It looks like you're new here. If you want to get involved, click one of these buttons!
Copyright 2021 Queer Indonesia Archive. See our Privacy Policy. Contact us at [email protected]
Dengan menggunakan situs ini berarti Anda setuju dengan Aturan Pakai.
BoyzForum.com adalah situs anti pedofilia!
Comments
Sorry ya, salah gw juga si ga ngasi tau, jadiny salah paham. *asli gw ngakak*
mind conver kurang lebih kek gt. Kayak menceritakan pengalamannya sendiri.
cepet lanjut ya bang abi ..
numpang kakak, maklum liburan ga dapet jatah sih ..
>typo??
Gue nggak mau bilang kalau gue cinta sama Lukas. But, gue juga
nggak mau bilang kalau gue nggak ada rasa apa-apa sama dia.
Cukup adil juga kalau gue bilang, let time tell me how this is
gonna be. Or where this is going to end.
> asik banget nih paragraf. hihi.. suka deh..
baca cerita tp berasa bgt klo rena ada di sebelah sambil nyeroscos. hehehe.
u'r welcome mas iyas. jempol deh buat mas iyas.
ngiri aja, soalnya satya bisa oke2 sama orang yg bikin sakit hati dia. klo sy mah marah kali ya. hihi. aroma aromanya lucas naksir ya ma satya *asumsi pembaca.
bapak a @abiyasha saya sudah datang, lantas mau anda apakan saya ?? *senyumesum
January 2011…
Trailers for sale or rent rooms to let, fifty cents
No phone, no pool, no pets I ain't got no cigarettes
Ah, but, two hours of pushin' broom
Buys an eight by twelve four-bit room
I'm a man of means by no means
King of the road
Tepuk tangan dari beberapa pengunjung The Cowboys malam ini cukup menghiburku. Biasanya, meja di The Cowboys hampir penuh, namun, malam ini, baru lima meja yang terisi.
Sudah hampir satu jam aku duduk di panggung kecil ini dan memetik gitar. Menyanyikan lagu-lagu country dari era Johnny Cash, Roger Miller, Hank Williams, bahkan Patsy Cline. Tinggal satu sesi lagi dan tugasku akan berakhir.
“I’ll come back in…half an hour. Hope all of you will still be here,” candaku, yang disambut oleh tawa dari pengunjung.
Begitu aku turun dari panggung dan menyandarkan gitarku, Riri menepuk pundakku.
“Satya, ada yang nyariin tuh.”
“Siapa?”
Riri mengedikkan bahunya, seolah itu menjawab pertanyaanku. “Temui gih sana. Aku belum pernah lihat dia disini sebelumnya. Dia baru dateng dan ada di meja di patio.”
Aku hanya mengangguk, sekalipun Riri sudah berlalu dari hadapanku. Siapa yang mencariku?
Ketika akhirnya sampai di patio, aku tidak bisa menyembunyikan keterkejutanku mendapati Lukas duduk disana, sedang sibuk menelusuri menu di tangannya. Yang membuatku tertegun, bukan hanya kehadirannya, tapi dia datang seorang diri.
Aku menarik napas dalam sebelum menyapa Lukas.
“Lukas?”
Lukas segera mengalihkan perhatiannya dari menu dan begitu melihatku, dia langsung memberiku senyum lebarnya.
“Satya! Sorry I’m late.”
Aku hanya tersenyum sebelum duduk di hadapannya. “Masih ada satu sesi lagi kok. Kamu nggak telat. Kamu kesini sendirian?” akhirnya aku menanyakan apa yang melintas di pikiranku tadi begitu melihatnya disini sendirian.
“Iya, sebenarnya tadi habis dari Echo Beach then I remembered that you have performance tonight. Aku tanya Rena nama kafe tempat kamu kerja and….here I am.”
Aku kembali tersenyum.
Setelah memesan satu botol bir dan salad, Lukas menatapku.
“Apa kabar Satya? Sudah hampir satu bulan kita nggak ketemu.”
“I’m fine. Kamu sendiri?”
“Semakin cinta sama Bali.”
Kami berdua tertawa. Sejak Sabtu di Balangan itu, aku memang belum bertemu lagi dengan Lukas maupun Rena. Bukannya aku tidak punya waktu, namun, aku berusaha untuk sedikit menjauh dari komunitasku. Bukan apa-apa. Hanya merasa sedikit jenuh. Rena dan Lukas beberapa kali mengajakku, namun, aku memberikan alasan bahwa aku harus tampil di beberapa private show. I have to control my feeling for Lukas. Sebenarnya, itu alasan utamanya, sekalipun terdengar sangat dangkal dan….munafik.
“Gimana hotel? Udah cukup adaptasinya?”
Lukas mengangguk. “Yes! It’s getting easier from day to day. Semua orang bersikap sangat baik. They’re so helpful,” Lukas kemudian mengedarkan pandangannya sebelum kembali menatapku. “Kamu sibuk weekend minggu depan?”
“Mmmm, aku belum tahu kalau minggu depan. Ada apa weekend minggu depan, Lukas?”
