BoyzForum! BoyzForum! - forum gay Indonesia www.boyzforum.com

Howdy, Stranger!

It looks like you're new here. If you want to get involved, click one of these buttons!

Selamat datang di situs Boyzforum yang diarsipkan oleh Queer Indonesia Archive. Forum untuk komunitas gay Indonesia yang populer ini didirikan pada tahun 2003, dan ditutup pada tanggal 15 Desember 2020.

Forum ini diabadikan untuk kepentingan sejarah. Tidak akan ada konten baru di forum ini. Silakan menikmati forum ini sebagai potongan dari sejarah queer Indonesia.

(Fiction Story - MultiParts) THE HOOK UP - Part 3/3 :: Completed

edited September 2012 in BoyzStories
THE HOOK UP
By : Rieyo

Summary : Cinta dari perkenalan dan hubungan singkat adalah bullshit bagi seorang Angky. Namun apa yang akan terjadi ketika dia terjebak disana?

A/N: hai, long time not be here :) mdh2an temen2 masih ingat saya. lol. saya kembali dng crita fiksi yg coba saya share disini. crita ini prnah saya post jg di tempat lain dng karakter dan latar belakang yg berbeda. smoga ini bisa cukup menghibur. maapkan kalo ada error2. mohon feedback nya. enjoy it. terima kasih :)
«1345678

Comments

  • edited September 2012
    PART 1
    = = = = =

    Angky melihat ke seberang jalanan lagi dari balik kaca jendela BMW hitam nya. Disana berdiri sebuah bangunan club dengan nama tepat seperti yang dikatakan Kak Tony di teleponnya tadi. Angky menghela nafas. Ini bukan pertama kalinya dia berada di salah satu kawasan high-class club di kota Jakarta sejak kembali dari Barcelona beberapa bulan yang lalu. Dia sudah mulai terbiasa lagi berada di negara kelahirannya ini. Tapi masalahnya sekarang, club yang ada disana adalah bukan club yang biasa dia datangi. Dia mungkin bisa mendatangi beberapa club seperti itu ketika masih berada di Barcelona, tapi mendatanginya di kota Jakarta, membuat dia harus sedikit berpikir. Meski sekarang tengah malam, dan dia juga bukanlah pemuda berusia belasan tahun yang mungkin akan dipandang aneh oleh orang-orang. Tapi kenyataan bahwa dirinya adalah seorang direktur dan putera dari pemilik perusahaan yang cukup terpandang di Jakarta, membuat dia merasa ada sebuah kebanggaan yang harus dia jaga. Atau mungkin tepatnya adalah sebuah image. Siapa yang akan menyangka, direktur muda, tampan dan kaya raya bernama Angky Dewa Pranatya ini ternyata adalah seorang—

    Tit… tit… tit…

    KLIK.

    Angky menyentuh tombol ‘OK’ di ponselnya begitu saja, karena tersentak dari pikiran panjangnya.

    “Angky? Udah dimana?” terdengar suara Kak Tony.

    Dengan agak ragu, Angky menempelkan ponselnya di telinga.

    “G-gue udah sampe Kak” jawab Angky.

    “Ohya? Dimana?”

    Samar-samar Angky bisa mendengar suara keramaian di belakang suara Kak Tony.

    “Gue masih di mobil, sebentar lagi gue turun” kata Angky akhirnya, merasa tak enak karena sudah membuat teman baiknya itu menunggu.

    Tony Liem adalah senior Angky ketika mereka sama-sama berkuliah di Barcelona. Dia sudah seperti seorang Kakak sungguhan bagi Angky, malah usia mereka yang cukup terpaut jauh, membuat Angky juga terkadang merasa Kak Tony seperti seorang ayah baginya. Karena dari Kak Tony lah, akhirnya dia bisa menerima jati dirinya, menemukan keinginan yang sejak lama tak pernah berani dia ungkap. Kak Tony adalah tempat dia berbagi selama ini. Semua rahasia, semua hal yang tak bisa dia kemukakan pada orang lain, termasuk keluarganya sendiri, maka akan bisa dia katakan pada Kak Tony. Itulah juga sebabnya, Angky merasa tak enak kalau sekarang dia menolak untuk bertemu hanya karena tempatnya yang belum berani dia datangi. Sudah hampir satu minggu Kak Tony berada di Jakarta lagi, tapi Angky selalu sibuk dengan pekerjaannya. Ini jelas adalah waktu yang paling tepat.

    Untuk kesekian kali, Angky menghela nafas – mencoba menenangkan diri. Dia melihat pada kaca di dekat kepalanya, merapikan rambut lurusnya, lalu merapikan sebentar jas nya juga sebelum kemudian keluar dari mobilnya.
    . . . . .

    “Ky!” Kak Tony langsung menghambur ke arah Angky ketika melihat bekas juniornya itu datang dari pintu masuk. Dia memang sengaja menunggu di dekat sana karena dia menduga Angky akan kesulitan kalau mencarinya di dalam yang sangat ramai dan berisik.

    Mereka berpelukan sebentar seperti biasa, Kak Tony menepuk-nepuk punggung Angky sambil mengamati pria tampan itu. Mereka hampir setahun tak bertemu, Angky tak berubah banyak – hanya rambut dan penampilannya yang sedikit berbeda. Selama di Barcelona, Angky selalu mewarnai rambutnya dengan warna-warna terang, tapi sekarang rambutnya hanya berwarna hitam dengan potongan yang rapi. Belum lagi pakaian formal yang dikenakannya. Kak Tony tersenyum penuh arti, dia memang sudah tahu kalau Angky menjadi direktur selama 8 bulan ini.

    “Lo gak sempet ganti baju?” tanya Kak Tony setelah mereka berada di dalam dan duduk di depan sebuah meja bar. Dia memesan dua gelas kecil tequila. Dia ingat kalau itu minuman favorit Angky.

    “Ya, gue gak sempet pulang” jawab Angky sambil sedikit mengedarkan pandangannya ke sekeliling club. Merasa takjub, tak menyangka kalau di Jakarta ternyata ada club seperti ini. Club yang hanya di dominasi oleh pria dan tadinya hanya dia tahu ketika berada di Barcelona.

    “Tapi lo makin ganteng pake baju direktur…”

    Angky melirik pada teman nya itu dan tersenyum sedikit kecut. Dia tahu kalau dia memakai pakaian yang tidak tepat.

    “Kak, gue—“ Angky bermaksud menjelaskan.

    “Oh come on, gue cuma godain lo!” sergah Kak Tony sambil tertawa dan menepuk lagi punggung Angky. “Tapi gue gak bohong kalo lo emang kelihatan makin ganteng”

    Angky memutarkan bola matanya dan memilih untuk meminum tequila nya saja.

