It looks like you're new here. If you want to get involved, click one of these buttons!
Copyright 2021 Queer Indonesia Archive. See our Privacy Policy. Contact us at [email protected]
Dengan menggunakan situs ini berarti Anda setuju dengan Aturan Pakai.
BoyzForum.com adalah situs anti pedofilia!
Comments
@Irfandi_rahman : bukannya dari dulu udah sering ngehina orang pan? :P
hihihi
@rendifebrian : akhirnya di komen sama seleb forum. ahahaha
eeer, siluman ular? enak aja ngatain ak siluman ular dasar iblis binal
makasih yg udah mau baca + nungguin cerita yg seupil kere. buat yang penasaran sama Lian. siapa sih Lian tuh? sok misterius bgt! nah, bakal di jelasin sekarang.
oke babay duday
Kalian tidak usah bertanya siapa aku, aku hanya sepasang sepatu butut yang selalu dipakai oleh Tuanku. Apa kalian kira aku menikmatinya? Tentu saja tidak. Setiap hari aku diinjak-injak. Keringat kaki Tuanku Lian membuat badan bagian dalamku menjadi lembab dan aku tidak suka itu. Ya, aku memang suka mengeluh lalu kenapa? Kalian keberatan?
Tuanku Lian itu manusia bodoh. Dia terjebak dalam sebuah cinta yang rumit. Apa kalian pernah mendengar cerita Cinderella? Atau Romeo dan Juliet? Atau kisah percintaan rumit lainnya? Untuk mendapatkan suatu akhir cerita yang membahagiakan setidaknya dalam suatu cerita harus menghadirkan sosok pangeran, perempuan baik hati, dan sedikit sihir. Tidak untuk Tuanku Lian. Dia memiliki sosok pangeran—namanya Alvan, laki-laki kaya raya yang rumahnya berada beberapa blok dari taman yang biasa Tuanku kunjungi. Tapi Tuanku-si bodoh-Lian itu tidak memiliki sosok perempuan baik hati dan sihir. Jadi jangan harap ia akan menemukan akhir cerita yang menyenangkan.
Baiklah, aku tidak terlalu peduli dengan semua kisah cintanya. Toh, kemana pun kaki Tuanku pergi dia akan selalu membawaku. Tuanku Lian merupakan seorang musisi jalanan. Hmmm, mungkin banyak yang menyebutnya sebagai pengamen. Tapi aku tidak suka istilah itu. Tuanku berbeda dengan pengamen-pengamen yang selalu menyanyikan lagu dengan suara mereka yang sumbang. Ya, perbedaannya adalah Tuanku memiliki suara yang merdu dan membuatku menikmati setiap lirik lagu yang keluar dari bibirnya. Kedua, Lian tidak pernah meminta sepeser pun uang dari para pendengarnya. Mereka yang memberikan uang itu secara suka rela.
Tuanku Lian memang berbeda. Baik fisiknya maupun sifatnya. Dia seorang laki-laki yang mencintai laki-laki lain. Dan secara fisik Tuanku Lian juga memiliki perbedaan dengan orang-orang kebanyakan. Kulit Lian berwarna sangat putih. Putih sekali. Dalam istilah manusia biasa disebut sebagai Albino. Meskipun tidak bisa dipungkiri garis wajah Tuanku Lian menunjukan ketampanannya.
Tuanku Lian itu merupakan sosok yang unik. Karena keunikannya itu dia sering merasa malu untuk berada dalam kerumunan. Meskipun aku tahu sebenarnya Tuanku Lian memiliki kepribadian yang sangat menarik. Hingga suatu hari sosok pangeran itu datang di kehidupan Tuanku Lian. Alvan, laki-laki sempurna dengan segala hal yang ia miliki. Ketampanan dan kekayaan. Wanita mana yang tidak tergoda dengan sosoknya. Begitu juga dengan Tuanku Lian. Dia mengalami apa yang biasa disebut sebagai jatuh cinta pada pandangan pertama.
