It looks like you're new here. If you want to get involved, click one of these buttons!
Copyright 2021 Queer Indonesia Archive. See our Privacy Policy. Contact us at [email protected]
Dengan menggunakan situs ini berarti Anda setuju dengan Aturan Pakai.
BoyzForum.com adalah situs anti pedofilia!
Comments
makasih yooo udh nepatin janji mau bkin cerita lagi.
aahhh kangen adniel levi jadinya. hehe
Sankyuu ne udah dimention. ^ ^
Kalo gak dimention gak bakalan tau @rieyo626 publish cerita baru. #hug
@rieyo626-san:
Ini YJ couple itu kan Rie-san?
Keren2. Kira2 yg Begin ada rencana dibuat kayak gini juga gak Rie-san??
Keep writting n ditunggu lanjutannya.
= = = = =
PART 2
“Mereka ngediemin gue, Kak” Angky menyebutkan kesimpulan dari pembicaraan panjang lebarnya. Dia mendesah pelan, lalu mengambil cangkir kopi di hadapannya. Dia dan Kak Tony memang sedang sarapan bersama di sebuah café, di kawasan Kemang.
Kak Tony terdiam sesaat memandang juniornya itu, dia bisa merasakan apa yang Angky rasakan sekarang. Meski wajah tampan itu berusaha menunjukkan senyuman, tapi dia tahu pikiran kalut macam apa yang dimiliki Angky sekarang. Dia juga pernah melewatinya. Jangan sampai Angky ingin berpikir yang tidak-tidak juga sepertinya dulu.
“Tapi setidaknya, mereka gak bilang kalo mereka benci lo, kan?”
“Gue justru jadi banyak berprasangka buruk dengan sikap diam mereka. Gue ngerasa mereka sedang perlahan-lahan menjauhi gue” ujar Angky masih sambil mengamati kopi di dalam cangkirnya.
“Ya, kita emang gak bisa langsung mengira kalau mereka baik-baik aja…” kata Kak Tony, mencoba tetap tenang. Dia memang ingin membuat Angky tak merasa putus asa, tapi dia juga tak boleh terlalu memberikan harapan-harapan yang mulus dan indah untuknya. Semua itu agar Angky lebih terbiasa dan lebih kuat nantinya. Kehidupan mereka bisa dibilang tak akan semudah kehidupan orang-orang lainnya.
“Gue juga… udah bukan direktur lagi”
“Eh?” Kak Tony, tak jadi meminum kopinya begitu mendengar lagi perkataan Angky.
“Ayah melakukan yang harus dilakukannya” gumam Angky pelan. Kalau mengingat semua keadaan sekarang, sebenarnya memang sangat melukai hatinya. Tapi Angky selalu mencoba bersikap kalau dia tidak apa-apa. Dia tetap pergi ke kantor dan tetap menempati ruangan direktur, meski dia tidak banyak melakukan pekerjaan. Hanya beberapa kali saja dia perlu berbicara dengan rekan bisnisnya, selanjutnya dia harus menyerahkan semua pada Galang. Mungkin rasanya jadi lebih ringan, tapi dia seolah tak berguna.
Kak Tony mengulurkan tangan dan menggenggam tangan Angky yang berada diatas meja. Dia menepuk-nepuknya, memberikan kekuatan.
“Lo pasti bisa melewati semua ini”
“Gue ngerasa konyol, Kak…”
“Nggak, ini nggak konyol, meski gue juga agak penasaran sama apa yang udah membuat lo akhirnya berubah pikiran. Yang penting, lo udah melakukan sesuatu yang bisa membuat lo lebih baik nantinya. Akuin deh, kalau lo merasa lebih lega sekarang, iya kan?”
Angky memandang teman baiknya sambil mencerna perlahan
semua perkataan Kak Tony yang selalu bisa menenangkannya.
“Ya, gue emang ngerasa lebih lega…” jawab Angky sambil menganggukkan kepalanya, pelan. Itu memang harus ia akui, walau kecemasan masih tak mau lepas darinya. Sekarang apa? Dia sudah jujur pada keluarganya, hanya karena dengan bodohnya dia jatuh cinta pada seseorang yang baru sekilas dia kenal. Dia akhirnya menemukan alasan untuk mengorbankan dirinya, tapi untuk apa? Bukankah seharusnya dia bisa mendapatkan apa yang dia inginkan setelah dia begitu berani mengecewakan keluarganya?
Angky kemudian menghela nafas dan kembali meminum kopinya.
“Mas Tony!?”
“Oh Ezra!”
Nyaris saja Angky memuntahkan kembali kopi yang sudah masuk ke mulutnya ketika dia melihat Kak Tony tiba-tiba membalas sapaan seseorang sambil melambaikan tangan. Angky mengusap mulutnya dengan tissue dan menoleh hati-hati, melihat 2 orang pria menghampiri meja mereka.
Damn, itu memang Ezra yang selama ini mengaduk-ngaduk pikiran juga perasaannya – dia datang bersama laki-laki yang berada di club malam itu. Benar dugaaannya, mereka bukan hanya sekedar mengenal di club, ada hubungan yang lebih dekat diantara keduanya.
“Oh kalian sarapan disini juga?” Kak Tony berbasa-basi, mereka memang tampak sudah sangat saling mengenal.
“Ya, sebelum pergi kerja” sahut Ezra, berdiri di dekat meja Kak Tony dan Angky sementara temannya tadi langsung memesan ke counter. Tampaknya, mereka akan membawa sarapan itu karena tidak segera menempati meja lain.
Ezra melihat pada Angky yang berpura-pura tak menyadarinya. Tadi mata mereka memang belum sempat bertabrakan.
“Eh? Elo—“ sapa Ezra tiba-tiba, langsung mengenali Angky.
Perlahan Angky melihat padanya, berusaha untuk tidak terlihat gugup. Ezra tersenyum lebar.
“Ternyata emang bener lo… Angkasa. Masih inget gue?” kata Ezra lagi, dengan nada suara yang agak ragu ketika berusaha menyebutkan nama Angky.
Angky sudah sedikit tersenyum, namun perlahan nyaris memudar lagi karena Ezra menyebutkan nama yang keliru. Dia jadi bingung, tapi tak sampai hati untuk meralatnya. Mungkin Ezra memang salah menyebut saja, dia mencoba berpikir positif.
“Y-ya, tentu, Ezra” jawab Angky akhirnya. Dia melirik sekilas pada Kak Tony yang tampak lebih bingung.
“Ah senengnya lo masih inget gue” ujar Ezra lagi. Dia tersenyum gembira, juga pada Kak Tony yang hanya balas tersenyum, masih tak mengerti.
