It looks like you're new here. If you want to get involved, click one of these buttons!
Copyright 2021 Queer Indonesia Archive. See our Privacy Policy. Contact us at [email protected]
Dengan menggunakan situs ini berarti Anda setuju dengan Aturan Pakai.
BoyzForum.com adalah situs anti pedofilia!
Comments
Rayan yang semalaman tertidur pulas tanpa mimpi, dengan enggan membuka kelopak matanya yang terasa berat. Ia masih ingin terlelap barang beberapa menit lagi. Tapi saat terjaga tadi, otaknya langsung memberitahukan bahwa hari ini ia harus pulang ke kota. Peringatan ini membuat otaknya jadi tidak tenang. Ia tak bisa melanjutkan tidurnya lagi, meskipun ia masih sangat ingin.
Rayan membuka matanya dengan malas sembari menggeliat. Tubuhnya lumayan kaku karena semalaman tidur di lantai yang keras. Ia lantas menguap lebar sambil melirik ke samping kanannya. Sejak tadi ia belum mendengar suara maupun gerakan kecil dari Diki. Sebegitu nyenyakkah ia tidur?
"Di---" Rayan urung bersuara saat melihat tak ada siapa-siapa di sampingnya.
"Diki kemana ya??"tanya Rayan dalam hati. Ia kemudian bangun dan keluar rumah sambil mengucek mata. Mungkin Diki tengah berdiri di luar sambil menikmati keindahan pagi.
"Dikiiii..."panggil Rayan sambil membetulkan selimut yang membalut tubuh telanjangnya. Meskipun kemungkinannya kecil ada orang yang akan memergokinya tanpa busana di sini, tapi ia tetap harus berjaga-jaga.
Diki yang Rayan cari ternyata tak ada di luar. Rayan melongok ke bawah pohon. Kosong. Di sekitar Padang Hijau pun juga tak nampak batang hidung si Diki.
"Diki kemana sih??"gerutu Rayan sambil kembali masuk ke dalam. Ia melihat remi, lampu kaleng dan keripik sisa semalam masih ada di dalam ruangan kecil itu.
Rayan memungut pakaiannya dan bergegas mengenakannya. Setelah itu ia melipat selimut dan memasukkannya ke dalam kresek hitam.
Rayan lantas meraih HP-nya. Ia ingin mengecek sudah pukul berapa gerangan pagi ini.
Saat ia menekan tombol navigasi, sederet kata yang ditulis di 'Note' langsung terbaca olehnya.
Yan, aku pulang duluan ya. Aku harus ke hutan. Maaf gak bangunin kamu, soalnya kamu bobo'nya pulas bgt. Semoga kamu bisa bangun tepat waktu. Diki
Rayan menarik napas dalam-dalam. Beberapa saat ia tertegun dengan mata nanar menatap ke layar HP. Hatinya langsung berkecamuk. Diki sudah pergi ke hutan dan itu artinya ia tak ada kesempatan untuk meminta sebuah ciuman perpisahan ataupun sekedar berpamitan.
Tiba-tiba nada panggilan masuk HP-nya berbunyi. Nenek calling...
Rayan segera mengangkat panggilan tersebut.
"Ya, Nek...?"
"Yan, tadi Mama kau telpon. Katonyo gek ado mubil yang jemput kau ke siko (Yan, tadi Mama telepon. Katanya nanti ada mobil yang akan menjemput kamu ke sini)," terang Nenek.
"Oh, iya Nek..."
"Buruan balik kek siap-siap. Mubilnyo la di jalan...(Buruan pulang dan siap-siap. Mobilnya dalam perjalanan ke sini...)" kata Nenek lagi.
Rayan menelan ludah mendengar pemberitahuan Neneknya barusan. Serta merta rasa sesak menghimpit dadanya.
"Kenapa mesti sekarang sih...? Kenapa nggak sore aja..."gerutu Rayan.
"Kato Mama kau, biar kau siang gek bisa daftar ulang...(Kata Mamamu, biar kamu siang nanti masih sempat untuk daftar ulang...)," balas sang Nenek.
"Oke, Rayan balik sekarang," pungkas Rayan pelan.
"Nenek silahkan matikan teleponnya sekarang..." sambungnya kemudian.
Setelah mendapat telepon dari sang nenek, Rayan kembali terpekur beberapa saat. Jujur, ia begitu berat meninggalkan Rumah Pohon ini. Rumah mereka. Rumahnya bersama Diki...
***
Rayan pulang dengan langkah lesu. Pagi yang cerah ini terasa gelap baginya. Alam seakan tak lagi bersahabat padanya. Awan, rerumputan, pepohonan dan burung-burung serasa menjauhi dirinya. Ia seperti orang asing.
Berkali-kali ia menoleh ke belakang, menatap Rumah Pohon yang berdiri diam dan tersembunyi di antara dedaunan yang bergoyang pelan. Semakin lama ia melangkah, semakin kabur jua rumah itu dari pandangan.
Rayan menarik nafas berat. Dadanya semakin sesak...
Sesampainya di rumah, Rayan semakin lesu saja. Terlebih lagi saat mendapati barang-barangnya sudah dikemasi oleh sang Nenek.
"Kau cepatlah mandi. Mubilnya dikit lagi sampai...(Kamu buruan mandi. Mobilnya sebentar lagi tiba...)" kata Nenek sambil membungkus--entah Rayan tak tahu--.
Rayan tak menggubris ucapan Neneknya. Malahan ia duduk di kursi meja makan dengan hampa.
"Heey, ngapo lagi nih? Cepatlah siap-siap...! (Heyy, kenapa sih kamu? Cepatlah bersiap-siap...!)" tegur sang Nenek lagi.
"Kakek mana, Nek?"tanya Rayan. Sedari pulang ia belum melihat sang kakek.
"Di belakang. Ngambik Kates. Mama kau ndaknyo... (Di belakang/kebun belakang. Memetik Pepaya. Mamamu yang mau...)" Nenek memberitahu.
Rayan menghela napas panjang. Setelah itu bergerak ke kamar.
Di pintu kamar, Rayan kembali terpekur. Ia serasa melihat sosok Diki tengah duduk di ranjang sambil membaca buku 25 Legenda Nusantara. Rayan menggeleng-geleng pelan untuk mengusir bayangan yang menambah kecamuk di dadanya.
"Come on, Yan! Jangan kek gini! Lu berdua cuma berpisah raga aja, kok! Tapi hati kalian tetap bertaut. Diki sudah berjanji semalam..." gumam Rayan dalam hati untuk menguatkan dirinya.
Ia lantas menahan napas dalam-dalam sembari mengepalkan kedua lengannya. Bibirnya kemudian berucap, "Se...Ma...Ngat!! Semangat! SEMANGAT!!"
***
Dalam perjalanan pulang...
Rayan iseng-iseng menghubungi nomor Diki. Ia berharap sekali nomor kekasihnya itu aktif. Sayangnya itu hanya harapan kosong saja. Saat ia hubungi, terdengar suara sang operator layanan selular itu memberitahukan bahwa nomor yang ia hubungi tidak aktif atau di luar jangkauan.
Rayan tersenyum kecut. Ia sudah pasrah sekarang. Ia tinggal menggantungkan harapannya malam nanti. Semoga saja ia bisa mendengar suara Diki nanti malam meskipun hanya lewat telepon...
Malam harinya...
Lewat tengah malam, Rayan tiba-tiba terjaga dari lelapnya. Ingatannya langsung tertuju pada Diki. Buru-buru ia menyambar HP di atas meja.
Sebuah pesan singkat masuk ke inbox-nya. Bergegas ia baca. Pesan yang masuk pada pukul 19.23 WIB itu ternyata dari Diki.
Malam Yan. Nyampe dgn selamatkan ke rmh?
Rayan langsung menghubungi nomor kekasihnya itu.
Panggilannya tersambung, tapi tak diangkat. Rayan mengubungi Diki berkali-kali. Tetap juga tak diangkat.
Dia pasti udah tidur, gumam Rayan dalam hati.
Ia mencoba menghubungi lagi. Masih tak diangkat.
"Shit! Diki pasti sudah tidur. Aaarrggghhh! Kenapa gue ketiduran sih?!" umpatnya kesal.
Memang sesampainya ke kota, Rayan langsung pergi ke kampus untuk daftar ulang semester genap. Di kampus ia bertemu dengan teman satu ruangan. Lama tak berjumpa, mereka berinisiatif untuk mengubungi teman-teman yang lain. Setelah berkumpul, mereka semuanya memutuskan untuk jalan bareng hingga menjelang maghrib.
Jalan bersama teman-teman sekaligus bertukar cerita mengenai liburan masing-masing, membuat Rayan kembali menemukan keceriaannya. Ia seolah tanpa beban. Ia merasa nyaman kembali berada di lingkungannya selama ini. Kesedihan yang melingkupinya pagi tadi perlahan terkikis pelan-pelan oleh senda gurau teman-temannya.
Sekembalinya dari kumpul bareng, Rayan baru merasa tubuhnya sangat penat. Duduk berjam-jam di mobil dari desa ke kota, terus dilanjutkan ke kampus dan jalan-jalan bersama teman-teman cukup menguras tenaganya hari ini. Sehabis mandi ia pun merebahkan tubuh ke kamar hingga tertidur. Makan malampun terlewatkan. Ia baru terjaga setelah berganti hari.
Rayan sedikit menyesal karena lupa mengabarkan pada Diki saat ia tiba di rumah. Ia pun buru-buru mengirim SMS balasan.
maaf bgt ya Dik br bls. Aq ketiduran krn kecapean. Aq tiba dgn selamat. Bsk aq telp qm.
Met bobo n semoga mimpi indah, Beib.
Setelah mengirimkan pesan balasan itu, Rayan menyetel alarm di HP-nya. Ia ingin bangun pagi agar bisa menelepon Diki esok hari.
***
Rayan tersentak mendengar jeritan alarm di HP-nya. Buru-buru ia hentikan sambil menguap lebar.
Sesuai tekadnya semalam, ia ingin menghubungi Diki lagi pagi ini. Ia rindu akan suara Diki yang menenangkan itu.
Beruntung teleponnya langsung diangkat. Hati Rayan langsung berdebar-debar. Ia tak tahu mengapa ia merasa begitu gugup namun juga gembira.
"Rayan...?"sapa Diki dari seberang sambungan.
Rayan tersenyum lebar sebelum menjawab sapaan.
"DIKIIII...!!"serunya nyaring. Kegembiraannya meluap-luap.
"Haish, kamu ngejutin aja sih?! Kenapa teriak-teriak??"omel Diki.
"Hehehe... I miss you so much!"
"Hahaha. Baru aja sehari berpisah masa sih udah kangen?"
"Suer! Aku kangen banget, nget!"
"Kalo kangen, kenapa semalam nggak menghubungi aku, hayoo??"
"Sorry... Aku ketiduran semalam. Habis capek banget sih..."gerutu Rayan pelan.
"Hehehe..., iya tahu kok. Sekarang kamu lagi apa?"
"Baru bangun nih..."
"Mulai kuliah hari ini?"
"Iya. Males banget rasanya, uuhhh..."
"Ya udah. Buruan mandi gih! Nggak boleh males-malesan..."
"Masih pengen tidur nih..."
"Eeehh...kamu nggak ingat sama apa yang pernah aku omongin, eh? Nggak semua orang bisa hidup seberuntung kamu. Banyak banget di orang yang ingin mengecap bangku kul---"
"Enough! Yes, I remember it, Honey. Okey, aku nggak bakalan males-malesan kok! Aku bakalan semangat biar bisa meraih IP yang bagus. Lihat aja, ntar bakal aku tunjukin ke kamu!" tekad Rayan.
"Naahhh...gitu dong. Kamu harus membuktikan itu ke aku."
"Siap, siap...!"
"Ya udah, sekarang buruan bangun, mandi, terus sarapan. Aku juga mau siap-siap berangkat ke hutan nih..."
"Iya, but, hmmm...boleh aku tanya lagi nggak?"
"Ya?"
"Kamu janji bakalan mencintai aku?"
"Kok nanya itu lagi?"
"Please answer!"
"Aku janji,"jawab Diki mantap.
"Meskipun kita nggak bersama?"
"Ya."
"Thanks, Dik..."
"Ya, ya. Kamu buruan mandi sana..."
"Siap Bos!" jawab Rayan dengan nada canda.
***
Kegiatan perkuliahan dimulai. Seperti biasanya, pada hari-hari awal perkuliahan, mahasiswa masih bisa bersantai. Datang ke ruangan hanya untuk perkenalan dengan dosen dan mata kuliah yang mereka bidangi. Para siswa diperintahkan mencari buku-buku referensi sebagai bahan rujukan dalam sesi perkuliahan. Selain itu para dosen kembali mengingatkan tentang peraturan yang diterapkan oleh mereka mengenai segala hal. Dari aturan busana, absensi dan pemberian nilai. Rayan dan sebagian besar mahasiswa menguap lebar mendengar ocehan dosen yang sudah mereka hafal di luar kepala itu.
