Hi BFers... Ini cerbung ketiga yang ku buat. Rencananya mau release tiga cerbung sekaligus dengan tema dan menggunakan sudut pandang yang berbeda. Masih rencana loh... Maksudnya supaya aku bisa milih nulis cerbung mana yang sesuai dengan suasana hatiku. Sekaligus mau menyiksa reader yang sebel nunggu lanjutannya. #plak! Kepedean.
Cerbung ini menggunakan sudut pandang tiga tokoh dan sudut pandang orang ketiga. Temanya biasa dan mungkin banyak kemiripan dengan cerita-cerita lain. Harap dimaklumi. Diharapkan saran dan kritik yang membangun, bukan menghina kemampuan penulis yang pas-pasan. Selamat membaca!
“Ini...” Seorang bocah lelaki mengulurkan tangan kanannya yang memegang lollipop. Dia tersenyum manis menunjukkan beberapa giginya yang sudah ompong. Tangan kirinya memegang lollipop yang terlihat sudah basah oleh ludahnya sendiri.
Anak lelaki yang berada di hadapannya segera menghentikan tangisannya. Dia menoleh, memperlihatkan mata dan pipinya yang basah. Tatapannya sangat tajam namun terlihat jelas pancaran kepedihan dari hatinya. Dia membuang muka karena merasa malu. Perlahan-lahan dia menghusap air mata yang membasahi pipinya.
“Ayo am..bil.” Suaranya tak terlalu jelas karena ada lollipop di mulutnya yang mungil. Namun anak lelaki yang lebih tua tiga tahun itu tak mengacuhkannya. Dia sibuk dengan pikirannya sendiri. Pandangannya tertuju ke arah sungai kecil dan hutan yang ada di seberang.
“Kak...”
“Berisik!” Dia membentak hingga mengejutkan bocah yang ada di sampingnya.
Bocah kecil yang usianya masih empat setengah tahun itu langsung terlihat murung. “Ya udah kalo gak mau.” Katanya agak manyun. “Didi cuma mau nemenin kakak. Bunda bilang... Didi halus nemenin kakak bial gak sedih lagi.” Didi tertunduk namun sesekali mencuri pandang ke arah anak lelaki yang baru pertama kali dilihatnya.
Anak lelaki itu masih saja diam, tak bergeming sedikit pun. Hingga Didi akhirnya beranjak meninggalkannya yang masih termenung di bawah pohon rindang itu. Sesekali Didi menoleh sambil terus berjalan menuju bangunan tua yang merupakan panti asuhan tempat tinggalnya.
Didi tak mengetahui ketika anak lelaki itu memperhatikan dirinya yang berjalan semakin jauh. Terbesit penyesalan telah membentak Didi yang berbaik hati menawarkan lollipop. Namun perasaan itu segera hilang. Dia kembali hanyut dalam kesedihan dan meratapi nasibnya.
***
ALEXANDER
Ku rentangkan tanganku, berusaha mengurangi rasa pegal di tubuh ini. “Akhirnya.” Aku merasakan beban di benakku telah banyak berkurang setelah menyelesaikan pekerjaan. Ku lirik arlogi. Waktu telah menunjukkan pukul sembilan malam. Pantas saja perut ini sudah sangat keroncongan.
Segera ku rapikan berkas-berkas penting di mejaku. Saatnya untuk pulang dan menikmati makan malam. Ku rasakan getaran hp di sakuku saat hendak meninggalkan ruangan.
“Iya Tam...” Aku menerima panggilannya.
“Masih lama? Makanannya keburu dingin.” Nada bicara Tama terdengar tak sabaran.
“Nggak. Ni lagi mau jalan.”
“Oke. Cepetan ya...” Tama langsung memutuskan panggilannya.
Pendek. Seperti itulah percakapanku dengan Tama saat ditelpon. Singkat, jelas dan padat. Jauh dari kata romantis seperti percakapan pasangan kekasih pada umumnya.
Hubunganku dengan Tama semakin lama terasa semakin hambar. Semua ini tak luput dari sikapku yang dingin padanya dan jauh lebih mementingkan pekerjaan. Akhir-akhir ini sikap Tama tak jauh beda denganku namun masih ada sedikit perhatian.
