BoyzForum! BoyzForum! - forum gay Indonesia www.boyzforum.com

Howdy, Stranger!

It looks like you're new here. If you want to get involved, click one of these buttons!

Selamat datang di situs Boyzforum yang diarsipkan oleh Queer Indonesia Archive. Forum untuk komunitas gay Indonesia yang populer ini didirikan pada tahun 2003, dan ditutup pada tanggal 15 Desember 2020.

Forum ini diabadikan untuk kepentingan sejarah. Tidak akan ada konten baru di forum ini. Silakan menikmati forum ini sebagai potongan dari sejarah queer Indonesia.

TWENTY FOUR - THE END

1252628303157

Comments

  • Hai @Abiyasha ceritanya makin makin nih. Pak Stefan...halo salam kenal... :D
  • Gak nyangka kalo si bos itu masih lajang, hmmm... Dia gay bukan ya? Nanti tanyain ah..
  • Seharian baca dari awal sampai yang terakhir dan ceritanya makin seru aja nih mas @Abiyasha . Mantep deeh

  • SATYA : RENA'S THOUGHT



    September 2011…



    “He’s definitely gay.”

    Aku hanya mampu menaikkan alis mendengar ucapan Rena, ketika aku mampir ke kosnya setelah hampir sebulan kami sama sekali tidak saling bertemu. Rena sedang sibuk dengan laptopnya sementara sudah lebih dari sepuluh menit, aku merebahkan diriku di tempat tidur.

    “Kok bisa?”

    “Satya, alasan apalagi yang masuk akal kalau bos lo itu bukan gay?”

    Aku hanya mampu mengedikkan bahu. “Alasan Pak Stefan masuk akal kok. Orang Indonesia kan cenderung ingin tahu kalau masalah gituan.”

    “Satya, lo percaya deh sama gue. Cuman cowok gay yang bisa ngelakuin itu. Kalau bos lo itu straight, buat apa dia pakai cincin kawin palsu? Itu kan sama aja matiin pasaran dia. Lo memangnya nggak pernah kepikiran sampai kesana?”

    Aku menghela napas sebelum menggelengkan kepala. Sejak aku menceritakan perihal obrolanku dengan Pak Stefan malam itu, Rena meyakinkanku kalau Pak Stefan itu gay. Aku, tentu saja berusaha menyanggahnya habis-habisan karena itu sama sekali tidak mungkin. Alasan Pak Stefan cukup masuk akal dan bisa diterima. Tapi, Rena sepertinya bersikukuh bahwa Pak Stefan itu sama denganku.

    “Kalaupun Pak Stefan itu gay, bukankah dia harusnya tahu kalau di Indonesia ini sebagian besar orang kita masih homophobic? Kenapa dia nggak stay di Belanda? Disana, dia bisa jadi dirinya sendiri tanpa harus bohong ke siapapun.”

    Kami saling bertatapan dan mengenal Rena, aku tahu bahwa dia sudah lelah mendengar semua alasan yang aku pakai untuk tidak memercayai pendapatnya tentang Pak Stefan.

    “Satya, lo ini kadang naifnya keterlaluan ya? Bos lo itu pindah kesini pasti ada alasan kuat. Something you don’t know because he keeps it for himself. Dia mungkin nggak mau balik ke Indonesia tapi siapa tahu ada masalah atau sesuatu yang bikin dia harus balik kesini? Lo kan bukan sahabat deket dia yang tahu semuanya. Jadi, stop deh berargumen sama gue. Percaya gue kalau dia gay.”

    “We’ll see apakah prediksi kamu itu bener atau nggak.”

    “Ngeyel juga ya lo Sat?”

    “Gimana Joddi?”

    Aku menanyakan nama pria yang sempat diceritakan Rena beberapa minggu lalu. Pria yang menurutnya beda tapi membuatnya penasaran. Namun, sejak itu, Rena tidak pernah lagi mengangkat topik tentang Joddi. Aku hanya ingin tahu bagaimana hubungan dia sekarang dengan pria yang juga membuatku penasaran karena berhasil membuat seorang Rena penasaran. Well, alasan sebenarnya karena aku tidak mau membahas tentang Pak Stefan lagi.