Temannya kemudian datang setelah selesai dengan pesanan. Mereka pun berpamitan pada Kak Tony.
“Angkasa, sampai ketemu lagi di club ya!” kata Ezra pula sambil melambaikan tangan setelah temannya berlalu lebih dulu.
Angky hanya balas melambaikan tangan dengan senyuman kaku di wajahnya.
“Shit” kutuk Angky kemudian, pelan.
Kak Tony menyimpan cangkir kopinya dan mengusap bibirnya dengan tissue.
“Angkasa?” katanya, tak bisa lagi menahan penasaran.
Angky memandang datar pada seniornya itu. Dia tak tahu harus mulai menceritakannya dari mana.
“Ah, dia kayaknya gak inget nama lo dengan bener” lanjut Kak Tony pula. “Kapan lo kenalan sama dia?”
“Beberapa minggu yang lalu, waktu pertama kali lo ajakin gue ketemu di club”
Kak Tony tertawa kecil, dan langsung menahannya, merasa tak enak pada Angky yang sekarang terlihat sangat kesal.
“Si Ezra emang agak pelupa” kata Kak Tony. Angky memutar bola matanya.
“Huh, apa karena udah kelamaan? Gue aja masih inget baik-baik nama dia” gerutu Angky.
Kak Tony tersenyum lagi, menutupi tawanya.
“Nggak, bukan karena udah lama, tapi dia emang pelupa. Kalian harus sering ketemu dan lo harus betulin dia kalo dia salah nyebut nama lo. Baru dia akan inget dengan bener” jelasnya.
Angky mendengus pelan. Dia tahu apa artinya itu. Bukan karena pelupa, tapi mungkin karena terlalu banyak orang yang Ezra ajak berkenalan selama semalam.
“Dia cowok yang baik, ganteng dan selalu bikin nyaman siapapun yang ada di deket dia” ujar Kak Tony pula.
Angky memperhatikan senyuman Kak Tony yang terlihat seperti sedang membayangkan hal indah. Jangan bilang, teman baiknya ini juga jatuh cinta pada Ezra?!
“L-lo suka sama dia, Kak?” tanya Angky agak ragu.
“Of course!” jawab Kak Tony cepat. Dia tersenyum penuh arti pada Angky. “Siapa yang gak akan suka sama cowok kayak dia… hm?”
Angky mengangguk pelan, merasa lega diam-diam. Kak Tony melihat Ezra dari sisi orang pada umum nya. Itu benar sekali, siapa orang yang begitu bodoh sehingga bisa tidak menyukai seorang Ezra?!
“Lo juga suka sama dia, kan?” Kak Tony balik bertanya.
“Iyalah—“ Angky menghentikan sendiri jawabannya, yang tak sadar keluar begitu saja dari mulutnya.
Kak Tony tertawa. Dia memang sudah menduganya.
“Ma- maksud gue…” Angky mencoba mengelak, tapi dia bisa merasakan hangat di wajahnya. Pipinya pasti sudah memerah, percuma dia berbohong.
“I see, Ky… I see…” ujar Kak Tony, menunjukkan kalau dia sudah paham.
“Argh” Angky menggerutu sambil agak mengacak rambut lurusnya. “Gue emang gak pernah bisa rahasiain apapun dari lo, Kak…” kata Angky lagi sambil kembali memandang Kak Tony dengan serius.
“Hm?” Kak Tony mengangkat kedua alisnya masih sambil tersenyum, menunggu Angky melanjutkan.
“Gue- gue jatuh cinta sama dia”
Senyuman Kak Tony memudar dan kali ini dia seperti memandang teman baiknya itu, tak percaya. Untuk pertama kali setelah selama 7 tahun lebih mereka berteman, baru kali ini Kak Tony mendengar kalimat itu terucap dari bibir Angky. Dan apa mungkin karena ini Angky akhirnya ingin membuat keluarganya tahu?
“Ky…” kata Kak Tony.
Angky hanya bisa mengalihkan pandangannya, merasa malu ditatap seperti itu oleh Kak Tony.
“Gue tau gue emang konyol, Kak. Gue cuma kenal dia selama beberapa menit… bahkan dia gak inget nama gue dengan bener. Terus, siapa yang tahu kalau dia sama cowok tadi juga adalah—“
Angky tak melanjutkan kalimatnya dan entah untuk keberapa kali, hanya menghela nafas berat.
Kak Tony lebih mendekatkan badannya ke meja, untuk berbicara lebih serius lagi padanya.
“Gue seneng akhirnya lo jatuh cinta sama seseorang, Ky. Tapi Ezra itu… dia—“
“Gue tau, Kak. Gue mungkin udah suka sama orang yang salah” sela Angky, mendadak emosi.
“Nggak. Dia orang baik, cuma—“
“Dia udah punya pacar, gue tau…“ sekali lagi Angky menyela.
“Bukan!” kali ini Kak Tony pun menyela Angky dengan tak sabar. Dia nyaris berseru, tapi kemudian memelankan lagi suaranya. “Kalau lo pikir cowok tadi itu pacarnya, lo salah. Mereka cuma sahabatan sejak kecil, cinta Ezra cuma bertepuk sebelah tangan…”
“Gue pernah liat mereka ciuman, Kak” Angky masih bersikeras.
“Mereka emang sering kayak gitu. Tapi gue yakin banget, si Kei itu gak pernah suka sama Ezra lebih dari sahabat. Dia suka sama orang lain, yang sampe sekarang belum bisa dia lupain” cetus Kak Tony.
Angky pun terdiam. Perlahan kerutan muncul di keningnya.
“Jadi maksud lo, cowok yang namanya Kei itu… dia cuma…”
Kak Tony mengangkat kedua bahunya dan menyandarkan lagi punggungnya ke kursi.
“Dia mungkin cuma memanfaatkan kebaikan Ezra. Dia membutuhkan orang yang bisa bikin dia nyaman, setelah cintanya gak pernah tercapai.Kedengarannya emang buruk, tapi percaya atau nggak – Ezra gak keberatan sama keadaan itu”
Angky semakin termangu, tak menyangka kalau ceritanya akan sepelik itu. Kak Tony menghela nafas.
“Jadi, gue cuma gak mau lo terluka sama perasaan lo sendiri. Ezra… mungkin gak akan mudah suka sama orang lain lagi. Kalaupun dia seperti ramah, baik, bahkan ngegodain lo, itu bukan berarti dia menginginkan hubungan yang serius. Dia udah sangat terikat dengan perasaannya sama Kei” tambah Kak Tony.