    “By the way, it’s cool, Kak” kata Angky lagi setelah beberapa saat mereka terdiam menikmati minuman dan musik yang menghentak di dance floor. Tempat berisik ini terkadang memang ampuh untuk menghilangkan stress setelah berhari-hari bekerja. “Gue gak pernah tahu kalo Jakarta juga punya tempat sekeren ini”

    Kak Tony tertawa lagi. “Jakarta knows what we needs… Hal pertama yang gue lakuin kalo udah nyampe Jakarta, gue pasti datengin tempat ini” ujarnya.

    Angky tersenyum. Dia semakin tak heran kenapa Kak Tony sangat menyukai kawasan high-class satu ini. Disini tak ada perbedaan, tak ada penolakan, malah mungkin mereka akan menemukan kebahagiaan. Dan jika beruntung, juga menemukan cinta.

    Senyuman kecut dan hambar terulas di bibir tipis Angky. Seumur hidupnya hingga sekarang dia berusia 26 tahun, dia merasa tak pernah tahu cinta, kecuali cinta dari keluarganya. Dia memang pernah berhubungan dengan banyak wanita, tapi dia tak pernah merasa bahwa ada cinta disana. Tak ada seseorang yang membuatnya merasa ingin berkorban banyak, membuatnya resah setiap saat, mendebarkan dadanya setiap waktu. Dia belum pernah menemukan seseorang seperti itu. Dan mungkin memang tak ada?

    “Jadi, lo udah bicara sama keluarga lo?” tanya Kak Tony.

    “Soal apa?”

    “Semuanya” Kak Tony memberikan tatapan penuh arti ke mata Angky, membuat pria tampan itu lekas memahami.

    “Ah…” gumam Angky, mengerti. Dia menyimpan potongan lemon yang tadi dihisapnya dan balas memandang Kak Tony.

    “Gue belum bilang apa-apa”

    “Oh, terus?”

    Angky menggelengkan kepalanya, pelan.
    “Gue belum siap, Kak” jawabnya.

    Kak Tony memandang Angky dengan lebih serius.
    “Kenapa? Karena jabatan yang lo punya sekarang?”

    Sekali lagi Angky melihat pada pria yang lebih tua 12 tahun darinya itu. Dia merasa pertanyaan Kak Tony sedikit agak menamparnya.

    “Itu—“

    “Gue tau. Lo punya kelas. Lo adalah penerus dari keluarga yang kaya raya dan terpandang, ditambah sekarang lo adalah seorang direktur. Gue tau itu semua bakal sulit buat lo, tapi kalo lo terus menutupi, terutama dari keluarga lo sendiri, kesulitan lainnya malah bakal makin berdatangan” potong Kak Tony sebelum Angky sempat menyahut.

    Angky menyentuh rambut di keningnya dan mengusapnya ke belakang.
    “Tapi serius Kak, gak semudah yang lo bayangin…”

    “Dulu juga gue ngerasain itu, Ky. Tapi akhirnya, gue bisa melewati semua dengan mudah, meski awalnya keluarga gue membenci gue, tapi gue menemukan kehidupan gue yang sebenarnya. Dan sekarang, mereka juga mulai bisa menerima dan memahami gue. Mereka tau kalo gue bahagia…”

    Kak Tony lebih mendekatkan wajahnya dengan wajah Angky, memandang sepasang mata besar di hadapannya. “Lo denger, lo akan merasa lebih nyaman dan terbebas kalo lo bisa mengatakan kebenaran pada keluarga lo. Lo gak akan ketakutan dan ragu-ragu”

    Angky memejamkan matanya beberapa detik. Dia masih belum bisa membayangkannya, mengatakan kebenaran yang sudah cukup lama dia pendam kepada keluarganya. Dia tak bisa membayangkan bagaimana kedua orang tuanya akan bereaksi, begitu juga dengan kedua kakak perempuannya. Selama ini mereka tahu kalau dirinya adalah seorang anak laki-laki satu-satunya yang sangat penurut, tak pernah bertingkah aneh, dan normal seperti pria baik-baik kebanyakan.

    “Gue gak bisa, Kak” gumam Angky sambil membuka mata dan menggelengkan kepalanya. “Setidaknya nggak sekarang”

    Kak Tony menghela nafasnya. Dia tak bisa memaksa juga, karena mungkin Angky memang belum bisa sekuat dirinya waktu itu. Bagaimanapun, dia juga tetap sadar kalau semua ini tidaklah mudah.

    “Ok. Gue cuma mau lo tau kalo gue selalu ada di deket lo. Apapun yang terjadi, lo bisa minta bantuan gue. Jadi cepet kasih tau mereka kalo lo udah ngerasa siap. Di usia lo yang udah dewasa sekarang, gue yakin lo bisa melewatinya”

    Angky mengangguk dan tersenyum tipis. Nasihat demi nasihat dari Kak Tony memang selalu berguna baginya. Kak Tony ingin membuat dirinya merasa lebih baik setelah dia mulai bisa menerima jati dirinya. Dan menurutnya, dengan berkata jujur pada keluarga adalah salah satu jalan yang bisa membuat dia menemukan kebahagiaan juga. Hanya saja Angky belum menemukan alasan kuat yang bisa membuatnya untuk mengambil semua resiko itu. Dia masih ingin mendapatkan cinta yang seperti biasa dari keluarganya, karena dia tahu jika dia berkata jujur, keluarganya mungkin saja akan berubah kepadanya. Cukup dilematis.

    “Ya udah, sekarang mendingan lo nikmatin tempat ini. Gue ngerasa disini lebih oke daripada di Barcelona…” Kak Tony menyudahi pembicaraan yang agak berat tadi. Dia jadi merasa tak enak karena sudah jelas mereka berada di tempat itu untuk bersenang-senang, tapi dia malah memulai pembicaraan yang memusingkan bagi Angky. Kak Tony kembali mendekat pada juniornya itu, kali ini ke arah telinga. “Disini lebih banyak pilihan. Gak ada lagi laki-laki barat yang ngebosenin…” bisiknya, kemudian tertawa pelan.

    Perlahan, Angky pun menarik ujung bibirnya dan ikut tertawa. Dia mengerti apa yang dimaksud Kak Tony. Selama 7 tahun berada di negara barat sebenarnya memang membosankan, tidak salah kalau akhirnya mereka menginginkan situasi yang seperti ini, dimana hanya ada wajah-wajah Asia yang sama dengan mereka. Laki-laki Indonesia juga banyak yang tampan dan manis. Dan yang paling penting mereka tak akan sulit untuk saling menyesuaikan diri.

    “Eh Ky, lo gak keberatan kalo gue tinggal sebentar?” tanya Kak Tony setelah beberapa saat kemudian mereka kembali mengobrol.

    “Iya Kak, gak apa-apa. Gak usah khawatirin gue”

    Kak Tony pun beranjak dari duduknya dan meninggalkan Angky setelah menepuk pundak pria itu. Dia juga membawa dua gelas tequila baru di tangannya. Angky memperhatikan temannya itu dan seperti yang Angky duga, Kak Tony memang menghampiri seseorang disana. Selalu, tak memerlukan waktu lama bagi kak Tony untuk menemukan seseorang yang sesuai dengan keinginannya.