Kembali ku langkahkan kaki menuju lift. Kantor ini yang biasanya ramai di siang hari, kini hanya menyisakan diriku seorang diri selain satpam yang masih bertugas.
Beginilah rutinitasku selama ini. Sangat menjemukan. Tak ada momen-momen special yang ku lalui. Semuanya sungguh sangat membosankan. Dari apartemen ke kantor lalu kembali lagi ke apartemen. Hanya sekali-kali hang out bareng Tama dan teman-teman kami.
Dinner kali ini terasa kurang hidup. Suasananya terkesan sangat canggung. Kami lebih banyak diam seakan-akan kami hanya sendiri, tidak ada orang di samping kami.
“Kamu ngerasa gak kalo hubungan kita makin gak jelas arahnya?” Tanya Tama setelah dia menghabiskan minuman di gelas. Dia menatapku dengan tatapan yang tak dapat ku mengerti.
“Mungkin hubungan kita berada pada titik jenuh. Komunikasi kita kurang intens karena kesibukan kita masing-masing. Kamu sibuk sendiri. Aku juga sibuk sendiri. Kita tinggal seatap tapi jarang menghabiskan waktu bersama. Jarang banget ada momen seperti ini. Belum tentu kita bisa dinner bareng satu kali dalam seminggu.” Kataku lalu meneguk minuman.
“Itu kamu tau.” Dia membenarkan ucapanku. “Aku kadang mikir kenapa hubungan kita gak bisa seromantis pasangan-pasangan lain. Minimal saat kita sedang berduaan seperti sekarang. Aku ngerasa hubungan kita semakin hari semakin menjauh. Semakin dingin, gak sehangat dulu.”
“Tam... Dari dulu kamu udah tau gimana sifat aku. Aku bukan orang yang romantis. Jauh banget malah. Aku orang yang...”
“Cuek, congkak, angkuh, dingin, egois.” Potong Tama. “Aku tau, Lex. Tapi sifat kamu itu makin parah. Apa pernah kamu hubungin aku duluan? Gak pernah kan?” Desakan Tama tak dapat ku bantah. “Aku ngerasa kamu gak pernah nganggap aku bagian dari hidup kamu.” Ucapnya dengan nada meninggi.
Aku hanya bisa diam. Tak ingin beradu argument dengannya. Jangan sampai dinner kami kali ini berakhir dengan pertengkaran hebat.
“Aku capek.” Ucapnya lirih. “Aku sengaja menyibukkan diri dengan proyek-proyek yang aku handle supaya gak terus-terusan kepikiran masalah kita. Aku juga mau ngetest gimana reaksi kamu kalo aku semakin sering ke luar kota. Hasilnya...” Tama tertegun sebentar. “Nihil. Kamu gak pernah protes. Kamu semakin asik dengan duniamu sendiri.”
“Please Tam... Jangan terlalu mendramatisir keadaan. Kita sama-sama sudah dewasa, bukan lagi ABG yang ekspresif ngungkapin perasaannya.”
“Lex! Aku gak pernah minta kamu ngasi perhatian yang berlebihan. Aku bisa maklum dengan kesibukan kamu. Tapi apa gak bisa sekali-kali kamu berinisiatif nanya keberadaan aku? Sama siapa? Kapan pulang? Nggak pernah Lex... Bahkan aku sering ngerasa kamu terganggu waktu aku telpon.”
“Pikiran kamu terlalu jauh. Terlalu kekanak-kanakan.” Kataku ketus. Aku terpancing provokasi Tama.
“Hah...” Tama tertawa ringan. “Kekanak-kanakan?” Gumamnya. “Mungkin kamu benar. Aku memang kekanak-kanakan.” Tatapannya sayu.
“Tam... Jangan buat hubungan kita semakin buruk! Aku gak mau masalah pribadi kita bisa mempengaruhi konsentrasi aku. Lagi banyak masalah kantor yang harus aku selesaikan.”
“Selalu masalah kantor yang kamu pikirin.” Ucapnya pelan.