Setelah jam perkuliahan pertama yang penuh 'obrolan kosong' itu selesai, Rayan pergi ke kantin. Di pintu kantin ia tak sengaja bertemu dengan Fandy.
Mereka berdua bertatapan. Tapi Fandy buru-buru membuang pandangannya dan nampak kikuk.
Rayan tersenyum kecil. Ia tahu bagaimana perasaan teman yang sudah menusuknya dari belakang itu. Tapi jujur, saat melihat sosok Fandy sekarang, Rayan tidak merasakan apa-apa. Ia biasa saja. Ia tidak merasa sakit atau marah. Mungkin karena ia sudah mengikhlaskan semuanya.
Rayan lantas menghampiri. Fandy semakin kikuk saja. Ia nampak salah tingkah antara tetap berdiri atau ngibrit dari sana.
"Hay, Fan! Gimana kabar lu? Long time no see...!" tegur Rayan ramah.
"B-baik Yan..." jawab Diki dengan canggung.
"Gimana liburan lu? Menyenangkan?"
"Biasa aja kok."
"Hubungan lu sama Tommy gimana? Fine-fine aja kan?"
Fandy semakin canggung. Raut wajahnya menampilkan ketidaknyamanan.
"Gak usah canggung, Bro. Itu masa lalu. Gue dukung kok kalian berdua..."kata Rayan tulus sambil menepuk pundak Fandy.
"Gue sama Tommy udah berakhir..."
"Really? Are you kidding me?"
"Gue serius, Yan. Setelah lu kabur, Tommy marah-marah sama gue. Dia langsung mutusin gue," terang Fendy.
Rayan mangut-mangut.
"Gue cuma mainan bagi dia," sambung Fandy dengan suara berat.
"Aduh, gue gak tahu mesti ngomong apa. Yang jelas, I'm so sorry to hear that. Seriously!" kata Rayan sungguh-sungguh.
"Thanks, Yan. Gue rasa ini karma buat gue yang udah nusuk lu dan menghancurkan hubungan teman gue sendiri..."
"Udah lah. Jangan anggap itu karma atau apa. Yang jelas jadikanlah semua yang kita dapatkan itu sebagai pengalaman di masa datang..."
"Iya, Yan. Thanks banget..."
Rayan tersenyum.
"Ya udah, gue masuk dulu ya. Udah laper banget ini!"pamit Rayan sambil mengelus perutnya.
Fandy mengangguk.
Rayan melangkah sambil tersenyum lebar.
Dan sekarang sudah tahu kan siapa yang tersenyum paling akhir? Gumamnya dalam hati...
***
udeh ah gw baca dulu lanjutannya
secara bnyak gangguan :P
#lirik kebelakang
jadi diki yg aku tarik?
yeeessssss.... *peluk diki*
@kimo_chie liat aja ntar. Xixixi
@ozy_permana Itu bapaknya Diki.
hah? jadi????
*ngumpet diselangkangan tommy*
@ozy_permana Tommy gak punya selangkangan #eh
"Apa kabar lu, Bro? Makin makmur aja nih kelihatannya?"sapa Wanto sambil memeluk Rayan.
"Baik, Bro. Lu sendiri gimana?"
"Seperti yang lu lihat? Hehehe..."
Rayan ikutan ketawa.
"Jadi gimana liburan lu di Kampung? Kayaknya betah banget di sana..." korek Wanto sambil berkedip.
"Nothing special sih..."
"Alah! Gue gak percaya! Kalo gak ada yang istimewa, ngapain lu betah bertapa di daerah terpencil kek gitu? Tiga bulan full!"kejar Wanto.
"Kepo banget sih lu?"
Wanto terbahak.
"Share dong ke gue. Gimana kelanjutan cinta lu sama---siapa nama cowok kampung itu?"
"Diki."
"Yup, Diki. Sempat ONS? Hahahaha...!"
"Shit!"
"Atau malah udah pacaran? Ayo dong cerita!"desak Wanto.
"Kasih tau nggak ya??"
"Come on! Gue udah penasaran banget nih sama cerita pemuda kota versus cowok kampung..."
"Heeemmmbb, yes. I got him!"
"Seriously? Wooww...!! Bravo! Gimana ceritanya tuh? Kok bisa? Emang di kampung ada juga ya cowok gay?" Wanto memberondong Rayan dengan segudang pertanyaan.
"Aduh, gue mesti jawab yang mana dulu nih?"
"One by one, dong, hihihi..."
"Oke, tapi off the record ya?"
"Preett! Emang situ artis? Cuih!"
Rayan terkikik.
"Gue mesti mulai dari mana ya? Hemm... Dari awal aja kali ya?"
"Boleh. It's up to you, Bro."
"Setelah gue menangkap basah dua pengkhianat, hmm, si Tommy dan Fandy, gue pan udah kasih tau lu kalau gue mau liburan ke Bermani Ulu, di tempat Nenek. Dan gue pikir, di sana gue cuma bakalan merem di kamar sambil tiduran atau meratapi nasib atau paling banter berjalan-jalan di pematang sawah. But, ternyata liburan gue kali ini melebihi ekspektasi itu. Lu tahu siapa yang sudah merubah gambaran itu? Yes, he's Diki!!
Hmm...gue sama dia itu... Mungkin bisa dibilang jodoh kali ya? Gak berlebihan sih... Cause di hari pertama gue ke sana, kita tuh udah ketemu. Dua kali malah. Pertama pas mobil gerobak yang bawa gue itu melintasi dia yang lagi naik sepeda. Dan yang kedua waktu gue lagi jalan ke rumah Nenek. Kita sempat bertegur sapa..."
Wanto mengangguk-angguk mendengar cerita Rayan.
"Eh, esok harinya, lagi-lagi kita ketemu. Waktu gue pulang dari sawah, topi kesayangan gue hanyut dan berhasil diselamatkan oleh dia. Dia tengah mandi waktu itu, Bro. And bodinya itu ohhh... I like it so much! Terbetuk secara alami karena tempaan alam. He's yummy! Bahkan saking ngilernya, gue lupa nanya siapa namanya.
Gue pikir, kesempatan gue buat kenalan sama dia udah lewat. But, ternyata masih ada pertemuan selanjutnya. Suatu ketika gue ke pasar dan tergerak nolongin bawa belanjaan seorang ibu-ibu yang lumayan banyak. And she is his Mom. Kebetulan yang sempurna kan? Akhirnya kitapun kenalan. Namanya Diki. And...stories was begin..."
Rayanpun menceritakan semua kisahnya selama tiga bulan di Kampung bersama Diki sedetil-detilnya pada Wanto. Wanto pun mendengarkannya dengan atusias. Sesekali ia berseru, tersenyum, sedih, terkekeh dan mangut-mangut.
"Jadi Diki udah resmi jadi PLU dong sekarang?"tanya Wanto diakhir cerita yang disampaikan Rayan.
"I dunno. Gue juga gak nanya apakah dia pure gay or biseksual. Lagian gak penting juga buat gue. Yang terpenting itu dianya cinta sama gue."
"Ya, ya. Apapun orientasi seksnya, yang jelas gue salut sama lu berdua! Terlebih-lebih lagi sama lu, Yan. Pelet apa sih yang lu mainkan sehingga cowok kampung aja bisa takluk sama lu? Bagi gue dong..."
"Lu mau tahu?"
"Apa?"
"Ini..."jawab Rayan sambil menyentuh dadanya. "Pelet yang paling manjur adalah hati...."
"Preett dah!"
"Serius gue!"
"Kalo emang iya, kenapa si Tommy bisa main gila sama si Fandy??"sentil Wanto.
"Kalo soal itu sih, dia nya aja yang buta! Jelas-jelas gue lebih bening dan lebih segalanya dari si Fandy, eeehh..tetap aja cari jajanan di luar! Sekarang lu liat kan siapa yang menelan pil paling pahit? Gue atau mereka?"
Wanto mengangguk-anggukkan kepalanya.
"Jadi sekarang status kalian gimana nih? LDR atau cuma cinlok?"
"Cinlok? Cuma cinta sesaat maksud lu? Ini cinta sepanjang waktu, Wan!"
Wanto terkekeh.
"So, artinya lu berdua LDR dong?"
"Ya. Kita LDR nih. Hiks... Semoga aja kita bisa kuat ya, Bro?"
"Harus dong, Yan. Lu harus ingat gimana perjuangan lu ngedapetin si Diki. Gimana juga perjalanan romansa kalian selama ini. Kalian itu pasangan yang sangat serasi. Gue aja ngiri banget dengar cerita lu barusan. Hhheeehh...kapan ya gue bisa ngerasain indahnya cinta?"
"Untuk ngerasain indahnya cinta, lu musti ngerasain sakitnya dulu. Sebelum lu ngerasain sakit karena cinta, lu gak bakal bisa ngerasain indahnya cinta itu secara sempurna!"
"Jadi maksud lu gue harus ngerasain dikhianati juga gitu?" seru Wanto sambil melotot.
Rayan terkikik.
"Ya..."
"Kampret lu!" semprot Wanto.
"Hahahaha...!!!"
***
Rayan membuka buku agendanya. Sudah belasan tugas yang tercatat dalam agendanya. Semuanya deadline dan menuntut untuk dikerjakan secepatnya. Dan baru saja dua menit yang lalu, Miss. Leffy, dosen mata kuliah Teaching English as Foreign Language (TEFL) menambah daftar panjang tugas perkuliahan yang baru saja berjalan dalam hitungan hari ini. Dan menurut Rayan (dan mahasiswa lainnya) ini adalah tugas terberat. Pasalnya tugas dari mata kuliah ini terdiri dari tiga jenis. Tugas mingguan, tugas tengah semester dan tugas semester. Pada tugas mingguan, mahasiswa diwajibkan membuat summary dari setiap chapter yang dibuat dalam bentuk diagram di power point setelah itu dipresentasikan di depan kelas. Dari hasil diagram dan performa inilah sang dosen memberikan penilaian per tatap muka. Sementara itu, pada tugas tengah semester, mahasiswa dibebani tugas menghubungkan semua diagram dari chapter pertama sampai chapter terakhir dalam bentuk diagram pohon, untuk memperlihatkan keterkaitan antar chapter. Puncak dari 'kemegahan' tugas ini berlangsung saat akhir semester. Mahasiswa ditugaskan membuat silabus berdasarkan pembahasan yang sudah dipelajari selama 1 semester, dilengkapi dengan satu metode pengajaran yang menarik untuk diterapkan di dalam kelas, sehingga isi silabus bisa tersampaikan dengan maksimal kepada para siswa.
Rayan langsung memegang kepalanya yang tiba-tiba langsung oleng membayangkan tugas demi tugas yang harus ia kerjakan. Ia tak yakin apakah bisa melewati semester ini dengan gemilang.
Tiba-tiba saja terngiang di telinganya akan janjinya pada Diki sewaktu di telepon.
"...Aku bakalan semangat biar bisa meraih IP yang bagus. Lihat aja, ntar bakal aku tunjukin ke kamu!"
Janji itu semakin membuat kepala Rayan puyeng. Ia terlalu sesumbar pada Diki. Seharusnya ia tak menjanjikan apa-apa.
Rayan lantas menutup agendanya dengan lemas. Semakin lama agenda itu terbentang di hadapannya, semakin puyeng pula kepalanya. Bahkan semakin lama, tulisan di lembaran agenda itu nampak semakin kabur dan melebur.
"Hey, ke kantin yuk, Yan?"ajak Arshan, teman yang duduk di belakangnya.
"Lu aja gih. Gue gak semangat nih..."tolak Rayan halus.
"Kenapa lu? Kok lemas gitu?"
"Nggak apa-apa sih. Cuma rada senewen aja memikirkan tugas yang pada numpuk..."
"Sama nih Bro! Pusing gila gue bayanginnya. Padahal baru aja ngebayanginnya. Gimana kalo udah ngerjainnya ya? Hadeehh...bener-bener dah semua dosen gak berprikemanusiaan banget! Apalagi yang baru tadi tuh, dari si Lepok..."gerutu Arshan.
Si Lepok yang baru saja ia sebut adalah nama pelesetan yang disematkan mahasiswa untuk Miss. Leffy.
"Parah! Lepok emang kasih tugas seenak udelnya aja deh!"komentar Rayan ikutan sebel.
"Balas dendam kali tuh orang ya? Siapa tahu zaman dia kuliah dulu, sering diginiin juga sama dosennya..."tebak Arshan sinis.
"Mungkin..."ucap Rayan pelan sambil menyandarkan tubuhnya ke belakang kursi.
"Gue yakin seratus persen emang kek gitu! Gue sering dengar cerita dari kakak tingkat kalo dosen-dosen kita ini kerap kali menjadikan kita sebagai ajang balas dendam gitu deh..."
"Ngaco lu...!"
"Serius gue! Terlebih lagi kalo dosennya lulusan sini juga...tambah parah tuh kelakuannya..."