    Angky menghela nafas, dia tak mau melakukan hal seperti itu – meski mungkin beberapa orang disini cukup menarik perhatiannya. One night stand atau hubungan singkat saja, sama sekali tak pernah dia biarkan melintas di benaknya. Walau ketika di Barcelona beberapa kali dia nyaris mangalaminya, dia beruntung karena selalu bisa mengelak setiap kali semuanya akan terjadi lebih jauh. Angky memang masih tak yakin. Mendapatkan seseorang di tempat seperti ini untuk sebuah hubungan serius atau karena berdasarkan cinta, rasanya tidak mungkin.

    This kind of place should be only for some flirt and short-term hook up.

    No love.

    Right?

    “Vodka, yang biasa aja”

    Pikiran Angky terhenyak oleh sebuah suara di sebelahnya ada seseorang yang sedang memesan pada bartender. Entah kenapa, dia mendadak ingin menengokkan wajahnya, padahal sejak tadi dia berada disana, dia sama sekali tak terganggu oleh siapapun yang berdiri di dekatnya. Dia terus sibuk dengan pikirannya sendiri. Namun yang kali ini, mendengar suaranya saja - membuat dia cukup tertarik.

    Pria yang sedang memesan vodka itu, seperti yang sempat melintas di benaknya – ternyata memang sangat menarik. Tinggi tegap, kulitnya agak kecoklatan, berwajah ganteng dengan ukuran wajah yang kecil, ditambah hidung dan dagu yang sempurna dari samping. Gaya rambut spike dan penampilannya juga sangat menawan.

    Crap.

    Angky tak menyangka dirinya bisa mendeteksi seseorang yang menakjubkan seperti ini hanya dari suaranya.

    Pria itu menoleh padanya dengan tiba-tiba, seketika, Angky pun cepat mengalihkan lagi matanya. Dia berpura-pura serius dengan minumannya dan seolah tak menyadari ada pria ganteng itu disana. Oh shit, tapi kenapa dadanya berdebar begini gila!?

    “Hey” suara itu lagi. Angky tak yakin apa cowok ini benar menyapanya, tapi dari ujung matanya, dia bisa melihat, kalau pria ini masih melihat ke arahnya. “Kayaknya gue baru liat lo disini” lanjut pria itu lagi sambil duduk tepat di samping Angky yang kebetulan kosong. Ok, jadi dia emang ngomong sama gue, pikir Angky.

    Sedikit gugup, dia pun menolehkan wajahnya dan matanya langsung menemukan wajah ganteng yang tadi dia amati diam-diam, jelas menatap ke arahnya dengan sepasang mata kecilnya yang tajam. Oh no. Sekarang dadanya bukan hanya berdebar semakin menggila, tapi rasanya sekujur tubuhnya pun akan meleleh.

    Pria itu mengulas senyuman, begitu mata mereka saling bertemu. Senyuman yang membuatnya semakin ganteng lagi dan lagi.

    “Gue bener, kan?” ujarnya pula.

    “Apa?” sahut Angky, berusaha bersikap tenang – meski akhirnya dia malah tampak terhipnotis.

    “Lo baru pertama kali kesini”

    Angky mengalihkan matanya, sedikit tak tahan memandang lama-lama wajah pria ganteng itu. Tapi justru dia malah menyadari kalau pria itu memiliki sedikit tanda luka seksi di pipinya. Damn, dia sudah mengamati sedetil itu hanya dengan sekali tatapan.

    “Kenapa lo bisa nebak kayak gitu?” sahut Angky.

    “Soalnya kalo gue biasa ngeliat lo disini, gue pasti udah tahu nama lo… dan tau dimana lo tinggal”

    Angky menarik nafasnya perlahan dan meminum sisa tequila nya. Pria ini hanya berbicara sambil memandangnya dengan biasa, tapi entah kenapa dia bisa merasakan kalau dirinya sedang di goda. Senyuman tipis pun tak bisa dia tahan terulas di bibirnya.

    “Nama gue Ezra… lo?” pria itu berkata lagi, kali ini sambil mengulurkan tangannya. Dia sangat santai dan tidak canggung untuk mengajak Angky berkenalan begitu saja. Dan Angky berpikir, ini lebih baik – karena mereka akan saling mengenal nama. Tidak seperti keadaan yang biasa dia dapati ketika di Barcelona. Mereka akan mengobrol panjang lebar hingga nyaris tidur bersama, tapi tanpa mengetahui siapa nama masing-masing.

    “Angky” sahut Angky sambil menyambut uluran tangan Ezra. Kulit mereka bersentuhan. Hangat sekaligus menimbulkan percikan aneh ke dadanya (lagi). Oh shit. Angky menyukai jemari lentik Ezra yang menggenggam tangannya, tangan itu terasa kuat tapi lembut secara bersamaan.

    “Angky…” Ezra mengulang nama Angky seolah dia sangat terkesan dengan nama unik itu. Mereka juga saling melempar senyum. Angky sebenarnya tak mau cepat merasa cocok dengan pria ini, mereka hanya baru bertemu beberapa menit saja dan baru saja mengenal nama masing-masing. Tapi, Ezra memang sangat menarik. Angky yakin siapapun tak akan berbuat bodoh dengan tidak mempedulikannya.

    “Uhm, lo mau dance?” ajak Ezra tiba-tiba setelah beberapa saat mereka malah terdiam dan pura-pura lebih tertarik pada minuman masing-masing.

    “Eh? Gue—gue gak bisa dance” Angky menolak dengan halus.

    Ezra tertawa.
    “Serius?” ujarnya, tak percaya. Angky cepat mengangguk, yakin. “Ok, kalo gitu lo perhatiin gue”

    Angky memutar stool yang di dudukinya, matanya mengikuti kemana Ezra pergi. Pria itu menuju dance floor, orang-orang disana langsung membuat ruang untuknya. Tampaknya mereka memang sudah terbiasa dengan solo-dance yang dilakukan Ezra.

    Ezra pun mulai menggerakkan badannya sesuai dengan irama musik. Kakinya menghentak, tangannya bergerak dengan ringan, semuanya terlihat semakin sempurna belum lagi senyuman seksi yang dia tunjukkan. Angky terpana dan nyaris terhanyut hingga tak sadar lagi dia berada dimana. Mereka menyoraki nama Ezra, memberikan cheers. Angky pun sadar, kalau pria ini sepertinya memang sangat populer disana.

    Beberapa menit saja, Ezra menunjukkan keahliannya menari. Pria itu keluar dari keramaian di dance floor dan kembali menuju ke arah Angky. Dengan was-was, Angky memperhatikan Ezra yang semakin mendekat. Dia merasa semua mata tertuju ke arahnya. Pria itu terlihat lebih seksi daripada sebelumnya, dengan kemeja yang setengah terbuka, juga tetesan keringat yang sedikit terlihat di lehernya.

