It looks like you're new here. If you want to get involved, click one of these buttons!
Copyright 2021 Queer Indonesia Archive. See our Privacy Policy. Contact us at [email protected]
Dengan menggunakan situs ini berarti Anda setuju dengan Aturan Pakai.
BoyzForum.com adalah situs anti pedofilia!
Comments
Good job, Abi! Bisa bikin para pembaca emosi gini.
Kangen Satya deh sama Lukas, emm B-)
OMG, sabar.. sabar.. malu diliatin bli abi.. #:-S
#gadisjamansekarang
pisahannya nahen perasaan masing2 gt
lah rena msh gt aja ma lukas ckckck tp berasa lucu liat kelakuan rena ni lama2 g gemes lagi kaya yg di awal2 apalagi skrg dpt cowo baru hihi
Thanks yah for this great story, I love it so damn much..
I love Lukas and Satya, but I really hate Rena, can I swear upon her now..??
Dear Rena..
You are daughter of a bitch!
I hate you so damn effing much..
I am a Bitch, an advance one..
But you're just a basic slut!!
one day karma will get ya and finish ya..
I hope Lukas and Satya will be together so their happiness fucks you..
Dear kak @Abiyasha (lagi)
Thank you for always create amazing stories that touch my heart..
I love you..
God bless you..
P.S
A mention would be great.. *wink
SATYA : LATE NIGHT TALK
August 2011…
Aku tergesa-gesa turun dari motor, berharap masih ada orang di RETRO. Ada kemungkinan, aku menjatuhkan atau meninggalkan sesuatu yang tidak pernah lepas dariku sejak kepergian Lukas, disini.
Baru saja aku mau melangkah menuju ke pintu masuk, Pak Stefan keluar dan kami hampir saja bertabrakan, karena begitu tergesa-gesanya aku.
“Satya?”
Aku berusaha untuk terlihat tenang dengan memberikan senyumku, namun, pikiran akan kehilangan benda itu terlanjur menguasai pikiranku.
“Pak Stefan, boleh saya masuk sebentar? Ada milik saya yang sepertinya tidak sengaja jatuh di restoran.”
Pak Stefan mengerutkan keningnya. “Benda penting?”
“Pemberian teman saya dari Jerman.”
“I’ll come with you.”
Pak Stefan kemudian membalikkan tubuhnya sementara aku mengikutinya. Sejak kepergian Lukas, aku jadi lebih banyak menyibukkan diriku dengan pekerjaan. Bahkan, aku juga hanya beberapa kali bertemu Rena. Jadwal untuk tampil di private occasion lumayan menguras tenaga, namun, aku memang membutuhkannya. Paling tidak, pikiranku teralihkan.
Begitu pintu masuk terbuka dan Pak Stefan menghidupkan lampu, aku langsung menuju panggung dan menelusui lantai disana, berharap aku melihat gelang dari anyaman kulit yang diberikan Lukas. Jantungku rasanya berdegup tidak beraturan, memikirkan aku mungkin kehilangan benda itu.
“Mungkin saya bisa bantu, Satya? Apa yang kamu cari?”
Aku menegakkan tubuhku dan menatap Pak Stefan. “Gelang anyaman dari kulit Pak, warnanya coklat, jadi mungkin memang agak susah dicari karena warnanya senada dengan lantai disini.”
“Coba saya ke staff room sebentar, siapa tahu ada yang menemukannya dan menyimpannya disana.”
Aku hanya mengangguk sambil terus mencari di setiap sudut panggung, memastikan tidak ada tempat yang terlewat olehku. Aku juga menyusuri kolong meja-meja di dekat panggung, siapa tahu jatuh disana. Kalau tidak ada disini, dimana lagi aku harus mencarinya?
“Satya, apakah ini yang kamu cari?”
Aku kembali menegakkan tubuhku dan menatap Pak Stefan yang memegang sebuah benda kecil, yang ketika aku dekati, memang benda yang sedang aku cari.
Aku mengembuskan napas lega dan tersenyum. “Terima kasih Pak.”
Pak Stefan membalas senyumku dan mengulurkan benda itu kepadaku. “Lain kali, hati-hati ya, Satya? You’re lucky this time. Saya memang meminta semua staf untuk meletakkan semua barang yang mereka temukan di Lost & Found karena saya tahu ada benda-benda seperti ini yang kelihatannya nggak punya nilai apa-apa, punya arti yang besar untuk pemiliknya. In this case, you, Satya.”
Aku mengangguk.