Angky lebih terdiam lagi. Dia menyandarkan juga punggungnya ke sandaran kursi. Kedua tangannya dia lipat di depan dada, pikirannya semakin berkecamuk. Ok, rasanya akan menjadi lebih baik kalau misalnya Ezra memang memiliki hubungan yang jelas dengan orang itu. Tapi apa ini? Ezra berada di dekat orang itu hanya karena sudah terlanjur jatuh cinta, meski perasaannya tak terbalas, dia tetap setia.
So damn stupid, pikir Angky. Dia sungguh tak menyangka pria club seperti Ezra, yang dia pikir adalah seorang playboy, ternyata hanyalah laki-laki bodoh biasa yang tak bisa melepaskan perasaannya pada orang yang tak mau membalas perasaannya.
Lalu bagaimana dengan dirinya? Bukankah sejak pertemuan waktu itu hingga hari ini, dia pun jadi mengalami cinta yang bertepuk sebelah tangan kepada Ezra?
No shit.
Angky memejamkan matanya sesaat. Dia tak mau keadaan yang seperti ini, apalagi setelah dia memutuskan untuk menerima kehidupan yang memang dia inginkan. Benarkah tidak ada jalan baginya untuk bahagia… bersama Ezra? Dia tak mau lekas yakin, tapi kekuatan takdir yang dia rasakan diantara dirinya dan Ezra, sepertinya memang tidak main-main.
Perkenalan singkat waktu itu sungguh bukan perkenalan biasa baginya.
- - - - -
Suasana sore di rumah Angky jadi tak terasa menyenangkan lagi baginya. Setelah pengakuannya waktu itu, dia dan keluarganya memang tetap makan malam bersama tapi dengan suasana dingin yang seumur hidup tak pernah Angky rasakan sebelumnya. Itu sebabnya, Angky memutuskan untuk tidak pulang dari kantor ketika sore dan memilih pergi kemanapun asal tidak berada dirumah sampai waktunya tidur. Dia merasa keluarganya tak nyaman dengan keberadaannya dan mungkin juga dirinya bertingkah seperti seorang pengecut.
Namun sore ini, rasanya dia merindukan kedua kakaknya juga keponakannya. Dengan langkah ragu-ragu, Angky pun turun dari kamarnya setelah beberapa saat lalu dia kembali dari kantor, mandi dan mengganti pakaiannya dengan pakaian santai yang biasa dia pakai ketika dirumah. Dia ingat perkataan Kak Tony, kalau dia harus tetap menyesuaikan diri dengan keluarganya – bagaimanapun reaksi yang mereka beri. Siapa tahu perlahan-lahan itu bisa meluluhkan mereka dan siapa tahu juga kalau sebenarnya mereka tak membencinya, namun hanya membutuhkan waktu.
“Cilla…” sapa Angky pada keponakannya yang seperti biasa di dudukkan di karpet di ruang tengah rumah mereka. Bayi cantik itu sedang bermain-main dengan mainan yang sengaja disebarkan Kinanti di dekatnya. Sementara kakak pertama Angky itu tengah membantu Kirani untuk menyiapkan makan malam. Angky memang sudah tak berani untuk berkumpul dengan mereka sejak hari itu. Dia pun tak mengerti kenapa semuanya bisa berubah dengan begini drastis. Dia ingin menyesal, tapi rasanya terlalu sia-sia.
“Kamu baru pulang, Ky?” tanya Kinanti yang tiba-tiba muncul dari dapur dan langsung menghampiri Cilla. Dia bertanya tanpa melihat pada adik laki-lakinya itu, pertanyaannya terasa sekali hanya sekedar basa-basi.
“Iya Mbak. Pekerjaanku selesei lebih cepet terus aku pengen makan dirumah” jawab Angky, berusaha bersikap senormal mungkin. Dia tak peduli kalau jawabannya itu terdengar seperti alasan, karena kakaknya pasti tahu kalau dia sudah bukan direktur lagi di perusahaan milik ayah mereka dan tidak memiliki banyak pekerjaan hingga membuatnya jadi jarang makan malam dirumah.
“Oh” gumam Kinanti pendek. Dia menggendong Cilla, setelah merapikan mainan puterinya. Angky memandang bingung, karena sejak tadi dia sedang bermain dengan Cilla, tapi tiba-tiba Kinanti membawa Cilla pergi begitu saja.
“Ran, Mbak mau nidurin Cilla sebentar ya” kata Kinanti pula sambil membawa bayi itu menuju kamarnya.
Cilla tampak agak meronta ketika dibawa pergi dan menggapai-gapaikan tangannya pada Angky, tapi Kinanti tak peduli.
Angky terpaku, dia tak berani bertanya kenapa kakaknya mendadak seperti tak ingin membiarkan keponakannya bermain dengannya. Di balik counter dapur, Kirani hanya memperhatikan, ada perasaan tak nyaman dan kasihan kepada adik laki-lakinya itu. Dia pun tak mengerti, kenapa keadaan menjadi begini rumit. Dia tak membenci adiknya, dia juga yakin dengan Kinanti dan kedua orang tua mereka. Tak ada yang membenci Angky. Tapi mereka masih terlalu shock, hingga mereka pun tak tahu apa yang harus dilakukan untuk menghadapi keadaan ini. Belum lagi kekecewaan mereka juga yang belum bisa benar-benar hilang.
Kirani menyentuh dadanya yang mendadak terasa sesak, sesaat setelah dilihatnya Angky pun pergi dari sana kembali ke kamarnya, dia tahu adiknya itu terluka. Sungguh dia tak ingin semuanya jadi seperti ini.
- - - - -
Dengan sengaja, Angky agak menyentakkan botol bir yang habis diminumnya ke atas meja. Dia memang tengah iritasi, melihat apa yang ada di hadapannya. Satu jam lalu, dia tiba di apartemen Kak Tony untuk mengajaknya makan malam bersama, dia memang sedang membutuhkan kakak nya itu untuk menenangkan pikirannya. Keadaan di rumahnya masih terlalu menyakitkan, hingga membuatnya tak sanggup berada disana jika tidak disaat tidur.
Tapi sayangnya, belum sempat dia mencurahkan kegalauan pada Kak Tony, laki-laki yang waktu itu mendadak muncul lagi disana. Dan inilah sekarang, selesai makan malam, dia disuguhi kemesraan mereka yang sangat membuatnya risih. Dia tak menyukai lirikan laki-laki itu padanya. Sungguh, dia tak paham kenapa Kak Tony masih saja bersama orang ini.
“James… kita gak sendirian disini…” bisik Kak Tony begitu laki-laki itu kembali membenamkan wajah di lehernya.