"Kalo emang gitu, nggak adil banget ya? Masa melampias kekesalan mereka ke kita-kita yang nggak bersalah sih? Seharusnya mereka itu ngerti dong kalo diperlakukan semena-mena itu rasanya kek apa? Kalo mereka nggak suka, gitu juga orang lain. Seharusnya mereka menghentikan perlakukan kayak gitu. Lha kok ini malah dilampiaskan ke mahasiswanya sih? Kalo gini caranya, tradisi balas dendam ini bakalan terus berlangsung dong. Ntar pas angkatan kita yang jadi dosen balas dendamnya ke mahasiswanya, terus kalo mahasiswanya udah jadi dosen balas dendamnya ke mahasiswanya lagi..., begitu seterusnya..."
"Yaa...seperti kata lu tadi bilang, udah tradisi! Tapi nggak semua dosen kayak gitu sih Bro! Sama halnya nggak semua orang berpikiran picik kan? Banyak juga lho dosen yang pengertiannya luar biasa? Mereka memahami kesulitan mahasiswanya..."
"Jelaslah ada. Kalo semua dosen kayak si Lepok, udah dari kemaren-kemaren gue cabut dari sini!!!"
Arshan terkekeh.
"Kalo gue jadi dosen, gue juga bakal berbuat sama kayak si Lepok. Mau gue siksa mahasiswa gue. Biar tahu rasa mereka!"
"Nah lu? Itu picik namanya!! Nawaitu lu jahat banget... Nggak akan diridhoi sama Tuhan!"
Arshan terbahak.
"Gue bakalan berdoa siang dan malam supaya lu gak jadi dosen! Gue gak mau nasib pendidikan bangsa ini jadi hancur karena segelintir orang kayak lu!"
"Busyet dah lu, Yan! Nyumpahin gue lu?!"
"Ya!"
"Jahat lu ah! Seharusnya lu itu mendoakan teman lu ini jadi orang yang sukses, bukannya menghalangi jalannya kek gitu dong..."
"Habis niat lu udah jelek banget!"
"Becanda aja kaleee..."
"Ah, gue yakin 99,9 % kalo lu jadi dosen, lu bakalan merealisasikan niat jahat lu itu!"
"Jiah... Hahahaha...! Sialan lu!"
"Kalo lu mau nggak mau gue doakan yang jelek-jelek, lu harus sungkem sama gue sekarang atau minta si Lepok mengurangi tugasnya yang seabrek itu..."
"Hah? Heeemmm... Baiklah.... Tapi... Sungkem atau minta keringanan dari Lepok ya? Akh, makan aja dulu, deh! Hihihihi..." seru Arshan diiringi tawa sembari berlari keluar ruangan.
"Dasar...! Korban iklan!!"teriak Rayan.
Sepeninggalan Arshan, Rayan tiba-tiba teringat Diki. Ia ingin sekali mendengar suara kekasihnya itu. Biasanya Diki selalu mampu menenangkan serta membangkitkan semangatnya. Rayan lantas mencari nama Diki di phone book-nya. Tapi niatan itu langsung ia urungkan setelah ingat bahwa Diki tak mungkin bisa dihubungi siang hari. Seperti biasanya, Diki pasti lagi di hutan.
Rayan menghela nafas berat. Sekarang rindunya pada Diki bertambah dua kali lipat. Kenyataan bahwa ia harus menunda mendengar suara lembut nan menyejukkan hati itu, semakin menambah rasa rindu Rayan makin menggebu-gebu. Apa boleh buat, ia harus menunda keinginannya itu hingga malam nanti. Rayanpun hanya mengirimkan pesan singkat untuk Diki yang berisi tentang kesediaan Diki meneleponnya malam nanti. Semoga saja saat Diki menghidupkan HP-nya, sms itu kangsung diterima dan dibacanya, harap Rayan dalam hati.
Ternyata, baru beberapa menit SMS itu terkirim, nada dering Rayan langsung mengalun.
Diki calling !!!
Wajah Rayan langsung berbinar antara senang dan tak percaya. Buru-buru ia tekan tombol hijau dan mendekatkan HP ke telinganya.
"Serius ini Diki?!"
"Halo..." sapa suara di seberang dengan kalem.
"Beneran ini Diki...?"
"Terus siapa lagi?"
"Kamu nggak ke hutan, Dik?"
"Nggak, Yan. Di sini hujan lebat. Aku nggak bisa kemana-mana nih..."
"Oh, gitu...."
"Iya. Kamu lagi apa? Kenapa nyuruh aku telepon malam nanti?"
"Akh, nggak apa-apa kok. Cuma kangen aja..."jawab Rayan sambil keluar ruangan. Ia tak mau ada orang lain yang mendengar pembicaraannya dengan Diki.
"Aku pikir ada yang penting."
"Penting banget kok! Aku rindu sama kamu. Mendengar suara kamu itu sangat penting bagi aku sekarang..."
" Iya, iya..."
"Kamu nggak rindu ya sama aku? Kok nggak pernah hubungi aku? Selalu aja aku yang mulai duluan..." gerutu Rayan.
"Rindu juga. Cuma aku nggak mau ganggu kamu, Yan. Takut mengacaukan konsentrasi kamu..."
"Omong kosong! Kamu itu bagaikan vitamin buat aku. Justru sapaan kamu itulah yang bisa menambah daya konsentrasiku, hihihihi..."
"Apa iya?"
"Iya! Apalagi di saat-saat seperti sekarang ini, kehadiran kamu itu sangat aku harapkan, Dik. Kepalaku serasa mau pecah melihat daftar tugas yang diberikan para dosen. Grrr...! Baru awal perkuliahan aja udah segini numpuk tugasnya. Apalagi akhir semester nanti?
Nah, dengan mendengar suara kamu, itu bisa mendinginkan kepalaku... Dapat menenangkan hatiku... Mampu membangkitkan semangatku..."
Diki terkekeh.
"Kamu terlalu berlebihan, Yan."
"Aku serius. Kamu itu seperti candu buatku..."
"Aku mau jadi candu asalkan bisa mendatangkan manfaat bagimu..."
"Tentu saja. Kamu udah mengeluarkanku dari dalamnya lubang menganga akibat luka, lalu kamu menegakkan kembali tubuhku yang tertatih hingga bisa berjalan sendiri seperti sekarang. Bukankah itu artinya kamu sungguh berarti bagiku?"
"Oke. Kalau begitu tunjukkan padaku kalau usahaku untuk membuatmu berdiri tak sia-sia dengan cara teruslah semangat dalam situasi apapun. Jangan pernah kembali rapuh apalagi terjatuh hanya karena setumpuk tugas kuliah yang memang sudah menjadi kewajibanmu..."
"Tapi ini tak mudah..."
"Tak ada yang mudah, tak ada yang sulit. Semuanya akan terasa mudah jika kau membuatnya mudah, begitu pun sebaliknya..."
Rayan menelan ludah. Ia bisa melukiskan bagaimana raut muka Diki saat mengucapkan kalimat-kalimat itu. Tenang, lembut dan bersahaja.
Hati Rayan pun kembali di dera rindu yang begitu dalam.
"Dik... Aku rindu..."desis Rayan.
"Aku juga...," balas Diki.
"Rindu serindu-rindunya ini."
"Kalau kamu masih merindukan aku, itu tandanya kamu masih mengingat aku. Aku senang dengernya."
"Tapi rindu ini begitu membuncah lho... Sampai-sampai aku tak sanggup bernafas rasanya, huhh..huhh...!"
Diki terkekeh.
"Seandainya kamu ada di sampingku sekarang, aku pasti sudah peluk kamu erat-erat. Gak perduli banyak orang yang lihat. Aku juga bakal cium kamu. Cium di bibir!"
"Weeww... Hahaha...!"
"Sumpah, Dik! Aku rindu berat! Dengar suara kamu sekarang, makin membuat rinduku semakin menjadi..."
"Aduh, kalau begini caranya, kita nggak boleh sering-sering berkomunikasi nih?" ujar Diki tiba-tiba.
"Kenapa?"
"Sepertinya komunikasi kita yang intens, berdampak negatif buat kamu. Soalnya ini bikin kamu selalu teringat kampung. Kamu jadinya nggak fokus. Maunya SMS-an atau teleponan mulu untuk menuntaskan kerinduanmu. Jadi kapan kamu belajarnya??"
"Tapi kalau nggak komunikasi, bisa membuat aku makin tersiksa, Dik..."
"Pada awalnya memang begitu. Tapi lama-kelamaan kamu akan terbiasa. Ibarat luka, selebar dan sedalam apapun lukanya, lambat laun akan mengering juga kan? Begitu juga rindu. Semakin kau abaikan, maka perlahan kerinduan itu akan terkikis."
"Jadi maksud kamu, aku harus memusnahkan kerinduan ini begitu? Kenapa? Kamu nggak mau dirindukan aku?"
"Bukan begitu, Yan. Aku cuma ingin yang terbaik buat kamu. Aku ingin cinta kita, kerinduan kita, jarak yang memisahkan kita dan segala tentang kita tidak menjadi penghalang bagimu untuk menjalani kuliah dan aktivitas kamu yang lainnya..."terang Diki.
"Aku nggak merasa 'tentang kita' ini mejadi penghalang. Justru ini menjadi kekuatan bagiku..." bantah Rayan.
"Tapi coba kamu pikir, contohnya sekarang aja, kamu sudah menghabiskan banyak waktu untuk ngalur ngidul denganku. Apa kamu dapat? Bagaimana tugas-tugas kamu? Masih jalan di tempatkan? Coba kalau kamu pergunakan waktumu yang berharga ini untuk mulai menyicil ngerjain tugasnya, seenggaknya tugas kamu makin berkurangkan??"
"Aku nggak bisa memaksakan diri untuk memulai sesuatu yang aku belum siap, Dik. Ntar hasilnya nggak maksimal lagi..."
"Rayaannn..., kalau kamu menanti kata siap dari hati kamu, kesiapan itu nggak pernah ada. Yang ada cuma ' entar deh... Tunggu dulu deh...'. Akhirnya kerjaan kamu diundur lagi, diundur lagi. Ayolah, semangat, Sayang. Aku tuh pengen banget lihat kamu sukses. Terlebih lagi jika aku turut andil dalam kesuksesanmu itu. Setidaknya meskipun aku tak punya kesempatan untuk kuliah, tapi aku punya kebanggaan karena bisa menjadi penyemangat orang yang kucintai sampai ia mampu menamatkan bangku kuliahnya..."
Hati Rayan trenyuh mendengar ucapan Diki barusan. Ia bisa merasakan betapa kuatnya semangat dan keinginan Diki untuk melanjutkan pendidikannya. Ia bisa merasakan kegetiran di dalam nada bicaranya meskipun Diki berusaha untuk terdengar biasa.
"Bisakah kau memenuhi keinginanku itu, Yan?"tegur Diki memecah kebisuan.
"Aku tak berani menjanjikan apa-apa, Dik. Tapi aku akan berusaha..." jawab Rayan pelan.
"Kamu pasti bisa. Berusahalah sekuat tenaga. Taklukkan segala rintangan apapun! Aku selalu mendukungmu dari sini. Aku siap menantikanmu kembali..."
Mata Rayan langsung berkaca-kaca. Sebutir air mata nyaris jatuh ke pipinya.
"Baik...baiklah! Kita sama-sama berjanji! Aku akan pendam segala kerinduanku. Akan kunikmati sendiri sampai hari itu tiba. Setidaknya sampai lima bulan ke depan, sampai akhir semester mendatang..." ucap Rayan.
"Lakukan yang terbaik dan berikan pula yang terbaik, Sayang."
Rayan menggigit bibirnya. Tanpa sepatah kata pun ia langsung menutup sambungan.
"Aku pasti bisa! Aku bisa!" ucap Rayan berkali-kali sambil mengepalkan tinjunya.
***
"Sarap kali lu ya! Lima bulan?! Emang lu sanggup?!"
Rayan mengangkat bahunya tanda tak yakin.
"Lha terus kenapa lu berdua bikin perjanjian itu?"
"Gue cuma pengen ngebuktiin kalau gue itu serius sama dia. Sampai-sampai keinginan dia pun gue ikuti..."
"Tapi nggak segitunya juga kali, Yan? Yang menderita kan lu sendiri?"
"Kalau memang ini bisa membuat Diki nyaman, gue terima aja..."
"Tapi lu kan nggak nyaman?"
"Gue bakalan berusaha dulu. Kalau memang nggak sanggup, apa boleh buat? Gue terpaksa ngejilat ludah gue sendiri..."
Wanto geleng-geleng kepala.
"Lagian juga kalian berdua ini aneh banget sih?! Pasangan yang lain pengennya terus keep in touch, kok lu berdua malah pengen no communication sih?" tanya Wanto tak habis pikir.
"Gue kan sudah bilang sama lu, si Diki itu jalan pikirannya nggak sama kek orang kebanyakan. Jalan pikirannya itu sangat rumit!"
