
Rayan menghela nafas berkali-kali jadinya. Suara-suara dalam hatinya mulai bertarung.
Rayan melepas genggaman tangan Tomy yang sudah berkeringat pada jemarinya. Kehangatan yang dipancarkanTomy dari sela-sela jemari itu semakin mengacaukan pikiran Rayan.
"Tutup hati lu dan katakan TIDAK!"teriak suara hati Rayan yang membenci Tomy.
"Tomy sudah berubah...ia bukan tomy yang kemarin. Pandanglah wajahnya, lihatlah kesungguhan di matanya...dia benar-benar berbeda, Yan..."bujuk suara hati Rayan yang lain.
"Sekali BEJAT tetap BEJAT! Tak ada jaminan dia tidak akan menyakiti lu lagi..."bantah suara hati pembenci Tomy lagi.
"Jujur pada hati lu, Yan. Hati gak bisa dibohongi. Lu masih membutuhkan dia..., dia masih butuh lu.., kalian sama-sama membutuhkan malam ini..."bujuk suara hati Rayan yang lain.
"Sayang..."desah Tomy lagi sambil beringsut merapatkan tubuhnya ke Rayan.
Rayan tercekat. Tubuh kokoh Tomy yang tak asing lagi baginya kembali mengingatkan kepingan-kepingan memori indah yang pernah mereka lalui berdua.
Tomy makin merapatkan tubuhnya. Desahan nafasnya yang memburu terdengar keras di telinga Rayan. Rayan tergelitik. Apalagi saat Tomy bergerak, aroma tubuhnya yang masih sama seksinya (meskipun tadi Rayan membantahnya) membuat gairah Rayan tak terbendung lagi. Gairah yang sudah terkubur selama berminggu-minggu di dasar hatinya itu kembali naik dan meminta bagiannya...
Ia tak mampu membendung pesona Tomy. Meskipun dalam hatinya terus membantah dan menjerit bahwa yang dilakukannya ini fatal, tapi Rayan tak mampu menyuarakan itu. Gairah menguasainya sekarang. Pagutan bibir Tomy yang panas, sanggup menghancurkan kebenciannnya sejenak.
Rayan bukan tak sadar apa yang tengah terjadi. Tapi ia tak mampu menolak Tomy sendirian. Ia butuh orang lain untuk menguatkan hatinya.
Diki...
Nama itu perlahan menyeruak di tengah hati Rayan yang tengah membara disengat api cinta yang disalurkan Tomy melalui lidahnya yang menari lincah mempermainkan Nipple Rayan.
Diki...bantu gue...
Rayan memejamkan mata erat-erat. Ia diliputi kebimbangan. Di satu sisi hatinya ingin berontak, tapi di sisi yang lain ia begitu merindukan pagutan bibir Tomy disekujur tubuhnya.
Sementara itu, Tomy terus bergerak lincah mempermainkan tubuh yang tak berdaya di depannya. Ia girang bukan kepalang karena mampu menaklukkan hati Rayan semudah itu. Dan tentu saja ia tak akan menyia-siakan kesempatan ini. Ia tak akan memberi waktu barang sekejap pun untuk Rayan berpikir ingin menyudahi permainan ini.
"Lu harus gue dapatkan kembali...!"tekad Tomy kuat dalam hatinya.
Semakin lama, perlahan lahan benteng kebencian milik Rayan yang sejauh ini menjadi tamengnya mulai runtuh. Jeritan kalbunya yang terus menyadarkan Rayan tentang kesakitan yang pernah ditorehkan Tomy padanya perlahan tenggelam dalam lautan gairah yang terus menggelegak. Jeritan itu berganti menjadi desahan panjang.
Gue kalah lagi..., itu yang terakhir tergores di dinding kalbu Rayan sebelum akhirnya ia benar-benar larut dalam gairahnya bersama Tomy.
KREK...!
"Rayan..! Ups...!"
BRUG!
Rayan dan Tomy yang tengah bergulingan di ranjang sambil berpagutan serentak menoleh. Sekelabat bayangan masih sempat ditangkap mata Rayan.
Itu Diki!
"Diki..."desis Rayan tak percaya.
"DIKI!!"teriaknya kemudian sambil mendorong tubuh Tomy kuat dan melompat bangun.
Rayan menarik gagang pintu dengan cepat untuk mengejar Diki yang sudah menghilang.
"Rayan..! Pakaina kamu...!!"seru Tomy dari kamar sesaat setelah melihat Rayan berlari keluar kamar tanpa sehelai benangpun di badan.
Rayan berhenti sejenak mendengar seruan Tomy dari kamar dan langsung melihat ke bawah. Matanya langsung tertuju pada daging keras di bawah pusarnya.
Rayan buru-buru menutup kemaluannya dengan telapak tangannya. Ia diliputi kebimbangan apakah terus saja mengejar Diki yang bayangannya sudah menuruni teras atau justru mengenakan celana dulu. Tapi akhirnya ia balik lagi ke kamar disertai teriakan,
"DIK...TUNGGU DIK!!"
"MANA CELANA GUE??"seru Rayan pada Tomy yang tengah menaikkan restleting jeansnya.
"Tuuuu..."Jawab Tomy sambil menunjuk dengan bibirnya.
"Ugh..!"desis Rayan sambil menatap Tomy jengkel. Ia langsung berlari dan menyambar boxernya. Ia lantas berlari keluar kamar dan mengenakan boxer itu di depan pintu kamar. Setelah itu dengan tergopoh-gopoh berlari keluar rumah dengn hanya mengenakan boxer saja.
"Yan, kamu mau kemanaaa...??"seru Tomy sambil menyibak tirai jendela ruang tamu.
Rayan tak menjawab. Ia terus saja berlari keluar halaman demi mengejar Diki.
"EE..EEE...ngapo teriak-teriak tengah malam nih...??"tegur Nenek sambil menghampiri Tomy dengan muka keheranan.
"Eng...anu Nek, Rayan pergi mengejar Diki..."jawab Tomy gelagapan.
"Ngejar Diki? Laa..ngapo main kejar-kejaran tengah malam?? Bukannyo Diki baru sampai tadi tuh?"tanya Nenek makin penasaran.
Tomy mengangkat bahunya.
"hesshh...ado-ado be tobo kamu nih...(Hesshh...ada-ada aja kalian ini...)"omel Nenek sambil berjalan meninggalkan Tomy.
"Shit!"umpat Tomy kesal karena gagal bercinta dengan Rayan.
"Hah? Apo Tom?"seru Nenek dari ruang tengah.
"Dak Nek. Ada Semut!" jawab Tomy asal.
...
Diki berjalan cukup cepat. Rayan berhasil menyusulnya saat sudah dipertengahan jalan.
"DIKI..!!"teriak Rayan saat melihat siluet tubuh diki yang disirami temaram lampu jalan.
Sosok itu tak menggubris.
Rayan tertegun. Jangan-jangan dia bukan Diki lagi.
Rayan berlari mengejarnya. Semakin dekat jarak antara mereka berdua, Rayan semakin yakin itu adalah Diki.
"Dik, pliiiss...berhenti dulu..."kata Rayan dengan suara tercekat karena menahan dingin.
Sosok di depan Rayan itu berhenti.
Rayan menghembuskan nafas keras.
"Dik..."ucapnya.
sosok itu berpaling menghadap Rayan. Dia memang Diki.
"Rayan...?? Kamu kok telanjang gini...??"tanya Diki polos campur kaget.
"Aku pake celana kok..."
"Ada apa?"tanya Diki.
"Dik...gue minta maaf..."kata Rayan sambil meraih jemari Diki.
Diki dengan pelan melerai genggaman Rayan.
"Minta maaf? Emang kamu salah apa sama aku?"
"Yang kamu lihat barusan...kamu jangan salah paham. Aku...kamu jangan marah ya..."ucap Rayan dengan nada memohon.
Diki tertawa lirih.
"Kamu ini ngomong apaan sih? Kenapa aku mesti marah?"
Rayan terdiam. Ia kecele. Ia pikir Diki cemberu melihat kemesraannya dengan Tomy tadi.
"Jadi kamu nggak apa-apa?"tanya Rayan meminta kejelasan.
Diki menggeleng keras.
Bahu Rayan langsung merosot. Kekuatannya serasa lenyap.
"Apa juga aku bilang, sebenarnya kamu itu masih suka sama Tomy..."kata Diki.
Rayan diam saja. Ia memeluk tubuhnya sendiri yang makin menggigil diterpa angin malam.
"Aku..."
"Kalau kamu memang masih cinta sama dia, maka balikan aja. Tapi kamu harus bisa buat dia berubah. Kamu harus pastikan kalo dia gak akan nyakitin kamu lagi..."kata Diki sambil meraih pundak Rayan.
Rayan menangis. Entah kenapa, semuanya menjadi terasa gelap sekarang. Ia tak tahu mengapa setelah mendengar ucapan Diki barusan, ia seperti kehilangan semangat.
Ada apa dengan gue? Kecewakah gue mendengar pernyataan Diki barusan?? kata hati Rayan bertanya-tanya.
"Aku mendukungmu Yan..."kata Diki lagi.
Luka. Ada luka yang baru saja tertoreh di relung hati Rayan. Bukan kata-kata semacam itu yang ia inginkan keluar dari mulut Diki. Ia sebenarnya ingin mendengar ungkapan kekecewaan yang terlontar dari bibir merah muda pucat itu. Ia ingin sekali melihat Diki memarahinya karena tak kuasa menahan godaan Tomy.
"Sekarang kamu pulanglah. Hari udah malam..."kata Diki.
Rayan mengangguk. Tak terasa sebutir air matanya jatuh ke dalam keremangan malam saat ia berbalik arah menuju rumah Nenek.
"Rayan...!"teriak Diki saat Rayan sudah berjalan beberapa langkah.
Rayan berhenti tapi tak menoleh. Tertangkap olehnya suara langkah kaki Diki berjalan menghampirinya.
"Ini..."kata Diki sambil menyampirkan sepotong baju ke bahu Rayan.
Rayan menoleh. Tepat di belakangnya, Diki nampak bertelanjang dada.
"Pakailah baju aku dulu...biar kamu gak masuk angin..."
Rayan merunduk dan menyentuh baju Diki di pundaknya.
"Pakailah..."
"Tapi kamu..."
"Aku sudah kebal kena angin malam...yang aku khawatirkan justru anak kota kayak kamu...nanti terkapar karena masuk angin..."
Rayan tersenyum. Ia senang Diki mengkhawatirkannya.
"Ayo pakai..."
Rayan memakai baju itu. Aroma serta kehangatan tubuh Diki begitu kentara dari sepotong baju itu.
Rayan tersenyum.
"Thanks, Dik. Besok baju ini bakal aku kembalikan..."kata Rayan.
"Gak mesti besok kok...lusa juga boleh. jangan lupa dicuci dulu ya..."kata Diki sambil tersenyum lebar.
Rayan membalas senyuman Diki lalu kembali melangkah menyusuri jalan.
Setelah cukup jauh dari Diki, Rayan tak henti-hentinya menciumi baju itu. Aroma tubuh Diki membuatnya semakin dimabuk asmara. Hatinya yang tadi sempat merana sekarang kembali merona..
Tomy masih menggerutu tak jelas saat menuruni teras. Hawa dingin kampung Bermani Ulu yang dikelilingi Pegunungan sanggu membuat tubuhnya menggigil.
"Akh, kemana sih tuh anak...ngapain juga mesti ngejar anak kampung itu segala..."gerutu Tomy kesal. Ia benar-benar kesal pada Diki. Kedatangan lelaki kampung yang tiba-tiba sudah menghancurkan malam indahnya bersama Rayan.
Tomy melangkah dengan setengah hati sambil menyepak beberapa kerikil yang ia temui. Ia tak pernah membayangkan akan berjalan sendirian di tengah kesunyian desa yang hanya diterangi lampu jalanan seukuran 5 watt.
"Mau ke mana lu? Mau balik sekarang ya?"tegur sebuah suara.
Tomy terperanjat dan mundur sedikit.
"Rayan...! Akh, anjrit! Lu ngagetin gue!"
"Hh..siapa suruh lu jalan merunduk kayak maling di sini? Kelihatan sama warga bisa digebuk Lu!"kata Rayan sadis.
"Aku nyusul kamu..."
"Nyusul gue? Gak salah? Bisa-bisa lu ntar yang kesasar!"cemooh Rayan.
"Tapi buktinya nggak kan, Beib?"
Rayan mencebikkan bibirnya. Tanpa berkata-kata lagi ia langsung melangkah melewati Tomy yang nampak menggigil.
Rayan bersenandung kecil sambil melangkah menyuarakan perasaannya. Entah kenapa hatinya tiba-tiba dipenuhi bunga.
"Apa yang udah itu orang kasih ke kamu sampai kamu sesumringah ini?"tanya Tomy.
Rayan tak memperdulikan pertanyaan Tomy. Ia terus saja bersenandung sesuka hatinya.
"Baju yang kamu pake itu punya Dia juga kan?"tanya Tomy lagi. Ia menarik belakang baju Rayan dan menciumnya.
"Hhh...bau kapur barus!"
Rayan berhenti bernyanyi. Ia tak suka Tomy mengomentari aroma tubuh Diki.
"Sembarangan aja Lu! Bau Lu tuh kayak kerbau!"
Tomy mendesah. Kebenciannya makin bertambah pada Diki. Rayan yang lima belas menit yang lalu terasa sangat manis, sekarang kembali berubah galak. Dan semua itu karena Diki, pemuda kampung yang tak pantas jadi saingannya.
"Oh ya, btw, Lu mau tidur di sofa atau di ranjang?"tanya Rayan sambil membuka pintu.
"Di ranjang lah..."
"Oke. Kalo gitu biar gue tidur di Sofa!"kata Rayan cepat.
"Emang kenapa?"
"Bira gue gak diganggu sama Lu malem ini! Gue gak mau lu mulai ngegombali gue kayak tadi!!"
"Heh..jadi itu masalahnya? Kamu gak tahan sama pesona aku, eh?"
"Sok kepedean Lu! Gue cuma gak mau terjebak pada situasi yang akhirnya cuma merugikan gue. Gue gak mau cuma jadi pelampiasan nafsu lu!"
Tomy terdiam.
Rayan berjalan ke kamar dan mengambil selimut serta bantal.
"Biar aku aja yang tidur di luar..."kata Tomy.
"Gak usah. Biar Gue aja! Sebagai tuan rumah yang sudah disakiti sama tamunya, gue cukup baikkan masih mengizinkan Lu buat menempati ranjang gue? Silahkan nikmati aroma wangi tubuh gue di ranjang malam ini. Besok pagi, you must go out from here, u know?!"kata Rayan tegas sambil berjalan menuju sofa.
***
Pagi-pagi sekali Tomy sudah bergegas akan kembali ke kota. ini semua atas perintah Rayan. Ia tak bisa berkutit dan membuat alasan untuk tinggal di rumah Nenek Rayan lebih lama lagi, karena saat subuh tadi Rayan sudah mencuranginya duluan. Di depan Kakek dan Neneknya yang tengah menonton siraman Rohani di Televisi, tiba-tiba saja Rayan mendapat telepon dari Mamanya Tomy. Dengan suara keras Rayan berkoar-koar di telepon mengenai permintaan Mama Tomy agar Tomy kembali pagi besok, sebab Beliau akan berpergian keluar kota, sementara rumah mereka tak ada yang menjaga. Tomy yang percakapan Rayan di telepon geram bukan kepalang. Ia tahu kalau Rayan sedang memainkan sebuah peran yang bertujuan memulangkanya dari sini secepatnya.
Tomy tahu persis, Rayan tidak sungguhan mendapat telepon dari mamanya. Ngapain juga mama telepon Rayan? Nomor Rayan saja Mamanya tak punya...hmm..sial. Akalnya cerdik juga, gumam Tomy dalam hati. Tak mungkin ia berkilah atau mengabaikan 'pesan Mamanya' yang sudah disetting sama Rayan. Pastilah Kakek dan Nenek Rayan akan menyuruhnya lekas pulang ke kota sesuai permintaan Mamanya.
"Good Job! Otak lu ternyata bulus juga ya, Yan!"kata Tomy saat mereka berdua berada di kamar.
Rayan terkekeh.
"So, kamu harus pulang ya pagi ini? Sayang bangeett...padahal kamu belum dapat apa-apa dari aku..."kata Rayan memanas-manasi.
Rahang Tomy mengeras.
"Lu pikir cuma lu doang yang punya segudang akal busuk? Di kota mungkin lu bisa berbuat apa aja. But, di sini, lu gak ada apa-apanya!! Gue bisa aja bilang lu yang nggak-nggak ke warga di sini biar lu ditangkap..."ancam Rayan.
Tomy cuma diam dengan amarah tertahan di dadanya. Tanpa berucap sepatah katapun ia langsung keluar kamar dan menghidupkan mobilnya.
"Kau balik sekarang, Tom?"tanya Nenek.
Tomy mengangguk pelan.
"Hati-hati yo..."pesan Kakek.
"Tapi sarapan dulu..."kata Nenek.
"Mendingan dibungkusin aja nasinya Nek,"timpal Rayan. "Soalnya Keluarga Tomy sudah harus di bandara sebelum pukul sepuluh pagi!"kata Rayan sambil memasang senyum manis.
Tomy menelan ludah.
"Ooo...cak itu. Yo lah, biar Nenek bungkusin dulu..."kata Nenek sambil beranjak ke ruang makan.
Rayan terkikik.
Tidak berapa lama kemudian, Nenek kembali membawa bungkusan plastik berisi Nasi.
"Makan ini di Jalan..."pesan Nenek.
Tomy mengangguk.
"Buruan pulang gih, Bro. Waktu terus berjalan nih...!"Kata Rayan.