Angky memutarkan bola mata sambil menghela nafas, iritasi. Dia mematikan rokoknya yang masih ada setengah dan membuangnya ke dalam asbak. Dia merasa lebih baik dia pergi saja dari sana. Dia pun beranjak dan mengambil jaketnya yang dia simpan di sofa.
“Ky, mau pergi?” tanya Kak Tony ketika dia sudah memakai jaketnya.
Angky berbalik dan tersenyum datar sambil menganggukkan kepalanya.
“Lo gak ganggu kita kok. Kita juga gak keberatan kalo lo mau gabung…” ujar laki-laki bernama James itu, tiba-tiba.
Kak Tony tampak terkejut dan memandang cemas pada Angky, tapi juniornya itu hanya membalikkan badan sambil menggerutu dalam hati.
“See you, Bro” kata Angky sambil melambaikan tangan tanpa melihat pada mereka lagi.
“Wait, Angky—“
Angky tak mempedulikan panggilan Kak Tony, dia tahu seniornya itu pasti ingin meminta maaf. Tapi dia tak merasa harus memaafkan apapun, karena laki-laki yang bersama Kak Tony itu yang membuatnya muak. Dia hanya bisa berharap semoga Kak Tony tidak serius dengan laki-laki itu, kecuali jika ternyata Kak Tony merasakan seperti apa yang dia rasakan… jatuh cinta pada orang yang lebih baik tidak dia cintai.
How suck.
- - - - -
BMW hitam Angky dijalankan dengan pelan dan tanpa tujuan di jalanan kota Jakarta. Kedua mata pria tampan itu hanya menengok sesekali ke sekelilingnya. Toko-toko, lampu, restoran, bioskop, perempuan, laki-laki, orangtua, anak muda, pasangan kekasih, anak kecil, dan lainnya, semua tak luput dari pengamatannya. Sejauh itu tak ada yang menarik baginya, hingga matanya tertumbuk pada sosok seseorang yang sedang berdiri bersandar pada salah satu dinding di depan sebuah gedung. Angky sampai nyaris memutarkan kepalanya, ketika mobilnya melewati orang itu. Dia memang takut salah melihat, tapi begitu yakin, Angky cepat menghentikan mobilnya, memarkirnya di tempat yang nyaman.
Angky menarik nafasnya perlahan, merapikan rambut dan pakaiannya sebentar. Sebelum kemudian turun dari mobilnya. Dia sudah menyiapkan banyak perkataan di benaknya. Dia merapatkan jaket yang dipakainya dan memasukkan kedua tangannya ke dalam saku, berusaha akan bersikap sesantai mungkin. Dia tak mempedulikan debaran di dadanya yang selalu seperti ini ketika langkahnya semakin mendekat pada seseorang itu.
“Hey, Ezra?” sapanya, nyaris dengan suara yang bergetar.
Angky harap Ezra tak menyadarinya.
Ezra yang tengah menyandarkan punggungnya di salah satu dinding sambil memasukkan kedua tangan ke dalam saku jaketnya juga, menoleh dengan agak terkejut. Tampaknya dia memang sedang melamun.
“Eh- Oh, elo” sahut Ezra, langsung mengulas senyuman di wajah tampannya. Benaknya agak berpikir, siapa nama pria ini, terus terang dia hanya mengingat wajah manis dan mata besarnya yang menggugah itu.
“Lagi ngapain disini?” tanya Angky lagi sambil mengamati gedung di hadapannya. Ternyata sebuah gedung tempat berlatih musik.
“Hm, nunggu orang” jawab Ezra. “Lo sendiri?”
“Gue lagi jalan-jalan”
“Oh, sendirian aja?”
Angky mengangguk sambil tersenyum, agak pahit.
“Siapa yang lo tunggu di dalem?” tanya Angky lagi, merasa penasaran.
“Temen gue. Lo inget, orang yang biasa sama gue? Ah yang waktu itu kita ketemu di café?” jelas Ezra.
Sekali lagi Angky menganggukkan kepalanya, mengerti – dia memang sudah menduganya.
“Dia kerja disini?”
“Iya, dia guru piano”
Terus terang Angky agak tak menyangka. Seorang pemain piano kan identik dengan romantis dan siapa tahu juga kalau itu yang membuat Ezra jatuh cinta padanya… Ok, itu bukan urusan gue, gumam Angky dalam hati.
“Oh, terus lo, baru balik kerja?” Angky bertanya lagi. Dia sadar kalau obrolan mereka terlalu penuh basa-basi, tapi dia sudah sangat senang dan tak mau cepat berakhir.
“Iya. Gue kerja di studio tari…” untungnya Ezra pun tampak tak keberatan dengan pembicaraan basa-basi itu. Mungkin dia sudah cukup lama berdiri disana, merasa bosan, dan sekarang jadi merasa ditemani dengan adanya Angky.
“Oh, lo dancer?”
Ezra tertawa dan mengusap belakang kepalanya, tampak malu. Angky jadi tak heran kalau waktu itu di club, Ezra begitu pandai menari.
“Ah… gue ngerti sekarang” gumam Angky akhirnya sambil ikut tertawa.
Berbicara seperti ini, rasanya mereka sudah lama saling mengenal dan seperti sepasang teman, padahal waktu itu berawal dari Ezra yang menggoda Angky – bahkan mereka sempat bermesraan di back room. Angky tak mau mengungkitnya, karena Ezra pun tampak tak ambil pusing dengan semua itu.
Mungkin seperti prinsip kebanyakan pria yang berada di club; keadaan saat itu – hanyalah untuk saat itu. Ketika mereka bertemu lagi di luar, akan lebih baik kalau mereka melupakan semunya.
Yea, itu pengecualian bagi Angky. Dia tak pernah bisa melupakan apapun yang berhubungan dengan pria ini.
“By the way Ez, lo inget nama gue—“
Angky menghentikan ucapannya karena dia lihat Ezra tampak tak mendengarkan.
Ezra melihat pada dua orang laki-laki yang keluar dari gedung itu, menuju ke sebuah mobil, mereka sedang mengobrol tanpa mempedulikan keadaan sekitar. Angky ingat salah satu nya adalah Kei, orang yang sedang Ezra tunggu, dan yang lainnya—
Angky sampai memicingkan matanya dulu untuk memastikan kalau penglihatannya tidak salah. Tidak mungkin, bukankah itu Galang? Galang sepupunya?
“Kei!” panggilan Ezra membuat Angky berhenti berpikir. Galang bersama Kei sudah masuk ke dalam sebuah mobil yang jelas dia kenal sekali. Mercedes Benz berwarna merah itu, memang mobil milik Galang.