    “He’s fine. Lo ngapain tanya-tanya tentang dia?”

    Aku bangkit dari posisi rebahanku dan menyandarkan punggungku di tembok. “Ya nanya aja. Kamu bilang dia bikin kamu penasaran, jadi, aku cuma mau tahu gimana sekarang kamu sama dia.”

    “Joddi masih lumayan sering BBMan, telepon kadang-kadang, udah, gitu aja. Gue juga biasa-biasa aja nanggepinnya.”

    “Yakin?”

    Aku mengajukan pertanyaan itu karena Rena jarang menyebut seorang pria dengan nama kecuali pria itu benar-benar mengusiknya. Dan jawaban yang diberikan Rena hanyalah tatapan yang sangat aku kenal, yang berarti “Shut up!” sebelum kembali menekuri laptopnya.

    “Cowok ini jelas bikin kamu penasaran, Rena. Kenapa harus gitu banget reaksi kamu? Nggak biasanya kamu begini kalau ada cowok yang bikin kamu penasaran.”

    “Udah deh Sat, palingan juga Joddi ini mau playing game aja sama gue. Kita liat deh ntar dan lo berani taruhan apa kalau gue bener?”

    “Nggak mau taruhan apa-apa.”

    Kami kemudian terdiam. Aku memandangi Rena, yang entah sedang sibuk melakukan apa, sambil berpikir tentang Joddi. It’s been more than a year since she had a boyfriend. Aku tahu, Rena bukan tipe yang bisa sendirian, apalagi lebih dari setahun. Pasti ada pria yang disukainya setahun belakangan ini tapi tidak diceritakannya padaku atau dia memang benar-benar belum menemukan siapapun. Mungkin Rena benar kalau Joddi ini hanya ingin playing game, tapi, siapa yang tahu kan? Mungkin saja Joddi ini pria yang akan bikin Rena head over heels.

    “Kamu pasti nyembunyiin sesuatu, Rena.”

    “Like what?” balas Rena tanpa mengalihkan pandangannya kepadaku.

    “I don’t know. Tentang Joddi atau tentang cowok lain yang kamu nggak ceritain ke aku.”

    Aku mendengar helaan napas Rena dan aku tahu, dia lelah aku seperti mencecarnya tentang Joddi. But, I need to know EVERYTHING. Aku tahu Rena pasti menyembunyikan sesuatu dariku.

    “Gue pasti cerita ke lo kalau ada cowok lain, Sat. Tapi, kalau memang nggak ada, gue musti cerita apaan ke lo? Lo sendiri gimana? Masih belum move on juga dari Lukas?”

    Kali ini, aku yang terdiam.

    Lukas…sudah lebih dari dua bulan dia meninggalkan Bali tapi aku masih belum juga bisa menyisihkan apa yang aku rasakan. Bahkan, bisa dibilang, kami cukup sering saling bertukar email ataupun saling mengomentari di Facebook. Namun, aku berusaha untuk tidak menerima panggilan Lukas melalui Skype karena melihat kembali wajahnya langsung di hadapanku, akan mampu membuatku kehilangan kendali diri. Akan terlalu menyesakkan melihat wajah pria yang aku cintai namun tidak bisa aku miliki. Bahkan, membiarkannya mengetahui perasaanku saja tidak mungkin.

    “Menurut kamu?”

    “Gue nanya lo, Satya. Kalau gue tahu, ngapain gue nanya?”

    “Aku masih belum bisa move on, Rena and please, don’t tell me it’s wrong.”

    Ucapanku itu berhasil membuat Rena memandangku. “Mau sampai kapan?”

    “Nggak tahu. Sampai ada cowok lain yang bisa bikin aku jatuh cinta.”

    “Kapan itu Sat? Sepuluh tahun lagi?”

    “Nggak perlu sarkastis gitu lah, Rena. I need time. Dan ini juga baru dua bulan Lukas pergi dari Bali.”

    “Gue kira bakal lebih gampang buat lo move on karena Lukas udah nggak disini, ternyata gue salah. Lo masih ngarepin dia atau gimana sih Sat?”