“Kamu terburu-buru? Mungkin kita bisa minum sebentar sambil ngobrol. You definitely need a drink. Air putih?”
Aku berniat menolak ajakan Pak Stefan karena ini sudah hampir setengah satu dan aku yakin, Pak Stefan pasti lelah. Namun, Pak Stefan sudah terlanjur membalikkan tubuhnya dan berjalan menuju ke bar. Aku menarik salah satu kursi dan duduk di sana.
Sejak interview waktu itu, aku memang tidak terlalu sering berinteraksi dengan Pak Stefan, kecuali kalau ada acara-acara tertentu di RETRO atau ada lagu-lagu khusus yang Pak Stefan ingin aku pelajari. Ini pertama kalinya kami berada diluar situasi formal RETRO, sekalipun kami ada di RETRO.
“Pasti pemberian seseorang yang spesial sampai kamu kembali ke RETRO meskipun sudah selarut ini,” ucap Pak Stefan sambil mendudukkan dirinya di kursi di depanku dan meletakkan segelas air putih di hadapanku. “Minum Satya, you need it.”
Aku menelan ludahku dan meraih gelas itu. Air putih itu langsung tandas dalam sekali teguk. Aku memandang Pak Stefan.
“Terima kasih Pak.”
Pak Stefan tersenyum. “Feel better?”
Aku mengangguk sambil mengenakan kembali gelang kulit itu di pergelangan tanganku. Salah satu isi kotak yang diberikan Lukas di bandara waktu itu. Gelang anyaman dari kulit ini, tiga CD album, kompilasi lagu-lagu dari tahun 50-60an, kumpulan lagu-lagu terbaik The Platters dan satu album milik Chet Baker, satu CD berisi rekamanku waktu menyanyikan Devoted To You di Nyang-nyang waktu itu, serta miniatur surfing board dengan tulisan namaku disana. Ketika aku mengetahuinya, kakiku serasa tidak menginjak tanah. I was so happy. Bahkan, selama beberapa menit, aku tidak mampu menghentikan senyumku. Aku merahasiakan ini dari Rena karena bagiku, ini satu-satunya kenangan tanpa Rena di dalamnya. I just want the memory to be mine only.
“Pak Stefan pulang selarut ini pasti capek. Lebih baik saya pulang, Pak.”
“Kamu terburu-buru?”
Aku menatap Pak Stefan dan menggelengkan kepalaku. “Bukan begitu, Pak. Saya yakin, Pak Stefan butuh istirahat.”
“Kamu betah kerja disini, Satya?”
Tricky question.
Aku mengangguk. “Terlepas dari saya yang harus lebih banyak belajar lagu-lagu lama, saya menikmati kerja disini Pak,” jawabku sambil tersenyum. “Saya suka atmosfir RETRO.”
“Kira-kira, kamu keberatan nggak kalau meninggalkan THE COWBOYS dan jadi pengisi tetap disini? Setiap hari, dari Senin-Sabtu selama dua jam? Saya perhatikan, setiap kamu tampil, pengunjung RETRO bertambah. Itu berarti mereka menyukai kamu, Satya.”
Aku masih diam. Sama sekali tidak menyangka bahwa akan mendapatkan tawaran ini dari Pak Stefan. Gajiku selama disini memang lebih besar sekalipun aku hanya tampil dua kali seminggu, mendapatkan kontrak permanen untuk tampil disini jelas sebuah tawaran yang menarik. Tapi, aku tidak ingin mengiyakan tawaran Pak Stefan sekarang juga. Bagaimanapun, THE COWBOYS tetaplah tempat aku memulai semuanya.
“Kamu nggak harus menjawab sekarang, Satya. Pikirkanlah dulu. Kalau memang kamu merasa tidak bisa meninggalkan THE COWBOYS karena alasan tertentu, saya bisa mengerti.”
Aku mengangguk. “Terima kasih atas tawarannya, Pak. Pasti akan saya pikirkan baik-baik.”
“Ini selalu jadi impian saya, Satya.”
Aku memandang Pak Stefan yang sekarang menyandarkan tubuhnya ke kursi dan mengedarkan pandangannya ke seluruh isi restoran.