Setiap senja—jam dimana sang pangeran akan melewati taman ini, Tuanku Lian selalu mengeluarkan suara merdunya untuk menarik perhatian sang pangeran. Satu minggu pertama, semuanya tampak sia-sia. Hingga minggu terakhir di bulan pertama tahun kemarin menjadi awal perkenalan mereka.
Ah! Sampai mana tadi?
Oh, ya. Hubungan antara Alvan dan Lian berjalan semakin baik. Keduanya sering bertemu di taman, di rumah kontrakan Tuanku Lian, atau di tempat-tempat tertentu. Hingga pada akhir bulan September frekuensi mereka untuk bertemu mulai berkurang. Alvan selalu disibukan dengan semua aktivitas kantornya—begitu katanya. Sedangkan Tuanku Lian disibukan dengan kegiatan sosialnya bernyanyi di panti asuhan tempat ia dibesarkan dulu. Tentu saja tanpa imbalan. Jangan kalian kira Tuanku Lian itu berhati malaikat atau berkepribadian mulia. Aku pikir Tuanku Lian melakukannya hanya untuk menebus semua dosa-dosanya kepada Tuhan karena sudah menjadi berbeda.
29 Februari merupakan hari ulang tahun Tuanku Lian. Tepatnya hari itu adalah hari dimana Tuanku resmi menjadi penghuni panti asuhan tempat dia dibesarkan. Apa aku juga harus menjelaskan bagaimana Tuanku bisa berada di panti asuhan itu? Tidak, aku tidak tahu secara pasti alasan Tuanku berada di sana. Hei, aku tidak selalu bersama Tuanku-si bodoh-Lian kan? Apa lagi saat itu Tuanku Lian masih sangat sangat sangat kecil atau dalam bahasa manusia bisa disebut Balita... atau Batita? Ah masa bodoh.
Sebenarnya ‘29 Februari’ tidak terlalu penting bagiku. Bahkan aku sering lupa tentang keberadaan ’29 Februari’. Bayangkan saja empat tahun sekali. Aku memiliki banyak hal yang harus diingat dari pada sebuah tanggal bodoh yang hanya muncul empat tahun sekali. Kalian pikir otakku sebesar otak manusia?
Tidak untuk Tuanku Lian. aku tidak ingat pasti sejak kapan tanggal itu menjadi berharga untuknya. Tapi sejak pertemuannya dengan Alvan dan kisah romantisnya dimulai. Ia menunggu-nunggu kehadiran ’29 Februari’ yang muncul pada tahun ini. Tuanku selalu mendendangkan lagu ‘Happy Birthday’ atau lagu ‘Selamat Ulang tahun’ dan bahkan lagu ‘Tiup Lilinnya’ saat membereskan rumah kontrakan miliknya. Mungkin karena Sang Pangeran Alvan menjanjikan perayaan meriah untuk hari itu.
29 Februari, hari dimana seharusnya Tuanku Lian bahagia. Ia hanya duduk di teras rumah sambil menunggu seseorang. Sang Pangerannya. Wajahnya terlihat cemas dan sedih—Ah, aku tidak pandai menjelaskan ekspresi wajah seseorang. Aku terbiasa mencium bau kaki manusia, bukan mengamati ekspresi pada wajah. Hingga seorang perempuan dengan aroma parfum menyengat dan wajah menyebalkan—mengingatkan aku dengan Ibu Tiri dalam cerita Cinderella—menemui Tuanku Lian. Ia mengaku sebagai sekertaris Alvan dan memberikan secarik kertas kepada Lian. aku tidak tahu kertas apa itu. Tapi setelah Tuanku Lian menerima kertas itu ia segera bergegas pergi.
Tadinya aku pikir Tuanku Lian bergegas menuju taman tempat patung tua itu berada. Taman tempat biasa mereka bertemu. Tapi dia justru pergi ke salah satu kawasan di bagian kota yang sangat padat. Kawasan ini sangat kontras dengan penampilan Tuanku Lian. Gedung-gedung tinggi seolah berusaha untuk menenggelamkan Tuanku Lian. Tuanku Lian bertubuh kurus dan lebih pendek dari orang-orang kebanyakan. Warna kulitnya yang mencolok menarik perhatian banyak orang. Pakaian yang ia kenakan adalah pakaian terbaiknya—rapih memang tapi tidak sebanding dengan pakaian-pakaian yang digunakan oleh orang-orang di kawasan ini kebanyakan.
