It looks like you're new here. If you want to get involved, click one of these buttons!
Copyright 2021 Queer Indonesia Archive. See our Privacy Policy. Contact us at [email protected]
Dengan menggunakan situs ini berarti Anda setuju dengan Aturan Pakai.
BoyzForum.com adalah situs anti pedofilia!
Comments
sipoke lah terus semangat, semangat terus...
Didi unyu ya! kayak shampoo favorite gw waktu kecil )
lanjuuutt
dilanjut ya bang,,,
suka sama ceritanya...
lanjut mas bro!!
Ceritanya menarik lho.. {}
Tetap semangat @danielsastrawidjaya.
SKSD mas Tama dapeet
Continue Your Story Monsieur
@yubdi Lexy cwok lah. Kan di awal dah ada penjelasan singkatnya. Tunggu lanjutannya.
Aku suka aja narik apa pun yg bs ditarik @pectoralismajor :P
@mr_Kim Kl beda alam malah seru, apalagi kl kamu jin. haha
Kamu hidup di air? Kirain ampibi. huaaa
Aku gak mau kl kencannya dlm air. Entar aku mati karenamu.
@Tsu_no_YanYan Kan asik loh cara ngomongnya bg togar. Jd membangkitkan gairah. #eh
@greenbubles Makasih dah mau mampir. Smoga makin suka ya...
@672048 Pasti dimention lah. Gak da lo gak rame. Kan lumayan di sini ada yg bening.
@adzhar Konfliknya msh jauh loh. Awas nunggunya sampe karatan. wkwkkk
@ziearvando Akhirnya nongol jg. Mercy
Smoga betah yakkk
@672048
@aa_akew @Abyan_AlAbqari @AdhetPitt @Adra_84 @adzhar @aglan @AgungPku @Aland_Herland @angelofgay @Ardhy_4left
@Beepe @BinyoIgnatius
@caetsith @chandisch
@danar23 @danze @darkrealm @dheeotherside @Dimz @DItyadrew2 @DM_0607 @Duna
@FeRry_siX @Fruitacinno
@greenbubles
@Hanz_cullenz @hwankyung69
@iboobb7
@Jhoshan26 @jokerz @joenior68
@Monic @mr_Kim
@Ozy_Permana
@pectoralismajor @poelunx
@rarasipau @Ren_S1211 @rendra123 @rezadrians
@sasadara @Shruikan @Sicnus @surya_90
@Tsu_no_YanYan
@ularuskasurius
@Venussalacca
@xanxan
@yubdi
@Zhar12 @zhedix @ziearvando
Met membaca...
Part IV
Semilir angin sore terasa sangat menyejukkan. Langit mendung selama hampir seharian. Matahari nampak malu-malu menunjukkan sinarnya ke bumi.
Lexy duduk bersandar di bawah pohon besar nan rindang. Dia sering menghabiskan waktu di sana sejak hari pertama kedatangannya di panti asuhan. Dia lebih senang menyendiri, asik dengan dunianya sendiri. Sifatnya yang tertutup dan kurang bersahabat mengakibatkan tak ada yang mau mengajaknya bermain.
Sesekali Lexy memperhatikan teman-teman sesama penghuni panti yang sedang bermain. Ada yang bermain lompat tali, sepak bola dan bersepeda. Sebenarnya dia ingin ikut bermain bersama mereka, tetapi Lexy bukanlah anak mudah bersosialisasi. Dia merasa tak nyaman berada di tengah orang-orang yang baru dikenalnya.
Pandangan Lexy lebih sering tertuju pada Didi yang belum lancar mengayuh sepeda. Didi dibantu oleh Wita yang memegangi bagian belakang sepeda. Sepeda yang digunakan Didi agak besar untuk anak seusianya. Dia mengayuh sepeda sambil berdiri karena kakinya belum cukup panjang.
Sejak kemarin malam Didi tak pernah mendekati Lexy. Didi takut kembali akan diperlakukan buruk. Namun Didi masih sering memperhatikan Lexy yang betah menyendiri. Didi heran mengapa Lexy tak mau bermain dengannya dan teman-teman yang lain.