Harus aku akui, bahwa desain interior RETRO ini benar-benar membuatku terpana, ketika pertama kali aku melihatnya. Banyak barang-barang antik, jika tidak bisa dibilang kuno, bertebaran di seluruh sudut restoran. Ada Mesin Jukebox yang terpasang di dekat pintu masuk, satu gramofon yang diletakkan dekat dengan panggung tempat aku biasa tampil dan tentu saja beserta puluhan, bahkan mungkin ratusan piringan hitam yang tertata rapi tidak jauh dari garmofon itu, mesin kasir yang hanya Pak Stefan yang tahu dibuat tahun berapa, beberapa tea set yang terlihat sangat kuno dan banyak benda-benda lain yang membuat RETRO benar-benar berkesan retro. Yang aku suka dari RETRO adalah beberapa poster film yang memenuhi dinding RETRO. Film-film klasik Hollywood dan Eropa dari tahun 20an hingga 70an terbingkai rapi, belum lagi foto-foto hitam putih para musikus legendaris mulai dari Frank Sinatra, Louis Armstrong, Bing Crosby, Billie Holliday, Ella Fitzgerald, The Beatles, BeeGees, The Everly Brothers (of course!), The Supremes dan beberapa musisi lain yang tidak aku kenali wajahnya. Apalagi, RETRO memang dibuat seperti rumah zaman kolonial, dengan teras, ruang tengah dan kebun belakang. Semuanya lengkap dengan barang-barang kuno.
“Konsep ini menarik, Pak. Saya belum pernah ke restoran seperti ini,” balasku sambil tersenyum. “Sebuah kehormatan bisa jadi bagian dari RETRO.”
“Semua barang-barang ini milik kakek dan nenek serta orang tua saya, Satya. Saya sudah cerita kan bagaimana saya bisa jatuh cinta dengan The Everly Brothers? Sejak itu, saya selalu bilang ke Papa dan Kakek kalau suatu hari saya ingin memiliki tempat yang menyimpan semua benda-benda koleksi mereka. Hanya sedikit dari benda-benda disini yang saya beli, semuanya punya nilai sejarah. Paling nggak, sejarah keluarga saya.”
“Mereka pasti bangga dengan Pak Stefan.”
Pak Stefan mengangguk. “Semoga saja. Orang tua saya sudah meninggal sepuluh tahun lalu dan melihat semua benda-benda ini, selalu membuat saya merasa dekat dengan mereka. Seakan mereka masih ada bersama saya.”
Ada kerinduan dalam nada suara Pak Stefan dan aku tidak bisa menyalahkannya. Namun, paling tidak, Pak Stefan sudah melakukan hal yang sangat membanggakan dengan menyimpan dan merawat benda-benda peninggalan mereka dengan sangat baik.
“Mereka tidak pernah pergi, Pak Stefan, hanya fisik mereka saja yang sudah tidak bersama kita lagi. Ayah saya selalu mengatakan itu setiap kali saya kangen Bunda.”
Pak Stefan menatapku. “Ayah kamu juga pasti bangga punya putra yang punya kemampuan main musik seperti kamu.”
Aku tersenyum tipis. “Ayah selalu bangga dengan pilihan hidup saya, Pak, asalkan itu membuat saya bahagia. Tidak pernah menuntut saya untuk melakukan hal yang tidak membuat saya senang. Namun, itu membuat saya menjadi bertanggung jawab sejak kecil atas setiap pilihan yang saya buat karena Ayah mendidik saya seperti itu.”
“You’re a good guy, Satya.”
“Pak Stefan juga pria baik.”
Kami berdua tertawa. Aku melirik Grandfather Clock yang berdiri tidak jauh dariku dan jam menunjukkan sudah hampir pukul satu. Sudah waktunya aku pulang.
“Maaf Pak Stefan, saya lebih baik pulang. Sudah sangat larut dan kasihan kalau istri Pak Stefan menunggu.”
Seperti terkejut, Pak Stefan menatapku heran. “Istri?”
Aku mengangguk. “Istri Pak Stefan pasti sudah bertanya-tanya kenapa sampai hampir jam satu, Pak Stefan belum pulang.”
Ada keheningan diantara kami sebelum akhirnya dipecah oleh suara tawa Pak Stefan. Ini pertama kalinya aku mendengar Pak Stefan tertawa lepas seperti itu. Bagian mana dari kalimatku yang terdengar lucu? Aku masih memandang Pak Stefan dengan tatapan bingung.
Ketika tawa itu sudah mereda, Pak Stefan menatapku. “Dari mana kamu mengambil kesimpulan kalau saya sudah punya istri, Satya?”
“Maksud Pak Stefan…”
“Kamu bilang seperti itu pasti karena saya memakai ini ya?” potongnya sambil menunjukkan jari manisnya yang memang mengenakan cincin.
Aku menelan ludahku dan mengangguk.