“Kamu nggak lupa kan kalau Sabtu minggu depan anak-anak mau ke orphanage?”
“Ya ampun!” seruku. “Aku benar-benar lupa, Lukas. Thanks for reminding me.”
“Kamu ikut kan?”
Aku mengangguk. “Pasti! Aku sama sekali lupa kalau minggu depan acaranya. I’ll go to the weekly gathering this week. Harus siap-siap kena marah Ida karena aku belum sign up di event yang dia buat.”
Lukas tertawa. “Kelihatannya banyak yang naik mobil. Tapi, aku nggak keberatan naik motor. That would be a different experience.”
“Lukas, jalan menuju kesana itu sedikit berbahaya menurutku untuk orang yang belum pengalaman naik motor. Tapi, memang seru naik motor. Kalau aku belum sign up, ujung-ujungnya juga naik motor pasti.”
Sebenarnya, aku tidak keberatan naik motor. Tapi, pengalaman sebelumnya yang memakan waktu 4 jam untuk sampai disana, dan karena kami akan mengunjungi panti asuhan yang sama, aku ragu waktu yang harus kami tempuh berkurang.
“Well, don’t you think surfing is dangerous?”
Aku mengerutkan keningku, bingung dengan arah pembicaraan Lukas yang tiba-tiba beralih dari orphanage visit ke surfing.
Lukas tertawa. “I think I’ll manage. Lagipula, aku bukan satu-satunya yang naik motor kan?”
“Semoga nggak hujan.”
“Memang kenapa kalau hujan?”
“Jalannya akan jadi licin, Lukas. Setelah Kintamani, kita akan ngelewatin hutan yang pasti berkabut kalau udah agak sorean. And it’s cold.”
“Satya, I’m from Germany. Cold is not something unusual there.”
Kali ini, kami berdua tersenyum.
“Kamu mau aku nyanyi apa? This is your first visit here. I need to sing a song for you.”
Pesanan Lukas datang dan dia mengamati Caesar salad di hadapannya. Dari ekspresinya, aku bisa melihat bahwa dia sedikit terkejut.
“Kenapa Lukas? Kamu kelihatan kaget.”
“I never thought the portion will be this…much,” jawab Lukas sebelum mulai menikmati saladnya. “Aku harap ini bukan karena kamu ada disini.”
“Well, maybe,” jawabku sambil tersenyum.
Mataku tidak lepas dari Lukas yang terlihat sangat menikmati saladnya. Aku berusaha untuk menahan senyumku, namun, sepertinya tidak berhasil. Sejak aku duduk hanya berdua bersamanya di pantai bulan lalu, di malam ketika hubunganku dengan Patrick berakhir serta obrolan kami di Balangan ketika aku menemaninya surfing bersama Rena, ada yang berubah dalam diriku setiap kali aku mendengar nama Lukas disebut, atau bahkan, ketika kami hanya bertukar pesan di Facebook dan melihat foto profilnya. Something inside me just scream in happiness.
“This is good, Satya.”
Senyumku memudar dan aku mengangguk. “Aku tahu salad mereka memang juara.”
“About the song, why don’t you just pick one for me? Aku nggak begitu tahu lagu-lagu country. Kamu tahu, aku pasti suka lagu apapun yang kamu mainkan. Bahkan, kalaupun aku nggak tahu lagu itu.”
Sulit untuk tidak merasa tersipu dengan apa yang diucapkan Lukas. Maka, aku pun hanya memberikan senyum tipisku.
“Thanks for coming, Lukas.”
Lukas hanya mengangguk. “My pleasure, Satya. Nggak keberatan kan kalau aku sering datang kesini tiap kali kamu perform?”
“Tentu saja nggak. Meskipun aku nggak yakin itu baik buat kamu.”
“Kenapa nggak baik?” tanya Lukas.
“Nevermind,” jawabku sambil tersenyum.
“You have a voice, you play guitar, what’s not to like?”
“Ajak Rena kapan-kapan ya? Dia jarang kesini.”
“Nggak ada Rena juga nggak masalah kan?”
Kami saling bertatapan. Kali ini cukup lama, namun, ucapan Riri, yang mengingatkanku bahwa waktu istirahatku sudah habis, membuyarkannya.
“Satya, second round.”
Aku menghela napas sebelum mengangguk ke arah Riri. “Thanks Ri.”
“Show time?”
Aku mengangguk. “Aku tinggal dulu ya? Kalau misalnya kamu mau pulang, it’s ok, Lukas. Just wave at me.”
“Aku harap itu bukan cara halus kamu buat ngusir aku dari sini kan? I’m a customer here,” balas Lukas dengan nada bercanda.
Aku tertawa. “Tentu saja nggak. Ya mungkin kamu bosen, who knows?”
“I’ll stay, Satya. Now, go on and play a song for me,” ucap Lukas setelah menghabiskan saladnya dan menyeka mulutnya dengan napkin.