"Aku pulang Nek, Kek..."pamit Tomy dingin.
Nenek dan Kakek mengangguk.
"Salam ya Sama Tanteeee...!!"seru Rayan lalu terbahak.
Tomy tak merespons. Hatinya terlalu marah untuk sekedar mengangguk atas seruan Rayan barusan. Ia tak akan melupakan kejadian ini. Dengan cepat ia membawa mobilnya melaju meninggalkan Rayan yang masih menyunggingkan senyum kemenangannya...
...
Rayan tengah tiduran di bangku kayu panjang di depan teras saat seseorang terdengar membuka pintu pagar. Rayan langsung menegakkan kepalanya untuk melihat siapa gerangan yang datang. Saat ia tahu kalau Diki yang menyambangi rumah Neneknya, Rayan buru-buru bangun dan mengumbar senyum manis.
"Hay...! Mau ambil baju ya? Belum dicuci..."kata Rayan.
"Nggak kok..."ucap Diki sambil duduk di bangku yang tadi ditiduri Rayan.
"Um...Tomy sudah pulang?"tanya Diki.
"Yoiiiii...!"seru Rayan gembira.
"Kamu tampak lebih gembira dari biasanya...hubungan kalian membaik?"tebak Diki.
Rayan menoleh.
"Kenapa kamu mikirnya gitu?"tanya Rayan.
"Cuma tebakanku aja..."
"Tebakan kamu salaaahh...he..he...he..."ucap Rayan sambil terkekeh.
"Lha, terus kalian sekarang gimana?"
"Aku berhasil mengusir dia dari sini pagi tadi!"
"Kamu usir dia?"
"Ya! Dia udah curangi aku berkali-kali. Jadi gak salahkan kalo kali ini aku yang mencurangi dia?"
Diki diam saja.
"Aku gak akan kembali sama dia!"kata Rayan tegas.
"Kenapa? Bukannya tadi malam kalia..."
"Itu kesalahan!"potong Rayan cepat. "Dan aku gak mau ingat itu lagi. Gue malu kalo ingat betapa mudahnya gue terjebak sama Tomy..."ucap Rayan sambil menutup mukanya.
Diki kembali bergeming.
"Kamu emang teman aku, Dik. Tapi bukan berarti apa yang kamu omongin bakalan aku turut semuanya...terlebih lagi saat kamu menyarankan aku kembali sama Tomy, aku gak bakalan memperdulikan saran kamu itu..."kata Rayan lagi.
"Kenapa...?"
Kali ini Rayan yang berdiam diri. Hanya hatinya yang terus berkata, "Karena gue pengennya sama Lu..."
"Kenapa kamu gak mau menerima Tomy lagi?"Diki kembali bertanya.
"Karena...Dia adalah masa lalu..."
Diki menatap Rayan sejenak lalu melempar pandangannya ke depan lagi.
"Karena aku yakin bukan dia yang terbaik buat aku..."sambung Rayan lagi dengan suara berupa desahan.
Diki tersenyum tipis. Cepat sekali. Saat Rayan mengerjapkan matanya, senyuman itu sudah lenyap.
Dada Rayan berdetak kencang. Apa arti senyuman Diki barusan?
"Berarti sekarang kamu udah gak sakit hati lagi kan?"tanya Diki tanpa menoleh ke Rayan.
Rayan mengerutkan keningnya. Ia ragu-ragu untuk memberi jawaban. Ia sendiri belum yakin dengan perasaannya saat ini.
"Entahlah,"ucap Rayan akhirnya.
"Kok jawabnya gitu?"protes Diki.
"Ya gimana dong? Aku juga bingung...dibilang sakit hati, nggak. Dibilang udah sembuh, tapi kok aku masih suka marah-marah kalo ingat Tomy dan Fendy? Gelap ah!"
"Itu artinya hati kamu masih belum pulih..."kata Diki.
"Mungkin."
Diki terdiam sejenak. Raut wajahnya kentara sekali menyiratkan kalau ia tengah berpikir.
"Eh, kita berpetualang lagi hari ini, mau?"ajak Diki tiba-tiba.
"Pergi lagi?"
"Ya. Salak yang kita lihat dulu pasti sudah masak sekarang..."kata Diki.
"Boleh...aku ambil HP dulu ya!"kata Rayan sambil berlari masuk ke rumah.
Diki mengangguk.
***
Di tengah perjalanan...
Ponsel di kantong celana Rayan tiba-tiba berdering. Rayan langsung mengecek siapa yang menghubunginya.
"Wanto...?"gumam Rayan sambil menempelkan ponsel ke telinga kirinya. "Halo Bro...!!"seru Rayan.
"Hey...Yan! Apa kabar Lu?!"
"Gue baik. Lu sendiri gimana?"
"Gue juga baik. Eee...Lu sombong banget sih? Gak pernah ngontak Gue..."
"He..he..."
"Keasyikan di desa ya...?"
"Ha...ha..."
"Uhm...Gue denger Tomy nyusul Lu ke sana ya?"tanya Wanto dengan nada hati-hati.
"Ya, baru aja dia gue usir dari sini, hihihi..."kata Rayan terkikik.
"Oh ya? Bagus deh, hahaha...gue khawatir banget dia bakal mempengaruhi Lu lagi..."tuding Wanto.
"Gak semudah itu Bro..."kata Rayan dengan nada malu-malu.
"Masalahnya Lu itu gampang banget jatuh cinta..."
"He..he..."
"Eh, lu kan udah ngusir Tomy. Eng...apa Lu udah gak ada lagi rasa ama doi atau...jangan-jangan lu udah kepicut sama yang lebih bening nih..."tebak Wanto.
"Umm...sebenarnya sih...iya,"kata Rayan pelan sambil melirik Diki yang berjalan gontai di sampingnya.
"Tuh kaaann...belum satu menit gue ngomong, udah jadi kenyataan! Siapa cowok yang udah bikin Lu jatuh cinta?"
Rayan kembali melirik Diki. Kali ini Diki melihatnya. Buru-buru Rayan membuang pandangan dan fokus kembali kepercakapannya sama Wanto.
"Eh, tapi Lu nanya apa?"tanya Rayan.
"Siapa nama cowok yang Lu taksir? Cowok kampung situ juga ya?"
"Eng...ya, orang sini juga..."jawab Rayan pelan.
"Ahay! Gila lu ya...cowok kampung lu embat juga! Emang dia punya kelebihan apa sih?"
"Akh, Lu belum lihat aja...seandainya lu ketemu dia, gue jamin deh lu gak bakalan bisa tidur tujuh hari tujuh malam!"
"Lebaaayyy...!!"
"Gue serius! Dia itu beda. Pintar, cool dan romantis...tis..tis..."
"Ha..ha...Ha...! Ya udah, langsung pacarin aja!"
"Gue sih pengennya kayak gitu. Sayangnya dia straight..."
"Aduuuhhh...kesiaaannn...."
"Tapi dia itu orangnya care banget lho To. Dia udah tahu gue gay, tapi biasa aja tuh..."
"Masa sih? Hebat banget dia!! Jarang-jarang lho orang mau terima kita, apalagi orang desa...salut gue!"
"He...he...apa juga gue bilang, dia itu beda.."
"Tapi bukannya bakalan jadi masalah bro, Lu menyukai cowok straight? Bisa-bisa Lu patah hati lagi nantinya..."
"Hmm...sebenarnya Gue sedikit bingung sama dia, To. Dia itu kok bisa care banget ama gue ya? Dan terkadang menurut gue, dia itu romantis banget. Dia gak mau tangan gue kena duri, dia selalu ngajakin gue berpetualang supaya gue bisa melupakan sakit hati gue, dan yang baru kejadian tadi malam, dia merelakan baju yang dipakainya buat gue, sementara dianya sendiri kedinginan. So sweet banget gak sih??"
"Wiiihh...jangan-jangan dia punya rasa sama Lu!"
"Nggak mungkin ah! Dia itu straight, To!"
"Lu yakin dia straight dari mana heh? Paling cuma tebak-tebak aja kan? Kalo menurut gue nih ya, dia PLU juga deh. Yaa..seenggaknya ada celah untuk bengkok ke arah sana, hahaha...! Coba lu pikirin, mana ada cowok normal yang care banget sama gay?"
Rayan terdiam. Secara spontan ia menatapi Diki.
"Kenapa?"tanya Diki.
"Eng..enggak!"jawab Rayan cepat sambil mengalihkan pandangannya.
"Lu coba aja dulu, Yan. Apa sih yang nggak buat lu?"timpal Wanto.
"Bukan Lu, To. Maksud gue...gue bukan ngomong ke Lu tadi..."terang Rayan.
"Ooo...hehehe..."Wanto terkekeh.
"Jadi menurut lu nih Bro, gue mesti ngapain buat ngebuktiin dia punya rasa ama Gue atau nggak?"tanya Rayan.
"Mudah kok. Dia kan udah tahu kalo Lu itu Gay. Jadi sekarang tinggal Lu tunjukin aja ke dia kalo Lu itu naksir sama dia..."
"Tapi gue takut To, ntar dia takut ama Gue dan ngejauhin Gue..."
"Prinsip Gue nih ya..., lebih baik baru dekat terus dia menjauh, dari pada udah menghabiskan waktu bersama, mengalami kenangan bersama..ee..terus dia pergi. Hayooo, Lu pilih yang mana? Semakin lama lu deket sama dia, semakin banyak kenangan yang tercipta, maka Lu akan semakin sulit melupakan dia dan hati Lu akan semakin sakit kalo dia tiba-tiba ninggalin Lu. Jadi mendingan Lu kehilangan dia sekarang dari pada entar-entar...IMHO, hehehe..."
"Lu bener juga, To. Gue gak mau terkatung-katung dalam ketidakpastian ini..."gumam Rayan.
"Maka dari itu, buruan bertindak dong! Taklukin tuh ehm..-"
"Namanya Diki,"sambung Rayan amat pelan agar Diki tak mendengarnya.
"Diki? Yup. Sepulang liburan ntar, Gue pengen kabar baik dari Lu sama Diki, okey?"
"Gak janji ah!"
"Aaa...lu gimana sih? Optimis dong ah!"
"Hhhhh...."
"Ya udah, burun lancarkan aksi Lu! Gue tutup ya!"pungkas Wanto.
"Ya...bye..."
"Bye..."
...
Rayan mengangguk sambil memasukkan ponselnya ke saku celana lagi.
"Ngomongin apa sih? Kok pake bisik-bisik segala?"tanya Diki.
Rayan tersipu.
"Gak enak buat diomongin..."
"Oohh.."desis Diki sambil mengangguk.
Mereka berdua akhirnya tiba di rumah Diki.
"Ayo masuk...!"ajak Diki.
"Aku tunggu di teras aja..."kata Rayan.
"Oke. Aku ke dalam dulu yaa.."
Rayan mangguk.
Tak berapa lama kemudian, Diki datang dengan membawa sebuah tas yang terbuat dari karung tepung yang sudah kusam.
Rayan mengerutkan keningnya. Karung itu sungguh mengganggu pemandangan menurut Rayan. Apalagi dengan santainya Diki menyelempangkan Tali tas karung itu ke dadanya.
"Kayak ospek aja..."gumam Rayan pelan.
"Ayo!"kata Diki.
Rayan mengangguk sambil berjalan mensejajari langkah Diki.
"Kita kemana? Melihat jerat atau ke tempat Salak dulu?" tanya Diki.
"Terserah kamu deh..."
"Kita ke tempat Salak dulu aja ya. Biar pulangnya nanti kita lihat jerat..."usul Diki.
"Oke..."
Mereka berdua berjalan menyusuri jalan setapak yang biasanya mereka lalui. Menyusuri aliran sungai menuju ke hulu hingga tiba di telaga yang menjadi tempat favorit Rayan.
"Kapan kita mancing lagi, Dik? Kayaknya ikannya udah banyak lagi deh..."kata Rayan sambil melompat dari satu batu ke batu yang lainnya.
"Kapan aja kamu mau..."
"Aku masih penasaran. Aku udah dua minggu lebih di sini. Apakah ikannya masih takut sama aku? Hihihihi..."canda Rayan.
Diki terkekeh.
Mereka berdua akhirnya berjalan memasuki belukar untuk menuju rumpun-rumpun salak hutan yang beberapa hari yang lalu mereka datangi.
Seperti perkiraan Diki, buah salak yang masih muda beberapa hari yang lalu itu, sekarang sudah matang. Rayan dan Diki langsung saja memetiknya dan mereka menaruhnya ke dalam tas kain yang disandang Diki.
"Oohh..ini toh alasannya kenapa kamu bawa tas kumal ini..."kata Rayan.
Diki mengangguk.
"Semua peralatan yang penting saat perjalanan selalu tersedia di sini.."terang Diki,
"Apa aja?"
"Pisau.., ketapel, tali, tembakau, garam..."
"Garam?"ucap Rayan sedikit heran.
"Iya...garam itu selalu aku bawa. Soalnya siapa tahu aja mau panggang buruan saat di hutan..."terang Diki.
Rayan mangguk-mangguk.
"Masuk akal juga..."gumam Rayan.
"Ya iyalah. Sesuatu yang kecil kayak gitu terkadang sangat dibutuhkan. Hanya saja kita sering melupakannya..."
"Kamu benar. Dari seratus orang yang sering keluar masuk hutan, kayaknya cuma kamu doang deh yang bawa garam, he...he..."
Diki tergelak.
Tidak terasa salak yang mereka petik sudah memenuhi setengah isi tas.
"Cukup Dik. Buat apa banyak-banyak?"ujar Rayan.
"Ya udah. Kalo gitu kita pergi lagi yuk..."
"Periksa jerat?"
"Sore ntar aja..."
"Terus kita kemana lagi?"tanya Rayan sambil melihat jam di layar ponselnya.
"Pukul berapa sekarang?"tanya Diki.
"Dua belas lewat."
"Wah masih siang. Kita jalan-jalan lagi yuk? Mau nggak jalan-jalan ke tengah hutan?"
"Ngapain?"tanya Rayan. Dalam otaknya terbayang tempat yang gelap, lembab dan menyeramkan.
"Kamu katanya mau berpetualang?"
"Tapi kok tempatnya serem amat...ntar kalau tersesat gimana?"
"Hahaha..nggak lah, Yan. Aku sama teman-teman sudah kenal betul dengan hutan ini. Bisa dibilang tempat bermain kami sehari-hari, hehehe..."
"Emang di dalam sana ada apa aja?"
"Yaa...banyaklah. Tumbuhan...binatang...air terjun...pokoknya asyik tempatnya. Kita juga bisa cari buah-buahan di sana..."
"Boleh..."gumam Rayan pelan.
"Gak usah takut selagi ada aku..."kata Diki sambil menepuk dadanya.
Rayan mencebikkan bibirnya.
"Ayo jalan! Ntar kita bisa menembak burung pake ketapel. Aku jago main ketapel lho..."terang Diki.
"Apa susahnya sih main ketapel..."cibir Rayan.
"Kamu bisa?"
"Bisa lah. Cuma gini doang kan..."kata Rayan sambil memperagakan orang bermain ketapel.
Diki terkekeh.
"Kalo cuma asal tembak aja sih, emang muda. Tapi bisa gak kena sasaran?"
"Kalo itu sih aku gak janji, hehe..."jawab Rayan sambil nyengir.
Diki tersenyum sambil geleng-geleng kepala.
Mereka berdua makin dalam masuk ke dalam hutan. Ternyata berada di tengah hutan seperti ini tidaklah seseram yang Rayan bayangkan. Justru romantis sebab terasa lagi travelling bareng pacar, hhe.
"Gimana, asyik kan?"
Rayan mengangguk.
"Apa juga aku bilang, pasti..."
"Karena sama kamu..."potong Rayan cepat.
Diki nampak menelan ludahnya. Ia tidak jadi meneruskan kata-katanya.
"Ehm..maksud aku, karena kamu itu kan anak kampung sini. Kamu pasti gak bakalan buat kita tersesat..."sambung Rayan.
Diki tersenyum lebar.
"Kamu bisa jadiin aku apa aja kalo sampai kita tersesat!"kata Diki lantang.
Rayan tertawa kecil.
"Yan, Coba kamu lihat itu!"teriak Diki sambil menunjuk ke sebuah dahan pohon.
"Apa?"
"Ada sarang burung..."
"Oh iya...kira-kira ada gak burungnya ya??"
"Bentar...aku cek dulu!"kata Diki sambil melepaskan tas karungnya lalu dengan cekatan menaiki batang yang pada salah satu dahannya bertengger sarang burung.
"Hati-hati, Bro!"seru Rayan.
Diki menangguk.
Hanya butuh beberapa detik bagi Diki untuk memanjat pohon tersebut. Sebentar saja ia sudah bertengger dan mengecek sarang tersebut.
"Ada Yan! Anaknya ada tiga ekor dan masih kecil-kecil!"seru Diki dari atas.
"Oh ya? Gue pengen lihat!"
"Naik aja..!"
Rayan pun naik. Meskipun dengan susah payah ia pun berhasil sampai juga. Kaos yang ia kenakan kotor terkena lumut yang menempel di batang.
"Batangnya licin banget..."gerutu Rayan.
Diki terkekeh.
Rayan mengelap kedua telapak tangannya yang kotor ke kaosnya. Tapi Diki malah memegang lengan Rayan. Ia melihat telapak tangan Rayan yang hijau kecokelatan karena lumut.
"Kenapa?"tanya Rayan heran.
"Tangan kamu gak lecet kan?"
Rayan buru-buru menarik lengannya dari genggaman Diki.
"Gak apa-apa kok!"jawab Rayan.
Diki menghela nafas.
"Kenapa sih kamu selalu berlebihan kayak gitu?"tanya Rayan sambil memperhatikan tiga ekor anak burung yang masih sangat kecil. Bahkan salah satu dari mereka matanya masih tertutup.