    Ada nada tidak sabar dalam suara Rena. Seperti geregetan mengetahui bahwa setelah kepergian Lukas dan kenyataan bahwa hampir enam bulan sejak Rena memberitahuku tentang status Lukas, aku belum juga bisa melepaskan Lukas dari hatiku.

    “Kamu kan nggak bisa maksa aku buat ngelupain dia, Rena.”

    “Siapa yang bilang gue maksa lo, Sat? Gue cuman heran aja sama lo. Udah jelas-jelas lo tahu Lukas itu straight, bahkan udah lama gue ngasih tahu lo tentang itu dan udah dua bulan lebih Lukas pergi, tapi lo tetep mikirin dia. Nggak salah dong kalau nanya apa lo masih ngarepin dia atau nggak.”

    “Kamu tahu kalau aku bukan tiipe yang gampang buat move on.”

    “Buktinya, lo move on cepet kan dari Patrick?”

    Aku terdiam. Pernyataan Rena memang benar. Jarak antara aku jatuh cinta dengan Lukas setelah hubunganku dan Patrick berakhir memang singkat, namun, aku punya alasan untuk segera move on dari Patrick.

    “Itu beda Rena.”

    “Gue rasa, lo cuman pengen nyiksa diri lo sendiri, Sat.”

    “Dan itu jadi urusan kamu karena?”

    Aku tidak suka arah pembicaraan kami saat ini. Rena tahu, Lukas adalah topik sensitif untukku. Dia tahu aku menyimpan perasaan khusus terhadap Lukas tapi Rena seperti berusaha untuk membuatku melupakan Lukas secepatnya. Kenapa?

    “Satya, lo tahu gue sayang sama lo, gue peduli sama lo. Gue cuman nggak mau lo terjebak sama perasaan lo ke Lukas yang bisa bikin lo jadi nutup diri sama kemungkinan cowok lain yang pengen deket sama lo. Gue cuman pengen lo bahagia dan jatuh cinta sama orang yang tepat. Lukas jelas bukan orang yang tepat buat lo dan dia nggak bisa bikin lo bahagia.”

    Sekuat apapun aku ingin menyanggah ucapan Rena, apa yang dia ucapkan itu memang benar. Tapi, apa yang bisa aku lakukan? Aku tidak mau memaksa diriku untuk melupakan Lukas karena aku tahu, memaksa Lukas untuk segera pergi dari hatiku akan membuatku semakin sulit untuk melupakannya. Aku hanya perlu waktu. Hanya itu.

    “I just need time, Rena.”

    “Gue ngerti tapi harus ada yang ngingetin lo biar alasan waktu itu nggak jadi alasan buat lo nyimpen perasaa lo ke Lukas lebih lama. Dan gue nggak bakal bosen jadi orang itu. Mungkin gue kedengeran nggak punya hati, tapi, ini semua juga demi lo sendiri, Sat.”

    Kami saling bertatapan. Kali ini, aku hanya menganggukkan kepala.

    Rena hanya ingin aku bahagia dengan melupakan Lukas dan membiarkan pria lain, siapapun itu, tidak menyimpan keraguan ataupun ketakutan kalau mereka ingin mengenalku lebih jauh. Aku harusnya berterima kasih sama Rena. Mungkin, ego untuk mempertahankan perasaanku ke Lukas masih cukup besar sehingga aku membiarkan harapan yang masih tersisa mengenai Lukas, membutakanku dari kenyataan yang jelas terlihat di hadapanku.

    “I know.”

    “Kenapa lo nggak coba deketin bos lo? Siapa tahu dia bisa jadi cowok buat gantiin Lukas. Dia juga nggak tua-tua amat. Lo belum pernah kan pacaran sama cowok yang usianya udah 40an?”

    Kali ini, aku melempar bantal berbentuk hati ke arah Rena begitu dia menyelesaikan kalimatnya. Kalimat yang baru saja diucapkannya membuatku tertawa karena tahu bahwa itu adalah sesuatu yang tidak mungkin aku lakukan. Rena bukan hanya memberi ide yang sangat konyol, namun juga absurd.