Ezra sudah akan mengejar karena Kei tampak tak mendengar panggilannya, tapi Angky cepat lebih sigap menarik tangannya.
“Ez, kita kejar pake mobil gue aja” tawar Angky. Ezra yang tampak cemas pun cepat menerima tawaran Angky.
. . .
Sepanjang Angky menjalankan BMW hitamnya mengikuti Mercedes Benz milik Galang, tak ada pembicaraan diantara dirinya dan Ezra. Dia sungguh tak tahu harus membuka percakapan seperti apa. Ezra tampak resah dan mungkin juga kesal. Siapa yang tahu dia sudah menunggu selama apa di depan gedung tadi, tapi orang yang ditunggunya, malah pergi bersama orang lain.
“Ehm” Angky berdehem pelan. “Kenapa lo gak telepon aja teman lo itu…” akhirnya Angky mendapat ide untuk berbicara begitu dia menghentikan mobilnya beberapa meter dari mobil Galang yang juga sudah berhenti di depan sebuah gedung apartemen.
“Gak usah” jawab Ezra pelan. Angky melirik pada pria itu. Wajah tampan Ezra memang datar saja, tapi mata seksinya jelas menyiratkan kekecewaan. Berbeda sekali dengan Ezra yang beberapa saat lalu sebelum mereka berada di dalam mobil dan lebih berbeda lagi dengan Ezra yang dulu pertama kali mengajak Angky berkenalan.
Sial sekali si Kei itu bisa membuat pria se-seksi dan se-menarik Ezra menjadi tampak hancur seperti ini.
“Lo khawatirin dia, kan?” kata Angky lagi.
“Gak apa-apa, gue tau tempat ini” ujar Ezra.
“Oh…”gumam Angky. “Sekarang, lo mau gue anter ke tempat tinggal lo?”
Ezra tak langsung menjawab. Perlahan, pria itu menengokkan wajahnya pada Angky, setelah sejak tadi hanya tampak datar memandang ke depan.
Mata mereka bertemu dengan lebih lekat, setelah berminggu-minggu lamanya. Angky langsung teringat dengan tatapan ini, tatapan yang dengan senang hati selalu menggemparkan perasaannya, membuat jantung di dalam dadanya menggila.
“… atau lo mau ke tempat lain?” tanya Angky lagi, mendadak salah tingkah.
- - - - -
Kirani terpaku di dekat ambang pintu kamar kakak nya begitu melihat Kinanti sedang bersandar pada lemari pakaiannya dan menangis disana. Cilla sudah berada di box nya dan tampak tak menyadari tangisan ibunya.
“Mbak…” panggil Kirani sambil perlahan mendekati Kinanti, dia yang sejak tadi sebenarnya mencoba untuk tak menangis, nyaris tak bisa menahan lagi.
Kinanti langsung berbalik begitu merasakan usapan lembut Kirani di pundaknya. Wanita itu langsung memeluk adiknya dan menumpahkan lagi tangisan di pelukan di Kirani.
“Aku gak bermaksud kayak itu, Ran… aku sayang banget sama Angky…” gumam Kinanti disela-sela tangisannya.
Kirani mengusap lembut rambut kakaknya dan perlahan air matanya pun turun dari sudut matanya. Dia sudah menduga kalau ini yang sudah membuat kakaknya sedih. Kirani pun tahu kalau sebenarnya Kinanti tidak setega itu.
“… aku gak mau nyakitin dia, tapi aku—“ Kinanti masih berkata-kata dengan suara yang semakin tercekat dan tangisan yang memilukan.
“Aku ngerti Mbak, aku paham…” sahut Kirani, mencoba menenangkan kakaknya. “Kita semua sangat sayang sama Angky, tapi kita memerlukan sedikit waktu untuk bisa menerima semuanya…”
“Aku gak mau… nyakitin dia… aku sayang Angky seperti aku sayang kamu, sayang Ibu dan Ayah…”
“… aku juga Mbak… aku juga, sangat sayang kalian” suara Kirani semakin lirih dan air matanya semakin tak terkendali. Dia pun mendekap kakaknya lebih erat.
Rasanya mereka baru saja disadarkan bahwa pemikiran kalau mereka masih memerlukan waktu, hanyalah sebuah alasan dari rasa kecewa mereka. Mereka sangat mencintai adik mereka, mereka tak ingin menyakiti Angky… dan kenapa mereka tak bisa menerima adik mereka apa adanya? Apapun yang menjadi pilihan Angky, jika itu membahagiakan, bukankah mereka harus turut berbahagia juga? Itu baru sesuatu yang bisa disebut cinta. Tak seharusnya mereka egois seperti ini.
“Ran…” Kinanti mengangkat wajahnya untuk melihat pada adiknya.
“Ya Mbak?” sahut Kirani sambil mengusap air matanya.
“Kita harus bicara sama Ayah dan Ibu… kita gak bisa ngebiarin semuanya jadi kayak ini. Gimanapun juga Angky itu adik kita dan Angky akan selalu menjadi Angky yang kita kenal… aku gak mau nyakitin dia, gak sedikitpun”
Kirani menganggukkan kepalanya setuju, mereka saling melempar senyum dalam tangisan mereka dan sekali lagi saling berpelukan.
Kalau bukan mereka yang akan menerima dan mencintai Angky, maka siapa lagi? Masalah seperti ini tidak seharusnya jadi menghancurkan kehangatan keluarga mereka selama puluhan tahun. Angky justru memerlukan mereka di sisinya.
- - - - -
“Dia… penting banget buat lo, kan?” tanya Angky, berhati-hati agar tak terlihat dia memang sudah tahu banyak tentang hubungan Ezra dengan laki-laki bernama Kei itu.
“Ya, dia sahabat gue dari dulu” jawab Ezra sambil menyimpan sebotol cola di hadapan Angky.
Akhirnya mereka memang ke tempat Ezra, sebuah rumah sederhana yang tak bisa dibandingkan dengan rumah milik keluarga Prajaya, bahkan dengan apartemen milik Angky ketika di Barcelona. Tempat ini tidak begitu nyaman untuk orang yang lebih terbiasa di tempat yang besar dan mewah, tapi Angky menyukainya. Dia seolah bisa sangat merasakan Ezra disini. Tempat yang menurutnya memang sangat mencerminkan seorang Ezra.
Angky belum berkata lagi dan hanya meminum cola nya.
“Maaf gue cuma punya cola disini…” cetus Ezra tiba-tiba yang barusan meminum cola nya juga. Angky melihat pada pria itu dengan tatapan ‘it’s okay’ di matanya. “Gue tau lo biasa minum tequila...”