Pak Stefan menghela napas. “Can you keep a secret, Satya?”
Oke, ini mulai membuatku jadi panik dan bertanya-tanya.
“Cincin ini hanya kamuflase, Satya,” ucap Pak Stefan setelah bisa mengontrol emosinya, kembali menjadi Pak Stefan yang biasanya. “Ketika saya masih tinggal di Belanda, banyak kerabat di Indonesia yang bertanya kapan saya menikah. Maklum, usia saya sudah hampir 40 tahun. Ketika saya memutuskan untuk kembali ke Indonesia setahun yang lalu, saya sudah bisa menduga pertanyaan seperti apa yang akan sering saya dengar disini. Jadi, saya memutuskan untuk membeli cincin ini agar orang nggak lagi bertanya-tanya kapan saya menikah. Saya berhasil sejauh ini dan setiap kali ditanya mana istri saya, alasan yang selalu saya katakan, bahwa dia tinggal di Belanda. Selesai perkara.”
Fakta ini benar-benar mengejutkanku. Pak Stefan masih single? Dengan usia yang sudah sangat mapan dan aku yakin Pak Stefan juga mapan secara finansial, apa lagi yang dicari?
“Kenapa Pak Stefan melakukan itu? Apa tidak membuat orang bertanya-tanya kenapa Istri Pak Stefan tidak ikut kesini?”
“Saya lelah, Satya, ditanya terus tentang kapan menikah. Ada saatnya saya merasa marah dan ingin bilang, Mind your own business, tapi saya tahu, sudah jadi kebiasaan orang Indonesia untuk tahu urusan orang lain. Jadi, saya memutuskan untuk berbohong. Sejauh ini, saya berhasil menipu semua orang dan pertanyaan itu nggak pernah muncul lagi. Tentang istri, saya hanya mengatakan apa yang saat itu terlintas di pikiran saya saja. Saya nggak menyalahkan kamu kalau kamu pasti kaget dan bertanya-tanya.”
Aku berusaha tersenyum, namun hanya bisa memberikan senyum tipisku. “Pak Stefan melakukan hal yang cerdik.”
Pak Stefan tertawa. “Janji kamu nggak akan cerita siapa-siapa tentang ini?”
Aku mengangguk. “Kalaupun saya cerita, orang akan berpikiran saya gila dan mengada-ada.”
“Ketika kamu sudah menginjak usia 30, Satya, semuanya akan berbeda. So, enjoy your life while you’re young. Usia kamu berapa? Masih 26 kan?”
Aku mengangguk.
“Enjoy it, Satya. Do crazy things while you can, but, do it responsibly.”
Aku membalas ucapan Pak Stefan, lagi-lagi dengan anggukan dan senyuman.
“Pak Stefan masih mau disini?”
Pak Stefan menggelengkan kepalanya. “Saya juga sudah mau pulang. Bisa minta tolong kamu matikan lampunya, Satya? Ada berkas yang harus saya ambil di ruangan sebentar.”
“Baik Pak.”
Aku bangkit dari kursi dan mulai mematikan tiga lampu yang dihidupkan Pak Stefan tadi sekaligus berjalan keluar.
Begitu aku sampai di teras, aku membiarkan senyum lebar menghiasi wajahku sambil memainkan gelang yang sekarang terpasang di pergelangan tanganku. Menemukan kembali gelang ini adalah hal yang membuatku tersenyum.
“Ayo, Satya, sebelum orang-orang berpikir bahwa RETRO masih buka,” ucap Pak Stefan sambil mengunci RETRO dan berjalan menuju ke tempat parkir.
“Terima kasih Pak Stefan sudah mau bercerita ke saya tentang banyak hal.”
Pak Stefan menatapku dan tersenyum. “Saya juga berterima kasih kamu mau mendengarkan obrolan saya yang nggak penting itu. Kamu hati-hati di jalan ya?” pesan Pak Stefan sambil menepuk pundakku.
“Baik Pak,” jawabku sambil terseyum.
Thank God I found this bracelet, ucapku dalam hati sambil memegang gelang di tanganku dengan erat.
huahahahahaha, yang benci sama Rena semakin menjadi-jadi nih bencinya, hihihihi. Nggak nyangka kalau Rena bakal dibenci kayak gini
@JKT69 : Eeeehhhh!!!!! nanti kamu yang babak belur mau?
@the_angel_of_hell : mau disiksa kayak apa Rena nya?
@arieat : jiaaaah!!! alasannya gitu doang
@DiFer : Super tega tapi manusiawi kan ya?