    Dammit. Angky seperti membeku sampai Ezra sudah berada di hadapannya dan mengulurkan tangan. Angky cepat menggelengkan kepalanya, tetap menolak jika Ezra bermaksud mengajaknya berdansa. Dia tak berani mengedarkan pandangannya ke sekeliling karena dia tahu semua mata sedang melihat ke arahnya.

    “Gak apa-apa” kata Ezra, meyakinkannya dan menarik tangan Angky untuk beranjak dari sana. Angky tak bisa mengelak, karena tarikan tangan Ezra cukup kuat.

    Mereka berdua kembali ke tengah dance floor, sungguh Angky tak tahu apa yang harus dilakukannya. Dia hanya menggerakkan kaki dan badannya ke kiri dan kanan dengan tak yakin. Dia juga tak berani memandang ke sekeliling, dimana orang-orang masih ramai menyoraki. Entah disana Kak Tony melihatnya juga atau tidak.

    “Gerakan lo udah bagus” bisik Ezra sambil tersenyum.

    Angky hanya menggelengkan kepalanya, menunjukkan ketidaknyamanan di wajahnya. Ezra tertawa, kemudian menarik Angky lagi – kali ini menjauh dari dance floor. Angky hanya mengikutinya hingga mereka menghilang ke back room di club itu.

    Tawa Ezra masih terdengar hingga mereka berada di sebuah back room yang lebih sepi. Musik ramai tadi jadi hanya terdengar samar-samar di depan. Angky menengokkan wajahnya ke sekeliling back room dan menemukan beberapa pasangan yang sedang bermesraan. Dia agak terkejut. Dia melihat pada Ezra dan baru tersadar kalau tubuhnya sudah dijebak di salah satu dinding.

    Ezra sudah berhenti tertawa tapi tersenyum ke arahnya. Senyuman seksi seperti yang tadi. Debaran di dada Angky kembali menggila – lebih parah. Mendapati pria ganteng dan seksi ini di hadapannya hanya dengan jarak yang tak seberapa, seperti membuat nafasnya tercekat.

    “Lo sebenernya bisa dance” gumam Ezra.

    Angky meringis pelan. “Jangan bahas itu lagi. Gue gak pernah nari di dance floor sebelumnya sambil diliatin banyak orang kayak gitu, tadi lo nyaris malu-maluin gue”

    Ezra tertawa pelan dan pendek.
    “Mereka suka sama lo” ujarnya. “Cuma dengan ngeliat lo berdiri disana, mereka udah suka sama lo” tambah Ezra seolah menghibur Angky.

    Mata mereka saling menatap. Angky menelan ludahnya diam-diam. Dia sedikit menekankan telapak tangan ke dinding di belakangnya. Gugup, tapi dia berusaha tak menunjukkan itu di kedua matanya.

    “Mata lo besar dan indah” bisik Ezra tiba-tiba. “Semua orang menyukai mata seperti ini”

    Tanpa sadar, Angky jadi mengedip-ngedipkan kedua matanya.

    “Terutama gue” lanjut Ezra.

    Angky tak tahu harus mengatakan apa. Dia juga lagi-lagi tak bisa balas memandang tatapan Ezra. Ah, ini bukan pertama kalinya dia mendapat pujian tentang matanya tapi entah kenapa semua yang dikatakan pria ini seperti memberikan hentakan-hentakan luar biasa di dadanya.

    Perlahan, Ezra memiringkan kepalanya dan mendekatkan wajahnya ke arah leher Angky. Pria itu hanya bisa memejamkan matanya, semakin menekan telapak tangannya ke dinding. Perasaan Angky berkecamuk, antara ingin mengelak tapi tak mau. Dia terus mengingatkan diri di benaknya, tapi sedikit ciuman dan sentuhan, tak apa-apa bukan? asal dia tak terpedaya hingga ke hal yang lebih jauh.

    Angky menggerakkan punggungnya, merasa geli dengan kecupan lembut Ezra di kulit lehernya. Kecupan tipis itu juga dengan mudahnya menggetarkan sekujur tubuhnya. Membuat dia harus mati-matian menahan diri.

    Ciuman Ezra semakin naik dari leher Angky, ke belakang telinganya, kemudian perlahan terasa gigitan lembut di daun telinganya. Angky semakin kuat memejamkan matanya, nafasnya pun memberat. Dia berusaha agar tangannya tak bergerak untuk mencengkram Ezra. Benaknya hanya bisa mengutuk. Sentuhan dari bibir pria ini, seperti akan membunuhnya perlahan-lahan.

    Angky pun tak bisa lagi membiarkannya. Dia mendekap bahu Ezra, bersamaan dengan ciuman pria itu yang mengenai pipinya. Mereka saling melihat beberapa detik, dan kemudian akhirnya menyentuhkan bibir mereka.
    Sebuah ciuman.

    Tak perlu waktu lama untuk keduanya saling melumat, tidak hanya saling menempelkan bibir. Angky bisa merasakan vodka dan sedikit rasa tembakau yang manis di bibir Ezra. Cowok ini perokok rupanya, pikir Angky.

    Tangan Ezra bergerak dari pinggang Angky, menuju depan kemejanya. Tanpa memperhatikan, jemarinya melepas dasi dan kancing pria itu dengan mudah. Ciuman terlepas, dan Ezra mengembalikkan bibirnya ke leher Angky, lalu turun ke dadanya yang sudah terbuka.

    Angky agak terkejut, tapi rasanya terlalu nyaman hingga dia tak sampai hati untuk menghentikan Ezra. Setiap kecupan Ezra di kulitnya, diiringi oleh debaran di dadanya. Ini memang tidak seperti yang pernah dia rasakan sebelumnya. Astaga, ada apa sebenarnya dengan dirinya?

    Dalam pejaman matanya, Angky masih setengah berpikir dan setengah menikmati hingga ketika ciuman Ezra sudah berada di bagian perutnya.

    “Perut lo bagus” ujar Ezra. Angky membuka matanya dan melihat ke bawah, memperhatikan setiap kecupan dan sedikit hisapan bibir Ezra di kulit perutnya. Dia ingin sekali menjelaskan kalau dirinya suka berolahraga di gym. Meski perutnya belum membentuk six pack sepenuhnya, tapi banyak orang yang sudah memuji otot-otot halus di tubuhnya.

    Angky pun hanya bisa menggumam pelan dan kembali menyandarkan kepalanya ke dinding sambil memejamkan mata. Dia tak begitu sadar ketika tangan Ezra perlahan mulai membuka zipper celananya. Dia tersentak ketika Ezra kembali ke hadapannya, mencium dagunya, sementara dibawah sana tangan Ezra menyentuhnya.

    Mata besar Angky terbuka dan sedikit melebar. Dia mencoba mendorong Ezra di dadanya, tapi tak yakin dan malah berakhir dengan mendekap pria itu lagi. Membiarkan Ezra terus menciumi pipinya juga.