Wanto mengangguk-angguk setuju.
"Jadi menurut lu gue harus gimana nih?"tanya Rayan meminta saran.
"Ya lu jalani aja sesuai janji lu kalian. Lu buktikan ke Diki kalau lu sungguh-sungguh pengen mewujudkan permintaannya. Di akhir semester nanti, lu kudu dapat IP di atas tiga koma nol!"
Rayan memutar bola matanya.
Wanto terkekeh.
"Bisa nggak ya?"
"Gue yakin lu pasti bisa! Kalau membolak-balikkan hati straight jadi Gay aja lu mampu, masa cuma untuk dapat IP segitu aja lu nggak sanggup?"ledek Wanto.
"Ugh! Ini mah beda, Dodol!"
Wanto meletin lidahnya.
***
Rayan benar-benar berusaha mewujudkan tekadnya. Ia tidak main-main ingin membuktikan pada Diki bahwa ia mampu menjadi orang yang Diki harapkan. Lagi pula toh semua itu demi kebaikannya juga. Jika ia mendapat IP yang bagus, yang untung dia juga. Jadi agar tidak menjadi beban, Rayan mengubah persepsinya terlebih dulu. Ia tanamkan dalam hati bahwa apa yang ia lakukan saat ini, bukanlah untuk orang lain, bukan pula untuk Diki, semata-mata untuk masa depannya sendiri. Dengan begitu hati Rayan terpacu.
Sulit memang bagi Rayan untuk mendisiplinkan dan menguatkan hatinya. Tidak cukup satu-dua minggu untuk menghilangkan kebiasaan malasnya. Begitu banyak godaan yang datang. Terkadang badmood, kondisi tubuh yang tidak fit, atau problem-problem lain yang datang di luar dugaan. Semua itu cukup menjadi senjata ampuh untuk mengendorkan semangatnya. Belum lagi jika rindu pada kekasih yang tiba-tiba menyerang sanubarinya, melumpuhkan kekuatan yang pelan-pelan mulai ia bangun dari nol. Rayan nyaris tak berdaya. Acap kali ia ingin menyerah saja dan menghubungi Diki. Ia ingin membuat kesepakatan baru. Mereka tetap boleh berkomunikasi tiga hari sekali, atau minimal seminggu sekali saja untuk menuntaskan rindu. Ia janji komunikasi mereka tidak akan mengganggu aktivitas perkuliahan dan kegiatan yang lainnya.
Tapi lagi-lagi egonya bermain. Ia masih memikirkan gengsi. Ia tidak mau Diki semakin mengkhawatirkan dirinya. Ia ingin Diki di kampung nun jauh dari pandangannya itu terus berpikir kalau ia baik-baik saja.
Jika gengsi sudah menguasai, kembali timbul semangat dalam diri Rayan untuk terus melaju menyongsong hari demi hari dalam kerinduan. Jika rindu sudah tak tertahankan, ia kerap kali berlari ke Wanto. Meminta Wanto memberikan sepatah dua patah kata agar kecamuk di hatinya kembali reda. Wanto pun dengan tangan terbuka membantu Rayan lepas dari belenggu kerinduannya. Ia mengajak Rayan pergi bersama, menonton bersama, olahraga bersama, dan beraga, kegiatan lain yang ia harapkan mampu mengalihkan pikiran Rayan dari sosok Diki. Di sela-sela kegiatan bersama itu, Wanto juga kerap menyampaikan kata-kata motivasi yang ia comot dari berbagai sumber.
"Gue ada kata-kata yang cocok buat lu nih, Bro!"kata Wanto sambil menggerakkan tracball BB-nya ke bawah.
"Apaan?" sahut Rayan sambil menyesap Hot Ginger Tea yang tinggal seperempat gelas.
Saat ini mereka berdua tengah duduk di sebuah cafe kecil di sudut taman sembari menghabiskan petang yang sedikit kelabu.
"Gue bacain ya?"
"He-eh," jawab Rayan sembari menaruh gelas minumannya ke atas meja.
"Listen carefully! Ini kata-kata motivasi terbaru tahun 2012!" terang Wanto.
"Iya buruaann...!"
Wanto nyengir.
"Oke, the first, Apapun yg terjadi, nikmati hidup ini. Hapus air mata, berikan senyummu. Kadang, senyum terindah datang setelah air mata penuh luka.*"
Rayan mengangguk-anggukan kepalanya.
"Next! Mencemaskan apa yg mungkin terjadi hanya membuang waktumu. Itu hanya membebani pikiranmu dan mengambil kebahagiaanmu."
Rayan mangut-mangut.
"Then, Jangan menunggu waktu yg tepat tuk melakukan hal yg baik. Jangan terus bertanya apa yg mungkin terjadi, beranikan diri!"
"Oke..."
"Eh, gue pilih random ya? Yang sesuai untuk lu aja..." beritahu Wanto.
"Ya dong. Ngapain lu baca yang melenceng dari problem gue saat ini?"balas Rayan.
Wanto monyongin bibirnya.
"Lanjut! Dalam hidup, kamu harus menyadari, kadang orang yg paling kamu inginkan, adalah orang yg buat hidupmu lebih baik jika tanpanya.."
"Really? Masa sih?" reaksi Rayan.
Wanto mengangkat bahunya.
"Kemudian...uhhmm... Nah, ini cocok buat gue!" seru Wanto.
"Kok untuk lu sih?"
"Denger dulu...lu pasti bakalan setuju ama gue. Gini bunyi kalimatnya: Kadang, masalah adalah satu-satunya cara tuk tahu siapa yg tulus peduli padamu dan siapa yg berpura-pura jadi temanmu," baca Wanto sambil melirik ke Rayan dengan senyum-senyum.
"Kenapa lu?"
"Yahh..you know laahh.., hehehe..."
"Maksudnya, lu itu teman yang tulus gitu, eh?"
"Aduh, gue nggak ngomong gitu yah..." jawab Wanto ngeles.
Rayan meletin lidahnya.
"Lanjut!"
"Nah, yang itu pas banget buat lu, nih. Denger baik-baik ya..., Jangan menyerah atas sesuatu yg sangat kamu inginkan. Memang sulit tuk menunggu, tapi akan lebih sulit jika akhirnya kamu menyesal."
"Yah, gue bakal lanjut terus..." komentar Rayan.
Wanto mengangkat jempol kirinya.
"Ada lagi?"
"Banyak banget ini. Mendingan lu baca sendiri deh...!" kata Wanto sambil menyodorkan BB-nya ke Rayan.
"Oke, oke, for the last, bacakan satu motivasi lagi sebelum kita pulang. Bentar lagi adzan Maghrib nih..."
"Uhhmm... Apa ya?? Yang ini..., emm... Kalau yang ini...? Ah, yang ini aja deh! Dengar baik-baik ya:
You can't go back and make new start.. But you can start now to make new end..."
"Sip! Kita cabut sekarang!" pungkas Rayan sembari menenggak habis sisa Hot Ginger Tea-nya.
Setelah membayar menu yang tadi dipesan, keduanya bergegas menuju parkiran.
Sementara itu petang makin kelabu. Mega mendung berarak di atas sana. Sepertinya sebentar lagi hujan akan turun.
Rayan buru-buru masuk ke mobil. Sementara Wanto masih berdiri di samping mobil dan fokus menatap layar BB-nya.
"Woy, buruan!"tegur Rayan sambil mengetuk kaca mobil.
"Bentar... Gue balas ini dulu..."
Rayan meliukkan bibirnya kesal.
"Sudah nih. Yuk cabut...!" ajak Wanto sambil memasukkan BB-nya ke saku celana. Kemudian ia membuka pintu mobil.
Rayan melotot mengamati gerakan Wanto. Saat itulah ekor matanya menangkap sesosok cowok yang terasa familiran. Cowok itu tengah melangkah mendekati mobil mereka.
Rayan langsung menoleh dan menajamkan pandangannya. Saat melihat sekilas tadi hatinya langsung berdetak dan menyebut nama "Tommy". Dan dugaannya itu memang benar. Cowok itu adalah Tommy.
"Ada Tommy, Wan!" seru Rayan segera memberitahu ke Wanto.
"Mana?" tanggap Wanto sambil menoleh ke arah telunjuk Rayan.
"He-eh, itu Tommy. Dari cafe juga?"
"Kayaknya sih gitu..."
"Terus gimana? Lu mau menghindar?"
"Nggak. Gue justru pengen sapa dia."
"Buat apa?"
"Apa salahnya silaturahmi? Dulu mungkin dia pernah nyakitin gue, tapi gue udah melupakannya kok...,"terang Rayan sambil membuka pintu mobil. Ia lantas keluar dan bersender di sisi mobil, menunggu Tommy mendekat.
"Lu serius? Ntar dia nambah masalah lagi..."
"Nggak. Gue cuma pengen say hello aja kok..."
"Terserah lu deh kalo gitu..." kata Wanto tak ambil pusing.
Orang yang bicarakan itu sepertinya belum menyadari kehadiran mereka. Tanpa menoleh, Tommy langsung bergegas menghampiri Vision merahnya yang terparkir tak jauh dari mobil keduanya.
"Tommy...!"teriak Rayan.
Tommy yang baru menaiki motornya langsung menoleh.
Rayan melambaikan tangannya.
"Hey...!"balas Tommy sembari tersenyum manis. Ia pun kembali turun dari motornya dan melangkah menghampiri Rayan dan Wanto.
Rayan dan Wanto memasang senyum manis sembari menunggu Tommy mendekat.
"Apa kabar, Bro?" sapa Tommy ramah sambil memeluk keduanya satu per satu.
"Baik. Lu apa kabar?"balas Rayan.
"Sama. Eh, kapan lu pulang?"
"Sehari sebelum masuk kuliah."
Tommy mengangguk-angguk.
"Eh, iya, lu ganti nomor kan? Kok nggak kasih tahu gue sih? Bagi dongg..." pinta Tommy.
"Buat apa lu?"celetuk Wanto.
"Buat komunikasi aja kok. Kita kan temenan?"
Wanto mangut-mangut.
"Bolehkan, Yan?" tanya Tommy meminta dukungan.
"Boleh kok," jawab Rayan.
"Tapi lu jangan macam-macam ya, Tom. Rayan udah punya pacar di kamp---" timpalannya langsung terhenti karena mulutnya keburu dibekap Rayan.
Tommy tersenyum tipis.
"Akhirnya lu pacaran juga ya sama si Diki?"tanya Tommy.
Rayan mendelik kesal pada Wanto yang bermulut ember.
"Kenapa? Lagi pula Tommy udah tahu kok..." kata Wanto mencari pembenaran.
"Iya. Gue dari awal udah ngerasa chemistry kalian kuat banget. Nggak heran sih kalo sekarang kalian pacaran. Selamat yah! Semoga hubungan kalian awet," ucap Tommy sambil menyalami Rayan.
Rayan membalas uluran tangan Tommy dengan ragu-ragu.
"Santai aja. Gue tulus kok," kata Tommy lagi. "Dulu gue emang orang yang pernah memperlakukan lu dengan buruk. Mungkin perbuatan gue itu nggak bisa lu maafkan. Tapi gue mau memperbaiki hubungan kita sebagai sahabat,"sambung Tommy lagi.
"Gue gak menyimpan dendam apapun sama lu dan Fandy. Bagi gue itu masa lalu yang sudah menentukan jalan hidup gue sekarang. Semua rasa sakit itu sudah lama hilang. Kalau lu emang tulus pengen temanan sama gue, pasti gue terima dengan senang hati, kok."
"Nah, udah lu dengerkan jawaban dari Rayan? Dia udah maafin lu, Tom. Semoga ke depannya lu bisa belajar dari kesalahan..."celetuk Wanto.
Tommy mengangguk.
"Oke, nomer lu masih yang lama kan? Ntar gue miscall deh..." kata Rayan mengalihkan pembicaraan.
"Ya, masih nomer lama kok."
"Sip. Kalau gitu, tunggu aja ya... Kita mau cabut nih..." pungkas Wanto.
"Iya, Tom. Keknya bentar lagi hujan nih..."sambung Rayan sambil menatap langit yang semakin gelap.
"Iya. Gue juga mau balik. Takut kehujanan di jalan..." balas Tommy.
"Oke, kalo gitu see you next time!"
Tommy mengangguk khidmat...
Dalam perjalan pulang ke rumah...
Wanto kembali mengungkit tentang pertemuan mereka dengan Tommy.
"Eh Yan, lu ngerasa nggak perubahan sikap si Tommy?"
"Maksud lu?"
"Tumben tuh anak sopan? Biasanya kan sengak banget?"
"Biasa aja kok..." jawab Rayan santai.
"Jelaslah lu ngomong begitu! Dia mantan lu! Selama sama dia, mana lu ngerasain dia sengak atau nggak? Setahu lu dia itu sem-pur-na!!" semprot Wanto.
Rayan langsung mendelik.