Angky cepat tersenyum sambil mengibaskan tangannya. “Nggak—itu minuman gue pas di club. Kalau diluar, gue biasa minum apa aja” ujarnya.
Ezra balas tersenyum, kemudian mereka terdiam beberapa saat, hanya sesekali meminum cola di botol yang mereka pegang.
“Jadi… lo gak akan cari tahu apa yang temen lo kerjain sama cowok tadi?” pertanyaan Angky membuyarkan keheningan diantara mereka. Jujur saja, dalam hatinya dia seperti berterima kasih karena entah kenapa sepupunya bisa muncul disana dan membawa pergi si Kei itu. Angky mungkin akan mencari tahu soal itu nanti, sekarang dia memikirkan keadaan Ezra.
“Buat apa?” Ezra malah balik bertanya.
“Yah, siapa tahu lo pengen tau…”
“Gue udah cukup tau” ujar Ezra sambil menghela nafas panjang dan berat. Pria itu kemudian membaringkan badannya di atas lantai yang di dudukinya. Dia menyimpan botol cola nya di samping, matanya memandang nanar ke arah langit-langit rumah sederhananya.
“Lo—tau?”
“Hm. Kei mungkin suka cowok itu… cowok kaya…” perkataan Ezra hampir mendesis, tapi Angky bisa mendengarnya dengan jelas. Desisan itu seperti ungkapan yang terasa pahit dari hatinya.
Angky terdiam, meminum cola nya sekali lagi, kemudian menyimpan botolnya juga di lantai. Memang benar kalau Galang adalah laki-laki kaya, apalagi jika dibandingkan dengan Ezra. Rasanya dia jadi melihat sisi tak menyenangkan lainnya dari seorang Kei, walau dia sama sekali tak mengenal laki-laki itu. Angky hanya berpikir, laki-laki itu sangat keterlaluan karena sudah membuat pria yang disukainya terpuruk seperti ini. Ezra mungkin memang tidak kaya raya, tapi Ezra memiliki segalanya untuk menjadi tipe ideal seseorang. Angky merasa Kei sudah buta karena mengabaikan pria sempurna ini.
“Dulu… dia juga suka yang kayak itu” suara Ezra menghentikan pikiran panjang lebar Angky yang jadi kesana-kemari. “Nggak, gue rasa dia masih suka orang itu…” Ezra meralat sendiri ucapannya.
Angky jadi teringat dengan cerita dari Kak Tony; ada seorang laki-laki yang sudah sangat lama disukai oleh Kei. Mungkin orang yang sedang dibicarakan oleh Ezra ini.
“Terus?”
“Mereka gak bisa bersama. Kei disakitin. Gue gak bisa ngebiarin sahabat gue diperlakuin kayak itu…”
Angky bisa mendengar nada geram dari perkataan Ezra. Pria ini memang tampak sangat peduli pada sahabatnya. Mungkin dari sini awalnya bisa tumbuh cinta di hatinya. Perasaan tak rela melihat sahabatnya di sakiti. Angky berpikir, seandainya dia bisa membuat Ezra merubah perasaannya, dan membuat Ezra lebih sadar kalau sebenarnya Kei tak lebih dari sekedar sahabat yang dipedulikannya, bukan orang yang harus dia miliki.
Perlahan, Angky bergerak dari tempatnya agar duduk di sebelah Ezra yang sedang berbaring. Dia menarik kakinya ke dekat dada dan menyimpan kedua tangan di atas lututnya. Dia melihat pada Ezra, memperhatikan pria itu yang masih tampak serius menatap langit-langit rumahnya.
“Lo kedengeran cemburu, Ez” kata Angky, yang entah sejak kapan jadi memanggil Ezra dengan panggilan pendek yang tampak akrab seperti itu.
“Huh? Gue gak cemburu” sahut Ezra sambil tersenyum tipis dan kecut.
“Gue rasa lo memendam perasaan lain…” Angky terus memulai, hanya ingin sedikit memancing, agar Ezra lebih terbuka lagi.
“Gue suka dia… sangat” gumam Ezra akhirnya setelah beberapa saat dia tak menyahut. “Dia sahabat gue. Apa kita gak boleh suka sama sahabat kita sendiri?” tambahnya pula, tiba-tiba terdengar seperti putus asa.
Angky menggelengkan kepalanya. “Lo boleh suka sama siapapun, Ez”
Ezra pun menarik ujung bibirnya dan tersenyum lagi, kali ini tak sekecut tadi. Tampaknya perkataan Angky agak menenangkannya.
“Dan lo harus bisa ngebedain, mana rasa suka untuk orang yang sangat lo peduliin sebagai sahabat, atau orang yang lo peduliin buat lo milikin…” lanjut Angky pula. Perlahan dia merendahkan tubuhnya dan ikut berbaring juga disana dengan tangan yang tersimpan di bawah kepalanya. Sengaja dia membuat tubuhnya miring, menghadap pada Ezra.
Ezra mengernyitkan keningnya, kemudian melirik Angky. Dia sedikit terhenyak dalam hati. Pria tampan itu sudah begitu dekat dengannya dan memberikan tapan lembut di kedua mata besar yang disukainya itu. Tanpa begitu dia sadari, dadanya jadi berdegup lebih kencang. Entah kenapa.
“A- apa maksud lo?” tanya Ezra, tiba-tiba merasa gugup.
Angky hanya menggelengkan kepala lagi dan mengulas senyuman yang selembut tatapannya. Dia merasa tak perlu untuk menjelaskan apapun. Sedikit demi sedikit, dia mendekatkan wajahnya dengan wajah Ezra, hingga ujung hidung mereka nyaris bersentuhan. Angky tak tahu apa dia sedang menggoda atau dia kehilangan kendali karena sudah sejak tadi dia ingin melakukan ini.
Ezra semakin mengernyitkan keningnya. Di mata kecilnya seolah menyiratkan akan ada penolakan, tapi Angky tak peduli dan lebih memiringkan kepalanya untuk mencapai bibir Ezra dengan bibirnya.
Bibir mereka bertaut dengan lembut, tapi tak ada balasan berarti dari Ezra, membuat Angky harus berhenti, untuk menatap Ezra sekali lagi. Dia memang sudah tak mau berpikir dengan apa yang sedang dia lakukan. Dia sangat menyukai Ezra, dia tak mau melihatnya terus bersedih hanya karena seorang laki-laki yang belum tentu sedang memikirkannya juga sekarang.