“Sebaiknya kita akhiri pembicaraan ini.” Aku bangkit dari dudukku.
“Jangan lari dari masalah!”
“Aku ngantuk.” Aku menoleh ke arah Tama dan kembali hendak menuju kamar.
“Pengecut!”
“Mau lo apa?” Aku membentaknya namun dia tak bergeming. Tatapannya sangat tajam. “Gua dah berusaha nahan emosi tapi lo...” Aku menunjuknya dengan jariku. Aku berusaha keras menahan emosiku yang hampir meledak.
“Kita putus.” Ucapnya mantap.
Aku tertegun. Aku tak pernah menduga Tama mampu mengatakannya. Selama ini dia selalu bersabar dan menolak saat aku meminta untuk mengakhiri hubungan ini. Mungkin kali ini dia hanya acting atau sekedar menggertak. “Oke kalo itu mau kamu.” Jawabku tegas. Aku juga sudah bosan dengan hubungan ini.
Tampak jelas ekspresi kecewa di wajahnya. Salah besar jika dia berharap aku akan memohon agar dia tak memutuskanku.
Aku yakin Tama akan segera berubah pikiran. Aku sangat yakin dia akan meminta kembali padaku dalam satu atau dua hari ke depan. Kita lihat saja nanti siapa yang akan mengemis cinta padaku. Dia pasti menyesal meminta putus dariku karena aku tak akan pernah menerimanya kembali.
“Ternyata aku memang gak berarti ya...” Ucapannya dibuat selirih mungkin. Sepertinya dia mengira diriku akan iba padanya. Tak mungkin. Aku sangat tidak suka melihat orang yang mendramatisir keadaan. Bukankah dia yang meminta putus? Jadi dia harus siap menerima konsekuensinya.
Ku lihat Tama tersenyum namun terlihat jelas matanya yang agak berkaca-kaca. “Mungkin perpisahan adalah jalan terbaik untuk kita. Aku harap kita masih bisa berteman seperti dulu. Maaf kalau aku sudah banyak menyusahkan kamu.”
Sunyi. Suasananya terasa sangat senyap selama beberapa saat. “Boleh kan barang-barangku tetap di sini sampai besok? Aku tau kamu pasti gak tega nyuruh aku bawa-bawa barangku malam ini juga.” Dia tertawa kecil.
“No problem.” Jawabku. “Kamu masih boleh tinggal di sini kalo kamu mau. Toh masih ada satu kamar kosong.”
“Makasih tawarannya. Tapi aku gak mungkin terus tinggal di sini. Aku harus bisa ngelupain kamu. Harus bisa move on.” Terlihat tetesan air mata di pipi Tama namun dia segera mengusapnya.
Sepertinya aku salah. Tama terlihat sangat mantap untuk berpisah denganku. Mungkin dia sudah jenuh dengan hubungan ini. Mungkin dia sudah memiliki penggantiku. Atau mungkin ini cuma taktiknya saja. Aghh... Terlalu banyak kemungkinan.
“Boleh aku meluk kamu untuk terakhir kali?” Ucapan Tama membuatku berhenti memikirkan kemungkinan-kemungkinan yang ada di benakku.
Aku tak langsung menjawab. Ku perhatikan mimik wajahnya yang nampak dibuat setenang mungkin. Nampak jelas senyuman yang dipaksakan. “Tentu.” Aku mendekatinya dan segera merengkuh tubuhnya ke dalam pelukanku.
Bagaimanapun juga Tama adalah orang yang pernah berarti dalam hidupku. Selama ini aku tak tau pasti apa diriku pernah mencintainya? Atau dia hanya ku jadikan objek pelampiasan nafsu. Aku memang egois, tak pernah memikirkan perasaannya. Aku telah mengecewakan orang yang benar-benar sayang padaku.
Pelukannya sangat erat seakan tak ingin diriku lepas darinya. Pasti berat baginya mengambil keputusan ini. “Thanks...” Ucapnya sambil melepaskan pelukan kami. “Semua barang-barangku diambil besok. Kunci akan ku titipkan di security.”
Keadaan ini seperti sudah direncanakan oleh Tama. Aku masih belum mengerti rencana Tama yang sebenarnya.
