BoyzForum! BoyzForum! - forum gay Indonesia www.boyzforum.com

Howdy, Stranger!

It looks like you're new here. If you want to get involved, click one of these buttons!

Selamat datang di situs Boyzforum yang diarsipkan oleh Queer Indonesia Archive. Forum untuk komunitas gay Indonesia yang populer ini didirikan pada tahun 2003, dan ditutup pada tanggal 15 Desember 2020.

Forum ini diabadikan untuk kepentingan sejarah. Tidak akan ada konten baru di forum ini. Silakan menikmati forum ini sebagai potongan dari sejarah queer Indonesia.

Datang dan Pergi -THE END-

13468922

Comments

  • wkwk...mama emon mas boooyy!
    judulnya jg re-upload komen gw re-reading, so? LOL
  • #seret kaki @locky, bawa ke ranjang.
  • Yeay di re-upload n lanjut \(^▿^)/
    (づ ̄з(◦ˆ⌣ˆ◦) lanjut brotha
  • @fad31 aaaaa.... Mas boooooyyyy!
    So? So klin pewangi, emon.

    @ozy_permana gw udh di ranjang lhooo... Nah, terus siapa tuh yg lu tarik??

    @el_crush dpp 1 ya dong. Xixixixixi.
  • judulnya edit dong kasep..malu2in anak edsa aje lu..
    *inibecandaya!!*
    LOL
  • @fad31 edit kenapa pak??
  • udah noh sekarang udah bener judulnya..LOL
  • Locky wrote: »
    @kurokuro itu sih DL. LOL

    iya deh gw nyerah
  • @fad31 emang apa bedanya sm yg tadi?? :p

    @kurokuro :D
  • “Aku nggak bermaksud untuk ngegombalin kamu. Tapi emang itu faktanya. Kau adalah terang bagi jiwaku. Kau adalah lilinku saat ini,” balas Rayan sambil menggenggam pergelangan tangan Diki.
    “Ah, posisi itu terlalu tinggi bagiku Yan. Membuat kamu tersenyum saja masih sulit bagiku, apalagi sebagai penerang…”
    “But you’ve been doing it, Bebeh.”
    “Ambo dak ngerti kau ngomong apo lah.. (Aku nggak ngerti kamu bicara apa),”kata Diki sambil mangut-mangut.
    Rayan terkekeh. Ia lantas mendekatkan kepalanya ke pundak Diki dan mendaratkan kepalanya ke pangkal lengan Diki.
    “Aku memberimu posisi itu, karena kamu memang pantas mendapatkannya,”kata Rayan sambil memainkan jemarinya di dada Diki.
    Diki tak menjawab. Hanya desah nafasnya saja yang terdengar kentara.

    ”Yang aku cari hanyalah cinta
    Hanya cinta yang tak terganti
    Yang aku mau hanyalah cinta
    Dan hanya cinta kuberi…
    , senandung Rayan.

    “Tahu lagu ini?”tanya Rayan.
    Diki mengangguk.
    “Aku suka banget lagu ini. Nggak ada yang lebih berharga dari pada cinta.”
    “Tapi untuk hidup kita nggak butuh cuma sekedar cinta,”kata Diki dingin.
    “Kok gitu?”
    “Kamu nggak bisa menjalani hidup yang keras hanya dengan cinta. Kamu juga nggak bisa menghidupi anak-istrimu hanya dengan cinta. Kita butuh nasi untuk bertahan hidup. Kita butuh uang untuk sekolah. Kita butuh kendaraan untuk bepergian. Cinta hanya dibutuhkan saat di rumah, di ranjang…”
    Rayan terbelalak dan langsung bangun dari rebahnya. Ia menatap Diki tajam.
    “Kenapa? Emang kenyatraan kek gitukan?”
    “Gue gak suka statement lu barusan,”kata Rayan tegas.
    “Heh, tapi itu kenyataan, Yan. Suka nggak suka, memang itu yang terjadi.”
    “Kehidupan ini berlandaskan cinta. Lu lahir ke dunia juga karena cinta. Tuhan menciptakan alam semesta karena cinta. Kehidupan ini bermuara pada cinta!”
    “Ya, memang seperti itu. Tapi sampai kapan kita akan memuja cinta? Cinta gak sanggup menghidupi seseorang. Dan apakah kamu tahu di mana letak muara kehidupan seseorang? Apakah semasa hidupnya seseorang berhasil menemukan muara yang berisi cinta itu?”
    Rayan terdiam.
    “Keluargaku penuh cinta. Tapi apakah cinta itu berhasil mengangkat kehidupan kami? Apakah cinta orangtuaku mampu membawaku ke bangku kuliah?”
    “Kenapa lu berpikiran sesempit itu, Dik? Cinta itu universal. Cinta itu nggak bisa lu ukur hanya dengan status sosial atau pendidikan tinggi. Tapi cinta itu yang merasakannya adalah hati. Cinta itu nafas kehidupan…”
    “Dan dengan keadaanku seperti sekarang ini apakah aku banyak mendapatkan cinta dari orang lain? Terkadang orang mencurahkan cinta, kasih, dan sayangnya itu setelah mereka melihat apa yang kita punya.”
    “Itu artinya mereka nggak tulus mencintai lu. Dan apakah lu pengen orang-orang cinta sama lu karena status, kekayaan atau pangkat lu aja? yang kita butuhkan itu adalah cinta yang tulus. Cinta yang mampu merubah keadaan kita menjadi lebih baik. cinta yang bisa menerangi kita dalam kegelapan. Sebentuk cinta yang mampu membuatmu berdiri saat kamu terjatuh. Persis seperti apa yang udah kamu lakukan ke aku…”
    “Tapi tetap aja bagiku ada yang lebih segalanya dari pada cinta,”kata Diki tetap teguh pada pendiriannya.
    “Itu hak lu. Semua orang punya pandangan masing-masing. Tapi suatu saat nanti, kamu bakal ngerasain betapa pentingnya cinta itu dibanding segalanya…”
    Diki bergeming.
    Rayan kembali berbaring di samping Diki. Mereka menatap ke atas dengan pikiran membubung tinggi melampaui awan.

    ***

    Rayan tengah duduk sambil membuka facebook-nya. Begitu banyak notification yang masuk. Padahal baru tiga hari ia tak membuka social network yang lagi happening itu.
    Di telinganya terpasang headset. Ia menyiapkan lagu-lagu lembut yang mampu menenangkan jiwanya sore ini. Ia mau merasakan kedamaian sore yang indah dengan sempurna.
    Tapi tiba-tiba headset sebelah kirinya di lepas seseorang. Rayan langsung menoleh sambil berdecak. Ternyata sang Nenek.
    “Kenapa Nek?”
    “Mama kamu telepon…”
    “Mama? Kenapa?”
    “Mama sendiri telepon kok gitu nanyanya?”protes Nenek.
    Rayan mangut-mangut sambil berjalan ke ruang tengah.
    “Halo…”sapa Rayan sambil menempelkan gagang telepon ke telinga.
    “Naak, gimana kabar kamu?”
    “Baik.”
    “Nomer kamu kok nggak aktif sih?”tanya Mama sewot.
    “Aduh, sorry Ma. Rayan pake nomor baru. Nomor lama lagi diistirahatkan, hehehe..”
    “Ah, kamu ini. Mama mau hubungikan jadi susah. Kamu kapan pulang?”
    “Belum tahu, Ma. Emang kenapa?”
    “Kamu kan bentar lagi ulang tahun—“
    “Masih empat hari lagi, Ma,”potong Rayan.
    “Sebentar lagi kan itu?”
    “Yaahhh”
    “Jadi maksud Mama, kalo kamu mau pulang, Mama mau siap-siap buat party-nya…”
    “Oh, gak usah, Ma. Rayan belon kepengen pulang. Masih betah di sini.”
    “Yaahhh…padahal Mama udah kangen sama kamu. Rumah sepi banget. Cuma ada Mama, Papa, Bibik, Mamang…”
    “Rayan juga kangen sama kalian semua. Tapi Rayan betah banget di sini. Suasananya benar-benar bikin damai, Ma…”
    “Ya udah deh. Karena kamu nggak pulang, Mama nggak bakalan buat party. Oh ya, sekalian aja Mama tanya ke kamu sekarang, kamu mau hadiah apa pas ulang tahun nanti? Biar Mama paketin ke sana…”
    “Nggak usah Ma. Doakan aja Rayan supaya selalu bahagia, mendapat banyak cinta dan bisa membanggkan, minimal membanggakan keluarga kita. That’s all. Bilang juga ke Papa.”
    “Cuma itu? Tanpa diminta orang tua pasti akan selalu mendoakan kebahagiaan dan kesuksesan anaknya, Nak…”
    “Thanks, Ma..”
    “Sama-sama Nak. Hati-hati ya di sana. Jaga kesehatan, jaga makan dan olahraga biar tetap bugar.”
    “Siipp! Mama juga ya. Jangan sibuk sama kerjaan mulu. Papa juga diperhatiin…”
    “Ee..ee…emang Mama nggak perhatian sama Papa kamu?”protes Mama.
    Rayan terkekeh.
    “Lebih perhatian lagi…”
    “Hehehehe…iya deh.”
    “He-eh.”
    “Oh ya, mana Nenek? Mama mau ngomong sama Beliau.”
    Rayan melirik Neneknya yang tengah duduk sambil menonton TV.
    “Nek, Mama mau ngomong nih…”kata Rayan sambil menyodorkan gagang telepon.
    Sang Nenek mengangguk sambil bangkit dan menghampiri Rayan.
    Setelah Neneknya yang mengambil alih pembicaraan dengan sang Mama, Rayan berjalan ke ruang tamu. Dan ia sedikit surprise melihat siapa yang tengah berdiri di sana sambil mengamati foto keluarga besar Rayan.
    “Dik, kapan ke sininya?”tegur Rayan.
    Diki menoleh dan tersenyum.
    “Barusan aja. Tadi Wak Haji yang bukain pintu.”
    Rayan mangut-mangut.
    “Ke kamar Yuk!”ajak Rayan sambil menarik lengan Diki.
    “Ke kamar terus sih?”
    Rayan monyongin bibir.
    Diki terkekeh.

    Sesampainya di kamar, mereka berdua langsung menghempaskan tubuh ke ranjang.
    “Tadi yang telepon itu siapa?”tanya Diki.
    “Kasih tahu nggak yaaa…”
    “Kasih tahu doonggg….”balas Diki sok manja.
    Rayan terkekeh, ia gemas sekali melihat ekspresi Diki barusan.
    “Kalo aku bilang tadi itu Tommy, gimana? Apakah kamu cemburu?”
    “Nggak!”
    “Kok nggak?”tanya Rayan sedikit kecewa.
    “Karena aku tahu kamu Cuma sukanya sama aku,”kata Diki pede.
    “Yeee…”
    “Lagian ngapain juga Nenek kamu ngobrol sama dia?”
    “Iya, sih. Hhfff…aku emang bad liar..”
    “Jadi yang telepon tadi siapa? Mama kamu kan?”
    “Udah tahu masih nanya!”
    Diki terkekeh.
    “Hmm…kamu kalo lagi manyun gini, makin imut deh..”kata Diki sambil mengacak rambut Rayan.
    Rayan tersenyum lebar.
    “Mama kamu nyuruh pulang?”
    “Iya. Aku kan empat hari lagi ul---Hmm, Mama udah kangen katanya, gitu..”jawab Rayan sambil mengangguk-angguk. Ia sengaja merahasiakan perihal ulang tahunnya. Saat ia hampir mengucapkan kata ulang tahun tadi, tiba-tiba saja ada ide yang melintas di benaknya. Ide itu akan ia realisasikan saat ulang tahunnya nanti.
    “Ohh…gitu. Jadi kamu bakal balik?”
    Rayan geleng kepala. “Aku masih pengen di sini sama kamu…”
    “Nggak kasihan sama Mama kamu?”
    “Beliau ngerti kok…”
    “Ngerti kalo kita berhubungan?”
    ‘”Bukaaann…ngerti dengan keinginan aku.”
    “Oh, ya, besok kamu mau nggak ikut aku?”
    “Kemana?”
    “Besok juga kamu tahu.”
    Rayan mengangguk.

    ***

    Keesokan harinya…

    Saat matahari baru sepenggalah naik, Diki membawa Rayan menyusuri pematang sawah yang rerumputannya masih basah oleh embun sisa semalam.
    “Ini baru pukul sembilanan, Dik. Kenapa mesti sepagi ini? Emang perjalanannya jauh ya?”tanya Rayan sambil mengeratkan sweater ke badannya.
    “Nggak jauh-jauh amat kok. Cuma kalo siang cuacanya terik, Yan. Aku nggak mau kulit mulusmu itu terbakar matahari…:”
    Rayan terkekeh. Meskipun itu terdengar berlebihan, tapi Rayan sangat menyukainya.
    “Kulitku sama kulitmu itu sama aja. nggak ada bedanya…”
    “Jelas beda dong. Kulit kotamu itu terawat. Halus dan lembut.”
    “Kulit kamu juga bagus. Menggiurkan kayak cokelat, hehehe…”puji Rayan.
    “Tapi sayangnya bukan cokelat. Kalo cokelatkan manis, tapi kalo ini asin, hehehe…”
    “Aku suka yang asin-asin. Seenggaknya nggak bakalan kena diabetes, hehehe.”
    “Tapi makan yang asin-asin bisa menyebabkan darah tinggi…”
    “Iya. Tapi bukan itu yang aku maksud. Doyan asin katanya tanda mau merid, wkekekek…”
    Diki geleng-geleng kepala.

    Sementara itu, perjalanan mereka terus berlanjut. Setelah berjalan lurus membelah bentangan sawah, mereka berbelok ke kiri, melewati jalan setapak di bawah rumpun bambu yang cukup curam.
    “Iini jalan kemana? Kamu belum pernah bawa aku ke sini,”tanya Rayan.
    “Ntar kamu juga tahu.”
    “Ah, bikin penasaran aja…”
    Diki terkekeh.

    Setelah menyusuri jalan menurun menuju lembah, bertemulah mereka dengan segaris sungai kecil berbatu yang airnya jernih. Permukaan sungai itu hampir tertutupi sepenuhnya oleh Selada air yang tumbuh subur.
    “Gue suka sama Watercress ini,”ucap Rayan.
    “Apa?”
    “Watercress alias Selada Air…I love it!”
    “Kamu suka? Ntar kita petik…”
    “Emang ini punya siapa?”
    “Milik umum, hehehe. Siapa aja boleh petik.”
    ‘Emang nggak ada yang punya gitu?”
    “Nggak. Lagian ini sayurankan gampang tumbuhnya. Tinggal kamu lempar batangnya ke sungai, langsung hidup dia.”
    “Kenapa nggak dijual?”
    ‘Hahaha…! Siapa yang mau beli? Kita di sini udah bosan makan Selada. Sayuran orang kampung ini…”
    “Di Indonesia emang masih dibilang sayuran udik. Tapi di Inggris dan Amrik sana, Selada ini cukup prestisius lho. Khasiatnya itu banyak banget. Katanya bisa memperkuat daya tahan tubuh dari serangan kanker paru-paru. Selain itu juga bisa sebagai anti oksidan. Jadi jangan sepelekan lho.”
    “Oh gitu ya? Hehehe… yang aku tahu sih cuma untuk lalapan dan pecel aja…”
    “Iyaa… Ini salah satu superfood, you know? Dan buktinya udah ada di depan mata.”
    “Siapa?”
    “Kamu! Karena suka mengkonsumsi Selada, kamu jadi fit terus kan? Hehehe…”
    Diki terkekeh.
    “Jadi kalau gitu, mulai sekarang kamu harus banyakin juga makan Seladanya biar bisa terus fit kayak aku,”kata Diki.
    “Siap Bos!”

    Setelah melewati sungai berselada itu, keduanya kembali menyusuri jalan mendaki. Tumbuhan yang bisa ditangkap mata Rayan rata-rata didominasi sama perdu yang ia tak tahu nama dan jenisnya.

    “Masih jauh nggak nih?”tanya Rayan.
    “Bentar lagi sampai kok. Kira-kira dua meteran lagi. Emangnya kamu udah capek ya?”
    “Bukan. Tapi penasaran aja…”
    “Hehehe…sebenarnya nggak ada yang special sih. Tapi aku Cuma pengen nunjukin sesuatu aja…”
    “Apa itu? Tumbuhankah, hewankah atau landscape?”
    “Uhmmm…tumbuhan.”
    “Tumbuhan? Heemmmbb..keknya itu tumbuhan luar biasa deh ya sampai-sampai pengen kamu tunjukin ke aku..”
    “Sebenarnya sih itu tumbuhan biasa. Semua orang udah tahu dan pernah lihat. Bahkan mungkin kamu juga sudah bosan sama tumbuhan ini…”
    “Ih, makin penasaran deh…”
    “Jangan terlalu berharap banyak…”
    “Apapun itu, pasti bisa buat aku terpesona.”
    ‘Semoga saja.”

    Sekitar dua meteran berjalan dari tebing yang tadi mereka daki, akhirnya sampailah Rayan dan Diki di sebuah area hutan perdu yang udaranya itu terasa lain. Jika biasanya saat di hutan Rayan menghidup bau tanah yang lembab dan dedaunan yang busuk, tapi saat memasuki area ini ia mencium aroma yang lain. Wangi yang taka sing bagi indera penciuman Rayan.
    “Apa yang kamu rasakan?”
    “Aku nggak merasakan apa-apa. Tapi ini aku mencium bau wangi. Aku mencium wangi bunga…Mawar?”
    “Yup, betul. Di depan kita ini terhampar rumpun-rumpun mawar hutan…”
    “Mawar Liar?”
    Diki mengangguk.
    “Serius?? Kok nggak kelihatan bunganya…”ucap Rayan sambil memperhatikan sekeliling.
    Diki menarik lengan Rayan menuju salah satu rumpun Mawar terdekat.
    “Mungkin aku membawa kamu ke sini bukan disaat yang tepat. Saat ini kebanyakan bunganya masih dalam bentuk kuncup,”terang Diki.
    “Baru pertama kali aku lihat wild roses…”
    “Mawar Liar dengan mawar hibrida sebenarnya nggak ada bedanya. Hanya saja mawar liar tangkai dan bunganya kebih kecil. Selain itu batangnya lebih kokoh.”
    “Menurutku Mawar Liar memiliki pesona tersendiri. Alami dan melambangkan kekuatan kemandirian, dan ketegasan.”
    “Kenapa begitu?”
    “Iya. Warnanya tegas. Jika merah, maka warnanya merah pekat! Ia juga mampu melindungi dirinya dengan seganap duri yang tersebar. Kita nggak bisa sembarangan memetik bunganya jika tak mau terkena duri-durinya. Selain itu batangnya juga kokoh. Tak gentar kena cuaca apapun di tengah hutan yang liar dan penuh bahaya. Meskipun begitu, pesonanya tetap terpancar. Bukankah begitu Tuan Diki?”
    Diki mengangguk-angguk.
    Rayan mencium setangkai bunga yang siap mekar. Kelopaknya sangat wangi.
    “Kamu suka?”
    Rayan mengangguk. “Suka sih. Sayang belum mekar…”
    “Iya. Seharusnya kita datang dua-tiga hari lagi…”
    “Terus sekarang kita mau kemana lagi?”
    “Hemmm…kemana ya? Oh iya! Kamu suka strawberry?”
    “Suka. Emang di sini ada kebun strawberry? Atau ada juga wild strawberry?”
    “Nggak ada kok. Tapi di sini ada keluarganya strawberry. Buah Arben, tahukan?”
    “Oh, Raspberry ya?”
    Diki mengangkat bahunya. “Setahu aku namanya Arben…”
    “Iya, sama itu. Raspberry aka Arben.”
    “Pernah cicip kan? Suka nggak?”
    ‘Kalo yang manis sih suka. Selain itu aku juga suka aroma buahnya…”
    “Ayo kita cari kalo gitu! Di sini banyak tumbuhan Arben. Rasanya juga manis.”
    “Sama kek Strawberry dan marga Berry yang lain, Raspberry juga kaya anti oksidan. Bagus untuk kulit,”terang Rayan.
    “Kaya vitamin C pastinya..”
    “He-eh.”