    Angky kehilangan kendalinya. Dia yang sudah berkali-kali mengingatkan di benaknya sendiri, dia yang sudah berjanji tak akan cepat terpedaya, ternyata tak bisa melakukan apapun sekarang. Dia malah membiarkan Ezra mendominasinya, terhanyut oleh setiap ciuman juga sentuhannya.

    Dammit, dan Angky pun untuk pertama kalinya menginginkan hal yang lebih.

    Berada di pelukan laki-laki ini, seolah membuatnya tak mau melepaskan. Pikiran untuk dimiliki olehnya meski hanya semalam, melintas begitu saja di benaknya – padahal selama ini dia sangat menentang pikiran semacam itu. Sial. Ezra mungkin mempunyai sesuatu yang bisa mengikat perasaannya, membuatnya tergila-gila hanya dalam waktu kurang dari satu jam.

    Angky baru akan menolehkan wajahnya ketika dia merasa Ezra mulai mencium ujung bibirnya, tapi sebuah bunyi telepon malah membuat Ezra melepaskannya begitu saja. Pria itu berhenti menyentuh Angky di balik celananya dan berdiri agak menjauh sambil mengeluarkan ponsel dari dalam saku celananya.

    Ezra berdiri membelakangi Angky begitu bicara di ponselnya. Angky menarik nafasnya dalam-dalam, menenangkan diri. Kenapa harus ada telepon disaat dia sudah akan menuju ketinggian… dan mulai merasa panas?

    “Ah sori, gue harus pergi” cetus Ezra tiba-tiba setelah berbalik lagi.

    “Eh?” Angky mengerjapkan matanya, agak tak percaya dengan perkataan Ezra. Pria itu malah tersenyum dan menepuk pundaknya sambil berlalu masuk kembali ke dalam club, tanpa beban. “Hey, tunggu—“ Angky tak jadi menghentikan Ezra dan jadi terdiam disana. Shock.

    Dia masih menyandarkan punggungnya di dinding, dengan pakaian yang sudah setengah terkoyak, juga zipper celana yang terbuka. Kutukan demi kutukan memenuhi benaknya. Sial. Dia sungguh sial. Biasanya dia yang akan menolak siapapun yang sudah berani memulai untuk menyentuhnya, tapi sekarang – ketika dia berpikir untuk mencoba yang lebih, dirinya justru yang ditinggalkan seperti ini. Dengan menahan kesal, Angky merapikan pakaian dan celananya. Dia melirik ke sekelilingnya, semua pasangan disana masih sibuk seperti ketika dia pertama kali melihat mereka. Beruntung sekali, tak ada yang peduli kalau dirinya baru saja dicampakkan.

    Angky mendecak pelan. Dia mengutuki pria bernama Ezra itu di dalam hati, tapi dia juga meneruskan dengan mengutuki dirinya sendiri yang sudah begitu bodoh. Angky memutuskan untuk pergi saja dari club. Dia tak mau bertemu lagi dengan Ezra, meski rasanya dia tak akan bisa melupakan pria itu dengan mudah. Setidaknya tidak malam ini, ketika dia masih merasa harga dirinya seperti dihempaskan.

    ~

    “Kak, gue pulang duluan. Ada sesuatu yang harus gue beresin. Lain kali kasih tau lagi kalau lo mau ketemuan. Ohya, thanks buat tequila nya”

    Angky terdiam sebentar di depan kemudi BMW hitamnya setelah barusan dia menelepon Kak Tony. Pandangannya nanar dan sesekali melirik club di seberang jalan sana. Perlahan jemarinya bergerak menyentuh lehernya kemudian menyentuh bibirnya yang terasa bengkak.

    Ezra.

    Nama itu tak mau sedikitpun lepas dari pikirannya.
    - - - - -

    “Melissa Sastro itu loh Ran… dia gadis yang baik” ujar Kinanti menanggapi perkataan Kirani, adik perempuannya. Dia mengambil satu sendok kecil bubur pisang di mangkuk makan milik Cilla, puterinya yang baru berusia 10 bulan, lalu menyuapkannya pada bayi cantik itu.

    “Aku juga kepikiran dia, Mbak… tapi Ayah bilang, dia udah tunangan” sahut Kirani sambil memotong-motong daun bawang yang akan dia pakai untuk membuat sup ikan.

    “Oh iya gitu?” Kinanti menghentikan sebentar gerakannya menyuapi Cilla, untuk melihat pada adiknya yang sedang berdiri di depan counter dapur.

    “Iya, sayang banget…” Kirani balas melirik kakaknya sambil agak mengangkat kedua bahu nya.

    “Duh, mestinya Ayah cepet lamar Melissa waktu Angky masih di Barcelona” ujar Kinanti pula, Kirani menanggapi dengan tertawa kecil.

    “Apaan? Lagi pada ngomongin aku ya?” Angky tiba-tiba muncul disana setelah turun dari kamar nya. Di waktu sore seperti ini dan setelah dia selesai dengan segala kepenatan di kantor, dia memang akan membantu kakak-kakak perempuannya untuk membuat makan malam. Dan barusan dia sempat mendengar kakak pertamanya menyebut namanya.

    Kinanti dan Kirani melihat pada adik laki-laki mereka nyaris bersamaan, kemudian keduanya saling melirik masih dengan senyuman penuh arti.

    “Ya, kita emang lagi ngomongin kamu” kata Kirani tenang. Dia membuka lemari es dan mengeluarkan sekantung tahu dari sana.

    Angky menghampiri Cilla, bermain-main dengan keponakan kecilnya itu. Dia juga merebut mangkuk kecil dari tangan Kinanti untuk menggantikan menyuapi Cilla.

    “Aku harap kalian ngomongin yang baik-baik” kata Angky dan mulai menyuapi keponakannya dengan hati-hati.

    Kinanti tersenyum sambil memperhatikan Angky yang sedang menyuapi puteri kecilnya. Adik bungsunya itu memang sangat dekat dengan Cilla. Terkadang dia gemas sendiri melihat hubungan antara paman dan keponakan perempuan itu, mereka sangat manis. Itulah sebabnya dia, Kirani, dan kedua orang tua mereka sudah sangat ingin melihat Angky memiliki anak sendiri. Angky pasti akan menjadi ayah yang baik, penyayang dan lucu.

    “Mbak sama Mbak Rani cuma ngebahas, kapan kita bakal dapet keponakan yang lucu dari kamu…” ujar Kinanti, bermain-main dengan kalimatnya.

    Angky berhenti sebentar mengambil bubur lagi dari mangkuk kecil Cilla. Dia melirik kakak pertamanya itu.

    “Maksud Mbak Kinan apa?”

    Kinanti melebarkan senyumannya. “Emangnya di kantor kamu gak ketemu cewek yang cantik dan pinter, Ky?” katanya, malah menjawab dengan pertanyaan.