"Gak apa-apa..."
"Aku ngerasa gak enak hati selalu diperhatikan kayak gitu. Aku ini cowok dan kuat!"
"Aku tahu, Yan. Hanya aja kamu itu kan berbeda dengan aku... Dunia kamu itu bukan masuk-keluar hutan dan panjat pohon kayak monyet begini..."
"Aku tahu. Tapi bukan berarti aku gak bisa."
"Ya..maksud aku juga bukan meremehkan kamu, Yan. Tapi maksud aku baik kok. Aku gak mau kamu kenapa-kenapa..."
Rayan menghela nafas. Ucapan Diki barusan membuat Rayan bahagia sekaligus menyesakkan dada.
"Gue bisa jaga diri gue kok..."gumam Rayan.
Diki tersenyum tipis.
"Maaf ya kalo sikap aku ini bikin kamu gak nyaman..."
"Iya. Mulai sekarang aku pengen kamu memperlakukan aku kayak teman-teman kamu yang lain...gak usah melihat aku dari sisi berbeda. Jangan perdulikan latar belakang aku yang orang kota. Aku sudah jadi orang desa sekarang..."
"Oke..."kata Diki sambil memamerkan senyum indahnya.
"Yuk turun!"kata Rayan.
"Burungnya gimana?"
"Biarin aja mereka di sini. Gak usah diganggu. Kasihan...mereka masih kecil-kecil.."kata Rayan sambil menuruni batang pohon dengan hati-hati.
"Sekarang aku mau mengajak kamu mencari buah rotan,"kata Diki setelah mereka turun dari pohon.
"Rotan? Emang rotan itu berbuah ya?"
"Ya. Kamu gak tahu?"
Rayan geleng kepala.
"Nah kalo gitu yuk ikut aku! Aku akan tunjukin sama kamu gimana batang rotan dan buahnya itu..."kata Diki sambil menarik lengan Rayan.
Mereka berdua berjalan lebih cepat. Area hutan yang mereka lalui mulai bergelombang. Bahkan suhunya terasa semakin lembab. Aneka paku-pakuan begitu banyak bertebaran. Mereka tumbuh subur dengan daun yang lebar-lebar serta hijau.
Sesekali terdengar suara berdesis dan keretak ranting dari kiri-kanan mereka. Mungkin saja seekor ular yang tengah berjalan menembus semak-semak untuk mencari mangsa.
Jalan yang mereka tempuh mulai mendaki. Diki dengan lincah menaiki tebing-tebing yang mereka lalui seakan ia berjalan di tanah datar saja. Berbeda halnya dengan Rayan yang jelas kesulitan melewati tebing yang tanahnya basah dan licin itu. Ia berkali-kali harus meminta bantuan Diki untuk menyambut tangannya dari atas.
"Kita istirahat dulu aja ya..."kata Diki kemudian. Ia melihat keringat Rayan nampak berleleran di dahi mulusnya.
"Masih jauh nggak sih?"Tanya Rayan sambil mengelap keringat dengan ujung kaosnya.
"Kamu udah kecapean ya?"
"Maaf Dik. Ini pertama kalinya buat aku..."
"Gak apa-apa kok. Aku tahu. Makanya kita istirahat dulu..."
"Gue haus..."
"Aduuhh...aku lupa bawa air!"seru Diki sambil menepuk jidatnya.
"Gak ada air ya di sekitar sini?"
Diki berdiam sebentar.
"Kamu dengar ada suara air gak di sekitar sini?"tanya Diki.
Rayan geleng kepala.
"Artinya lembah atau sungai masih jauh dari sini..."
"Terus kita mesti cari air dulu ya...?"tanya Rayan lemas.
"Gak perlu kok..tunggu ya!"kata Diki sambil berjalan keluar sedikit dari jalan.
"Mau kemana?"tanya Rayan berjalan mengikuti.
"Aku mau potong akar itu dulu...kamu bisa minum airnya nanti..."kata Diki sambil menunjuk akar-akar sebesar lengan anak kecil yang bergelantungan di sebatang pohon besar nan rindang.
"Emang ada airnya?"
"Ada. Ayo kesini!"kata Diki sambil menebas belukar di kiri-kanannya agar Rayan bisa berjalan dengan leluasa.
Rayan mendekat sambil mendongak menatap akar-akar bergelatungan seperti yang kerap ia lihat di film Tarzan.
KRASSHH..!
Diki memotong salah satu akar dengan pisau kecilnya yang tajam.
"Ini..."kata Diki sambil memegang ujung akar yang tadi ia potong.
Rayan mendongak dan membuka mulut tepat di bawah ujung akar itu. Air yang jernih mengucur keluar. Rasanya sungguh segar membasahi kerongkongan Rayan yang kering.
"Masih mau lagi?"tanya Diki.
Rayan mengangguk.
Diki pun memotong satu akar lagi.
"Cukup..."kata Rayan sambil mengelap mulutnya dengan punggung lengannya.
Diki mengangguk, tapi ia memotong satu akar lagi untuk dirinya sendiri.
"Lanjut lagi jalannya?"
Rayan mengangguk.
Mereka berdua pun kembali menyusuri jalan yang tadi.
"Kalo di hutan, dijamin gak bakalan kelaparan deh..."kata Diki.
"Kita bisa makan buah-buahan, berburu binatang, makan dedaunan dan minum dari akar atau batang tumbuhan..."terang Diki.
"Gimana kita bisa tahu buah atau dedaunan itu gak beracun? Salah-salah bisa mati..."
"Kita bisa berpedoman sama binatang. Biasanya buah-buahan atau dedaunan yang dikonsumsi binatang, semisal Monyet nih..itu dipastikan aman buat dimakan manusia..."
Rayan mengangguk-angguk.
"Kamu tahu banyak banget ya..."
"He..he..ini kan dunia aku. Jadi aku tahu betul. Tapi kalo ngomongin kota, pasti kamu yang jagonya..."
Rayan tersenyum simpul.
"Kapan-kapan kamu harus ke kota, Dik. Biar aku yang gantian jadi guide kamu..."
Diki tertawa kecil.
"HEHH...aku gak tahu, Yan. Apakah pernah aku menginjak tempat yang bernama kota sepanjang sisa hidupku..."
"Ih, apaan sih...!"kata Rayan tak suka. "Kota itu terbuka untuk siapa kali..."
"Ya, tapi untuk ke sana itu nggak cukup modal jalan kaki toh?"
"Kita. Aku bisa bawa kamu ke kota..."
Diki terkekeh.
"Tapi aku gak yakin kamu akan suka di kota, Dik. Gak ada yang menarik di sana...gak bisa berpetualang kayak gini..."
"Emang tempat ini menarik? Gak ada hiburan, kotor, sunyi, banyak bintang buas..."
"Tapi aku suka kok!"potong Rayan.
Diki menatap Rayan lekat.
"Serius, aku menikmati semua ini..."kata Rayan lirih. "Mungkin karena...ah! Pokoknya aku suka!"pungkas Rayan. Ia hampir saja ingin mengatakan 'mungkin karena sama kamu, Dik!'. Tapi ia mengurungkan niatnya itu.
Rayan tiba-tiba berhenti. Sekarang mereka sudah berada di atas tebing. Di bawah mereka terdapat sebuah terbing terjal nan gelap dan lembab. Tanah hitamnya tidak lagi kelihatan karena tertutup perdu dan pepohonan. Dari satu dahan ke dahan lain terlihat monyet bergelantungan. Sementara dari kejauhan terdengar bunyi Siamang saling bersahutan.
"Hhh...udah berapa jauh kita berjalan, Fren?"tanya Rayan.
Diki memperhatikan sekeliling.
"Kita bentar lagi sampai ke Tempat Rotan itu, Yan. Hanya jalan beberapa menit lagi aja ke depan..."
Rayan mengambil ponsel dalam kantongnya.
"Sekarang udah pukul setengah tiga..."gumam Rayan.
"Benerkah? Kalo gitu kita mesti cepat nih..ntar pulangnya kita bisa kemaleman..."kata Diki.
"Ayo...gue gak mau kemaleman di tengah hutan kayak gini..iihhh..."kata Rayan sambil bergidik.
Setelah melalui perjalanan yang lama dan melelahkan [terutama bagi Rayan], mereka tiba di sebuah tempat yang banyak ditumbuhi batang berumpun dengan duri-duri panjang di permukaan kulitnya. Batang-batang dengan daun seperti kelapa itu menjulur hingga bermeter-meter. Rata-rata diameter batang itu sekitar 4-3 cm. Batang-batang berduri itu hidup diantara jenis paku-pakuan dan honje. "Ini dia yang namanya Rotan...biasanya umbut atau batang rotan muda ini dijadikan sayur. Sementara kalo sudah tua bisa dijadikan alat-alat rumah tangga..."
"Wah ternyata berat juga ya perjalanan untuk mencari rotan ini...wajar aja kalo harganya mahal..."kata Rayan.
"Sekarang ayo kita cari buahnya..."ajak Diki sambil menarik lengan Rayan. Mereka berdua berjalan menerobos pepakuan dan perdu lainnya.
"Aduh...!"rintih Rayan saat sesuatu menggores betisnya.
"Ada apa?"
"Gue kena duri nih..."kata Rayan sambil mengusap lukanya. Goresan kecil melintang terlihat mengelurakan darah di betisnya. Lumayan perih.
"Hati-hati Yan..."kata Diki memperingatkan.
Rayan mengangguk.
"Nanti kita obati yah..."kata Diki lembut.
Mereka pun kembali berjalan menerobos hutan Rotan lebih hati-hati.
"Nah, tuh dia...!"seru Diki sambil mengarahkan telunjuk.
Diki langsung mengambil buah itu, lalu mengupasnya. Sebagian lagi ia berikan pada Rayan.
"Ini...silahkan kamu cicipi..."kata Diki.
Rayan langsung mencobanya. Saat daging buah itu menyentuh lidahnya, Rayan mengernyit sedikit.
"Rasanya sepat..."komentar Rayan.
"Iya, memang begitu rasanya...Yang penting kamu udah gak penasaran lagi kan sama rasanya? Kamu juga udah tahu batang Rotan itu kayak gimana..."
"Iya. Cuma kalo yang sering dijadikan sayur itu bagian mananya ya?"
"Yang ini. Tapi bagian yang masih muda. Oh ya, kalo kamu haus, kamu juga bisa mengambil air dari batang Rotan ini karena pada batangnya mengandung air. Nanti ...."Diki tiba-tiba menghentikan ucapannya.
"Kenapa?"tanya Rayan.
"Sstt...ada burung tuh...."Bisik Diki sambil menunjuk ke arah
Rayan mengangguk-angguk.
"Aku sebenarnya pengen memperlihatkan ke kamu gimana caranya mengumbut Rotan. Tapi...(Diki mendongak ke langit)...sekarang udah jam berapa?"
Rayan melihat jam di Ponselnya. "Wah, udah jam empat lewat, Dik!"
"Udah sore banget ternyata! Kapan-kapan aja aku ajarin kamu cara mengumbut Rotan! Kita balik aja sekarang. Ntar kita kemaleman lagi..."
Rayan mengangguk.
Mereka berdua bergegas menyusuri jalan yang tadi mereka lewati saat pergi.
"Kita harus berjalan lebih cepat, Yan. Butuh waktu dua jam-an untuk sampai ke telaga..."
Rayan menghela nafas. Ia kembali membayangkan perjalanan panjang dan cukup berat yang tadi mereka lalui.
Sementara itu, mentari yang sedari tadi bersinar cerah, tiba-tiba meredup. Cuaca langsung berubah adem, bahkan bisa dikatakan sedikit dingin.
"Wah, jangan-jangan mau hujan nih..."gumam Diki saat ia mendongak ke atas dan melihat langit yang semula biru cerah mulai tertutup awan kelabu.
"Hah...jangan donggg..."kata Rayan. "Kalaupun mau hujan, tunggu kita sampai di telaga nanti aja deh..."
"Ayo, kita jalan lebih cepat lagi. Kalau kita kehujanan di sini, jalan yang kita lalui makin sulit. Bakal becek, licin dan terkadang ada pacet..."
"What?! Lu bilang apa barusan, DIK? PACET?!"teriak Rayan histeris.
"Iya. Kadang-kadang suka ada pacet..."
"Whoaaa....gue gak mau kena pacet! Kita lari aja yukk...!!"seru Rayan sambil berlari kecil mendahului Diki.
"Gak perlu, Yan! Ntar kamu kecapean sendiri..."
"Biar aku kecapean daripada digigit pacet!"
"Kamu tenang aja...aku bawa tembakau kok.."
"Tembakau? Buat apa? Emang pacet ngeroko juga?"ujar Rayan sambil tergelak.
"Pacet itu taku sama bau tembakau..."
"Ohh...gitu ya?"
"Kalo kamu pergi ke hutan, sawah atau rawa, jangan lupa bawa tembakau. Bau tembakau ini ampuh buat mengusir pacet dari tubuh kamu..."
"Dapat satu pengetahuan lagi nih..."kata Rayan sambil tersenyum.
"Hehe..ayo sekarang kita jalan lagi!"ajak Diki seiring dengan terdengar gelegar guntur dari langit.
"Ayo! Ayo! Sebentar lagi bakalan hujan beneran nih..!"
.....
Ketakutan Rayan dan Diki akhirnya datang juga. Tanpa aba-aba, bak ditumpahkan dari langit, hujan turun dengan derasnya.
"Oh Shit!"umpat Rayan kesal. "Akhirnya kita kehujanan juga..."
"Mau lanjut terus atau berhenti dulu?"tanya Diki.
"Berhenti? Di manaa...?"
"Berteduh dulu di bawah pohon..."
"Aku rasa itu bukan ide yang bagus, Dik. Hari udah sore dan kita masih di dalam hutan...mendingan kita terus aja deh..."
"Tapi kita bisa basah kuyup. Kalo kamu sakit gimana?"
"Gak usah mikirin yang macem-macem dulu deh! Kalo udah nangkring di rumah sih, udah bukan masalah lagi. Yang gue takut kalo kita terjebak di hutan ini. Mendingan gue sakit deh, dari pada bermalam di sini..."kata Rayan sambil bergidik. "Baru ngebayanginnya aja bulu kudukku udah merinding..."
"Ya sudah!"
mereja berdua terus melanjutkan menyusuri jalan pulang diiringi guyuran hujan lebat. Sementara itu hari mulai merambat gelap. Rayan dan Diki makin mempercepat langkah. Mereka tak perduli dengan jalanan yang licin. Bahkan beberapa kali Rayan tersandung, tapi ia langsung saja bangkit. Ia tak peduli lagi dengan memar ataupun lecet yang ia alami. Yang ada di otaknya saat ini hanyalah, go out from the forest. Ia tidak merasakan kelelahan saking bernafsunya ingin keluar dari hutan.
Semakin lama, jalan setapak sempit yang mereka lalui semakin becek dan licin saja. Rayan makin kesulitan melangkah, apalagi cuaca makin gelap. Ia semakin sering terpeleset.
Semuanya terlihat remang-remang. Bahkan langit nampak sangat kelam. Sementara itu hujan terus saja mengguyur bumi. Dedaunan rimbun yang bergoyang ditiup angin bak liukan hantu dalam kegelapan. Rayan menarik nafas dalam-dalam. Ia berusaha untuk tetap fokus pada jalanan gelap yang dilaluinya. Ia tak ingin berpikir macam-macam.
"Sekarang sudah jam berapa, Yan?"tanya Diki tiba-tiba.
"Akh!"desis Rayan sedikit terperanjat. "Kamu ngagetin aja..."kata Rayan pelan.
Rayan meraba kantong celananya dan..
"Oh sial! Handpone-ku basah, Dik!"kata Rayan sambil mengambil ponselnya.
"Masih hidup nggak?"tanya Diki.
"Masih...sekarang pukul tujuh kurang, Di..kk..."jawab Rayan dengan bibir bergetar.
"Kita gak mungkin terus jalan, Yan. Kita berhenti aja..."kata Diki.
"Berhenti? Nggak! Kita jalan aja terus..."kata Rayan gak setuju.
"Tapi Yan, jalanan makin gelap. Kita gak bawa penerangan apapun. Kita bisa tersesat..."
"Kita ikuti aja jalan yang tadi..."
"Dalam keadaan gelap kayak gini, apa yang bisa kita lihat?"
"Jadi kita harus tinggal di sini malam ini, heh?"
"Apa boleh buat..."
"Nggak ah! Gue gak mau!!"
"Jangan khawatir, Yan. Gak usah takut... Aku sering bermalam di hutan..."kata Rayan menenangkan.
"Tapi ini beda, Dik. kita gak merencanakan buat ngidap di sini, kita gak bawa perlengkapan, kita basah kuyup...kita mau tidur dimanaaa???"
"Kamu tenang aja. coba pinjem Hp kamu..."kata Diki.
Rayan memberikan ponselnya.
"Coba aku lihat dulu, sekarang kita sudah dimana? Di tengah hutan ini ada kebun Pak De ku. Beliau punya kebun muda di sini...kita bisa bermalam di pondoknya malam ini..."terang Diki sambil menerangi di sekitar tempat ia dan Rayan berdiri.
"Di mana kebunnya?"
"Uhmm...aku baru dua kali ke sana. Seingatku dari jalan yang kita gunakan ini, berbelok ke kanan setelah melewati dua kayu Medang...kira-kira sudah dilalui belum ya??"
"Yahh...mana gue tahu?! Kayu Medang aja aku baru denger..."
Diki menghela nafas berat.
"Kita ikut insting aja deh. Menurut kata hatiku, kita belum melewati Medang itu. Kita jalan terus aja..."kata Diki memutuskan.
Mereka berdua pun kembali meneruskan perjalanan.