    Mereka berdua kembali menyusuri jalanan sebelumnya. Setelah menuruni lembah, mereka berbelok ke kanan, menyusuri aliran sungai kecil tempat Selada tadi hidup. Mereka berjalan terus ke hilir sungai, menerobos paku-pakuan yang bercampur dengan tumbuhan liana.
    Setelah menyusuri aliran sungai beberapa meter, tibalah keduanya di sebuah area yang banyak ditumbuhi tumbuhan Arben yang memerah. Buahnya begitu lebat. Bahkan sebagian sudah jatuh ke tanah.
    “Wow…!!”seru Rayan terpesona.
    “Kamu bisa makan Arben sesukanya di sini…”
    Rayan terkekeh. Ia lantas memetik beberapa buah Raspberry ranum yang berukuran sebesar jempol tangannya. Rasanya sangat segar dan manis.
    “Aku mau ambil banyak. Aku mau buat jus Raspberry nanti,”kata Rayan.
    “Silahkan…”
    Rayan pun mulai memetik buah Arben terbaik. Lalu ia taruh dalam wadah yang sudah dibuat Diki dari daun pohon Semantung (Ficus Padana). Ia memetik cukup banyak sambil terus memasukkan sebagian Arben lain ke dalam mulut.
    Setelah dirasa sudah cukup, mereka berdua berjalan pulang. Saat melewati tanaman Selada, mereka berhenti. Mereka memetik superfood itu terlebih dulu. Rencananya Rayan akan meminta Neneknya untuk mengolah Selada itu nanti menjadi tumisan dicampur Ikan Teri.

    ***

    Rayan dan Diki berjalan menghampiri pohon besar di padang hijau. Sebotol jus raspberry berada di genggaman Rayan. Sesekali ia menyesapnya melaui pipet. Rasanya terasa segar.
    Seperti hari-hari biasanya, Rayan dan Diki bernaung di bawah rindangnya pohon sambil bercerita banyak. Apa saja yang dilihat, didengar dan dirasakan tak luput dari percakapan mereka.
    Dan seperti biasanya pula, Rayan akan bersandar di dada Diki yang bidang. Berada begitu dekat dengan Diki, bahkan ia bisa merasakan degup jantung kekasihnya itu, membuatnya merasa tenteram.
    “Yan, coba kamu lihat ke atas!”kata Diki sambil mengarahkan telunjuknya ke atas pohon.
    “Ada apa?”
    “Ada sarang burung.”
    “Mana?”
    “Ituuuu…”
    Rayan menyipitkan sebelah matanya.
    ‘Yang mana sih? Kok aku nggak lihat ya?”
    “Ituuu, di dari dahan kedua, yang besar, sebelah kiri. Kelihatan nggak?”
    ‘Manaa? Nggak lihat nih!”
    Diki menghela nafas. Ia lantas menggenggam lengan kanan Rayan. Kemudian ia arahkan tangan Rayan sesuai arah di mana sarang burung itu berada.
    “Itu…! Udab bisa lihat kan?”
    “Iya, iya… udah bisa lihat. Kecil dan ketutupan daun. Jadi agak samar.”
    “Iya lah kecil. Kalo besar bukan sarang burung namanya, tapi sarang tawon, hehehe…”
    “Ih, mata kamu jeli banget ya…”
    Diki terkekeh.
    “Dik…aku pengen deh punya rumah di atas pohon. Keknya asik ya…”
    “Rumah tarzan?”
    “Iya, semacam itu. Naiknya pake tangga gantung… pasti pemandangan dari atas jauh lebih indah dari pada di sini.”
    Diki tersenyum simpul.
    “Tapi nggak ada yang lebih indah dari pada bisa berduaan sama kamu,”ucap Rayan sambil mendongak menatap wajah Diki.
    “Lagi-lagi gombal.”
    Rayan terkekeh.
    “Sesekali kamu dong yang ngegombalin aku…”pinta Rayan.
    “Idih, masa pengen digombalin?”
    “Lebih enak digombalin kali daripada didamprat?”
    “Yang mau marahin kamu siapa? Aku nggak akan pernah bisa marahin makhluk selucu kamu…”
    “Ahh…”
    “Yan…”
    “Ya?”
    “Kamu interior designer ya?”
    “Hah? Bu—iya! Emang kenapa?”
    “Karena sejak kamu masuk ke ruang hati aku, semuanya jadi lebih indah…”
    Rayan langsung menggembungkan pipinya.
    “Kenapa? Katanya pengen digombalin??”
    “Sumpah! Itu tadi romatis banget!”
    “Ah, masa? Baru permbukaan itu mah.”
    “Widih, keknya ada yang berbakat jadi gombaler nih…”
    “Nggaklah. Aku Cuma bisa gombalannya sama kamu. Kalo ama orang lain aku bisanya Cuma mingkem.”
    Rayan terkekeh.
    “Emangnya kamu belon pernah pacaran?”
    “Pernah. Tapi baru dua kali. Itu pun nggak bertahan lama. Sama pacar pertama Cuma bertahan beberapa minggu. Sama pacar yang terakhir hanya bertahan beberapa bulan,”terang Diki.
    “Kenapa putus? Nggak rugi apa mereka kehilangan cowok setampan kamu?”
    “Hhhhh…apalah aku ini. Nggak ada yang bisa dibanggakan sebagai pacar…”desah Rayan.
    Rayan mengelus pundak Diki.
    “Aku bangga punya kamu,” ucap Rayan tulus.
    Diki mengelus rambut Rayan.
    “Udah, nggak usah sedih. Itu tandanya mereka bukan yang terbaik buat kamu…”
    Diki mengangguk.
    “Lagian kenapa kita ngomongin itu sih? Kita ngomongin tentang kita aja!”pungkas Diki.
    “Iya, iya…”kata Rayan disertai anggukan.
    Diki lantas mendekap kepala Rayan erat dengan dua lengannya yang kokoh. Tidak hanya itu, ia juga mencium kepala Rayan cukup lama.
    Rayan tersenyum lalu memejamkan matanya. Ia berusaha menikmati kehangatan dan keromantisan yang Diki suguhkan.
    Sekian menit mereka beradegan seperti itu. Terbuai oleh hembusan Bayu sore yang bertiup lembut, desiran angin yang membelai dedaunan terasa begitu syahdu dan gemericik air di bawah lembah semakin menambah damainya suasana.
    Rayan mendaratkan lengannya ke atas paha Diki. Tangannya bergerilya sampai ke pinggang. Lantas berbelok ke belakang, membelai pangkal dua bungkahan padat di bawah punggung.
    Diki menghembuskan nafas pelan dan menyapu daun telinga Rayan. Ia lantas menjatuhkan kepalanya ke atas pundak Rayan dan menciumi batang lehernya.
    Rayan menggeliat. Kecupan lembut Diki meremangkan bulu romanya.
    Rayan mencondongkan kepalanya ke kanan, bermaksud memberi ruang yang lebih luas bagi Diki untuk menjelajahi lehernya dengan bibirnya.
    Diki mengerti keinginan Rayan. Ia menyusuri garis leher Rayan semakin ke atas. Ia berhenti di bawah dagu dan memainkan lidahnya di sana.
    Rayan melenguh. Desah nafasnya semakin berat. Tubuhnya bergetar. Ia tak sanggup hanya berdiam diri saja menerima gempuran Diki. Refleks ia mendaratkan tangan kirinya ke dada Diki, menyusupkan telapak tangannya ke balik kemeja dan memainkan nipple dengan jemarinya.
    Gantian Diki yang mendesah lebih keras. Ia menikmati tarian jemari Rayan di dadanya, sembari terus meninggalkan jejak di sepanjang leher dan dagu Rayan dengan bibirnya.
    Rayan lantas balik badan.
    Keduanya berhadapan.
    Sedetik mereka berpandangan lalu saling mendekatkan wajah.
    Tapi saat dua tangkup bibir mereka akan menyatu, Diki tiba-tiba menaruh telunjuknya di depan bibir Rayan.
    Rayan mengerutkan keningnya disertai decak kesal.
    “Sssttt….! Kamu bakal mendapatkannya jika sudah waktunya,”kata Diki sambil mengacak rambut Rayan.
    “Kapan?”
    “Saatnya nanti.”
    “Hmmm…benarkah? Atau ini Cuma trik kamu aja untuk menghindarinya,”tuding Rayan.
    “Serius. Aku nggak bohong.”
    “Oke. Tapi jika kamu nggak menginginkan ini, lebih baik terus terang sama aku. Aku nggak menuntut apapun selain cinta kamu.”
    “Aku yang menginginkannya,”ujar Diki.
    “Baiklah, jika itu inginmu.”
    Diki mengangguk lalu membawa Rayan ke pelukannya. Ia mendekap Rayan hangat.

    Sementara itu, siang makin beranjak senja. Gelap mulai merayap turun.
    “Kita pulang sekarang ya?”ajak Diki.
    Rayan mengangguk setuju.
    Mereka beranjak bangun dan melangkah keluar dari naungan pohon.
    Mereka berdua berjalan dalam diam. Terhanyut dengan pikiran masing-masing sampai akhirnya Diki memecah kebisuan itu.

    “Yan…”
    “Eh?”balas Rayan sambil menekan botol jus Raspberrynya.
    “Besok aku nggak bisa nemenin kamu,”beritahu Diki.
    “Kenapa?”
    “Besok aku diminta Bapak nolongin Beliau ke hutan,”terang Diki.
    “Ohh…”
    “Boleh ya?”
    Rayan mengangguk.
    “Nggak apa-apa kok,”jawab Rayan sambil tersenyum. “Berapa hari?”
    “Sehari aja.”
    “Berarti aku bakal kesepain dong.”
    “Masa sih sehari aja nggak bisa tahan?”
    Rayan tertawa lirih.
    “Kamu itu nafas kehidupan aku. Kalo nggak ada kamu, aku nggak bisa bernafas..”
    “Nggak boleh ngomong kek gitu ah! yang kasih nafas itu Tuhan.”
    “Perumpamaannya aja. itu tandanya kamu itu sangat berarti dan berharga buat aku.:”
    Diki tersenyum. Dalam kegelapan ia meraih lengan Rayan, digenggamnya erat dan diciuminya dengan penuh perasaan...

    ***
  • Rayan memasuki dapur sambil menguap lebar.
    Hari masih pagi. Bahkan masih sangat pagi. Di luar saja suasana masih agak gelap. Tak heran suasana masih samar jika melihat waktu baru menunjukkan pukul enam pagi lebih sedikit. Apalagi ini di desa yang letaknya 180 m dpl. Kabut pagi akan sepenuhnya hilang dari pandangan jika waktu sudah menunjukkan pukul delapanan lewat.
    Saat ini Rayan melihat Neneknya sangat sibuk dengan oven yang menguarkan bau wangi di seluruh dapur. Sementara sang Kakek tengah membaca Koran ditemani segelas kopi hitam kental yang masih mengepulkan uap di meja makan.
    “La bangun, Yan? (Sudah bangun, Yan?)”sapa Kakek sambil mengangkat matanya sedikit dari Koran yang dipegangnya.
    “Yo, Kek.”
    Melihat kedatangan Rayan, sang Nenek langsung tersenyum lebar. Beliau mendekati Rayan sambil merentangkan tangan.
    “Selamat ulang tahun cucu Nenek yang ganteeengg…”
    Rayan terkekeh sambil membawa Neneknya ke dalam pelukan.
    “Mokasih, Nek..”
    Melihat sang istri dan cucunya berpelukan, sang Kakek tersenyum sambil menaruh Koran ke atas meja.
    “Ulang tahun ke berapo, Yan?”tanya Kakek.
    “Dua-Satu, Kek…”
    “Way, la besak tuh. La boleh be bini.. (Duh, udah besar. Sudah pantas beristri),”kelakar Kakek.
    Rayan tersenyum simpul sambil melerai pelukannya dengan sang Nenek.
    “Eh, Nenek la masak kue bolu untuk kue ulang taun (Eh, Nenek sudah memasak kue bolu sebagai kue ulang tahun),”terang Nenek sambil menunjuk ke arah oven.
    “Kok kue bolu Nek? Ulang tahun itu pake Black Forest, bukan Bolu, hahahaha..,”kata Rayan sambil tertawa geli.
    “Ay, Belek Pores? Dak tau Nenek. Jadilah pulo e. kemano kito cari di dusun nih(Ay, Belek Pores? Nggak tahu Nnenek. Cukuplah ini (penggantinya). Kemana kita mau cari (kue) seperti itu di desa?),”kata Nenek sambil tersenyum jenaka.
    “Nggak apa-apa Nek. Mokasih yo Nek. Tapi seharusnya Nenek nggak usah repot-repot buat kue segala. Rayan Cuma pengen doa tulus aja dari Nenek, Kakek, Papa, Mama dan semua orang yang mengenal Rayan.”
    “Pastilah, Nak. Kakek, Nenek dan orang tua kau akan selalu berdoa yang elok buat kau,”ujar Kakek.
    Rayan mengangguk.
    “Hari ini Diki ngajakin kamu pergi kemana lagi?”tanya Nenek sambil menuangkan agar-agar cair ke dalam talam.
    Rayan menghela nafas sejenak. Mendengar nama Diki disebut, hati Rayan sedikit sesak. Tak bisa dipungkiri, tanpa kehadiran Diki di hari ulang tahunnya ini, rasanya hari ini terasa hambar.
    “Hari ini istirahat dulu, Nek. Aku mau di rumah aja di hari ultahku,”jawab Rayan berbohong.
    Nenek mengangguk-angguk.
    “Rayan ke kamar lagi dulu ya, Kek, Nek. Aku pengen hubungi Mama.”
    “Iyo..”

    ***

    Pagi beranjak Siang…
    Siangpun mulai merayap menuju sore.
    Perputaran waktu terasa begitu lambat bagi Rayan. Terlebih lagi seharian ini ia tak keluar dari kamar. Ia seperti terkungkung dalam sebuah ruang gelap nan sempit yang tak bercelah. Terutama jiwanya. Ia merasa sangat tersiksa dengan keadaan ini. Meskipun berkali-kali ia mencoba berlapang dada, tapi hatinya masih tak sanggup menerima kenyataan bahwa ulang tahunnya hari ini adalah hari terburuk sepanjang hidupnya. Bahkan terasa lebih buruk dari kejadian saat ia tahu Tommy bermain api dengan Fandy.
    Rayan menghela nafas. Ia sangat membenci keadaan ini. Seharusnya hal sekecil ini tidak merusak mood-nya. Kenapa pula ia harus bermuram durja seperti ini hanya karena absennya Diki hari ini?
    Rayan mengatupkan bibirnya rapat-rapat. Diki benar-benar sudah merenggut akal sehatnya. Hal ini membuat Rayan takut. Ia tak mungkin selamanya berada di Bermani Ulu. Masa liburannya akan segera habis. Mau tidak mau ia harus meninggalkan Diki dan cintanya di dusun kecil nan damai ini. Tapi melihat bagaimana kelimpungannya ia sekarang ini, padahal barusan tidak melihat Diki dua hari saja, bagaimana jika mereka sudah terpisah jarak puluhan kilo meter? Apakah mungkin ia sanggup bertahan tanpa Diki?
    Rayan membenamkan mukanya ke bantal. Ia menahan nafas beberapa detik di sana. Paru-parunya serasa akan meledak. Buru-buru ia mengangkat kepalanya lagi dan langsung berteriak, “Wooooooooooooo…..!!!”
    Terdengar suara langkah kaki yang berjalan tergopoh dari luar. Rayan melirik ke arah pintu, siap menunggu gedoran dan pertanyaan bernada khawatir dari sang Nenek.
    “Yan!! Yan, kau ngapo??”
    Rayan menghirup udara dalam-dalam.
    “Yan! Rayan!!”
    “Rayan nggak apa-apa Nek…”
    “Lha ngapo kau teriak-teriak barusan?”
    “Lagi nganyi Nek. Nyanyi rock!”jawab Rayan asal.
    “Haish, kau niii…”gerutu Nenek kesal. “Bikin jantung Nenek ndak copot be lah…(Bikin jantung Nenek mau copot saja…)”
    “Maaf, Nek!”balas Rayan enteng sambil menjatuhkan badan ke ranjang dengan suara berdebam.
    Neneknya tidak menjawab. Hanya saja terdengar suara kaki beliau yang menjauh dari pintu kamar.
    Sepeninggalan sang nenek, Rayan kembali membenamkan wajahnya ke bantal sampai ia tertidur dengan membawa perasaan gulana.