"Gue serius! Bukan gue aja yang bilang si Tommy itu sengak."
"Ya sih. Gue juga udah ngerasain waktu dia nyusul gue ke Bermani dulu. Sikapnya itu bikin eneg banget pas kenalan sama Diki. Nadanya ngerendahin banget..."
"Tuh kaann..."
"Tapi tadi---seperti kata lu--- dia sopan."
"Lagi kesambet Jin baik kali..." timpal Wanto asal.
"Baguslah. Mungkin dia udah sadar dengan sikap buruknya itu. Gue berharap dia benar-benar mau berubah dan nggak ngerasa cowok paling cakep sedunia lagi."
"Gue juga berharap gitu. Tapi lu kudu hati-hati sama dia, Yan. Siapa tahu itu cuma salah satu akal bulusnya dia buat dapat simpati lu lagi..."
"Gue udah siap dengan segala kemungkinan, Wan. Tapi menurut gue si Tommy tadi nggak main-main kok... Dia tulus."
"Eeh, jangan terlalu gampang terperdaya, Rayan! Baru gitu aja lu udah percaya..."
"Gue orangnya always positive thingking..."
"Be positive emang dianjurkan sih. Tapi berfikir positif tidak selalu baik. Selalu positif pada akhirnya bisa menjadi orang yang naif, melihat tapi buta. Di dunia ini selalu ada hitam ama putih, Bro..." kata Wanto mengutarakan opininya.
"Kalau positive thinking gak selamanya baik, apalagi kalo negative thinking? Begitukan logikanya?"
"Menurut gue, kita yang harus pinter-pinter membaca situasi. Gunakan feeling. Positive thinking dibutuhkan agar kita tetap semangat, sementara negative thingking diperlukan agar kita selalu hati-hati. Itu sih menurut gue..."
Rayan mengangguk-angguk.
"Thanks Bro atas wejangannya. Tapi dalam kasus ini, gue tetap pengen ngasih kesempatan ke Tommy. Kesempatan buat dia jadi sahabat gue..."
"Silahkan. Tapi jangan sampai lu main gila sama dia."
"NGGAK AKAN!"
...
"Sarap kali lu ya! Lima bulan?! Emang lu sanggup?!"
Rayan mengangkat bahunya tanda tak yakin.
"Lha terus kenapa lu berdua bikin perjanjian itu?"
"Gue cuma pengen ngebuktiin kalau gue itu serius sama dia. Sampai-sampai keinginan dia pun gue ikuti..."
"Tapi nggak segitunya juga kali, Yan? Yang menderita kan lu sendiri?"
"Kalau memang ini bisa membuat Diki nyaman, gue terima aja..."
"Tapi lu kan nggak nyaman?"
"Gue bakalan berusaha dulu. Kalau memang nggak sanggup, apa boleh buat? Gue terpaksa ngejilat ludah gue sendiri..."
Wanto geleng-geleng kepala.
"Lagian juga kalian berdua ini aneh banget sih?! Pasangan yang lain pengennya terus keep in touch, kok lu berdua malah pengen no communication sih?" tanya Wanto tak habis pikir.
"Gue kan sudah bilang sama lu, si Diki itu jalan pikirannya nggak sama kek orang kebanyakan. Jalan pikirannya itu sangat rumit!"
Wanto mengangguk-angguk setuju.
"Jadi menurut lu gue harus gimana nih?"tanya Rayan meminta saran.
"Ya lu jalani aja sesuai janji lu kalian. Lu buktikan ke Diki kalau lu sungguh-sungguh pengen mewujudkan permintaannya. Di akhir semester nanti, lu kudu dapat IP di atas tiga koma nol!"
Rayan memutar bola matanya.
Wanto terkekeh.
"Bisa nggak ya?"
"Gue yakin lu pasti bisa! Kalau membolak-balikkan hati straight jadi Gay aja lu mampu, masa cuma untuk dapat IP segitu aja lu nggak sanggup?"ledek Wanto.
"Ugh! Ini mah beda, Dodol!"
Wanto meletin lidahnya.
***
Rayan benar-benar berusaha mewujudkan tekadnya. Ia tidak main-main ingin membuktikan pada Diki bahwa ia mampu menjadi orang yang Diki harapkan. Lagi pula toh semua itu demi kebaikannya juga. Jika ia mendapat IP yang bagus, yang untung dia juga. Jadi agar tidak menjadi beban, Rayan mengubah persepsinya terlebih dulu. Ia tanamkan dalam hati bahwa apa yang ia lakukan saat ini, bukanlah untuk orang lain, bukan pula untuk Diki, semata-mata untuk masa depannya sendiri. Dengan begitu hati Rayan terpacu.
Sulit memang bagi Rayan untuk mendisiplinkan dan menguatkan hatinya. Tidak cukup satu-dua minggu untuk menghilangkan kebiasaan malasnya. Begitu banyak godaan yang datang. Terkadang badmood, kondisi tubuh yang tidak fit, atau problem-problem lain yang datang di luar dugaan. Semua itu cukup menjadi senjata ampuh untuk mengendorkan semangatnya. Belum lagi jika rindu pada kekasih yang tiba-tiba menyerang sanubarinya, melumpuhkan kekuatan yang pelan-pelan mulai ia bangun dari nol. Rayan nyaris tak berdaya. Acap kali ia ingin menyerah saja dan menghubungi Diki. Ia ingin membuat kesepakatan baru. Mereka tetap boleh berkomunikasi tiga hari sekali, atau minimal seminggu sekali saja untuk menuntaskan rindu. Ia janji komunikasi mereka tidak akan mengganggu aktivitas perkuliahan dan kegiatan yang lainnya.
Tapi lagi-lagi egonya bermain. Ia masih memikirkan gengsi. Ia tidak mau Diki semakin mengkhawatirkan dirinya. Ia ingin Diki di kampung nun jauh dari pandangannya itu terus berpikir kalau ia baik-baik saja.
Jika gengsi sudah menguasai, kembali timbul semangat dalam diri Rayan untuk terus melaju menyongsong hari demi hari dalam kerinduan. Jika rindu sudah tak tertahankan, ia kerap kali berlari ke Wanto. Meminta Wanto memberikan sepatah dua patah kata agar kecamuk di hatinya kembali reda. Wanto pun dengan tangan terbuka membantu Rayan lepas dari belenggu kerinduannya. Ia mengajak Rayan pergi bersama, menonton bersama, olahraga bersama, dan beraga, kegiatan lain yang ia harapkan mampu mengalihkan pikiran Rayan dari sosok Diki. Di sela-sela kegiatan bersama itu, Wanto juga kerap menyampaikan kata-kata motivasi yang ia comot dari berbagai sumber.
"Gue ada kata-kata yang cocok buat lu nih, Bro!"kata Wanto sambil menggerakkan tracball BB-nya ke bawah.
"Apaan?" sahut Rayan sambil menyesap Hot Ginger Tea yang tinggal seperempat gelas.
Saat ini mereka berdua tengah duduk di sebuah cafe kecil di sudut taman sembari menghabiskan petang yang sedikit kelabu.
"Gue bacain ya?"
"He-eh," jawab Rayan sembari menaruh gelas minumannya ke atas meja.
"Listen carefully! Ini kata-kata motivasi terbaru tahun 2012!" terang Wanto.
"Iya buruaann...!"
Wanto nyengir.
"Oke, the first, Apapun yg terjadi, nikmati hidup ini. Hapus air mata, berikan senyummu. Kadang, senyum terindah datang setelah air mata penuh luka.*"
Rayan mengangguk-anggukan kepalanya.
"Next! Mencemaskan apa yg mungkin terjadi hanya membuang waktumu. Itu hanya membebani pikiranmu dan mengambil kebahagiaanmu."
Rayan mangut-mangut.
"Then, Jangan menunggu waktu yg tepat tuk melakukan hal yg baik. Jangan terus bertanya apa yg mungkin terjadi, beranikan diri!"
"Oke..."
"Eh, gue pilih random ya? Yang sesuai untuk lu aja..." beritahu Wanto.
"Ya dong. Ngapain lu baca yang melenceng dari problem gue saat ini?"balas Rayan.
Wanto monyongin bibirnya.
"Lanjut! Dalam hidup, kamu harus menyadari, kadang orang yg paling kamu inginkan, adalah orang yg buat hidupmu lebih baik jika tanpanya.."
"Really? Masa sih?" reaksi Rayan.
Wanto mengangkat bahunya.
"Kemudian...uhhmm... Nah, ini cocok buat gue!" seru Wanto.
"Kok untuk lu sih?"
"Denger dulu...lu pasti bakalan setuju ama gue. Gini bunyi kalimatnya: Kadang, masalah adalah satu-satunya cara tuk tahu siapa yg tulus peduli padamu dan siapa yg berpura-pura jadi temanmu," baca Wanto sambil melirik ke Rayan dengan senyum-senyum.
"Kenapa lu?"
"Yahh..you know laahh.., hehehe..."
"Maksudnya, lu itu teman yang tulus gitu, eh?"
"Aduh, gue nggak ngomong gitu yah..." jawab Wanto ngeles.
Rayan meletin lidahnya.
"Lanjut!"
"Nah, yang itu pas banget buat lu, nih. Denger baik-baik ya..., Jangan menyerah atas sesuatu yg sangat kamu inginkan. Memang sulit tuk menunggu, tapi akan lebih sulit jika akhirnya kamu menyesal."
"Yah, gue bakal lanjut terus..." komentar Rayan.
Wanto mengangkat jempol kirinya.
"Ada lagi?"
"Banyak banget ini. Mendingan lu baca sendiri deh...!" kata Wanto sambil menyodorkan BB-nya ke Rayan.
"Oke, oke, for the last, bacakan satu motivasi lagi sebelum kita pulang. Bentar lagi adzan Maghrib nih..."
"Uhhmm... Apa ya?? Yang ini..., emm... Kalau yang ini...? Ah, yang ini aja deh! Dengar baik-baik ya:
You can't go back and make new start.. But you can start now to make new end..."
"Sip! Kita cabut sekarang!" pungkas Rayan sembari menenggak habis sisa Hot Ginger Tea-nya.
Setelah membayar menu yang tadi dipesan, keduanya bergegas menuju parkiran.
Sementara itu petang makin kelabu. Mega mendung berarak di atas sana. Sepertinya sebentar lagi hujan akan turun.
Rayan buru-buru masuk ke mobil. Sementara Wanto masih berdiri di samping mobil dan fokus menatap layar BB-nya.
"Woy, buruan!"tegur Rayan sambil mengetuk kaca mobil.
"Bentar... Gue balas ini dulu..."
Rayan meliukkan bibirnya kesal.
"Sudah nih. Yuk cabut...!" ajak Wanto sambil memasukkan BB-nya ke saku celana. Kemudian ia membuka pintu mobil.
Rayan melotot mengamati gerakan Wanto. Saat itulah ekor matanya menangkap sesosok cowok yang terasa familiran. Cowok itu tengah melangkah mendekati mobil mereka.
Rayan langsung menoleh dan menajamkan pandangannya. Saat melihat sekilas tadi hatinya langsung berdetak dan menyebut nama "Tommy". Dan dugaannya itu memang benar. Cowok itu adalah Tommy.
"Ada Tommy, Wan!" seru Rayan segera memberitahu ke Wanto.
"Mana?" tanggap Wanto sambil menoleh ke arah telunjuk Rayan.
"He-eh, itu Tommy. Dari cafe juga?"
"Kayaknya sih gitu..."
"Terus gimana? Lu mau menghindar?"
"Nggak. Gue justru pengen sapa dia."
"Buat apa?"
"Apa salahnya silaturahmi? Dulu mungkin dia pernah nyakitin gue, tapi gue udah melupakannya kok...,"terang Rayan sambil membuka pintu mobil. Ia lantas keluar dan bersender di sisi mobil, menunggu Tommy mendekat.
"Lu serius? Ntar dia nambah masalah lagi..."
"Nggak. Gue cuma pengen say hello aja kok..."
"Terserah lu deh kalo gitu..." kata Wanto tak ambil pusing.
Orang yang bicarakan itu sepertinya belum menyadari kehadiran mereka. Tanpa menoleh, Tommy langsung bergegas menghampiri Vision merahnya yang terparkir tak jauh dari mobil keduanya.
"Tommy...!"teriak Rayan.
Tommy yang baru menaiki motornya langsung menoleh.
Rayan melambaikan tangannya.
"Hey...!"balas Tommy sembari tersenyum manis. Ia pun kembali turun dari motornya dan melangkah menghampiri Rayan dan Wanto.
Rayan dan Wanto memasang senyum manis sembari menunggu Tommy mendekat.
"Apa kabar, Bro?" sapa Tommy ramah sambil memeluk keduanya satu per satu.
"Baik. Lu apa kabar?"balas Rayan.
"Sama. Eh, kapan lu pulang?"
"Sehari sebelum masuk kuliah."
Tommy mengangguk-angguk.