Aku segera bangkit dari hadapan Lukas dan mengacungkan jempolku, sebelum kembali ke panggung kecil The Cowboys. Sepertinya, meja di The Cowboys mulai penuh. Mungkin karena sesi kedua ini, aku memainkan lagu-lagu yang lebih baru. Meskipun bertema western, The Cowboys berhasil menarik minat pasar yang berusia lebih muda. Itulah alasan kenapa pihak The Cowboys memintaku membagi dua sesi.
Begitu aku duduk di kursi kecil dan menyandang gitarku, aku menarik napas dalam. Aku melihat Lukas yang berdiri di dekat pintu dan tersenyum, sambil mengangkat bir yang dipegangnya.
“For the starter of second session, I’d like to dedicate this song for a friend who’s standing at the door,” ucapku sambil menunjuk ke arah Lukas, yang tentu saja membuat beberapa orang melihat ke arah yang sama. “He’s from Germany and has been staying here for about 3 months. But, this is his first visit to The Cowboys. He said I could sing any song, so, I’m going to sing Bless The Broken Road by Rascal Flatts. This is one of my favorite songs and I hope, Lukas will love this song too. And I know, you all like this song. So, it’s fair for everyone.”
Begitu aku menyebutkan lagu yang akan aku mainkan, beberapa orang bertepuk tangan. Aku menarik napas dalam sebelum memulai memainkan salah satu lagu Country yang cukup menjadi favorit pengunjung disini.
I set out on a narrow way many years ago
Hoping I would find true love along the broken road
But I got lost a time or two
Wiped my brow and kept pushing through
I couldn't see how every sign pointed straight to you
Pandanganku dan Lukas bertemu, namun kali ini, tidak ada siapapun yang mengenal ataupun memerhatikan kami berdua seperti di Potluck Dinner waktu itu. This time, it’s only us staring at each other. Only us…
@andhi90 : hhahaha, mengharu biru itu kan udah jadi kayak trademarku Ditunggu aja ya nanti bakal kayak apa
@Adra_84 : You're right. Well, so far, no serious conflict yet or maybe because of the pace is slow, then makes it kind of easier? I don't know But, I realize that this story will be different from the moment I started it
@tialawliet : Ummm....kasih tahu nggak ya? Hahahaha. Nebak2 aja dulu deh
@adzhar : Thank you Nggak ada karya yang sempurna kan? Apalagi aku yg masih kelas teri begini, hehehehe. karya yg udah terkenal aja msh bnyk kurangnya kok. But, I try my best
@Adam08 : Sebenernya, tokoh Lukas ini based on a real person. Aku kenal orangnya, dan indeed, dia memang punya genuine smile And he's German too Jd, lebih gampang ngebayangin sosok Lukas karena aku tahu orangnya, hehehe. Lukas ini dia banget.
@alabatan : Hahahaha, aku juga suka tuh pas Rena bilang gitu. Perasaan, selain Glenn di KLB, Rena ini jauh lbh blak-blak an kl ngomong
@tyo_ary : yes, perjalanan masih sangat panjang sekali
@fenan_d : hahahaha, keep praying aja ya?
@Zhar12 : Kalau memang nanti update2 selanjutnya memang nggak dapet feelnya, mungkin harus berhenti aja bacanya, hehehehe. Drpd nggak menikmati ceritanya. Aku kalau baca buku kalau nggak dapet feelnya juga langsung aku stop
@Emtidi : Ini 2 POV aja udah kewalahan aku. Biar nggak kecampur antara Rena dan Satya, nulisnya juga aku kasih jeda beberapa hari.
@masdabudd : APA???? Kamu mau jadi silent reader??? :-O
@arieat : Ini kena[a kamu jd komennya dikit2 banget skrg? lol
@Kim leonard : You're welcome
@hwankyung69 : Hahahaha, gak papa. Salah pengertian itu nggak beda jauh kok sama miskomunikasi We're good, now, right? Hahaha. Eh, ngatain aku BITCH ya? lol. Tiap orang pasti punya lah bitchy side, aku jg punya
@WinteRose : Ntar kan pasti ketahuan. Sabar ya?
@DM_0607 : Oh, I see...
@kiki_h_n : Hahahaha. Thank you buat koreksinya, kadang memang kelewatan pas dicek lagi Rena kan memang tipe orang kayak gitu Teruslah berasumsi ya?
@zackattack : Ah, jangan sbut2 Cory Monteith lah, msh pengen nangis nih kalau muter lagu2nya GLEE Tapi, in real world, yg jd inspirasi Lukas ini memang senyumnya genuine bgt
@alvian_reimond : Ya komen tentang postingannya lah, kan tujuan dipanggil kesini buat itu?
@caetsith : Ah, beneran tipe setia? hahaha
Lukasnya udah niat bgt tuh mau nonton tiap Satya tampil
@hwankyung69 kalo mirip cory monteith, Lukasnya nanti ada adegan mati2nya dong??
@hwankyung69 kalo mirip cory monteith, Lukasnya nanti ada adegan mati2nya dong??
to live it, it is actually how we see it, anyway
I dont know why but I remember your's The Letter when I read this story, maybe the humbleness in this 1