    ***

    Entah sudah berapa lama Rayan tertidur dalam posisi telungkup. Yang jelas dadanya terasa cukup sesak. Ia pun merubah posisi tidurnya semula menjadi posisi tidur miring menghadap ke kiri.
    Ia mengangkat kaki kanannya ke depan dengan mata masih terpejam. Tapi betisnya bukannya mendarat di permukaan ranjang yang empuk, melainkan benda keras lain. Rayan segera membuka matanya. Ternyata saat ini betisnya menindih kaki seseorang.
    Rayan langsung mendongak ke atas.
    Di sampingnya Diki terlihat tengah bersandar di kepala Ranjang sambil membaca buku 25 Legenda Nusantara.
    Rayan mengucek-kucek matanya demi memastikan bahwa ini bukan mimpi. Sosok Diki tetap bercokol di depannya, bahkan sekarang tersenyum ke arahnya.
    “Sudah bangun? Tidurmu nyenyak?”sapa Diki.
    “Diki…”desis Rayan sambil menjulurkan tangannya ke arah wajah Diki. Ia belum sepenuhnya yakin bahwa ini nyata.
    Diki mendekatkan kepalanya agar Rayan bisa menyentuh wajahnya.
    Rayan mengelus pipi Diki. Ia bisa merasakan kulit wajah lelaki itu. Ini pertanda bahwa ia tidak berhalusinasi.
    “Kenapa? Aku manusia asli, bukan hantu,”kata Diki sambil meraih jemari Rayan dan mengecupnya.
    Rayan langsung menarik lengannya dari genggaman Diki lalu beranjak bangun. Wajahnya juga langsung cemberut.
    Diki menatap setiap gerak-gerik Rayan.
    “What you did to me?!”seru Rayan.
    “Apa?”
    “Lu udah bohongin gue! Lu bilang katanya lu pergi ke hutan?!”
    “Iya. Tapi sekarang udah balik.”
    “Cepat amat?”
    “Lho, sekarang ini udah sore, Yan. Lagi pula kamu nggak suka ketemu aku?”
    “Apa? Lu nggak lihat apa gimana semrawutannya tampang gue sekarang? Gara-gara lu nambuh sehari ninggalin gue di sini, gue hampir aja pengen bunuh diri!”
    “Hah? Seram amat..”
    “I’m not kidding! Gue serius.”
    “Kan semalem udah aku SMS nggak bisa nemenin kamu hari ini…”
    “Lu jahat!”
    “Kok jahat?”
    “Ninggalin gue di saat hari--- ah, nevermind.“
    Diki tersenyum lembut sambil membelai rambut Rayan.
    “Mau JJS?”
    “Nggak! Gue lagi nggak mood!”
    “Kalo terusan diam di kamar, nanti mood kamu nggak bakalan membaik…”
    “Biarin!”
    “Beneran nih nggak mau? Yaahh..sayang banget. Padahal aku udah capek-capek pulang cepat dari hutan karena pengen jalan-jalan sama kamu…”
    “Selalu aja aku yang ngalah sama kamu. Kita pergi kalo kamunya mau. Tapi giliran aku yang mau, tapi kamunya nggak bisa, aku selalu gigit jari…”gerutu Rayan.
    “Ngapo dak pai dewean? (kenapa nggak pergi sendiri?)”
    Rayan melotot.
    “Jadi sekarang lu udah biarin aku jalan-jalan sendiri di desa? Udah nggak takut lagi kalo aku kenapa-napa, iya?!”tuding Rayan.
    “Jiah…dia salah paham lagi. Emang tadi aku salah ngomong ya?”
    “Tauk ah gelap!”
    “Masih terang kok…”balas Diki dengan nada polos.
    Rayan menggertakkan giginya.
    “Jadi beneran nih nggak mau keluar kamar? Hati-hati ntar bertelor loh di sini…”goda Diki.
    “Emang gue ayam…”gerutu Rayan.
    “Kamu kan punya burung…”
    Rayan menyeringai kesal.
    Diki nyengir kuda.
    “Ya udah. Kalo kamu nggak mau jalan-jalan, aku pulang ya…”pamit Diki sambil beranjak turun dari ranjang.
    “Pulang aja kalo lu pengen cuma nama lu aja yang nyampe ke rumah!”
    Diki menoleh.
    “Sadis amat…”gumam Diki sambil kembali duduk di samping Rayan.
    Rayan mangut-mangut.
    Diki melihat jam di layer HP-nya.
    “Sekarang udah pukul setengah empat lho. Kalo mau pergi, ayo sekarang sebelum keburu senja,”ajak Diki lagi.
    “Emangnya mau kemana kita?”
    “Ke tempat favorit kita lah. Semua yang ada di sana pasti udah bertanya-tanya kemanakah gerangan sepasang kekasih dua hari ini nggak nongol-nongol…”
    “Mereka udah pada tahu. Angin yang kasih kabar kalo pacarnya udah ditinggalin sendirian di sini…”kata Rayan.
    “Masih ngambek nih ceritanya?”
    “Itu tugas lu untuk membuat gue nggak ngambek lagi.”
    “Ya deeehhh…”kata Diki pasrah. “Sekarang ayo kita pergi!”
    “Wait, aku mau cuci muka dulu!”tahan Rayan.

    ***

    Rayan dan Diki berjalan bergandengan melintasi padang hijau. Angin sore bertiup lembut menggoyang rerumputan. Di langit sesekali terbang melintas gerombolan burung-burung dengan kicauannya yang nyaring.
    Rayan langsung bersandar di pohon. Ia biarkan angin membelai rambut dan kulitnya. Melihat pemandangan yang indah, suasana hatinya berangsur membaik.
    “Tunggu sebentar ya…”pamit Diki tiba-tiba.
    “Mau kemana?”
    ‘Sebentar. Kamu tunggu di sini aja.”
    “Jangan lama-lama!”
    “Iya…”sahut Diki sambil berlari menjauh.

    Tidak berapa lama kemudian, Diki kembali dengan tangan kiri di belakang punggung.
    “Apa tuh yang ada di tangan kamu?”tanya Rayan.
    Diki tersenyum penuh rahasia.
    Rayan mangut-mangut sambil berlagak sok acuh.
    Diki menghampiri Rayan dan meraih jemarinya.
    “Kenapa sih ini?”tanya Rayan mulai deg-degan.s
    “Hari ini aku tahu adalah hari yang special buat kamu. Jadi aku maklum kalo kamu tadi kesal banget sama aku. Hari ini juga aku pengen meyakinkan kamu akan isi hati aku…”
    Rayan menahan nafasnya saat mendengar ucapan Diki barusan. Hari special? Apakah Diki tahu kalau hari ini adalah hari ulang tahunnya?
    Diki tiba-tiba mendekatkan bibirnya ke telinga Rayan sambil berbisik, “Happy birthday, darling…”
    Rayan terbelalak.
    ‘”Ini buat kamu…”ucap Diki lagi sambil menyodorkan beberapa tangkai mawar yang terikat pita merah ke hadapan Rayan.
    “Diki…”
    “Ini bunga Mawar Liar yang kita lihat empat hari yang lalu. Sekarang mereka sudah bermekaran dan menjadi bunga yang cantik. Mungkin ini nggak berarti apa-apa. Bunganya bukanlah bunga mawar yang mahal harganya. Tapi kamu bilang kalo Mawar liar ini punya pesona tersendiri. Aku pengen pacarku yang tampan ini bisa setegar bunga mawar ini…”ucap Diki sambil menunduk.
    “Diki…”desis Rayan.
    Diki mengangkat wajahnya. Ia lihat mata Rayan sedikit berkaca-kaca.
    “Kamu nangis?”
    Rayan menggeleng. “Aku Cuma terharu. Dari mana kamu tahu kalo hari ini aku berulang tahun?”
    “Dari percakapan kamu sama Mama kamu di telepon.”
    “Terus kenapa kamu nggak kasih ucapan selamat semalam? Justru kamu kirim SMS yang membuat aku kecewa…”
    “Hehehe. Itu aku sengaja kok. Karena aku ingin memberi kejutan buat kamu..”
    Rayan mengusap matanya.
    “Kamu keterlaluan! Tapi kamu juga sudah membuat aku terharu..”
    “Masa Cuma segini aja kamu udah terharu? Belum lagi lihat hadiah yang aku persembahkan ke kamu. Kamu pasti bakalan bersimbah air mata darah..”
    “Ah…”
    “Mau tahu nggak kadonya apa?”
    “Apa?”
    “Tapi kamu jangan ketawain yaaa…”
    Rayan mengangkat telunjuk dan jari tengahnya membentuk huruf V.
    “Itu!” seru Diki sambil menunjuk ke atas pohon.
    Rayan mendongak.
    Di atas pohon ia melihat pemandangan yang lain dari biasanya. Di beberapa bagian pohon itu sudah dihiasi dengan pita krep dan balon-balon. Persis seperti pohon natal. Hanya minus lampu-nya saja. Tidak hanya itu, di antara cabang-cabang pohon yang besar dan kokoh, berdiri sebuah rumah pohon yang dindingnya mengelilingi batang.
    Rayan takjub. Ini benar-benar sebuah kejutan yang menyenangkan. Ini kado teristimewa yang pernah didapatkannya.
    Tanpa sungkan ia langsung memeluk Diki erat.
    “Maaf Cuma bisa kasih ini. Aku nggak punya duit buat beliin kamu macem-macem…”
    ‘’Ini sudah lebih dari cukup buat aku. Kamu mengingat hari ultahku aja aku udah senang. Apalagi di kasih surprise kek gini…”
    “Ya dong. Kamu harus hargai usaha aku untuk mewujudkan keinginan kamu yang aneh itu…”
    “Aneh?”
    ‘”Iya. Dua hari yang lalu kamu bilang pengen punya rumah Tarzan? Nah, itu udah aku buatin…”
    Rayan terkekeh. ‘Aku nggak nyangka kamu bakalan mewujudkan keinginan aku itu…”
    “Aku kan udah janji bakalan membuat kamu bahagia..”
    Rayan mengangguk-angguk.
    “Dua hari untukku membuat rumah impianmu ini. Aku bangun sendirian.”
    “Jadi kamu bohong sama aku mengenai pergi sama Bapak ke hutan?”
    Diki mengangguk.
    “Demi buat rumah pohon ini?”
    Diki kembali mengangguk.
    “Ahhh…so sweet banget.”
    “Sekarang ayo kita naik ke atas. Katanya pengen lihat pemandangan dari atas?”
    “Ayo, ayo. Tapi---“
    “Kenapa?”
    “Gimana naiknya? Tangganya kurang nih!”
    “Tenang. Aku udah buat tangga khusus. Lihat di permukaan batang ini. Aku sudah membuat tangga alami di sini..” kata Diki sambil menunjuk torehan yang terlihat masih baru di permukaan batang.
    “Aku coba ya!”
    Diki mengangguk.
  • Berkat torehan yang sudah dibuat Diki sebagai pengganti tangga, Rayan bisa dengan mudah mencapai rumah pohon. Dalam beberapa menit ia sudah bisa menikmati pemandangan dari atas pohon. Dan seperti perkiraannya, menikmati pemandangan dari ketinggian jauh lebih indah dan menyenangkan. Ditambah lagi semilir angin yang tak henti-hentinya berhembus membelai kulit dan pucuk-pucuk pepohonan, membuat suasana semakin adem.


    Dan kini, mereka berdua duduk bersebelahan dengan kaki menjuntai di teras rumah pohon itu. Rayan menyandarkan kepalanya ke pundak Diki. Sementara Diki melingkarkan lengannya ke pinggang Rayan dari belakang.
    “Aku nggak tahu harus bilang apa soal hari ini,”kata Rayan.
    “Maksudnya?”
    “Sebelum kamu datang, aku ngerasa kalo hari ini adalah the worst day! Tapi setelah kehadiran kamu dengan segala kebahagiaan ini, aku harus meralat kesimpulanku itu. It’s the best day.”
    “Pilih yang baik aja. ini hari yang baik…”
    Rayan tersenyum simpul.
    “Jadi, tugas aku buat kamu nggak ngambek lagi berhasil dong?”
    “Hemmbb…”
    “Yes, berhasil!!”
    “Aku belum jawab.”
    “Kelamaan..”
    Rayan nyengir sambil garuk-garuk kepala.
    Diki tiba-tiba bangkit dan menyodorkan lengannya ke depan Rayan.
    “Kenapa?”
    “Ayo kita masuk!”

    Rayan menuruti ajakan Diki. Mereka masuk ke dalam rumah pohon yang hanya cukup menampung dua orang itu. Meskipun kecil, tapi mereka berdua bisa berbaring di dalamnya.
    Rayan terus berdecak kagum sama kepiawaian Diki membangun Rumah pohon itu. Pekerjaan Diki sangat rapi dan teliti. Bahkan untuk mencegah air masuk, Diki melapisi atap dengan terpal plastik. Selain itu ia juga membentangkan tikar anyaman usang sebagai alas. Dindingnya pun ditempeli dengan koran bekas agar angin tidak bisa masuk, sehingga suhu di dalam cukup hangat meskipun di atas pohon.
    “Cak mano? Nyaman dak? (Gimana? Nyaman nggak?)”tanya Diki.
    “Sangat nyaman.,” jawab Rayan sambil duduk bersandar di batang yang berdiri di tengah-tengah ruangan.
    Diki duduk di samping Rayan. Ia nampak puas pekerjaannya tidak sia-sia.
    “Once again, thank so much for everything that you give me…”
    Diki mengangguk-angguk.
    “You’re my sunshine!”
    Diki kembali mengagguk.
    “I can’t breath without you…”
    Diki mangut-mangut.
    “I’m nothing without you…”
    Diki kembali mengangguk.
    “Ish, dari tadi angguk-angguk mulu…kamu ngerti nggak aku ngomong apa?”
    “Nggak…”
    “Arrrrggghhh!”geram Rayan. “Terus kenapa angguk-angguk kalo nggak paham? Kan aku bisa pake bahasa Indonesia,”gerutu Rayan.
    “Love not only expressed by words,”ucap Diki.
    “Lha…itu bisa?”
    “Sedikit…”
    “So, do you know what I said?”
    “Little-little…”
    Rayan terkekeh.
    “Cinta itu nggak butuh bahasa, tapi hati,”ucap Diki sambil menyentuh dada Rayan.
    Rayan meletakkan telapak tangannya di atas jari Diki.
    “Lu nggak cocok jadi orang kampung…”kata Rayan.
    “Maksudnya?”
    “Lu salah tempat. Seharusnya kamu lahir dan hidup di kota. Pasti banyak yang akan mengagumimu…”
    “Aku bahagia jadi anak kampung. Setidaknya aku bisa hidup lebih tenang, bisa berteman dengan alam dan tidak menjadi bagian problem kota yang sangat kompleks itu…”
    Rayan tersenyum.
    “Kamu selalu mengagumkan, Dik. Kata-katamu itu---terkadang aku bingung dari mana kamu bisa mendapatkan pemikiran seperti itu? Aku jadi malu. Pemikiranku masih sangat dangkal, padahal sudah duduk di bangku kuliah.”
    “Kamu juga mengagumkan, Yan. Kamu bersahaja di mataku. Tidak muda hidup di desa yang serba kekurangan ini. Tapi kamu mampu membuktikan kalau orang yang sepanjang hidupnya banyak dihabiskan di lingkaran gemerlap kota, ternyata bisa tinggal di sini tanpa kesulitan. Aku saja belum tentu sanggup…”
    Rayan terkekeh.
    “Di dalam tubuhku mengalir darah Kakek dan Nenek yang asli dari sini. Jadi wajar dong kalo aku bisa beradaptasi di sini…”
    Diki mengangguk sambil mengelus pipi Rayan dengan punggung tangannya. Sementara itu wajahnya semakin condong ke arah Rayan yang tidak bisa bergerak lagi karena terhalang pohon.
    “Ini waktu yang tepat…” bisik Diki. “Waktu yang aku janjikan kemarin…”

    .....

    Setangkup bibir basah mendarat perlahan di atas bibir Rayan yang setangah terbuka.
    Diki menekan bibir Rayan dan menghisapnya lembut.
    Hanya sebentar. Lalu ia melerai ciumannya.
    Rayan membuka matanya dan menatap Diki lekat.
    “Maaf, aku tidak pandai melakukan ini,”kata Diki.
    “That’s good! You’re good kisser…”
    Diki mengulum senyum.
    “Mau aku ajari?”tawar Rayan sambil mengedip nakal.
    “Apa?”
    Rayan tak menjawab, melainkan langsung meraih tengkuk Diki dan merenggut bibirnya dengan cepat.
    “Hemmbb…”
    Rayan melumat bibir Diki penuh gairah. Ia menggigit tangkup bibir atas Diki dilanjutkan dengan menjilati garis bibirnya.
    “Gimana? Kamu menikmatinya?”tanya Rayan.
    “Kau…kamu sangat liar…”desis Diki.
    Rayan terkikik.
    “Kamu pasti sudah sering melakukannya,”tebak Diki.
    “Hmmm…menurutmu?”
    “Lupakan! Aku tak mau membayangkan kamu melakukan ini dengan orang lain.,”kata Diki tegas.
    Rayan mengangguk sambil memainkan kerah baju Diki.
    Diki tersenyum sambil terus mengikuti gerakan jemari Rayan lewat ekor matanya.
    “Apa yang sedang ada di pikiranmu sekarang?”tanya Rayan.
    “Kamu.”
    “Maksudku---“
    Diki meraih kedua lengan Rayan dan dituntunnya mendarat di atas kerah bajunya.
    “Kenapa?”
    “Kamu ingin aku melepaskannya?”tanya Diki.
    “Untuk a—“
    Diki menarik bajunya ke atas dan melepaskannya. Sekarang ia bertelanjang dada di depan Rayan.
    “Kamu mau apa lagi?”tanya Diki sembari menaruh bajunya ke lantai.
    Rayan menelan ludah sambil terus memandangi dada bidang Diki.
    Diki tertawa kecil.
    “Kamu mau aku melepaskan celanaku juga, eh?”
    “Do it…”desis Rayan tanpa sadar.
    “Serius?”
    Rayan mengangguk pelan.
    “Baiklaahhhh…”gumam Diki sambil menarik restleting jeans-nya ke bawah.
    “Nah sekarang apa lagi?”tanya Diki seraya melepaskan pergelangan kaki kanannya dari kaki celana. Sekarang ia hanya mengenakan celana pendek sepaha.
    Rayan langsung mengerjap, seolah-olah baru kembali kesadarannya.
    “Hey, lu lagi ngapain???”
    “Menuruti permintaan kamu…”
    “No, no. maafkan aku. Aku nggak bermaksud---itu tadi di luar kesadaranku!”seru Rayan. “Sekarang ayo kenakan lagi baju dan celana kamu itu.”
    “Lho, kenapa?”
    “Jangan coba merayuku, Dik! Plis, ini sungguh konyol. Apakah kau ingin mengetesku?”
    “Mengetes bagaimana?”
    “Lupakan! Jangan lakukan ini!”seru Rayan sambil berdiri.
    Diki menatap Rayan dengan kening berkerut.
    Rayan bergegas keluar dan berdiri mematung di teras.
    “Yaaann!”panggil Diki dari dalam.
    Rayan tak menghiraukannya.
    “Rayan!”panggil Diki lagi.
    “Kenakan semua pakaian kamu !”balas Rayan.
    “Oke. Sudah.”
    “Kita pulang!”
    “Baiklah. Tapi masuk dulu,”pinta Diki.
    Rayan menghela nafas dan melangkah masuk.
    “Ad---“kalimat Rayan menggantung di udara saat melihat Diki berdiri di depannya tanpa sehelai benang.
    “Diki!”seru Rayan geram. Ia urung masuk dan bergegas balik badan. Tetapi tangannya langsung disambar Diki dan dibawanya ke dalam pelukannya.
    “Heii, kamu kenapa sih?”bisik Diki lembut ke telinga Rayan.
    “Lu kesambet setan apa sih?”
    “Aku kesambet cinta kamu,”jawab Diki sambil meniup telinga Rayan pelan.
    Bulu kuduk Rayan meremang.
    “Aku suruh kamu pakai baju, bukannya dilepas semua…”
    “Kalo aku maunya kek begitu gimana? Emang nggak boleh?”
    “Lu kenapa jadi mesum begini sih?!”
    “Aku heran deh sama kamu. Kok kamu nggak suka lihat aku nggak pake pakaian?”
    “Aku menyukainya, Dik. Teramat menyukainya. Tapi aku nggak tega sama kamu. Aku sudah menjerumuskan kamu ke dalam duniaku yang gelap…”
    “Aku yang menginginkannya.”
    “Nggak Dik. Sebelum kenal aku, dulu kamu nggak begini kan? Iya kan?”
    “Terus kenapa?”
    “Aku nggak mau kamu jadi kayak aku. Aku nggak mau kamu terjerumus semakin dalam…”
    “Aku nggak salah dengar? Apakah itu kamu yang ngomong?”
    Diki melerai pelukannya dan mencengkeram bahu Rayan kuat. Ia juga menatap mata Rayan tajam.
    “Kamu bilang kamu nggak mau aku terjerumus kelewat dalam kan? Telat! Seharusnya dari awal kamu menjauhkan aku dari dunia kamu ini! Seharusnya kamu nggak membukakan jalan bagiku untuk masuk ke dunia kamu ini! Terlambat tahu nggak! Telat! Kenapa setelah aku masuk dan terjerat, sekarang baru kamu sok-sokkan pengen menarik aku dari situasi yang kamu sendiri yang buat? Kalo kamu peduli aku, kalo kamu nggak mau aku kayak KAMU, dari awal kamu tutup dunia kamu ini!! Simpan rapat-rapat rahasia kamu itu dan hiduplah dengan normal dan jangan mencoba mendapatkan perhatian aku!! Gitu caranya, Yan. Bukan kayak sekarang. Kamu menjatuhkan aku disaat aku lagi terbang tinggi…”
    Rayan mematung.
    “Apa sebenarnya yang kamu inginkan dari aku? Apakah kamu sengaja pengen mempermainkan aku? Apakah ini bagian dari rencana liburan kamu? Kamu sengaja menjerat cowok kampung yang bodoh kayak aku sekedar untuk bersenang-senang? Kalo kamu sekedar ingin menunjukkan seberapa kuatnya pesona kamu untuk membelokkan orang lain, kamu berhasil. Sangat berhasil!”
    Rayan menggeleng keras.
    “Nggak! Semua itu salah! Aku tulus mencintai kamu. Aku nggak ada niatan untuk menjerat kamu atau siapapun itu…”
    “Entahlah…aku nggak tahu Yan, apakah harus percaya sama kamu atau kata hati aku.”
    “Percayai aku, Dik…”
    Diki melepas cengkeramannya dan memungut pakaiannya.