    “Stop it, Rena!”

    Dan dalam waktu singkat, kami seperti melupakan sedikit ketegangan yang sempat terjadi dan membiarkan acara saling melempar bantal ini jadi sebuah pelampiasan.

  • SATYA : TRIBUTE NIGHT



    October 2011…



    RETRO penuh malam ini. Tidak ada satupun meja yang kosong.

    Pak Stefan menggelar The Beatles’ Tribute Night : Abbey Road untuk merayakan 42 tahun dirilisnya album Abbey Road di US. Pak Stefan juga mengundang beberapa band untuk mengisi malam ini, karena aku tidak mungkin mengisi malam ini seorang diri. Kami akan menampilkan semua lagu dari album itu sesuai dengan urutan playlist, dengan Come Together sebagai lagu penutup, sekalipun di albumnya sendiri, lagu itu justru menjadi pembuka. Meskipun begitu, aku mendapat kesempatan untuk membuka malam ini dengan Something, sebelum nanti menyanyikan The Golden Slumbers Medley, lagu ke-8 sampai ke-10 di B-side dan menutupnya dengan Come Together bersama dengan vokalis-vokalis band pengisi malam ini.

    Aku melihat Rena ada diantara pengunjung dan aku melambaikan tangan kearahnya. Pria yang bersamanya pastilah Joddi, karena kemarin lusa, Rena bilang bahwa dia akan datang bersama seseorang, tapi tidak memberitahuku siapa orang itu. Pikiranku sempat berpikir bahwa orang itu Lukas, namun, aku segera sadar bahwa Lukas tidak mungkin kembali ke Bali secepat ini, lagipula, dia pasti akan memberitahuku. Aku hanya tersenyum mengetahui bahwa seseorang itu adalah Joddi. Rena belum menceritakan kepadaku lebih jauh tentang hubungannya dengan Joddi setelah obrolan di kamar kosnya bulan lalu. Aku yakin, setelah malam ini, dia akan menceritakan semuanya.

    Begitu aku menyelesaikan Something, masih dengan iringan tepuk tangan dari penonton dan acungan jempol serta senyum lebar dari Pak Stefan, aku menghampiri Rena, yang menyambutku dengan senyuman dan mengulurkan kedua lengannya. Kami berpelukan dan entah kenapa, aku merasa kehadiran Rena menyelamatkanku dari rasa kikuk dan canggung karena belum pernah RETRO penuh seperti malam ini.

    “Penampilan lo vintage banget sih, Sat.”

    Aku menatap Rena sambil menggelengkan kepalaku. “Ini RETRO, Rena dan ini tribute night buat The Beatles, apa yang kamu harapkan selain something old?”

    Rena tertawa. “Tapi, as usual, gua bangga sama performance lo barusan. Nendang!”

    Aku mengarahkan pandanganku ke Joddi, yang sepertinya menunggu untuk diperkenalkan kepadaku.

    “Oh ya, Sat, kenalin, ini Joddi. Joddi, ini Satya, sahabat gue yang suka nyanyi dan keren banget kalau udah main gitar.”

    Kami bertiga tertawa mendengar ucapan Rena.

    “Satya,” ucapku sambil mengulurkan tangan.

    “Joddi,” jawabnya membalas uluran tanganku. “Bener kata Rena, Satya. Penampilan kamu tadi memang bener-bener keren.”

    “Thanks.”

    “Kamu nyanyi lagi kan nanti?”

    Aku menganguk. “Jangan kemana-mana ya kalian? Awas kalau nggak disini sampai kelar.”

    “Eh, mana bos lo, Sat? Gue pengen liat,” bisik Rena sambil mengedarkan pandangannya.

    Aku menghela napas dan menatap Rena, berharap dia tidak mengangkat topik tentang Pak Stefan yang menurutnya gay. Namun, Rena hanya memberikan ekspresi “So what?” nya itu. Aku kemudian mengedarkan pandanganku ke kerumunan pengunjung untuk mencari Pak Stefan. Begitu menemukannya, aku mendekatkan tubuhku ke Rena.