Mereka berjalan dalam diam. Larut dalam pikiran masing-masing.
Sementara itu, hujan tak menunjukkan tanda-tanda akan berhenti.
"Biar Hp kamu sama aku dulu ya, Yan? Biar aku bisa melihat sekitar jalan kita..."kata Diki kemudian.
Rayan mengangguk dalam kegelapan.
Dugaan Diki ternyata benar. Setelah menyusuri jalan setapak nan gelap disertai tumpahan hujan yang tak kunjung reda, mereka berdua menemukan kayu Medang yang mereka cari.
"Makasih Gusti, Medang ini yang kita cari!!"seru Diki kegirangan sambil menunjuk sebatang kayu berdiameter 60 cm-lebih itu. Pohon itu nampak gagah di tengah kegelapan malam. Daunnya yang rimbun cukup kuat menahan hujan, sehingga tanah di bawahnya masih menyisakan tempat yang agak kering.
Diki menatap wajah Rayan yang nampak pucat.
"Sebentar lagi, Yan..."desis Diki sambil mengusap pipi dan bibir Rayan yang diguyur tetesan hujan yang dingin.
Rayan tak menjawab. Bibirnya terasa kelu dan bergetar meskipun sekedar untuk memberi jawaban "Iya".
Diki menarik lengan Rayan. Mereka berdua berbelok ke samping kanan dari pohon Medang itu. Meski samar dalam keremangan cahaya senter HP, tapi Rayan dapat melihat tanda-tanda jalan yang mereka tempuh cukup sering dilalui.
"Kamu masih kuat, Yan?"tanya Diki.
"Kenapa?"tanya Rayan lemah.
"Aku gendong ya?"
Rayan menggeleng pelan.
"Nggak apa-apa. Aku kuat kok. Biar sini aku gendong,"kata Diki sambil jongkok di depan Rayan.
"Nggak...us..usah.."tolak Rayan.
"Tapi..."
"Gak jauh lagi..kk..an?"
"Sebentar lagi kok..."
"Jalan llagi a..jjaahh..."
Diki mengangguk dan kembali berdiri.
Mereka berdua berjalan dalam diam.
Setelah berjalan melewati pepohonan lebat, mereka berdua berdiri di sebuah area dengan hamparan pepohonan setinggi dada dalam keremangan. Sementara saat mendongak ke atas, hanya langit kelabu yang disertai kilatan petir dan titik air yang berjatuhan yang mampu tertangkap mata.
"Kita sudah sampai, Yan..."kata Diki memberitahu.
Rayan menghela nafas lega.
Mereka berdua terus saja berjalan memasuki area kebun yang ditanami tanaman kopi itu. Beberapa meter dari tepi kebun, mereka akhirnya sampai pada sebuah bukaan yang cukup luas. Mereka melintasi sebuah halaman yang akan dijadikan tempat menjemur kopi untuk mencapai bangunan pondok yang berdiri diam menghadap halaman yang lumer oleh air hujan itu.
Rayan dan Diki menaiki tangga dengan tubuh sedikit gemetaran. Saat berdiri di depan pintu, Diki terdengar mengumpat kesal.
"Kenapa?"tanya Rayan khawatir.
"Aku lupa, pintunya dikunci..."jawab Diki pelan.
Rayan menghela nafas berat. Ia memandangi sekeliling. Teras yang mereka pijak cukup untuk berbaring untuk dua orang. Mungkinkah ia harus tidur di teras malam ini?
"Kamu tunggu dulu ya, aku coba ke belakang dulu. Mungkin kita bisa masuk lewat pintu belakang,"kata Diki sambil menuruni anak tangga.
"Akku..ik..kutt.."kata Rayan sambil berjalan membuntuti Diki.
Diki tak menyahut. Ia terus saja berjalan mengitari samping pondok untuk menuju pintu belakang.
Diki meraba-raba pintu belakang dan mendorongnya. Berharap pintu itu akan terbuka. Tapi usahanya sia-sia. Tapi ia tak mau berhenti mencoba. Ia mengarahkan senter HP Rayan ke arah sela-sela pintu. Lubang antara pintu dengan kusen sangat sempit. Ia tak mampu melihat di mana posisi kunci pintu.
"Gimana?"tanya Rayan.
"Sebentar Yan.."kata Diki. Ia berhenti sejenak dan berusaha memutar otak.
"Kita butuh sesuatu yang kuat dan tipis buat membuka pintunya, Yan..."kata Diki.
Rayan ikutan berpikir meskipun ia tak mengerti bagaimana benda yang dibutuhkan itu bisa membuka kunci pintu.
"Apa ya? Ranting gak bakalan muat..."gumam Diki lagi.
"Gimana kalo...pisau?"tanya Rayan.
"Aha! Pisau! Kamu benar, Yan!"seru Diki sambil berpaling ke arah Rayan dengan mata berbinar.
Rayan tersenyum.
Diki langsung mengeluarkan pisau kecilnya. Ia kemudian menyisipkan mata pisau yang tipis dan keras ke sela-sela pintu dan kusen. Ia menggerakkan pisau itu naik turun sampai pisaunya terganjal sesuatu.
"Sesuatu" yang mengganjal itulah yang Diki cari. Diki menggeser benda pengganjal itu ke atas sampai tersingkir dan pisaunya bisa leluasa begerak naik turun di sela pintu.
"Yeah!"desis Diki puas saat benda itu berhasil disingkirkannya. Ia lanyas mendorong daun pintu ke dalam. Tetap tak bergerak atau terbuka. Sepertinya masih ada satu kunci lagi di dalam sana.
Diki melakukan gerakan seperti yang pertama. Menyisipkan pisau kecilnya ke sela pintu sampai menemukan "pengganjal" yang lainnya. Setelah pengganjal kedua itu berhasil diatasi, daun pintupun terbuka dengan sendirinya.
"Gimana Dik?"tanya Rayan lagi sesaat setelah mendengar keriut pintu.
Diki mendekati Rayan yang berdiri di tangga. Ia mengelus pipi Rayan yang sembab sambil berucap, "kita berhasil membobolnya, Yan!"
Rayan tersenyum tipis.
"Ayo naik!"
***
preeettt! Vampir kali ah umur gak nambah2. Lu jd vampir umur 24? Dr taon kapan?? Skrg udh ratusaaann doong??? Hahaha @littlepigeon
Diki menyalakan kayu bakar di dapur. Kayu bakar yang kering dengan cepat langsung tersulut api. Sebentar saja apinya sudah membesar.
"ayu duduk di sini, Yan. Hangatkan badanmu..."ajak Diki sambil melepaskan kaosnya yang basah.
Rayan berjalan menghampiri tungku di perapian. Ia lalu berjongkok di samping Diki.
"Lepasin baju kamu. Kita jemur dulu biar besok kering..."kata Diki.
Rayan mengangguk sambil melepaskan kaosnya yang terasa melekat di badan.
diki mengambil kaos Rayan itu dan membawanya ke ruang tengah. Ia menjemur bajunya dan baju Rayan di sebuah tali jemuran dari nilon yang dibentangkan di antara sudut ruangan.
Setelah itu ia masuk ke kamar dan mencari baju atau apa saja yang bisa dipakai untuk menyalin celananya dan celana Rayan yang basah. Mereka berdua tidak mungkin mengenakan celana basah itu semalaman. Dan tidak mungkin juga melepaskan celana itu semalaman.
"Yan, lepas celana kamu,"teriak Diki sambil berjalan keluar kamar.
"Hah?"gumam Rayan. Ia ragu dengan ucapan diki barusan.
"Tapi kita kan gak ada celana cadangan?"tanya Rayan.
"apa kamu mau pakai celana basah itu semalaman? Kamu bisa masuk angin..."
"T-tapi...apa kita mesti bu..gil?"
diki terkekeh.
Rayan menelan ludah saat membayangkan ia berbugil ria bersama Diki di dalam pondok di tengah hutan malam ini.
"ya nggak laahh...aku udah mendapatkan sarung buat kita. Kita bisa pakai sarung ini dulu sementara pakaian kita dikeringkan.."terang Diki sambil melemparkan sebuah sarung kotak-kotak yang sudah mengkerut ke Rayan.
"cuma itu yang ada,"kata Diki sambil menggulung sarungnya di bawah pusar. Setelah itu ia duduk di samping Rayan yang nampak kebingungan mendapatkan sarung usang itu.
"Ayo, buruan dipakai. Ntar kamu masuk angin..."tegur Diki.
Rayan bangkit dan menuju ruang tengah. Ia melepaskan celananya dan melilitkan kain ke pinggangnya. Setelah itu ia kembali ke dapur.
"Kamu lapar nggak?"tanya Diki.
Rayan mengangguk. Setelah sudah berlindung dari guyuran hujan, ia baru menyadari perutnya terasa pedih karena sedari tadi belum diisi nasi.
"Tapi kita mau makan apa?"tanya Rayan. Tak ada satupun yang tertangkap matanya yang bisa dikonsumsi di dalam pondok ini.
"Uwak biasanya ada ubi keladi di bawah pondok. Aku cek dulu ya..."kata Diki sambil bangkit berdiri.
Rayan bermaksud bangkit juga.
"Kamu tunggu di sini aja Yan. Panaskan badan kamu. Biar aku aja yang ke luar,"cegah diki. Rayanpun manut saja.
Sepeninggalan Diki, Rayan mengambil HP-nya yang tadi tiba-tiba mati. Ia mencoba menghidupkannya. Tapi HP-nya tetap tak menyala. Rayan mendekatkan layar HP ke dekat api. Terlihat embun dari layar Hp-nya. Rayan menghela nafas. Hp-nya dipastikan sudah kemasukan air. Rayan tertawa lirih. Pastilah Hp-nya masuk air setelah diguyur hujan lebat sepanjang jalan tadi. Rayan menaruh Hp-nya di dekat dinding seiring dengan datangnya Diki dari luar.
"Hpku udah almarhum Dik. Masuk aer,"kata Rayan.
"Pastinya...gak heran deh. Besok kita bawa ke tempat service aja..."saran Diki.
"Kalo masih bisa dibenerin..."kata Rayan sambil mengangkat bahunya.
"Semoga aja masih bisa,"kata Diki.
Rayan tak menjawab lagi. Matanya justru terpaku sama apa yang ada di tangan Diki.
Ubi keladi berwarna hitam kecokelatan yang dibawa Diki nampak besar-besar.
"Itu mau diapain?"tanya Rayan.
"Di rebus aja..."
rayan mengerutkan keningnya.
"Emang gak gatel?"
"Nggak. Asal tahu caranya..."kata Diki tenang.
Rayan mangut-mangut.
Diki lantas mengambil baskom. Ia menadahkan baskom di luar agar terisi air hujan. Setelah cukup banyak ia mencuci bersih ubi keladi itu dengan air hasil tadahannya.
Melihat Diki yang langsung memasukkan ubi-ubi keladi itu ke dalam periuk, Rayan langsung berkomentar.
"Lho, nggak dikupas dulu Dik?"
"Nggak Yan. ribet. Cukup cuci bersih aja kulitnya setelah itu langsung di rebus..."terang Diki.
"Terus gimana makannya?"
"Kalo udah masak, gampang kok ngupas kulitnya."
Rayan mengangguk-anggukkan kepalanya.
Setelah ubi keladi itu dimasukkan dalam periuk dan di beri air, Diki kemudian menaburkan garam ke dalamnya.
Rayan mengernyitkan keningnya.
"Kenapa dikasih garam?"
"Biar gak gatal."
"Oh ya?"
Diki mengangguk sambil terus memperhatikan Diki yang menaruh periuk ke atas tungku.
Sambil menunggu rebusan Talas atau Keladi mereka matang, mereka berdua mengobrol di depan perapian sambil menghangatkan tubuh....
***
Setelah beberapa lama waktu berlalu....
Rebusan keladi yang mereka tunggu-tunggu akhirnya masak. Diki dengan sigap mengangkat periuk dari perapian. Rayan pun berinisiatif mengambil wadah berupa mangkuk ukuran sedang dan diberikannya pada Diki sebagai tempat menaruh rebusan Talas.
Diki mengambil sebuah dan menunjukkan pada Rayan bagaimana mengupas kulit keladi rebus itu.
"Wah gampang banget ya...kulitnya itu mengelupas sendiri..."gumam Rayan.
"Iya. Kalo kamu kupas saat masih mentah, tangan kamu bisa gatal.."
Rayan mangguk-mangguk.
"Kamu udah pernah makan Ubi Keladi, Yan?"tanya Diki.
"Kalo rebusannya sih belum pernah. Tapi kalo keripiknya sih sering..."
"Hehehe...malam ini terpaksa kamu ganjel perut kamu sama makanan desa ini,"kata Diki.
Rayan tersenyum dan meniup keladi yang masih panas tersebut. Setelah agak dingin, ia langsung melahapnya.
"Gimana rasanya? Enak nggak?"
"Hmmm..."Rayan tak bisa langsung menjawab. "Mungkin cita rasanya gak sebanding dengan makanan kota yang enak-enak. Namanya aja ubi keladi rebus..."terang Diki pelan.
"Enak kok. Rasanya pulen,"kata Rayan.
"Oh ya? Biasanya di sini penduduk menyantapnya dengan sambel..."
"Dengan sambel?"
Diki mengangguk. "Enak kok. Bisa dijadikan sebagai pengganti nasi. Bahkan ada beberapa jenis keladi budidaya yang enak banget buat disayur..."
"Iya aku pernah makan gulainya. Waktu itu...ehmm...talas Jepang kalo nggak salah,"potong Rayan.
"Ya. Sekarang memang sudah mulai dibudidayakan di sini."
sambil mengobrol, Rayan dan Diki terus menyantap rebusan keladi itu. Entah karena lapar atau rebusan keladi itu yang enak, yang jelas Rayan tampak lahap dan menikmati ubi Keladi yang masuk ke mulutnya.
Setelah kenyang, Rayan dan Diki beranjak ke kamar. Mereka tak tahu sudah pukul berapa. Hanya kesunyian semakin mencekam dan bunyi hujan hanya rintik-rintik saja.
"Kita cuma punya ini..."kata Diki sambil menggelar tikar usang ke atas lantai.
"Apa boleh buat..."
"Dan ini..."sambung Diki lagi sambil menaruh bantal lepek ke atas tikar.
"Cuma satu?"
Diki mengangguk.
"Biar kamu aja yang pakai,"kata Diki.
Rayan tak menyahut.
"Kamu udah ngantuk? Sebaiknya kita beristirahat dulu. Kamu pasti capek banget..."kata Diki.
....
Tengah malam Rayan terbangun.
Suasana benar-benar hening. Bahkan bunyi rintik hujanpun sudah tak ada. Hujan benar-benar sudah reda.
Rayan menggeliat. Tulang belulangnya berkeretakan. Rayan meringis saat merasakan otot-ototnya yang terasa kaku dan kram. Hawa dingin dan lantai yang keras cukup membuat Rayan menderita.
Rayan menoleh ke samping. Nampak Diki tertidur pulas. Wajah tampannya masih saja tampan dan bersahaja meskipun kelelahan. Desah nafas pelan terdengar beraturan dari hidungnya.
Rayan berganti posisi miring menghadap Diki. Ditatapnya lekat wajah lelaki yang dikaguminya itu. Dengan spontan ia julurkan tangannya ke arah wajah Diki, lalu mendarat ke pipi mulusnya.
Rayan mengelus pipi Diki lembut. Ada ketenangan yang menyapa hatinya saat kulitnya menyapu pipi Diki.
Tiba-tiba Diki membuka matanya.
Rayan tersentak dan langsung menarik lengannya dari pipi Diki.
"Yan...?"
Rayan pura-pura batuk untuk menutupi kegugupannya.
"Kamu belum tidur?"
"Aku...aku gak sengaja terbangun."
"Terus kamu ngapain tadi?"
"Aku? Gak ngapa-ngapain..."
Diki tersenyum.
"Terus tadi tangan kamu itu..."
"It..tuu...eng...aku..."
Diki lagi-lagi tersenyum melihat kegugupan Rayan.
"Kamu tadi mau cari kesempatan yaaa...."
"Apaan sih..."elak Rayan.
Diki mengacak rambut Rayan.
"Berani yaa....jangan macem-macem lho! Ambo lempar keluar gek [Aku lempar keluar nanti] hehehe..."kelakar Diki.
Rayan mangut-mangut.
"Ayo tidur lagi!"ajak Diki.
Rayan merubah posisi baringnya membelakangi Diki. Ia meringkuk bak Ebi. Ia berusaha kembali memejamkan matanya...
***
Entah sudah berapa lama waktu bergulir..., tapi sampai saat ini Rayan belum juga berhasil membawa pikirannya ke alam mimpi.
Pikirannya kacau. Ia sendiri bingung dengan kecamuk di hatinya. Pikirannya terpecah sehingga membentuk gumpalan yang tak beraturan. Begitu banyak komplikasi dalam pikirannya. Ia memikirkan keberadaannya saat ini, ia memikirkan kamarnya yang nyaman di kota, ia memikirkan tubuhnya yang letih, ia memikirkan Diki dan seribu pikiran lain yang membuat badan sekaligus hatinya begitu penat.
Rayan menarik lehernya ke arah Diki dengan pelan. Saat melihat kedua kelopak mata Diki yang tertutup rapat, Rayan mendesah. Ia iri dengan Diki yang bisa melelapkan dirinya dengan damai malam ini. Seakan-akan tubuh itu tak peduli dengan hawa dingin yang menggigit serta kepenatan yang menyerang. Tinggal di desa dengan segala kesulitan dan rintangan, sepertinya membuat raga lelaki di sampingnya itu tetap prima di segala situasi.