    Rayan berjalan menghampiri Diki dan memeluknya dari belakang.
    “Maafkan aku Dik. Maafkan atas semua sikapku yang selalu membingungkan kamu…”
    Diki diam saja.
    “Aku nggsk mau menyakiti kamu. Itu aja. aku sayang sama kamu. Aku cinta sama kamu. Aku cintaaaaa banget sama kamu! Jadi aku nggak mau kamu melakukan hal lebih dari itu. Aku nggak tahu harus membalasnya pake apa.”
    “Cinta aku tulus! Aku melakukannya dengan ikhlas. Mana ada orang mencintai minta balasan?”
    “Aku tahu. Maksud aku, kamu nggak perlu berlaku kayak gini. Nggak perlu jadi…eng, maksud aku, pacaran without sex, tanpa seks.”
    “Kalo aku menyukainya gimana?”
    Rayan menatap Diki seperti orang bego.
    “Hey, kenapa kamu natap aku kek gitu?”tegur Diki sambil mengibaskan tangannya di depan wajah Rayan.
    “Purdon me? Lu tadi ngomong apa?”
    “Kenapa kamu mandang aku kek gitu…?”
    “Bukan yang itu. Sebelumnya.”
    “Kalo aku menyukainya---yang itu kah?”
    Rayan mengangguk.
    “Maksudnya menyukainya itu apa ya? Kamu demen seks?”
    “ Emang harus diperjelas ya?”
    “Hmm, Okey, I see…”
    “Kamu pikir cuma orang kota yang tahu hal begituan?”
    “I mean…di desa itu seks masih dianggap tabu untuk diperbincangkan dan---“
    “Bukan berarti kita nggak suka kan?”potong Diki.
    “Lagi-lagi aku harus bilang kalo kamu itu nggak cocok jadi orang kampung. Aku yakin kalo kamu tinggal di kota, kamu pasti bakalan jadi playboy dan maniak seks. Potong kuping gue kalo nggak!”
    “Apa hubungannya?”
    “Ya, menilik dari jalan pikiran kamu yang beberapa langkah lebih maju dari orang desa kebanyakan, menurutku pikiran kamu itu sangat terbuka. Itu terbukti dengan penerimaan kamu akan keadaanku, keterbukaan kamu mengenai seks barusan dan pandangan-pandangan kamu selama ini. So, aku merasa kamu itu terperangkap di dalam lingkaran desa di kaki bukit ini. Tempat kamu bukan di sini…”
    “Tempat aku bukan di sini? Memang aku dari alam lain?”
    “Kamu pasti akan jadi orang sukses nanti, Dik. Aku yakin…”kata Rayan tanpa memperdulikan ucapan Diki barusan.
    “Amiiiiieeenn..”
    Rayan mengangguk-angguk.
    “Udah kelar ngomongnya?”
    “Aku serius!”
    “Oke. Kalo masih banyak yang mau diobrolin, aku pakai baju dulu ya? Dingin nih…”
    Rayan terkekeh sambil menyusuri lekuk tubuh Diki dari ujung rambut sampai ujung kaki lewat matanya.
    Diki menggerutu tak jelas.
    “Hmm…bisa nggak kalo pake bajunya nanti aja?”
    “Kenapa? Kamu pengen aku masuk angin, heh?”
    Rayan mengulum bibirnya sambil mendekati Diki.
    “Aku penasaran sama rencana kamu tadi. Sebenarnya kamu pengen ngapain sih…?”tanya Rayan sambil melepas kaosnya.
    ‘Eh, kenapa ikut buka-bukaan juga?”
    “Biar sama,”jawab Rayan enteng sambil berangsur melorotkan celananya.
    “Hhh…aneh. Tadi pake acara mau kabur, sekarang ikut lepas pakaian…”
    “Seperti yang kamu pinta.”
    Diki mencebikkan bibirnya.
    “Nah, I’m ready! Lu mau ngapain?”tantang Rayan.
    Diki geleng-geleng kepala sambil mengelus bibir dengan jempolnya.
    Rayan duduk bersandar di batang tanpa melepaskan pandangan dari wajah Diki.
    Diki perlahan jongkok di hadapan Rayan.
    Mereka berdua bertatapan tajam tanpa berkedip untuk beberapa lamanya.
    “Dik…”
    “Yan…”
    “Kita lagi ngapain sih?”tanya Rayan masih memelototi Diki.
    “Aku juga nggak tahu,”jawab Diki sambil menggeleng dengan ekspresi polos.
    Rayan lamgsumg menunduk dan tertawa.
    “Kamu kalah!”seru Diki.
    “Apaan sih?”
    “Kamu yang kedip. Jadi kamu yang kalah.”
    “Aaaahhh, emang kita lagi main pelotot-pelototan?”
    Diki terkekeh.
    “Kita pulang aja yuk? Ini konyol banget. Foreplay-nya nggak banget deh!” kata Rayan sambil memungut bajunya.
    “Baiklah. Aku juga nggak sanggup melakukannya sekarang,”balas Diki.
    Mereka berdua kembali mengenakan pakaiannya masing-masing dan berjalan keluar rumah pohon.

    “Pulang sekarang?”tanya Diki.
    Rayan mengangguk sambil menjejakkan kaki ke torehan batang teratas. Ia bersiap-siap hendak turun.
    “Sini aku bantu,”kata Diki. Ia membungkuk sedikit dengan dada tepat di atas kepala Rayan. Ia lantas memegang tangan Rayan
    “Julurkan kaki kanan kamu ke torehan kedua. Pelan-pelan…, naahh, terus pegang kuat dahan di samping kamu itu,”kata Diki mengarahkan.
    Rayan menuruti semua petunjuk Diki.
    ‘Terus?”tanya Rayan sambil mendongak. Mukanya hampir saja menyentuh dada Diki. Wangi alami tubuh Diki menyeruap dan memenuhi indera penciumannya.
    “Eh, lihat ke bawah! Ntar jatuh lho!”tegur Diki.
    Rayan menghirup wangi tubuh Diki dalam-dalam.
    “Hey!”
    Rayan membuka matanya dan langsung menyambar lengan Diki.
    “Eee…Rayan?! Hati-hati!!”seru Diki panik.
    Rayan menarik kakinya kembali dan melompat ke atas.
    Diki mengerutkan keningnya kebingungan. Belum hilang rasa bingungnya, Rayan sudah membungkam bibirnya dengan ciuman. Sebuah ciuman yang sangat bergairah. Diki membalas pagutan Rayan dan mereka berdua berputar di teras rumah pohon yang sempit.
    Disela-sela ciuman yang panas, Rayan melepas baju Diki. Lalu ia mengecup leher, dada dan dua titik di dada Diki yang kecokelatan. Tangannya pun tak luput menyusuri lekuk pinggang Diki. Jari jemarinya terus menari bebas kemudian berhenti di atas bagian paling pribadi dari tubuh Diki.
    Diki mendesah. Salah satu organ tubuhnya menggeliat bangun dalam kain lembut yang mengungkungnya. Belaian lembut Rayan sudah menciptakan gundukan kecil di bawah pusarnya.
    Rayan tersenyum dan mencumbu bukit kecil itu. Ia tak sabar ingin melepaskan makhluk nakal yang tersembunyi di bawah bukit itu. Ia ingin bermain-main dengannya.
    Dengan penuh semangat Rayan menarik penutup pinggul Diki. Ia tak sanggu menunggu lebih lama lagi.
    “Jangan!”tahan Diki disela helaan nafasnya.
    “Kenapa?”
    Diki menarik kedua lengan Rayan dan meminta Rayan berdiri.
    Rayan menatap wajah Diki dengan penuh tanda tanya.
    “Tahan sebentar, Sayang,”bisik Diki sambil mendorong tubuh Rayan ke arah pintu masuk.
    Rayan mencubit puncak dada Diki dengan gemas.
    “Awww…!”
    Rayan terkekeh.

    ***


    Rintih terputus mengambang di udara pada rembang petang yang kemerahan. Udara dingin pegunungan membelai lembut kulit telanjang Rayan dan Diki. Rintihan dan desahan berhamburan di dalam ruangan nan sempit itu.
    Petang ini sungguh bergairah.
    Diki memejamkan matanya sambil menikmati sapuan lidah nakal Rayan di bagian paling sensitifnya. Rayan dengan rakusnya memakan incin demi inci keindahan tubuh Diki. Sementara, jari-jemari lelaki kota itu terus menari-nari di sekujur lekuk tubuhnya. Untuk pertama kalinya bagi Diki merasakan sensasi kenikmatan yang luar biasa. Ini pertama kali baginya lekuk tubuh paling pribadinya itu dijamah orang lain.
    “Oucchh…” desis Diki nikmat.
    Rayan mengerling nakal.
    “Kamu menyukainya?”
    Diki mengangguk.
    Rayan kembali menyapu bagian sensitifnya itu dengan lembut tapi bertenaga.
    Diki mengejang.
    “Maukah kamu membagi sedikit kenikmatan itu padaku?”goda Rayan sambil mengusap bibir basahnya dengan punggung tangannya.
    Diki bangun dan mengacak rambut Rayan.
    “Tentu sayang,”bisik Diki sambil membaringkan Rayan. Ia lantas menindih tubuh jangkung itu.
    Rayan mengalungkan kedua lengannya ke leher Diki.
    Rayan mentowel hidung Rayan dengan pipinya. Setelah itu ia mendaratkan kecupan di garis rahang, dagu dan leher Rayan bertubi-tubi.
    Rayan mendesah kegelian.
    Diki terus bergerak mundur sambil terus menghujani garis tubuh Rayan dengan bibirnya. Ia mengecup dua titik cokelat kemerahan di dada Rayan, lantas bergerak turun mengikuti garis dada Rayan dan sampai ke perut.
    Di bawah pusar, Diki mengerling nakal. Sepertinya ia sengaja ingin menunda waktu agar Rayan gusar.
    “Come on, Beib…pliissss…”desis Rayan dengan nada memelas.
    Diki terkekeh. Ia lantas mencium bagian special dari tubuh kekasihnya itu.
    Rayan mengelinjang seperti cacing kepanasan.
    Diki tak hanya mencumbuinya, tapi juga memainkan lekuk tubuh paling pribadinya itu dengan lidahnya sebagaimana yang tadi Rayan persembahkan untuk dirinya.
    “Ahh…oohhhh…”desis Rayan.
    “Nikmat?”
    Rayan mengangguk pelan.
    Diki tersenyum sambil kembali maju dan mencium lembut bibir Rayan.
    “Berikan aku sajian utamanya, Sayang…”desis Rayan.
    Diki geleng-geleng kepala sambil menghela nafas.
    “Apakah semua orang kota semuanya bernafsu besar seperti dirimu??”gumam Diki sambil duduk dan mengangkat paha Rayan ke atas pahanya.
    Rayan terkekeh sambil mengusap peluhnya.
    Diki lantas bergerak maju, merapatkan tubuhnya dengan Rayan dan bergerak menghentak. Meskipun pada awalnya kesulitan, tetapi Perlahan-lahan ia mampu bergerak lincah mengatur irama permainan. Rayan pun melenguh panjang dibuatnya. Gerakan Diki yang perlahan-lahan kemudian menghentak, lantas kembali lagi perlahan secara silih-berganti, menggetarkan seluruh bagian tubuhnya. Mereka berdua sama-sama merasakan kenikmatan yang sulit untuk dilukiskan dengan kata-kata. Hanya rintihan dan desahanlah yang mampu keluar dari sela-sela bibir mereka. Rintihan dan desahan yang beradu dengan koor jangkrik yang mulai terdengar dari bawah pohon.
    Semakin lama, irama tubuh Diki semakin cepat. deru nafasnya semakin kuat. Ia melenguh panjang dan tubuhnya bergetar hebat.. Rayan menyadari Diki hampir mencapai puncaknya. Ia pun berbisik lembut kepadanya, “Keluarkanlah, Dik...”
    Diki memejamkan matanya rapat. Rayan meraih kepala Diki dan menciumnya sembari memeluk lehernya erat. “Perlahan-lahan, Sayang…”bisik Rayan mesra.
    Diki mendekap tubuh Rayan erat. Ia mendesah panjang. Ia menghentakan tubuhnya berkali-kali ke tubuh Rayan kemudian menegang. Rayan pun kemudian merasakan kehangatan mengalir di dalam tubuhnya.
    Diki menghela nafas panjang sambil merebahkan kepalanya ke dada Rayan. “Hmm…it’s my turn now, Beib. Mau membantuku?” bisik Rayan.
    Diki mendongak lalu mengecup mata Rayan dan mengangguk...

    ****
  • Sejak sore penuh gairah itu, Rayan dan Diki kerap bercinta menyatu-raga. mereka tak ubahnya sepasang pengantin baru yang tengah dimabuk asmara.
    Mereka bercinta tak hanya di rumah pohon, tapi selalu berpindah-pindah tempat. Terkadang di kamar Rayan, di atas batu di tepi telaga, di hutan dan tempat-tempat yang memungkinkan bagi mereka untuk memadu cinta.
    Gairah mereka begitu menggebu-gebu. Rayan dan Diki tak pernah egois saat bercinta menyatu-raga. Mereka tak pernah memburu kenikmatan sendiri. Melainkan saling menanti untuk mencapai puncak Gunung Biru bersama-sama. Jika salah satu dari mereka belum siap mendaki puncak kenikmatan, maka yang satunya akan menanti dengan memberi sentuhan dan belaian hangat penuh sensasi pada bagian-bagian paling peka dari tubuh pasangan, hingga keduanya puas.
    Sehabis bercinta, biasanya mereka berdua berpelukan. Membiarkan tubuh telanjang mereka yang liat dijilati angin . di saat-saat seperti itu, Rayan dan Diki mengungkapkan perasaan dan isi hati mereka masing-masing. Membahas segala suka, duka, resah, harapan dan ketakutan.
    “Aku tak bisa selamanya di sini, Dik…”ucap Rayan sambil memainkan jemarinya di atas dada Diki. Keduanya baru saja mendaki bukit berbunga di atas rumah pohon setelah lelah bersepeda.
    “Ya, aku tahu. Masa liburanmu akan segera habis,”balas Diki sambil membelai rambut Rayan.
    “Lantas bagaimana dengan hubungan kita?”
    “Seharusnya aku yang merisaukan hal itu, Yan. Posisinya aku yang kamu tinggalkan. Bukanlah lebih ringan meninggalkan dari pada harus ditinggalkan?”
    Rayan memeluk tubuh Diki erat.
    “Kamu tahu bagaimana isi hatiku. Kamu yang sepenuhnya sudah memiliki hatiku. Kamu tahu bagaimana jika aku tanpamu…”
    “Meskipun aku tak pernah menjejakkan kaki di kota, tapi aku yakin begitu banyak godaan di sana. Kau bisa mendapatkan cowok yang segalanya lebih dari aku dengan semua yang kau punya.”
    Rayan menggeleng keras.
    “Tidak, Dik! Tidak semudah itu…”
    “Akh, kamu bisa dengan mudah melabuhkan hatimu ke aku, setelah putus dengan Tommy. Jadi pasti dengan mudah kamu melabuhkan hati pada orang lain sesampainya di kota, dan melupakan aku yang sendirian di desa kecil ini.”
    “Aku tak akan melakukan itu. Cintaku di sini, Dik. Hatiku sudah tertinggal di desa ini…”
    Rayan menyentuh pipi Rayan. Ia memiringkan tubuhnya menghadap Rayan dan mengangkat kepalanya yang kemudian ditopang oleh lengan kanannya.
    “Jadi apa yang kau risaukan? Kamu mencintai aku dan Aku akan setia menunggu kamu di sini…”
    Rayan mendongak dan mengecup dagu Diki.
    “Kamu mungkin bisa hidup tanpa aku, Dik. Tapi aku…sehari saja tak melihat wajahmu itu, hati ini kehilangan keceriaannya…”
    “Raga kita mungkin terpisah, Yan. Tapi hati kita akan selalu dekat…”
    Rayan mendesah. Hatinya belum sepenuhnya tenang.
    “Sudahlah Yan. Nggak usah dipikirin. Toh kalo kamu rindu aku, kamu bisa SMS atau hubungi aku. Jika benar-benar sudah tak tahan lagi ingin menatap wajahku, kamu bisa kapan aja menyambangi desa ini. Aku dan desa kecil ini tak akan kemana-mana…”
    “Ya, aku tahu. Tapi apakah tak pernah terbesit dalam benakmu ingin keluar dari desa ini?”
    “Merantau begitu?”
    Rayan mengangguk.
    “Iya. Pergi ke kota dan mencari pekerjaan di sana. Lagian sampai kapan kamu akan tinggal di sini? Kehidupan kamu nggak akan berkembang. Kalau kamu ke kota, kamu bisa mencari pekerjaan dan menambah pengalaman.”
    “Pergi ke kota?”
    “Iya. Kamu bisa cari kerja di sana. Kamu bakalan dapat gaji yang lumayan. Kamu juga bisa membantu ekonomi Bak dan Emak. Jika uangnya sudah terkumpul, kamu bisa bikin usaha di desa. Buka toko kelontongan atau membeli hewan ternak dan menjadi peternak yang memiliki ratusan ekor kerbau…”
    Diki terdiam dengan otak yang terus berputar, berusaha mencerna dan menelaah ide Rayan.
    “Bagaimana? Ide yang menarik bukan? Nanti kita cari kerja sama-sama. Soal tempat tinggal, kamu bisa tinggal di rumahku. Dengan begitu kita bisa berduaan setiap hari..”bujuk Rayan.
    “Kedengarannya menarik…”gumam Diki.
    Rayan bertepuk tangan riang.
    “Jadi kamu maukan hijrah ke kota bersama aku?”
    Diki tersenyum.
    Rayan melompat naik ke badan Diki dan menghujani wajahnya dengan ciuman.
    Diki mendesah kegelian. Ia lalu memeluk tubuh Rayan erat. Mereka kembali berciuman sambil bergulingan di atas tikar anyaman usang.