"Eh, iya, lu ganti nomor kan? Kok nggak kasih tahu gue sih? Bagi dongg..." pinta Tommy.
"Buat apa lu?"celetuk Wanto.
"Buat komunikasi aja kok. Kita kan temenan?"
Wanto mangut-mangut.
"Bolehkan, Yan?" tanya Tommy meminta dukungan.
"Boleh kok," jawab Rayan.
"Tapi lu jangan macam-macam ya, Tom. Rayan udah punya pacar di kamp---" timpalannya langsung terhenti karena mulutnya keburu dibekap Rayan.
Tommy tersenyum tipis.
"Akhirnya lu pacaran juga ya sama si Diki?"tanya Tommy.
Rayan mendelik kesal pada Wanto yang bermulut ember.
"Kenapa? Lagi pula Tommy udah tahu kok..." kata Wanto mencari pembenaran.
"Iya. Gue dari awal udah ngerasa chemistry kalian kuat banget. Nggak heran sih kalo sekarang kalian pacaran. Selamat yah! Semoga hubungan kalian awet," ucap Tommy sambil menyalami Rayan.
Rayan membalas uluran tangan Tommy dengan ragu-ragu.
"Santai aja. Gue tulus kok," kata Tommy lagi. "Dulu gue emang orang yang pernah memperlakukan lu dengan buruk. Mungkin perbuatan gue itu nggak bisa lu maafkan. Tapi gue mau memperbaiki hubungan kita sebagai sahabat,"sambung Tommy lagi.
"Gue gak menyimpan dendam apapun sama lu dan Fandy. Bagi gue itu masa lalu yang sudah menentukan jalan hidup gue sekarang. Semua rasa sakit itu sudah lama hilang. Kalau lu emang tulus pengen temanan sama gue, pasti gue terima dengan senang hati, kok."
"Nah, udah lu dengerkan jawaban dari Rayan? Dia udah maafin lu, Tom. Semoga ke depannya lu bisa belajar dari kesalahan..."celetuk Wanto.
Tommy mengangguk.
"Oke, nomer lu masih yang lama kan? Ntar gue miscall deh..." kata Rayan mengalihkan pembicaraan.
"Ya, masih nomer lama kok."
"Sip. Kalau gitu, tunggu aja ya... Kita mau cabut nih..." pungkas Wanto.
"Iya, Tom. Keknya bentar lagi hujan nih..."sambung Rayan sambil menatap langit yang semakin gelap.
"Iya. Gue juga mau balik. Takut kehujanan di jalan..." balas Tommy.
"Oke, kalo gitu see you next time!"
Tommy mengangguk khidmat...
Dalam perjalan pulang ke rumah...
Wanto kembali mengungkit tentang pertemuan mereka dengan Tommy.
"Eh Yan, lu ngerasa nggak perubahan sikap si Tommy?"
"Maksud lu?"
"Tumben tuh anak sopan? Biasanya kan sengak banget?"
"Biasa aja kok..." jawab Rayan santai.
"Jelaslah lu ngomong begitu! Dia mantan lu! Selama sama dia, mana lu ngerasain dia sengak atau nggak? Setahu lu dia itu sem-pur-na!!" semprot Wanto.
Rayan langsung mendelik.
"Gue serius! Bukan gue aja yang bilang si Tommy itu sengak."
"Ya sih. Gue juga udah ngerasain waktu dia nyusul gue ke Bermani dulu. Sikapnya itu bikin eneg banget pas kenalan sama Diki. Nadanya ngerendahin banget..."
"Tuh kaann..."
"Tapi tadi---seperti kata lu--- dia sopan."
"Lagi kesambet Jin baik kali..." timpal Wanto asal.
"Baguslah. Mungkin dia udah sadar dengan sikap buruknya itu. Gue berharap dia benar-benar mau berubah dan nggak ngerasa cowok paling cakep sedunia lagi."
"Gue juga berharap gitu. Tapi lu kudu hati-hati sama dia, Yan. Siapa tahu itu cuma salah satu akal bulusnya dia buat dapat simpati lu lagi..."
"Gue udah siap dengan segala kemungkinan, Wan. Tapi menurut gue si Tommy tadi nggak main-main kok... Dia tulus."
"Eeh, jangan terlalu gampang terperdaya, Rayan! Baru gitu aja lu udah percaya..."
"Gue orangnya always positive thingking..."
"Be positive emang dianjurkan sih. Tapi berfikir positif tidak selalu baik. Selalu positif pada akhirnya bisa menjadi orang yang naif, melihat tapi buta. Di dunia ini selalu ada hitam ama putih, Bro..." kata Wanto mengutarakan opininya.
"Kalau positive thinking gak selamanya baik, apalagi kalo negative thinking? Begitukan logikanya?"
"Menurut gue, kita yang harus pinter-pinter membaca situasi. Gunakan feeling. Positive thinking dibutuhkan agar kita tetap semangat, sementara negative thingking diperlukan agar kita selalu hati-hati. Itu sih menurut gue..."
Rayan mengangguk-angguk.
"Thanks Bro atas wejangannya. Tapi dalam kasus ini, gue tetap pengen ngasih kesempatan ke Tommy. Kesempatan buat dia jadi sahabat gue..."
"Silahkan. Tapi jangan sampai lu main gila sama dia."
"NGGAK AKAN!"
...
"Malam. Ada apa Tom?"sapa Rayan.
"Malam juga, Yan. Nggak kenapa-kenapa. Nggak ganggu kan?"
"Nggak..."
"Bolehkan gue telepon lu?"
"Itu sih hak lu. Eh, btw, lu kenapa ya? Ada yang aneh deh. Udah berubah jadi good boy sekarang?"
Tommy tertawa kecil.
"Kalo emang udah bener, gue dukung banget lho... Seratus persen! Bila perlu gue buat spanduknya deh, hihihi..."
Tommy terbahak.
"Selagi masih ada kesempatan dan Tuhan buka jalan, kenapa kita nggak melakukan perubahan, iya nggak? Seperti kata orang bijak: Hari ini harus lebih baik dari hari kemarin, jika hari ini sama seperti hari kemarin kita adalah golongan orang yang rugi, dan jika hari ini lebih buruk dari hari kemarin kita termasuk golongan yang celaka..."
"Widihh, mantep banget kata-katanya. Bener-bener udah kembali ke jalan yang lurus sepertinya..."
"Itu karena lu juga kok, Yan..."
"Kok gue?"
"Lu udah kasih gue pil pahit. Memang nggak enak buat ditelan, tapi sangat menyehatkan."
"Maafkan gue, Tom, kalo gue udah kasih pahit ke lu. Gue nggak bermaksud begitu. Tapi gue harap lu bisa ngerti dengan kondisi gue waktu itu..."
"Lu gak salah apa-apa kok. Justru gue yang harus minta maaf sama gue. Udah nyakitin lu, terus berani-beraninya nampakin diri ke depan lu."
"Sudahlah, nggak usah dibahas lagi. Yang penting sekarang kita udah sama-sama belajar," pungkas Rayan.
"Iya, iya. Maafin gue udah ngulik soal itu lagi. Hhhh..oh ya, lu sama Diki sekarang Long Distance ya?"
"Iya, Tom..."
"Emang lu kuat?"
"Kalo mau jujur sama hati sendiri, gue nggak kuat. Tapi tetap berusaha untuk menjaga komitmen."
"Pasti kangen sering datang ya?"
"Pasti. Apalagi kita pisah saat hubungan lagi hangat-hangatnya..."
"Hehehe... Gue jadi ingat saat gue dilanda rindu dulu..."
"Sama siapa? Pacar baru lu ya?"
"Bukan. Gue masih betah ngejomblo nih..."
"Hmm... Ngomongi pacar baru, gue jadi ingat sama Fandy. Lu kenapa nggak lanjut sama dia?"
"Nggak. Hati gue nggak 'klik' sama dia."
"Tega banget lu, Tom? Setelah lu jadiin dia yang kedua dan jadi pesakitan di depan gue, terus lu buang dia gitu aja? Dia pasti ngerasa dicampakkan..."
"Hubungan gue sama dia adalah suatu kesalahan. Saat gue masih jadi BF lu, gue juga pengen miliki dia. Tapi setelah lu lepas dari genggaman gue, rasanya semuanya gak berarti lagi..."
"Waaa...gue blushing nih! Hahaha...!"
"Gue serius, Yan. Susah untuk cari pengganti yang sepadan dengan lu. Makanya sekarang gue pilih ngejomblo. Gue gak mau memaksakan memulai hubungan baru daripada ntar malah jadi makan hati dan menyakiti lebih banyak hati..."
"Ya dong. Jangan menjalin hubungan kalo cuma pengen cari pelampiasan doang..."
"Tapi gue udah minta maaf sama Fandy kok. Moga-moga aja dia bisa ngerti..."
"I hope so. Gue sempat ngobrol sama dia waktu awal-awal masuk kuliah. Dia kelihatannya sedih banget saat gue singgung tentang hubungan kalian..."
Tommy tertawa lirih.
"Oh ya, gue belum minta maaf sama lu atas perlakukan buruk gue ke lu waktu di Bermani, Tom. Seharusnya gue gak boleh memperlakukan tamu kek begitu. Gue lagi emosi dan benci sama lu. Lu bisa ngerti kan?"
"Hehehe...soal itu udah gue maafin kok. Emang gue yang salah kan?"
"Iya sih, hihihi..."
"Sampaikan juga permintaan maaf gue sama Diki ya..."
"Pasti."
"Oh ya, lu mau tahu nggak gimana cara gue mencurahkan rasa rindu gue sama, ehmm, lu, waktu lu pergi ninggalin gue? Siapa tahu bisa berguna buat lu..."
"Lu rindu sama gue?"
"Udah, nggak usah dibahas..."
"Hehehehe, oke. Apa tips-nya?"
"Gue selalu mencurahkannya ke kertas tentang segala kerinduan gue. Gue tumpahkan semuanya di sana. Gue ajak kertas itu ngomong sampai hati gue lega. Setelah itu gue baca berulang-ulang. Gue anggap itu lu... Lebay banget ya? Tapi cukup ampuh buat gue, hehehe..."
"Wah, gue nggak percaya Tommy yang selalu ngerasa paling keren sedunia ternyata hobi nulis diary juga??"
"Kalo lagi kepengen aja... Nggak tiap hari lah..."
"Patut dicoba..."
"Coba aja. Moga-moga bisa mengobati kerinduan kamu sama si Diki."
"Thanks..."
"Ya udah, gue cuma mau minta maaf secara personal aja sama lu. Tadi di parkiran gue nggak enak sama si Wanto. Keknya dia nggak suka sama gue. Kalo gue ngomongin hal-hal yang tadi kita perbincangkan di depan Wanto, ntar dia malah nganggep gue ada udang dibalik peyek sama lu..."
Rayan terkekeh.
"Udahan ya? Nite..."
"Nite..."
***
Hari terus berlalu...
Waktu merangkak terasa lama bagi Rayan. Rindu selalu hadir dalam benaknya. Tapi ia tak mau menyerah begitu saja. Ia tak mau dikalahkan oleh rindu. Jika rindu sudah tak tertahan lagi, Rayan senantiasa berkata-kata dengan pena, seperti saran Tommy. Jika itu pun tak cukup, ia berlari ke Wanto. Sahabatnya itu selalu berusaha menenangkan dan menyemangatinya. Terkadang ia juga datang ke Tommy. Mantan pacaranya itu benar-benar sudah berubah sekarang. Tommy yang menjengkelkan sekarang sudah berubah menjadi malaikat pelindung. Ia senantiasa memberikan dukungan pada Rayan. Bahkan ia pula yang kerap menemani Rayan kemana pun pergi. Jika libur, ia, Tommy dan Wanto kerap menghabiskan waktu bertiga. Gila-gilaan bareng. Sudah tak ada lagi rasa canggung diantara ketiganya. Rayan sudah menganggap Tommy sebagai kakaknya, begitu pun sebaliknya.
Perlahan namun pasti, Rayan mampu mengatasi kerinduannya. Aktivitas kuliah dan berkumpul bersama teman-teman, membuat Rayan bisa mengalihkan pikirannya dari sosok Diki...
Hampir lima bulan berlalu...
Rayan bersorak kegirangan saat melihat pengumuman nilai yang terpampang di papan pengumuman. Nilainya tidak ada yang mengecewakan. Bahkan jika dijumlahkan, IP-nya melampui tiga koma nol lebih sedikit. Itu artinya ia berhasil memenuhi janjinya pada Diki.
Rayan mengela nafas lega. Perjuangan keras nan melelahkan selama 5 bulan ke belakang ternyata tak sia-sia. Bagaimana ia kesana kemari mencari buku referensi..., begadang semalaman untuk menuntaskan tugas..., menyiapkan bahan presentasi..., menterjemahkan beratus-ratus lembar buku berbahasa Inggris..., menulis berlembar-lembar essai..., dan yang paling terpenting menundukkan rasa malas serta mendisiplinkan dirinya. Semua perjuangan itu membuahkan hasil yang manis.