Ingin sekali rasanya Rayan menyentuh otot-otot lengan Diki yang gempal itu. Sayangnya ia takut akan ketangkap basah lagi untuk kedua kalinya. Jadinya ia berusaha menahan diri dengan segenap hasrat di dada.
***
Diki sebenarnya tak sepenuhnya terlelap. Ia juga merasakan kepenatan di sekujur tubuhnya. Hanya saja kesulitan hidup membuatnya tak mau memanjakan diri. Apalagi sekarang ini ia merasa bertanggung jawab atas diri Rayan yang nampak gelisah di sampingnya. Ia tahu pasti Rayan sangat tersiksa malam ini. Biasa hidup serba mewah dan selalu tidur di ranjang yang empuk dengan selimut hangat membungkus tubuh, pastilah tidur beralaskan tikar usang di lantai yang keras dan hawa dingin yang menusuk tulang sudah terasa di Neraka bagi Rayan.
Diki menghela nafas pelan. Ia berusaha menghembuskan nafas setenang mungkin. Ia tak ingin Rayan tahu apa yang sedang dipikirkannya. Jujur, Diki merasa malu pada Rayan. Sebagai teman ia tak mampu membahagiakan Rayan. Bukannya membuat Rayan kegirangan, tapi justru ia membuat Rayan menderita malam ini. Ada kekhawatiran melingkupi benak Diki. Ia takut Rayan tak bisa bertahan dalam cuaca yang tak bersahabat malam ini. Ia takut Rayan jatuh sakit di tengah malam yang jauh dari rumah penduduk. Apa yang harus ia lakukan seandainya kondisi Rayan drop di tengah hutan seperti ini?
Diki menutup kedua matanya rapat-rapat, berusaha menghilangkan pikiran-pikiran buruk di benaknya. Ia berusaha meyakinkan diri kalau semuanya akan baik-baik saja. Ia yakin Rayan mampu bertahan sampai besok pagi. Apalagi sampai detik ini lelaki kota itu tak mengeluh apa-apa.
Diki membuka matanya sedikit dan melirik ke arah Rayan. Ia ingin memastikan apakah dia baik-baik saja.
Diki sedikit terkejut saat matanya bertemu dengan mata Rayan yang kebetulan tengah menatap ke arahnya.
Diki pura-pura berganti posisi tidur lalu membuka matanya lebar-lebar. Rayan yang kelihatan bengong langsung terperanjat dan spontan mengucek matanya.
"Belum tidur juga, heh?"tegur Diki.
Rayan geleng kepala.
"Kenapa?"
"Aku gak bisa tidur..."
"Pasti karena tempat tidurnya dak [nggak] nyaman ya?"
"Entahlah..."
"Maaf Yan, seharusnya aku dak ajak kamu ke sini. Jalan-jalan ke hutan benar-benar ide yang buruk,"kata Diki dengan penuh penyesalan.
"Aku senang kok, Dik..."bantah Rayan.
"Kamu senang? Masa bermalam di gubuk reyot di tengah hutan kayak gini kamu senang..."
Rayan terkekeh.
"Jujur, ini cukup sulit buat aku. Tapi ini berkesan banget,"kata Rayan. "selama ini aku selalu bisa tidur di tempat yang layak sehingga aku gak pernah membayangkan ada orang lain yang tidur di tempat seperti ini. Tapi malam ini aku punya pelajaran baru. Ternyata di luaran sana ada orang lain yang hanya keadaannya jauh di bawah aku. Aku jadinya bersyukur banget, aku merasakan sakit dan kedinginan ini hanya malam ini saja. Besok-besok aku masih bisa tidur di kamarku yang nyaman. Tapi mereka? Mereka gak tahu harus sampai kapan tidur beratap langit, tidur di emperan, di bawah jembatan..."
"Tak semua orang bisa seberuntung kamu, Yan. Jadi syukurilah dan manfaatkanlah keberuntungan itu sebaik-baiknya..."
Rayan mengangguk.
"Semua orang punya keberuntungan masing-masing. Kamu juga beruntung memiliki tubuh yang selalu prima..."kata Rayan sambil menunjuk dada Diki.
"Haha...keadaan yang menempa tubuh aku kayak gini. Kalo tubuh gak kuat, mana bisa bertahan di tengah alam yang keras begini..."
"Ya. Gak kayak aku yang baru merambah hutan aja, udah hampir tepar..."
"Kamu kuat kok. Daya tahan tubuh kamu kuat. Buktinya meski kehujanan dan kedinginan gak apa-apa kan?"
"Kamu aja yang gak tahu..."
"Jadi kamu sakit?"tanya Diki terdengar khawatir.
"Nggak, nggak..!"ralat Rayan cepat.
"Tadi kamu bilang..."
"Aku cuma merasa capek dan kedinginan aja. Wajar kan? Itu kok..."
"Akh, aku pikir kamu sakit..."
"Tapi kalo lama-lama kayak gini bisa sakit juga..."kata Rayan sambil nyengir.
"Semoga aja sekarang udah Subuh..."kata Diki.
"Emangnya kenapa?"
"Biar kita bisa cepat-cepat pulang dari sini. Aku gak mau kamu sakit di sini..."terang Diki.
"Ugh, kalo di rumah boleh gitu?"
"Yaa...hehehe..."
"Mau sakit di sini atau di rumah, kamu harus tanggung jawab!"gerutu Rayan.
"Kalo sudah keluar dari lingkaran hutan, itu sih bukan tanggung jawab aku lagi,"elak Diki.
"Tapi kan kamu yang..."
Ucapan Rayan terpotong dengan gerakan Diki yang tiba-tiba langsung menarik kepala Rayan dan ditidurkannya di atas lengannya.
Jantung Rayan langsung berdebar tak karuan. Ia meyakinkan diri kalau saat ini ia tengah tidur berbantalkan lengan Diki bukanlah sebuah mimpi.
"Dik..."
"Heh?"
"Kamu..."
"Kenapa? Kamu suka kan?"
Rayan tak menjawab.
"Kamu bilang kalo kamu kedinginan. Aku bisa nggak menggantikan selimut tebal kamu itu? Cukup hangatkan?"
"Diki, apaan sih...aku nggak semurahan itu,"kata Rayan sambil menjauhkan kepalanya dari lengan Diki.
"Aku bakal ngelakuin apa aja asal kamu gak sakit. Aku gak mau kena omel sama Wak Haji..."kata Diki.
"Jadi karena gak mau kena omel nih?"
"Kata kamu aku harus tanggung jawab."
"Ya udah kalo kamu maksa,"kata Rayan malu-malu sambil meletakkan kepalanya ke lengan Diki lagi.
"Siapa yang maksa..."
Rayan terkekeh.
Rayan lalu menempelkan wajahnya ke dada bidang Diki. Ia mencium wangi tubuh Diki yang khas. Alami dan membangkitkan gairah.
Rayan memejamkan matanya, ribuan fantasi nakal berseliweran dalam benaknya. Rayan tak menyangka ia akan mendapatkan kesempatan sedekat ini bersama Diki.
Sementara itu, melihat sikap Rayan yang lebih bersemangat, membuat Diki semakin kebingungan. Ia tahu sikap manisnya pada Rayan malam ini, tentu sangatlah didambakan Rayan. Ia bisa merasakan kalau Rayan memiliki ketertarikan padanya. Ia sebenarnya tak nyaman tidur sedekat ini dengan Rayan yang seorang pria. Tapi ia berinisiatif melakukan ini semata-mata untuk memberi sedikit kebahagiaan pada Rayan yang sudah menderita akibat ulahnya. Ia tak tahu bagaimana caranya agar Rayan tetap bisa tenang di tengah hutan seperti ini, sampai timbul ide gila dibenaknya untuk membiarkan Rayan merabahkan kepala di atas dadanya. Diki bukan tak sadar jika langkah yang ia ambil bisa saja membawa masalah baru. Sikap manisnya ini bisa saja diartikan lain oleh Rayan. Rayan bisa saja menduga ini adalah sebuah pertanda kalau Diki sudah bisa membuka hatinya untuk Rayan...
Diki makin pusing dibuatnya. Ia menatap wajah Rayan yang nampak damai tidur di atas dadanya. Rayan terlihat begitu bahagia. Sampai-sampai dalam tidurnya, bibir tipis pucatnya mengembangkan sebuah senyuman kecil.
Terbesit rasa bersalah di benak Diki. Ia sudah memberi harapan kosong pada Rayan. Seharusnya ia tak memberikan celah sedikitpun untuk Rayan. Ia takut nanti Rayan akan kecewa. Ia tak mau Rayan merasakan sakit hati untuk kedua kalinya, sebagaimana yang sudah ditorehkan Tomy dahulu...
***
Gila.
Ini benar-benar Gila.
Bukannya terlelap dalam pelukan sang mimpi, justru Rayan merasakan sesak bersentuhan dengan Diki. Ia berulangkali berusaha mengosongkan pikirannya, tapi justru imajinasi-imajinasi futuristik terus menerus memenuhi rongga kepalanya.
Jujur, tidur berbatalkan dada Diki membuat Rayan sesak nafas. Bukan karena asma, tapi karena Rayan tak berani bergerak, bahkan menghembuskan nafas keras sekalipun. Ia jadi salah tingkah sendiri. Ia benar-benar seperti fans fanatik yang bertemu dengan idolanya. Bisanya cuma terpaku dengan ekspresi dan tingkah laku aneh. Persis seperti itulah Rayan. Bahkan dua tangkup bibirnya sudah terasa kaku karena terus dipaksa "senyum" agar mukanya nampak makin indah dipandang Diki.
Ini siksaan. Rayan ingin sekali merebahkan kepalanya di lantai saja dan tidur membelakangi Diki. Ia ingin menghirup udara sebanyak-banyaknya untuk mengisi paru-parunya yang serasa ingin meledak.
Tidak hanya itu, wangi tubuh Diki yang maskulin benar-benar membuat Rayan gila. Semakin dalam ia mencium aroma tubuh itu, semakin bernafsu saja ia jadinya. Hal inilah yang membuat Rayan dilema. Ia ingin menjauhi tubuh Diki, tapi di sisi lain ia ingin tetap menikmati wangi tubuh itu apapun taruhannya.
***
"Maaf Yan..."desis Diki.
Rayan langsung membuka mata.
"Buat apa?"
"Kamu belum tidur?"
Rayan tersipu.
"Aku gak bisa tidur..."
"Jadi dari tadi kamu nggak tidur?"
Rayan mengangguk.
"Terus ngapain kamu masih aja di dada aku?"
Rayan menelan ludah.
"Maaf..."desis Rayan sambil mengangkat kepalanya dan bangkit dari posisi berbaringnya. Kali ini ia bersender di dinding dan memeluk lutut.
Dada Rayan berkecamuk dan merasa sangat malu.
"Aku gak bermaksud..."
"Aku yang seharusnya...
Keduanya terdiam. Membiarkan yang lain berbicara lebih dulu.
"Maksud aku, aku tadi bercanda. Kamu jangan tersinggung ya..."kata Diki akhirnya.
"Bukan masalah..."desis Rayan sambil menahan rasa sakit di hatinya.
Mereka berdua kembali terdiam. Rasa canggung menguasai keadaan yang sudah kaku itu.
Rayan memalingkan mukanya ke arah sudut kamar, menatap dinding yang membisu. Hatinya masih terasa perih dengan ucapan Diki barusan. Entah kenapa, serasa ada ribuan balok es yang mengguyur hatinya. Apakah karena ia yang sudah berangan terlalu jauh saat Diki membiarkannya tidur di dadanya sehingga saat ia menyadari kenyataan bahwa Diki tetap tak berubah, sehingga dirinya terhempas.
Sebutir air mata jatuh. Rayan tak bisa menahannya. Ia terasa sangat malang sekaligus bodoh menghadapi kenyataan yang ada.
Diki menoleh sesaat setelah mendengar isak tertahan dari Rayan. Pria kota yang memalingkan wajahnya itu tengah menangis.
"Yan..."
Rayan tak menyahut. Ia berusaha menghentikan tangisnya. Dalam hati ia merutuki dirinya yang lagi-lagi melakukan tindakan konyol. Kenapa juga ia harus menangis sampai ketahuan oleh Diki?
"Yan, jangan nangis..."kata Diki sambil menggenggam pergelangan tangan Rayan.
Rayan memejamkan matanya kuat. Berusaha menahan laju air matanya yang terus ingin keluar.
Diki beringsut duduk di samping Rayan. Ia memegang bahu Rayan.
"Kenapa nangis? Aku bingung..."kata Diki polos.
Rayan tak menyahut.
"Aku bikin kamu tersinggung ya? Aku tadi cuma bercanda kok. Kamu boleh kok tidur di dada aku lagi..."
Mendengar ucapan Diki, tangis Rayan yang tadi mereda, kembali membanjir. Entah kenapa, ia merasakan ucapan Diki barusan telah menjungkirbalikkan harga dirinya.
Sementara itu, Diki yang berharap ucapannya akan meredam tangis Rayan, tapi ternyata yang ia dapatkan sebaliknya, membuat ia makin belingsatan.
"Aduh..., aku salah lagi ya...?"gumam Diki.
"Kenapa lu harus ngelakuin yang lu gak suka?! Gue gak pernah meminta lu supaya bersikap manis ke gue!"seru Rayan memuntahkan kemarahannya.
"Yy..yan..."
"Apa yang lu harapkan dari perlakuan lu barusan? Lu udah membuat gue seperti memenangkan doorprize, tapi semenit kemudian nama gue diralat karena salah panggil! Lu bisa bayangin rasanya kayak gimana?! Gue malu, kesal..."
Diki terdiam mendapati kemarahan Rayan.
"Sekarang...lu udah tahu semuanya...lu udah bikin gue malu dua kali!! Lu udah mempemainkan perasaan gue dan lu juga udah ngebuat gue mengungkapkan perasaan gue ke lu kayak gimana...SALUT!"
Diki tak mampu berkata-kata. Rayan benar-benar marah. Persis saat ia memaki-maki Tomy beberapa waktu lalu.
"Plis, perlakukan gue sama kayak lu memperlakukan teman-teman lu yang lain. Gue gak selemah yang lu pikir. Meskipun gue lemah juga, gue gak akan nunjukin itu."
"I..iya..."jawab Diki terbata-bata.
"Dan satu lagi, kalau Lu gak ada sedikitpun rasa buat cowok, terutama gue, berhenti bersikap manis kayak tadi. Gue muak mengingatnya!"
Diki menelan ludah.
Rayan beringsut kembali berbaring dengan tubuh menghadap dinding. Hatinya benar-benar kecewa dan terluka...
Suasana terasa lebih hening...
Diki yang merasa amat menyesal telah memperkeruh keadaan tak bisa menenangkan pikirannya barang sedetikpun. Ia benar-benar tak menyangka semuanya akan menjadi bertambah kacau. Ia bingung bagaimana agar Rayan mau memaafkannya dan melupakan kejadian ini.
Sementara itu, Rayan mulai merasakan kantuk menghinggapi pelupuk matanya. Apa karena pikirannya sudah benar-benar penat atau justru karena sudah menumpahkan segala kekecewaannya, sehingga otaknya butuh istirahat barang sejenak untuk melupakan kejadian buruk malam ini. Ia pun akhirnya berhasil membawa jiwanya terbang ke alam mimpi...
¤¤¤
Diki tidur di samping Rayan yang tertidur cukup pulas. Ia sebisa mungkin bergerak tanpa membunyikan suara. Ia tak mau mengganggu Rayan.
Setelah insiden kemarahan yang dimuntahkan Rayan beberapa saat yang lalu, Diki merasa sungkan pada Rayan.
Tidak hanya itu, ia juga merasa jauh dengan Rayan. Mungkin karena canggung sehingga ia merasakan seperti ada jarak di antara mereka.
Diki menatap wajah Rayan lekat. Masih tergurat kemarahan di sana. Dari lubuk hatinya, ingin sekali Diki mengusap wajah itu untuk menghilangkan kemarahannya.
Diki mengulurkan tangannya ke arah wajah Rayan. Hembusan nafas Rayan yang hangat menyapu punggung tangannya.
Jari-jari Diki gemetaran saat ujung jari tengahnya menyentuh kulit Rayan yang lembut. Ada gemuruh yang mengemuka di dalam dadanya.
Diki menarik lengannya cepat. Ia merasakan seperti ada mata-mata yang mengintip dari sela dinding.
Diki menghela nafas kuat. Ada degup kencang di dadanya. Ada perasaan tak biasa menghinggapi hatinya. Rasa yang menerbitkan rasa malu di dirinya sendiri.
Diki mengusap wajahnya. Degup jantungnya mulai mereda. Hatinya kembali tenang. Amehnya, muncul lagi keinginannya untuk mengusap wajah Rayan. Ia merasakan ketenangan saat jarinya menyentuh kulit lembut itu sesaat tadi.
Diki kembali memberanikan diri mengulurkan lengannya ke wajah Rayan. Kali ini ia bertekad ingin menyentuh kulit itu lebih lama. Bahkan ia ingin menyapu bawah mata Rayan yang lembab.
Degup di dadanya kembali bergemuruh. Tapi Diki berusaha untuk mengabaikannya. Ia menempelkan kelima jari tangan kanannya ke atas pipi Rayan.
Seulas senyuman menyungging dari bibir Diki. Ia merasakan perasaan sayang keluar dari lubuk hatinya. Ia menyayangi Rayan.