    Tiba-tiba nada midi Espionage menjerit dari kantong celana Diki yang tergeletak di sudut ruangan.
    Mereka berdua langsung melepas pelukan dan melerai ciuman. Diki lalu mengambil HP-nya. Di HP berlayar hitam putih itu terbaca kalau uwak tuanya memanggil.
    “Wak ambo telepon. Ngapo yo? Biasonyo dak pernah…(Wakku telepon. Kenapa ya? Biasanya tak pernah…)”gumam Diki.
    “Angkatlah. Siapa tahu penting,”saran Rayan yang masih berbaring sambil mengelus-elus perutnya.
    Diki mengangguk. Ia mengangkat telepon dan terlibat obrolan singkat dengan Uwaknya.
    “Ada apa?”tanya Rayan setelah Diki menjauhkan HP dari telinganya.
    “Ada hal penting. Dia minta aku pulang.”
    “Oh, gitu. Ya udah, ayok kita pulang!”pungkas Rayan sambil bangun.
    “Biar aku aja yang balik. Kamu tunggu di sini aja dulu. Petang masih lama kok. Aku masih pengen berduaan sama kamu di sini,”kata Diki.
    “Jadi aku ditinggal sendirian di sini?”
    “Sebentar aja kok, Yan. Palingan Cuma 10 menitan.”
    “10 menit? Itu lama tahu!”protes Rayan.
    “Aku nggak mau kamu kecapean, Yan, kalo harus bolak-balik ke sini nanti…”
    Rayan mangut-mangut.
    “Oke?”
    “Tapi janji ya jangan lebih dari 10 menit!”
    “Iya…kalau urusannya bakal runyam dan lama, aku akan segera hubungi kamu,”janji Diki sambil mengacak rambut Rayan.
    Rayan mengangguk.
    Dikipun buru-buru mengenakan pakaiannya lalu bergegas menuruni pohon. Tinggalah Rayan sendirian yang terus mengawasi gerakannya dari atas teras rumah pohon itu…


    Sepuluh menit yang dijanjikan sudah berganti menjadi dua jam. Tapi sosok yang Rayan nantikan tak jua datang. Soal waktu, memang kebanyakan orang tak bisa dipercaya. Penganut jam karet semua! Rayan mengumpat kesal. Apalagi semua SMS dan telepon yang ia tujukan ke Diki tak ada yang mendapat respon. Diki seolah raib.
    Rayan duduk di teras rumah pohon dengan kaki menjuntai di udara. Raut mukanya kesal betul. Ia bertekad akan terus menunggu di sini sampai Diki datang menjemputnya.
    “Dia harus tahu, betapa menyebalkannya menunggu itu!”gerutu Rayan.
    Rayan bermaksud ingin memberi pelajaran pada Diki soal menghargai waktu dan janji yang sudah terucap. Ia ingin Diki merasa bersalah karena sudah memberinya janji palsu. Ia ingin membuat Diki minta maaf atas keteledorannya yang luar biasa ini. Ia tak akan membiarkan Diki lolos begitu saja.
    “Lihat aja, bakal gue benyek-benyek tuh orang!!”
    Rayan melihat jam di layar HP-nya. Waktu hampir menyentuh angka 18.00 . Meskipun begitu, Rayan tak perduli. Ia akan tetap di sini. Ia akan mengabaikan rasa takutnya, hawa dingin dan gigitan Nyamuk. Ia ingin membuktikan pada Diki betapa konsisten dirinya.
    Rayan bersandar di dinding rumah pohon. Udara dingin dari bukit membelai tengkuknya. Rayan memeluk tubuhnya erat dengan kedua tangannya sendiri dengan maksud sedikit menghalau dingin. Sayangnya itu tak banyak membantu, sebab saat ini ia hanya mengenakan kaos berlengan pendek dan celana gunung selutut.
    Rayan kembali melirik waktu di layar HP. Waktu sudah lewat lima menit dari pukul enam sore. Rayan menggeram kesal. Diki benar-benar menguji kesabarannya. Ia lantas mencoba menghubungi nomer Diki kembali. Panggilannya tersambung tapi tak diangkat.
    “Arrgghh! Shit! Fuckin’ shit! Kemana sih tuh bocah kampung??!”umpat Rayan kesal. Ubun-ubunnya hampir mengepulkan asap hitam.

    woy, lu dmn?!

    Rayan mengirim SMS ke Diki untuk kesekian kalinya dengan nada kesal. Tapi lagi-lagi tak ada balasan.
    Rayan mengepalkan tinjunya. Ia benar-benar terbakar amarah sekarang.
    “Ini sangat keterlaluan, Dik! Bisa-bisanya lu nyuruh gue nunggu sendirian di sini ampe jamuran! Di tengah padang tanpa penghuni dan berjam-jam lagi! Lu…harus dapat pelajaran dari gue!!!”desis Rayan sambil bangkit dan bergerak menuruni pohon. Ia sudah tak sanggup lagi menunggu lebih lama. Lebih baik ia pulang sekarang. Ia bertekad akan menghajar Diki habis-habisan.
    “Wait and See ya, Dik! Lu belum pernah ngerasain bogem mentah dari gue!!”desis Rayan penuh dendam.

    Rayanpun berjalan pulang ke rumah dalam remang malam. Sepanjang perjalanan ia merasakan cuaca di permulaan malam ini kurang bersahabat. Semakin lama, hawa terasa semakin dingin menusuk tulang. Belaiannya terasa dingin hingga membuat bulu tengkuknya meremang. Hamparan langitpun tak secerah biasanya. Warnanya kelabu. Sang Dewi malam juga belum menampakkan wajahnya.
    Pepohonan yang dilewati Rayanpun terasa asing. Dedaunannya mendesau pelan. Deretan pepohonan Sengon yang bergoyang teratur mengikuti hembusan bayu malam terlihat seperti jubah hantu yang melayang-layang dalam kegelapan. Belum lagi bunyi Katak dan koor Jangkrik yang saling menyela, makin menyeramkan suasana.
    Rayan mengelus tengkuknya yang terasa singin seakan terkena siraman air es. Ia mempercepat langkah kakinya. Entah kenapa, ditengah ketidaknyamannya menyusuri jalan dalam kegelapan, Rayan tiba-tiba membayangkan wajah Diki. Semakin lama raut wajah kekasihnya itu semakin jelas. Bahkan terasa sangat nyata sampai-sampai Rayan seakan bisa menyentuhnya. Anehnya, wajah lelaki yang dicintainya itu nampak murung. Tak ada keceriaan seperti yang ia tampilkan pada Rayan sebelum ia pamit pulang beberapa jam yang lalu. Yang terlukis di wajah tampan nan bersahaja itu hanyalah kesedihan.
    Rayan menggeleng-gelengkan kepalanya untuk mengusir wajah Diki yang sedih dari pelupuk matanya. Ia berharap itu tidak benar. Ia menginginkan semuanya baik-baik saja. Ia melihat jam di layar Hp-nya. Waktu sudah bergulir ke angka 18.47. Suasana semakin gelap. Hanya layar Hp-nya sebagai penerang jalan. Rayan pun berlari. Sesekali terdengar suara keretak ranting di kiri kanan jalan. Bunyi-bunyian itu semakin membuat nafas Rayan memacu. Untunglah tak berapa lama kemudian ia sudah memasuki perkebunan Buncis milik Pak Rahik, salah satu tetangga sebelah kanan rumah neneknya. Itu berarti ia sudah berada di belakang kampung. Rayan menarik nafas lega saat melihat kerlip lampu dari rumah warga.


    Memasuki wilayah perkampungan, Rayan kembali berjalan santai. Tubuhnya bermandi keringat, Bibirnya bergetar dan kedua tungkai kakinya terasa lemas. Rayan kembali memaki Diki dalam hati. Gara-gara Diki, ia hampir saja mati ketakutan.
    “Awas, jika ketemu, gue jitakin palanya!!”gumam Rayan sambil mengatur nafasnya yang ngos-ngosan.
    “Dari mano Yan? Litak nian caknyo? (Dari mana, Yan? Sepertinya capek sekali?)”tegur salah seorang warga yang melintas.
    “Nggak, Pak,”jawab Rayan sambil menggaruk kepalanya yang tidak gatal sama sekali. Ia kebingungan harus menjawab apa. Tidak mungkin ia menjawab bahwa ia dari Padang Hijau. Pastilah si Bapak yang menegurnya akan bertanya-tanya dalam hati, Ada apakah gerangan seorang pemuda kota pulang kemalaman dari Padang Hijau sendirian?
    Untunglah si Bapak tidak bertanya lebih jauh lagi. Ia mengangguk seraya tersenyum pada Rayan lalu kembali melanjutkan langkahnya.
    Rayan menghela nafas dalam-dalam. It’s all cause of you, Dik! Awas lu ya!, umpat Rayan lagi.
    Tiba-tiba langkah Rayan terhenti. Beberapa meter di depannya banyak warga berkumpul. Tidak hanya itu saja, di pinggir jalan terpancang tiang bambu berbendera kuning.
    “Ada yang meninggal rupanya…”gumam Rayan dalam hati sambil melanjutkan kembali langkahnya dengan gontai. Namun saat ia sudah melewati bendera kuning itu beberapa langkah, dadanya tiba-tiba berdegup kencang. Sebersit pikiran buruk masuk ke otaknya seiring kembali hadirnya wajah sendu Diki di pelupuk matanya.
    Rayan menoleh ke belakang. Ia terperanjat.
    “Ini gang rumahnya Diki!”seru Rayan tertahan.
    Ia mendekat dan menatap bendera kuning yang berdiri diam dengan hati berdebar.
    Tanpa pikir panjang Rayan segera berlari memasuki gang. Semakin ke dalam, kerumunan orang-orang semakin ramai. Kerumunan terpusat di salah satu rumah yang sudah sangat Rayan kenal.
    Detak jantung Rayan semakin kencang. Dengan seluruh tubuh bergetar ia berjalan menjejak teras yang dipadati orang-orang yang tak satupun ia kenal.
    Rayan baru saja hendak menerobos pintu depan saat sepasang telinganya mendengar ratapan yang menyayat hati dari dalam rumah.
    “Dikiiiiii…hhh…Dikiiiiiii…!!!”
    Diki?
    Jantung Rayan serasa berhenti berdetak. Mukanya pias. Serta merta panas yang serasa membakar langsung menjalar naik ke mukanya.

    “Diki..? Diki!!!”teriak Rayan histeris sambil menerobos masuk. Teriakan histerisnya mengundang perhatian seluruh orang yang duduk melingkar memenuhi ruang tamu.
    Rayan menelan ludah saat menyaksikan sesosok tubuh terbujur kaku di hadapannya. Sekujur tubuh itu ditutupi kain. Menilik dari postur badannya, itu dipastikan bukan Diki. Rayan mengelus dada lega. Ia bersyukur ketakutannya tidak menjadi kenyataan.
    Lantas tubuh siapakah yang terbujur kaku itu?
    Mata Rayan tertuju pada perempuan setengah baya yang duduk meratap tepat di depan jenazah. Itu Emak Diki. Dan beliaulah yang tadi meraung-raung menyebut nama Diki. Rayan sudah bisa menebak siapa gerangan yang telah di panggil sang Maha Kuasa. Dia pasti Bak Diki.
    Lantas di mana Diki?
    Diki ternyata duduk tertegun dengan wajah menunduk di samping kanan Emak-nya. Sementara ketiga adiknya dengan mata sembab duduk berpelukan di samping kiri Emak.
    Darah Rayan berdesir. Kesedihan langsung menghinggapi hatinya.
    Dengan hati-hati Rayan menghampiri keluarga yang tengah dirundung duka tersebut. Melihat kedatangannya, Emak langsung mendongak dengan mata berurai air mata.
    “Emak…”desis Rayan tercekat.
    Emak Diki tak membalas desisannya. Beliau justru mengangkat kedua tangannya ke depan dada. Rayan mengerti apa maksud wanita paruh baya itu. Rayan langsung memeluk Emak dengan mata berair.
    “Mak…sabar ya Mak…”ucap Rayan dengan suara tersendat.
    “Diki, nak…Diki…”ucap Emak berkali-kali.
    Rayan menoleh kearah Diki yang sedari tadi tak bergerak sama sekali. Rayan melihat air mata terus mengalir di pipi kekasihnya itu.
    Rayan menggigit bibirnya. Ingin sekali ia membawa Diki ke dalam pelukannya. Ia ingin mengusap air mata itu dengan punggung tangannya dan membisikkan beberapa potong kalimat agar Diki bisa kuat melalui cobaan ini.
    “Bak idak ado lagi, Yan…hikksss…(Bapak sudah tak ada lagi, Yan)”desis Emak sambil melerai pelukannya.
    “Iyo, Mak. Emak sabar yo,”kata Rayan sembari menggenggam tangan Emak kuat.
    Tangis Emak semakin membanjir.
    Rayan menghampiri Diki. Dengan gemetaran ia menyentuh pundak Diki.
    “Sabar ya, Dik. Aku turut berduka cita yang sedalam-dalamnya. aku bisa ngerasain betapa mendadak dan menyakitkannya ini bagi kamu sekeluarga. Tapi yakinlah, Tuhan memiliki rencana yang terbaik buat hamba-Nya…”ucap Rayan.
    Diki bergeming. Ia tidak merespon ucapan Rayan. Ia tetap saja terpekur seperti patung. Ia kelihatannya sangat terpukul dengan berpulangnya Bak dengan tiba-tiba.
    Setelah menyampaikan rasa bela sungkawanya pada Diki dan Emak, Rayan mendekati ketiga adik Diki yang keadaannya sangat menyedihkan dan memilukan hati. Mereka bertiga bertangis-tangisan sambil berpelukan. Rayan mengelus kepala Dina dan Dini dengan lembut dan membawa Safira ke dalam pelukannya.
    “Kalian semua yang sabar ya. Ikhlaskan Bak supaya bisa pergi dengan tenang. Bak lebih senang kalau anak-anak kesayangannya ini mendoakan Beliau dari pada nangis…”hibur Rayan.
    Ketiga adik Diki itu mengangguk sambil terus menangis sesunggukan.
    Rayan menghela nafas berat. Ia bisa merasakan bagaimana terpukulnya keluarga Diki atas berpulangnya sang kepala keluarga secara mendadak.
    Setelah menghibur Dina, Dini dan Safira, Rayan berpamitan pulang. Sebelum benar-benar pergi meninggalkan ruangan yang kental dengan suasana duka itu, Rayan kembali melirik Diki.
    Lelaki itu masih dalam posisi yang sama. Duduk terpekur dengan wajah tertunduk dalam.
    Sabar ya, Sayang. Aku yakin kamu pasti kuat. Kamu pasti bisa melewati masa-masa sulit ini, gumam Rayan dalam hati.