"Selamat ya, Yan! Lu berhasil!!" seru Wanto.
Tommy tersenyum sambil menyalami Rayan.
"Apaan sih kalian? Biasa aja kali..."
"Biasa aja gimana? Lu udah bikin lompatan yang tinggi lho..."kata Tommy.
Rayan terkekeh.
"Patut dirayain ini..." kata Wanto.
"Ish, lebay deh lu!"
"Wanto benar. Harus kita rayain!" kata Tommy mendukung ide Wanto.
"Nggak!" tolak Rayan.
"Kita rayain di mana nih?"tanya Wanto ke Tommy. Ia tak mengindahkan penolakan Rayan barusan.
"Ke cafe biasa gimana? Kita makan-minum sambil ngobrol santai?" usul Tommy.
"Asyik juga tuh..." kata Wanto menyetujui.
"Kalo gitu ayo kita cabut!"
"Apaan sih? Gue nggak mau!" tolak Rayan.
"Ayolaaahh... Cuma makan sambil ngobrol biasa kok..."
"Iya, Yan. Lagian kita nggak nyuruh lu traktir kok...hehehe..." sambung Wanto.
"Ogah juga gue traktir lu pada! Emang acara ultah?"
"Dasar pelit!"
"Seharusnya kalian yang traktir gue sebagai bentuk hadiah atas keberhasilan kecil gue ini..."
"Baiklah, ntar gue yang bayarin..."pungkas Tommy.
"Ayiiikk!!"
"Dasar lu ya, Wan. Hobinya yang gretongan mulu!"ledek Rayan.
"Prinsip ekonomi gue tuh, kalo ada yang gratis, kenapa mesti beli, iya nggak?"
"Iya aja deh!" jawab Rayan dan Tommy hampir berbarengan.
Wanto mangut-mangut.
Sesampainya di kafe...
Mereka memilih meja yang berada di sudut dan terpisah dari keramaian pengunjung. Mereka memesan tiga porsi Grilled Chicken Sandwich. Sementara untuk minumannya, Rayan memilih Pina Colada, Wanto memesan Caramel Apple Cider dan Tommy memilih Frappuccino.
Sembari menunggu pesanan datang, mereka terus bercakap-cakap tentang banyak hal. Sampai akhirnya obrolan mereka kembali mengarah pada hubungan Rayan dan Diki.
"Jadi rencananya kapan lu mau nemuin si Diki?"tanya Tommy.
"Iya. Bukannya lu udah rindu berat sama dia?"sambung Wanto.
"Besok."
"Besok? Hmm...boleh ikutan nggak? Hihihih..." tanya Wanto.
"Boleh kok. Besok pagi sekitar pukul sembilan kita berangkat."
"Ogah ah! Masa kita jadi kambing congek di sana, Wan?" timpal Tommy.
"Eh, iya. Nggak jadi ah kalo gitu, hahaha...!"
"Ugh, gimana sih lu..."gerutu Rayan.
"Mendingan lu pergi sendirian aja deh. Ini kan moment berharga buat lu berdua. Kita nggak mau ganggu kebahagiaan kalian. Biarkan waktu sepenuhnya milik kalian..." terang tommy.
Wanto mengangguk-angguk setuju.
"Kita berbahagia atas cinta kalian dari sini..."
Rayan tersenyum lebar.
"Akh, beruntungnya gue punya teman yang sebaik lu berdua..."
"Kalo gue sih udah teruji... Tapi nggak tahu deh kalo yang di sebelah," celetuk Wanto sambil melirik Tommy.
"Maksud lu?" balas Tommy.
"Jangan-jangan ada udang di balik peyek... Hihihihi...."
"Hmmm, lu belum pernah ngerasain ditimpuk sama tabung gas 3 kg ya?" geram Tommy.
"Belum... Dan nggak mau ngerasain sampai kapan pun."
"Eh, lama-lama lu berdua yang gue timpuk sama LPG 12 kg!" kata Rayan. "Ribut aja sih? Tuh, pesanan kita udah pada datang.."
"Asyiiikkk...!"
"Berhubung lu masih nggak percaya sama ketulusan gue, maka acara traktir lu gue cancel!" kata Tommy sambil menatap Wanto sinis.
"Ish, nggak boleh gitu dong... Gue kan cuma bercanda?"
"Niat gue traktir lu juga bercanda!" balas Tommy enteng.
"Eerrggghh..!!" geram Rayan kesal melihat tingkah laku kedua temannya itu.
***
"Serius lu kesana mau naik transportasi umum?" tanya Tommy sekali lagi.
Rayan mengangguk pasti.
"Kenapa nggak minta dianter sama supir aja sih, Bro? Kan lebih praktis??" tanya Wanto.
"Nggak apa-apa. Pulangnya aja aku minta jemput. Perginya biar sendiri aja. Sama kek waktu dulu itu..."
"Oohhh.. Ceritanya lu mau mengulang masa-masa 5 bulan yang lalu ya?"
"Yaahh...begitulah..."
"Gimana sih lu? Katanya udah rindu berat sama si Diki? Seharusnya lu naik mobil pribadi biar cepat ketemuannya? Kalo pake angkutan umumkan jadi lama..."
"Nggak apa-apalah lama. Biar rindunya makin membara, hihihih..."
"Dasar!"
"Biar 'main'-nya super duper hot juga, kan??" celetuk Tommy.
Rayan terbahak.
"Ya udah kalo gitu lu perginya hati-hati aja, Yan. Semoga selamat sampai tujuan..." pesan Wanto.
"And selamat berbulan madu, hahaha...!" sambung Tommy diiringi tawa.
"Bagi-bagi dokumentasinya ya... Wkwkwkw..." tambah Wanto.
Rayan memutar bola matanya.
***
Sepanjang perjalanan Rayan tak bisa tenang. Semakin dekat Mobil gerobak membawanya menuju Desa Bermani Ulu, semakin keras debaran jantungnya. Raut wajah Diki terbayang-bayang di pelupuk matanya. Setiap kali memikirkan hal indah apa saja yang akan terjadi nanti, Rayan senyam-senyum sendiri. Ia lantas mengecek isi tasnya. Ia harus menunjukkan pada Diki nilai hasil jerih payahnya selama 5 bulan yang lalu. Kertas itu tidak boleh terlupa.
Mobil laju semakin dekat...
Suasana dan lingkungan sekitar masih sama seperti terakhir ia ke sini. Tetap segar, asri dan bersahaja. Rindu di hari Rayan semakin membuncah rasanya. Ingin sekali ia melomapat turun dari mobil lantas berlari kencang sembari meneriakkan nama Diki. Semakin lama, ia merasakan jalan mobil semakin lambat saja. Tidak seimbang dengan detak jantungnya yang memacu. Rindu di hatinya sudah tak terbendung lagi...
Akhirnya mobil berhenti juga di gang besar rumah Neneknya. Rayan melompat turun dengan gesit. Tanpa buang waktu ia langsung bergegas menyusuri jalanan. Ia berencana untuk singgah ke rumah Diki dulu, setelah itu baru menyambangi rumah Neneknya. Iya, memang tujuannya ke sini hari ini adalah ingin menatap wajah kekasihnya itu.
Bagaimanakah raut wajahnya sekarang? Masih sama tampankah dengan terakhir mereka bertemu dalam gairah cinta di Rumah Pohon? Atau sekarang sudah makin tampan? Makin dewasa? Makin kekar?
Rayan menghela napas dalam-dalam. Rindu sudah menguasai hatinya sepenuhnya.
Tapi tiba-tiba ia teringat akan pekerjaan Diki. Akh, bukankah Diki setiap hari pergi ke Hutan? Tak terkecuali hari ini kan?
Rayan langsung lemas. Bagaimana bisa ia melupakan tentang itu? Seharusnya ia menghubungi Diki dulu semalam agar kekasihnya itu bisa absen sehari ini saja.
Rayan meremas rambutnya dengan kesal. Ia berniat ingin menelepon Diki sekarang, tapi setelah langkahnya sudah hampir menyentuh gang rumah Diki, niatan itu langsung dibatalkannya.
Lebih baik gue langsung ke rumahnya aja lah..., gumam Rayan dalam hati.
Sesampainya di depan rumah Diki, Rayan tertegun sejenak. Ada sedikit perubahan di sana. Batu koral dan pasir menggunung di depan teras. Sementara itu di samping rumah terdapat beberapa sak semen dan susunan bata merah. Beberapa pekerja bangunan juga nampak sibuk. Sepertinya rumah Diki sedang direnovasi.
Rayan melangkah ke teras dengan hati diliputi beragam pertanyaan. Buru-buru ia mengetuk pintu rumah yang dibiarkan terbuka lebar. Tapi saat ia melongok ke dalam, tak ada seorang pun yang nampak.
Rayan mengetuk pintu sekali lagi disertai salam. Lantas terdengarlah balasan dari ruang tengah. Emak pun muncul dengan senyum mengembang di bibir.
"Nak Rayan??"
"Iya, Mak..." balas Rayan sambil mengangguk khidmat.
"Kapan ke sini?"
"Baru nyampe ini..."
"Duduk, Nak. Mak ambilkan air putih dulu yo..." kata Emak sambil menunjuk kursi rotan di teras rumah. Setelah itu beliau kembali berjalan ke dalam.
Rayan duduk di kursi sambil mengibaskan telapak tangannya di depan dada. Meskipun mentari tidak seberapa terik sinarnya, tapi cukup membuat Rayan keringatan.
Tak berapa lama kemudian, Emak pun kembali muncul dengan gelas, teko berisi air putih dan sepiring pisang goreng.
"Minum dulu, Nak..." kata Emak mempersilahkan.
Rayan mengangguk sambil menuangkan air.
"lagi liburan yo?"
"Iya, Mak. Liburan semester..."
"Jadi liburan ke sini lagi? Kok ke sini terus? Apo enaknyo tinggal di dusun?"
"Di desa alamnya sangat segar dan hijau, Mak. Sementara kalo di kota kan sumpek. Liburan di sini bisa menyegarkan pikiran lagi," terang Rayan.
Emak mengangguk-angguk.
"Oh iya, rumahnya lagi direnovasi ya, Mak?"
"Eh, iyo nih... Rumah inikan lah buruk. Kalo idak direhab, gek pacak roboh pulo, hehehe... (Eh, iya nih... Rumah inikan sudah reot. Kalau tak direhab, bisa-bisa nanti roboh, hehehe...)" kata Emak sambil meneliti keadaan rumahnya.
Rayan tersenyum.
"Adek-adek ke mana, Mak? Pada sekolah ya?"
Emak mengangguk.
"Tapi kalo Safira lagi pergi ikut Uwaknya ke kebun..."
"Ooo...." desis Rayan sambil mengangguk-anggukan kepala. "Uhmm... Kalo Diki pasti ke Hutan ya?"
"Oh, Diki... " gumam Emak rada terkejut sambil menepuk jidat. "Bentar yo...," sambung beliau sembari bangkit dari duduknya. Ia berjalan masuk ke rumah.
Rayan mangut-mangut. Sepertinya Emak ingin memanggil Diki. Mungkin cowok itu bekerja di belakang, ikutan turun tangan merenovasi rumah membantu tukang bangunan.
Hati Rayan kembali berdebar. Jarak antara ia dan Diki hanya beberapa langkah lagi. Setelah sang kekasih muncul dari ambang pintu, semua kerinduan ini akan terbayar semuanya...
Emak kembali muncul dengan sebuah amplop panjang berwarna putih di tangan. Entah apa isinya. Hanya saja amplop itu nampak sedikit mengembung.
"Ini..." kata Emak sembari menyodorkan amplop itu ke Rayan.
Rayan mengernyitkan dahinya.
"Apa ini, Mak?" tanya Rayan kebingungan.
"Emak idak tau apo isinyo... (Emak tak tahu apa isinya...)" jawab Emak.
"Ini untuk aku?"
Emak mengangguk.
"Dari siapa?"
"Diki."
"Lho, Diki kemana?" tanya Rayan mulai dilingkupi rasa kecewa.
"Nyo lagi pegi ke dusun sebelah. Dio cuma nyuruh Emak kasihkan ini ke kau, kalu kau datang. Katonyo kau pasti datang... (Diki sedang pergi ke dusun sebelah. Dia cuma berpesan pada Emak untuk memberikan surat ini ke kamu, jika kamu datang. Katanya kamu pasti datang...)" terang Emak.
"Ngapain dia di sana? Kerja ya?" kejar Rayan.
"Pokoknyo dalam surat itu gek kau bakal tau, kato Diki. (Kamu bakalan tahu semuanya dari surat itu, pesan Diki)" jawab Emak.
Rayan geregetan mendengar jawaban Emak yang penuh teka-teki. Dengan cepat ia merobek amplop surat itu.