@adam25 : Hahahaha, yep! Rena is crazy
@andhi90 : Sepertinya, kamu nggak benci ya sama Rena? Doanya baik banget
@Kim_Kei : hihihi, thank you!!! Udah dibenerin typonya, semoga yg update an ini nggak ada typonya.
@masdabudd : Kok racun serangga? nggak racun buat manusia ya? hihihihi
@kiki_h_n : Lah, malah Joddi nya yang dipengenin, hahahaha.
@tialawliet : Aku bisa ngebayangin emosinya kamu nulis komen yg itu. Segitu bencinya ya sama Rena? Lebihh benci mana sama Egar? #eh
@faghag : Thanks buat PM nya ya? Yang ini kan nggak sedih2 banget, malah so far, nggak ada yg sedih mendayu2 kayaknya. Jadi, nggak perlu nyiapin tisu atau nangis
@farizpratama7 :
@rarasipau : Loh, kok ilang keselnya sama Rena? Kenapa?
@YuuReichi : Hahahaha. Rena banget lah ya pokoknya.
@tyo_ary : Nggak secepet itu lah
@hwankyung69 : Lah, kok baru nyadar? Hihihi. Penasaran kenapa? Aku susah kalau buat ngejelasin karakter2ku kayak apa, karena memang mereka cuma ada di kepalaku. Jadi, nyari representasi mereka susah. Lukas ini based on real person. Temenku dan aku sempet ada crush dulu Dia orang Jerman, tinggi, suka surfing, has a really genuine smile, friendly. Jadi, Lukas itu mostly based on him. Kalau Rena, juga based on some of my female friends. Kalau Satya, nah, ini sifatnya ada di aku sedikit, buat appearance, nggak bisa dijelasin. Tipikal cowok Indonesia yg suka main gitar. Gitu aja, hehehe
@yubdi : Nggak selamanya harus cakep buat gaet cowok kan? being a slut or a bitch juga bisa gaet cowok, hihihihi
@somewhereouthere : Hahahaha. Yap! Apa yg dilakuin Rena itu manusiawi banget
@Emtidi : Masak sih? Kan 'd' nya dua, Joddi, jadi harus dibayangin yg lain. Kan dia blasteran juga tuh
@Adam08 : Thank you!!! Lagi pengen bikin POV cewek memang dan kalau memang berhasil, glad to hear that
@steve_hendra : Coba email Lukas tanya kapan balik ke Indonesia
@Klanting801 : Sabar ya? Ini Satya baru dimunculin
@DM_0607 : Ya, harus terima dong POV nya Rena, hahaha. Sampai beberapa chapter nanti, masih ada Rena nya kok.
@honest : Perasaan, dari dulu, aku memang selalu dituduh suka mainin emosi deh #eeeaaaa
@WinteRose : Kamu juga, ikut2an emosi ya? hahahaha
@caetsith : Aduh! Kasian Rena lah kalau gitu. Cari cara yg lebih halus ya?
@alvian_reimond : Memang, gadis zama dulu nggak begitu ya?
@jakasembung : Kok gemes? nggak ikut2an emosi? hihihi
@chandisch : Hahaha, silakan kalau mau nyumpah2in Rena. Udah dimention kan?
@bebong @fenan_d @iboobb7 @totalfreak @sky_borriello @chaliszz @bponkh @zackattack @Venusalacca @st34dy @pokemon @DarrenHat @Zhar12 @RifqiAdinagoro @LordNike @obay @iboobb7 @adzhar @kyiskiowai @yuzz @Adra_84 @marobmar
Sebenernya, nulisnya sendiri udah mau part2 terakhir. kemungkinan, minggu depan, udah bisa kelar nih ceritanya aku tulis. Nanti, kalau udah semuanya ditulis ulang, kemungkinan bakal diupdate dua kali seminggu. Pokoknya, sebelum akhir tahun, aku jamin, cerita ini udah bakal tamat. Ditunggu ya? And sabar
Selalu ditunggu karya-karyanya
ga sabar nunggu interaksi antara Lukas dan Satya,. Bakal kangen kalo misal cerita ni uda ending..
Iya , Mas... Kok ga dibales PM nya?hihihihiii....
Mungkin krn ada yg sama dgn masa lalu wlo dikit yg bikin sedih gitu, Mas.
(tapi bisa jadi tebakanku benar ) ) #menghibur diri )
Jangan bilang stefan juga belok ye @abiyasha.
Wa suka keputusan lo wat nutupin dari rena tentang benda2 dari lucas.