    ***

  • Kepergiaan Bak merubah keadaan Diki sepenuhnya. Hal ini berimbas juga ke Rayan. Ia tak bisa lagi bebas seperti dulu. Ia juga tak bisa lagi menemani Rayan setiap sore di Padang Hijau.
    Sebagai anak laki-laki sekaligus anak tertua, kepala keluarga sekarang berpindah di bahunya. Sebagai kepala keluarga, otomatis Diki bertanggung jawab atas kebutuhan hidup Ibu dan ketiga adiknya. Dengan kata lain, ia menjadi tulang punggung keluarganya sekarang.
    Rayan sangat sedih melihat beban berat yang harus dipikul kekasihnya itu. Dadanya selalu sesak jika memikirkan tanggung jawab yang diemban Diki. Di atas segala hasratnya ingin selalu menikmati sore-sore indahnya bersama seperti hari-hari sebelumnya, yang lebih penting bagi Rayan adalah ia ingin melihat hidup Diki bahagia. Ia tak sanggup menyaksikan Diki harus bekerja menggantikan Bak menebang pohon di rimba. Betapa berat dan melelahkannya pekerjaan itu. Saban pagi sudah berangkat menerobos hutan dan menjelang petang baru pulang dengan bahu memikul papan. Pekerjaan itu tidak cocok untuk anak seusianya dan Diki. Tulang belulang mereka masih sangat muda untuk memikul papan-papan itu. Ia takut pekerjaan itu akan berakibat buruk bagi perkembangan fisik Diki ke depannya.
    Namun seperti biasanya, Rayan hanya mampu mengelus dada dan berdoa untuk keselamatan Diki. Bibirnya tak henti-henti mengulum doa agar disetiap langkahnya, Diki selalu diberi kemudahan dan kelancaran.
    Sehari-dua hari Rayan masih bisa menahan perasaan sedihnya. Ia terus meyakinkan diri kalau Diki akan baik-baik saja. Ia tahu Diki orang yang kuat. Tapi setelah beberapa hari berlalu, Rayan mulai tak bisa mengontrol luapan rindunya. Ia tak bisa terus-terusn menahan perasaannya yang haus akan Diki. Ia merindukan semua yang ada pada Diki. Ia juga merindukan saat-saat mereka bercinta-menyatu raga. Ia juga merindukan tatapan, perkataan dan senyuman lembut yang selalu Diki tujukan padanya. Singkatnya, Rayan menginginkan hari-hari kebahagiaan mereka dulu kembali.
    Rayan tak bisa menunggu lebih lama. Meskipun hanya sejenak saja, ia ingin Bersama Diki. Ia ingin menyentuh wajah Diki. Ia ingin merasakan detak jantung Diki. Ia juga ingin memastikan bahwa Diki baik-baik saja.
    Akhirnya Rayan mengirim pesan singkat ke nomor Diki. Ia meminta Diki datang ke rumah Neneknya malam ini. Rayan sengaja memilih malam hari sebab sudah dipastikan Diki tak punya waktu di siang hari. Pekerjaannya menebang kayu di hutan mengharuskannya berada di hutan seharian penuh.
    Untung Diki bersedia memenuhi permintaan Rayan. Sehabis makan malam ia pamit pada Ibunya yang tengah mengaji untuk pergi ke rumah Rayan.
    Rayan sangat gembira melihat kedatangan Diki. Pada awalnya ia pikir Diki tak akan datang. Sebab SMS yang ia kirim tidak mendapatkan balasan. Tetapi dugaannya itu langsung ditepis dengan hadirnya sosok Diki di hadapannya saat ini.
    "Dik, masuk...!"ajak Rayan saat menangkap sikap Diki yang terlihat canggung.
    Diki mengangguk.
    "Sms-ku gak dibales. Aku pikir kamu sudah tidur,"kata Rayan seraya menoleh ke Diki yang membuntutinya dari belakang.
    "Belum kok."
    Mereka berdua duduk bersebalahan di bibir ranjang.
    "Kerja berat seharian, kamu pasti capek banget yah?"
    Diki tertawa lirih. Getir.
    Rayan langsung pindah ke belakang Diki. Setelah itu ia langsung memijat pundak Diki lembut.
    "Gak perlu Yan..."tolak Diki.
    "Sudahlah, gak usah menolak. Aku sangat senang melakukannya."
    Diki langsung diam.
    "Kamu jangan bekerja terlalu keras, Dik. Kasihan tubuh kamu diporsir berlebihan,"pesan Rayan.
    "Harus bagaimana lagi, Yan? Pekerjaanku ini memerlukan energi yang banyak dan begitu mengandalkan fisik."
    "Iya, aku tahu,"balas Rayan dengan nada berat. "Tapi aku kasihan aja sama tubuh kamu ini. Ntar berakibat buruk untuk ke depannya..."
    "Hhhh...mau nggak mau, ini harus aku jalani. Cuma inilah satu-satunya pekerjaan yang bisa aku dapatkan saat ini..."desah Diki.
    "Hmmm...kamu masih ingat dengan obrolan kita di hari---hmm...---, Bak meninggal?"
    "Tentang apa?"
    "Pindah ke kota. Bagaimana?"
    Diki terdiam.
    "Kamu bisa kerja di kota."
    "Jika Bak masih ada, aku pasti akan menyetujuinya, Yan. Tapi dengan kondisi keluargaku sekarang ini, sepertinya itu hanyalah rencana kosong saja."
    "Kok gitu?"
    "Banyak yang harus kupikirkan, Yan."
    "Kamu memikirkan apa? Aku akan sepenuhnya membantu kamu di sana nanti,"janji Rayan.
    "Bukan itu maksud aku..."
    "Lantas apa? Seperti yang sudah aku katakan dulu, soal pekerjaan, kita bisa cari sama-sama. Orang tuaku banyak rekan bisnis. Teman-temanku juga banyak. Kalau soal tempat, rumahku punya banyak kamar. Lagi pula di rumah cuma ada aku, Papa-Mama dan pembantu serta sopir. Mereka pasti sangat senang kalau bertambah penghuni baru. Rumah jadi makin rame.."
    "Buk---"
    "Atau kamu nggak nyaman numpang tinggal di rumah orang lain? Kita bisa cari kontrakan buat kamu,"potong Rayan.
    Diki menggeleng keras. "Bukan itu masalahnya."
    "Lantas apa? Kamu masih takut hidup di kota ya? Kamu takut nggak bisa menaklukkan kehidupan kota yang keras? Tenang, Dik. Ada kamu! Aku akan selalu ada di samping kamu. Kita akan berjuang sama-sama."
    "Terima kasih Yan atas kebaikan kamu itu. Tapi aku sepertinya tak mungkin meninggalkan desa ini..."
    "Akh! Apalagi sih masalahnya?"ucap Rayan kesal. "Yang gue tahu, Diki itu orang yang pemberani dan tegas. Nggak pernah penuh keraguan kayak gini. Udahlah, Dik... Ayah lu itu sudah tenang di sana. Ikhlaskanlah kepergiannya. Sekarang lu itu harus fokus sama masa depan lu, kebahagiaan lu..."
    "Aku sudah merelakan Bak, Yan. Memang sampai segitu umurnya. Tapi jujur saja dengan kepergian Bak, tang---"
    "Kalau begitu apa lagi yang jadi ganjelan kamu?"potong Rayan. "Ikutlah sama aku ke kota. Kita bisa hidup bahagia di sana..."bisik Rayan ke telinga Diki.
    Diki tak bergeming.
    "Kita tinggalkan desa ini. Kita rajut kembali cinta kita di kota. Kita berjuang sama-sama di sana. Di sana kita bebaaasss..."bujuk Rayan sambil membelai bibir Diki.
    "Bila perlu aku rela menanggung biaya hidup kamu, asalkan kita bisa tetap bersama...."sambung Rayan lagi.
    "Nggak, aku nggak bisa..."
    "Dik! Kenapa? Apakah kamu tidak menghargai cinta kita?!"tanya Rayan gusar.
    "Cukup, Yan! Aku muak dengar cinta, cinta dan cinta lagi! Tolong ngertiin posisi aku sekarang!"bentak Diki sambil menepis tangan Rayan kasar.
    "Dari dulu aku selalu ngertiin kamu! Kamu yang nggak ngertiin aku!!"balas Rayan sengit.
    "Bak sudah meninggal, Yan. Aku se---"
    "Tuh kan?! Apa gue bilang, lu masih memikirkan dia. Bak itu sudah tenang di sana, Dik! Plis deh, jangan terus berlarut-larut dalam kesedihan..."
    "Dengerin aku dulu, Yan! Meninggalnya Bak sudah takdir dari Allah. Aku nggak bisa melakukan apa-apa lagi soal itu. Meskipun aku nangis darah sampai meraung-raung pun, Bak gak akan kembali!"
    "Nah itu lu tau..."
    "Tapi setelah Bak tiada, keadaanku nggak lagi sama, Yan! Aku anak tertua dan lelaki satu-satunya dalam keluarga. Adikku masih kecil-kecil. Siapa yang akan mengurus mereka? Siapa yang akan membiayi hidup mereka? Aku nggak mungkin lepas tangan dan menyerahkan semuanya ke Emak. Berapa besar penghasilan sebagai tukang sayur? Hasilnya nggak seberapa. Untuk makan aja kurang, apalagi untuk kebutuhan yang lainnya. Jadi menurut kamu apakah aku pantas meninggalkan keluargaku yang lagi kesusahan seperti itu, eh? Apakah aku tega membiarkan Emak berjuang sendiri menghidup ketiga adikku setelah ditinggal Bak? Apakah pantas ikut ke kota sama kamu dalam keadaan seperti ini? Anak macam apa aku ini??"
    Rayan terdiam seketika. Kepalanya langsung tertunduk.
    "Kamu nggak pernah mikir sampai ke sana, Yan. Yang kamu pikirkan cuma kebahagiaan kamu aja. Cuma nafsu kamu aja. Kalau kamu cinta sama aku, kamu seharusnya mengerti bagaimana posisi aku sekarang! Kamu mau bawa aku ke kota dan menanggung biaya hidup aku di sana, iya? Mau sampai kapan? Aku nggak akan pernah bisa tidur nyenyak ataupun makan enak, jika keluargaku jungkir balik di sini untuk bertahan hidup. Aku nggak akan pernah meninggalkan Emak dan adek-adekku. Bak sudah menitipkan mereka padaku. Mereka adalah tanggung jawabku !!"ucap Diki panjang lebar. Setelah itu ia bangkit dan berjalan menuju pintu kamar.
    "Dik..."
    "Aku tegaskan sama kamu, Yan, Biarlah aku kehilangan cintaku, dari pada harus kehilangan mereka!! Jadi sebaiknya, kamu bawa saja cinta kamu itu ke kota!! Berikan sama orang lain yang lebih berhak menerimanya! Bukan lelaki kere semacam aku yang hanya bisa menghadiahi kamu air mata!!"pungkas Diki sambil keluar kamar dengan debaman pintu.
    Rayan mengangkat kepalanya. Sebutir air mata menetes di pipinya yang mulus...


    Sepeninggalan Diki, Rayan memukuli kepalanya dengan kesal. Ia benci dengan apa yang telah ia perbuat barusan. Ia hampir selalu bertindak tanpa mempertimbangkan akibatnya.
    Sekarang ia bukannya mendapatkan belaian dari Diki, tapi justru hubungannya dengan Diki semakin terpuruk.

    Bawa saja cinta kamu itu ke kota!

    Ucapan Diki tadi kembali terngiang di telinga.
    Apa maksudnya?
    Apakah Diki secara tak langsung sudah memutuskan dirinya? Apakah hubungan mereka hanya sampai di sini?

    Rayan memukuli bantal berkali-kali. Ia marah pada dirinya sendiri.

    Sekarang apa yang harus ia perbuat? Apakah ia harus menghubungi Diki kembali untuk minta maaf sebelum semuanya terlambat?

    Rayan melirik HP-nya yang tergeletak di atas meja. Ia ragu untuk mengambil benda itu. Seragu hatinya untuk menghubungi Diki kembali.

    Rayan menghela nafas berat. Ia menyandarkan tubuhnya ke kepala ranjang, persis di tempat biasa Diki bersandar sambil membaca buku 25 Legenda Nusantara sambil menemaninya tidur. Rayan menggigit bibirnya getir. Rasa sesak menghimpit dadanya.

    Ia kembali melirik HP-nya. Ia terdiam beberapa detik sambil menatap smartphone-nya dengan pikiran dilingkupi keraguan.

    Akh! Desah Rayan kemudian sambil menyambar HP-nya. Ia tak ingin menelan penyesalan untuk yang kedua kalinya karena salah bertindak. Ia harus membereskan 'kekacauan' yang telah dibuatnya.

    Rayan lantas menghubungi nomor Diki. Panggilannya tak diangkat. Rayan menghela nafas berat. Sepertinya Diki terlanjur marah.

    Rayan tak mau menyerah begitu saja. Ia kemudian mengirim SMS berisi permintaan maaf pada Diki. Kalau SMS pasti Diki akan baca. Tinggal lagi apakah akan direspon atau nggak.

    Rayan terus menunggu nada pesannya berbunyi. Tapi sekian lama menanti, benda itu tetap tergeletak tanpa suara.

    Rayan menghela nafas pelan.Diki sudah tak menghiraukan SMS-nya. Rayan menekan tombol create message dan menatap kursor yang berkedip. Ia bermaksud menulis SMS lagi. Kali ini pesan berisi permintaan maaf sekaligus menjelaskan maksudnya mengajak Diki ke kota.

    Dik, entah apakh aq msh pantas dpt maaf dr qm atw gx. Aq selalu menciptkn mslh dlm kehidupan qm. Jk dr awal aq tahu diri ini hanya akn msk daftar mslh dlm khdupnmu, aq pasti akn menghdar. Bahkn gx akn holiday ke sn.
    Soal mlm ini, aq lg2 hrs minta maaf. Aq mang egois. Selalu memikirkn kebahagian q aj. Tp aq gx ada niat untk buat qm meningglkn keluargamu. Aq tahu mrk sangt berarti buat qm, bgt jg sbalikny.
    Aq, orng kota yg tak tw apa2 ini, hanya ingin membntu orng yg dicintainy keluar dr mslh. Malam.

    Dik, entah apakah aku masih pantas dapat maaf dari kamu atau nggak. Aku selalu menciptakan masalah dalam kehidupan kamu. Jika dari awal aku tahu diri ini hanya akan masuk daftar masalah dalam kehidupanmu, aku pasti akan menghindar. Bahkan gak akan holiday ke sini.
    Soal malam ini, aku lagi-lagi harus minta maaf. Aku memang egois. Selalu memikirkan kebahagiaku aja. Tapi aku gak ada niat untuk buat kamu meninggalkan keluargamu. Aku tahu mereka sangat berarti buat kamu, begitu juga sbaliknya.
    Aku, orang kota yang tak tahu apa-apa ini, hanya ingin membntu orang yang dicintainya keluar dari masalah. Malam.

    Rayan memencet tombol send. Meskipun belum tahu apakah Diki akan membalasnya atau tidak, Rayan sudah merasa sedikit lega karena sudah melakukan keputusan yang sejauh ini menurutnya paling benar, yakni dengan tidak membiarkan kesalahpahaman ini terus berlanjut.

    Dua pesan singkat sudah dikirim. Hanya saja dua-duanya tak ada yang mendapat balasan. Rayan memandang HP-nya dengan hampa.

    "It's over! Almost over...,"desis Rayan sambil menekan tombol on/off pada HP-nya tak bertenaga.

    ***

    "Rayaaannnn...!!!"
    "Rayan! Keluar kau!"

    Rayan yang tengah berbaring di kamar sambil mendengar lagu Don't You Remember dari Adele langsung bangun. Ia mengecilkan volume pemutar suara di HP-nya dan menajamkan pendengaran.

    "Rayan!!"kembali terdengar suara wanita yang meneriakkan namanya dengan nada marah.

    Rayan turun dari ranjangnya dan membuka pintu, bertepatan dengan berdirinya sang Nenek yang sepertinya baru saja ingin mengetuk pintu kamarnya.

    "Ada apa sih, Nek?"tanya Rayan.
    Neneknya mengangkat bahu. "Mano Nenek tau? (Mana Nenek tahu?)"
    "Emang itu siapa?"tanya Rayan sambil berjalan melintasi Neneknya menuju pintu samping.
    "Emak Diki..."jawab Nenek yang berjalan membuntutinya dari belakang.

    Emak Diki?
    Kenapa Beliau berteriak sedemikian marah?

    "Rayan! Rayan!! Keluar...!!!"

    Rayan bergegas membuka pintu dan memasang senyum lebar untuk menyambut Emak Diki.

    "Rayan!"
    "Ado apo, Mak?"

    Melihat kemunculan Rayan, Emak langsung menarik lengannya dengan beringas.

    "Ee...ado apo ini, Ti?"tegur Nenek yang tak suka melihat cucunya diperlakukan dengan kasar.
    Meti, Emaknya Rayan tidak menggubris ucapan Nenek. Ia hanya fokus menatap Rayan dengan mata nyalang.
    "Kenapa, Mak?"tanya Rayan lagi sambil berusaha tenang.
    "Jangan racuni anak aku dengan pikiran sesat kau tuh!"semprot Emak tiba-tiba.
    "Maksudnya?"
    "Kau orang kota. Jangan terapkan gaya kau di sini!"
    "Meti...ado apo ini? (Meti...ada apa ini?)"tanya Nenek lagi. Beliau tak mengerti apa yang tengah terjadi.
    "Wak, aku idak suko dengan cucung Wan nih! Dio la meracuni pikiran Diki! Dio ini sesat! Maso dio ndak kek Diki?! Jelas-jelas idak keruan lagi pikiran lanang ini!! (Wak, aku tak suka dengan cucu Wak ini! Dia sudah meracuni pikiran Diki! Dia sudah sesat! Masa dia suka sama Diki?! Jelas-jelas sudah tidak karuan lagi pikiran lelaki ini!!"semprot Emak sambil mengarahkan telunjuknya ke Rayan.

    Glegg!

    Wajah Rayan langsung pias.
    Kok Emak bisa berkata begitu? Dari mana beliau tahu?

    "Rayan suko lanang. Pantasnyo terus dekat dengan Diki. Ado maksud ruponyo...(Rayan ini suka cowok. Pantas dia terus mendekati Diki. Ada maksud terselubung rupanya...)"sambung Emak lagi.

    Rayan tertunduk. Dadanya mulai berdegup kencang.

    Nenek langsung menarik bahu Rayan ke arahnya, sehingga mereka berdua berhadapan.

    "Rayan! Benar apo yang dikecek Meti? Kau galak ke lanang? (Rayan! Benar apa yang dikatakan Meti? Kamu suka lelaki?)"

    Rayan tak menjawab. Ia tertunduk semakin dalam. Selain dadanya yang terus berdegup kencang, sekarang lututnya juga gemetaran.

    "Rayan! Jawab Nenek!"
    "Itu... Rayan memang sayang sama Diki, Nek...tapi sayang antar sahabat..."jawab Rayan sambil terbata-bata.
    "Ngicu! Diki dewek yang cerito kek aku, Wak! Katonyo Rayan makso Diki buat jadi mete-nyo. Supayo Diki galak, nyo belikan Diki hape. Diki idak ndak, tapi Rayan ngancam bakalan bunuh diri. Idak cuman itu, Rayan jugo bujuk Diki buat tinggal keknyo di kota!! (Bohong! Diki sendiri yang cerita ke aku, Wak! Katanya Rayan memaksa Diki untuk jadi pacarnya. Untuk itu Rayan menyogok Diki dengan menghadiahinya HP. Diki tidak berani menolak soalnya Rayan mengancamnya akan bunuh diri. Tidak hanya itu, Rayan juga membujuk Diki untuk tinggal bersamanya di kota!!" beber Emak berapi-api.

    Mendengar semua ucapan Emak barusan,
    Rayan merasakan berton-ton batu menghimpit dirinya, sehingga dadanya terasa amat sesak.
    Apa yang harus ia perbuat? Pembelaan macam apa yang akan ia berikan di depan Emak dan Neneknya? Sementara Diki sendiri yang sudah membeberkan semuanya. Hati Rayan terasa sangat sakit. Diki telah mengkhianati dirinya. Tidak hanya itu, Diki juga telah berkata-kata yang tidak-tidak tentang dirinya.
    Semua yang disampaikan Diki pada Emak hampir semuanya salah, kecuali tentang dirinya yang menyukai Diki. Selebihnya itu fitnah yang sangat menyakitkan dan mencabik-cabik harga dirinya. Kapan ia memaksa Diki untuk menerimanya? Apalagi sampai mengancam ingin bunuh diri segala. Ia juga tak pernah menganggap membelikan HP itu sebagai sebuah barang sogokan. Toh, saat mereka membeli HP itu, Diki terang-terangan juga menyukainya. Jadi apa yang salah?

    "Rayan! Benar itu, Yan?!"seru Nenek dengan nada gusar.
    "Bohong, Nek. Semuanya bohong,"jawab Rayan sambil menahan amarahnya.
    "Bohong cakmano, heh? Apo perlu aku panggilkan Diki ke sini?"tantang Emak.
    "Untuk apo aku mengada-ada, Wak? Aku melakukan ini karena menurut aku ini dak benar lagi! Rayan dak boleh meracuni pikiran anak-anak dusun nih dengan perilaku kotanyo itu! Kalau sampai warga tahu..."Emak tak meneruskan ucapannya. Beliau hanya menggeleng-gelengkan kepala.

    Rayan seketika menangis. Ia tak sanggup membayangkan saat seluruh warga kampung menghakimi dirinya. Dengan wajah memelas ia langsung menatap Neneknya.

    "Nek...maafin Rayan, Nek..."
    Sang Nenek menatap wajahnya tajam.
    "Soal Rayan yang Gay..., itu...itu memang benar,"ucap Rayan pelan. "Tapi...mengenai yang disampaikan Emak, itu bohong, Nek! Diki bohong! Rayan...Rayan tidak pernah memaksanya untuk menerima Rayan..."

    Sang Nenek menatapnya dingin.

    "Tolong jangan kasih tahu orang lain, Nek...jangan kasih tahu Kakek, Papa, Mama...Rayan mohon..."pinta Rayan sambil menggenggam tangan Neneknya.
    Neneknya masih menunjukkan ekspresi dingin yang sama.

    Rayan lantas beralih ke Emak. Ia menatap Emak dengan wajah minta dikasihani.

    "Emak, maafin Rayan. Rayan akui memang mencintai Diki. Tapi...Rayan bersumpah nggak pernah ingin merusak hidup Diki. Diki sendiri yang mencintai Rayan. Tapi, aku janji nggak akan ganggu Diki lagi, tapi tolong jangan beri tahu siapapun, Emak... Aku mohon..."

    Emak menatap Nenek yang terus membisu.
    "Maafkan Nenek, Yan. Kali ini Nenek tak ingin membantu kamu. Kamu itu kotor. Kamu itu berdosa. Kamu sudah melanggar kodrat. Kamu harus diobati, Yan. Nenek idak mau membiarkan cucu Nenek celaka..."

    Air mata Rayan mengalir deras.
    "Nek...tolong..."
    Sang Nenek menggeleng keras.
    "Rayan juga nggak mau kayak gini, Nek...tapi---"
    Ucapan Rayan tiba-tiba terhenti oleh suara ribut dan teriakan. Ia langsung menoleh ke arah jalan. Diki memasuki halaman diikuti belasan orang.
    "Itu dio orangnyo!! Dio ndak meracuni tobo kito!! (Itu dia orangnya!! Dia ingin meracuni kita semua!!)"teriak Diki lantang sambil mengarahkan telunjuk tepat ke dada Rayan.

    Wajah Rayan langsung pias...

    Rayan tersentak bangun dengan sekujur tubuh dipenuhi keringat. Ia langsung mengusap mukanya dengan kedua telapak tangan. Dadanya bergerak turun naik.

    "Oh my gosh, just a dream. Bad dream..."desis Rayan sambil mengusap jidatnya.

    Ia lantas bergerak ke samping dan mengambil HP-nya yang terasa dingin. Ia memencet di sembarang tombol. Layar HP-nya tak nyala.

    Oh, ia baru ingat, sebelum tidur semalam HP-nya di matikan. Sejalan dengan itu, peristiwa semalam kembali mengalir dalam ingatannya.

    Rasa sesak kembali melingkupi hatinya di pagi nan dingin ini. Tapi ia masih bersyukur. Seenggaknya Tuhan masih menyayangi dia dengan hanya memberikan shock therapy padanya lewat bunga tidur. Coba kalau peristiwa dalam mimpi itu benar-benar terjadi...

    Rayan bergidik ngeri. Ia harus membuang pikiran buruk itu jauh-jauh.