Waktu yang sudah terjalin selama bersama Rayan kembali tergelar dalam benak Diki. Selama ini ia selalu membantu Rayan, mengajak Rayan jalan-jalan, melindungi Rayan, berusaha menunjukkan hal-hal yang menurutnya menakjubkan dan mampu membuat Rayan tersenyum dan khawatir akan kesehatan Rayan. Tidak hanya itu, ia juga merasakan kesedihan saat Rayan memarahinya. Sekarang Diki baru menyadari bahwa semua yang sudah dilakukannya pada Rayan tak lain adalah ungkapan rasa sayang. Iya, rasa sayangnya pada pria kota itu,,,
Aliran kenangan yang baru saja berlalu itu, membuat Diki sedikit terbawa lamunan. Sehingga ia pun tak menyadari saat Rayan bergerak dan terbangun. Rayan kebingungan mendapati posisi telapak tangan Diki yang menempel di wajahnya...
"Dik..."gumam Rayan sambil memegang telapak tangan Diki.
Diki terperanjat. Ia buru-buru menarik lengannya.
Rayan langsung bangun dari tidurnya. Ada detak aneh dalam dadanya.
"Kamu tadi kenapa?"
Diki geleng kepala.
"Kenapa kamu taruh tangan kamu ke muka aku?"kejar Rayan.
"Gak ada apa-apa."
"Gak mungkin!"
Diki menghela nafas dengan gugup. Rasa malu melingkupi benaknya.
Sementara itu, Rayan terus menatap wajah Diki dengan pandangan menyelidik.
Diki jadi salah tingkah dibuatnya. Ia pun langsung berdiri dan berjalan ke luar kamar.
Melihat sikap Diki yang aneh dan sedikit gugup, membuat Rayan semakin penasaran. Ia pun berjalan membuntuti Diki.
"Kenapa nggak tidur lagi?"tanya Diki sambil menyusun kayu di perapian. Ia bermaksud ingin menghangatkan tubuh sebagai upaya menghindari Rayan.
"Aku gak ngantuk lagi."
"Oh.."desis Diki sambil menumpahkan sedikit minyak tanah ke atas tumpukan kayu lalu menyalakannya.
"Kamu sendiri kenapa gak tidur?"
"Sama kayak kamu, gak ngantuk."
"Terus saat aku tidur tadi, kamu ngapain?"selidik Rayan.
"Dakdo...[Gak ngapa-ngapain]".
Rayan mangut-mangut.
"Sekarang udah pukul berapa ya...?"gumam Diki berusaha mengalihkan pembicaraan.
"Gak tahu. Handphone aku juga udah rusak,"kata Rayan sambil menunjuk HP-nya yang tergeletak di pinggir perapian.
"Malam terasa lebih panjang..."desis Diki.
Rayan tak menyahut.
Mereka berdua membisu...
"Ehm...,"Rayan berdehem untuk memecah kebisuan.
Diki menoleh.
"Jadi kamu tetap gak mau kasih tahu nih?"
"Kasih tau apa?"
"Tadi."
"Apa sih..."
"Plis, kenapa tadi tangan kamu ada-"
"Gak ada apa-apa!"potong Diki.
"Mustahil..."
"Udah ah, malas ngomongin itu!"seru Diki sambil bangkit dan berjalan meninggalkan dapur.
Rayan menghela nafas kesal. Ia menatap siluet tubuh Diki yang sekejap menghilang di balik dinding.
"Gak mungkin kalo gak ada. Kenapa dia mesti menghindar kek gini coba?"gumam Rayan pada diri sendiri.
"Haduh, gue cuma pengen tahu aja. Apa dia punya perasaan ke gue?"sambung Rayan bertanya-tanya.
"Ah, mendingan gue pake cara lain. Sedikit frontal gak apa-apa deh...!"gumam Rayan lagi sambil beranjak pergi menuju kamar.
Sesampainya di kamar...
Rayan mendapati Diki tengah berbaring dengan berbantalkan lengannya. Tubuhnya membelakangi Rayan sehingga ia hanya bisa melihat lekuk tubuh Diki yang sempurna.
Rayan menghela nafas sejenak untuk mengumpulkan kekuatannya.
“Well, gue Cuma bergantung pada keberuntungan…”gumamnya dalam hati.
Rayan lantas berbaring di samping Diki. Tidak hanya berbaring biasa, tapi Rayan berbaring dalam posisi yang sama dengan Diki. Ia lantas menaikkan betisnya ke paha Diki dan mengalungkan lengannya ke badan Diki.
Terang saja Diki bereaksi dengan tindakan intim Rayan tersebut. Ia menoleh dengan tatapan gusar.
“Rayan…!”ucap Diki sambil mendorong tubuh Rayan menjauh. Tidak hanya itu saja, ia juga beringsut ke sudut kamar. “Aponyo kau nih…(Apa-apan sih kamu!) !”
Rayan menghela nafas berat.
“Kenapa?”tanya Rayan dengan nada frustasi.
“Kamu mau ngapain?”
“Aku? Aku Cuma pengen tahu apa yang kamu rasain…”jawab Rayan sambil menysir rambut dengan jemarinya.
“Aku nggak ngerti…”
“Shit! Lu selalu gitu! Ngeles….”potong Rayan kesal.
“Ambo la kecek kan, aku ni bukan…(Aku kan sudah bilang, kalau aku ini bukan..)”
Ucapan Diki seketika berhenti saat ia dibungkam Rayan dengan pagutan hangat.
Diki terbeliak. Ia tak menyangka Rayan berani melakukan itu padanya. Ia pun langsung mendorong tubuh Rayan keras hingga membentur dinding penyekat antara kamar dan ruang tamu.
Rayan meringis kesakitan sambil memegangi kepalanya yang membentur kusen pintu.
“Seak* kau! Kurang ajar kau!”bentak Diki dengan tatapan ganas.
Rayan yang terduduk di lantai menatap mimic kemarahan Diki dengan tatapan nanar. Ia tak menyangka Diki yang selama bersamanya selalu terlihat lembut dan penyabar, bisa bertransformasi menjadi sedemikian buas dan nampak beringas.
“Ndak apo kau?!”bentak Diki lagi sambil menarik kaos Rayan.
Rayan menatap manik mata Diki dengan mata berkaca-kaca.
Jujur, yang ia rasakan saat ini bukanlah ketakutan Ia tak peduli Diki akan memukulinya hingga mati di tengah hutan dalam gubug reyot ini. Bahkan bagi Rayan itu mungkin lebih baik. tapi yang ia rasakan justru kekecewaan. Entah kenapa, begitu besar rasa kecewa yang menghantam hatinya saat ia melihat percikan amarah di dalam bola mata Diki yang hitam. Rayan merasakan hatinya begitu kosong. Kosong karena ia menyadari Diki tak memiliki rasa apapun untuknya. Dan kenyataan ini membuat air mata Rayan tak mampu dibendung.
“Bangun!!”titah Diki.
Rayan bangun dengan tertatih. Benturan di kepalanya masih menyisakan pusing yang mendera. Rayan berusaha menapikkan semua itu. Bahkan ia membiarkan air matanya terus menetes ke pipi.
“Kenapa kamu mencabik harga diri aku?!”teriak Diki.
Rayan bergeming. Bahkan isakan tangis pun ia tahan.
“Kamu pikir aku ini apa? Kamu pikir kamu bisa memperlakukan aku sesuka kamu??”
“Dik…aku…harga diri aku yang tercabik di sini. Bukan kamu!”kata Rayan disela isak tangisnya.
“Siapa yang mencabiknya? Apakah aku yang udah mencabiknya?”tanya Diki.
Rayan terdiam.
“Aku ingin menghibur kamu. Tapi tolong hormati aku…”pinta Diki.
Rayan menyeka air matanya.
“Jangan samakan aku dengan teman-teman kota kamu…”
“Maaf…tapi, aku mohon, beri sikap yang jelas ke aku.”
“Sikap seperti apa?”
“Kamu tidak suka aku kan?”
“Aku tidak membenc…”
“Bukan itu. Maksud aku apakah kamu menaruh rasa ke aku?”
“Kenapa kamu tanya itu? Aku gak suka.”
“Ini penting buat aku.”
“Aku…”Diki menggantung kalimatnya, tapi kemudian menggeleng pelan.
Rayan tersenyum hambar dalam kepedihannya.
“Thank you. Ini jawaban yang gue inginkan meskipun gak gue harapkan. Sekarang gue tahu kalau apa yang bercokol dibenak gue salam ini salah besar! Gue menaruh hati pada orang yang salah. So, tolong Bantu gue membuang cinta ini…”
“Bantu apa?”
“Jangan kasih perhatian ke gue. Semua perhatian lu itu membuat gue selalu diliputi harapan semu…”jawab Rayan sambil melepaskan cengkeraman Diki dari kaosnya. Setelah itu ia berjalan keluar sambil memegangi kepalanya.
Diki pun terpaku di tempatnya. Ia tak juga bergerak meskipun suara langkah kaki Rayan di lantai sudah tak terdengar.
Note : seak = pen*s
**
***
Rayan termenung di depan perapian yang menyala terang. Hatinya begitu ringan sekarang. Hatinya kosong. Hatinya kering. sekering kayu-kayu bakar yang dilahap oleh api di perapian.
Ya.
Rayan merasa ia tak ubahnya dengan kayu-kayu bakar itu. Ringan dan mudah terbakar. Ia tak berdaya melawan sengatan api. Perlahan-lahan ia akan menjadi arang. Hitam dan terkungkung di perapian.
Sebutir air mata kembali jatuh di pipi Rayan yang mulus. Kali ini yang keluar adalah air mata penyesalan. Ia menyesali semua tindakan cerobohnya. Ia sudah menghacurkan persahabatnnya sendiri. Ia sudah membuat Diki marah. Secara tidak langsung ia baru saja mencoba memperdaya lelaki desa itu.
Rayan meremas kepalanya dengan kesal. Ia benci kenapa penyesalan selalu datang terlambat.
Sementara itu, Diki nampak termenung dengan tubuh disandarkan ke dinding. Wajahnya melukiskan kemelut batin yang hebat. Kejadian yang baru saja bergulir beberapa saat tadi cukup memporak-porandakan hatinya yang sebelumnya memang sudah gelisah.
Diki begitu marah pada Rayan, tapi di sisi lain ia begitu kasihan sama lelaki itu. Rayan terluka dan kesepian. Ia jadi merasa bersalah sekarang. Apakah perhatiannya selama ini kepada Rayan sangat berlebihan, sehingga Rayan begitu menaruh harapan padanya?
Diki menghela nafas berat. Ia makin bertambah bingung sekarang. Jika memang perhatiannya selama ini sudah membuat Rayan salah mengerti, sekarang timbul pertanyaan lain dalam benak Diki. Seberapa besarkah perhatiannya selama ini pada Rayan? Dan mengapa pula ia begitu memperhatikan Rayan?
Dari awal bertemu, sosok Rayan sudah menarik perhatiannya. Rayan yang bergaya kota tidaklah tengil dan sombong seperti orang kota kebanyakan yang kerap ditemui Diki. Rayan sangat santun dan ramah. Ia juga murah senyum. Padahal ia memiliki segalanya untuk disombongkan. Tampan, kaya dan dari keluarga terpandang. Semua orang di kampung Bermani Ulu ini, siapa yang tidak kenal dengan Wak Haji. Tetapi Rayan sebagai cucu beliau tetap menampilkan sosok pemuda yang rendah hati. Hal itu dapat dinilai oleh Diki saat Rayan yang sedari kecil sudah hidup di lingkungan serba mewah, tapi tak takut turun ke sawah, menyusuri jalan setapak, penuh rumput, Lumpur dan kotoran lainnya. Tidak hanya itu, saat Rayan menolong Emak membawa barang belanjaan dari pekan pun sudah menunjukkan jika Rayan benar-benar pemuda yang gemar menolong. Hal ini membuat Diki makin bersimpati. Belum lagi kesediaan Rayan untuk pergi bersamanya menyusuri hutan hingga mereka harus bermalam di tengah hutan dalam gubuk tua yang sangat tak layak di huni bagi orang sekelas Rayan. Semuanya membuat Diki kagum. Ia mengagumi kepribadiaan Rayan.
Jadi, apakah karena kekaguman itulah yang membuat Diki begitu memperhatikan Rayan? Apakah karena alasan itu pula, ia bisa menerima Rayan sebagai sahabat barunya meskipun ia tahu Rayan memiliki ketertarikan terhadap laki-laki?
Pribadi Rayan sudah menghipnotisnya.
Diki menghela nafas lagi. Seharusnya dari awal ia sudah mempertimbangkan semua ini. Seharusnya ia sudah mengatisipasi saat semua ini terjadi. Ia seharusnya sudah memikirkan apa yang akan ia perbuat jika Rayan menaruh perasaan terhadapnya? Kini semuanya sudah terjadi. Keadaannya menjadi rumit. Diki meremas kepalanya. Ia merasa semua ini adalah salahnya.
***
“Sampai kapan gue akan berkubang dalam penyesalan?” hati Rayan terus bertanya-tanya.
Sudah hampir satu jam lebih ia duduk termenung di depan perapian. Nyala api yang semula berkobar, sekarang tinggal berupa bara-bara saja. Keadaan di sekitar Rayan pun berubah remang-remang.
Rayan mengambil HP-nya yang tergeletak di dekat dinding. Ia ingin mengecek sudah pukul berapa sekarang. Mengapa waktu berputar terasa sangat lambat malam ini.
Rayan menepuk jidatnya sambil mengumpat kesal saat menyadari HP-nya sudah hang. Ia mengusap wajahnya lalu menempelkan kepalanya ke lutut. Ia memejamkan matanya, berharap pikiran jernih akan menghinggapi otaknya yang terasa letih.
“Sampai kapan…?”
Pertanyaan itu kembali mengusik hati Rayan.
“Sampai kapan gue akan menggenaskan seperti ini? Oohh…plis God, kasih gue jalan…!!!” jerit sanubari Rayan.
Rayan lantas bersila. Entah kenapa tiba-tiba saja ia teringat akan olahraga yoga. Serta merta ia mengangkat kepalanya dan mulai mengatur pernafasannya. Ia ingin melakukan yoga sekarang. Rayan berharap siapa tahu saja dengan mengosongkan pikiran, ia mendapat pencerahan dan hatinya pun bisa legowo.
***
Diki mengernyitkan keningnya saat melihat sikap tubuh Rayan yang terasa aneh di matanya. Rayan duduk bersila seperti pertapa.
“Lagi ngapo seh anak iko? (lagi ngapain sih tuh anak?)” gumam Diki dalam hati sambil terus mengamati dari pintu dapur.
Rencananya, Diki pengen ngajak Rayan masuk ke kamar. Ia tak mau sampai pagi menjelang Rayan duduk sendirian di dapur. Bagaimanapun rumitnya masalahnya dengan Rayan saat ini, pemuda kota itu adalah tanggung jawabnya. Diki berusaha untuk tak egois. Ia harus memikirkan perasaan Rayan.
Tapi niatnya untuk mengajak Rayan masuk langsung menguap seketika saat melihat sikap tubuh rayan yang sama persis seperti pendekar di film Panda dan Kurawa yang acap kali di putar di layar tancap saat tujuh belasan di alun-alun desa. Diki sungguh tak mengerti apa yang sedang dilakukan Rayan. Apa mungkin Rayan tengah bertapa untuk memperdalam ilmu kebatinannya?
Diki geleng kepala. Itu pikiran ngawur. Anak kota mana ada waktu memikirkan hal yang begituan? Orang desa saja sudah jarang yang tertarik dengan ilmu-ilmu semacam itu, apalagi orang kota yang berpikiran modern seperti Rayan.
Rupanya Rayan merasakan ada mata yang mengamatinya. Ia pun membuka mata dan menoleh ke arah pintu. Dilihatnya Diki tengah bersandar di kusen pintu sambil menatap lurus padanya.
Rayan berdehem. Ia lalu mengubah posisi duduknya hingga lebih santai.
“Lagi apo?” tegur Diki.
“Nggak,” jawab Rayan singkat.
“Ke kamar yuk!”ajak Diki.
“Hah?”
“Ntar kamu masuk angin lama-lama duduk di sini.”
“Apa bedanya dengan di kamar?”
“Di kamar lebih hangat. Kamu juga bisa tidur lagi.”
“Aku nggak ngatuk. Lagian di sini lebih nyaman.”
Diki mendekati Rayan dan duduk di sampingnya.
“Kalo kamu masih ngantuk, tidur aja!”kata Rayan.
“Sama.”
“Apanya yang sama?”
“Aku juga nggak ngantuk lagi..”
Rayan tak menjawab.
Mereka berdua membisu dalam selimut remang pagi buta yang beranjak Subuh.
Mereka terdiam cukup lama sampai akhirnya Rayan angkat bicara dan mengeluarkan isi hatinya.
“Dik, aku minta maaf atas kejadian tadi. Hhhh….seharusnya hal seperti itu gak perlu terjadi. Aku sudah merusak persahabatan kita…”
Diki tak menjawab.
“Aku sudah keterlaluan sama kamu. Aku bisa terima kok kalo kamu marah dan gak mau temenan sama aku lagi. Itu pantas buat aku terima.”
“Gak lah. Jujur, aku pengen banget marah sama kamu. Tapi entah kenapa, aku selalu gak bisa marah sama kamu…”
“Oh ya? Kok bisa?”
“Aku juga gak tahu…”jawab Diki pelan.
Rayan tertawa lirih. Ia senang mendengar pernyataan Diki itu.
“So…kamu gak marah sama aku?”
Diki geleng kepala dalam keremangan.
“Kok diam? Kamu marah gak sama aku?”tanya Rayan lagi.
“Kan udah aku jawab tadi.”
“Kapan?”
“Kamu gak lihat aku geleng kepala?”
Rayan menggeleng.
“Kok diam?”
Rayan tiba-tiba terkikik.
“Kenapa? Ada yang lucu?”tanya Diki.
“Hahahaha…lucu banget, nget…hahahaha…!”
“Lucu? Apanya?”
“Kita ngelakuin sesuatu yang bodoh, Dik. Geleng atau mengangguk di kegelapan, mana ada yang bisa lihat?”