    “Yang pakai kemeja biru dan berdiri di samping jukebox,” ucapku sambil mengarahkan pandanganku ke Pak Stefan, yang terlihat cukup serius berbincang dengan seorang pengunjung.

    “Not bad, Sat.”

    Aku hanya menatap Rena dengan tatapan bingung.

    “Maksud kamu?”

    Rena menatapku. “Lo masih perlu penjelasan dari gue?”

    Kami terdiam selama beberapa saat sebelum akhirnya aku menatap Joddi.

    “Semoga suka dengan RETRO, Joddi. Rena belum pernah kesini karena menurutnya cafe ini terlalu kuno.”

    Joddi tertawa. “Menurutku, temanya justru brilian, Satya. Apalagi tribute night ini, aku yakin, dengan penampilan kamu dan band-band lainnya, yang belum jadi fans The Beatles, akan jadi fans.”

    Aku tersenyum.

    “Ya udah, aku kesana dulu ya? Siapa tahu ada yang mau ditambahin Pak Stefan nanti. Kalian jangan kemana-mana.”

    Rena hanya mengangguk sambil menepuk pundakku, sementara Joddi hanya memberikan senyumnya.

    Aku berniat untuk menemui Pak Stefan, hanya sekedar ingin bertanya apakah ada perubahan untuk penampilanku selanjutnya. Beberapa hari menjelang Tribute Night ini, aku memang merasa sedikit jauh lebih gugup. Pak Stefan bahkan beberapa kali mengatakan kepadaku hari ini, ketika aku sedang latihan, bahwa penampilanku sudah lebih dari bagus dan meyakinkanku agar tidak khawatir. Tapi, tetap saja aku merasa gugup.

    Ternyata, Pak Stefan sudah beranjak dari tempat aku melihatnya terakhir kali. Kemana?

    Aku mencari Pak Stefan diantara kerumunan pengunjung RETRO tapi tidak menemukannya. Octopus’s Garden sedang mengalun dan kakiku segera menuju ke ruangan Pak Stefan. Pasti Pak Stefan ada disana.

    Ketika aku berniat mengetuk pintu Pak Stefan yang sedikit terbuka, langkahku terhenti. Tubuhku seperti mati rasa.

    “You know I still love you, Stefan. Why can’t you give me a second chance?”

    “You know I can’t give you that, Jake. It’s over between us and please, let me move on with my life here. I have no intention to go back to Holland.”

    “Do you have someone here?”

    “Even if I do, it’s none of your business. We’re done, Jake.”

    “Tell me you don’t love me anymore, Stefan.”

    “I don’t, Jake and you know really well that it’s not just about that. You betrayed my trust and that means you betrayed my love, you betrayed our relationship. And I have enough of that. You can’t get that back from me.”

    Aku hanya mampu menelan ludah mendengar semua obrolan itu.

    Pak Stefan…

    Aku membalikkan tubuhku untuk segera menjauh dari obrolan antara Pak Stefan dan Jake. Apa yang aku lakukan, menguping pembicaraan mereka adalah sesuatu yang salah. Aku tidak berhak mendengarnya.

    “Satya?”

    Aku menghentikan langkahku, namun tidak berani membalikkan tubuhku. Bagaimana aku menjelaskan ke Pak Stefan bahwa aku tidak bermaksud menguping pembicaraannya? Bagaimana aku menjelaskan keberadaanku disini? Aku yakin, Pak Stefan tidak akan percaya begitu saja, sekalipun aku menjelaskan alasan sebenarnya aku berada disini.

    “Saya harus siap-siap Pak. Permisi.”

    Aku mempercepat langkahku agar bisa segera beranjak dari Pak Stefan dan segera menuju ke toilet untuk menenangkan diriku. Fakta yang baru aku dengar bukan hanya membuatku terkejut, namun juga membuatku teringat ucapan Rena. Bagaimana mungkin feeling Rena benar tentang Pak Stefan? Ini tidak mungkin, elakku. Apa yang aku dengar tadi pastilah tidak benar. Pasti ada yang salah dengan pendengaranku. Pak Stefan tidak mungkin gay.