    Rayan lantas menyibakkan selimutnya. Hawa dingin langsung menyergap tubuhnya. Rayan mengejangkan otot-otot tubuhnya sambil menekan tombol 'ON' di HP.

    Baru beberapa detik berselang, nada sms-nya berbunyi. Rayan langsung membuka pesan singkat tersebut. Dada Rayan langsung berdegup kencang saat mengetahui itu SMS dari Diki.

    Y, gpp. Aku maafin. Aku jg minta maaf krn gk bs jd sprti so2k yg km inginkn. Aku th maksud km itu baik. Tp aku benar2 gk sanggup ninggalin Emak n adek2. Aku gk bs jauh dr mreka.

    Setelah membaca SMS dari Diki, Rayan menghela nafas lega. Ia buru-buru menghubungi nomor Diki.

    "Iya, Yan?"
    "Dik! Thanks udah maafin aku untuk kesekian kalinya..."
    "Iya..."
    "So, kita masih fine-fine aja kan?"
    "Maksudnya?"
    "Hubungan kita. Kita masih pacaran kan?"tanya Rayan pelan dan hati-hati.
    "Yepp. Kalau kamu masih menginginkannya."
    "Of course! Jangan pernah berpikir kek gitu!"seru Rayan dengan hati berbunga.
    "Yaa... Sekarang aku mau siap-siap ke hutan..."
    "Oke! Hati-hati ya. Hatiku selalu ikut di setiap langkahmu..."
    "Iya, Yan."

    Rayan tersenyum riang. Percakapan singkat tadi menjadi pembuka hari yang indah baginya. Ia berharap semoga saja kebahagiaan ini terus berlanjut sampai ia kembali memejamkan matanya di peraduan malam nanti.

    Waktu sudah menunjukkan pukul sepuluh pagi saat Rayan selesai mandi. Setelah berpakaian, ia menghirup secangkir teh manis yang sudah disiapkan Neneknya di atas meja. Seperti biasanya pula, secangkir teh itu senantiasa ditemani sepiring singkong. Entah itu singkong goreng atau rebus, yang pasti antara teh dan Singkong, sudah menjadi pasangan sejati di rumah ini, selayaknya amplop dan prangko.
    Setelah menyeruput teh beberapa teguk, Rayan berjalan keluar rumah dengan HP di tangan. Ia ingin berjemur untuk menghalau rasa dingin yang belum sepenuhnya pergi.
    Mentari pagi bersinar dengan lembut dan bersahabat. Sinarnya menjilati kulit tubuh Rayan yang kedinginan. Sensasinya sangat menyenangkan. Rasa segar dan bertenaga langsung menyelimuti tubuh Rayan.
    Tiba-tiba HP-nya berbunyi. Sebuah pesan singkat masuk.

    From : Dick

    Yan, bangun. Udh siang nh.

    Rayan tersenyum simpul. Beberapa hari belakangan ini ia memang kerap bangun di atas pukul sembilan, sebab setiap malam ia begadang. Bukan tanpa alasan jika ia baru memejamkan matanya saat waktu sudah menyentuh angka satu dini hari. Sebab di waktu-waktu sebelumnya ia asik bertelpon-ria dengan Diki.
    Ya, begitulah cara mereka tetap saling menumpahkan rindu saat ini. Mengingat sepanjang hari Diki harus bekerja, terpaksa mereka berhubungan lewat telepon setiap malam. Lucu memang, padahal rumah mereka berdua hanya berjarak beberapa meter saja. Tapi hanya ini cara terbaik yang mereka dapatkan. Rayan ataupun Diki tak mungkin saling mengunjungi setiap malam. Bisa-bisa mimpi buruk Rayan beberapa hari yang lalu menjadi kenyataan.
    Mengenai mimpi buruk itu, Rayan sudah menceritakannya pada Diki. Diki terkekeh menanggapinya. Terlebih-lebih lagi saat ia mendengar bagian saat Emaknya memaki-maki Rayan.
    "Emak nggak seperti itu, Yan. Beliau wanita paling lembut yang pernah aku kenal,"kata Diki dengan nada bangga.
    "Aku melihat beliau juga begitu. Makanya aku kaget banget pas melihat ekspresi murkanya di dalam mimpiku, hehehe..."
    "Kamu termasuk orang yang beruntung, Yan, bisa menyaksikan ekspresi marah Emak. Aku yang anaknya saja tidak bisa membayangkan bagaimana bentuk Emak saat marah,"terang Diki.
    "Hahaha...! Beliau sangat menyeramkan, Dik!"
    Diki terkekeh.
    "Tapi kemurkaan Emak tidak seberapa dibandingkan saat aku melihat kamu datang dengan bawa serombongan orang itu. Kamu sangat bengis kelihatannya saat mengarahkan telunjukmu itu...iihhh..."
    Diki terbahak.
    "Jika itu benar-benar terjadi, ahh...entahlah! Apa yang akan terjadi padaku? Mungkin tubuhku sudah berdarah-darah, salah satu anggota badanku hilang, gigiku patah, hahaha...!"
    "Itu tak akan terjadi, Yan. Setidaknya tak akan terjadi karena aku..."
    "I trust you, Beib. You'll always be my guardian angel, Dik..."
    "Ya, ya. Nggak usah dipikirin lagi mimpi buruk itu okey? Sekarang tidurlah dengan nyaman. Aku pastikan kamu akan mendapatkan mimpi yang indah..."pungkas Diki.
    "Iya, Dik. Kamu juga tidur ya. Besok kamu harus bangun pagi-pagi lagi..."
    "Iya, aku juga mau tidur ini. Mataku udah lima watt..."
    "Hehe. Oke, have nice dream and sleep yaa..."
    "Ya, you too..."
    Rayan tersenyum lebar dengan mata nyalang ke awang-awang. Perlahan ia menutup kedua matanya pelan-pelan dan mulai terbang ke alam mimpi...
    Saking nyenyaknya, Rayan tidur tanpa mimpi. Saat ia terbangun, mentari sudah menerobos masuk dari celah ventilasi. Ketika ia melihat jam di layar HP yang tergelatak di samping tangannya, waktu sudah menunjukkan pukul 09.37.
    Begitu juga yang terjadi pagi tadi. Rayan terjaga dari lelapnya, saat tubuhnya yang masih terbungkus selimut tebal sudah bermandikan cahaya pagi. Ia langsung duduk dan menggeliat. Otot-otot tubuhnya bergerak dan tulang belulangnya berkeretakan. Setelah menyingkap selimut, ia langsung menyambar handuk dan bergegas ke kamar mandi.
    Dan sekarang, ia berdiri di halaman, menikmati belaian mentari pagi yang kaya Vitamin E, sambil senyam-senyum membaca SMS dari Diki yang tidak lucu sama sekali.
    Bukan kelucuan yang membuat ia tersenyum, tapi bentuk perhatian Diki lah yang membuat bibirnya mengembang...


    Tiga hari kemudian...

    Rayan tersentak saat membaca salah satu kiriman pesan dari teman kampusnya di wall akun Facebook-nya.

    woy, Mash mau kuliah kagak lu? Kenapa gak daftar ulang?

    Daftar ulang?

    Rayan mengecek kalender di HP-nya. Rayan langsung menepuk jidatnya sambil mengumpat 'shit!'. Ia menikmati liburan di desa hingga kebablasan. Sekarang sudah tanggal 3 Januari. Itu berarti masa liburannya tinggal 1 hari lagi!!
    Rayan menarik napas panjang. Berarti besok ia harus bertolak ke kota lagi dong? Dan itu artinya ia harus berpisah dengan Diki?

    Diki...

    Rayan menyebut nama itu berkali-kali. Akhirnya...masa perpisahan itu akan tiba juga...

    Rayan memejamkan matanya. Perasaan sedih perlahan melingkupi hatinya. Kurang dari satu hari lagi ia akan terpisah jarak dan tempat dengan lelaki yang selama tiga bulanan ini telah mengisi hari-harinya dengan beragam cerita dan pengalaman.

    Rayan buru-buru menghubungi nomor Diki. Ia harus memberitahukan hal ini ke Diki. Sayang nomor yang ia tuju tidak aktif. Rayan menarik nafas berat. Ia baru ingat bahwa Diki tak mungkin membawa HP-nya ke hutan. Mana ada signal di tengah rimba. Jadi Rayan bisa tebak bahwa HP Diki ditinggalkannya di rumah dalam keadaan mati.

    Rayan memutar otaknya, sampai akhirnya ia memutuskan untuk menyambangi rumah Diki. Ia bermaksud menitip pesan pada Emak atau Adek-adek Diki yakni meminta Diki untuk datang menemuinya di rumah jika Diki sudah pulang dari hutan.

    Petang harinya, saat Rayan tengah menonton TV sambil menikmati manisan Terong pemberian tetangga sebelah, tiba-tiba terdengar suara orang mengucapkan salam dari pintu samping.
    Rayan langsung bergegas datang menghampiri. Ternyata sang tamu adalah Diki.
    "Ada apa, Yan? Kok tiba-tiba minta aku ke sini?"tanya Diki langsung.
    Sebelum menjawab pertanyaan Diki, Rayan mengajaknya duduk di kursi teras.
    "Ada apa?"desak Diki lagi.
    Rayan menarik napas panjang. Lidahnya terasa keluh untuk berbicara.
    "Ada masalah ya?"tebak Diki.
    "Aku pengen menghabiskan malam ini sama kamu,"akhirnya keluar juga ucapan dari bibir Rayan.
    "Eh?"
    "Masa liburanku habis tanggal 5, dan sekarang udah tanggal--"terang Rayan lirih.
    "Tanggal 3,"potong Diki.
    "Yep. So, kamu tahukan apa artinya?"
    Diki tak merespon.
    Rayan langsung menoleh ke Diki. Wajah lelaki itu nampak datar.
    "Kamu tahukan apa artinya?"ulang Rayan.
    "Iya,"jawab Diki. "Artinya masa liburanmu sudah habis."
    Rayan meringis.
    "Kamu tahulah perasaan aku sekarang kek gimana. Campur aduk nggak karuan..."
    "Kenapa bingung? Seharusnya kamu senang dong bisa balik ke kota dan masuk kuliah lagi..."
    "Tapi kita jadi jauh..."kata Rayan mengemukakan alasannya.
    "Kan ada HP? Kita bisa berhubungan lewat HP..."
    "Iya. Tapi tetap aja beda rasanya. Aku pengennya kita ketemu langsung kek gini. Aku bisa menatap wajah kamu...bisa ngerasain suasana hati kamu..."terang Rayan.
    Diki tertawa kecil.
    "Lantas di malam terakhir ini, kamu maunya gimana?"tanya Diki.
    "Jangan bilang malam terakhir dong, seolah-olah kita gak akan ketemu lagi..."koreksi Rayan.
    "Maksudnya malam terakhir liburan kamu di sini sekarang..."
    "Ya, i know. But aku tetap gak suka dengar kata terakhir itu. Akh...entahlah..."
    "Oke deh. Jadi besok kamu akan pulang ke kota lagi. Jadi malam ini kamu mau menghabiskannya sama aku, iya?"
    Rayan mengangguk.
    "Hmmm...baiklah. Kalo gitu aku pulang dulu untuk pamit sama Emak."
    Rayan mengangguk.
    Diki pun pulang kembali ke rumahnya.
    Setelah Diki pergi, Rayan bergegas ke kamar dan melipat selimutnya. Selimut itu ia masukkan ke dalam sebuah kantong kresek besar dan di taruhnya di kursi teras. Setelah itu ia menggenakan celana panjang dan sweater lantas bergegas ke dapur menemui Kakek dan Neneknya.
    "Kek, Nek, Rayan malam ini numpang tidur di rumah Diki,"terang Rayan.
    "Eh? Ngapo? (kenapa?)"tanya Nenek.
    "Oh, iya, Rayan belum kasih tahu ya, kalau besok Rayan mesti balik ke kota lagi. Masa liburan Rayan udah habis, Nih..."
    "Oh, iyo, iyo? Dak teraso dak..(Oh, iya, ya? Nggak kerasa ya...)"gumam Neneknya.
    Rayan tersenyum tipis.
    "Yo pegilah...(Ya sudah, pergilah...)"pungkas Kakeknya.
    Rayan mengangguk.
    "Eit, ndak bawa keripik dak, Yan? Untuk makan-makan di sano?? (Eit, mau bawa keripik nggak, Yan? Untuk di makan di sana?)"tanya Nenek.
    "Hmm...boleh, boleh..."jawab Rayan menerima tawaran Neneknya.
    Sang Nenek lantas memasukkan keripik singkong pedas ke dalam plastik putih. Setelah itu disodorkannya ke Rayan.
    "Ya udah, Rayan berangkat ya Kek, Nek..."
    Kakek dan Neneknya mengangguk.
    Di tengah jalan, Rayan berpapasan dengan Diki yang berjalan menuju rumah Nenek.
    "Rayan...? Mau ke mana?"tegur Diki.
    "Mau nyusulin kamu..."
    "Tunggu di rumah ajalah. Aku pasti ke sana..."
    "Aku nggak mau menghabiskan malam di rumah, Dik."
    "Lho, lantas di mana?"tanya Diki sambil mengernyitkan keningnya.
    "Di rumah kita..."
    "Rumah kita?"
    "Iya. Masa kamu lupa sih? Kamu sendiri yang buat itu rumah untuk aku..."
    "R-rumah Tarzan maksud kamu?"
    Rayan mengangguk.
    "Yan! Kamu gila apa?! Masa malam-malam kita ke sana?"
    "Kenapa?"Rayan balik bertanya.
    "Di sana itu luar biasa dinginnya. Banyak nyamuk pula pastinya..."
    "Aku nggak peduli. Nih, aku udah bawa selimut..."kata Rayan sambil mengangkat kresek hitam yang di tangannya.
    Diki geleng-geleng kepala.
    "Ayolah Dik. Aku pengen banget ke sana. Sudah lama kita nggak ke sana. Aku pengen menikmati masa-masa indah kita dulu..."rengek Rayan.
    Diki menghela napasnya.
    "Semua yang ada di sana selalu bertanya-tanya kemana sepasang kekasih yang dimabuk asmara itu nggak pernah lagi menampakkan batang hidungnya..."ucap Rayan menirukan perkataan Diki beberapa waktu lalu.
    "Hhffhh...angin, burung, mentari dan semuanya pada tahu bagaimana kehidupan sang kekasih hati cowok kota itu kini. Hidupnya tak lagi sama. Hidupnya sudah berubah. Hidupnya su---"
    Rayan langsung menempelkan telunjukknya di depan bibir Diki.
    "Enough. Jangan sedih-sedih lagi..."
    Diki menurunkan tangan Rayan.
    "Aku pengen kita merasakan gejolak asmara kita dahulu sepanjang malam ini..."desis Rayan.
    Diki menatap wajah Rayan lekat.
    "Pleaseeee...."
    Diki membawa Rayan ke dalam pelukan. Mereka berpelukan di bawah cahaya lampu jalanan yang temaram...

    Diki menghidupkan lampu kaleng dengan korek api kayu. Sementara Rayan mengibas-kibaskan tikar usang yang sedikit berdebu. Setelah itu ia menaruh keripik singkong di atas lantai dan membalut tubuhnya dengan selimut.
    Diki meletakkan lampu kaleng di samping keripik lalu duduk di samping Rayan sambil mengeluarkan kartu remi.
    "Remi? Buat apaan?"tanya Rayan.
    "Siapa tahu kamu mau main Remi. Lagi pula sepanjang malam di sini kita mau ngapain? Mending kita main remi..."
    Rayan memutar bola matanya.
    "Kamu bisa main kartu?"tanya Diki.
    "Bisa. Tapi itu nggak romantis sama sekali, Dik..."
    Diki terkekeh.
    "Lagian aku nggak mood ngapa-ngapain sekarang."
    Diki mengelus kepala Rayan lalu disandarkan ke bahunya.
    "Aku kan udah bilang, yang bakalan ditinggalin itu aku. Kok kamu yang sedih sih?"
    "Ya sedih lah. Aku nggak mau pergi dari sini..."
    "Rayan sayang, aku dan dusun ini nggak akan pergi kemana-mana. Kamu bisa ke sini kapan aja..."
    "Hhffhhh..."
    "Udahlah. Katanya pengen menghabiskan malam ini dengan bahagia??"
    Rayan memaksakan bibirnya tersenyum.
    "Perpisahan itu awal dari pertemuan. Kalau sekarang kita berpisah, itu artinya kita akan berjumpa lagi kan??"
    Rayan mengangguk.
    "Hhmmm...aku ada ide supaya kamu nggak sedih lagi!"kata Diki tiba-tiba.
    "Apa?"
    Diki memungut kotak Reminya dari atas lantai.
    "Playing cards? No...no!"seru Rayan.
    "Eit, tunggu dulu. Ini bukan permainan biasa. Kamu pasti suka,"kata Diki sambil mengocok kartunya.
    "Masa sih?"
    "Kita bermain kartu cangkul tapi dengan beberapa peraturan, gimana?"
    "Peraturan apaan?"tanya Rayan tak bersemangat.
    "Gini,"ucap Diki mulai menerangkan. "Permainannya tetap sama, seperti biasa. Tapi bagi yang kalah buka pakaiannya gimana??"
    "What the fu*ck!! Gue bisa hipotermia. Big NO!"tolak Rayan.
    "Hemm...serius nggak mau? Siapa yang kalah, boleh diapain aja..."terang Diki sambil mengedipkan mata.
    "Shit!"desis Rayan.
    "Seandainya aku kalah, kamu boleh minta apa aja dari aku."
    "Anything?"
    "Kecuali minta barang berharga atau suruh aku ke kota. Yang ini nggak masuk hitungan,"ralat Diki cepat.
    Rayan mencebikkan bibir tipisnya.
    "Deal?"
    "Okey! Deal!!"balas Rayan.

    Mereka berduapun duduk berhadapan. Diki kembali mengocok kartu dan membagikan masing-masing 7 kartu. Sisanya diletakkan di atas lantai sebagai cangkulan. Dari kartu cangkulan Diki mengambil 1 kartu lagi dan diletakkan ke lantai dalam keadaan terbuka.
    Sebagai kartu permulaan adalah 5 wajik.