“Ayo dek. Dayung yang kencang.” Wita menyemangati Didi.
Wita dan Didi memang sangat akrab. Wita yang telah berumur 12 tahun, sering menjaga Didi sejak kecil. Mereka sudah seperti kakak beradik.
Didi sangat bersemangat mengayuh sepeda. Nampak keringat membasahi keningnya walaupun sore itu tidak bersinar terang. Senyuman tak kunjung hilang dari bibirnya.
Didi berhenti mengayuh sepeda. “Capek kak... Didi haus.” Dia menjatuhkan sepedanya dan segera berlari. Dia ingin segera sampai di ruang makan dan meminum segelas air.
“Awas jatuh dek.” Wita berteriak.
Langkah Didi terhenti saat melihat bunda sedang berbincang dengan sepasang suami istri. Raut wajah Didi langsung berubah saat menyadari kemungkinan salah satu temannya akan diadopsi. Namun Didi kembali berjalan karena ingin segera menghilangkan dahaga.
Didi berjalan pelan keluar dari panti. Dia berharap suami istri itu tidak mengadopsi salah satu teman dekatnya. Kemudian dia memperhatikan satu per satu wajah temannya yang sedang asik bermain. Mencoba merekam setiap wajah di dalam memorinya.
Lexy yang nampak murung tak luput dari perhatian Didi. Mata Lexy terus memandang anak-anak yang sedang bermain. Dari tatapannya terlihat jelas dirinya ingin ikut bermain bersama mereka.
Didi tersenyum melihat ekspresi Lexy. “Kasihan” Pikir Didi. Tanpa banyak berpikir Didi segera berlari menghampiri Lexy. Dia ingin mengajak Lexy agar mau ikut bermain. Tak ada perasaan marah atau pun dendam karena peristiwa kemarin. Didi ingat pesan bunda agar dirinya mau menemani dan menghibur Lexy yang sedang sedih.
“Kak...” Didi tersenyum pada Lexy.
Lexy menatap Didi sejenak lalu menatap ke arah lain. “Apa?!” Nada bicaranya masih saja ketus seperti biasa.
“Main sepeda yuk... Kakak bisa main sepeda kan?”
Lexy tak menjawab pertanyaan Didi. Sesekali dia melirik Didi sambil memainkan jari-jari tangannya. Mau menerima ajakan Didi namun dirinya terlalu malu dan agak gengsi. “Mmm...”
“Kakak gak bisa naik sepeda?” Didi bertanya dengan santai tanpa bermaksud mengejek.
“Siapa bilang aku gak bisa naik sepeda?” Lexy merasa tersinggung.
“Tlus kenapa gak mau?” Didi agak manyun.
Lexy merapatkan giginya karena kesal. Dia gak pernah bilang gak mau tetapi Didi langsung menarik kesimpulan seperti itu.
“Kalo gak mau ya udah.”
“Aku mau.” Lexy mengatakannya dengan cepat. Dia tak mau menyia-nyiakan kesempatan itu. Untuk apa dia terus-terusan gengsi. Selain Didi, belum tentu ada orang lain yang akan mengajaknya bermain.
Didi tersenyum lebar. “Ayo kak...” Dia menarik tangan Lexy dan berlari mendekati Wita dan teman-temannya. Lexy pun ikut berlari mengimbangi langkah kecil Didi. Terukir seutas senyuman pada bibir kecilnya.
Didi melepaskan genggaman tangan Lexy dan menghampiri Wita. “Kak Wita. Kak Wita. Boleh gak kak Lesi main sepeda?”
Wita melihat Lexy lalu kembali menatap Didi. Wita merasa kurang suka dengan kehadiran Lexy yang telah membuat lengan Didi terluka. Namun Wita menyembunyikan perasaan itu. “Boleh. Tunggu bentar ya... Gantian.” Dia tersenyum pada adik kecilnya.
Lexy menghampiri Didi. “Namaku Lexy. Bukan Lesi.” Dia nampak kesal.