"Oh, iyo, pesan Diki jugo, baco suratnya kalu la sampai di rumah. Jangan baco di jalan...(Oh, iya, pesan Diki juga, baca suratnya kalau sudah sampai di rumah. Jangan baca di jalan...)" kata Emak lagi.
Rayan terkekeh.
"Emang kenapa, Emak? Ada-ada aja deh..."
"Serius, Diki pesan cak itu... (Serius, Diki berpesan seperti itu...)" kata Emak sungguh-sungguh.
"Iya, deh. Kalau gitu, Rayan pamit dulu ya, Mak. Udah nggak sabar pengen baca isi suratnya..." pamit Rayan sambil tersenyum.
Emak mengangguk.
Rayan berjalan tergesa dengan amplop di tangan. Isinya cukup berat. Rayan yakin bukan hanya kertas yang ada di dalam sana. Hal ini membuat Rayan makin penasaran saja.
Di depan gang, Rayan berhenti. Ia sudah tak sabar ingin membaca surat Diki yang pesannya begitu 'ribet' sama Emak. Masa bodoh dengan anjuran Diki supaya ia membaca suratnya itu setiba di rumah. Apa bedanya? Sikap Diki selalu membuatnya penasaran.
Rayan merobek salah satu ujung amplop yang tadi belum robek sepenuhnya. Ia menjulurkan tangannya ke dalam amplop. Benar saja ada benda lain di dalam amplop. Saat ia ambil, ternyata itu HP Diki. HP hitam putih yang ia beli bersama dengan Diki beberapa bulan yang lalu.
Kenapa Diki mengembalikan HP ini? Apakah HP-nya rusak? Atau ia sudah membeli HP baru?? Pertanyaan demi pertanyaan terus muncul di kepala Rayan.
Rayan berusaha mengabaikan segudang pertanyaan yang memenuhi kepalanya. Buru-buru ia mengambil surat yang masih di dalam amplop. Surat itu ditulis dalam kertas putih dari halaman tengah sebuah buku tulis Big Boss.
Rayanku sayang...
Kau baik-baik saja kan?
Ah, aku tak tahu harus memulainya dari mana agar terasa enak menuliskannya ataupun bagi kamu yang membacanya.
Oh, ya, jangan baca surat ini di jalan, ya. Sengaja aku sampaikan ini, siapa tahu Emak lupa memberitahu.
Rayan sayang...
Kau berhasil menepati janjimu kan? Aku yakin kamu bisa! Kamu orang yang hebat. Aku ingin sekali menyambut kedatanganmu. Sayangnya, saat kamu kembali ke sini, aku sudah tak di rumah lagi.
Rayan sayang...
Maafkan Diki ya. Aku nggak bisa menepati janji. Aku nggak bisa menemani liburan kamu kali ini. Aku sedang memulai kehidupan baru di tempat yang sekarang agar ke depannya kehidupanku lebih baik. Ku harap kamu bisa mengerti.
Rayan sayang...
Diki selalu sayang kamu. Setiap malam aku selalu merindukan kamu. Aku tak pernah bisa melupakan wajahmu yang tampan itu. Aku juga selalu terkenang akan semua sikap manja dan ceriamu itu. Setelah kamu pergi, semuanya terasa aneh. Hari-hariku sepi. Alam desa ini seperti kehilangan pesonanya. Aku sangat tersiksa dengan perpisahan kita. Aku juga selalu dilanda rindu. Tapi aku tak mungkin berdiam diri kan? Aku tak mungkin selamanya larut dalam kerinduan. Sementara himpitan ekonomi keluargaku terus mendesak. Aku harus mencari cara untuk meningkatkan kualitas hidup kami. Apapun akan ku lakukan demi keluarga kami.
Rayan sayang...
Kamu mau memaafkan aku kan? Memaafkan semua kesalahanku? Memaafkan ku yang sudah ingkar janji dan mengecewakanmu? Aku yakin cinta akan menemukan jalannya. Jika kau dan aku ditakdirkan untuk kembali bertemu, pasti jalan itu pasti ada.
Pesanku, berbahagialah di sana. Temukan banyak cinta. Jaga kesehatanmu. Belajar giat. Meskipun kita berjauhan, tapi aku bisa merasakan kondisimu. Jadi janganlah buat aku khawatir. Jadilah Rayan yang manis.
Rayan, aku sangat mencintaimu. Aku akan selalu mencintaimu, meskipun kita tak bersama.
Diki.
NB: HP kamu juga aku balikin. Jangan tanya kenapa.
"Dasar! Isi surat gini doang pake acara kasih warning segala. Kirain ada something apa gituuu..." gumam Rayan sedikit gemas.
Ia lantas memasukkan surat itu kembali ke dalam amplop, lalu berjalan gontai menyusuri jalan.
Entah kenapa, setelah membaca isi surat Diki barusan, Rayan biasa saja. Ia tak merasa sakit ataupun Sedih. Kecewa pasti ada. Ia sedikit kesal karena tak bisa menumpahkan kerinduannya pada Diki. Tapi setelah membaca isi surat Diki tadi, hatinya merasa begitu tenteram. Sekarang ia tahu bagaimana isi hati Diki sesungguhnya sepeninggalan dia. Diki juga tersiksa oleh rindu. Itu berarti bukan hanya dia yang menanggung rindu ini. Tapi mereka berdua.
Rayan menatap HP di tangannya dengan seksama. Ia lantas menghidupkan HP itu. Ia baru menyadari bahwa Diki mengembalikan HP ini beserta sim card-nya. Rayan mangut-mangut. Apa sih maksud Diki? Ia bisa menerima jika Diki mengembalikan HP yang ia belikan. Tapi berikut nomernya? Jadi bagaimana ia bisa menghubungi cowok itu?
Rayan menghela nafas berat. Sepertinya Diki benar-benar ingin memulai kehidupan baru tanpa bersinggungan dengan Rayan lagi. Hal ini baru menimbulkan rasa sesak di dadanya. Diki boleh saja pergi kemanapun ia suka. Mau ke kampung sebelah, ke luar kota atau ke ujung dunia sekalipun, Rayan tak perduli, asalkan mereka berdua masih bisa berkomunikasi.
Lagi-lagi Rayan bingung dengan jalan pikiran Diki. Lelaki itu begitu gemar membuat keningnya berkerut. Kalau memang ia selalu merindukan Rayan, bukankah seharusnya ia harus menjaga komunikasi mereka agar jangan sampai terputus?
Rayan menggeleng-geleng kebingungan. Untung saja pengalaman lost contact selama lima bulan belakangan ini cukup membantu menguatkan hatinya. Rayan yakin dan percaya ia bisa mengikuti 'permainan' ini sampai akhir. Sampai waktu membukakan jalan seperti yang dituliskan Diki dalam suratnya, "...Jika kau dan aku ditakdirkan untuk kembali bertemu, pasti jalan itu pasti ada....". Ya. Rayan akan menunggu pertemuan itu...
Sesampainya di rumah, Rayan mendapati Neneknya tengah menjemur kerupuk Opak di halaman belakang.
"Neneeekk..!" seru Rayan.
"Rayan...?"
Rayan berlari menghampiri Neneknya. Ia mencium tangan Nenek tersayangnya itu lantas mengambil satu kerupuk Opak yang tengah dijemur.
"Kakek kemana?"
"Kakek pai (pai=pergi) hajatan."
Rayan mengangguk-angguk sambil memasukkan Kerupuk Opak yang masih setengah basah ke dalam mulut.
"Apo kabar Papa-Mama kau?"
"Baik, Nek. Nenek sama Kakek sehat-sehat aja kan?"
Nenek mengangguk.
"Oh, yo, kau udem (udem=sudah) makan belum? Kalo belum, makanlah dulu... Nenek masak sayur bening kek sambal ikan Nila.."
"Wah, nikmat banget tuh! Jadi laper nih..." kata Rayan sambil mengelus perutnya.
"Yo udah, makanlah dulu. Nenek ndak jemur Opak nih dulu.."
Rayan berjalan kembali ke dapur. Setelah meletakkan tas di kursi, ia mencuci tangan dan mulai bersantap. Masakan Neneknya selalu menggugah selera.
Tidak berapa lama kemudian, sang Nenek juga menyusul masuk. Beliau lantas duduk di depan Rayan.
"Sekarang libur lagi yo?"
Rayan mengangguk sambil menyuapkan nasi ke mulut.
"Dak teraso yo, Yan? Perasaan Nenek, baru ajo seminggu yang lewat kau dari sini, sekarang la libur lagi. Cepat nian waktu nih bejalan... (Tak terasa ya, Yan? Perasaan Nenek, baru saja seminggu yang lewat kamu berlibur ke sini, dan sekarang sudah libur lagi. Cepat sekali waktu berputar...)"
"Oh, iyo, Diki idak ngundang kau yo pasnyo nikah? (Oh, iya, Diki tidak mengundangmu saat ia menikah?)"
Rayan seketika tersedak. Butiran nasi langsung berhamburan keluar dari mulutnya.
"Siapa, Nek?"
"Diki," jawab Nenek santai. "Idak tahu yo? Hmm...berarti nyo idak kasih kau kabar... (Tak tahu ya? Hmm... Beratti dia tak memberimu kabar...)," gumam Nenek.
"Diki?" tanya Rayan sekali lagi untuk meyakinkan pendengarannya.
Nenek mengangguk mantap.
"Kawin? Diki kawin?"
"Iyooo..."
Rayan langsung berhenti mengunyah. Tanpa tenaga ia menjatuhkan sendok ke piring. Dentingannya terdengar lemah. Tiba-tiba ia kehilangan kekuatannya.
"Rayan... Ngapo?? Lanjutkan lah makannyo..." tegur Nenek.
Rayan menatap nasinya dengan nanar.
"Rayan..."
Rayan menatap neneknya sambil menelan ludah. Dengan malas ia meneruskan makannya yang seketika berubah hambar.
"Kapan Diki menikah?"tanya Rayan pelan.
"La bejalan dua bulan. Nyo kawin kek kawan SMP-nyo dulu, Niken. (Pernikahannya sudah berjalan kira-kira dua bulan. Ia kawin dengan teman SMP-nya dahulu, Niken namanya)," terang Nenek.
Niken..., Rayan mengucapkan nama itu berkali-kali dalam hati.
"Kenapa tiba-tiba sekali, Nek? Sebelumnya Diki tak pernah menyinggung soal pernikahan..." desis Rayan sembari menahan perih di dada.
"Memang sedikit mendadak. Tapi antara almarhum Bak Diki dengan Harjo, Bapakny Niken tuh kawan akrab. Dari dulu tobo tuh berencano jadi sebesanan. Mungkin sekarang inilah waktu yang tepat mewujudkan impian itu. (Memang sedikit mendadak kedengarannya. Tapi almarhum Bak Diki dan Harjo, Bapaknya Niken itu adalah sahabat karib. Dari dulu mereka sudah berjanji ingin berbesan. Mungkin menurut kedua belah pihak, sekarang adalah waktu yang tepat mewujudkan rencana itu...)"
"Jadi maksud Nenek, mereka dijodohkan begitu?"timpal Rayan sedikit emosi.
"Bisa dikecek cak itu. Tapi Diki dan Niken memang samo-samo ndak. Pihak keluargo idak ado yang memaksokan. Dio beduo memang saling suko...(Bisa dibilang begitu. Tapi Diki dan Niken memang sama-sama bersedia. Pihak keluarga tidak ada yang memaksa. Mereka berdua memang saling suka...)"
Hati Rayan sangat teriris mendengar ucapan Neneknya barusan. Ia mengepalkan tangannya yang gemetaran.
"Keluarga Niken itu orang berado. Siapo yang idak ndak? Anaknyo elok pulo. Cocoklah dengan Rayan. Kalau nikah dengan Niken kan, otomatis ekonomi keluarga Rayan ikut terbantu. Sekarang bae rumah keluargo Rayan lagi direhab. Terus Rayan jugo dimodali buka usaha di Bermani Ilir (kampung sebelah). La lemak idupnyo sekarang. Lebih eloklah nyo nikah bae, dari pado idup dak tentu. Mengandalkan hasil dari rimbo, mano kan cukup??" kata Nenek panjang lebar.
Pandangan Rayan mulai mengabur karena air mata yang sedari tadi terus ditahannya. Perlahan-lahan ia meremas surat yang ada di kantong celananya.
Tanpa berkata-kata lagi Rayan langsung bangkit dari duduknya. Melihat sikap Rayan yang tiba-tiba berubah, Sang Nenek langsung mengerutkan keningnya.
"Rayan, ndak kemanoo..?"
Rayan tak menggubris pertanyaan Neneknya. Ia berjalan terus keluar rumah, melewati teras, melintasi halaman dan berlari ke jalanan.
Sang Nenek tergopoh-gopoh berjalan ke luar teras, memandang langkah cucunya yang semakin jauh.
"Ngapo seh? Aneh-aneh bae lah... (Kenapa sih? Aneh-aneh saja...)" gerutu Beliau sambil geleng kepala.
***