Kalau aku mempunyai kuasa untuk menggerakan kaki-kaki lembab di dalam tubuhku ini, aku akan pergi menjauh dari kawasan ini. Tapi Tuanku Lian cukup bodoh untuk terus berjalan menuju salah satu restoran yang cukup mewah. Restoran yang menarik hanya saja menurutku Tuanku Lian tidak pantas berada di dalam. Benar saja. Buktinya bukan hanya aku yang beranggapan seperti itu. Seorang laki-laki berwajah kaku mengenakan seragam menegurnya. Lebih tepatnya mengusirnya. Tuanku Lian berusaha meyakinkan pihak restoran dengan mengatakan seseorang bernama Alvan mengundangnya ke restoran tersebut.
Usahanya tidak berjalan dengan baik. Dengan arogannya pihak restoran mengatakan, bahwa Alvan memang memesan satu paket dinner romantis. “Tuan Alvan memang telah melakukan reservasi, tapi saya tidak yakin, Tuan Alvan akan melakukan makan malam romantis dengan anda.” Kira-kira seperti itulah kalimat laki-laki berwajah kaku yang menyebalkan. “Lagipula seorang wanita cantik sedang bersamanya saat itu, wanita sempurna untuk pasangan Tuan Alvan menikmati makan malam romantis dengan menu pilihan di Restoran kami.” Laki-laki menyebalkan itu terlihat sengaja menambahkan kalimat itu. Sehingga membuat badan Tuanku Lian sedikit tersentak.
Ck! Aku benci laki-laki berwajah kaku itu!
Apa aku sudah pernah mengatakan pada kalian betapa bodoh dan tololnya Tuanku Lian?
Kalau aku menjadi Tuanku Lian, aku akan menghajar pegawai restoran itu dan mengajarinya sopan santun. Berbeda dengan Tuanku Lian yang hanya diam pasrah dan bersembunyi di sisi lain dari restoran itu sambil terus menunggu. Siapa lagi kalo bukan Alvan. Aku tidak paham dengan jalan pikiran Tuanku Lian. Apa pemikiranku berbeda dengan pemikiran manusia? Entahlah, masa bodoh! Yang jelas apa yang dilakukan oleh Tuanku Lian saat ini tolol sekali. Menunggu sesuatu yang tidak pasti.
Menyebalkan.
Aku benar-benar risih dengan semua tatapan Alvan kepadaku.
Kenapa dia menatapku dengan pandangan mata meneliti seperti itu? Apa salahku? Apa ia tahu selama ini aku sering mengucapkan sumpah serapah untuknya? Apa ia tahu aku selalu mengamatinya?
Sejak hari disaat Lian ‘bercakap-cakap’ denganku—aku tidak yakin dengan penggunaan kata bercakap-cakap, tapi anggap saja begitu. Seolah-olah Tuhan menugaskan semua malaikatnya untuk menghindarkan Lian dari Alvan dan begitu pula sebaliknya. Jadi, ketika hari ini aku bertemu Lian besok aku akan bertemu dengan Alvan dan lusa aku akan kembali bertemu dengan Lian. Tidak ada satu momen yang dapat menemukan mereka berdua di waktu yang bersamaan. Dan hari ini Alvan sedang duduk diam di bangku taman. Sendirian. Mengamatiku dengan pandangan tajam. Sampai-sampai membuatku risih.
Aku ini patung. Aku lebih suka memperhatikan dari pada diperhatikan!
Belum lagi kejadian tadi pagi yang sangat menyebalkan. Ketika segerombolan anak adam sedang melewatiku. Setiap pagi segala macam anak adam dari yang anak-anak, remaja, dewasa, dan orang tua berkumpul di taman ini. Sekedar berolah raga atau pun hanya menikmati udara pagi di taman. Apalagi di hari libur seperti saat ini jumlah mereka akan bertambah dua kali lipat, seolah-olah mereka membelah diri seperti bakteri.