    "Shit! Kenapa buah gue jelek semua??!"seru Rayan.
    "Hhmmm..."gumam Diki sambil menaruh 7 wajik.
    Rayan melempar kartu 2 wajik.
    Diki nyengir. Sebagai pemenang ia menurunkan 10 sekop. Rayan membalasnya dengan Jack sekop.
    Rayan kembali memasang kartu bergambar 5 sekop. Diki langsung mangut-mangut sambil mencangkul sebab kartu sekopnya sudah tak ada.
    Rayan tersenyum lebar.
    Setelah mencangkul sekitar sepuluh kartu, akhirnya Diki mendapatkan kartu sekopnya.
    Ia menurunkan kartu bergambar 2 sekop sambil menggerutu.
    Rayan terkekeh.
    Rayan lagi-lagi unggul dan menurunkan 9 hati. Kali ini ia dikalahkan oleh Diki yang melepaskan Jack Hati.
    Begitulah permainan terus berlansung sampai akhirnya Rayan yang memenangkan babak pertama.
    "Lepas...! Lepas...!"seru Rayan kegirangan.
    Diki terpaksa melepas bajunya sambil mangut-mangut.
    Babak kedua, berlangsung cepat. Kartu mereka habis secara bersamaan. Tapi tetap saja yang habis duluanlah yang dinyatakan sebagai pemenang. Kali ini permainan di menangkan oleh Diki. Rayanpun terpaksa melepas sweaternya.
    "Eh, lepas baju dong!"protes Diki.
    "Iya, itu sweaternya udah aku lepas."
    "Nggak adil dong. Tadi aku menanggalkan baju, hingga cuma pakai singlet doang. Kamu juga harus lepas baju juga!"
    "Ugh!"desis Diki sambil melepas kemejanya dengan kesal. Hawa dingin langsung menyergap tubuhnya sampai ke tulang sumsum.
    "Dingin ya?"goda Diki.
    "Ini juga nggak adil!"kata Rayan. "Kamu kan sudah kebal sama hawa dingin di sini...sementara aku kan belum terbiasa..."
    "Wah, kalo soal itu di luar tanggung jawab penyelenggara lomba deh, hehehe...!"
    Rayan mencebik.
    "Masih mau lanjut?"
    "Masih dong!"
    "Oke, lanjuutt!"seru Diki sambil membenahi kartu lagi lalu mengocoknya.
    Rayan duduk sambil memeluk lututnya.
    Diki kembali membagikan masing-masing 7 kartu untuk dirinya dan Rayan.
    "Yess!"seru Rayan sambil membuka kartunya satu persatu.
    Diki menyipitkan sebelah matanya.
    "Dapat anak antu (anak hantu) yo?"
    "sorry?"
    "Hehehe, kami di sini menyebut si Joker itu adalah anak antu..."terang Diki.
    "Ooo. Tapi kok dibilang anak hantu sih? Tampangnya kan kayak badut?"
    "Nggak tahu juga sih. Tapi menurut kami si Joker ini nyeremin. Makanya dibilang anak antu..."
    Rayan terkekeh.
    "Masuk akal juga sih. Apalagi kalo dihubungkan sama The Joker, musuh si Batman. Joker itu kan emang psikopat. Siapa aja takut sama dia. Pantes kalo disejajarkan sama hantu, hehehe..."terang Rayan.
    Diki mengangguk-angguk.
    "Oke, sekarang turunkan satu kartu,"pungkas Diki kembali ke permainan.
    Rayan memandangi kartu-kartunya sejenak. Ia memilih menurunkan 9 clover.
    "Yaahh...si kribo..."gumam Diki.
    "Kenapa? Nggak ada ya?"tanya Rayan disertai senyum lebar.
    "Siapa bilang? Nih!"jawab Diki seraya memasang Q-clover.
    Rayan langsung mangut-mangut.
    Diki kembali menurunkan kartu clover. Kali ini 4 clover.
    Rayan garuk-garuk kepala.
    "Ada nggak? Kalo nggak cangkul tuh!"
    Rayan menarik selembar kartu dengan gerakan tak rela. Kartu itu adalah joker.
    Diki terkekeh.
    "Ooohh..jadi rahasianya di si kribo ya..."
    Rayan menurunkan Jack hati tanpa berkata-kata. Diki mengikuti dengan 6 hati.
    Rayan kembali menurunkan kartu hati.
    "Balas dendam nih yee??"
    Rayan tersenyum lebar.
    Diki membuka kartu cangkulan.
    "Oh, nggak ada ya?!"tanya Rayan pura-pura terkejut.
    "Biasa aja! Nggak usah nampilin ekspresi sok simpati gitu..."
    Rayan terkikik.
    Sekian lama mencangkul, kartu yang diinginkan belum dapat juga.
    "Jiah, pada kemana sih semua hatinya?"gerutu Diki.
    "Hatinya ada di aku, Beib..."tukas Rayan lantas terkekeh.
    "Hatinya habis nih..."
    "Habis gimana? Yang keluar baru aja dua!"protes Rayan.
    "Emang hatinya cuma ada dua, Yan. Hati kamu sama hati aku,"kata Diki lalu mencubit pipi Rayan.
    Rayan mesem-mesem.
    "Aaahhh...kemana sih kartunya? Pasti pada numpuk dibawa deh!"
    "Berarti kamu nggak bener ngocoknya...hahaha...!"
    "Maklum Yan, belum ahli. Emang kamu yang ngocoknya tiap hari?"ledek Diki.
    "Eh? Aku serius lho! Kok larinya 'ke situ' sih?"
    "Siapa yang lari? Ini lagi maen..."kilah Diki.
    "Maen apaan?"kejar Rayan sambil mengedipkan mata nakal.
    "Tuh, kamu yang mesum..."
    "Mesum gimana? Aku tanya baik-baik kok..."
    "Ya main kartu lah! Udah tahu masih nanya..."
    "Yaaahhh...kirain ada permainan lain,"ucap Rayan pelan hampir tak terdengar.
    "Udah ah! Nih!"pungkas Diki sambil menurunkan 8 hati.
    "Aku lagi dong ya?"
    "Cepetan!"
    "Sabar dong...pengen buru-buru aja, hehehe...!"goda Rayan.

    Semakin lama, permainan mereka semakin seru saja. Bahkan Rayan kerap kali licik untuk mengalahkan Diki. Contohnya saja saat kartu yang diturunkan Diki tak ada padanya, maka Rayan akan terus mencangkul meskipun ia sudah mendapatkan jenis kartu yang sama, sampai ia mendapatkan angka yang melampui kartu Diki.
    Karena kecurangannya itu, Diki kerap kalah. Bahkan sekarang ia hanya mengenakan boxer saja. Baju, kaos dan celana panjangnya sudah dilepas akibat sudah kalah tiga kali. Sementara Rayan hanya kalah dua kali.
    "Hmmm...siap-siap aja bentar lagi boxer kamu itu akan melayang, hehehe..."kata Rayan.
    "Tenang aja. Kali ini aku pasti menang!"
    "Okey, wait and see..."
    Diki membagikan kartu di babak yang kesekian kalinya.
    Sepertinya Dewi Fortuna kali ini berpihak pada Rayan. Lagi-lagi ia yang memenangkan permainan.
    "Hahaha...! Buka...! Buka..!!"seru Rayan kegirangan.
    "Eh, masa kamu tega lihat aku bugil tengah malam yang dingin gini sih, Yan? Ntar aku masuk angin lho..."kata Diki sedikit memelas.
    "I don't care about it! Itu peraturannya kaaannn???"
    Diki menghela nafas.
    "C'mon honey! Buka dong..."
    Diki menarik boxernya ke paha. Rayan yang menyaksikan senyam-senyum kegirangan. Tapi senyumnya langsung memudar saat boxer itu sudah dipelorotkan di dekat lutut.
    "Argh!"desis Rayan geram sambil menunjuk celana dalam hitam yang melekat ketat di pinggang Diki.
    Diki terkekeh.
    "Sabar, Sayang. Masih ada satu penghalang lagi, hehehe..."ucap Diki.
    Rayan mangut-mangut.
    "Masih mau lanjut?"
    "Of course! Aku harus melepaskan celdam sialan itu!"desis Rayan.
    Diki kembali terkekeh.

    Pada babak kali ini, Rayan berpikir keras bagaimana bisa mengalahkan Diki dengan cepat. Ia sudah tak sabar ingin 'menghukum' pacarnya itu. Rayan lantas memanjangkan lehernya sedikit untuk mengintip kartu Diki.
    "Eits, gak boleh curang!!"tegur Diki.
    "Cuma lirik dikit doang..."
    "Tetap aja namanya curang!"
    Rayan terkekeh.
    "Jangan-jangan dari tadi kamu mainnya kotor ya??"tuding Rayan.
    "Eh kok malah nuduh sih?"
    "Habis masa dari tadi aku kalah mulu? Pasti ada apa-apanya nih..."
    "Itu artinya aku lebih jago dong mainnya..."
    "Tetap gak percaya!"
    "Ya udah. Kita buktikan sekarang...!"
    "Buktiin apa?"
    "Hhmmm...siapa yang lebih jago mainnya?"desis Rayan sambil mendekatkan bibirnya ke wajah Diki.
    "Ee...eee..."


    Rayan melepaskan kartu-kartu di tangannya dan merangkak selangkah ke depan Diki.
    "Mau ngapain, eh?"
    "Sssttt..!"desis Rayan sambil meletakkan telunjukknya ke bibir Diki.
    Diki melotot.
    "Permainan belum kelar..."
    "Aku tahu. Tapi sepertinya kita sudah tahu kan siapa yang bakal jadi pemenang, heh?"balas Rayan sambil membelai bibir penuh Diki.
    "Emmbbb...,"desis Diki sambil menjauhkan bibirnya dari tangan Rayan. "Apapun bisa terjadi, Yan dalam sebuah pertandingan. Jangan merasa menang dulu sebelum peluit panjang dibunyikan."
    "Really?"desis Rayan sambil menekan paha kanan Diki lembut dan perlahan.
    "Kehebatanku belum kukerahkan semuanya."
    "Eemm, oh ya? Show me!"tantang Rayan seraya membelai paha Diki. Gerakannya pelan menuju pangkal paha Diki yang telanjang.
    "Baiklah. Singkirkan terlebih dulu jari-jemari nakalmu itu dulu dari tubuhku!"balas Diki sambil melirik jemari kiri Diki yang sudah berada di atas underwear hitamnya.
    "Uffhh..hehehe...!"Rayan terkekeh sambil menarik lengannya dan duduk ke tempat semula.
    "Tapi cukup satu ronde saja ya kita teruskan permainan sialan ini!"kata Rayan.
    "Pokoknya sampai kamu berhasil melepaskan CD-ku lah..."
    Rayan mengatupkan rahangnya kuat-kuat.
    "Sebelum kamu berhasil, permainan ini akan terus berlanjut..."sambung Diki sambil mengocok kartu dengan santai.
    "Benarkah?"
    Diki mengangguk.
    "Permainan ini akan berakhir setelah segitiga hitam itu terlepas dari pinggangmu, heh?"
    "Pasti, pasti!"
    Rayan tiba-tiba bergerak cepat mendorong Diki ke belakang. Diki langsung terlentang di atas lantai. Tanpa basa basi Rayan langsung menindih paha Diki seraya menarik turun penutup pinggul Diki dengan paksa.
    "I'm a winner! Game over!!"seru Rayan sambil menurunkan underwear Diki sampai ke lutut.
    "Ini nggak fair! Ini melanggar peraturan!"seru Diki yang terlentang di depan Rayan.
    "Kamu bilang permainannya berakhir jika celanamu itu terlepas kan? Dan aku berhasil melepaskannya!"
    "Bukan dengan cara pelecehan kek gini dong..."
    "Itu tadi sebuah bentuk pelecehan kah? Okey, silahkan kamu balas lecehkan aku juga..."kata Rayan dengan senyum licik.
    "Itu sih maunya kamu!"
    Rayan terkekeh. Ia lantas membungkuk dan mencium dada bidang Diki. Ia meninggalkan jejak berupa kecupan di sana.
    Diki meremas rambut Rayan pelan. Kecupan demi kecupan Rayan selalu menenangkannya.
    "Permainan utama siap dimulai, eh?"tanya Rayan sambil mengerling.
    "Jika ini adalah hukuman atas kekalahanku, aku tak bisa menolakkan?"
    "Huhh...selalu berkilah!"
    Diki terkekeh.
    Rayan kembali menyusuri lekuk tubuh Diki yang terpahat indah. Mula-mula ia 'bercengkrama' dengan dua titik cokelat kemerahan di dada, lalu bergerak turun semakin ke bawah menuju area pribadi dari tubuh Diki.
    Diki mendesah pelan saat lidah Rayan membelai organ sensitifnya. Sapuan itu membuat darahnya mengalir deras.
    Rayan terus memainkan lidahnya pada organ pribadi Diki hingga kekasihnya itu melenguh dan merintih tertahan...

    Sementara malam terus merambat naik. Hanya bunyi sungai dari bawah jurang ditingkahi suara Jangkrik tanah yang terus mengkerik yang tertangkap telinga di antara kesunyian.

    Diki mengangkat dagu Rayan dan mengecup bibirnya. Setelah itu ia membaringkan sang kekasih di atas tumpukan selimut tebal dengan lembut. Perlahan ia melepas kancing dan menurunkan restleting hiking pant yang dikenakan Rayan. Kemudian ia mengecup dua titik cokelat muda di dada Rayan sekali lalu, seterusnya bergerak ke bawah menyusuri garis dada Rayan yang putih dan berakhir di antara dua belah pahanya yang ditumbuhi bulu-bulu halus.
    Diki membenamkan wajahnya di sana. Memberikan kenikmatan di bagian paling pribadi milik Rayan. Membuat sang pemilik mendesah, memecah malam hitam yang pekat dan mengudara di atas pucuk dedaunan yang bergerak pelan.
    "Siap untuk menikmati sajian utama?"tanya Diki dengan desahan lirih ke telinga Rayan.
    "Uhhmm...aku hanya ingin menikmati sajian yang lezat dan istimewa,"jawab Rayan sambil terkekeh lirih.
    "Ini spesial. Masih hangat. Cocok untuk mengusir rasa dingin malam ini..."
    "I trust you. Tolong jangan kecewakan aku,"bisik Rayan sambil mencium daun telinga Diki.
    "Tentu, tentu saja,"jawab Diki mantap sambil menelungkupkan tubuh Rayan. Ia lalu mengecup pundak Rayan lembut.

    Tubuh mereka menyatu dalam irama permainan yang lembut nan bergairah. Desah dan rintih terputus mengalun mengiringi setiap sentakan tubuh Diki pada tubuh Rayan. Gelenyar asmara yang cukup lama menepi dalam gelombang kecamuk masalah, perlahan bangkit dan melingkupi dua insan yang tengah kasmaran. Setiap desah nafas, gesekan tubuh dan kecupan serta belaian semakin membawa mereka mendekati puncak Gunung Biru yang indah. Selangkah demi selangkah, sambil berpegangan tangan dengan tubuh dibalut peluh, Rayan dan Diki saling menanti untuk mencapai titik puncak birahi mereka. Bersama-sama melepaskan kehangatan satu sama lain dalam desah panjang yang membubung ke langit malam...

    Diki mengecup puncak hidung Rayan lembut.
    Rayan tersenyum.
    "Thanks..."
    Diki tak menjawab. Ia justru mengelap keringat di leher Rayan dengan punggung tangannya.
    "Sekarang tidurlah..." kata Diki setelah melirik HP-nya. Waktu ternyata hampir menyentuh angka 12 malam.
    "Aku belum mau tidur," tolak Rayan.
    "Lantas kamu mau apalagi, eh?"tanya Diki seraya memunguti kartu yang berserakan.
    "Sini, masuk selimut bareng aku,"ajak Rayan sambil merentangkan selimutnya.
    Diki tersenyum. Ia menaruh kartu di pinggir dinding lalu berbaring di sisi Rayan.
    Rayan pun membalut tubuh telanjang mereka dengan selimut.
    "Sekarang pukul berapa?"tanya Rayan.
    "Hampir tengah malam."
    "Ahhh...begitu cepat waktu berlalu. Cuma beberapa jam lagi kita akan pisah,"desis Rayan pelan.
    "Sudah, nggak usah sedih,"hibur Diki sambil menaruh kepala Rayan ke dadanya.
    Rayan memejamkan matanya. Berusaha menikmati secara sempurna detak jantung dan kehangatan dada bidang Diki.
    "Betapa aku mencintai kamu..."desis Rayan lagi.
    "Aku tahu kok, Yan. Belum pernah ada orang yang mencintai aku sehebat kamu,"kata Diki sambil mengusap rambut Rayan.
    Rayan menghela nafas dalam-dalam. Air matanya ingin melesak keluar. Tapi sekuat tenaga ditahannya. Ia tak ingin terlihat lemah di hadapan Diki.
    "Rayan...kamu nangis?"tegur Diki.
    "Ng--ngak..kokk..."jawab Rayan serak.
    Diki menunduk. Ia terseyum melihat Rayan yang berpura-pura tenang di dekapannya.
    "Masa sih? Dadaku kok basah?"
    "Eh? Eng..." Rayan sedikit kikuk sambil mengangkat kepalanya. Benar saja tanpa ia sadari, pipinya sudah sembab, dengan air mata luruh di atas dada Diki.
    Diki menaruh kepala Rayan ke atas dadanya lagi.
    "Nangis aja kalau itu bisa bikin kamu lebih baik. Aku pilih kamu nangis sesunggukan di depan aku, dari pada kamu pura-pura kuat terus nangis sendirian di luar sana. Setidaknya di sini aku bisa memberikan dadaku untuk menampung air matamu..."
    Mendengar kata-kata Diki barusan, tangis Rayan semakin deras. Tanggul air matanya pun bobol pada akhirnya.
    "You know, saat aku merasa sakit akibat pengkhianatan Tommy dulu, aku gak meneteskan air mata sebutirpun. Padahal itu sakit banget. Jauh lebih sakit dari pada harus berpisah dengaan orang yang kita sayang. Bahkan ini nggak seberapa. Tapi kenapa aku bisa bendung air mata aku? Kenapa aku justru di situasi yang biasa saja seperti ini aku malah nangis??" ucap Rayan tak mengerti dengan perasaannya.
    "Terkadang kalo kamu merasa sangat sedih atau sangat sakit, air mata itu tak mampu jatuh lagi. Sama seperti saat aku kehilangan Bak waktu itu, aku tak bisa berkata-kata lagi, tak bisa melakukan apa-apa lagi. Jadi nikmatilah saat-saat di mana kamu masih bisa menangis. Menangis itu bagus kok. Berdasarkan pengalamanku, menangis itu bisa meningkatkan suasana hati. Tapi jangan berlebihan juga, hehehe..."
    "Ah, kamu ini selalu punya jawaban atas apapun pertanyaan aku. Kamu mestilah siswa pintar saat di bangku sekolah, ya?" tanya Rayan sambil memainkan titik cokelat di dada kiri Diki.
    "Aku siswa Kategori menengah lah. Pinter nggak, bodoh juga nggak, hehehe..."
    "Masa sih? Tapi kamu memiliki wawasan yang luas kok..."
    Diki terkekeh. Ia lantas mencomot keripik singkong yang sedari tadi dianggurin begitu saja.
    "Oh, iya, aku lupa sama keripik itu. Nenek yang suruh bawa..."
    "Enak..."kata Diki disela-sela mengunyah keripiknya.
    Rayan bermaksud tersenyum, tapi urung karena menguap.
    "Ngantuk ya? Buruan tidur gih...!"kata Diki sambil mengeratkan pelukannya.
    "Iya..."desis Rayan.
    Diki membetulkan selimut Rayan lalu mencium kening Rayan berkali-kali.
    Rayan memejamkan matanya.
    "Tidur yang nyenyak ya... Bermimpilah yang indah,"bisik Diki.
    Rayan membuka matanya.
    "Thanks. Kamu juga harus tidur...,"balas Rayan.
    "Iya, aku juga tidur..." kata Diki sambil membetulkan posisi baringnya lalu memejamkan mata.

    Suasana hening tercipta. Malam berjalan begitu tenang.

    "Dik..."panggil Rayan tiba-tiba memecah kebisuan.
    "Ehhmm...?"
    "Kamu janji bakalan mencintai aku?"
    "Aku janji,"jawab Diki mantap.
    "Meskipun kita nggak bersama?"
    "Maksudnya?"
    "Jawab aja, yes or no?"
    "Uhmmm... Yes."

    Rayan tak berucap apa-apa lagi. Ia memejamkan matanya lebih kuat dan memeluk tubuh Diki lebih erat seolah tak akan ia lepaskan lagi...

    ***
  • udeehh ah, gw baca dulu lanjutannya
Sign In or Register to comment.