“Kak Lesi.”
“Bukan. Tapi Lexy.”
“Leci.”
“Bukan Leci.” Lexy geram. “Coba ikutin! Lex...si.”
“Leksi.”
“Coba lagi! Lexxx...si.”
“Leksi. Leks...si. Leks...si.”
Lexy nampak senang mendengar namanya disebut oleh Didi. “Coba ulangi lagi! Nama kakak siapa?”
“Kak Lesi.”
“Ughhh!” Lexy kembali kesal. Dia hampir frustasi mendengar Didi salah menyebut namanya.
“Lexy... Ini sepedanya.” Panggilan Wita.
Lexy segera menghampiri sepeda yang akan dia naiki. Sebelum mengayuh sepeda, dia melihat ke arah Didi yang sedang tersenyum. Hatinya begitu gembira bisa ikut bermain bersama anak-anak panti yang lain.
Lexy asik mengayuh sepeda bersama tiga orang lainnya. Sore ini dia nampak berbeda di mata para penghuni panti. Senyuman terukir di bibirnya tak seperti Lexy yang selalu murung sejak kedatangannya di panti.
“Tlus kak... Telus.” Didi berlari-lari mengejar Lexy yang mengayuh sepeda dengan berkelok-kelok. Didi sangat ceria. Senyuman dan tawa tak pernah lepas dari bibirnya. Energi yang dimilikinya seakan tak pernah habis. Dia terus saja berlarian mengejar kakak-kakaknya yang sedang bersepeda.
RENALDI
“Ayo mas mampir dulu.” Kami baru aja nyampe kosan gw. Mas Tama menguap saat turun dari mobil. Wajar mas Tama ngantuk karena sudah pukul satu malam. Kasian juga kalo dia harus nyetir cukup jauh ke apartemennya. “Nginap di sini aja mas. Bahaya loh nyetir kalo ngantuk.”
“Gak apa-apa aku nginap di sini?”
“Emang ada yang larang? Ya boleh lah. Nyantai aja mas. Temen-temenku juga sering nginap di sini. Tapi mas tau sendiri keadaannya. Kamar jelek, kasur kurang empuk, AC pun gak ada.”
“Gak masalah kok. Kamu ngizinin aku nginap di sini aja, aku udah senang.” Mas Tama tersenyum.
Gw lihat akhir-akhir ini mas Tama lebih sering tersenyum dan keliatan lebih fresh. Beda banget sama mas Tama yang dulu sering keliatan kurang semangat dan jarang tersenyum. Kayaknya dia lagi happy. Mungkin semua masalahnya udah beres.
“Kamu ngapain Re?” Mas Tama baru balik dari kamar mandi waktu.
“Mas tidur di atas aja, biar aku di bawah.” Gw membereskan matras sebagai alas tidur gw.
“Seharusnya aku yang tidur di bawah. Aku gak mau gara-gara aku, kamu jadi tidur di bawah. Kalo kamu masuk angin gimana?”
“Gak mungkin lah seorang Renaldi bisa masuk angin gara-gara hal kecil kayak gini.”
“Jangan takabur. Orang sakti pun ada kalanya jadi tak berdaya. Kamu tidur di atas! Aku yang di bawah.” Katanya tegas.
Akhirnya... Muncul juga gaya ngebosnya. Kalo seperti itu mas Tama keliatan berwibawa karena ketegasannya. Tapi gw gak boleh terima begitu saja. Mosok bos tidur di bawah. “Mas kan tamu di sini. Tamu adalah raja. Gak keren kan kalo raja tidur di bawah sedangkan rakyatnya tidur di atas.”
“Istilah kamu itu gak cocok. Tamu Seharusnya tau diri kalo dia cuma numpang. Gak boleh merepotkan tuan rumah. Sebagai tamu yang baik, aku gak mau merepotkan kamu. Pokoknya kamu tidur di atas. Kalo gak, aku gak jadi nginap di sini.”