    Begitu aku sampai di toilet, yang kebetulan kosong, aku langsung membasuh muka dan menatap bayanganku di cermin, seperti ingin menghapus apa yang baru aku dengar. Bahkan, ketika air dingin masih menetes dari wajahku, aku masih bisa dengan jelas mendengar percakapan Pak Stefan dengan Jake. Aku tidak mungkin melupakan ataupun menghapus apa yang sudah aku dengar.

    “Tenang, Satya. Calm yourself.”

    Aku menelan ludah sebelum menarik napas dalam. Berusaha untuk menetralkan emosiku serta berusaha untuk tidak memikirkan ucapan Rena. “He’s definitely gay” kalimat itu terngiang terus di telingaku. Apa yang akan Rena katakan kalau tahu bahwa feelingnya benar tentang Pak Stefan?

    Pintu toilet terbuka dan aku melihat Pak Stefan berdiri diambang pintu. Aku tidak bisa membaca ekspresi wajahnya. Yang aku tahu, kami saling bertatapan selama beberapa detik.

    “Saya bisa menjelaskan semuanya, Satya. Kamu tidak perlu kabur seperti itu.”

    Aku hanya terdiam. Memikirkan kalimat apa yang pantas aku ucapkan untuk membalas kalimat Pak Stefan tanpa harus menyinggungnya. Aku yakin, Pak Stefan pasti berpikir kalau aku homophobic. Namun, aku masih belum mampu menjelaskan apapun untuk saat ini. Mengenai keberadaanku disana, apalagi mengenai alasanku bersikap seperti ini. Tidak seharusnya aku bersikap seperti ini.

    “Mungkin sekarang bukan saat yang tepat, Pak. Saya harus siap-siap.”

    Aku segera meraih toilet paper yang ada di dekatku dengan sedikit kasar sebelum menggunakannya untuk mengeringkan wajahku dan melangkahkan kakiku untuk segera keluar dari toilet.

    Namun, ketika langkahku hampir mencapai pintu, Pak Stefan meraih pergelangan tanganku. Kami saling bertatapan.

    “Saya janji akan menjelaskan semuanya, Satya.”

    “Pak Stefan tidak punya kewajiban untuk itu. Tidak seharusnya juga saya ada disana. Dan tidak seharusnya saya bersikap seperti ini.”

    “Saya tahu kamu pasti kaget.”

    Aku hanya mampu menelan ludah. “Saya harus siap-siap Pak.”

    Pak Stefan mengendurkan pegangan tangannya dan aku segera melepaskan diriku dari pak Stefan dan keluar dari toilet.

    What was that?

    Sejak aku bekerja di RETRO, tadi adalah jarak terdekatku dengan Pak Stefan. Ada terlalu banyak pertanyaan yang menghinggapiku saat ini dan aku tidak mau memikirkan jawabannya. Aku harus fokus pada penampilanku sebentar lagi. Bukan pada fakta bahwa Pak Stefan adalah seorang gay, bukan pada percakapan yang aku dengar antara Pak Stefan dan Jake, dan bukan pada obrolan singkatku dengan Pak Stefan.

    Aku menghentikan langkahku, menarik napas dalam sebelum kembali berada diantara kerumunan pengunjung RETRO yang sepertinya, sudah menunggu penampilan selanjutnya.

    It’s show time!
  • 059.gif,


    @raroma : Thank you!!

    @Kim_Kei : pertanyaan kamu udah terjawab kan? :)

    @faghag : Tinggal sekitar 14an chapter sih, either nanti dpost seminggu dua kali atau tetep seminggu sekali tapi dua chapter sekaligus. I prefer the latter though :)

    @masdabudd : Tebakan mana sih yang meleset? Kasih tahu dong :p

    @arieat : Penasaran kamu tentang Pak Stefan terjawab sudah :)

    @tyo_ary : Hahaha. Setiap kali bikin adegan yang isinya ngobrol2 doang, selalu keinget Before series, mulai Sunset, Sunrise sampai Midnight. Pengen banget bikin novel kayak gitu (tapi pasti bakal boring abis ya? hehehe)