“Eh? Tapi ini nggak gelap-gelap amat kok…”
“Tapi buktinya kita gak bisa lihat kan? Makanya tadi kita miss communication…”
Diki terkekeh pelan.
“Huhhfff….gue makin lega sekarang…”ucap Rayan.
“Aku juga. Jadi sekarang gak ada masalah lagi kan antara kita?”
“Dari awal kita nggak punya masalah. Yang punya masalah Cuma gue…”
“Udah ah. Ntar sedih-sedihan lagi,”pungkas Diki.
Rayan terkekeh.
“Ke kamar yuk!”ajak Diki.
Rayan mengangguk.
Mereka berdua kembali ke kamar.
“Balik?”
“He-eh.”
“Aku jugo ndak balik yak! Sapo pulo yang ndak nginap di sini lagi? Hehehe… (Aku juga mau pulang lah! Siapa juga yang mau nginap di sini lagi? Hehehe..)”, kata Diki.
“Maksud aku itu, pulang ke kota.”
“Eh? Balik ke kot-a?”nada suara Diki langsung berubah serius.
Rayan mengangguk.
“Ngapo? Kok mendadak banget?”
Rayan tersenyum tipis.
“Mau pulang aja…”jawab Rayan.
“Bukannya liburannya masih cukup panjang? Kamu gak pernah bilang mau pulang. Kok, tiba-tiba sekarang bilang pengen balik? Jangan-jangan karena tadi itu---“
“Nggak kok!”potong Rayan. “Gak ada hubungannya dengan kejadian tadi. Aku Cuma pengen pulang aja,”bantah Rayan.
Diki menarik nafas pelan. Ia menatap wajah Rayan dengan serius.
“Kamu serius?”tanya Diki lagi masih tak percaya dengan niatan Rayan itu.
‘Iyaaa…emang kenapa?”
Diki memegang kedua bahu Rayan dan memutar tubuhnya hingga mereka berdua berhadapan.
Rayan mengernyitkan keningnya.
“Aku minta maaf sama kamu. Tujuan kamu ke sini untuk menenangkan diri. Tapi ternyata setelah kamu ke sini…yang ada malah tambah kacau gara-gara aku,”kata Diki.
Rayan menelan ludah.
“Aku justru menambah masalah buat kamu…”gumam Diki lirih.
“Hey! Apaan sih? Aku gak merasa kayak gitu kok. Justru kau berterimakasih banget sama kamu cause udah menemani aku selama di sini…,”kata Rayan. “Ih, kamu kok perasa banget sih?”
Diki menundukkan wajahnya.
“Ayolah, nggak usah merasa bersalah kek giniii…ntar aku jadi sedih lagi lho!”
Diki mengangkat kepalanya lagi dan tersenyum.
‘Nah gitu dong! Wiihh…senyumnya manis bangeeettt! Hati-hati ntar dikerubutin semut lho, wkwkwkw…”goda Rayan.
“Aposih…(apaan sih…)”
Rayan terkekeh.
Mereka kemudian kembali terdiam. Namun demikian, masih tersisa senyuman di bibir keduanya.
“Jadiii…kamu beneran pulang besok?”tanya Diki memecah kebisuan.
“Today!”
“Hari ini? Becanda ah!”
“Aku serius. Setelah kita keluar dari sini, aku langsung pulang.”
“Kenapa mesti hari ini? Kan masih ada besok, lusa---“
“Apa bedanya Sekarang, besok atau lusa? Aku bakalan tetap pulang dan kehilangan kamu…”
“Yan…”
“Ya?”
Diki menatap wajah Rayan lekat.
“Ada apa?”
Diki mendekatkan wajahnya…
Rayan mengerutkan keningnya dan refleks mencondongkan kepalanya ke belakang. Tapi Diki dengan sigap meraih tengkuk Rayan dan menegakkan kepala rayan ke posisi semula.
Dada Rayan berdegup kencang. Apa yang akan Diki lakukan padanya?
Diki merunduk sedikit dan mendekatkan bibirnya ke bibir Rayan.
Rayan menahan nafas. Apakah Diki akan menciumnya?
Bibir keduanya makin dekat. Hembusan nafas Diki menyapu puncak hidung Rayan. Dada Rayan makin bergemuruh.
Bibir keduanya hampir saja bertaut tatkala Diki menjauhkan wajahnya dari bibir Rayan. Ia kemudian mengangkat tangan kanannya dan menyentuh bibir Rayan dengan jemarinya.
Rayan menghembuskan nafas perlahan.
“Maaf…”gumam Diki.
Rayan memalingkan wajahnya.
“Maafkan aku, Yan. Aku gak ngerti dengan semua ini.”
“Ada apa?”tanya Rayan mencoba bersikap biasa.
“Aku sendiri bingung dengan hati aku…”
“Aku gak tahu apa yang ada di hati kamu. Tapi coba jujurlah dengan kata hati kamu…”
“Aku ragu.”
“Keragu-raguan sering menjerumuskan.”
“Aku malu dengan perasaan aku.”
“Malu bukanlah akhir dunia. Justru malulah yang terkadang bikin kita kuat, bikin kita dewasa, bikin kita tahu the right way…”
“Aku nggak kayak kamu yang bisa dengan mudah mengungkapkan perasaan.”
“Kalo dengan dikeluarin bisa membuat hati sedikit lapang, kenapa nggak? Yang tahu dengan pasti cara membahagiakan diri kita adalah kita sendiri. nunggu orang lain yang mengeluarkan keluh kesah dari hati kita, aku rasa itu penantian yang sia-sia. Semakin lama semakin banyak juga masalah yang akan menggerogoti hati. Kalau terus dipendam, apa nggak kasihan tuh sama hatinya? Kita Cuma punya satu hati, kecil dan terbagi pula. Apa kamu mau menyisihkan ruang di hati untuk menumpuk masalah atau perasaan yang gak penting, yang sejatinya bisa kamu bereskan??”
Diki menghela nafas.
“Aku cuma pengen membantu kamu aja untuk terbuka sama diri kamu sendiri dan perasaan kamu. Emang sih apa yang aku omongin ini terkesan menggurui. Aku aja masih terus belajar untuk itu. Bukan sesuatu yang mudah memang.”
“Kita hidup di lingkungan yang berbeda. Kami terkungkung adat istiadat yang mengharuskan untuk selalu berpikiran baik. gak boleh nyeleneh ataupun keluar jalur meskipun hanya sedikit. Beda dengan kamu yang bebas untuk ngelakuin apa aja. bebas berkarya dan berekspresi…”
“Aku ngerti. Aku juga prihatin dengan semua itu. Tapi di setiap kehidupan selalu ada dua sisi. Tak melulu menyenangkan atau terus menyakitkan. Okey, kembali sama perasaan kamu sekarang, apakah sekedar ngungkapin itu ke aku kamu juga malu?”
Diki tak menjawab.
“Baiklah. Aku gak mau memaksa. Apapun itu, semoga tidak berdampak buruk sama kamu,”pungkas Rayan.
Diki masih belum bersuara.
Rayan menarik sarungnya sampai ke bahu dan duduk bersandar di dinding. Kedua kakinya ditekuk dengan tangan memeluk lutut.
“Yan…”
“Eh?”
“Tinggalah lebih lama lagi di sini…”
“Heh? Kamu nahan aku?”
“Jangan balik dulu.”
“Diki…kamu…”
“Gak usah ngomong apa-apa.”
“Tapi…”
“Kamu maukan perpanjang liburan kamu di sini?”
“Dik, kamu…kenapa aku jangan pulang?”
“Aku pengennya kayak gitu.”
Rayan menggigit birinya. Ia terkejut mendengar permintaan Diki.
“Oke, kasih alasan kenapa aku aku harus bertahan di sini?”pinta Rayan.
“Karena aku maunya itu.”
“Aku pengen alasan yang jelas,” desak Rayan.
Diki tak menjawab.
“Aku gak mau di sini tanpa ada penjelasan yang bisa aku terima,”kata Rayan.
Diki menatap Rayan. Tatapannya terlihat beda dari biasanya.
“Kenapa sih?”tanya Rayan jengah.
“Mau kan?”
Rayan terdiam.
“Ah, lupakan!”
“Lu bikin gue pusing ah! hati lu susah banget gue baca.”
Diki tak merespon.
“Jika ada alasan khusus yang mengharuskan gue tetap di sini, gue bakal di sini. Tapi jika lu cuma nahan gue tan---“
“Aku sayang kamu!”
“Diki…”
“Apa itu cukup jadi alasannya?”
Rayan menganga. Ini tak ubahnya bagai petir di siang bolong.
“Apa kamu bilang? Sayang?”
“Ya. Akh! Ini mungkin kedengarannya aneh. Mungkin juga terdengar konyol. Baru beberapa jam yang lalu kita berantem masalah perasaan, dan sekarang aku ngomong kek gini. Aku gak tahu kenapa, saat kamu bilang mau pergi, ada rasa sesak yang menghinggapi hatiku. Ada bongkahan es yang tiba-tiba jatuh dan mencair menggenangi permukaan hatiku yang dingin…”
“Apa arti semua ini? Gue nggak ge-er kan kalo bilang kalo lu suka gue?”
“Aku nggak tahu.”
Rayan memegang dadanya yang berdegup kencang. Ia lantas mencubit lengan dan menepuk-nepuk pipinya.
“Bukan mimpi kok!”ujar Diki.
Rayan tersipu.
Diki menatap Rayan mesra kemudian mengalungkan lengannya ke leher Rayan. Ia membawa tubuh Rayan merapat ke tubuhnya.
“Kamu nggak lagi mengigau atau apakan?”tanya Rayan sambil menempelkan lengannya ke jidat Diki.
Rayan memegang dadanya yang berdegup kencang. Ia lantas mencubit lengan dan menepuk-nepuk pipinya.
“Bukan mimpi kok!”ujar Diki.
Rayan tersipu.
Diki menatap Rayan mesra kemudian mengalungkan lengannya ke leher Rayan. Ia membawa tubuh Rayan merapat ke tubuhnya.
“Kamu nggak lagi mengigau atau apakan?”tanya Rayan sambil menempelkan lengannya ke jidat Diki.
“Ambo jugo dak tau (aku juga nggak tahu),”kata Diki sambil tersenyum manis.
Rayan terkekeh lalu memeluk lengan Diki.
“Jika ini mimpi, tolong jangan bangunkan aku…”kata Rayan.
Diki menyandarkan kepala Rayan ke bahu dan mengelus rambutnya dengan lembut.
“Ini bukan mimpi.”
“I hope so. Lagian aku udah capek bermimpi mulu..hhfffhh…”
“Bukannya bermimpi itu menyenangkan?”
“Iya, kalau mimpiin kamu…”
“Ya udah, kalo gitu silahkan tidur dan mimpiin aku.”
“Nggak mau. Kalo ada yang nyata, kenapa mesti nyari dalam mimpi?”
“Terserah deh kalo gitu.”
Rayan tersenyum sambil menatap Diki mesra.
Diki tersipu. Ia malu dengan semua kemesraan ini.
“Berasa aneh ya? Ini memang bukan cinta biasa,”ucap Rayan seolah mengerti jalan pikiran Diki.
“Maaf…”
“Minta maaf mulu…”
Diki terkekeh. Ia jadi salah tingkah.
Rayan berusaha mencairkan suasana. Ia merebahkan kepalanya ke bahu Diki.
“Boleh aku tidur di sini?”
“Embb…”
“Aku tiba-tiba diserang kantuk, hooaaammm..”
Diki mengusap kepala Rayan ragu-ragu.
Rayan memejamkan matanya.
“Beneran mau tidur lagi?”
“Iya. Bangunin aku kalo udah siang.”
“Iya…”jawab Diki sambil mencium kening Rayan, ragu-ragu.
Pagi harinya…
Rayan dan Diki terjaga saat hari sudah terang. Sinaran mentari pagi menerobos masuk dari sela-sela dinding pondok. Kicauan burungpun terdengar dari pucuk pepohonan. Kicauannya terdengar riang ditingkahi dengan ‘embukan’ Siamang.
Saat terbangun Rayan menyadari ia tertidur dalam pelukan Diki. Ternyata tanpa sepengetahuannya, Diki sudah merubah posisi tidur mereka. Diki memeluk tubuh Rayan dari belakang dan membiarkan seluruh tubuhnya bersandar di dada Diki. Sementara Diki sendiri bersandar di dinding yang keras.
Rayan tersenyum. Ia menatap wajah Diki yang damai. Ia nampak tertidur pulas dengan kepala terkulai ke kiri. Rayan jadi kasihan untuk mengganggu tidurnya.
Rayan menguap dan merentangkan kedua lengannya lebar. Tulangnya berkeretakan. Ia pergi keluar dan membuka pintu. Ia lantas duduk di teras dan menikmati pemandangan di sekitar kebun yang hijau.
Rayan sedikit bergidik saat menyadari di mana ia terdampar kini. Ia bermalam di gubuk yang dikelilingi pepohonan tinggi. Rayan yakin pastilah masih banyak hewan buas berkeliaran di sekitar sini yang sewaktu-waktu bisa saja mengintai nyawanya.
“Kok nggak bangunin aku?”tegur Diki yang muncul dari dalam sambil mengucek matanya.
“Kamu udah bangun? Aku nggak tega bangunin kamu. Kayaknya nyenyak banget…”jawab Rayan.
Diki menghampiri Rayan.
“Pukul berapa ya sekarang?”tanya Rayan.
“Aku taksir pukul delapanan lewat.”
“Wah kita harus pulang sekarang. Pasti Nenek-Kakek sangat khawatir.”
“Nggak mau mandi dulu?”
“Ummm…”
“Ya udah, kita mandi di telaga aja nanti,”pungkas Diki sambil berjalan masuk ke rumah.
Rayan mengangguk sambil membuntuti Diki.
***
Hari yang masih pagi dengan sinar Mentari yang bersahabat ditambah tenaga yang masih kuat membuat Rayan dan Diki mampu mencapai Telaga lebih cepat dari kemarin.Sesampainya di telaga, keduanya pun berhenti.
“Jadi mau mandinya?”tanya Diki.
“Dingin banget. Tapi badanku rasanya apek banget. Okelah, kita mandi.”
Diki mengangguk setuju.
Rayanpun tanpa sungkan melepaskan semua pakaiannya. Hal itu membuat Diki melongo.
“Kenapa?”tanya Rayan santai.
“Kamu…”
“Kenapa?”
“Kenapa dilepas semua?”
“Namanya juga mau mandi. Masa pake pakaian lengkap? Nggak lucu kali!”kata Rayan sambil melompat ke dalam telaga.
Diki geleng-geleng kepala.
“Ayo! Kok bengong?” seru Rayan sambil memukul air dengan tangannya.
“Kau kan la besak. Maso masih mandi telanjang? (kamu kan sudah besar. Masa sih masih mandi telanjang?)”
Rayan terkekeh.
“Kalo ketahuan sama warga kampung, kamu bisa dikira gila.”
“Oh ya?”
“Iya! Ayo pake lagi celananya!”kata Diki.
“Nggak ah! lagian jam segini pasti nggak ada orang,”tolak Rayan.
“Tapi…”
“Ayolah!”potong Rayan. “Kamu juga sebaiknya lepasin celana kamu itu!”seru Rayan lalu membenamkan kepalanya ke air.
Diki menghela nafas.
“Nggak! Gilo be (gila aja!)”gumam Diki sambil menarik celananya sedikit ke atas lalu ikut menceburkan diri ke telaga.
“Kok celananya gak dilepas?”tanya Rayan sambil menyirm mukanya.
“Nggak!”jawab Diki sambil menggeleng keras.
“Huuhhfff…nggak bisa lihat deh…”gumam Rayan pelan sambil menunjukkan mimic kecewa.
“Lihat apa?”tanya Diki sambil menenggelamkan tubuhnya sampai ke dada.
Rayan tersenyum nakal sambil mengedipkan matanya.
“Apa?”
“Itu.”
Diki mengernyitkan keningnya.
Rayan menggeram sambil menangakap lengan Diki. Ia geregetan dengan sikap Diki yang pura-pura tak tahu.
Mereka bergelut di air. Rayan dan Diki saling tindih diantara kecipak air yang bergerak liar. Sesekali tawa mengiringi tingkah mereka.
“Sudah, sudah. Kita harus cepat pulang, ”kata Diki mengingatkan sambil menutupi mukanya dengan tangan untuk menghindari dari siraman air yang terus dilancarkan Rayan.
“Oh iya…”gumam Rayan sambil menepuk jidatnya.
“Mau sabun?”
“Emang ada?”
“Semuanya ada di sini.”
“Serius? Manaaa..??”
‘Bentar yaa..”kata Diki sambil berjalan ke pinggir telaga.
Rayan mangut-mangut dengan tatapan terus mengikuti gerakan Diki.
Diki meraih batang Kecombrang yang terjuntai di atas telaga. Setelah itu ia mengambil dua pelapah daun Kecombrang itu.
Rayan mengernyitkan keningnya. Mau diapakan daun Kecombrang itu oleh Diki?
“Daun Honje ini bisa dijadikan sabun alami lho..”terang Diki sambil menghampiri Rayan lagi.
“Masa sih?”
Diki mengangguk. Ia lalu mememarkan pelepah daun honje itu dengan batu sampai keluar busa yang berbau harum.
Rayan mengangguk-anggukkan kepalanya tanpa sadar saat melihat busa-busa itu.
“Wow…!”seru Rayan sambil menyabuni tubuhnya dengan busa Kecombrang itu.
Diki tersenyum.
“Kalo gini caranya, kalian di sini nggak butuh duit dong. Semuanya bisa kalian dapatkan dengan gratis!”