Gila ni orang pake ngancam segala. Ternyata mas Tama keras kepala banget. Mosok gara-gara tidur aja pake acara debat. Gak lucu kan? Terpaksa dech gw yang ngalah. “Gak mungkin lah aku biarin mas tidur di bawah. Gini aja. Biar sama-sama enak, kita berdua tidur di kasur. Gak bisa ditawar lagi! Agak sempit sih tapi cukup untuk berdua.”
Tempat tidur gw gak kecil-kecil amat. Ukurannya empat kaki. Gw sama teman-teman juga sering tidur berdua di situ. Bahkan pernah tidur bertiga karena banyak temen yang nginap di sini.
Mas Tama nampak berpikir. Lucu juga ngeliat dia lagi mikir kayak gitu. Gw senyum-senyum sendiri liat ekspresinya. “Oke lah. Dari pada kita debat terus.” Katanya agak ragu.
Gw tersenyum penuh kemenangan. “Mas ganti celana pendek gih.” Gw menunjuk celana dan kaos yang udah ada di atas kasur. “Gak mungkin kan mas tidur pake pakaian lengkap kayak gitu. Aku ke kamar mandi dulu ya... Mau sikat gigi.” Gw nyengir lalu langsung menuju kamar mandi.
Mas Tama udah telentang di atas kasur waktu gw balik dari kamar mandi. Gw pun ikut berbaring di sebelahnya. Kami ngobrol hal-hal gak penting hingga kesadaranku hilang.
***
Sore ini gw jogging bareng pujaan hati gw, Cindy. Sejak pagi tadi kami selalu menghabiskan waktu bersama. Mumpung hari Minggu, dia libur dan kebetulan gw juga lagi off, jadi malam ini gak ke café.
Suasana taman kota cukup ramai dikunjungi anak-anak hingga manula. Ada yang jogging seperti kami, ada yang bermain bersama keluarga dan ada pula yang sedang asik bermesraan.
“Yang... Capek.” Cindy memegang perut dan pinggangnya. Dia ngos-ngosan seperti hampir kehabisan tenaga.
“Ya udah sekarang kita istirahat. Kamu pasti haus.”
“Banget.” Katanya manja.
“Kamu duduk di sana aja ya. Aku mau beli minum.” Gw sembarang menunjuk sebuah bangku yang terbuat dari beton.
“Jangan lama. Awas kalo brani godain cewek lain!”
“Mana mungkin aku tergoda cewek lain. Aku kan udah punya kamu. Bidadari yang paling cantik.” Aku memegang dagu Cindy.
“Gomballll.” Cindy mencubit hidungku.
“Awww... Sakit Yang.” Cindy pun melepas cubitannya. “Tega amat sama suami sendiri. Tanggung jawab loh kalo hidungku sampe bengkak. Kamu harus nyium hidungku sepanjang waktu.”
“Ngarep.”
“Kalo gak mau ya udah. Aku bisa cari cewek lain.”
“Renaldi!!!”
“Haha...” Aku berlari menjauh dari Cindy. Kalo gak melarikan diri, bisa-bisa aku di-smackdown sampe bebek belur. Kalo aksinya di atas kasur sih enak. Wkwkwkkk.
Gw segera membeli dua botol minuman isotonic. Gw senyam-senyum gak jelas saat melihat lollipop beraneka rasa. Gw ambil lima lollipop sekaligus. Lumayan bisa nostalgia masa-masa kecil. Waktu kecil dulu sudah pasti setiap hari gw ngemut lollipop, kalo sekarang cuma sekali-kali doang.
Gw berlari menuju tempat pujaan hati beristirahat. Gw harus cepat nyampe. Kasihan Cindy kalo harus nunggu kelamaan. Dia pasti haus banget.
Gw tersenyum waktu ngeliat Cindy yang nampak agak bête. Dia paling gak suka kalo gw tinggal sendirian. Tapi perhatian gw teralihkan saat melihat seorang anak lelaki yang berumur sekitar tiga sampai 4 tahun sedang menangis. Wanita yang ku yakin adalah ibunya berusaha menenangkan anak itu, tetapi beliau kesulitan karena sedang menggendong bayi.