    @Adam08 : Bisa jadi apanya? hahahaha

    @yubdi : Hihihihi, iya. Silakan ditiru :p

    @kiki_h_n : kok kamu jadi ngedukung Rena sih? *heran kalau ada yg nggak benci sama dia* :p

    @tialawliet : Hahahaha. Tetep ya? emosi :D

    @caetsith : Hahaha, kamu tahus sendiri, aku nggak suka drama2 sinetron gitu :p So, be ready to be disappointed ya? hihihihi

    @andhi90 : Semoga saja :)

    @chandisch : Iya, salah satu lagu paling romantis yg pernah ada, tapi tetep versi aslinya yg paling nendang :)

    @adam25 : Nikmatin aja ya? when you get older, life is not that simple anymore :)

    @somewhereouthere : Iya, semoga happy ending ya? #loh

    @RifqiAdinagoro : hahahaha, bahasamu itu lho, holistik, ckckckck. Aku sih nggak pernah maksa ya kalau buat nulis. Kalau memang lagi nggak mood ya nggak nulis, just because banyak yg minta update terus aku pakasin buat nulis. Every story that I write is like my baby. I have to be careful in taking care of my baby, right? :) Ah, masak sih iya fansnya makin banyak? yg komen juga kalian2 doang tuh :p

    @YuuReichi : Iya, aku memang suka lagu2 dan film lama. Part of my unique personality, I guess #halah :p Tapi, memang film2 sama lagu2 lama itu punya magis tersendiri. Susah kalau dijelasin kenapa suka :)

    @kyiskoiwai : Udah nggak curiga kan sekarang? ;)

    @DiFer : ;)

    @DM_0607 : hahahaha, iya, bisa-bisa Rena bilang kalau kado dari Lukas pas ultah dia juga sama :D

    @marobmar : Yep!

    @Emtidi : Emang, kalau komen harus pakai inspirasi ya? ya, aslakan nggak pakai konspirasi hati aja ya? #eh #loh

    @DarrenHat : makin2 apa nih? :)

    @Zhar12 : Udah, nggak usah ditanyain. Kan udah ketahuan :p

    @cmedcmed : Thank you!! :)


    @the_angel_of_hell @rarasipau @hwankyung69 @steve_hendra @Klanting801 @honest @WinteRose @alvian_reimond @bebong @fenan_d @iboobb7 @totalfreak @sky_borriello @chaliszz @bponkh @zackattack @Venusalacca @st34dy @pokemon @LordNike @obay @iboobb7 @adzhar @yuzz @Adra_84

    Maaf yg belum ke mention ya? keterbatasan dan kemalasan ada pada penulis untuk buka2 page sebelumnya :p
  • pertamax!

    diamankan ;)

    itu loh om, ttg pak stefan :) ternyata rasa penasaranku cukup beralasan kan?
  • Lukasssss...
    Kangen.. :(
  • OMG! OMG! OMG! Benerkan kataku? *maksud lo?*
    oh iya, sorry gk komentar di chap sebelumnya :) btw, How about Lukas now?
  • I have to say that conversation between Rena and Satya is a lil bit boring, but that's fine i enjoy it though.
    However, u never mention so far? Very good for a loyal reader like me huh.
    Don't forget me next. :D
  • I hate Jake. I mean, the name 'jake'. Sounds shit for me. LOL
  • wkwkwk.. Bener dugaan gw kalo pak stefan belok juga :D | dan sekarang gw penasaran apa pak stefan ada rasa ama satya? :p | kangen lukas :'(
  • renaaa... \nn/
    ngedukung rena karna keteguhan hatinya, hihi.

    huahhhh... 2 part sekaligus. tp curiga deh. mas iyas mau liburan lama yah?
    eh joddi ada lagi, udah rena ma joddi aja. kayaknya dia baik deh.
  • Meuni penasaran sama Pak Stefan, dewasa dan ganteng, mmmmmmmmmmm. Untung Jake bukan Joddi, hihihihi... Feel Satya juga dapat banget nih mas, kalem dan dewasa dalam berpikir/bertindak.
  • Harus dong bli @abiyasha.
    Beuh, konfliknya nambah, yak... Heheheh. Ditunggu kelanjutannya bli!!
Sign In or Register to comment.