“Iya. Tapi semua orangkan butuh yang praktis dan hasil mesin…”
“Ya, kamu benar. Padahal hasil pabrik itu nggak baik. mendingan yang alami kayak gini. Heemmmbb…baunya menenangkan banget!”seru Rayan sambil menghirup wangi busa dalam-dalam.
Diki terus senyum melihat kelakuan Rayan.
“Oh ya, sini aku sabunin kamunya!”kata Rayan sambil menarik lengan Diki.
“Nggak usah,”tolak Diki.
“Aaaahhh..!”desis Rayan sambil menyabuni punggung Diki.
“Dasar keras kepala,”gerutu Diki.
Rayan senyam-senyum.
***
Rayan dan Diki berpandangan saat melihat halaman rumah neneknya dipenuhi warga kampung.
“Apo apo nih? Ngapo rame nian?? (ada apa ini? Kok rame banget?)”tanya Diki.
Rayan mengangkat bahunya.
“Wak haji nggak kenapa-kenapa kan?”
Rayan terbelalak. Pikirannya langsung tertuju sama Kakek dan Neneknya.
“Nenek-Kakek…”desis Rayan sambil berlari menerobos kerumunan. Diki berlari mengikutinya.
“Kek, Nek..!”panggil Rayan dengan hati tak karuan. Pikiran buruk mulai menghinggapi dirinya.
“La, ini Rayannyo!”seru Mang Johardi.
“Ini Diki!”seru yang lain.
Semua orang yang melihat kedatangan mereka langsung melongo.
“Rayan…! Dari mano be kau??”seru Kakek dengan nada gusar.
“Ay, Nak…kemano be kau…”ucap Nenek sambil berjalan menghampiri Rayan. Beliau lantas memeluk Rayan erat.
Sementara itu Bak dan Emak Diki langsung menghampiri anak sulungnya itu.
“Nek…ada apa ini? Kok rame banget…?”tanya Rayan.
“Orang banyak koh berunding ndak cari kau. Kemano kau semalam dak balik? (orang-orang sedang bermusyawarah ingin mencari kamu. Kemana kamu semalam tidak pulang?)”kata Nenek sambil mengusap iar matanya.
“Rayan ke hutan Nek…”jawab Rayan pelan.
“Hutan?! Apo lokak?? (hutan? Ngapain?)”tanya Kakek.
“Maaf Wak, aku yang bawak Rayan ke Utan,”timpal Diki.
“Apo gawe kamu beduo ke utan? (Ngapain kalian ke hutan?)”tanya Bak Diki.
“Dak do Bak. Main be… (Nggak ada Bak. Main saja),”jawab Diki.
“Bigal main ke utan! Cak dak ado tempat lain. Bawak Rayan pulo. Kalu ado apo-apo cak mano?? Rayan tuh orang kota. Mano cocok dibawak ke utan. Kalu kau yo. Memang besak-besak di utan!! (Bodoh main ke hutan! Kayak gak ada tempat lain saja. Bawa Rayan juga. Kalau ada apa-apa gimana?? Rayan itu orang kota dan nggak cocok di hutan. Berbeda sama kamu yang memang tumbuh besar di hutan!!)”semprot Emak Rayan.
“Aku yang minta, Mak…”kata Rayan.
“Ndak cari apo kau di utan? (mau cari apa kamu di hutan?)”tanya Kakek.
“Gak ada Kek. Pengen jalan-jalan aja. bosan di rumah,”terang Rayan.
Mendengar keterangan Rayan barusan, banyak orang yang geleng kepala.
“Aneh nian selero orang kota. Kalau kito ndak jalan-jalan ke mol, dio ndak jalan-jalan ke utan (Aneh benar selera orang kota. Jika kita pengen jalan-jalan ke mall, dia justru pengen ke hutan)”celetuk seorang ibu-ibu berbaju polkadot.
Tawa mereka berderai.
“Jadi semalaman kamu beduo koh di hutan?”tanya Mang Johardi.
Rayan dan Diki mengangguk bersamaan.
“Tiduk di mano?”
“Di kebun Mamang,”jawab Diki.
“Ngapo idak balik?”tanya Nenek.
“Hujan Nek. Mana keburu gelap lagi…”jawab Rayan.
“Aku takut Rayan sakit, mangkonyo aku pikir lemaklah kami temalam di kebun Mamang ajo, (Aku takut Rayan sakit, jadi aku pikir lebih baik kami bermalam di kebun Mamang saja)”sambung Diki.
“Aku dak pulo tahu tobo koh pegi. Kalu aku tahu, idak aku suruh, (aku nggak tahu mereka pergi. kalau aku tahu, nggak akan aku perbolehkan)” kata Emak Diki masih dengan nada jengkel.
“Sangko aku malam tadi Rayan nginap tempat Diki. Biaso kawankan. Salahnyo pulo idak pulo aku telepon dio semalam, (Aku pikir semalam Rayan nginap di rumah Diki. Biasakan temenan (saling nginap). Salahnya, aku lupa menelpon dia semalam)” terang Nenek.
“Lha, justru aku pikir Diki nyo nginap di sini (Lha, justru aku pikir Diki yang menginap di rumah Rayan)”ujar Emak Diki.
Semua terkekeh mendengar kesalahpahaman itu.
“Ya udah, sekarang kita udah balik. Kita nggak apa-apa. Maaf udah buat cemas semuanya. Aku mau ganti pakaian dulu,”pungkas Rayan.
“Yo syukurlah kalu cak itu. Kito pacak kerjo lagi sekarang, hahaha..!(Ya syukurlah kalau demikian. Kita bisa meneruskan kerja kita masing-masing, hahaha..!)”kata seorang Bapak berkumis tebal.
“Mokasih bapak-ibu sekalian. Maaf lah ngerepoti…(Terimakasih bapak-ibu sekalian. Maaf sudah merepotkan..)”kata Kakek.
Semua yang hadir mengangguk.
“Ay, tobo bujang duo ini, bikin gempar be…(Ay, dua bujang ini, bikin gempar saja..)”kata Bak Diki.
Rayan dan Diki senyam-senyum.
“Yo udah mandilah dulu!”kata Nenek.
“Kita udah mandi tadi kok..”kata Rayan.
“Diki balik dulu!”kata Emak.
Diki mengangguk.
“Aku balik yo Yan. Wak maaf udah bikin khawatir..”pamit Diki.
“Idak apo-apo (Nggak apa-apa)”kata Kakek.
“Nanti ke sini lagi ya!”seru Rayan.
Diki tersenyum lalu berjalan mengikuti orang tuanya.
***
Sekitar pukul satu siang, Diki kembali menemui Rayan. Saat itu Rayan masih tidur siang. Nenek mempersilahkan Diki untuk langsung membangunkan Rayan di kamarnya.
Diki tersenyum melihat Rayan yang tertidur nyenyak dalam posisi terlentang. Ia hanya mengenakan boxer dan kaos buntung warna hitam.
Diki tidak membangunkan Rayan. Ia memilih untuk duduk di samping Rayan sambil membaca sebuah buku cerita yang berjudul 25 Legenda Nusantara, yang tergeletak di atas meja.
Rayan terlelap lumayan lama. Diki sudah menamatkan 13 judul legenda baru cowok itu terbangun.
Melihat Diki ada di sampingnya, Rayan tersentak dan langsung bangkit.
“Diki..?!”
“Sudah bangun? Gimana tidurnya nyenyak?”tanya Diki tanpa melepaskan pandangan dari cerita yang tengah ia baca.
“Kamu udah lama di sini?”
“Lumayan…”
“Kenapa nggak bangunin aku?”
“Kamu tidurnya kayak mati aja. mimpiin apa tadi?”
“Nggak ada, hehehe. Habis setelah di rumah baru kerasa capeknya. So otakku jadi blank, hehehe..”
“Sudah makan?”tanya Diki.
“Sudah. Kamu?”
“Sebelum ke sini tadi aku makan dulu,”jawab Diki sambil membalikkan lembaran buku.
“Jadi pulang hari ini?”tanya Diki lagi.
“Pulang?”
“Katanya mau pulang ke kota.”
“Nggak jadi. Kan ada kamu, hehehe..”
Diki mencebikkan bibirnya.
Rayan langsung merebut buku dari tangan Diki dan membuangnya ke bawah ranjang.
“Hey!”
“Biar aku yang cerita. Mau cerita apa?”
“Aku bisa baca sendiri,”kata Diki sambil menurunkan sebelah kakinya ke lantai. Setelah itu ia membungkukkan badannya dan melongokkan kepala ke kolong ranjang.
Rayan menarik nafas. Punggung dan bongkahan pantat Diki membuat dadanya sesak.
“Kemana tadi kamu buang bukunya?”tanya Diki sambil menajamkan penglihatannya di kolong ranjang yang gelap dan berdebu.
“Udahlah, Dik. that’s a fucking book, baby!”seru Rayan sambil menarik baju Diki.
“Kenapa sih?”
“Kita pergi ke pasar yuk?”ajak Rayan.
“Ke pasar? Ngapain??”
“Aku mau beli handphone baru. HP aku kan rusak..”
“Kapan? Sekarang?”
“Iya.”
“Oke. Tapi mandi dulu kamunya.”
“Pasti dong. Masa pergi dengan penampilan berantakan begini?”
“Kamu tetap menawan kok.”
“Gombal!”
Diki tersenyum simpul.
Hati Rayan ditumbuhi bunga.
***
Rayan dan Diki pergi ke pasar dengan meminjam motor Kakek Rayan. Diki yang bonceng dengan alasan tak mau tanggung jawab kalau terjadi apa-apa sama motornya.
“Huh, dasar!”gerutu Rayan.
“Maklum aja, ini bukan milik aku. Ntar kalo rusak aku harus ganti pake apa?”
“Pake cinta!”balas Rayan sambil menghidupkan motor.
“Ayo naik!”
Diki langsung duduk di belakang Rayan.
Dalam perjalanan, mereka berdua bercerita banyak. Mereka memperbincangkan apa saja yang terlintas di benak.
“Ngomong-ngomong mokasih yo Yan, tadi kamu udah bela aku,”kata Diki.
“Bela apaan?”
“Waktu kita disidang tadi…”
“Oh itu, hehehe…”
“Apa yang mereka bilang itu benar. Aku berpikiran pendek banget dengan ngajakin kamu ke hutan. Kalo terjadi apa-apa gimana?”ujar Diki dengan rasa sesal.
“Tapi gak kejadian kan? Udahlah, aku menikmatinya kok. Justru aku sangat menghargai masa-masa itu. Coba kalo kamu nggak ngajakin ke hutan, pasti hubungan kita Cuma jalan di tempat, hehehehe…”
‘Iya sih..”
“Nah selalu ada hikmah di balik setiap peristiwa kan?”
“Iya…”
***
Di pasar, Rayan membeli HP baru lagi. Ponsel lamanya sudah rusak parah. begitu banyak elemen yang mesti diganti. Biaya servicenya pun lumayan mahal. Mendingan beli ponsel baru saja pikir Rayan.
Ternyata Rayan tidak hanya membeli ponsel untuk dirinya sendiri. ia juga membeli satu buah lagi. HP itu ia berikan untuk Diki.
“Buat kamu,”kata Rayan sambil menyodorkan kotak HP ke Diki.
“Buat aku?”
Rayan mengangguk.
“Nggak! Nggak! Aku nggak mau!”tolak Diki.
‘Kenapa?”
“Kenapa kamu beliin aku HP? Ini barang mahal, Yan.”
“HP itu bukan barang mewah lagi, Dik. HP itu sudah jadi kebutuhan manusia…”
“Bagi orang-orang kayak kamu mungkin iya. Tapi bagi kami? Khususnya keluargaku, HP itu barang mewah..”
“Oke, aku mengerti. tapi pliiisss, kamu terima ya?”
Diki menggeleng keras.
“Diki..”
“Aku nggak bisa!”
“Anggap aja ini hadiah dari aku karena kamu udah nemenin aku selama ini..”
“Kamu pikir aku pengen berteman sama kamu karena pamrih?”tanya Diki sinis.
“Diki, aku nggak bermaksud begitu. Cuma kalo kita sama-sama punya HP, kita kan tetap bisa komunikasi?”
“Nggak! Pokoknya aku tetap nggak mau!”kata Diki tetap pada pendiriannyta.
“Adu kenapa sih?”gumam Rayan gemas. “Lagian juga aku yang bayar kok!”
‘Justru karena kamu yang bayar, Yan! Kalo aku yang bayar, itu lain ceritanya!”
“Plis terima pemberian aku, Dik. Ini adalah salah satu bentuk kasih sayang aku ke kamu.”
“Untuk nunjukin kasih sayang kamu ke aku, nggak perlu dengan ngasih aku hadiah kayak gini. Ini bikin aku sakit hati.”
“Hfhhh…Dik, tolong ngertiin aku. Aku kasih ini supaya komunikasi kita lancar. Biar kita bisa teleponan, sms-an tiap malam…”
“Tapi ini…”
‘Oke, kalau ponsel ini terlalu mahal bagi kamu, kita ganti aja dengan yang lebih murah. Tapi kamu janji mau terima ya? Gimana?”usul Rayan.
“Yan, nggak—“
“Udah! Pokoknya kamu harus mau!”potong Rayan.
Mereka berdua pun kembali ke konter HP untuk menukarkan HP yang tadi dibeli dengan HP biasa dan harga yang ekonomis.
“Nah, sekarang kamu udah punya HP. Nomor kamu udah aku simpan. Mulai ntar malem, kita bisa sms-an deh, hehehe…”kata Rayan sambil tersenyum riang.
“Makasih ya Yan. Aku gak tahu harus ngomong apa…”
‘Ngomong aja ‘I love you, Yan’, that’s all kok, hehehe…”
Diki terkekeh.
“I love you…”ucap Diki.
“Purdon me?”
“Nggak ada siaran ulang!”
“Aaahhh..”
***
Kesedihan sudah sepenuhnya sirna dalam hari-hari Rayan. Sekarang hatinya kembali dilingkupi bahagia. Bunga-bunga cinta bermekaran dengan indahnya kemanapun ia melangkah. Semua itu karena kehadiran Diki di sisinya.
Diki, pemuda desa yang manis, santun dan bersahaja itu mampu membalikkan keadaan yang semula suram menjadi terang bederang.
Semuanya berkat pancaran cinta yang muncul dari dua hati yang tengah kasmaran. Alam desa yang permai menjadi saksi bagaimana dua anak manusia yang berasal dari dua kutub berbeda, mampu bersama dalam sebuah ikatan tak kasat mata namun sungguh kuat simpulnya.
Tak ada yang menyangka bahwa di desa kecil yang jauh dari hiruk pikuk gemerlap kota, terselip kisah asmara yang tak biasa antara Rayan dan Diki. Semua orang Cuma menyangka bahwa mereka berdua hanyalah sepasang sahabat saja. Tak ada yang curiga dan tak ada yang perduli dengan apa yang mereka rasakan. Tapi justru itulah yang mereka berdua harapkan. Hidup dalam gelimang cinta tanpa harus mendengar bisik-bisik tetangga yang memerahkan telinga.
Setiap harinya Diki membawa Rayan berpetualang menjelajahi keindahan desa. Keluar masuk semak atau naik turun tebing sambil tertawa lepas. Sesekali mereka memancing ikan di telaga, mencari siput di kali atau menjerat burung di hutan. Semuanya terasa menyenangkan. Tidak hanya itu saja, mereka berdua kerap mencari tempat-tempat indah untuk mencurahkan perasaan bersama.
Dari sekian tempat yang ditawarkan oleh alam, keduanya paling menyukai sebuah padang rumput hijau luas yang terletak di bibir jurang. Padang rumput itu ditumbuhi perdu-perdu kecil berbunga cantik. Sementara di dasar jurang, air jernih mengalir. Suaranya bergemericik di antara bebatuan sungai yang kokoh. Pemandangan semakin indah dengan kehadiran rumpun-rumpun Anggrek tanah yang hidup di dinding tebing. Anggrek-anggrek itu selalu berbunga sepanjang waktu. Bentuknya kecil-kecil, bertandan dan kelopaknya berwarna ungu. Wanginya semerbak tercium sampai ke dataran hijau.
Di padang hijau itu, terdapat sebuah pohon rindang yang berdiri kokoh. Batangnya besar dan bercabang banyak. Rayan dan Diki kerap kali berlindung di bawah naungannya.
Seperti sore ini, saat Mentari siang sudah menurunkan kadar panasnya, Rayan dan Diki berbaring di bawah pohon rindang—tak tahu namanya—itu. Mereka berbaring di hamparan rumput yang lembut dengan berbantalkan lengan.
“Kalo aku punya kekuatan, aku pengen banget membuat waktu berhenti…”ucap Rayan sambil menatap gerakan dedaunan yang tertiup angin.
“Buat apa?”
“Aku nggak mau mengakhiri semua ini. Aku pengen terus di sini bersama kamu…”
“Apa kesudahannya kayak begini.”
“Aku nggak butuh kesudahannya. Aku Cuma butuh keadaan seperti ini.”
“Kamu nggak bosan hampir tiap hari berada di sini? Jauh dari keramaian…Cuma dengerin bunyi air dari lembah sana…”
“Nggak pernah terlintas kata bosan diotakku, Dik. Ini sangat menyenangkan. Justru aku akan merasa bosan kalau tak bisa melihat tempat ini lagi..”
Diki menarik lengannya dari bawah kepala. Ia lantas mengusap rambut Rayan lembut.
Rayan menoleh. Diki tersenyum.
“Kebahagiaan ini makin lengkap rasanya dengan hadirnya kamu di sisi aku…”ucap Rayan.
Diki mendekatkan wajahnya ke wajah Rayan.
“Ucapanmu itu selalu menerbangkan aku ke awang-awang. Kamu gombal banget yah..”kata Diki sambil mencubit puncak hidung Rayan.