Gw mendekati anak itu. “Jagoan kok nangis?” Gw berjongkok di depannya. Tangisannya terhenti sejenak tetapi anak itu kembali mewek, bahkan tangisannya semakin kencang.
Sumpah. Gw agak bingung. Maksud hati mau menenangkan anak itu, eh malah semakin sebaliknya. “Cup cup cup... Jangan nangis lagi ya...”
“Micky memang lagi rewel mas. Dari tadi nangis mulu.” Kata-kata ibunya.
“Repot juga ya mbak...” Gw menunjukkan rasa prihatin. Ahaaa... Tiba-tiba gw ingat kalo gw punya beberapa lollipop yang ada di saku celana. Gw letakkan botol minuman lalu segera mengambil dua buah lollipop.
“Micky mau lollipop gak?” Gw memamerkan lollipop rasa strawberry dan coklat yang ada di tangan kanan dan kiri. Matanya berbinar saat melihat lollipop. “Pilih yang mana? Rasa strawberry ato coklat?” Gw mendekatkan kedua lollipop.
Tanpa gw duga Micky langsung menyambar kedua lollipop. Gw tertawa melihat tindakannya yang lucu. Tangisannya pun terhenti seketika. “Jangan nangis lagi ya...” Gw mengusap kepalanya.
“Sini biar om kupaskan.” Gw mengambil lollipop rasa strawberry dari tangannya. Micky nampak enggan melepaskan lollipop itu. Sepertinya dia takut gw akan merebut lollipop itu darinya. “Nah... Sekarang dah bisa diemut.” Gw langsung memasukkan lollipop ke dalam mulutnya.
“Makasih ya mas udah bantu nenangin Micky.”
“Iya mbak, sama-sama.” Gw membalas senyuman ibu muda itu. Gw mengambil dua botol minuman lalu kembali berdiri. “Saya permisi dulu mbak. Teman saya udah nunggu. Da Micky...” Gw menyempatkan menyolek pipi Micky sebelum meninggalkan mereka.
“Dadah om...” Jawab ibu Micky sambil menggerakkan tangan Micky agar melambai ke arah gw.
Gw lihat Cindy senyam-senyum. Gw juga tersenyum padanya sambil berlari kecil. “Sorry Yang kelamaan.” Gw duduk di sampingnya. “Minum gih...” Gw menyerahkan botol minuman yang baru gw buka tutupnya.
Cindy langsung meneguk minuman isotonic yang gw berikan. Dia masih belum mengeluarkan suara, melainkan hanya senyam-senyum gak jelas.
“Ada yang lucu ya?” Gw meraba wajah sendiri.
“Yang... Kalo aku liat, kamu dah cocok punya anak loh.”
“Hayo ketauan. Dah pengen cepet-cepet nikah ya?”
“Apaan sih?” Cindy memukul pundak gw. “Tadi aku liat kamu sama anak kecil itu. Makanya aku bilang gitu.” Cindy nampak malu.
“Ngaku aja dech. Pasti kamu dah bayangin kita punya banyak anak.”
“Ih...” Cindy menyerang pinggang gw.
“Ampun Yang... Ampun.” Gw menggelinjang karena kegelian akibat gelitikan Cindy. Gerakan tubuh gw gak beraturan.
“Rasain.” Cindy semakin gencar menggelitik pinggang gw.
Tanpa sadar tangan gw menyenggol seseorang yang baru gw sadari keberadaannya. Mungkin karena fokus hanya pada Cindy makanya gw gak menyadari ada orang lain di bangku panjang yang sama-sama kami tempati. “Sorry mas.” Gw merasa gak enak telah mengganggu orang itu. Cindy berhenti menggelitik gw dan hanya nyengir kuda.
“No problem.” Jawab orang itu. Nada bicaranya datar. Mungkin saja dia kesal karena kami sudah mengusik ketenangannya. Dia hanya sekilas melihat ke arah kami.