Hingga sekumpulan anak remaja yang berisik muncul di depanku. Salah satu dari mereka ada yang memiliki wajah licik seperti tokoh penjahat dalam buku komik Batman—kalau aku tidak salah namanya Joker.
“Eh, liat deh patung ini, kayak Adul ya?” seru seseorang dari mereka yang berkumis tipis. Kumisnya terlihat seperti kumis penjual Kebab yang selalu mengelilingi taman ini di waktu-waktu tertentu. Adul? Siapa Adul? Aku harap Adul adalah seseorang yang mempesona.
“Hahahaha, Adul temennya Komeng itu?” si wajah Joker menertawaiku. Dan sekarang aku yakin seseorang yang bernama Adul ini bukanlah sosok yang mempesona. Huh!
“Bener sih mirip,” kali ini sosok yang paling pendek dari mereka berkomentar sambil tertawa. Meskipun tubuhnya pendek tapi setiap inchi dari tubuhnya terdapat otot-otot yang tegas. Menggoda.
“Udah ah, buruan deh. Keburu ditungguin yang lainnya nih. Kita udah telat setengah jam!” seorang berambut ikal dengan aroma tubuh menyenangkan menarik pergelangan tangan si Kumis. Dan si Kumis hanya tersenyum singkat menatap si Ikal. Hei, pandangan itu seperti.... ah! Mungkin hanya perasaanku saja. Hanya karena aku mengetahui kisah cinta Lian dan Alvan bukan berarti semua anak adam memiliki kisah cinta yang sama dengan mereka berdua.
Aaaah! Aku masih penasaran dengan sosok Adul! Sekumpulan remaja itu menyebalkan karena meninggalkanku dengan rasa penasaran. Sekarang tidak hanya Lian dan Alvan saja yang ada di dalam otakku tetapi juga sosok Adul terbayang-bayang di kepalaku. Seperti apa sosoknya?
Menyebalkan.
Aku benar-benar risih dengan semua tatapan Alvan kepadaku.
Kenapa dia menatapku dengan pandangan mata meneliti seperti itu? Apa salahku? Apa ia tahu selama ini aku sering mengucapkan sumpah serapah untuknya? Apa ia tahu aku selalu mengamatinya?
Sejak hari disaat Lian ‘bercakap-cakap’ denganku—aku tidak yakin dengan penggunaan kata bercakap-cakap, tapi anggap saja begitu. Seolah-olah Tuhan menugaskan semua malaikatnya untuk menghindarkan Lian dari Alvan dan begitu pula sebaliknya. Jadi, ketika hari ini aku bertemu Lian besok aku akan bertemu dengan Alvan dan lusa aku akan kembali bertemu dengan Lian. Tidak ada satu momen yang dapat menemukan mereka berdua di waktu yang bersamaan. Dan hari ini Alvan sedang duduk diam di bangku taman. Sendirian. Mengamatiku dengan pandangan tajam. Sampai-sampai membuatku risih.
Aku ini patung. Aku lebih suka memperhatikan dari pada diperhatikan!
Belum lagi kejadian tadi pagi yang sangat menyebalkan. Ketika segerombolan anak adam sedang melewatiku. Setiap pagi segala macam anak adam dari yang anak-anak, remaja, dewasa, dan orang tua berkumpul di taman ini. Sekedar berolah raga atau pun hanya menikmati udara pagi di taman. Apalagi di hari libur seperti saat ini jumlah mereka akan bertambah dua kali lipat, seolah-olah mereka membelah diri seperti bakteri.
Hingga sekumpulan anak remaja yang berisik muncul di depanku. Salah satu dari mereka ada yang memiliki wajah licik seperti tokoh penjahat dalam buku komik Batman—kalau aku tidak salah namanya Joker.
“Eh, liat deh patung ini, kayak Adul ya?” seru seseorang dari mereka yang berkumis tipis. Kumisnya terlihat seperti kumis penjual Kebab yang selalu mengelilingi taman ini di waktu-waktu tertentu. Adul? Siapa Adul? Aku harap Adul adalah seseorang yang mempesona.