“Selamat tinggal Lex.” Tama berjalan menjauh dariku.
“Tam...” Langkahnya terhenti karena panggilanku. “Aku harap kamu bisa mendapatkan orang yang lebih baik dariku. Maaf karena aku gak bisa jadi pacar yang baik.”
Tama menoleh dan tersenyum padaku. “Thanks...” Dia pun berlalu meninggalkanku.
Ku rebahkan tubuh ini di ranjang yang menjadi saksi cinta kasih diriku dengan Tama. Selama hampir dua tahun kami berbagi ranjang sejak kami memutuskan untuk tinggal bersama.
Aku memang bodoh telah menyia-nyiakan Tama yang sangat pengertian dan tak banyak menuntut. Bahkan tak ada sedikit pun penyesalan dengan perpisahan yang baru terjadi. Mungkin benar yang orang-orang bilang bahwa hatiku terbuat dari es.
Aku hanya mementingkan diri sendiri tanpa mempedulikan perasaannya. Aku tak pernah berusaha bersikap romantis. Hal itu sangat berat untuk ku lakukan. Aku memang terlalu egois karena selalu ingin segala sesuatu berjalan dengan keinginanku. Tak pernah peka dengan perasaan orang yang ada di sekitarku.
Apa mungkin aku bisa menemukan orang yang tepat untukku? Orang yang bisa menggetarkan hatiku. Orang yang bisa membuatku selalu memikirkannya. Orang yang membuat jantungku berdetak lebih kencang saat berada di dekatnya. Orang yang bisa membuatku selalu tersenyum. Orang yang bisa menerimaku apa adanya. Bukan orang yang tertarik karena tubuh dan wajahku. Bukan pula orang yang hanya mengincar kekayaan keluargaku.
Apa mungkin? Pertanyaan itu yang selalu muncul dalam pikiranku. Orang sebaik Tama saja akhirnya menyerah juga. Mana mungkin ada orang yang sanggup bertahan dengan sifat-sifat jelekku.
***
Bersambung
Dikit aja ya... Kapan-kapan dilanjut lagi. Hehe
Perkenalannya terlalu singkat (mungkin terkesan gak ada). Memang sengaja ku buat kayak gitu. Nanti lama-lama jelas juga. Berikutnya pake POV Tama dan masih ada tokoh penting yang akan muncul.
Kalo teman-teman mau dimention, bilang ya... Kalo cuma komen doang, gak akan ku mention. Aku dah kapok sembarangan mention karena takut ada yang marah.
Comments
Anyway, like it... Masih awal, boleh request?? Buat alex menyesal krn udah nyakitin tama. Buat alex fall in love sama someone, n org itu cuma maenin perasaan alex.. Kyknya seru deh.. Heheheh...
#banyak maunya aku ya??
moga aja untuk selanjutx lbh seru!
Semangat !
oh iya, anak kecil itu masih ompong, bukan sudah ompong.. Mohon direvisi lagi ya.
Nnt aja dech ku buat cerita lain sesuai keinginan kamu. Inisial tokohnya J & Y. Mereka tinggal di salah satu kota di kalimantan. wkwkwkkk
Thanks dah mampir
@Dimz Makasih ya dah mau komen. Mudah2an makin bgs & gak membosankan. Kl update pasti ku mention.
Itu kan obsesiku jd org cuek, sombong n keras kepala. Kl skrg gak bs sombong krn gak da yg bs dibanggain. hihi
Emang gak bs pake kata "sudah ompong" tuk anak umur 4,5 thn? Kan giginya sudah pernah tumbuh lalu copot. Aku jd bingung ni... Mohon bantuannya.
mantion ya,,. )
Ahk awalnya saja sudah galau begini, pengenlah melihat daniel bikin cerita yang lucu2
Hahaa...
Mau dong di mention niel hehehe
ceritanya psti bkin gigit lidah wkwkwkwk
Jgn buat cerita pake inisial itu ya. Awas aja klw kejadian..
Itukan insial ku n my bf... Huh!!
Mana pulaunya jg sm...
#plak....