Gw perhatikan wajahnya dari samping. Orang ini sangat familiar. Tapi gw agak ragu apa dia orang itu. Tampilannya sangat berbeda. Biasanya dia tampil rapi tapi kali ini dia agak berantakan. Ya iya lah, kan dia lagi keringatan. Pasti dia juga jogging seperti gw dan Cindy.
“Maaf mas.” Gw memberanikan diri kembali berbicara padanya. “Mas temannya mas Tama kan?” Entah mengapa ada keinginan besar untuk ngobrol dengannya. Apa gw terobsesi dengan gayanya yang cool banget? Secara gw orang yang selalu pecicilan. Tapi demi apa? Au ah.
Kini wajahnya tak lagi tanpa ekspresi. Gw yakin dia bertanya-tanya mengapa gw bisa tau kalo dia teman mas Tama. “Gw sering liat lo sama mas Tama. Jangan tatap gw kayak gitu. Gw bukan cenayang.” Seandainya saja gw mampu mengatakan kata-kata itu.
“Lo kenal Tama?” Dia mengernyit.
“Kenal banget. Bisa dibilang teman lah.” Gw gak tau mana yang lebih tepat, mas Tama itu teman ato bos gw.
“Teman?” Sepertinya dia meragukan pernyataan gw. Gw hanya mengangguk. Rasanya kurang nyaman dengan tatapannya.
“Kita pernah ketemu?” Dia bertanya lagi namun tak terlihat rasa penasaran.
Gw yakin dia tidak ingat siapa gw. Orang dingin dan cuek seperti dia mana mungkin memperhatikan waiter seperti gw. “Dulu saya sering liat mas ke café bareng mas Tama.”
“Café-nya Marsya?”
“Iya mas. Mas mungkin gak ingat. Saya waiter di sana.”
“Oh.” Dia hanya sekedar ber-oh. Ekspresi dan caranya mengatakan ‘oh’ bisa menyinggung orang dengan perasaan yang sensitive. Untungnya gw gak gampang tersinggung. Secara gw orang yang baik hati dan tidak sombong. Sombong? Kayaknya gak da yang bisa disombongkan kecuali tampang gw yang di atas rata-rata. Haha... Narsis.
“Yang...” Cindy menyenggolku. “Pulang yuk... Kan kita mau nonton.”
“Oh iya. Hampir aja aku lupa.” Gw dan Cindy mengangkat bokong kami yang sejak tadi betah nemplok di bangku itu. “Kami duluan ya mas.” Gw tersenyum padanya. Gw gak nyangka dia membalas senyuman gw. Walaupun cuma senyuman tipis tetapi moment itu sangat langka terjadi.
“Siapa sih?” Cindy bertanya saat kami sudah menjauh dari orang itu.
“Temannya mas Tama. Aku gak tau namanya.”
“Ganteng ya...” Aku melotot saat mendengarnya. “Tapi jauh lebih ganteng Sayangku.” Aku kembali tersenyum. “Aku kurang suka liat orang kayak dia. Terlalu misterius. Orangnya terlalu serius, susah diajak bercanda.”
Gw setuju dengan pernyataan Cindy ‘Orangnya terlalu serius, susah diajak bercanda.’ Sejak dulu kayaknya gw gak pernah liat dia bercanda. Kalo senyum ato tertawa pun terkadang kesannya dipaksakan. Benar-benar orang yang dingin.
“Yang. Aku masih punya lollipop. Mau gak?” Gw mengeluarkan lollipop di saku celana.
“Kamu tu ya... Udah besar masih aja suka lollipop. Entar kalo punya anak bisa-bisa rebutan lollipop.”
“Tu kan ngomongin anak lagi. Udah gak sabar pengen bikin anak ya?” Gw mengedip-ngedipkan mata.
Cindy melotot. Dan gw segera berlari. “Awas lo ya!” Dia pun berlari mengejar gw.
***
Bersambung
Kayaknya masih datar. Konfliknya agak lama ni. Beda dengan ‘Belenggu Hati’ yang sengaja dibuat penuh konflik. Komen ya...