    Angky pun semakin paham dengan pembicaraan yang dimaksud kakaknya. Sejak dia kembali dari Barcelona, keluarganya memang suka sekali menanyakan tentang wanita yang sedang dekat dengannya. Dan begitu tahu kalau dirinya tidak sedang dekat dengan siapapun, mereka malah jadi gencar memberitahu tentang wanita mana yang pasti akan cocok dengannya. Beberapa puteri dari kolega ayahnya, jelas menjadi pilihan utama mereka. Dan Angky tak pernah memberikan tanggapan berarti. Dia memang tak bisa menuruti keinginan mereka, tapi dia juga belum siap untuk mengungkapkan yang sebenarnya. Dia masih takut melihat kekecewaan mereka. Meski rasanya semakin lama, dia semakin tak tahan lagi.

    “Gak ada, Mbak” jawab Angky, entah untuk kesekian kalinya dia menjawab pertanyaan dengan jawaban seperti itu. Dia menghela nafas diam-diam dan mencoba untuk tak ambil pusing agar kakaknya tak memperpanjang. Dia kembali melihat pada Cilla, bermain-main dengan bayi cantik itu.

    “Ky, lama-lama aku jadi mikir jangan-jangan kamu nyembunyiin sesuatu dari kita” sela Kirani yang datang dari dapur untuk menyiapkan piring di meja makan.

    Angky sedikit membeku, tapi dia terus berusaha tenang. Kinanti bangun dari duduknya dan membantu Kirani merapikan meja,

    “Menurut kamu adik kita ini nyembunyiin pacarnya?” sahut Kinanti sambil tertawa pelan.

    “Siapa tau…” Kirani melirik Angky, tapi adiknya itu tampak tak peduli dan terus bermain dengan Cilla. Kirani tersenyum kecut, lalu melanjutkan berkata pada Kinanti. “Jangan-jangan Angky udah pacaran sama cewek Spanyol, tapi dia gak berani bilang sama kita”

    “Ah…” gumam Kinanti, dia sedikit terkejut tapi pemikiran adiknya itu rasanya cukup masuk akal. “Kamu bener. Dia pasti takut sama Ibu… Ibu kan gak suka cewek bule” tambahnya.

    Angky menyimpan mangkuk kecil milik Cilla yang sudah kosong sambil menghela nafas panjang. Dia jelas mendengar obrolan kedua kakaknya di belakang dan dia jadi tak bisa berpura-pura tak peduli lagi. Rasanya dia ingin segera mengakhiri rahasia yang dia simpan. Seperti yang selalu dikatakan Kak Tony, dia pasti akan merasa lebih tenang setelah mengatakan semuanya, tapi apa dia sanggup menerima keadaan setelahnya? Meski dia sendiri pun belum tahu apa yang akan terjadi padanya.

    “Mbak…” panggil Angky sambil berbalik dan berdiri menghadap pada mereka. Kedua wanita cantik disana menoleh padanya, masih sambil tersenyum-senyum. “Gak ada cewek Spanyol yang aku pacarin” lanjutnya, agak menegaskan.

    Kinanti dan Kirani saling melirik dengan senyuman yang semakin terulas lebar. Mereka memang suka menggoda adik mereka satu-satunya itu.

    “Aku—gak tertarik…” Angky berkata lagi dengan ragu. Dia baru saja berpikir untuk mengatakan semuanya. Mungkin berawal dari memberitahu kedua kakaknya, dia bisa merasa lebih tenang untuk memberitahu kedua orang tuanya nanti. Tapi… sungguh?

    “Hm? Kamu gak tertarik sama cewek bule? Bukannya mereka seksi-seksi?” Kirani melanjutkan menggoda Angky.

    Angky menarik nafas, menelan ludahnya diam-diam. Dia tak terpengaruh dengan senyuman kedua kakaknya. Sekarang pikirannya berkecamuk. Tiba-tiba saja bayangan tentang Ezra pun berkelebatan di benaknya.

    Sudah satu minggu berlalu sejak kejadian di club, tapi dia masih tak bisa melepaskan Ezra dari pikirannya – pria yang hanya baru dikenalnya selama beberapa menit itu sungguh memberikan efek yang luar biasa padanya. Ini hal yang tak pernah dia rasakan sebelumnya. Bahkan sekarang dia jadi mulai berpikir untuk menentukan masa depan yang diinginkannya, setelah selama bertahun-tahun dia terus menghindar, bersembunyi dan tak mau mengakui apapun pada keluarganya. Memang konyol, tapi mengingat Ezra, membuat dia jadi seperti mendapatkan kekuatan untuk menunjukkan hidup yang dia mau. Dia tak bisa terus bertingkah menjadi seorang anak yang penurut sementara kenyataannya dia hanya berpura-pura. Seperti yang Kak Tony sering bilang, dia harus berhenti menipu mereka.

    “Sebenernya aku—“ perkataan Angky terdengar lebih serius, dan tak menanggapi candaan kedua kakaknya. Itu membuat Kinanti dan Kirani memudarkan senyuman mereka perlahan, bisa merasakan kalau ada sesuatu. Bagaimanapun mereka sudah sangat mengenal adik mereka satu-satunya itu.

    “Kamu kenapa?” tanya Kinanti, sedikit tak nyaman dengan jeda yang dibuat Angky. Membuat pembicaraan mereka jadi terasa berat. Dia berharap kalau adiknya tidak sedang bersiap untuk mengatakan kabar buruk.

    “Aku—“ Angky menarik nafas lagi, perlahan namun malah terasa semakin menyesakkannya. “Aku gak tertarik sama perempuan”

    Hening. Kedua kakaknya jadi semakin terdiam dan senyuman di wajah mereka pun menghilang. Mereka saling melirik, agak tak yakin dengan apa yang dimaksudkan oleh Angky. Kinanti beranjak dan menghampiri Cilla yang masih terduduk di kursinya. Dia menggendong puteri kecilnya itu, lalu kembali melihat pada Angky.

    “Mbak gak ngerti kamu ngomong apa, Ky” katanya, memecahkan suasana yang mendadak terasa dingin.

    “A- aku juga” sahut Kirani sambil berlalu ke dapur untuk melihat sup yang sedang dibuatnya. Dalam hati sebenarnya dia gugup dan takut apa yang baru dipikirkannya, adalah apa yang dimaksudkan oleh adiknya.

    Kinanti pun memilih untuk berlalu dari ruang tengah dengan membawa Cilla. Dia tak akan begitu memikirkan apa yang ingin dikatakan Angky . Dia meyakinkan diri kalau memang tak ada sesuatu yang serius.

    Angky masih tetap berada di tempatnya, dia mencoba menguatkan diri sendiri.

    “Aku lebih suka laki-laki” cetusnya tiba-tiba, tepat disaat sebelum Kinanti pergi dan… ternyata kedua orang tua nya muncul disana.

    Angky terhenyak sendiri. Dia nyaris tak sadar sudah mengungkapkan semua. Sekarang dia melihat 4 pasang mata dari kedua kakak dan orang tua nya memandang tak percaya.