“Angk—“
Telunjuk Angky tersimpan di depan bibir Ezra, membuat pria itu tak menyelesaikan perkataannya. Kerutannya menghilang dan berganti dengan keterkejutan, membuat kedua mata kecilnya agak melebar.
“Nama gue Angky. Ang-Ky” bisik Angky cepat, dia ingat kalau Ezra pasti akan salah lagi menyebut namanya.
Ezra mengedipkan matanya, semakin gugup. Dia ingat memang pernah bermesraan dengan Angky waktu itu, di back room club, tapi dia sama sekali tak terpikir akan bertemu lagi, hingga dia memang agak melupakan nama Angky. Yang dia ingat hanya sebuah nama yang unik. Lalu sekarang, jujur saja, suasana hatinya sedang tak begitu bagus – tapi dia juga tak mau sendirian. Dia terlalu larut memikirkan Kei jadi mungkin dia hanya sedang membutuhkan seseorang yang mau mendengarkannya. Dia tak sedang ingin bermain-main. Dia akan mengajak berkenalan seseorang, kemudian melakukan hubungan singkat, ketika dia sedang merasa ingin melakukannya di club. Dan jelas-jelas tidak disaat seperti ini.
Tapi Angky tampak bukan hanya ingin menjadi pendengarnya—
Sekali lagi Angky menciumnya, namun kali ini penuh tekanan dan sedikit memaksa. Ezra nyaris tak bisa mengelak. Dia semakin terbaring di lantai, dengan Angky yang perlahan naik ke atas tubuhnya. Awalnya Ezra mencengkram lengan Angky, namun kemudian berpindah ke pinggang ramping pria itu. Dia agak terkejut dalam hati, rasanya seperti menyentuh pinggang wanita. Ezra sungguh memiliki ingatan yang buruk dan lupa kalau tubuh Angky begitu enak di sentuhannya dan ciumannya pun… begitu panas.
Bunyi berdecak dari bibir mereka yang saling melumat, mengisi kekosongan di rumah sederhana Ezra.
Oh no, Angky. What the hell are you doing!?
Benak Angky berteriak-teriak sendiri, tapi Angky berpura-pura tak peduli. Dia malah semakin memperdalam ciuman, membuka mulutnya, membiarkan lidahnya dengan lidah Ezra saling bertautan. Sengatan yang aneh terasa mengalir ke seluruh tubuhnya, menuju tempat yang paling sensitive dan bersiap membuat otaknya kehilangan akal sehat.
Angky melenguh diantara ciuman ketika tanpa sengaja tubuhnya sedikit bergerak, bergesekan dengan pakaian Ezra, menimbulkan rasa nyaman yang membuatnya ingin mengulang lagi dan lagi.
Dasar mesum lo, Ky! Jangan kepikirin buat gerakin badan lo ke badan dia!
Lagi-lagi Angky mengabaikan benaknya yang masih asik memarahinya. Perlahan, dia menggerakkan tubuhnya, menggeseknya naik – turun.
“Aahh…” keluh Ezra pelan begitu melepaskan ciuman mereka. Dia merasakan gerakan Angky dan membuat tubuhnya terangsang. Dia mencoba melihat ke bawah dari balik badannya dan badan Angky yang sudah sangat merapat. Disana semuanya seperti yang dia bayangkan. “Sial” gerutunya pula diantara nafas terengahnya.
Angky tersenyum puas dan melanjutkan ciuman ke leher kokoh Ezra. Dalam benaknya dia mengutuk, leher ini ternyata memiliki kulit yang halus ditambah urat-urat yang kuat, membuat dia tak akan bosan untuk terus menghisap dan menggigitnya.
Ezra mendesis pelan sambil memejamkan mata dan sedikit menggeliatkan badannya, tak tahan dengan geli yang di akibatkan oleh bibir Angky.
“Ang- Angky…” rintih Ezra pula, tak kuat dengan sensasi yang ditimbulkan oleh gesekan tubuh mereka.
Angky berhenti mengoyak leher Ezra. Dia melihat pada pria itu dan sedikit lebih melambatkan gerakan badannya di atas tubuh Ezra. Dia menemukan wajah tampan Ezra yang masih terpejam, bibirnya sedikit terbuka, tampak menikmati dengan apa yang dia lakukan.
He must be feels good, pikir Angky.
Angky yakin, semua kepenatan beterbangan dari benak Ezra. Dia pun ingin agar Ezra selalu bisa merasakan ketenangan itu hanya dari sentuhannya.
“Sial” geraman Ezra, membuat Angky membuka matanya yang baru saja dia pejamkan. Dia ingin berkonsentrasi membuat irama dengan tubuh mereka yang terhubung dari balik pakaian yang masih melekat di tubuh mereka. Dia tahu, sedikit lagi saja mereka akan mendapatkan ketinggian yang mereka inginkan.
They don’t need a heavy sex for now, this one just good already.
Angky hanya berpikir, kalau hubungan mereka pun belum menjadi apa-apa. Untuk tidur bersama dengan nyata, mungkin bukan saatnya.
BRUK
Angky yang tak siap, tiba-tiba saja tubuhnya sudah dihempaskan Ezra ke lantai. Kali ini pria itu yang berada di atasnya, menatap dengan buas. Senyuman tajam yang seksi terukir di bibir Ezra, membuat Angky mau tak mau jadi sedikit ketakutan, tapi dia juga tak mau menghindarinya. Dia pun mencabut lagi pikirannya beberapa detik lalu. Dia tak mau kehilangan kesempatan.
Demi tuhan, dia menginginkan pria ini sejak hari itu!
Tanpa ragu, Angky pun mencengkram kaus yang dipakai Ezra, dia membantu pria itu melepaskannya, melemparnya begitu saja. Angky harus tercekat sebentar mendapati bagian atas tubuh Ezra yang sangat menyilaukan matanya. Kutukan demi kutukan memenuhi benaknya.
What a hot fucking body!
Kulit tubuh Ezra yang kecokelatan, memberikan sensasi yang lebih lagi. Membuat pikirannya siap untuk menjadi gila.
“Lo liat apa?” tanya Ezra, membuyarkan keterpanaan Angky. Pria itu melihat pada Ezra, salah tingkah. Dia pun kembali membaringkan badannya disana, menelan ludahnya diam-diam. Senyuman tipis Ezra terasa mengintimidasinya, tapi sialnya Angky menyukai itu. Dia sudah pasrah, dan dia akan bahagia di dominasi Ezra sepenuhnya sekarang.
“Sorry, I don’t mean…” gumam Angky. Ucapan maaf yang sebenarnya tak perlu.
“Bahasa inggris lo bagus, gue gak heran lo temenan sama Mas Tony” komentar Ezra, semakin terdengar tak perlu.