“Hahahaha, Adul temennya Komeng itu?” si wajah Joker menertawaiku. Dan sekarang aku yakin seseorang yang bernama Adul ini bukanlah sosok yang mempesona. Huh!
“Bener sih mirip,” kali ini sosok yang paling pendek dari mereka berkomentar sambil tertawa. Meskipun tubuhnya pendek tapi setiap inchi dari tubuhnya terdapat otot-otot yang tegas. Menggoda.
“Udah ah, buruan deh. Keburu ditungguin yang lainnya nih. Kita udah telat setengah jam!” seorang berambut ikal dengan aroma tubuh menyenangkan menarik pergelangan tangan si Kumis. Dan si Kumis hanya tersenyum singkat menatap si Ikal. Hei, pandangan itu seperti.... ah! Mungkin hanya perasaanku saja. Hanya karena aku mengetahui kisah cinta Lian dan Alvan bukan berarti semua anak adam memiliki kisah cinta yang sama dengan mereka berdua.
Aaaah! Aku masih penasaran dengan sosok Adul! Sekumpulan remaja itu menyebalkan karena meninggalkanku dengan rasa penasaran. Sekarang tidak hanya Lian dan Alvan saja yang ada di dalam otakku tetapi juga sosok Adul terbayang-bayang di kepalaku. Seperti apa sosoknya?
Dua hari belakangan, Lian tidak pernah menampakan diri di taman ini. Ke mana saja anak adam itu? Aku merindukannya. Apalagi tatapan matanya yang unik itu.
Seolah Tuhan tidak ingin membuatku kesepian. Keberadaan Lian digantikan oleh Alvan. Selama Lian menghilang, Alvan selalu hadir di taman ini bersama satu kotak berlapis kulit berwarna coklat. Kotak yang sama yang aku lihat di malam ulang tahun Lian.
Dari sudut dimana aku berdiri, aku bisa melihat dengan jelas Alvan menatap kotak itu dengan tatapan sendu. Seolah merindukan sesuatu.
Segala hal yang menarik dan menyenangkan itu dapat menyedot waktu dan membuat waktu berjalan dengan cepat, sedangkan segala hal yang membosankan dan menyebalkan dapat menyebabkan waktu berjalan terasa lamban. Sepert saat ini, ketika aku jenuh dan sebal melihat wajah Alvan atau pun Lian. keduanya selalu memasang wajah muram. Tidak ada lagi senyum cerah seperti dulu.
Bisa-bisa aku bisa mati bosan menunggu kelanjutan cerita mereka!
Mbaaak iri banget sama kamu, nice !! Good, awesome !!! Mulusto mirip selangkangan jeketi porti-e hahaha... Love it-love it. Akhirnya para pembaca tau patungnya mirip adul, bukan kata lian yang katanya patung anak kecil -euwk- Bagus suka banget sama Irfandi yang ngehina patung itu hahaha, sama rama yang nimpalin tapi nggak sama doni yang sok cul abis!!! Haaha aturan Elul yang harusnya ngeledekin, terus di timpalin Andri yang sok keren, terus Agus yang ketawanya lepas, biarin si Dwi nyengir, biar si huda lirik-lirik cewek ditaman minta nomer, ketemuan, jadian, 2 minggu itu paling lama terus putus! Hahahaha saya ngomong apa ini hayoh?
coba tanya dulu sama si Adul... eh si Patung
lah kan Lian bilang kayak anak kecil.. it means patungnya pendek. nah Adul kan *maaf* pendek jg
Iri? gk salah? situ kan artis forum banyak fansnya. ahay
@tama_putra : ahaha kentang ya? tambahin susu, lada, garem, sama keju ntar jadi mashed potato *duh, lapeeeeer*
iya tuh penulisnya males sih. kalo update pelit bgt cuma seuprit. sapa sih yang nulis? *nyari kaca*
mksh dah baca yak
Cieh si adul nanti demen sama saya sama si keriting lagi males banget! Awas kau adul lirik-lirik si keriting gue rubuhin malem-malem *jahat mode on*