    Pak Yoga melihat pada ketiga anaknya, agak bingung.
    “Ada apa ini? Kamu ngomong apa, Angky?” tanyanya.

    “Ky? Kamu bercanda, kan?” sambung Kirani.

    Angky menggigit bibirnya pelan. Dia sudah tak bisa menghindar sekarang, karena mungkin memang ini saatnya. Kebetulan sekali kedua orang tua nya muncul disana, saat ia belum berpikir kalau dia siap menghadapi mereka. Tapi ini sudah terlanjur.

    “Angky, kenapa Nak?” Bu Diah mendekati puteranya, memandang bingung pada pria tampan itu. “Kamu bilang, kamu lebih suka laki-laki? Kamu lagi bercanda sama kedua kakak kamu?”

    Angky meyakinkan diri dan mencoba memandang kedua mata ibunya.

    “Nggak Bu, aku lagi gak bercanda. Aku serius”

    Dengan sedikit gemetar, jawaban pun keluar dari mulutnya. Dia tak mau berpikir dulu apa yang akan terjadi setelahnya. Karena seperti yang Kak Tony bilang, dengan pengakuan yang tidak banyak ini, malah membuat perasaannya menjadi lebih ringan.

    Dia merasa bebas.
    - - - - -

    Setelah hampir lebih dari lima kali Angky menekan bel di pintu apartemen Kak Tony, akhirnya pintu itu terbuka juga. Dia nyaris saja akan menyerah.

    “Kak— Oh!“ perkataannya terhenti dan berubah jadi gumaman kaget, begitu melihat bukan Kak Tony yang membuka pintu. Seorang laki-laki yang mungkin sebaya dengannya, berwajah cukup tampan tapi tidak memakai apapun, membuat Angky terkejut. Dia hampir saja bertingkah seperti seorang perempuan dengan bermaksud menutupi matanya. “Ah- eh- sorry…” katanya lagi gugup. Dia jadi teringat pada kejadian tahun-tahun lalu di Barcelona, dia pernah juga mendapati laki-laki lain di apartemen Kak Tony seperti ini.

    Dammit, harusnya dia mengerti kenapa dari tadi dia tak bisa menghubungi Kak Tony di ponselnya, dan juga pintu yang tak lekas dibuka setelah dia menekan bel berkali-kali.

    “Mas Tony lagi tidur” kata laki-laki itu, sebelum Angky semakin salah tingkah.

    “Oh, ok…”

    “Lo mau gue sampein sesuatu sama dia nanti?” Laki-laki itu malah sedikit bersandar pada ambang pintu dan dengan sengaja memandang lekat pada Angky.

    “Gak usah, gue telepon dia aja nanti” jawab Angky, berusaha untuk tidak gugup lagi. Dia merasakan tatapan yang tak enak dari mata laki-laki itu. Sepertinya akan memburuk kalau dia tak segera pergi dari sana.

    “Lo yakin? Gak mau masuk dulu, sampe nunggu dia bangun? Atau… gimana kalau kita bangunin Mas Tony bareng-bareng?” tawar laki-laki itu, terdengar semakin berani. Dengan sengaja dia menunjukkan seluruh badannya yang tak ditutupi sehelai benang pun itu, ingin menggoda Angky,

    Jangankan tergoda, Angky malah semakin risih. Dia menggelengkan saja kepalanya dan berlalu dari sana. Dia yakin laki-laki itu bukan orang yang special untuk Kak Tony. Kadang dia tak habis pikir, sampai kapan Kak Tony akan terus bermain-main dengan laki-laki yang ditemuinya secara sembarangan. Angky menghela nafas dan merapatkan jaket sebelum memasuki BMW hitamnya.

    . . .

    Suasana club yang dulu sangat tak familiar baginya itu, sekarang jadi terasa lebih baik begitu dia datang untuk kedua kalinya. Dulu dia sangat ragu untuk memasuki tempat ini, tapi sekarang dia mencoba untuk berada disini, walau tanpa Kak Tony.

    Dia perlu menenangkan pikirannya setelah kejadian beberapa jam lalu di rumahnya. Akhirnya memang tak ada suasana makan malam yang hangat seperti biasanya setelah dia menjelaskan semua pada kedua orang tua dan kedua kakaknya. Sekarang mereka tahu siapa dirinya sebenarnya. Memang tak ada pertengkaran. Mereka tak mengucapkan apapun yang menyakitinya, tak ada celaan dan sebagainya. Tapi Angky bisa melihat kekagetan yang bercampur kekecewaan di mata mereka. Dia juga sadar kenapa mereka tak banyak berkomentar, karena mungkin dirinya sudah bukan anak kecil yang harus mereka beritahu dan komentari lagi. Mereka semua terdiam, atau tepatnya, mendiamkannya. Angky jelas tak bisa mengharap kalau mereka menyetujui pilihannya,karena diamnya mereka – justru terasa sebagai penolakan yang lebih menyakitkan daripada penolakan secara nyata.

    “Tequila anda…” ucapan bartender yang menyimpan satu gelas kecil tequila beserta 2 potong lemon di hadapannya, membuyarkan pikiran Angky.

    Dia mengambil minuman itu sambil sedikit tersenyum pada si bartender yang Angky tahu sejak tadi terus menerus tersenyum padanya. Angky tak ambil pusing, dia berada disana bukan untuk laki-laki sembarangan yang ditemuinya. Terus terang saja dia memang berharap bisa bertemu lagi dengan Ezra, meski di akhir pertemuan pertama mereka waktu itu cukup melukainya.

    Angky memutar stool nya setelah meminum sedikit tequila nya. Dia tak tahan lama-lama mendapat kerlingan mesum dari bartender tadi. Matanya sedikit meliar ke dance floor, berharap menemukan sosok yang ingin dia temui. Beberapa saat saja, dia cepat menemukan sosok ganteng dan gagah Ezra diantara lautan manusia dan lampu kerlap-kerlip disana. Ezra sedang mengobrol dengan beberapa orang disana, hingga kemudian melihat ke arahnya. Angky terkesiap. Dia merasakan lagi debaran menggila seperti waktu itu. Benaknya pun mulai mengutuk, meski sekarang, bercampur dengan perasaan senangnya. Dia bisa melihat Ezra berjalan ke arahnya dan itu membuat dia semakin gugup. Apa yang harus dia katakan? Bagaimana dia harus bersikap? Dia tak mau terlihat putus asa dengan menunjukkan kekecewaannya karena waktu itu Ezra meninggalkan dia begitu saja.

    He has to be cool. Really.

    Angky pun memutar kembali stool nya, sudah tak peduli pada bartender tadi. Dia meminum tequila nya dan berpura-pura sibuk sendiri disana. Entah kenapa tubuhnya seperti bisa merasakan kalau Ezra sudah semakin mendekat. Angky memejamkan mata, bersiap untuk mendapatkan sapaan dari pria itu.