“Dia… bekas senior gue…” ujar Angky yang tak sengaja memperpanjang. Seharusnya ini bukan saatnya mereka mengobrol penuh basa-basi lagi. Dia sudah tak membutuhkannya. Dia sudah tak sabar ingin merasakan hangatnya tubuh Ezra, dekapan kuat lengannya… dan ciuman memabukkannya.
Dammit.
Baru kali ini Angky berpikir menginginkan seseorang separah ini. Dia merasa sangat mesum, meski sebenarnya wajar untuk pria dewasa seumurnya. Tapi tetap saja, ini akan menjadi pengalaman pertamanya dengan seorang pria. Dia merasa sangat gugup, walau dia senang, karena pria yang dia harapkan yang akan mengambil pengalaman pertamanya.
Ezra tak membuang waktu untuk membuka celananya juga, sebelum kemudian, membuka celana Angky dan dengan agak brutal, melepasnya begitu saja. Angky terkejut, tapi dengan semua kekuatan yang ditunjukkan Ezra, dia tak bisa melawan.
Ezra tersenyum mengamati sebagian tubuh Angky yang sudah terbuka, dia kemudian beranjak dan mengambil sesuatu dari laci mejanya. Sebuah pengaman. Angky semakin was-was, tampaknya Ezra memang tak mau melakuannya dengan perlahan. Dia sadar, Ezra masih dalam suasana hati yang buruk. Yang dia tahu, suasana hati bisa mempengaruhi cara berhubungan yang diinginkan seseorang.
Mampus lo, Ky! Dia pasti bakal kasar sama lo!
Benak Angky mengutuki dirinya sendiri lagi, entah untuk keberapa kali. Angky pun bangun dan duduk disana, dia memandang gugup pada Ezra yang sudah kembali sambil menggigit bungkusan pengaman di mulutnya.
Dengan gemetar, tangan Angky malah melepas satu persatu kancing di kaus polo nya – kemudian membukanya hingga dia nyaris tak memakai apapun di badannya.
Dia sudah tak ingat lagi hal yang memalukan, dia tak ingat lagi dengan image nya sebagai seorang putera keluarga terpandang. Persetan dengan semua itu.
Senyuman Ezra kembali nampak setelah dia melepaskan bungkusan pengaman tadi. Matanya kembali meliar mengamati seluruh tubuh polos Angky. Kulit putih pucat tanpa bulu, dengan otot-otot halus yang menonjol. Seksi, pikir Ezra membuat tulisan besar-besar di benaknya.
Ezra sedikitnya jadi penasaran, siapa yang pernah begitu beruntung memiliki pria ini? Siapa yang begitu beruntung juga pernah disukainya? Tapi ini bukan saatnya untuk membahas hal-hal biasa seperti itu, mereka sedang berada di tengah-tengah sesi yang paling panas. Mereka harus terus menghidupkan mood nya.
Angky bergerak mendekat dan merebut bungkusan pengaman di tangan Ezra. Dia sadar kalau beberapa saat barusan, Ezra malah asik memandanginya. Dia senang, tapi lama-lama itu membuatnya malu.
“Lo buang-buang waktu…” bisik Angky tepat di depan wajah Ezra, sambil melepas pengaman itu dari bungkusnya, kemudian memasangkannya pada Ezra. Mereka saling menatap dengan jarak yang sangat dekat, keduanya bisa merasakan nafas masing-masing.
“Mata lo…” bisik Ezra, yang memang selalu tergugah oleh tatapan di mata besar Angky.
“Yang lo suka” sambung Angky, teringat di awal pertemuan, Ezra begitu memuji sepasang mata miliknya.
“Hm” gumam Ezra seperti menjawab, padahal Angky tak bertanya.
“Gimana dengan hidung dan bibir gue?” tanya Angky lagi.
Dengan sengaja Angky agak menggerakkan hidungnya hingga mengenai hidung mancung Ezra. kemudian mengecupnya pelan. Sensual sekaligus manis, membuat Ezra terpancing dan tanpa perlu menjawab, dia langsung menyambar bibir Angky. Gerakannya bersamaan dengan Angky yang selesai memasangkan pengaman tadi.
Ezra pun menarik tangan Angky, dan mereka berdua terhempas ke lantai bersamaan. Rasa sakit tak mereka rasa. Ezra segera mendekap pria di bawahnya, pelan-pelan menunggu Angky menerimanya disela ciuman mereka.
Benak Angky kemudian mengabur, dia tak mengingat apapun lagi dengan sempurna sekarang. Dia memejamkan matanya, menarik nafasnya dalam-dalam, membuka sedikit mulutnya untuk mengeluarkan teriakan pelan yang tak bisa dia tahan.
Akhirnya.
Akhirnya waktu ini tiba juga.
Ezra.
Orang pertama yang membuat pikiran dan perasaan Angky tak karuan. Orang pertama yang membuat dia menghancurkan semua teorinya tentang cinta dalam hubungan singkat, orang pertama yang membuatnya ingin menyerahkan apapun…
Orang pertama yang bisa menemukan titik kepuasannya.
Orang pertama yang sungguh membuatnya jatuh cinta, dan ingin berkorban.
He’s really in love with this guy… more and more.
= = = = =
[To Be Continued]
@05nov1991 sama2 de, saya emg suka nulis, jd bisa stiap saat kmbali ke sini. hehe. makasih jg udh mw bacain trs tulisan saya ya. ow iya levi-adniel udh bahagia lahir batin ktny
hehehe makasih bnyk udah nyempetin mampir
terima kasih banyaaaak
ah saya tersanjung. hehe. terima kasih banyak. saya ga akan berani ngepost klo ga ada temen2 baik hati spt kamu yg mau baca. makasih
i see. tp terimakasih sudah mampir
yep saya pasti bekerja keras terus. hehe. terima kasih!
hahaha so far mslh yg masi menarik bwt saya emg di seputar itu.tp mgkin lain kali saya smoga saya dpt ide yg lbh berbeda. makasih banyak ya
@Monic silahkan lanjutannya dear
oww terima kasih bnyk
@Silverrain makasih udh mampir
apa mungkin sblmnya ini fanfic?? hahaha
keren mas bahasanya.
^_^
td nya sempet kefikiran suka klo angky sama galang.
as always, my fav author @rieyo626 comeback with great story again yeaaah >_<
sugooooi~~~
:smooch:smooch:smooch:
bisa-bisa jadi bang hang hheeheeee
#tutupmata
>_<
#tutupmata
>_<
#tutupmata
>_<
maaf2
>_<''
-_____-