    “Hey”

    Suara itu. Angky masih mengenalinya, walau sudah satu minggu berlalu. Dengan sepenuh hati, dia menolehkan wajahnya. Tapi—

    Perasaan senangnya buyar begitu saja. Ezra memang berada disana, namun bukan untuk menyapanya, melainkan pada pria di sebelahnya. Angky terpaku disana, hatinya seperti dipatahkan perlahan-lahan. Dia bukan sakit hati karena Ezra tidak menyapanya, tapi lebih pada hal yang sedang dilihatnya sekarang.

    Ezra berciuman lembut dengan pria itu, kemudian mendekapnya mesra.

    No, shit.

    Angky segera mengalihkan pandangannya. Pikirannya semakin tak menentu. Rasanya dia ingin segera menghilang dari sana, tapi entah ada apa dengan kakinya yang mendadak terasa lemas.

    “Kamu udah nunggu lama, Kei? Maaf”

    Samar-samar Angky mendengar lagi suara Ezra disana. Dia memejamkan matanya, merasa sangat iri dengan nada suara penuh perhatian itu. Berbeda dengan ketika mereka terlibat pembicaraan seminggu lalu, yang dia tahu adalah nada suara yang menggoda. Jadi kemungkinan besar sekarang, Ezra sedang bersama seseorang yang special untuknya. Oh apa yang sudah dia pikirkan selama satu minggu ini?

    Menginginkan sebuah kebahagiaan dengan Ezra – orang yang baru dikenalnya dan yang mungkin sudah memiliki orang lain? Damn.

    Angky tahu ini konyol, dia sadar kalau ini terlalu cepat dan dia juga akui kalau selama ini dia tak pernah mempercayai sebuah perasaan akan tumbuh hanya karena sebuah hubungan yang singkat. Tapi Ezra sudah menghancurkan semua pemikirannya, merubuhkan prinsipnya, membuat perasaannya tak karuan.

    He really feels like a fool.
    - - - - -

    Kening Angky berkerut heran begitu dia memasuki ruang kerjanya dan mendapati berkas-berkas di mejanya tak ada disana. Dia ingat kalau hari ini dia harus menandatangani beberapa berkas yang kemarin diberikan oleh sekretarisnya. Mejanya terlihat lebih rapi tanpa tumpukan berkas-berkas file. Hanya komputer dan foto berbingkai miliknya yang ada disana.

    “Boss…” panggilan Elena, sekretarisnya, membuat dia berhenti terheran-heran. Perempuan cantik yang lebih tua darinya itu, memandang gugup.

    “Ohya El, kemana berkas-berkas yang ada di mejaku?”

    “Itu—udah dipindahin ke ruangan Pak Galang”

    Angky terperanjat. Dia sungguh tak menyangka akan mendapat jawaban seperti itu. Pekerjaannya dipindahkan ke meja sepupunya yang selama ini menjadi wakilnya? Kenapa?! Angky sadar, pasti ada sesuatu yang serius.

    “Apa?” sekali lagi Angky mengerutkan keningnya sambil melihat pada sekretarisnya.

    Elena menganggukkan kepalanya, pelan.

    “Pak boss Yoga yang minta. Beliau bilang, mulai saat ini semua persetujuan harus melalui Pak Galang. Aku juga gak tahu apa ini bersifat sementara atau tidak…” jelas Elena. Wanita itu memandang boss nya merasa bersimpati, dia menduga pasti ada masalah serius diantara ayah dan anak penguasa perusahaan Prajaya itu. Ah dia tak mau ikut campur.

    “Tapi aku tetap sekretaris anda, boss. Jangan segan untuk minta bantuan apapun padaku” tambahnya sambil tersenyum tulus, walau masih terlihat gugup. Tanpa menunggu Angky mengatakan apapun, dia berpamitan untuk keluar.

    “Tunggu” panggil Angky, sebelum Elena keluar dari pintu. Dia melihat lagi pada boss tampan itu. “Tolong buatkan segelas teh hangat”

    “Oh baik, boss” sahut Elena cepat. Dia segera melesat keluar dan nyaris merasa tak enak karena tak menawari boss nya itu minuman. Dia menduga kalau Angky pasti sangat membutuhkan untuk sendiri sekarang.

    Angky memandang nanar pada meja kerja di hadapannya. Dia terduduk di kursi kerjanya sambil menghembuskan nafas berat. Dia mengerti ini. Ayahnya pasti sudah mulai bereaksi karena pengakuannya kemarin malam. Dia memang tidak begitu siap, tapi dia sudah menduga semua ini. Perlahan, mungkin keluarganya, akan membuat dia tersisih. Dia mungkin tak seharusnya langsung berprasangka buruk. Benarkah ibu dan kedua kakak perempuannya ingin menjauhinya juga? Tak mencintainya lagi?

    Angky mengusapkan telapak tangan ke keningnya, hingga rambut kecilnya disana agak berantakan. Dia memang merasa lebih lega, tapi apa gunanya jika hal yang dia takutkan benar-benar terjadi? Dijauhi oleh keluarganya, akan menjadi bencana besar baginya.

    Angky mengalihkan matanya ke arah jendela yang langsung memperlihatkan suasana di tempat para pegawainya. Dia melihat Galang ada disana sedang berbicara dengan salah seorang pegawai. Sepupu sekaligus wakilnya itu terlihat lebih sibuk. Tentu saja, karena sekarang dia lah direkturnya.

    Sial. Semua ini karena Angky terjebak oleh perasaannya sendiri. Gara-gara seorang Ezra yang dengan anehnya malah dia harapkan, namun malam kemarin justru sudah mematahkan hatinya.
    = = = = =

    [To Be Continued]
  • Lanjut... bagus nih ceritanya....
  • q udah kangen sama cerita2nya @rieyo626 nih.... Q Gk akan lupa deh sama penulis cerita IF I LOVE YOU TOO (adniel n leviandra)
  • Seruuuu. Semangat :)
  • Seruuuu. Semangat :)
  • keren seperti adniel-levi.
  • @rieyo626 is back! seneng banget abang satu ini nulis lagi.
  • @monic makasih banyak. haha sukurlah klo masi inget. saya jg rasanya kangen pngen ngeshare crita disini. makasih ya :)

    @adam08 sippp makasih banyak! ;)

    @adinu iya kah? hehehe. yg ini mgkin lbh dwasa drpd couple adniel-levi. makasih banyak ya ;)

    @zea.mays hey! ya kangen jg bwt ngeshare dsini hehe. tulisanmu ada yg baru? mention me lg ya. makasih udh mampir ;)
  • meskipun fiksi tapi nice story, sangat menyentuh

    mention ya kalo dah update, lam kenal
  • udah lama ya.... lebih keren ini.... buruan ya lanjutnya.... semangat ni ada yang baru.... :-bd
  • angky ezra..lucu jg namanya ;)
  • @05nov1991 ternyata kamu juga mention yg lain. Semoga makin rame..
  • sudah baca dam @Adam08... telat ente mensiongnya..hahaha :D
Sign In or Register to comment.